Pendekar Dari Hoasan 5
Pendekar Dari Hoasan Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
Terpaksa ia mainkan ilmu pedang Hoa-san kiam-hwat sebaik-baiknya, mengeluarkan tipu-tipu yang terlihai dari ilmu pedang itu. Pedangnya terputar cepat dan tubuhnya tertutup sama sekali oleh sinar pedangnya yang putih dan berkilauan cahayanya. Sementara itu, aneh sekali, Sian Kim setelah berhasil membunuh Liok Seng, lalu duduk di bawah pohon, menonton pertempuran yang sedang berjalan itu dan sama sekali tidak bermaksud membantu Ciauw In! Memang aneh bagi ketiga jago Hopak melihat hal ini, sungguhpun mereka merasa lega, karena kalau Sian Kim maju pula membantu Ciauw In, mereka pasti akan roboh dalam waktu singkat! Adapun Ciauw In tidak merasa menyesal melihat hal ini oleh karena ia memang hendak memperlihatkan kepandaian dan pembelaannya kepada gadis yang dicintainya itu.
Sebetulnya, hal ini memang disengaja oleh Sian Kim. Kalau seandainya Ciauw In terbinasa dalam pertempuran ini, berarti ia akan kehilangan seorang musuh yang amat tangguh dan ditakuti hingga selanjutnya ia akan mudah menghadapi Bwee Hiang dan Ong Su. Juga sebetulnya ia tidak mempunyai permusuhan besar dengan Hopak Sam-eng, karena dibunuhnya kekasihnya dulu itupun kini telah merupakan hal yang hampir terlupa olehnya. Kini pertempuran terjadi dengan benar-benar seru dan ramai. Biarpun ilmu pedang Ciauw In benar-benar hebat, namun tandingan kali ini merupakan tandingan yang terhebat dan terkuat baginya. Pemuda ini belum memiliki cukup pengalaman dalam pertempuran menghadapi musuh-musuh tangguh dan ketiga orang musuhnya telah memiliki kepandaian tinggi,
Baik lweekangnya maupun gerakan ilmu toya dan pedangnya kuat sekali. Pemuda itu diam-diam mengeluh dan tidak heranlah ia mengapa Sian Kim yang lihai tidak dapat mengalahkan mereka ini. Juga pengeroyokan mereka dilakukan dengan teratur sekali. Kedudukan mereka merupakan segi tiga yang bergerak hidup, karena tiap kali seorang di antara mereka mengubah kedudukan, dua yang lainnya selalu cepat mengatur kedudukan masing-masing hingga selalu mereka merupakan segi tiga yang mengurungkan secara rapat sekali. Liok Sui dan Liok Ban yang memegang toya selalu berusaha menyerang dari jarak jauh, sedangkan Liok Bu Tat yang merasa sakit hati dan nekad karena kematian puteranya itu, menyerang dari jarak dekat dengan mendapat perlindungan dan bantuan kedua orang kakaknya.
Diserang secara begini, sibuk juga Ciauw In menghadapi mereka. Telah ia keluarkan seluruh kepandaiannya dan hanya dengan mengandalkan ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang lebih tinggi tingkatnya dari ketiga orang lawannya, barulah ia dapat menjaga dan tidak dapat dirobohkan, sungguhpun ia merasa amat lelah karena menghadapi tiga senjata yang menyerangnya secara bergantian dan bertubi-tubi. Ciauw In mulai mencari siasat. Diantara ketiga lawannya, yang paling dekat dengannya dan mudah dicapai hanyalah Liok Bu Tat seorang. Ia maklum bahwa mereka bertiga itu saling membantu dan saling menjaga hingga kalau ia menyerang seorang, maka dua orang yang lain lalu serentak menyerangnya untuk menggagalkan serangannya kepada orang pertama.
Ia dapat memperhitungkan bahwa kalau ia terus menerus menjaga diri, ia akan kalah karena tentu ia akan kehabisan tenaga. Maka ia lalu mengambil keputusan nekad untuk mencari kemenangan. Setelah beberapa kali memperhatikan cara serangan mereka, akhirnya tibalah kesempatan itu. Pada saat itu, pedang Liok Bu Tat menusuk dadanya dari depan, sedangkan toya di tangan Liok Sui menyerampang kakinya, toya dari Liok Ban menghantam ke arah belakang kepalanya! Melihat kedudukan mereka ketika melakukan penyerangan ini, Ciauw In cepat mengambil keputusan nekad. Ia menangkis pedang Liok Bu Tat dengan menggetarkan pedangnya, lalu membalas dengan tusukan sambil melompat ke atas untuk menghindarkan diri dari serampangan toya Liok Sui.
Adapun pada saat itu, toya Liok Ban telah menghantam ke arah belakang kepalanya. Kalau ia harus menangkis atau mengelak kemplangan toya terpaksa ia harus menarik kembali serangannya terhadap Liok Bu Tat dan ia tidak mau melakukan hal ini. Sebaliknya, ia lalu miringkan kepalanya dan menerima kemplangan toya itu dengan bahu kirinya pada pangkal lengan yang berdaging sambil mengerahkan lweekangnya! Ia memperhitungkan dengan cepat dan cermat sehingga ketika tusukan pedangnya pada Liok Bu Tat dapat dielakkan oleh lawan dan toya Liok Ban menghantam bahunya dengan keras, tubuhnya terlempar ke arah Liok Bu Tat dengan tepat sekali dan ia lalu menggerakkan pedangnya, meminjam tenaga dorongan toya yang menghantam bahunya itu untuk menubruk Liok Bu Tat yang sama sekali tidak menyangka akan hal ini!
Hampir berbareng terjadinya hal itu, yakni ketika toya mengemplang bahunya, tubuhnya lalu terpelanting dan sesaat kemudian pedangnya berhasil menusuk leher Liok Bu Tat yang roboh mandi darah dan tewas di saat itu juga! Akan tetatpi, Ciauw In merasa betapa bahunya menjadi sakit dan linu sehingga tangan kirinya menjadi kaku dan sukar digerakkan lagi! Akan tetapi ia telah mendapat hati karena berhasil merobohkan Liok Bu Tat, maka ia lalu maju kembali dan memutar pedangnya secara hebat dan ganas. Sebaliknya, Liok Ban yang tadinya merasa girang karena berhasil menghantam bahu lawan dengan toya, menjadi terkejut sekali melihat betapa pemuda itu seakan-akan tidak merasa dan tidak terluka sama-sekali,
Padahal kemplangan toyanya tadi cukup keras untuk menghancurkan batu karang! Ia hanya merasa betapa toyanya membal kembali seakan-akan memukul karet. Dan lebih terkejut lagi ketika ia melihat betapa hasil kemplangannya ini bahkan dipergunakan oleh pemuda lihai itu untuk menewaskan adiknya! Juga Liok Sui merasa kaget dan karena ini, kedua saudara she Liok itu menjadi kacau permainan toyanya. Tanpa adanya Liok Bu Tat yang merupakan penyerang dekat dari bagian depan, maka permainan mereka menjadi kacau balau dan dengan mudah Ciauw In akhirnya berhasil mempergunakan gerak tipu Tiang-ging-king-thian atau Pelangi Panjang Melengkung Di Langit dan merobohkan Liok Ban. Pedangnya telah melukai pundak Liok Ban hingga orang ini roboh dengan pundak hampir putus!
Liok Sui yang paling lihai diantara ketiga Hopak Sam-eng, dengan marah dan nekad mengadakan perlawanan dan segera mengeluarkan ilmu toya Hok-houw-kun-hwat yaitu Ilmu Toya Penakluk Harimau dari cabang Siauw-lim-si, akan tetapi tentu saja dengan seorang diri ia merupakan lawan yang lunak bagi Ciauw In, sungguhpun pemuda ini telah merasa lelah sekali dan bahu kirinya seakan-akan telah mati! Dengan kertak gigi dan bergerak cepat, Ciauw In mengirim serangan-serangan yang paling lihai dari Hoa-san Kiam-hwat, dan akhirnya berhasil pula membuat toya lawannya terpental ke atas dan sebuah tendangan kakinya ke arah perut membuat Liok Sui jatuh terguling-guling dan tak berkutik lagi. Ciauw In terhuyung-huyung karena kini setelah ketiga lawannya roboh baru terasa bahunya yang amat sakit itu dan juga kelelahan tubuhnya, Sian Kim memburu dan memeluk pundaknya.
"Bagaimana, twako, sakitkah pundakmu?"
Tanya gadis ini. Sambil menahan sakit, Ciauw In memandang kepada wajah gadis ini dengan mesra, lalu berkata perlahan,
"Tidak apa-apa, biar berkurban nyawapun aku bersedia untuk membelamu..."
Kemudian ia roboh pingsan dalam pelukan Sian Kim! Gadis ini segera melepaskan tubuh Ciauw In yang roboh terguling di atas tanah, ia mencabut pedangnya dan melompat ke arah tubuh Liok Ban dan Liok Sui yang masih pingsan akan tetapi belum mati. Dua kali ia menggerakkan pedang untuk membunuh dua orang itu, kemudian, dengan pedang yang sudah berlumur darah di dalam tangan, ia menghampiri tubuh Ciauw In yang masih menggeletak tak bergerak ! la angkat pedangnya dan telah siap untuk menutuk dada Ciauw In. Kesempatan itu memang baik sekali baginya.
Sekali saja ia menusuk, akan tamatlah riwayat Ciauw In dan ia tak usah terlalu takut menghadapi dua orang murid Hoa-san yang lain, yang telah membunuh ayahnya dan menghancurkan Hek-lian-pang. Akan tetapi, senyum di bibir Ciauw In membuat ia menunda tusukannya dan ia berpikir. Pemuda ini telah masuk ke dalam perangkapnya, dan baru tadi sebelum pingsan menyatakan bersedia berkurban nyawa untuk membelanya! Bukankah itu merupakan sebuah pernyataan cinta kasih yang besar? Kalau dipikir-pikir lagi, yang menjadi musuh besarnya sesungguhnya hanya Bwee Hiang seorang diri. Ciauw In hanya terbawa-bawa oleh sumoinya itu. Dan daripada membunuh pemuda yang lihai ini, lebih baik kalau ia dapat memperalatnya untuk menjaga dirinya dan bahkan kalau mungkin, untuk mengalahkan Bwee Hiang dan Ong Su!
Dan pula, demikian Sian Kim berpikir sambil menatap wajah pemuda yang tampan itu, sukar, mendapatkan seorang kekasih setampan segagah pemuda pendekar Hoa-san ini! Akhirnya Sian Kim memasukkan kembali pedangnya ke dalam sarung pedang dan ketika ia hendak mengangkat tubuh Ciauw In yang masih pingsan, tiba-tiba pemuda itu menggerakkan tubuhnya dan siuman dari pingsannya. Sian Kim cepat membantunya bangun dan sekelebatan saja Ciauw In dapat melihat bahwa dua orang lawannya yang tadi ia robohkan, kini telah tewas akibat tusukan pedang yang dapat ia duga tentulah perbuatan Sian Kim. Selagi ia hendak menegur, datanglah orang-orang dari kota itu ketika mendengar tentang terjadinya perkelahian yang mengurbankan jiwa empat orang manusia. Melibat hal ini, Sian Kim lalu memegang tangan Ciauw In dan berkata perlahan,
"Lie-Twako, mari kita lari cepat-cepat dari sini!"
Ciauw In melarikan diri, setengah ditarik-tarik tangannya oleh Sian Kim sehingga mereka tiba di luar kota dan berhenti di dalam hutan. Karena telah mempergunakan sisa tenaganya yang telah hampir habis, Ciauw In merasa lelah dan lemas sekali, maka ia lalu menjatuhkan diri di atas rumput. Sian Kim segera berlutut dan mengeluarkan sehelai saputangan hijau yang harum baunya. Dengan mesra ia lalu menyusut muka pemuda itu yang penuh peluh dengan saputangannya dan Ciauw In mencium bau yang amat harum sehingga hatinya berguncang keras.
"Twako... kau telah membalaskan sakit hatiku. Budi yang amat besar ini selama hidup takkan kulupa...,"
Sambil berkata demikian, Sian Kim merobek ujung bajunya dan dengan cekatan sekali ia lalu membuka baju Ciauw In dan memeriksa bahunya yang tadi terpukul. Hampir saja Ciauw In berseru kesakitan, akan tetapi dengan lemah-lembut Sian Kim lalu menggunakan ujung jari tangannya untuk menyentuh bahu yang telah menjadi biru itu, kemudian ia membalut bahu Ciauw In sambil mulutnya yang berada dekat dengan muka pemuda itu berbisik merayu.
"Koko yang baik... sampai mati aku Sian Kim takkan lupa akan budimu yang besar..."
Ketika Ciauw In memandang, ia melihat betapa dua titik air mata yang bening tergantung di bulu mata gadis itu dan Sian Kim mengejap-gejapkan mata untuk mengusir dua titik air mata dari bulu matanya. Melihat betapa gadis yang jelita dan yang amat dikasihinya itu berlulut dekat sekali dan betapa rawatan Sian Kim penuh dengan kemesraan dan cinta kasih, tak tertahan lagi Ciauw In lalu menggunakan jari tangannya menjamah pipi Sian Kim dengan gerakan halus dan mesra sambil berbisik.
"Sian Kim... kau... cantik sekali..."
Warna merah menjalar ke atas dari leher gadis itu, membuat seluruh mukanya menjadi merah sampai ke telinga, kemudian dengan kerling memikat dan senyum malu, ia pura-pura menolak tangan itu dan berbisik kembali.
"Koko... kau juga tampan sekali..."
Demikian mesra keadaan mereka hingga Ciauw In makin mabok dan tenggelam makin dalam, sedikitpun tidak sadar bahwa ia telah masuk ke dalam perangkap yang amat berbahaya. Sian Kim memang pandai sekali merayu hati pemuda yang masih hijau itu, dan setelah selesai membalut pundak Ciauw In dan membereskan pakaian pemuda itu,
Ia kembali mengeluarkan saputangannya yang harum dan berwarna hijau, disapu-sapukan ke muka sendiri, kemudian ia menyapu muka Ciauw In pula dan sengaja beberapa kali manyapukan saputangan di bawah hidung pemuda itu hingga Ciauw In makin tenggelam dalam pengaruh keharuman yang melekat pada saputangan. Ia sama sekali tidak tahu bahwa saputangan itu bukanlah saputangan sembarangan oleh karena bau harum itu sebenarnya adalah bau semacam bunga yang beracun dan yang dapat meracuni tubuh orang secara berangsur-angsur dan tanpa disadari atau dirasainya, tubuh orang yang seringkali menciumnya telah kemasukan racun yang berbahaya! Sian Kim sendiri sudah memakai obat penawar hingga baginya, kembang beracun itu merupakan kembang harum yang tidak berbahaya.
"Twako, mengapa kau begitu memperhatikan nasibku dan demikian mulia hatimu untuk menolong dan membelaku?"
Suaranya penuh rayu dan cumbu. Ciauw In memegang kedua tangan gadis itu dan sambil menatap kedua mata yang jeli itu, ia berkata dengan suara menggetar.
"Moi-moi, aku... aku cinta padamu."
Tiba-tiba Sian Kim merenggutkan kedua tangannya dan memalingkan mukanya.
"Mengapa, moi-moi...? Marahkah kau...?"
Sian Kim menggeleng kepala, dan ketika ia memandang kembali kepada pemuda itu, Ciauw In melihat betapa kedua mata gadis itu menjadi basah oleh air mata.
"Koko, benar-benarkah ucapanmu tadi?"
"Mengapa tidak benar? Aku bersumpah, demi kehormatanku sebagai seorang gagah!"
"Benar-benarkah kau mencintaku, sungguhpun akan kau ketahui bahwa aku adalah seorang bekas penjahat...?"
Ciauw In terkejut, akan tetapi dengan suara pasti ia berkata.
"Adapun yang telah terjadi atau akan terjadi, aku tetap mencintamu, moi-moi, mencinta sepenuh jiwaku. Sebagai seorang laki-laki yang menjunjung tinggi kegagahan, aku tidak pernah jatuh cinta, akan tetapi sekali aku memberikan hatiku, aku akan tetap mempertaruhkan jiwaku demi cinta kasihku."
"Takkan berubahkah hatimu apabila kelak kau ketahui bahwa aku adalah seorang yang mempunyai banyak dosa?"
"Aku tidak percaya, moi-moi. Kau adalah seorang yang mulia, cantik dan... yang kucinta semenjak pertemuan kita pertama kali."
"Terima kasih, Koko, kau memang baik dan mulia sekali. Sudah sepatutnya kalau aku yang menerima budimu, merasa bersyukur bahwa kau pemuda yang gagah perkasa ternyata mencinta seorang gadis hina dan bodoh seperti aku."
Dengan amat girang, Ciauw In menerima kepala dengan rambut harum itu yang disandarkan ke dadanya. Mereka berdua tidak bergerak, tenggelam dalam laut asmara yang memabokkan.
"Koko, dulu kau telah merampas ikat rambutku, di manakah saputangan itu sekarang?"
Ciauw In merogoh sakunya dan mengeluarkan saputangan itu.
"Lihat, semenjak saat itu, aku tak pernah terpisah dari saputangan ini, kekasihku,"
Katanya berbisik. Sian Kim mengambil saputangan itu dari tangan Ciauw In dan menukarnya dengan saputangannya sendiri yang berbau harum.
"Selanjutnya, kau pakailah saputanganku ini, koko!"
Ciauw In menerima saputangan hijau itu dan menempelkannya di depan hidungnya.
"Alangkah harumnya saputanganmu ini, entah bunga apakah yang demikian harum baunya."
Berulang-ulang ia menyedot bau harum itu sepuas-puasnya, tidak tahu bahwa dengan jalan demikian, makin banyaklah racun yang terisap olehnya dan meracun paru-parunya.
"Koko, kalau kau benar-benar mencintaku, harap kau jangan kembali dulu ke Hoa-san."
"Kenapa begitu, adikku? Aku ingin sekali cepat-cepat pulang untuk minta kepada suhu agar supaya segera meminangmu dan agar kita dapat segera menjadi suami-isteri yang sah!"
Akan tetapi Sian Kim menggeleng kepala.
"Jangan dulu, koko. Aku masih ingin merantau, merantau berdua dengan kau, menikmati kebahagiaan ini."
Terpaksa Ciauw In menurut. Pemuda ini sudah tunduk betul-betul dan ia merupakan tanah lempung yang lunak dalam tangan Sian Kim yang mulai menjalankan siasatnya yang kejam dan penuh tipadaya ini. Orang yang pernah melihat dan memperhatikan cara seekor laba-laba menangkap kurbannya, tentu akan tahu betapa setelah kurban itu tertangkap oleb jaring laba-laba, binatang itu lalu akan melibat-libat tubuh kurbannya dengan jaring-jaring putih halus sehingga kurban itu tak dapat lepas lagi untuk kemudian dihisap seluruh darahnya sampai kering. Demikianpun cara Sian Kim menawan Ciauw In. Sedikit demi sedikit ia melontarkan tali-tali jaring yang halus berupa senyum manis, kerlingan mata tajam dan sikap yang mesra mencinta hingga makin lama hati Ciauw In makin terikat membuat pemuda itu tak berdaya dan seakan-akan menjadi buta.
Pemuda ini tidak hanya terpikat dan mencinta secara membuta, bahkan telah tergila-gila! Akan tetapi, betapapun juga, Ciauw In memang bukan pada dasarnya berhati kotor, maka ia selalu menjaga batas-batas kesopanan dan betapapun ia tergila-gila, ia masih mempertahankan diri dan menjaga kesusilaan. Hal inilah yang mengesalkan hati Sian Kim, oleh karena gadis jelita ini memang mempunyai sifat-sifat cabul dan tak tahu malu hingga ia telah menjadi hamba daripada nafsunya sendiri. Beberapa kali, pada waktu mereka berdua tiba di sebuah kota, ketika memesan kamar hotel, Sian Kim mendahuluinya dan hanya memesan sebuah kamar untuk mereka berdua. Tentu saja Ciauw In lalu menegurnya setelah mereka berada berdua di dalam kamar.
"Kim-moi, mengapa hanya memesan satu kamar? Tak baik bagi kita untuk tinggal sekamar."
Diam-diam Sian Kim merasa mendongkol sekali.
"Kenapa tidak baik. Bukankah kita saling mencinta?"
"Biarpun demikian, kita belum menjadi suami isteri dan adalah berbahaya sekali apabila kita tinggal sekamar, moi-moi,"
Kata Ciauw In terus terang karena sesungguhnya ia belum tahu bahwa hal ini memang disengaja oleh Sian Kim dalam usahanya menjerumuskan pemuda itu makin dalam.
"Aku berani menghadapi bahaya itu!"
Kata Sian Kim dengan sikap menantang dan melempar lirikan tajam yang penuh arti. Akan tetapi dengan muka merah sekali oleh karena jengah dan malu-malu. Ciauw In berkata pula,
"Jangan, moi-moi. Kau terlalu cantik dan aku tidak percaya kepada kelemahan hatiku sendiri."
Sian Kim tersenyum girang dan mendekati pemuda itu lalu memegang pundaknya dengan mesra dan sikap memikat.
"Koko, kau tentu pernah mendengar dongeng tentang Siong Kang dan Lan Bwee?"
Ciauw In makin merasa jengah. Tentu saja ia tahu akan dongeng kuna itu yang menceritakan betapa untuk membalas budi Siong Kang pemuda yang telah menolong dirinya,
Lan Bwe sampai melarikan diri dari rumah dan mengikuti pemuda itu sungguhpun karenanya ia dibenci dan dikutuk oleh orang tuanya. Dengan ucapan ini, ternyata bahwa Sian Kim hendak menyatakan tentang cinta kasihnya yang besar dan bahwa ia sudah menyerahkan jiwa raganya bulat-bulat kepada Ciauw In! Terpaksa pemuda itu mengalah, namun tetap saja Sian Kim tak dapat mencapai maksudnya, karena setiap kali mereka bermalam bersama, pemuda itu selalu memisahkan diri dan bahkan rela tidur di atas lantai! Sama sekali tidak berani mendekati Sian Kim! Hal ini membuat hati gadis itu menjadi makin penasaran dan gemas, sungguhpun diam-diam ia merasa kagum kepada Ciauw In yang teguh menjaga kesopanan. Alangkah jauh bedanya pemuda ini dengan pemuda-pemuda lain yang pernah dikenalnya!
"Sebetulnya kau Hendak mengajak aku merantau kemanakah, moi-moi?"
Tanya Ciauw In beberapa hari kemudian setelah mereka merantau jauh ke selatan.
"Aku ingin mengunjungi Ouwciu di Propinsi Kwisai, dan mencari Hui Kok Losu,"
Jawab Sian Kim.
"Ada keperluan apakah dengan dia dan siapa pula Hui Kok Losu itu?"
"Dia adalah ciangbunjin (ketua) dari perkumpulan Kim-hauw-bun di Ouwciu."
Ciauw In memang belum luas pengetahuannya, maka ia tidak kenal nama ini.
"Bolehkah aku mengetahui apa maksudmu mencari dia?"
Sian Kim tersenyum manis.
"Tentu saja kau boleh tahu. Semua urusanku adalah urusanmu juga, bukan? Tak perlu aku menyimpan rahasia. Juga kurasa sekarang sudah waktunya bagiku untuk membuka rahasiaku sendiri. Koko, kuharap kau jangan kaget dan lebih-lebih kuharap jangan kau membenciku setelah mendengar ini."
"Adikku yang manis, betapapun juga, aku takkan dapat membencimu. Kau telah tahu akan hal ini dan sudah beberapa kali kukatakan kepadamu. Cintaku kepadamu tak dapat diukur besarnya."
Sian Kim tersenyum lagi, kemudian ia maju dan memegang lengan tangan pemuda itu dengan gaya manis.
"Koko, benar-benar kau tidak akan marah?"
Ciauw In menggunakan tangannya untuk membelai rambut yang hitam halus dan berbau harum itu, lalu berkata,
"Tidak, Kim-moi, aku berjanji takkan marah."
"Dulu, lama sekali kira-kira dua tahun yang lalu."
Sian Kim mulai menuturkan riwayatnya dengan amat hati-hati.
"aku pernah menjadi ketua dari sebuah perkumpulan."
"Ketua yang amat cantik seperti kau jarang terdapat,"
Kata Ciauw In sambil menatap wajah yang makin cantik saja baginya itu.
"Sebagaimana seringkali terjadi,"
Sian Kim melanjutkan ceritanya.
"perkumpulan suka bentrok dengan perkumpulan lain. Demikian pula telah terjadi bentrokan antara perkumpulanku dengan perkumpulan Kim-houw-bun. Soalnya biasa saja, antara anggauta dengan anggauta, ketika mereka sedang main barongsai di waktu hari tahun baru. Aku sebagai ketua perkumpulan tentu saja membela anggauta sendiri, demikian pula Hui Kok Losu, ciangbun dari Kim-houw-bun. Bentrokan ini akhirnya menjadi pertempuran pibu (adu kepandaian) antara aku dan ciangbun dari Kim-houw-bun itu dan aku kalah!"
Perhatian Ciauw In sebagian besar ditujukan untuk mengagumi bibir indah yang bergerak-gerak bicara itu dan mata bintang yang memandangnya dengan sayu merayu hingga ia hanya dapat menangkap sebagian saja daripada yang diceritakan oleh Sian Kim. Akan tetapi mendengar kekalahan ini, ia merasa heran juga. Bukan sembarang orang dapat mengalahkan kekasihnya ini.
"Lalu bagaimana?"
Tanyanya mulai menaruh perhatian.
"Ketika dikalahkan, aku berjanji bahwa pada suatu hari aku akan mengunjunginya di Ouwciu untuk mengadu kepandaian sekali lagi dan aku mengandalkan bantuanmu untuk menebus kekalahan itu."
Ciauw In tersenyum.
"Ah, hal ini tak perlu disusahkan. Jangankan baru menghadapi seorang ciangbunjin, biarpun harus menghadapi sepuluh orang ketua perkumpulan, aku bersedia untuk membelamu."
Sian Kim dengan muka girang sekali dan berseri-seri lalu meremas tangan Ciauw In sambil berkata.
"Kokoku yang baik, aku...aku cinta padamu..."
Ciauw In makin mabok dan merasa seakan-akan ia menjadi seorang yang paling berbagia di dunia ini. Mereka lalu melanjutkan perjalanan ke Ouwciu yang tidak begitu jauh lagi letaknya dari situ. Ciauw In yang sudah tergila-gila itu sampai lupa untuk mendesak dan mengetahui lebih banyak tentang keadaan perkumpulan Sian Kim, dan sama sekali ia belum pernah menduga bahwa gadis ini adalah ketua perkumpulan Hek-lian-pang dan menjadi puteri dari Gu Ma Ong musuh besar Bwee Hiang! Dan Sian Kim yang sudah membuka sedikit rahasianya itu, masih belum berani untuk membuka lebih lebar dan belum berani mengaku bahwa sebetulnya ia mempunyai dendam permusuhan besar dengan adik seperguruan pemuda itu. Sebetulnya apa yang ia ceritakan kepada Ciauw In tadi memang ada benarnya, yakni bahwa perkumpulan Kim-houw-bun ada permusuhan dengan Hek-lian-pang dan dengan dia pada khususnya.
Akan tetapi, sebab-sebab permusuhan itu kembali ia putar-balikkan. Memang terjadi permusuhan dan adu kepandaian antara dia dan Hui Lok Losu, akan tetapi sama sekali bukan karena permainan barongsai. Pertempuran yang terjadi antara anak buah Hek-lian-pang dan anak buah Kim-houw-bun terjadi sebagai akibat saja daripada sebab-sebab pertama. Pada waktu itu, seperti biasa di waktu perayaan pesta menyambut datangnya musim semi (musim Chun) yang juga disebut Tahun Baru, banyak pemain-pemain barongsai dari kota lain datang untuk bermain barongsai di kota tempat tinggal Hek-lian-pang. Sian Kim yang melihat betapa di antara pemain-pemain anggauta Kim-houw-bun ini terdapat seorang pemuda yang amat gagah dan tampan, lalu timbul hatinya yang dikuasai oleh nafsu jahat dan segera mengadakan perhubungan dengan pemuda Kim-houw-bun itu.
Hal ini diketahui oleh para anggautanya yang segera menjadi marah kepada pemuda itu dan timbullah benci dalam hati mereka terhadap Kim-houw-bun. Maka ketika kedua fihak bertemu dalam waktu bermain barongsai, tak dapat dicegah lagi timbul pertempuran hebat. Sian Kim tadinya tidak mau ambil perduli tentang hal ini, akan tetapi tidak demikian dengan ketua Kim-houw-bun. Sebagai ketua perkumpulan pendatang, tentu saja ia tidak mau para anggautanya mendapat hinaan dari orang lain, apalagi ketika ia mendengar bahwa hal itu terjadi oleh karena kecabulan ketua Hek-lian-pang, maka ia segera datang dan menantang ketua perkumpulan Hek-lian-pang. Dalam pertempuran yang hebat sekali, akhirnya Sian Kim harus mengakui keunggulan Kim-houw-ciang-hwat (Ilmu Tombak Harimau Emas) dari ketua Kim-houw-bun (Perkumpulan Harimau Emas) itu dan berjanji akan menuntut balas.
Sebetulnya, perkumpulan Kim-houw-bun adalah sebuah perkumpulan yang terkenal dan semua penduduk memandang tinggi perkumpulan yang dipimpin oleh Hui Kok Losu, oleh karena perkumpulan itu memang telah banyak melakukan perbuatan baik yang menolong penduduk kota Ouwciu dan sekitarnya. Juga nama Hui Kok Losu sebagai seorang ahli tombak telah banyak dikenal di dunia kang-ouw dan ia dianggap sebagai seorang lo-enghiong (orang tua gagah) yang disegani dan dihormati. Kepandaian ilmu tombaknya adalah ilmu tombak keturunan dan yang berasal dari ilmu tombak Lian-hoan-coa-kut-chio (Tombak Tulang Ular) yang pernah menggemparkan dunia persilatan. Hui Kok Losu adalah murid tunggal dari Sin-chio Siauw Kiat Si Tombak Malaikat, yakni pencipta dari ilmu tombak Lian-hoan-coa-kut-chio dan karena Hui Kok Losu juga mempelajar berbagai macam ilmu silat,
Maka ia lalu mencipta semacam ilmu tombak yang dijadikan ilmu tombak keturunan keluarga Hui, yakni ilmu tombak Kim-houw-ciang-hwat itu. Pada waktu Sian Kim dan Ciauw In datang ke rumah perkumpulan Kim-houw-bun, kebetulan sekali Hui Kok Losu sedang keluar kota, mengunjungi seorang sahabat baiknya di sebuah dusun tak jauh dari kota Ouwciu. Sahabatnya inipun seorang pendekar tua yang kenamaan, bernama Ma Sian dan bergelar Lui-cin-tong (Pacul Kilat) dan menjadi seorang petani setelah mengundurkan diri dari dunia kang-ouw. Seringkali kedua orang tua itu saling kunjung-mengunjungi untuk mengobrol sambil minum arak dan main tioki (catur). Ketika Sian Kim dan Ciauw In tiba di depan rumah besar yang memakai papan besar dengan tulisan yang amat indah dan gagah "Kim-houw-bun-kwan"
Atau Rumah Perkumpulan Macan Emas, Sian Kim lalu berkata dengan senyum sindir.
"Sekarang boleh menjadi macan emas, akan tetapi sebentar lagi kau akan menjadi macan mampus!"
Setelah berkata demikian, ia melompat ke atas dan sekali ia ayun tangan memukul dengan telapak tangannya, terdengar suara keras "praak!"
Dan papan itu terpukul pecah menjadi beberapa potong dan jatuh ke atas tanah. Pada waktu itu, di ruang depan perkumpulan duduk beberapa orang pemuda anggauta Kim-houw-bun yang menjadi anak murid Hui Kok Losu.
Tadi merekapun melihat datangnya seorang gadis cantik berpakaian hitam bersama seorang pemuda tampan yang berhenti di depan rumah perkumpulan mereka, maka seperti biasanya para pemuda melihat wanita muda yang cantik jelita, mereka menghentikan percakapan dan memandang kepada Sian Kim dengan kagum. Akan tetapi, alangkah terkejut hati mereka ketika melihat betapa nona cantik itu telah melompat dan sekali pukul menghancurkan papan nama perkumpulan mereka! Dengan cepat empat orang pemuda itu segera memburu keluar. Mereka merasa marah sekali, akan tetapi ketika mereka sudah datang dekat, seorang diantara mereka mengenal nona baju hitam ini oleh karena ia dulu juga ikut dalam permainan barongsai ketika perkumpulannya melawat ke kota Ban-hong-cun dan terjadi pertempuran dengan perkumpulan Hek-lian-pang.
"Siapakah kau yang telah berani mengacau di sini?"
Seorang diantara mereka membentak. Akan tetapi pemuda yang telah mengenal Sian Kim, lalu berkata sambil tersenyum penuh arti oleh karena iapun maklum akan kecabulan nona ini yang dulu telah mengadakan hubungan gelap dengan seorang murid Kim-houw-bun sehingga timbul permusuhan, berkata kepada Sian Kim.
"Hek-lian Niocu, apakah kau datang hendak mencari Gan-suheng!"
Sambil berkata demikian, ia tersenyum-senyum. Yang disebutnya Gan-suheng adalah pemuda yang dulu mengadakan perhubungan dengan Sian Kim, maka tentu saja Sian Kim menjadi marah sekali karena kuatir kalau-kalau rahasia ini akan terbuka di depan Ciauw In.
"Aku tidak kenal dengan segala suhengmu!"
Sian Kim membentak dan sebelum pemuda itu membuka mulut lagi, ia telah mendahului.
"Suruh tua-bangka she Hui keluar agar ia membayar penghinaannya dahulu kepadaku!"
"Kau sudah menjadi pecundang, mengapa datang-datang berlagak sombong dan merusak papan nama perkumpulan kami?"
Orang itu berkata lagi dan ia melakukan kesalahan besar dengan ucapan yang memandang rendah ini karena tiba-tiba tangan Sian Kim bergerak dan pemuda itu menjerit kesakitan sambil menggunakan kedua tangan menutup mulutnya yang berdarah. Ternyata tamparan Sian Kim telah membuat pipinya bengkak dan beberapa buah giginya copot! Tiga orang kawannya menjadi marah dan karena mereka ini termasuk orang-orang baru di Kim-houw-bun, maka mereka belum mengenal adanya Sian Kim. Dengan cepat mereka mencabut pedang dan menyerang Sian Kim.
Akan tetapi gadis itu dengan gerakan kilat mendahului mereka dan tiga kali ia menyerang, tiga orang itu terlempar dan mengaduh-aduh karena masing-masing telah menerima persenan berupa pukulan dan tendangan yang membuat mereka roboh tak dapat bangun kembali! Ciauw In melihat semua ini sambil tersenyum saja, oleh karena ia telah dapat dibujuk oleh Sian Kim yang menceritakan bahwa semua anggauta Kim-houw-bun terdiri dari orang-orang jahat. Dan memang tadi ia melihat lagak pemuda yang memandang rendah dan kurang ajar terhadap Sian Kim yang dicintainya. Teriakan kesakitan dari empat orang yang telah merasai bekas tangan Sian Kim terdengar oleh orang-orang di dalam rumah perkumpulan itu maka tak lama kemudian serombongan anggauta Kim-houw-bun yang terdiri dari dua belas orang menyerbu keluar.
Di antara mereka ini terdapat empat orang murid yang sudah setengah tua dan yang memiliki kepandaian lumayan, bahkan mereka sering mewakili Hui Kok Losu mengajar murid-murid yang baru. Melihat empat orang murid muda menggeletak sambil merintih-rintih dan seorang nona baju hitam berdiri bertolak pinggang didampingi seorang pemuda yang cakap, mereka segera berlari menghampiri. Empat orang murid kepala itu segera mengenal Sian Kim dan tanpa bertanya mereka tahu bahwa nona ini tentu datang untuk membalas kekalahannya yang dulu dan telah merobohkan empat orang kawan mereka. Mereka menjadi marah sekali dan dua orang diantaranya lalu berlari masuk lagi mengambil empat batang tombak yang segera diberikan kepada kawan-kawannya.
"Hek Lian Niocu kau sungguh kurang ajar!"
Teriak seorang diantaranya dan segera ia mendahului kawan-kawannya menggerakkan tombak menyerang Sian Kim. Serangannya lihai dan ia telah menggunakan gerak tipu Yan-cu-liok-sui (Burung Walet Memukul Air). Ujung tombaknya menusuk ke arah perut Sian Kim dengan gerakan yang amat kuat hingga ujung tombak ini menggetar dan mengeluarkan angin cukup keras! Akan tetapi Sian Kim sambil tertawa berkata,
"Tikus kecil, kau berani menghadapi aku?"
Pada saat ujung tombak menyambar perut, tiba-tiba Sian Kim bahkan melangkahkan kaki kiri ke depan sambil miringkan tubuh dan mengganti kedudukan kakinya. Gerakannya cepat dan hatinya tabah sekali hingga tombak itu meluncur dekat sekali dengan perutnya, hanya terpisah satu dim saja! Akan tetapi oleh karena ia melangkah maju, maka ia berada dekat dengan lawannya dan sebelum lawan itu mendapat kesempatan menarik kembali tombaknya, Sian Kim telah bergerak mendahuluinya dengan gerak tipu Bi-jin-to-hwa (Wanita Cantik Mametik Bunga). Tangan kanan cepat memegang batang tombak dan menariknya ke belakang hingga tenaga tusukan lawan yang belum ditarik kembali itu (Lanjut ke Jilid 05)
Pendekar Dari Hoasan/Hoasan Tayhiap (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 05
Pendekar Dari Hoasan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ditambah dengan tenaga tarikannya membuat tubuh lawan terbungkuk ke depan.
Sian Kim menggunakan tangan kirinya untuk dipukulkan ke arah dada orang! Lawannya menjadi terkejut sekali akan tetapi sebagai murid kepala dari Hui Kok Losu, tentu saja ia tidak membiarkan dirinya dijatuhkan dalam segebrakan saja. la cukup memiliki kegesitan hingga dengan cepat sambil mengeluarkan seruan keras ia berjungkir balik ke belakang dengan gerakan Koat-hoan-sin (Siluman Naga Berjungkir Balik) hingga tubuhnya terluput dari pukulan Sian Kim, akan tetapi tentu saja ia harus melepaskan tombaknya! Sian Kim tersenyum manis dan sekali ia menekuk tangannya, tombak itu melengkung dan "trak!!"
Patahlah tombak itu pada tengah-tengahnya. Sian Kim melempar potongan tombak ke atas tanah sambil tersenyum menghina, lalu berkata.
"Tikus-tikus kecil jangan membikin ribut saja. Lekas panggil keluar tua bangka she Hui untuk menerima beberapa gamparan!"
"Perempuan cabul jangan bertingkah!"
Teriak seorang murid kepala Kim-houw-bun dan segera ia bersama kawan-kawannya maju menggerakkan tombaknya. Marahlah hati Sian Kim mendengar makian ini, maka ia menggerakkan tangannya dan "sret!"
Pedangnya telah ditarik keluar. Matanya berapi-api dan mukanva menjadi merah.
"Bangsat-bangsat Kim-houw-bun! Kalau hari ini aku tidak berhasil membasmi kalian kutu-kutu busuk, jangan panggil aku Gu Sian Kim lagi!"
Sehabis berkata demikian, tubuhnya berkelebat didahului sinar pedang di tangannya yang bergerak bagaikan kilat halilintar membagi maut! Beberapa batang golok dan pedang para pengeroyok dapat dibikin terpental atau bahkan terlempar berikut sebelah tangan yang tadi memegangnya akan tetapi yang kini terbabat putus oleh pedang Sian Kim! Jerit kesakitan terdengar susul menyusul dan tubuh para pengeroyok roboh seorang demi seorang dengan cepatnya.
Ilmu silat murid-murid Kim-houw-bun bukanlah rendah, akan tetapi menghadapi ilmu pedang Hek-lian-kiam-hwat yang ganas dan lihai, mereka itu tidak berdaya sama sekali. Sebentar saja, tujuh orang anak murid yang kepandaiannya belum tinggi betul telah roboh mandi darah, bahkan tiga orang diantara mereka telah tewas pada saat itu juga! Ciauw In semenjak tadi hanya menonton saja oleh karena ia maklum bahwa nona kekasihnya itu tak perlu dibantu. Akan tetapi melihat betapa para pengeroyok telah menjadi kurban keganasan ilmu pedang Sian Kim, sungguhpun ia menganggap mereka sebagai orang-orang jahat yang perlu diberi hajaran, akan tetapi hatinya merasa tidak tega juga. Maka ia cepat melompat dan menggerakkan tangannya hingga dua batang tombak di tangan murid-murid tua dapat terampas olehnya.
"Tahan dan mundur semua!"
Teriak Ciauw In. Tiga orang murid kepala yang belum roboh ketika melihat betapa dua batang tombak mereka dapat dirampas oleh pemuda itu dengan sekali renggut saja, menjadi terkejut dan segera mundur dengan jerih. Tak mereka sangka bahwa pemuda kawan Sian Kim itu mempunyai kelihaian yang bahkan lebih hebat daripada kepandaian nona yang ganas itu. Juga Sian Kim menahan pedangnya dan memandang dengan senyum simpul kepada musuh-musuhnya.
"Kalian harus tahu bahwa kalau pertempuran ini dilanjutkan, tak seorangpun diantara kalian yang akan keluar dengan tubuh utuh!"
Kata Ciauw In.
"Mengapa tidak melihat gelagat dan mundur sebelum tewas? Kami datang untuk bertemu dan mengajak pibu ketua Kim-houw-bun, bukan untuk menghadapi kalian yang tak berkepandaian!"
"Suhu sedang keluar kota, akan tetapi telah diberitahu, maka kalau kalian berdua benar-benar gagah, tunggulah sebentar kedatangan suhu yang akan membalas kejahatan ini!"
Kata seorang diantara mereka.
"Baik, kami akan menunggu di sini!"
Jawab Ciauw In yang segera memberi tanda kepada Sian Kim untuk menyimpan kembali pedangnya. Gadis ini tersenyum menyindir, akan tetapi ia tidak membantah. Dimasukkannya pedang itu di sarung pedangnya dan bersama Ciauw In ia berdiri menjauhi tempat itu. Para anggauta Kim-houw-bun yang tidak terluka lalu sibuk menolong kawan-kawan mereka dan menggotong mereka ke dalam rumah perkumpulan untuk dirawat dan diobati, sedangkan Ciauw In dan Sian Kim berdiri saja melihat pekerjaan mereka itu.
"Moi-moi, mengapa kau menurunkan tangan kejam kepada mereka? Seharusnya kita bergebrak menghadapi Hui Kok Losu saja."
Ciauw In menyatakan penyesalannya, akan tetapi Sian Kim memandangnya dengan tajam dan berkata.
"Koko, tak dengarkah kau tadi betapa mereka itu menyebutku dangan kata-kata kotor? Siapa yang kuat menahan kemarahan mendengar makian mereka? Untuk menghadapi tikus-tikus busuk itu aku tidak memerlukan bantuanmu dan kalau nanti Hui Kok Losu datang, barulah mungkin aku membutuhkan bantuanmu!"
Ciauw In tidak menjawab, hanya diam-diam ia menarik nafas karena ia tidak berdaya. Memang ia tadipun merasa marah sekali mendengar betapa kekasihnya disebut "perempuan lacur", akan tetapi ia merasa bahwa sebutan itu tak boleh dijadikan alasan untuk membunuh tiga orang dan melukai orang sedemikian banyaknya.
"Koko, kau marah kepadaku?"
Sian Kim bertanya ketika melihat pemuda itu diam saja. Ciauaw In menggeleng kepala.
"Tidak, Kim-moi, aku tidak marah. Mungkin kau benar karena mereka itu memang orang-orang jahat yang harus diberi hajaran keras. Mudah-mudahan kini mereka merasa kapok dan takkan berani berlaku sewenang-wenang dan kurang ajar pula. Yang kupikirkan adalah Hui Kok Losu, karena aku sungguh ingin sekali lekas bertemu dan mencoba ilmu kepandaiannya. Aku merasa heran sekali mengapa seorang dengan ilmu kepandaian seperti kau dapat kalah olehnya."
Sian Kim merasa girang sekali karena pemuda itu tidak menjadi marah, maka ia lalu menuturkan dengan singkat tentang kegagahan Hui Kok Losu.
"Hui Kok Losu memiliki ilmu tombak yang disebut Kim-houw-ciang-hwat dan dengan ilmu tombak yang diciptanya sendiri itu ia telah malang melintang di dunia kang-ouw tanpa menemui tandingan. Selain keahliannya dalam ilmu tombak ini, iapun mempunyai pengertian yang dalam tentang ilmu pedang hingga ia tidak kuatir menghadapi lawan yang berpedang. Selain itu, seperti dapat kau lihat pada murid-muridnya tadi, ia pandai segala macam permainan senjata tajam yang diajarkan kepada murid-muridnya menurut bakat masing-masing. Kalau aku tidak salah ingat, pernah kumendengar dia mengalahkan kepala rarnpok Oei Sam si Golok Emas di bukit Hong-na-san!"
Keterangan ini tidak berarti banyak bagi Ciauw In karena ia tidak kenal siapa adanya Oei Sam Si Golok Emas itu akan tetapi cukup mendatangkan kesan bahwa Hui Kok Losu tentu benar-benar lihai hingga kegembiraannya makin bertambah untuk segera mencoba kepandaian ketua Kim-houw-bun itu.
Kalau saja ia tidak sedang mabok asmara dan memiliki lebih banyak pengalaman hingga sudah kenal atau mendengar bahwa Oei Sam yang disebut oleh Sian Kim itu adalah seorang perampok jahat yang amat kejam, tentu setidaknya akan timbul keheranan di dalam hatinya mengapa Hui Kok Losu yang disebut jahat oleh Sian Kim itu sampai bisa bertempur mengalahkan Oei Sam! Seorang yang memusuhi penjahat besar biasanya hanya orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan dan menjadi pembela rakyat serta pembasmi kejahatan. Akan tetapi sayang, Ciauw In tidak berpikir sejauh itu hingga ia masih saja belum sadar. Mereka berdua tak usah lama menanti oleh karena tak lama kemudian, terdangar suara kaki kuda mendatangi dan dua orang penunggang kuda memasuki pintu gerbang pekarangan itu.
"Nah, yang berbaju biru itu adalah Kim-houw-ciang-bun Hui Kok Losu!"
Kata Sian Kim.
"Orang kedua entah siapa karena aku belum pernah melihatnya."
Ciauw In memandang dengan penuh perhatian dan melihat bahwa orang yang disebut Kim-houw ciangbunjin (Ketua Perkumpulan Macan Emas) adalah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, bertubuh sedang dengan memiliki sepasang mata yang amat tajam berpengaruh. Sikapnya gagah sekali dan biarpun sudah tua, akan tetapi ketika ia melompat turun dari kudanya, gerakannya masih sigap sekali. Orang kedua juga bukan orang sembarangan, karena walaupun usianya bahkan lebih tua dari Hui Kok Losu dan pakaiannya sederhana sebagai seorang petani yang bertopi besar, akan tetapi ketika turun dari kuda, ia bergerak dengan tubuh ringan sekali. Sehingga dengan mudah Ciauw In dapat menduga bahwa ia tentulah seorang yang memiliki ilmu ginkang yang sudah amat tinggi tingkatnya. Orang kedua ini bukan lain ialah Lui cin tong Ma Sian si Pacul Kilat.
Gagang paculnya yang kecil nampak di belakang punggungnya dan melihat benda ini, Ciauw In makin terheran karena biarpun ia pernah mendengar dari suhunya bahwa pacul yang menjadi alat pertanian ini memang dapat digunakan sebagai senjata akan tetapi kalau tidak memiliki ginkang dan kepandaian tinggi, senjata ini bukanlah senjata yang berbahaya, bahkan sukar sekali dimainkannya. Maka ia dapat menduga bahwa petani tua ini tentu seorang yang lihai hingga ia makin bersikap hati-hati. Sementara itu, seorang murid kepala yang menyambut kedatangan Hui Kok Losu, lalu bicara berbisik-bisik kepada suhunya yang mukanya berubah menjadi pucat. Hui Kok Losu hanya sekali saja melirik ke arah Sian Kim tanpa memandang kepada Ciauw In kemudian langsung berlari masuk ke dalam gedungnya, diikuti oleh petani tua tadi. Ciauw In dan Sian Kim maklum bahwa orang tua itu tentu mendengar tentang kekalahan muridnya dan kini hendak melihat keadaan murid-muridnya itu.
Dengan tenang Sian Kim menanti, sedangkan di dalam hatinya, Ciauw In berdebar-debar karena ia maklum bahwa apabila ketua Kim-houw-bun itu melihat murid-muridnya yang mati dan terluka, tentu ia akan marah sekali dan perkelahian yang akan ditempuh ini tentu akan merupakan pertempuran mati-matian! Benar saja dugaannya, tak lama kemudian Hui Kok Losu keluar lagi dengan muka merah diikuti oleh murid-muridnya dan didampingi pula oleh Lui-cin-tong Ma Sian yang juga amat marah melihat kekejaman musuh yang datang. Setelah berhadapan dengan Sian Kim, Hui Kok Losu lalu menuding ke arah muka nona itu dan berkata,
"Hek-lian-niocu! Kau benar-benar tak tahu malu! Dulu adalah aku yang merobohkan kau dan kalau kau datang hendak mengadakan pembalasan dan menyelesaikan perhitungan lama, mengapa kau mengganggu murid-muridku, bahkan melukai tujuh orang dan menewaskan tiga nyawa?"
"Orang she Hui! Mudah saja kau bicara. Lupakah kau bahwa dulu juga banyak sekali anggauta-anggauta perkumpulanku yang tewas karena murid-muridmu? Kematian tiga orang anggauta Kim-houw-bun anggaplah saja sebagai penebusan dosa yang dulu. Pula, kalau orang-orangmu yang kurang ajar itu tidak mengeluarkan kata-kata busuk, akupun tak sudi mengotorkan tangan membunuh kutu-kutu busuk itu. Sekarang tak perlu kau banyak cakap, kita telah berhadapan dan aku membawa seorang kawan untuk menghadapimu, membalas kekalahan yang dulu!"
Hui Kok Losu mengalihkan pandang matanya yang penuh hawa marah kepada Ciauw In yang masih bersikap tenang. Melihat sikap pemuda yang nampak lemah ini, ia maklum bahwa pemuda ini tentulah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, karena makin lemah nampaknya seorang ahli silat, makin tinggilah ilmu kepandaiannya. Pula, ia tahu akan kelihaian Sian Kim yang hanya kalah pengalaman apabila dibandingkan dengan dia sendiri, maka setelah kini gadis itu membawa seorang pembantu, tentulah pembantu ini lebih tinggi daripada Sian Kim! Ia lalu menjura dan bertanya kepada Ciauw In.
"Bolehkah aku mengetahui namamu yang gagah?"
Sebelum Ciauw In sempat menjawab, ia didahului oleh Sian Kim yang tertawa sambil menjawab pertanyaan itu.
"Hui Kok Losu! Kami bukanlah jago-jago kawakan seperti kau yang sudah memiliki nama tinggi! Kawanku ini adalah Hoa-san Taihiap Lie Ciauw In yang sungguhpun namanya tidak sebesar namamu, akan tetapi aku tanggung dalam beberapa jurus saja tombak karatan di tanganmu akan patah-patah oleh pedangnya!"
Hui Kok Losu terkejut mendengar bahwa pemuda itu adalah seorang murid Hoa-san-pai. Ia telah mendengar kebesaran nama Ho Sim Siansu yang selain gagah dan sakti, juga amat terkenal sebagai seorang tua bijaksana yang amat dikagumi dunia persilatan. Maka ia segera berkata lagi kepada Ciauw In.
"Ah, kiranya seorang murid dari Ho Sim Siansu! Akan tetapi sungguh heran mengapa seorang murid Hoa-san-pai dapat bersama-sama dengan seorang perempuan hina dina seperti Hek-lian-niocu?"
Marahlah hati Ciauw In mendengar ini, maka ia lalu menjawab,
"Lo enghiong (orang tua gagah), seorang gagah tidak sudi mencampuri urusan pribadi orang lain dan kiranya aku bebas untuk bergaul dengan siapapun juga! Pula tidak patut bagi seorang tua yang mengaku diri gagah perkasa untuk mengeluarkan makian kotor terhadap seorang gadis pendekar seperti kawanku ini!"
Sian Kim juga segera mencabut pedangnya dan berkata,
"Hui Kok Losu! Jangan kau lepaskan lidahmu yang tua tapi busuk itu! Bilang saja bahwa kau gentar mendengar nama Hoa-san Taihiap dan tidak berani menghadapinya! Kalau kau memang takut kepada kawanku ini, biarlah aku sendiri yang maju. Biarpun aku akan kalah, akan tetapi nama besarmu akan hancur oleh karena baru menghadapi seorang pemuda saja, kau telah terkencing-kencing ketakutan tanpa berani mencoba kepandaiannya!"
Bukan main tajam dan pedasnya ucapan dari Sian Kim yang sengaja membakar hati musuhnya itu, maka sambil berseru keras Hui Kok Losu lalu menanggalkan jubahnya dan menerima tombaknya dari tangan seorang murid yang sengaja membawa senjata itu kepada suhunya.
"Siapa bilang takut? Orang yang telah menjadi sahabatmu tentu bukan orang baik-baik!"
Kemudian ia menuding kepada Ciauw In dan membentak,
"Orang muda, kau tentulah seorang kekasih perempuan hina ini! Kau majulah kalau hendak mengenal Kim-houw-ciang-hwat!"
Akan tetapi pada saat itu, petani tua tadi maju menghalangi Hui Kok Losu sambil berkata,
"Losu, biarlah aku mencoba-coba dulu kepandaian Hoa-san Taihiap?"
Kemudian ia menghadapi Ciauw In dan berkata sambil tersenyum,
"Orang muda, belum lama ini aku mendengar bahwa yang menjadi juara dalam pibu di puncak Kui-san adalah seorang pemuda murid Hoa-san-pai yang mendapat gelar Hoa-san Taihiap! Tadinya aku menjadi kagum, akan tetapi setelah melihat kau dalam keadaan seperti sekarang ini, kekagumanku lenyap sama sekali! Entah bagaimana dengan kepandaianmu, maka sekarang perlihatkanlah kepandaianmu untuk kulihat apakah akupun akan kecewa melihatnya!"
Ciauw In merasa panas hatinya mendengar sindiran ini dan ia menganggap orang tua ini keterlaluan. Yang bermusuh dengan Sian Kim adalah Hui Kok Losu maka tidak mengherankan apabila Hui Kok Losu memaki-maki Sian Kim yang menjadi musuhnya dan bahkan yang telah membunuh muridnya, akan tetapi petani tua ini mengapa datang-datang juga menghina Sian Kim? Dengan mengatakan bahwa melihat keadaannya membuat kekagumannya lenyap, berarti bahwa setelah melihat dia datang bersama Sian Kim, petani tua itu memandang rendah kepadanya dan hal ini secara tidak langsung berarti penghinaan bagi diri Sian Kim! Akan tetapi, ia masih menahan marahnya dan bertanya,
"Orang tua, sudah selayaknya bagi orang-orang yang biasa bertempur untuk mencoba kepandaian. Tentu saja aku bersedia untuk melayanimu setelah kau memberitahukan namamu kepadaku."
Petani tua itu tersenyum dan menduga bahwa sikap anak muda itu tentu akan berubah setelah mendengar namanya yang cukup terkenal di kalangan kang-ouw, maka ia lalu menjawab sambil mengangkat dada,
"Aku bernama Ma Sian, akan tetapi kawan-kawan di kalangan kang-ouw memberi nama Lui-cin-tong (Pacul Kilat) kepadaku."
Akan tetapi orang tua ini kecele kalau ia menyangka bahwa pemuda itu akan merasa terkejut mendengar namanya, karena sesungguhnya Ciauw In sama sekali belum pernah mendengar nama ini, dan sikapnya sama saja kalau seandainya ia menyebutkan namanya sebagai Pacul Karatan atau Pacul Butut! Pemuda itu hanya tersenyum dan berkata.
"Kalau begitu, kau tentu bukan seorang petani tulen!"
"Mengapa kau berkata demikian, anak muda!"
Tanya Ma Sian dengan terheran-heran.
"Seorang petani sejati hanya mempergunakan paculnya untuk berbuat kebaikan, mencangkul tanah menanam padi gandum. Akan tetapi kau yang berpakaian petani dan membawa-bawa pacul, ternyata mempergunakan alat pertanian yang mulia itu untuk mencangkul kepala orang!"
Merahlah muka Ma Sian mendengar ini.
"Pemuda buta! Ketahuilah bahwa paculku ini hanya suka menyangkul kepala orang jahat! Dan kau bersama kekasihmu itu bukan termasuk orang baik-baik! Majulah dan perlihatkan kepandaianmu."
Sambil berkata demikian, tangannya bergerak ke belakang dan kini paculnya telah dipegang dengan kedua tangan lalu memasang kuda-kuda yang mirip dengan seorang petani siap hendak mencangkul tanah. Ciauw In juga mencabut pedangnya dan Ma Sian yang melihat berapa pemuda itu telah bersiap sedia, lalu menyerang dengan gerakan cepat. Cangkulnya menghantam ke arah kepala Ciauw In dengan gerak tipu Petani Mencangkul Batu.
Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo