Ceritasilat Novel Online

Pendekar Dari Hoasan 6


Pendekar Dari Hoasan Karya Kho Ping Hoo Bagian 6



Pukulan ini keras sekali datangnya dan digerakkan dengan kecepatan luar biasa. Ciauw In maklum akan kepandaian lawan, maka ia berlaku hati-hati. Dengan sigapnya ia melangkah mundur menghindarkan diri dari terkaman pacul yang tajam itu, ialu maju pula untuk membalas dengan tusukan pedang ke arah leher lawan. Akan tetapi Ma Sian benar-benar cepat gerakannya oleh karena ia sudah dapat menarik kembali paculnya dan kini ia menangkis serangan Ciauw In dengan senjatanya yang luar biasa itu. Hoa-san Taihiap lalu memperlihatkan kepandaiannya yang aseli karena merasa bahwa menghadapi lawan yang lihai ini ia tidak boleh berlaku lambat. Pedangnya berkelebat cepat bagaikan seekor naga sakti mengamuk hingga Ma Sian diam-diam merasa kagum dan juga terkejut. Petani tua ini lalu mengeluarkan gerakan yang disebut Petani Membabat Rumput.

   Paculnya juga bergerak cepat sedangkan kakinya maju dengan tetap dan cepat dalam gerak langkah Cin-po-lian-hoan (Majukan Kaki Secara Berantai). Mata paculnya yang tajam itu berkilauan putih, menyambar-nyambar ke arah bagian tubuh lawan yang berbahaya. Akan tetapi Ciauw In ternyata menang gesit dan ilmu pedangnya Hoa-san Kiam-hwat benar-benar memiliki gerakan yang aneh dan tak terduga. Ketika pacul di tangan Ma Sian menyambar ke arah leher untuk menabas putus batang lehernya, ia lalu menangkis dengan pedangnya. Keduanya mengerahkan tenaga dalam dan ketika kedua senjata itu beradu, terdengar suara keras dan bunga api beterbangan, sedangkan Ma Sian merasa betapa tangan yang memegang pacul menjadi kesemutan. Dalam saat kedua senjata bertemu, Ciauw In mempergunakan gerak tipu Po-in-kian-jit (Sapu Awan Lihat Matahari).

   Yakni ketika pedangnya bertemu dengan mata pacul, ia miringkan sedikit pedangnya hingga mengenai belakang pacul dan segera dilanjutkan melalui sepanjang gagang pacul itu membabat ke arah tangan yang memegang gagang! Ma Sian sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pedang lawan itu akan dapat bergerak sedemikian cepatnya, yakni setelah senjata bertemu terus menyerang, maka ia tak dapat mengelak lagi. Terpaksa ia berseru keras dan melepaskan paculnya karena kalau tidak, pasti kedua tangannya akan terbabat pedang musuh! Ia melompat mundur dengan muka merah! Sebelum Ma Sian dapat berkata sesuatu, bayangan tubuh Hui Kok Losu yang memiliki gerakan cepat sekali telah menyambar dan menghadapi Ciauw In. Orang tua ini marah sekali melihat kawannya dikalahkan dalam sebuah pertempuran yang belum berjalan lama, maka kini dengan tombak di tangan ia membentak,

   "Hoa-san Taihiap, kau mengandalkan kepandaian untuk melakukan pengacauan. Majulah!"

   Sambil berkata demikian ia menggerakkan tombaknya dan Ciauw In diam-diam terkejut melihat betapa ujung tombak itu melakukan gerakan melingkar dan tergetar ujungnya sampai berubah menjadi delapan! Ia maklum akan kelihaian orang tua ini, karena menurut penuturan suhunya, seorang ahli tombak dapat menggetarkan ujung tombaknya sampai menjadi lima atau enam, akan tetapi kakek ini dapat menggetarkan tombaknya hingga ujungnya nampak menjadi delapan buah! Dapat dimengerti bahwa lweekang dari kakek ini tak boleh dibuat permainan. la tidak mau didahului, dan segera maju menyerang dengan gerak tipu Sian-jin-til-lou (Dewa Menunjuk Jalan). Pedangnya meluncur cepat ke arah ulu hati lawannya dan ketika Hui Kok Losu menggerakkan tombak menangkis dengan gerakan yang amat kuat dan cepat.

   Ciauw In menarik pedangnya dan merobah gerakannya menjadi gerak tipu Liong-ting-ti-cu (Ambil Mutiara di Kepala Naga). Dengan gerak tipu ini ia membacok ke arah kepala lawan, akan tetapi kembali sekali menggerakkan kedua tangan, tombak di tangan Hui Kok Losu telah menangkis pedang yang menyambar kepalanya. Setelah menangkis untuk kedua kalinya, mulailah kakek itu membalas dengan gerak tipu Teng-miau-po-ci (Kucing Sakti Terkam Tikus). Tombaknya dari atas mengemplang ke bawah menuju kepala Ciauw In dan ketika pemuda itu mengelak ke kiri, ujung tombak itu diteruskan dengan sebuah tusukan maut ke arah perutnya! Kalau ujung tombak mengenai sasaran, maka perut pemuda itu tentu akan tertembus tombak sampai ke punggung!

   Akan tetapi tentu saja Ciauw In tidak membiarkan dirinya dijadikan daging untuk disate, maka cepat ia molompat ke atas dengan gerak loncat Kera Sakti Memetik Buah, kemudian ketika ia berada di atas, ia lalu membuat gerakan loh-be (berjumpalitan) dan menyerang dari atas dengan tusukan Garuda Terbang Menyambar Ikan. Menghadapi Ciauw In yang memiliki ginkang yang demikian lihainya, Hui Kok Losu maklum bahwa pemuda ini benar-benar memiliki ilmu pedang yang jauh lebih lihai daripada Sian Kim, maka ia lalu mengeluarkan ilmu tombaknya Kim-houw-ciang-hwat (Ilmu Tombak Harimau Emas) yang lihai dan mengerahkan tenaga, kegesitan dan kepandaiannya. Pertempuran kali ini berjalan seru dan ramai sekali karena ternyata bahwa Kim-houw-ciang-hwat benar benar merupakan ilmu tombak yang jarang terdapat di daerah selatan.

   Ciauw In merasa seakan-akan menghadapi dinding baja yang amat kuat dan sukar sekali ditembuskan. Akan tetapi sebaliknya, menghadapi Hoa-san Kiam-hwat, ketua dari Kim-houw-bun itupun merasa bo-hwat (tak berdaya) karena ilmu pedang ini selain cepat dan kuat, juga mempunyai gerakan perubahan yang amat aneh dan tak terduga. Keduanya sama-sama maklum akan kelihaian lawan dan karena dalam hal lweekang mereka setingkat, tentu saja sukar bagi keduanya untuk saling merobohkan. Hui Kok Losu mengambil keputusan untuk mengadu keuletan dan napas oleh karena ia pikir bahwa seorang pemuda yang bergaul dengan Sian Kim tentulah pemuda pemogoran yang bertubuh lemah. Oleh karena itu, maka ia lalu mainkan tombaknya dengan ilmu tombak Membuat Dinding Baja Menutup Diri, sebuah bagian ilmu tombak Kim-houw-ciang-hwat yang kegunaannya untuk menjaga diri.

   Ciauw In ketika melihat betapa gerakan lawannya berubah menjadi gerakan yang dititikberatkan kepada pertahanan saja, maklum bahwa lawannya hendak mengadu keuletan dan menunggu sampai ia kehabisan napas dan kelelahan untuk segera merobohkannya. Maka ia diam-diam tersenyum girang karena hal inipun menjadi keinginannya. Ia merasa betapa sukarnya merobohkan kakek yang menjadi ciangbunjin (ketua) dari Kim-houw-bun ini maka iapun ingin mendapatkan kemenangan dari keuletan dan kekuatan napas. Ia merasa bahwa dalam hal ini ia tidak perlu kuatir untuk dapat dikalahkan oleh orang tua yang sudah lanjut usianya itu. Pertempuran berjalan terus sampai hampir seratus jurus dan setelah merasa lelah, barulah Hui Kok Losu sadar akan kesalah-dugaannya.

   Ia tidak tahu bahwa biarpun Ciauw In tergila-gila kepada Sian Kim, namun Hoa-san Taihiap ini adalah seorang laki-laki sejati dan seorang pemuda yang masih terkumpul sepenuhnya semua tenaga dalam tubuh, maka tentu saja ia yang sudah tua tak kuat untuk mengadu keuletan tenaga dan napas. Kalau ia sudah mulai terengah-engah dan keringat telah memenuhi jidatnya, adalah Ciauw In masih bermain pedang dengan tenang, sedikitpun belum pernah lelah! Melihat kesalahannya ini, Hui Kok Losu lalu hendak mempergunakan kesempatan yang masih ada. Ia mulai merobah gerakan tombaknya dan kini melancarkan serangan-serangan yang paling berbahaya. Tombaknya berkelebatan cepat dan mendatangkan angin dingin, menyambar-nyambar ke arah tubuh Ciauw In sehingga pemuda ini merasa terkejut sekali.

   Hal ini sama sekali tak pernah diduganya, karena dalam keadaan sedemikian lelah, orang tua itu ternyata masih dapat melakukan serangan yang demikian cepat dan membutuhkan tenaga besar. Maka iapun lalu memutar-mutar pedangnya lebih cepat lagi untuk menangkis setiap serangan dan hatinya merasa di dalam benturan senjata betapa ternyata lawannya sudah mulai banyak berkurang! Ia maklum bahwa lawannya ini betapapun juga sudah mulai lelah dan hampir kehabisan tenaga, maka ia segera berseru keras dan mendesak dengan serangan-serangan mematikan. Benar saja, Hui Kok Losu mulai payah dan terdesak hebat. Beberapa kali ketika ia menyampok pergi pedang lawan, sebelah tangannya sampai terlepas dari pegangan gagang tombak dan hanya karena ia memegang tombak dengan kedua tangan saja maka senjatanya itu tidak sampai terlempar!

   Melihat keadaan suhunya ini, para anggauta Kim-houw-bun merasa kuatir sekali dan tanpa diperintah lagi, mereka lalu menyerbu dan mengeroyok Ciauw In untuk membantu guru mereka! Hui Kok Losu sebetulnya hendak mencegah hal ini, akan tetapi di dalam kelelahannya, ia tidak berani membuka mulut, oleh karena ia sedang mengerahkan tenaga terakhir, kalau ia membuka mulut dan bicara, tentu ia takkan kuat menahan lagi! Juga Ma Sian si Cangkul Kilat ketika melihat keadaan Hui Kok Losu, tentu saja tidak rela kalau kawannya yang gagah perkasa ini sampai roboh di tangan seorang penjahat muda, maka ia segera mengangkat paculnya menyerbu! Akan tetapi, Sian Kim sambil tertawa menghina berkata.

   "Orang-orang Kim-houw-bun memang pengecut!"

   Lalu ia memutar-mutar pedangnya menghadapi Ma Sian! Pertempuran menjadi makin ramai karena kini terpecah menjadi dua bagian. Ciauw In menghadapi Hui Kok Losu yang dibantu oleh para murid kepala yang jumlahnya tujuh orang, sedangkan Sian Kim bertempur melawan Ma Sian dan dikeroyok oleh delapan orang murid muda. Akan tetapi, Ciauw In tetap saja berada di fihak yang menyerang. Pemuda ini merasa marah sekali melihat kecurangan fihak lawan yang mengeroyok, karena sesungguhnya tadi ia tidak berniat mencelakai Hui Kok Losu, hanya ingin mengalahkannya saja.

   Tadi ia belum dapat merobohkan Hui Kok Losu oleh karena ia hendak mencari jalan bagaimana ia dapat mengalahkan orang tua gagah itu tanpa menewaskannya atau mendatangkan luka berat. Kalau ia bermaksud membunuh, dari tadipun ia dapat menjatuhkan tangan kejam. Sekarang melihat datangnya para anggauta Kim-ouw-bun yang mengeroyok, timbullah marahnya dan sekali ia berseru keras dan pedangnya berkelebat, pedangnya meluncur cepat menuju tenggorokan Hui Kok Losu. Ciangbunjin ini masih berusaha untuk menangkis, akan tetapi ia benar-benar telah kehabisan tenaga dan napas maka tangkisannya kurang kuat dan ujung pedang masih langsung menyerang dan secara tepat dan tanpa disengaja, ujung pedang Ciauw In menancap di jalan darahnya dekat leher, Hui Kok Losu menjerit ngeri dan roboh.

   Ia tewas bukan hanya karena serangan Ciauw In, akan tetapi sebagian besar karena telah kehabisan napas dan tenaga! Ciauw In merasa agak menyesal melihat betapa ia telah kesalahan tangan, akan tetapi oleh karena para pengeroyoknya kini menjadi makin sengit dan nekad, ia merasa kepalang kalau tidak bergerak terus. Ia mengamuk dan sebentar saja tiga orang pengeroyoknya telah roboh oleh pedangnya! Sementara itu, pertempuran di bagian lain lebih ramai karena kini menghadapi Sian Kim, Ma Sian dapat memperlihatkan kelihaiannya. Sungguhpun kalau bertempur satu lawan satu, belum tentu ia akan dapat mengalahkan ilmu pedang Sian Kim yang juga lihai dan ganas, akan tetapi karena kini ia dibantu oleh delapan orang anak murid Kim-houw-bun, ia dapat mendesak Sian Kim yang mulai terdesak mundur.

   Sian Kim menjadi marah sekali, pedangnya berkelebat makin ganas dan beberapa kali terdengar jerit kesakitan karena pedang gadis baju hitam itu telah mendapat kurban. Namun jumlah pengeroyoknya tidak berkurang karena jatuh seorang, maju pula penggantinya yang masih banyak menanti mencari lowongan! Juga Sian Kim telah mendapat luka pada pundak kirinya oleh pukulan pacul Ma Sian yang walaupun hanya menyerempet dan merobek bahunya serta melukai kulitnya saja, akan tetapi darah yang keluar cukup banyak, membasahi lengan baju sebelah kiri. Setelab menjatuhkan enam orang, para pengeroyok Ciauw In yang makin bertambah jumlahnya itu mulal menjadi gentar dan mereka mengundurkan diri untuk mengeroyok Sian Kim yang sudah amat terdesak.

   "Koko, bantulah aku..."

   Gadis itu berseru dan Ciauw In cepat menyerbu membantu kekasihnya. Tiga orang sekaligus roboh karena serbuannya ini sehingga semua pengeroyoknya kecuali Ma Sian, menjadi makin gentar.

   Kesempatan ini digunakan secara baik oleh Sian Kim yang mengirim tusukan maut ke arah Ma Sian dengan gerakan Harimau Lapar Menubruk Kambing. Ma Sian tidak melihat jalan keluar menghadapi serangan ini, maka ia lalu berlaku nekad hendak mengadu nyawa. Ia tidak menangkis atau mengelak, akan tetapi lalu mengangkat cangkulnya dan menghantam kepala Sian Kim sekuat tenaga dengan senjatanya itu. Kalau Sian Kim meneruskan serangannya, tentu ia akan terpukul kepalanya oleh pacul itu. Akan tetapi, Ciauw In tentu saja tidak dapat berpeluk tangan melihat kepala Sian Kim yang bagus itu dihancurkan, maka ia segera menangkis dengan pedangnya sedangkan pedang Sian Kim terus meluncur dan "Crat!!"

   Ujung pedangnya masuk ke dalam dada Ma Sian sampai tembus di punggung!

   Ketika gadis itu mencabut senjatanya, Ma Sian masih sempat menggunakan tenaga terakhir melontarkan paculnya ke arah Ciauw In yang segera membungkuk hingga pacul itu menghantam tembok! Tubuh Ma Sian terhuyung-huyung, kemudian rebah dan tewas! Keadaan makin menjadi kacau dan tiba-tiba dari luar datang menyerbu penjaga-penjaga keamanan kota yang dikepalai oleh seorang perwira. Mereka ini mendapat laporan dari seorang anggauta Kim-houw-bun tentang datangnya dua orang pengacau, maka karena perkumpulan ini amat dihormat, juga oleh petugas-petugas negara, segera serombongan petugas lari menyerbu untuk membantu menangkap dua orang pengacau itu. Melihat serbuan ini, Ciauw In segera berseru,

   "Moi-moi, mari kita lari!"

   Akan tetapi, Sian Kim kini sedang bergembira membabat para anggauta Kim-houw-bun. Setelah Hui Kok Losu dan Ma Sian tewas, maka sisa orang yang mengeroyoknya merupakan tahu empuk baginya dan tiap kali pedangnya berkelebat, robohlah seorang anggauta Kim-houw-bun.

   Gadis ini tidak takut melihat kedatangan para penjaga keamanan bahkan ia lalu melompat mendekat dan menyambut mereka dengan serangan pedang yang berhasil merobohkan dua orang penjaga keamanan dengan sekali serang saja. Oleh karena ini, ia dalam kegembiraannya menyebar maut, ia tidak mendengar seruan Ciauw In. Pemuda ini melihat betapa lengan kiri Sian Kim penuh darah, dan juga melihat betapa jumlah penjaga keamanan yang menyerbu dari luar makin banyak jumlahnya, maka ia lalu melompat mendekati Sian Kim, menyambar pinggang kekasihnya itu dan melompat ke atas genteng! Setelah berada di atas ganteng, barulah Sian Kim merasa betapa pundaknya perih sekali, maka iapun lalu melarikan diri bersama Ciauw In, melalui wuwungan rumah-rumah penduduk dan sebentar saja mereka telah berada di luar kota.

   Akan tetapi, barisan penjaga dan sisa-sisa anak buah Kim-houw-bun tetap mengejar mereka, biarpun telah ketinggalan jauh hingga Ciauw In dan Sian Kim tidak mendapat kesempatan untuk mengaso. Mereka ini terpaksa berlari terus ke selatan, dikejar-kejar dari belakang oleh para penjaga yang menunggang kuda! Ciauw In sudah merasa lelah, dan Sian Kim merasa lelah apalagi karena luka kulit pundaknya terasa perih dan ngilu, maka tentu saja keadaan ini membuat mereka menjadi bingung. Tiba-tiba dari jurusan depan datang sebuah kendaraan beroda tiga yang ditarik oleh empat ekor kuda besar. Seorang laki-laki yang duduk di dalam kendaraan itu, membuka tirai kereta dan melongok keluar. Ketika melihat Ciauw In dan Sian Kim, ia segera berseru.

   "Ah, tidak tahunya jiwi enghiong (dua orang gagah) yang sedang mendapat kesukaran. Lekas masuk ke dalam keretaku!"

   Tadinya Ciauw In dan Sian Kim tidak mengenali muka ini dan merasa amat heran melihat seorang pemuda tampan dan hartawan menegur dan hendak menolong mereka, akan tetapi melihat senyumnya, tiba-tiba Sian Kim teringat.

   "Dia adalah Ong Hwat Seng murid Bu-tong-pai!"

   Katanya kepada Ciauw In yang juga teringat. Pernah ia melihat pemuda ini di puncak Kui-san ketika terjadi pertandingan persahabatan diantara orang-orang gagah. Inilah pemuda sombong yang dulu mewakili Bu-tong-pai dan sungguhpun Ciauw In tidak suka kepada pemuda mewah dan sombong itu, akan tetapi dalam keadaan terdesak sedemikian rupa, dan pula karena Sian Kim mendahuluinya melompat ke dalam kereta, terpaksa iapun lalu melompat ke dalam kereta, menduduki bangku berhadapan dengan Ong Hwat Seng. Sian Kim duduk di dekat pemuda itu dan Ciauw In duduk dihadapan mereka. Pemuda itu lalu memberi perintah kepada pengemudi kereta,

   "Lekas putar kembali kendaraan dan kita pulang!"

   Pengemudi kereta menurut perintah. Empat ekor kuda itu lalu diputar kembali dan segera kereta dikaburkan pesat. Akan tetapi, tak lama kemudian para pengejar yang terdiri dari petugas-petugas kota Ouwciu dapat menyusul kendaraan itu dan dengan suara garang memerintahkan pengemudi untuk berhenti. Sementara itu, Ong Hwat Seng memberi tanda kepada Ciauw In dan Sian Kim untuk tidak mengeluarkan suara, kemudian ketika kereta diperintahkan berhenti, ia lalu melongok dari tirai.

   "Ada apakah maka kendaraan berhenti?"

   Tanyanya keras-keras kepada pengemudinya.

   "Siapa yang berani menahan keretaku?"

   Sementara itu, para pengejar yang terdiri dari anggauta-anggauta Kim-houw-bun dan para penjaga keamanan kota Ouwciu, ketika melihat Ong Hwat Seng, segera lenyap keraguan mereka dan dengan mengangkat tangan memberi hormat dan tersenyum mereka lalu mendekati pemuda itu. Pemimpin mereka, perwira yang bertubuh tinggi besar, segera turun dari kuda dan menjura.

   "Ah, tidak tahunya Ong-siauwya (Tuan muda Ong) yang berada di dalam kereta! MaafKan kami yang tidak tahu dan telah mengganggu siauwya!"

   Ong Hwat Seng memperlihatkan muka manis ketika berkata.

   "Tidak apa, tidak apa! Akan tetapi ada keperluan apakah maka kalian sampai membalapkan kuda ke tempat ini dan menahan kereta? Agaknya ada hal yang amat penting terjadi!"

   "Celaka, Ong-siauwya!"

   Kata perwira itu.

   "Di kota kami datang dua orang penjahat besar yang telah membasmi Kim-houw-bun, membunuh banyak orang, bahkan Hui Kok Lo-enghiong juga tewas dalam tangan mereka."

   "Aduh, hebat benar..."

   Ong Hwat Seng menggeleng-geleng kepalanya dan melebarkan matanya.

   "Kami mengejar kedua penjahat itu, seorang pemuda dan seorang gadis, akan tetapi ketika tiba di tempat ini mereka tiba-tiba lenyap!"

   Ong Hwat Seng memperlihatkan muka tidak senang mendengar ini. Ia mengeluarkan suara menghina dan berkata keras.

   "Jadi karena itukah kalian menghentikan keretaku? Kalian menyangka bahwa aku menyembunyikan kedua orang jahat dalam kendaraanku? Ah, sungguh menyebalkan! Mari, kalian periksalah di dalam kereta!"

   Tentu saja perwira itu merasa amat malu dan juga gugup mendengar ucapan ini dan melihat betapa Ong Hwat Seng menjadi tak senang hati. Ong Hwat Seng mereka kenal baik, seorang pemuda kaya raya di kota Ouw-san yang tak jauh letaknya dari Ouwciu, dan selain kaya raya dan berpengaruh besar di kalangan pembesar karena pemuda ini adalah putera dari seorang bekas pembesar tinggi yang telah meninggal dunia, iapun terkenal sebagai seorang pemuda berkepandaian tinggi dan bahkan menjadi kenalan baik dari mendiang Hui Kok Losu! Sudah tentu ia tidak berani berlaku kurang ajar untuk tidak mempercayai omongan pemuda bangsawan yang kaya raya dan berkepandaian tinggi itu.

   "Maaf, Ong-siauwya. Tadi kami tidak menyangka bahwa kendaraan ini milik Ong-siauwya. Sama sekali kami tidak berani berlaku lancang dan sudah tentu saja kami tidak pernah menyangka bahwa siauwya menyembunyikan orang jahat. Akan tetapi, besar harapan kami semoga siauwya suka memberitahu kalau-kalau tadi melihat ke mana larinya dua orang yang sedang kami kejar-kejar itu!"

   "Hm, kalau aku melihat mereka, apa kau kira mereka dapat lari jauh?"

   Jawab Ong Hwat Seng dengan sombongnya.

   "Aku tidak melihat mereka, akan tetapi sesampainya di rumah, aku akan melaporkan hal ini kepada kawan-kawanku pembesar setempat agar ikut membantu mencari dan menangkap mereka."

   Perwira itu lalu menjura lagi dengan hormat sekali.

   "Terima kasih, siauwya, dan sekali lagi harap maafkan kami yang telah berlaku lancang."

   Kemudian rombongan berkuda itu melarikan kuda mereka ke lain tempat untuk mencari dua orang penjahat yang tiba-tiba lenyap itu. Ong Hwat Seng masuk dan duduk lagi di dalam kereta sambil memerintahkan kusirnya melanjutkan kereta menuju ke Ouw-san, ia berkata kepada kusirnya.

   "Akai, awas kau! Jangan kau menceritakan kepada siapapun juga tentang peristiwa tadi. Kedua tuan muda dan nona ini adalah sahabat-sahabat baikku yang datang dari Bi-hok, tahu kau?'

   "Baik, siauwya, saya tahu."

   Ong Hwat Seng lalu memandang kepada Sian Kim dan Ciauw In sambil tersenyum bangga.

   "Nah, bukankah beres sudah?"

   "Kau telah menolong kami,"

   Kata Ciauw In sederhana, sedangkan Sian Kim yang meringis kesakitan, memaksa tersenyum manis sambil berkata.

   "Ong-Siauwya, kau benar-benar cerdik dan baik hati. Aku berterima kasih kepadamu,"

   Kata ini ditutup dengan kerlingan mata menyambar hingga membuat Ong Hwat Seng menatap wajah jelita itu tanpa berkejap!

   Hal ini membuat hati Ciauw In tak enak sekali dan rasa tidak sukanya kepada pemuda kaya ini makin meluap, akan tetapi ia pura-pura tidak melihatnya karena ia telah ditolong maka tidak seharusnya ia memperlihatkan muka tak senang. Sementara itu, ketika Ong Hwat Seng melihat pundak kiri Sian Kim, ia hampir menjerit karena kaget dan kagum. Kaget melihat darah telah membuat pakaian gadis itu menjadi merah dan kagum karena dari balik baju yang robek itu ia melihat kulit lengan yang halus dan putih menggiurkan hatinya. Harus diketahui bahwa jago muda dari Bu-tong-pai ini selain kaya raya dan berdarah bangsawan, juga terkenal mata keranjang dan gila wajah cantik. Maka melihat kecantikan Sian Kim dan lirikan mata yang tajam serta senyum di bibir yang mungil dan manis itu, tentu saja semenjak tadi hatinya telah berdebar-debar keras.

   "Ah, kalian terlampau sungkan,"

   Katanya.

   "bukankah kita sudah saling bertemu di puncak Kui-san? Kita adalah orang orang segolongan, maka tak perlu bersungkan-sungkan. Sudah sewajarnya kita saling menolong. Nona, pundakmu terluka, kau perlu mendapat rawatan yang baik, akan tetapi jangan kuatir, sesampainya di rumah, aku akan panggil seorang tabib yang pandai dan ahli dalam hal mengobati luka-luka."

   La tersenyum lalu menambahkan dengan sikap ceriwis sekali.

   "Kecuali luka di dalam hati yang tidak ada obatnya!"

   Kalau saja ia tidak berada dalam perlindungan dan pertolongan pemuda ini, tentu Ciauw In sudah menggerakkan tangan menampar mulutnya, akan tetapi ia menahan kesabarannya dan ketika ia mengerling ke arah kekasihnya, ternyata Sian Kim tersenyum mendengar ucapan yang ceriwis itu!

   Kembali ia merasa tidak enak dan dalam maboknya, ia tidak mempersalahkan Sian Kim yang tidak seharusnya menghadapi keceriwisan itu dengan tersenyum, bahkan ia menimpakan seluruh kejengkelannya kepada pemuda itu! Rumah Ong Hwat Seng merupakan sebuah bangunan gedung besar yang mewah dan indah. Pemuda ini hanya tinggal dengan ibunya yang sudah tua, akan tetapi pemuda ini benar-benar seorang anak yang amat jahat dan tidak berbakti terhadap orang tuanya. Ia berlaku sewenang-wenang terhadap ibunya dan ibu sudah tua ini melihat betapa anaknya makin lama makin binal dan lama sekali tidak menghormat atau menghiraukannya, menjadi amat berduka dan selalu menyembunyikan diri di dalam kamarnya. Jarang sekali ia keluar dari kamarnya, karena sekali ia keluar, tentu timbul percekcokan mulut dengan puteranya itu. Pernah dulu ia menegur puteranya dengan kata-kata pedas.

   "Hwat seng, kau adalah putera tunggal dari keluarga Ong, dan ayahmu terkenal sebagai seorang pembesar yang dihormati orang. Akan tetapi, apa jadinya dengan kau? Ketika disuruh mempelajari kesusasteraan, kau bahkan mempelajari ilmu silat yang kasar. Apakah kau hendak menjadi tukang pukul? Dan sekarang, setelah ayahmu meninggal dunia, kau tidak menjadi baik bahkan makin menggila. Kau setiap hari hanya berpelesir saja, bergaul dengan segala buaya darat, menghabiskan uang seperti melempar-lempar pasir, sama sekali tidak ingin mencari kedudukan baik, atau berusaha sesuatu. Kalau kelak harta peninggalan ayahmu habis, kau akan hidup dari apa?"

   Seperti biasa, Ong Hwat Seng cemberut dan anak yang dulunya terlalu dimanja bahkan membentak ibunya.

   "Ibu, kau sudah tua, untuk apa masih suka cerewet saja? Biasanya orang tua mencari jalan terang untuk menungggu matinya, akan tetapi kau setiap hari selalu marah mengumbar hawa nafsu, tidak tahu bahwa yang kau marahi adalah anakmu sendiri. Aku sudah dewasa dan mencari sedikit kesenangan, mengapa kau marah-marah? Apakah kau iri hati?"

   Terbelalak mata nyonya tua itu karena marah dan terkejut karena biarpun biasanya anak tunggalnya itu suka membantah, akan tetapi belum pernah sekasar itu.

   "Bagus, Hwat Seng!"

   Katanya dengan air mata mengalir turun ke atas pipinya.

   "Setelah ayahmu meninggal, kau berani terhadap ibumu, ya? Begitukah sikap seorang anak terhadap ibunya? Kau seorang anak puthauw (tidak berbakti), tidak membalas cinta kasih ibu, bahkan berani bersikap dan bicara kasar jadi kau ingin melihat ibumu lekas mati?"

   Melihat ibunya menangis, Hwat Seng bahkan lalu tersenyum yang merupakan seringai mengejek,

   "Ibu, aku hanya berkata sebenarnya, karena siapakah orangnya yang akhirnya takkan mati? Aku sendiri kelak tentu akan mati. Dan tentang bakti atau tidak berbakti, hal ini adalah ucapan palsu yang digunakan oleh para orang tua untuk menakut-nakuti anaknya. Bila aku menghabiskan uang juga bukan dari penghasilan ibu, akan tetapi mendiang ayah yang dulu mencarinya! Ibu hanya menumpang diri, seperti aku pula. Kalau ibu hendak memakai uang peninggalan ayah dan hidup bersenang-senang, silakan, aku tidak melarang!"

   "Thian Yang Maha Agung!"

   Ibu yang hancur hatinya itu mengeluh sambil mendekap dadanya.

   "mengapa aku mempunyai anak semacam ini? Percuma saja kau kukandung berbulan-bulan dan kupelihara dengan susah payah, kupertaruhkan jiwaku ketika melahirkanmu..."

   Nyonya ini menangis lagi makin sedih.

   "Sudahlah, sudahlah..."

   Hwat Seng anak durhaka itu mencela, dengan muka memperlihatkan kesebalan hatinya.

   "betapapun juga, ibu harus ingat bahwa aku dulu tidak minta dikandung, tidak minta dilahirkan, dan juga tidak minta dipelihara...!"

   Setelah mengeluarkan ucapan-ucapan yang hanya patut keluar dari mulut iblis neraka ini, anak itu lalu meninggalkan ibunya. Dan semenjak saat itulah maka nyonya Ong tak pernah keluar dari kamarnya, setiap hari termenung memikirkan nasibnya, berprihatin menanti saatnya tiba untuk menyusul suaminya oleh karena biarpun hidup di tengah-tengah harta benda dan kemewahan, akan tetapi ia tidak merasakan kebahagiaan hidup. Dengan amat ramah tamah, Ong Hwat Seng lalu memberi perintah kepada para pelayan menyediakan dua buah kamar untuk Ciauw In dan Sian Kim.

   Gadis itu mendapat sebuah kamar yang amat indah dan mewah, karena inilah kamar Hwat Seng sendiri yang ia berikan kepada nona manis itu, sedangkan Ciauw In mendapat sebuah kamar di ruang belakang, agak jauh dari kamar Sian Kim. Kemudian ia mendatangkan seorang tabib yang terkenal pandai di kota Ouw-san untuk merawat luka di pundak Sian Kim yang biarpun terasa sakit, akan tetapi sebetulnya tidak berbahaya. Ciauw In dan Sian Kim mendapat pelayanan yang luar biasa manisnya dari Hwat Seng, bahkan setiap hari kedua orang tamu itu mendapat jamuan makan yang serba mewah. Sian Kim nampak kerasan dan senang sekali tinggal di rumah gedung yang indah itu, dan wajahnya selalu berseri-seri. Ia tidak banyak bicara dengan Ciauw In, bahkan hanya bertemu di waktu makan, bersama dengan tuan rumah, atau bercakap-cakap di ruang tamu yang terhias perabot-perabot mahal dan indah.

   "Lie-heng dan Gu-siocia,"

   Kata Hwat Seng pada hari kedua ketika mereka sedang menghadapi meja makan yang penuh dengan hidangan serba mahal.

   "semenjak turun dari Kui-san, tiada hentinya aku mengagumi kalian karena akupun telah mendengar betapa Lie-heng (saudara Lie) keluar sebagai pemenang dan juara. Nama Hoa-san Taihiap telah kudengar dan membuat hatiku amat kagum! Juga aku telah mendengar akan kelihaian Gu-siocia yang boleh dibilang menduduki tempat kedua. Telah lama aku merasa rindu dan ingin bertemu, siapa tahu sekarang kita dapat bertemu dan bahkan makan di satu meja dan tidur di bawah satu wuwungan! Ah, bukankah ini namanya jodoh? Kuharap saja jiwi (kalian berdua) suka tinggal lebih lama di rumahku yang buruk ini untuk bercakap-cakap."

   "Kau baik sekali, saudara Ong. Akan tetapi, kami berdua masih mempunyai banyak urusan, maka setelah nona Gu sembuh, terpaksa kami bermohon diri melanjutkan perjalanan,"

   Kata Ciauw In.

   "Ah, mengapa terburu buru?"

   Hwat Seng berseru kaget.

   "Ketahuilah Lie-heng bahwa pada waktu ini menurut penyelidikan orang-orangku keadaan kalian berdua telah menjadi pembicaraan orang dan semua petugas dan alat negara telah dikerahkan untuk mencari dan menangkap kalian berdua. Tidak itu saja, bahkan orang-orang kang-ouw yang menjadi sahabat-sahabat baik dari Hui Kok Losu dan Lui-cin-tong Ma Sian yang tewas dalam tangan kalian itu, kini keluar pula untuk mencarimu dan membalas dendam. Hal ini berbahaya sekali. Kalau jiwi tinggal di sini, kutanggung takkan ada orang yang berani datang mengganggu karena takkan ada yang menaruh curiga kepadaku, sedangkan para pelayanku dapat dipercaya sepenuhnya. Kelak, kalau keadaan tidak demikian panas lagi dan nafsu mereka telah menjadi dingin, barulah kalian boleh melanjutkan perjalanan dan bahaya tidak begitu besar lagi."

   Sebelum Ciauw In menjawab, Sian Kim mendahuluinya.

   "Memang betul juga ucapan Ong-siauwte ini. Lie-twako, terpaksa kita harus menurut petunjuknya."

   Kemudian, sambil memandang kepada tuan rumah yang muda lagi tampan itu dengan sepasang matanya yang indah dan bening, nona baju hitam itu berkata.

   "Ong-siauwya, budimu sungguh besar, entah bagaimana kami harus membalasnya."

   Hwat Seng tertawa senang dan mainkan bibirnya untuk menambah kegagahan mukanya.

   "Siocia, jangan bicara tentang budi, membikin aku merasa tidak enak saja!"

   Setelah berkata demikian, dengan ramah tamah ia lalu mempersilakan kedua orang tamunya mengambil makanan yang lezat-lezat.

   Telah sepekan lamanya Ciauw In dan Sian Kim tinggal di gedung itu. Makin lama, hati Ciauw In makin merasa tidak enak dan tidak senang. Ia ingin cepat-cepat pergi dari situ untuk melakukan perjalanan bersama Sian Kim, untuk mereka berdua saja dengan yang dicintainya itu. Di dalam gedung ini ia merasa seakan-akan ia dipisahkan dari Sian Kim. Bahkan sudah dua hari ini ia jarang bertemu kekasihnya dan seakan-akan gadis itu sengaja menjauhkan dirinya. Juga Ong Hwat Seng jarang muncul, kecuali di waktu makan. Pada saat mereka makan bersamapun, Sian Kim dan Hwat Seng nampak pendiam dan tidak banyak bicara. Akan tetapi, yang membuat hati Ciauw In merasa makin gelisah adalah sinar mata Sian Kim yang bersinar-sinar pada waktu gadis itu mengerling ke arah tuan rumah!

   Pada malam hari kedelapan, Ciauw In merasa gelisah. Kamar yang lega itu nampak sempit baginya dan keindahan kamar berubah menjadi amat membosankan hatinya. Ia merasa rindu sekali kepada Sian Kim sungguhpun gadis itu berada di bawah satu wuwungan dengannya. Ia tak dapat tidur dan segera keluar dari kamar, berjalan-jalan sepanjang deretan kamar dan ruang yang amat luas di gedung. Maksudnya hendak mencari pintu belakang dan masuk ke dalam taman bunga besar yang berada di belakang gedung itu. Ketika ia lewat di depan sebuah kamar di bagian belakang, tiba-tiba ia mendengar suara wanita menangis. Ciauw In merasa heran sekali dan ia berhenti melangkah, mendekati pintu kamar itu dan memasang telinga baik-baik. Terdengar olehnya betapa suara tangisan itu disertai keluhan yang amat sedih,

   "Suamiku... tidakkah rohmu melihat betapa anakmu menjadi tersesat...? Lindungilah dia dan insafkanlah hatinya... suamiku, kalau Hwat Seng tidak segera insaf... ia tentu akan mengalami malapetaka... dan aku... aku yang disia-siakannya,... aku tetap tidak tega..."

   Kemudian terdengar lagi suara wanita itu menangis Ciauw In merasa heran sekali dan tak terasa pula ia mendorong daun pintu yang ternyata tidak terkunci dari dalam. Ketika daun pintu terbuka, ia melihat seorang wanita tua, sedang berlutut di depan meja sembahyang di dalam kamar itu dan sepasang lilin nampak bernyala di atas meja sembahyang dan kamar itu penuh dengan asap hio yang harum. Wanita itu mendengar kedatangan orang segera berdiri dan memandang. Ketika ia melihat Ciauw In, matanya mengeluarkan sinar marah. Tangannya dengan gemetar menuding kepada pemuda itu dan ia berkata,

   "Kau,... kau penjahat yang meracun anakku... apakah kau datang hendak membunuhku dan merampas harta benda kami?"

   Bukan main kaget hatinya ketika Ciauw ln mendengar tuduhan ini, maka ia lalu menjawab dengan gagap.

   "Lo-hujin, kau tentu ibu dari saudara Ong Hwat Seng,"

   Ia lalu menjura memberi hormat.

   "akan tetapi mengapakah kau marah-marah kepadaku? Aku bukan orang jahat dan aku tidak bermaksud jahat terhadap siapapun juga..."

   "Bohong! Kau datang membawa perempuan jahat untuk memikat hati puteraku hingga ia tergila-gila. Mereka main gila di dalam rumahku yang bersih! Mereka mengotorkan rumah ini mencemarkan nama keluarga kami yang terhormat! Dan kau mau berkata bahwa kau dan kawanmu itu tidak bermaksud jahat?"

   Ciauw In terkejut sekali.

   "Apa katamu? Kawanku adalah seorang baik-baik, seperti aku pula. Kami tidak mempunyai maksud serendah itu!"

   Tiba-tiba wanita tua itu tersenyum menghina.

   "Apa kau anggap aku buta? Biarpun aku sudah tua, akan tetapi aku tidak mudah ditipu oleh bajingan-bajingan muda seperti kau! Pergi! Pergilah kau dari sini!"

   Wanitu itu melangkah maju hendak mencakar muka Ciauw In yang segera melompat keluar dengan hati berdebar. tidak perdulikan lagi wanita itu karena pikirannya penuh dengan dugaan yang membuat mukanya menjadi pucat dan dadanya berdebar keras.

   Cemburu yang amat besar mendesak hatinya dan seperti orang kalap ia lalu berlari masuk kembali ke dalam kamar, mengambil buntalan pakaian dan pedangnya, lalu lari ke arah kamar Sian Kim. Ia hendak paksa kawannya itu untuk meninggalkan gedung ini. Ia telah diusir oleh ibu Hwat Seng dan nyonya tua itu telah mengeluarkan tuduhan-tuduhan yang amat keji terhadap dirinya, terutama sekali terhadap Sian Kim! Saking marahnya, ketika tiba di depan pintu kamar Sian Kim, ia mempergunakan tenaga dalam untuk mendorong daun pintu hingga daun pintu itu terpentang lebar dan palangnya copot! Ketika ia melompat masuk, hampir saja ia berteriak karena marah dan terkejut! Ia melihat Ong Hwat Seng berada di kamar Sian Kim duduk menghadapi arak dan daging, sedangkan gadis itu duduk pula di dekatnya. Mereka nampak sedang makan minum dengan amat gembira dan wajah Sian kim nampak berseri-seri!

   "Apa artinya ini?"

   Ciauw In membentak marah sambil mencabut pedangnya! Kalau ada kilat menyambar ke dalam kamar pada waktu itu, belum tentu Hwat Seng dan Sian Kim akan menjadi sekaget itu. Hwat Seng segera melompat dan sebelum ia berkata-kata, Ciauw In sudah menerkamnya dengan tusukan pedang Pemuda she Ong itu mengelak cepat dan mencabut pedangnya pula, lalu balas menyerang.

   Akan tetapi dalam kegemasannya, Ciauw In bergerak cepat. Sebuah tendangan membuat meja yang tadi dihadapi Hwat Seng terpental ke arah pemuda she Ong itu hingga Hwat Seng terpaksa melompat ke pinggir. Akan tetapi Ciauw In mengejarnya dan kembali pemuda ini menyerang dengan tusukan kilat dan ketika Hwat Seng mencoba untuk menangkis, tiba-tiba Ciauw In merobah serangannya dengan bacokan ke arah leher! Ong Hwat Seng menjadi terkejut sekali dan cepat miringkan tubuhnya, akan tetapi tetap saja pundaknya terbacok hingga mendapat luka. Hwat Seng menjerit keras, melompat ke arah dinding sebelah kiri dan sekali ia menekan tempat rahasia, dinding itu terbuka dan ia melompat masuk! Ketika Ciauw In mengejar, dinding itu tertutup kembali. Sementara itu, Sian Kim yang tadi hanya berdiri bengong dan muka pucat, segera berseru.

   "Koko, jangan...!"

   Akan tetapi Ciauw In tidak mau mendengarkan cegahannya dan cepat melompat keluar kamar untuk mencari Ong Hwat Seng, karena ia tidak akan puas sebelum membunuh pemuda itu! Hatinya panas sekali dan matanya menjadi gelap! Cemburu yang amat besar telah membuat ia berlaku nekad untuk membunuh Hwat Seng. Ia mengejar ke arah di mana pemuda itu masuk ke dalam dinding rahasia dan ketika ia melihat bayangan pemuda itu berkelebat jauh di depan, ia terus mengejar. Ternyata bahwa pemuda itu berlari ke dalam kamar ibunya! Ciauw In berseru dan mengejar terus dengan pedang di tangan. Ia tendang pintu kamar nyonya tua tadi dan melihat betapa Ong Hwat Seng berlutut merangkul kaki ibunya sambil gemetaran seluruh tubuhnya. Ciauw In mengangkat pedangnya, akan tetapi tiba-tiba Nyonya Ong menubruk anaknya dan melindungi dengan tubuhnya.

   "Sicu (tuan yang gagah), jangan kau bunuh anakku... jangan...! Kalau mau bunuh, bunuhlah aku... kalau anakku melakukan kesalahan, biarlah aku ibunya yang menebus dosanya dengan nyawaku...!"

   
Pendekar Dari Hoasan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sikap seorang ibu yang demikian nekad melindungi puteranya, sungguhpun putera itu adalah seorang putera durhaka, membuat Ciauw Ia tertegun dan ragu-ragu.

   "Ong Hwat Seng,"

   Katanya dengan suara marah.

   "memandang muka ibumu, aku memberi ampun kepadamu!"

   Kemudian ia membalikkan tubuh meninggalkan kamar itu.

   "Lie-heng, kau salah sangka..."

   Terdengar suara Ong Hwat Seng, akan tetapi Ciauw ln tidak memperdulikan padanya. Ketika ia tiba di luar kamar, ia melihat Sian Kim telah berada di situ, lengkap dengan buntalan pakaiannya. Gadis ini biarpun berwajah pucat, akan tetapi masih nampak amat cantik jelita dan ketika melihat Ciauw In, ia berkata singkat.

   "Koko, kau terburu nafsu. Mari kita tinggalkan gedung ini dan akan kujelaskan kelak!"

   Ciauw In tiba-tiba menjadi girang sekali karena tak pernah disangkanya bahwa gadis itu akan pergi bersama dia meninggalkan gedung. Tadinya ia khawatir kalau-kalau gadis itu terpikat hatinya oleh kemewahan tempat itu dan tidak mau ikut pergi. Maka ia hanya mengangguk dan keduanya lalu melompat keluar dan pergi dari gedung itu di waktu malam gelap.

   "Twako, kau benar-benar terlalu terburu nafsu dan menjadi buta karena cemburu. Aku... aku tidak melakukan perbuatan apa-apa yang melanggar batas kesusilaan dengan Ong Hwat Seng. Dia datang dan mengajakku makan-minum untuk merayakan kemenangannya bermain dadu. Tadinya ia hendak mengajak kau, akan tetapi oleh karena kamarmu sudah tertutup pintunya, ia takut bahwa kau sudah tidur dan akan mengganggumu. Kebetulan ketika itu aku berada di luar kamar, maka ia mengajak aku makan-minum dan tentu saja aku tidak dapat menolaknya untuk membikin senang hatinya. Bukankah kita sudah berhutang budi padanya?"

   "Akan tetapi... kau dan dia di dalam kamarmu... makan-minum bersama..."

   Ciauw In tidak dapat melanjutkan kata-katanya, hanya memandang wajah Sian Kim dengan ragu-ragu. Betapapun juga, ia tak dapat membenci gadis ini, dan kebenciannya ia tumpahkan seluruhnya kepada Hwat Seng. Sian Kim tersenyum dan menggunakan kedua tangannya untuk memeluk Ciauw In.

   "Kau terlalu cemburu, koko yang baik! Biarpun kami berada di dalam kamar, akan tetapi kami hanya makan minum belaka. Apa salahnya itu! Apakah kau tidak percaya kepadaku? Ah, aku tidak begitu buta dan gila untuk salah pilih, koko yang baik. Seratus orang Hwat Seng masih belum dapat menandingi seorang Ciauw In yang kucinta sepenuh hati dan jiwaku!"

   Sambil berkata demikian, gadis itu dengan lagak yang amat memikat lalu menyandarkan kepala dengan rambutnya yang harum di dada Siauw In. Pemuda ini memang telah berhari-hari merasa rindu kepada kekasihnya, maka kini melihat sikap Sian Kim, luluhlah seluruh kemarahannya dan ia lalu balas memeluk dengan hati amat bahagia. Ia merasa seakan-akan mendapatkan kembali mustika yang disangkanya hilang.

   "Nyonya tua itu... ibu Hwat Seng, ia membuat aku cemburu dan gelap mata!"

   Katanya seakan-akan mengatakan kemenyesalan dan maafnya atas perbuatannya tadi.

   "Ia bilang bahwa kau dan anaknya melakukan... hal-hal yang tidak selayaknya..."

   Sian Kim merenggutkan kepalanya dari dada Ciauw In dan sinar matanya menyatakan bahwa ia marah sekali. Bibirnya yang manis itu cemberut.

   "Nyonya gila itu...? Koko, apakah kau lebih percaya kepada seorang nyonya gila daripada aku, kekasihmu yang amat mencintamu? Kalau begitu, akan kubunuh nyonya itu sekarang juga!"

   Gadis ini membuat gerakan seakan-akan hendak lari kembali ke gedung Ong Hwat Seng. Melihat sikap ini, makin besar (Lanjut ke Jilid 06 - Tamat)

   Pendekar Dari Hoasan/Hoasan Tayhiap (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 06 (Tamat)

   kepercayaan Ciauw In terhadap kesucian kekasihnya, maka ia segera menubruk dan menggunakan kedua lengannya untuk memeluk pinggang Sian Kim.

   "Jangan, moi-moi, tak usah kau melakukan hal itu! Thian yang menjadi saksi bahwa aku percaya kepadamu. Maafkan perbuatanku yang bodoh tadi!"

   Sian Kim dengan masih cemberut lalu mengerling tajam, marah sekali.

   "Lain kali jangan kau meragukan cintaku, koko, kalau kau memang tidak percaya, biarlah sekarang juga kita berpisah dan selamanya tak bertemu pula. Aku rela menderita dan patah hati, asal tidak membuat kau gelap pikiran dan mengamuk tidak karuan seperti orang gila..."

   Ciauw In merasa terharu dan memeluk lebih erat.

   "Maafkan aku, moi-moi, aku memang bersalah. Biarlah lain kali aku minta maaf kepada Hwat Seng."

   Akan tetapi di dalam batinnya Ciauw In maklum bahwa berapapun juga, kebenciannya terhadap Hwat Seng takkan dapat lenyap. Tentu saja Ciauw In tak pernah mengira bahwa memang sesungguhnya, semenjak tinggal di gedung keluarga Ong, Sian Kim mengadakan hubungan gelap dengan Ong Hwat Seng! Nona ini karena menjadi penasaran dan jengkel melihat sikap Ciauw In yang bersopan-sopan selalu itu, kini bertemu dengan seorang pemuda yang selain tampan dan kaya raya, juga yang memiliki sifat sama dengan dia sendiri, maka tentu saja mereka merupakan pasangan yang amat cocok. Di dalam kamar Sian Kim terdapat sebuah pintu rahasia dan melalui pintu inilah Hwat Seng mengadakan pertemuan dengan Sian Kim.

   Setelah Sian Kim dan Ciauw In meninggalkan rumahnya, Hwat Seng merasa amat marah dan sakit hati. Ia benci sekali kepada Ciauw In yang selain memutuskan hubungannya dengan Sian Kim, juga menghinanya dan melukai pundaknya. Ia bersumpah untuk membalas dendam, maka pada keesokan harinya, cepat ia menyebar orang-orangnya untuk memberitahukan kepada para petugas pemerintah yang sedang mencari-cari kedua orang itu dan juga kepada para jago kang-ouw yang merasa marah mendengar betapa Hek-lian-niocu dan Hoa-san Taihiap telah membunuh orang baik-baik dan membuat kekacauan besar. Terbunuhnya Hopak Sam-eng beserta putera mereka, dan terbunuhnya Hui Kok Losu, Lu-cin-tong Ma Sian dan banyak anggauta perkumpulan Kim-houw-bun, membuat orang-orang gagah merasa heran dan juga marah sekali terhadap Hoa-san Taihiap.

   Sebentar saja menjadi buah bibir kalangan kang-ouw bahwa Hoa-san Taihiap menjadi jahat karena pengaruh Hek Lian Niocu yang sudah terkenal jahat dan menjadi pemimpin dari perkumpulan Hek-lian-pang yang juga bernama busuk itu. Maka ketika Ong Hwat Seng, jago muda Bu-tong-pai, memberi kabar bahwa kedua orang muda yang dicari-cari itu telah mendatangi rumahnya, merampok dan melukai pundaknya, mereka segera memburu dan mengadakan pengejaran. Dalam kemarahan dan dendamnya, Ong Hwat Seng melakukan usaha yang amat luas. Ia bahkan memberi kabar kepada Ho Sim Siansu, tokoh Hoa-san-pai atau guru dari Ciauw In. Ia memberi surat yang membuka semua kejahatan Ciauw In bersama Sian Kim!

   Setelah meninggalkan rumah gedung Ong Hwat Seng dan mengalami peristiwa itu, hati Ciauw In tidak berubah terhadap Sian Kim, bahkan makin besar rasa cinta kasihnya dan ia makin tergila-gila. Apalagi sekarang Sian Kim berusaha sekuat tenaga untuk menarik hati pemuda itu dengan lagak yang amat menggiurkan hati. Namun, betapapun juga, ia tidak dapat meruntuhkan keteguhan iman Ciauw In dan pemuda itu masih dapat mempertahankan diri dan tidak melakukan pelanggaran yang melampaui batas-batas kesusilaan. Sementara itu, di dalam tubuh Ciauw In telah mengalir racun kembang yang berasal dari saputangan hijau pemberian kekasihnya dulu. Racun ini memang berjalan lambat sekali, dan dalam waktu kira-kira satu bulan barulah orang yang terkena racun ini akan menjadi kurban yang takkan dapat tertolong jiwanya lagi.

   Dengan muslihat yang cerdik dan licin, Sian Kim mengganti pula saputangannya dan memberi Ciauw In saputangan yang baru dan yang lebih harum baunya karena mengandung racun lebih banyak. Ciauw In yang tidak menduga sesuatu menganggap pemberian saputangan-saputangan ini sebagai tanda cinta yang lebih besar dari gadis itu! Tiga hari kemudian, bertemulah mereka dengan orang-orang kang-ouw pertama yang berusaha mencari mereka. Orang-orang ini bukan lain ialah Bong Hin, anak murid pertama darl Kun-lun-pai yang dulu ikut pula berpibu (mengadu kepandaian) di puncak Kui-san dan pemuda yang gagah perkasa ini dikawani oleh Gui Im Tojin, tokoh nomor tiga dari Kun-lun-pai! Gui Im Tojin, adalah susiok (paman guru) dari Bong Hin dan ilmu kepandaiannya tinggi serta namanya telah tersohor sebagai seorang pendekar tingkat tua.

   Gui Im Tojin dan Bong Hin kebetulan berada di dekat tempat itu ketika mereka mendengar berita yang ditebar oleh Ong Hwat Seng bahwa Hoa-san Taihiap dan Hek-lian Niocu berada di sekitar Ouwciu dan kebetulan sekali ketika mereka melihat Ciauw In duduk di bawah sebatang pohon siong dan Sian Kim dengan gaya yang manja sekali sedang berbaring di atas rumput dengan kepala berbantal paha pemuda itu! Ciauw In dengan mesra sekali membelai rambut kekasihnya yang hitam, panjang, dan berbau harum. Pemuda ini merasa amat berbahagia dan lupalah sudah ia akan segala peristiwa yang dialaminya bersama Sian Kim hingga membuat ia menanam bibit permusuhan dengan banyak orang gagah dan menimbulkan rasa benci kepada seluruh orang-orang kang-ouw.

   Ciauw In membelai rambut kekasihnya sambil mencium-cium saputangan hijau. Ia sekarang tak dapat terpisah dari saputangan itu karena seringkali ia merasa tubuhnya lemas kalau tidak mencium keharuman kembang yang menempel pada saputangan itu. Kalau ia sudah mencium saputangan itu sambil memandang wajah Sian Kim, ia merasa betapa keharuman itu seakan-akan menjalar di seluruh tubuhnya dan membuatnva merasa segar! Memang, racun kembang itu mempunyai pengaruh yang hampir sama dengan racun madat, dan yang membuat orang menjadi ketagihan. Hanya bedanya, kalau madat hanya merusak kesehatan dan membuat tubuh orang menjadi kurus kering, sebaliknya racun kembang ini membuat orang merasa segar dan sehat, akan tetapi diam-diam paru-paru mereka terkena racun yang dapat merenggut jiwa tanpa disadari dalam waktu sebulan!

   "Koko yang manis, kau tahu bahwa aku mempanyai banyak sekali musuh. Agaknya semua orang sengaja hendak memusuhi aku. Ah, sungguh malang nasibku..."

   Terdengar Sian Kim berkata perlahan sambil menarik napas panjang.

   "Jangan bersedih, kekasihku. Betapapun juga, masih ada aku yang mencintamu dan hendak membelamu."

   "Hanya itulah pegangan hidupku, koko. Akan tetapi ada satu hal yang selalu tak dapat kukatakan padamu karena aku kuatir kalau-kalau kaupun akan memusuhiku setelah mendengar itu."

   "Apakah hal itu, moi-moi? Katakanlah, kau tahu betul bahwa aku takkan merasa benci kepadamu, apapun yang telah dan akan terjadi."

   "Sebetulnya, akupun dimusuhi oleh golonganmu, dan bahkan... tanpa kausadari, akupun... menjadi musuhmu pula!"

   Ciauw In terkejut dan memandang wajah yang didongakkan dari bawah memandang kepadanya itu.

   "Moi-moi, apakah maksudmu?"

   Kembali Sian Kim ragu-ragu. Biarpun ia sudah merasa pasti bahwa kini Ciauw In telah berada dalam genggaman tangannya, akan tetapi ia masih berkuatir kalau-kalau pemuda ini akan berubah pikirannya apabila ia membuka rahasianya. Maka ia lalu bangkit duduk dan berkata.

   "Koko, kau peluklah aku, karena aku tidak berani membuka rahasia ini tanpa merasa bahwa kau betul-betul takkan menggangguku!"

   Ciauw In tersenyum dan merangkul pundaknya.

   "Katakanlah adikku yang manis."

   "Lie-twako, ketahuilah bahwa dulu aku pernah menjadi ketua dari perkumpulan."

   "Kau sudah memberitahukan hal itu kepadaku dulu."

   "Benar, akan tetapi kau tidak tahu perkumpulan apakah itu. Aku adalah pangcu (ketua) dari Hek-lian-pang yang dulu kau obrak-abrik bersama kedua adik seperguruanmu!"

   Kali ini Ciauw In benar-benar terkejut kedua tangannya yang merangkul pundak Sian Kim gemetar.

   

Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Pendekar Muka Buruk Karya Kho Ping Hoo Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini