Rajawali Lembah Huai 13
Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Bagian 13
"Ciangkun..., bagaimana ini...?"
Teriak mereka dengan bingung. Akan tetapi, sambutan yang mereka dapat dari Shu Ta menghilangkan kebingungan mereka, Shu Ta menggerakkan pedang dan membunuh dua orang yang berada paling depan. Tahulah mereka bahwa ini merupakan suatu pengkhianatan dari komandan mereka itu! Empat prajurit membalik dan melawan mati-matian, namun dengan mudah Goan Ciang dan Hui Yen merobohkan mereka. Habislah empat belas orang itu, roboh semua oleh tiga orang itu. Shu Ta tidak mau mengambil resiko, dia mengajak Goan Ciang untuk melakukan pemeriksaan dengan teliti dan menambah tusukan maut bagi mereka yang belum tewas sehingga mereka yakin bahwa empat belas orang itu sudah tewaas semua.
"Sekarang, dengar baik-baik, suheng. Aku menjadi panglima agar kelak dapat membantumu dari dalam. Engkau dari luar dan aku dari dalam. Bagus, bukan?"
Goan Ciang tidak menjawab, hanya merangkul dan menepuk-nepuk pundak sutenya.
"Sekarang, apa yang akan kita lakukan, sute?"
"Nah, perhatikan rencanaku ini. Siasat ini harus dilaksanakan sebaik mungkin karena kalau gagal, membahayakan keselamatan kita dan berarti menggagalkan pula perjuangan kita."
Dia lalu bicara berbisik-bisik namun singkat dan jelas. Setelah Goan Ciang dan Hui Yen mengangguk-angguk mengerti, barulah Shu Ta merasa puas.
"Nah, sekarang aku akan membuka satu demi satu tujuh pintu depan. Bantu aku mengambil kunci-kunci itu dari dalam saku baju para penjaga, suheng. Yang itu, dan itu, dan di sana itu..."
Bukan hanya Goan Ciang, juga Hui Yen tanpa diperintah sudah ikut membantu, mencari dan mengambil kunci dari saku baju para penjaga yang ditunjuk dan yang telah menjadi mayat. Tidak lama kemudian, tujuh lapis pintu itu terbuka semua dari dalam dan yang keluar dari pintu paling luar adalah dua orang prajurit dan seorang berpakaian dan berkedok hitam! Tentu saja si kedok hitam adalah Shu Ta dan dua orang pelarian itu melucuti dan mengenakan pakaian dua orang di antara para prajurit yang tewas. Karena sudah hafal benar akan keadaan dalam perbentengan itu, tentu saja tidak sukar bagi Shu Ta untuk mencari jalan paling aman sehingga mereka dapat mendekati pagar tembok tanpa diketahui seorangpun penjaga. Dari dalam segerombolan semak Shu Ta mengeluarkan segulung tali yang dipasangi kaitan di ujungnya.
Semua terjadi sesuai dengan rencana yang sudah dipersiapkannya sore tadi. Dia mengajak dua orang pelarian itu bersembunyi di belakang semak yang jaraknya sekitar lima puluh meter dari pagar tembok dan menanti. Hujan masih turun rintik-rintik dan malam gelap sekali. Tak lama kemudian, terdengar bunyi pukulan lonceng dan seperti yang sudah diperintahkan Shu-Ciangkun, beberapa orang peronda lewat. Goan Ciang dan Hui Yen cepat keluar dari balik semak belukar, berlari mendekati pagar tembok dan Goan Ciang segera melemparkan ujung tali yang ada kaitannya ke atas. Sekali lempar, kaitan itu meluncur ke atas membawa tali dan berhasil menggait tepi pagar di atas. Setelah menarik-narik tali itu dan mendapat kenyataan bahwa kaitannya cukup kuat, dia memberi isarat kepada Hui Yen dan mereka lalu merayap naik melalui tali yang kuat itu.
Setibanya di atas pagar tembok, mereka mendekam dan Goan Ciang menarik tali itu ke atas tembok. Tali itu masih mereka butuhkan. Meloncat begitu saja ke bawah dari pagar tembok setinggi itu, mengandung bahaya besar karena di luar pagar tembok masih terdapat banyak penjaga yang selalu melakukan perondaan. Sesuai dengan siasat yang sudah diatur Shu Ta, mereka kini menanti di atas pagar tembok dan memandang ke arah pos penjagaan di depan pintu gerbang benteng. Shu Ta sudah memilih tempat yang paling tepat. Benteng itu terkurung parit yang berisi air dan keadaannya amat berbahaya, sukar untuk dapat diseberangi. Bagian yang dipilih Shu Ta itu dekat dengan pintu gerbang yang merupakan bagian paling sulit dilalui karena banyaknya pasukan yang berjaga.
Ketika Goan Ciang dan Hui Yen memperhatikan ke bawah, ternyata di luar pagar tembok di bawah mereka terdapat bangunan kecil seperti pondok berjajar lima. Tempat ini adalah tempat peristirahatan bagi para prajurit yang tidak berjaga, juga menjadi tempat penyimpanan ransum, dapur dan penyimpanan senjata. Kedua orang pelarian itu ingat benar akan pesan Shu Ta tadi, pesan yang barus dilaksanakan dengan cermat. Sebentar lagi rombongan peronda di atas pagar tembok benteng yang tebal itu akan lewat dan di atas itu tidak ada tempat untuk menyembunyikan diri. Mereka akan ketahuan, dan kalau ketahuan di atas tembok itu, tentu saja amat membahayakan mereka dan sukar untuk dapat meloloskan diri. Tiba-tiba terdengar teriakan dan keributan di bawah, sebelah dalam. Tahulah Goan Ciang bahwa sutenya sudah bertindak, sesuai dengan siasat yang telah diaturnya. Shu Ta telah memancing perhatian di sebelah dalam pagar tembok.
"Mari kita turun cepat dan hati-hati,"
Bisiknya kepada Hui Yen dan diapun melepas gulungan tali yang ujungnya sudah dikaitkan di atas itu, ke bawah. Lalu keduanya merayap turun dengan cepat sehingga mereka dapat tiba di atas atap pondok-pondok itu tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Akan tetapi, tetap saja ada seorang penjaga yang melihat mereka. Penjaga itu berteriak dan sedikitnya tiga puluh orang prajurit mengepung pondok itu sambil berteriak-teriak. Di antara mereka bahkan ada yang sudah berloncatan ke atas genteng pondok. Dua orang pertama yang meloncat ke atas genteng, disambut oleh Goan Ciang dan Hui Yen.
Mereka terjungkal ke bawah sambil mengaduh. Para prajurit yang berada di bawah menjadi gempar. Kini banyak orang yang berloncatan ke atas, dan pada saat itu, Goan Ciang dan Hui Yen meloncat turun! Dua orang pelarian ini menyelinap di antara para prajurit yang berteriak-teriak itu dan karena tempat itu gelap, hanya remang-remang saja diterangi lampu gantung dari pondok, maka tentu saja para prajurit menganggap mereka itu kawan sendiri.
"Ini penjahatnya!"
Seorang prajurit yang berada dekat dengan Hui Yen berseru, akan tetapi teriakannya tadi menyadarkan para rekannya bahwa dua orang yang berpakaian seperti mereka itu adalah orang-orang yang tidak mereka kenal, maka mereka segera mengepung dan mengeroyoknya. Goan Ciang dan Hui Yen mengamuk. Mereka dikepung oleh kurang lebih tiga puluh orang prajurit. Di antara mereka ada yang membawa obor sehingga tempat itu menjadi agak terang, Goan Ciang dan Hui Yen mengamuk, dapat merobohkan empat orang pengeroyok.
"Lari...!"
Teriaknya kepada Hui Yen. Seperti telah dipesankan oleh Shu Ta, mereka harus cepat-cepat melarikan diri karena kalau sampai bala bantuan tiba, mereka akan dikepung oleh ratusan, bahkan ribuan orang prajurit dan tidak mungkin lagi mereka akan dapat meloloskan diri. Jalan satu-satunya untuk dapat keluar dari daerah perbentengan itu hanya melalui jembatan di depan pintu gerbang. Saat itu, yang bertugas jaga di depan pintu gerbang hanya sekitar empat puluh orang. Akan tetapi dalam waktu singkat, jumlah itu dapat bertambah menjadi puluhan kali lipat banyaknya! Shu Ta menjamin bahwa penambahan jumlah itu tidak akan dapat terjadi dengan cepat karena dia yang akan mengacau dan memancing perhatian di sebelah dalam sehingga tidak ada perhatian di luar tembok.
Apa lagi, puluhan orang prajurit di luar tembok itu tentu merasa tidak perlu minta bantuan dari dalam kalau hanya menghadapi dua orang pelarian saja. Terjadi pengejaran di sekitar pintu gerbang. Kembali Hui Yen dan Goan Ciang mendapatkan keuntungan karena penyamaran mereka. Mereka berdua berloncatan dan berlarian, menyelinap di antara pondok dan kadang, kalau mendadak bertemu prajurit, si prajurit agak tertegun karena mengira rekan mereka sendiri. Keraguan yang hanya beberapa detik ini cukup bagi kedua orang pelarian itu untuk merobohkan lawan. Akhirnya, Goan Ciang dan Hui Yen berhasil menyeberangi jembatan setelah merobohkan belasan orang prajurit. Para prajurit menjadi gempar, sebagian melakukan pengejaran dan ada pula yang memukul tanda bahaya memberi isarat ke dalam! Sementara itu, di dalam perbentengan terjadi kegemparan.
Seorang yang berpakaian hitam dan berkedok hitam telah merobohkan empat orang berturut-turut. Yang diserang adalah para peronda, kemudian bayangan hitam itu nampak berkelebatan di dekat pintu gerbang, merobohkan lagi dua orang prajurit. Tentu saja dia segera dikeroyok, akan tetapi dengan gesitnya dia berloncatan dan menyusup ke sana sini, dikejar oleh para prajurit. Tentu saja suasana menjadi geger dan kacau. Teriakan-teriakan para prajurit membuat suasana menjadi semakin kacau. Ketika si kedok hitam lenyap ditelan kegelapan, ada prajurit yang memukul tanda bahaya dengan gencarnya. Tak lama kemudian, Panglima Shu Ta muncul dengan pedang di tangan. Dia nampak seperti baru bangun tidur dan pakaiannyapun tidak lengkap, seperti tergesa-gesa.
"Apa yang telah terjadi?"
Bentaknya. Para perwira juga bermunculan dan semua bertanya apa yang terjadi.
"Ada seorang berkedok hitam mengacau dan membunuh beberapa orang prajurit, Ciangkun!"
Seorang prajurit melapor.
"Ahhh! Kita cepat memeriksa tempat tahanan. Hayo ikut dengan aku!"
Kata Shu-Ciangkun.
Tujuh orang perwira dan belasan orang prajurit segera mengikutinya dan mereka berlari-lari menuju ke tempat tahanan. Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya semua orang ketika mendapat kenyataan bahwa tujuh lapis pintu itu telah terbuka semua. Mereka menyerbu masuk dan ketika mereka tiba di tempat tahanan, mereka terbelalak melihat betapa empat belas orang prajurit penjaga telah tewas semua dan mayat mereka bertumpuk dan berserakan di dalam kamar tahanan! Dua orang tahanan telah lenyap!
"Celaka!"
Shu-Ciangkun berteriak.
"Tentu si kedok hitam itu yang membebaskan mereka. Hayo kerahkan semua pasukan, cari dan kejar!"
Para perwira berlarian keluar untuk melaksanakan perintah itu, dan ketika Yauw-Ciangkun datang, diapun menjadi marah bukan main.
"Bagaimana mungkin dua orang tawanan yang berada di dalam benteng dapat melarikan diri begitu saja? Ini tentu ada bantuan dari dalam!"
Katanya.
"Sayapun berpendapat begitu, Ciangkun!"
Kata Shu Ta.
"Kita harus dapat menangkap si kedok hitam itu, dan menangkap kembali dua orang tahanan!"
Yauw-Ciangkun mengerutkan alisnya.
"Shu-Ciangkun, sekali ini aku agak kecewa. Kenapa engkau tidak segera suruh bunuh saja dua orang pemberontak itu, dan menggantungkan kepala mereka di pintu gerbang? Kini mereka lolos dan ini merupakan pukulan hebat bagi kita."
"Maaf, Yauw-Ciangkun. Tadinya saya berniat untuk membujuk mereka agar mengaku di mana adanya kawan-kawan mereka. Saya memberi waktu semalam ini, bahkan malam tadi saya masih sempat mengunjungi mereka dan membujuk serta menggertak mereka."
"Hemm, dan apa hasil bujukan itu? Sia-sia saja."
"Tidak sia-sia, Ciangkun,"
Bantah Shu Ta.
"Dalam kunjungan itu saya memeriksa keadaan para penjaga dan memesan agar mereka waspada. Selain itu, juga ada hasil lain, yaitu pengakuan tawanan perempuan itu setelah dia saya ancam. Tapi ini, mereka yang terluka dibawa menghadap, kita dapat menanyai mereka, Ciangkun."
Memang Shu Ta memerintahkan agar para prajurit yang terluka dibawa menghadap agar dapat ditanyai akan tetapi kini yang dibawa menghadap bukan hanya prajurit yang berada di dalam, juga prajurit yang dari luar benteng! Pintu gerbang benteng sudah dibuka dan bala bantuan dari dalam ikut pula melakukan pengejaran keluar namun sia-sia. Dua orang itu telah lenyap. Panglima Yauw dan Panglima Shu menanyai para prajurit yang terluka. Mereka yang terluka oleh si kedok hitam, segera menceritakan pengalaman mereka. Akan tetapi mereka hanya melihat seorang yang berpakaian hitam dan berkedok, berkelebatan dan ketika hendak ditangkap, si kedok hitam itu merobohkannya dengan pedang.
"Si kedok hitam itu lihai sekali, Ciangkun. Kami tujuh orang sudah mengepungnya dan mengeroyoknya, akan tetapi dua orang di antara kami roboh dan dia sudah meloncat dan hilang."
"Si kedok hitam mengamuk dekat pintu gerbang, merobohkan dua orang termasuk saya, dan ketika dia dikepung, diapun dapat meloloskan diri, meloncat dan menghilang, gerakannya cepat bukan main, Ciangkun,"
Kata prajurit ke dua yang terluka. Kemudian, prajurit yang terluka di luar benteng, menceritakan pengalamannya.
"Kami melihat dua orang turun dari pagar tembok dan berada di atap pondok penjagaan di luar, Ciangkun. Kami segera menyergap mereka, akan tetapi mereka itu lihai. Selain itu, ketika mereka berloncatan turun, kami sempat dibikin bingung karena mereka mengenakan pakaian prajurit seperti kami dan malam cukup gelap. Dalam keadaan ragu dan bingung, mereka dapat merobohkan beberapa orang di antara kami dan mereka melarikan diri melalui jembatan."
"Kalian semua tolol! Goblok!"
Shu-Ciangkun membentak-bentak marah.
"Hanya menghadapi dua orang buronan di luar benteng, dan seorang berkedok hitam di dalam benteng saja kalian tidak mampu menangkap mereka? Kalian semua patut dihukum!"
Akan tetapi, Yauw-Ciangkun mengajak Shu-Ciangkun untuk melakukan pemeriksaan di tempat kejadian. Mereka mendapatkan bahwa dua orang di antara empat belas prajurit yang tewas di kamar tahanan, hanya berpakaian dalam saja. Kemudian mereka juga menemukan tali berujung kaitan di atas pondok penjagaan di luar pintu gerbang.
"Hemm, sekarang jelas sudah,"
Kata Yauw-Ciangkun.
"Si kedok hitam itulah yang membantu dua orang tawanan. Akan tetapi sungguh luar biasa sekali bagaimana dia mampu melewati pintu yang tujuh lapis dan membunuh semua penjaga di sebelah dalam sehingga tidak ada yang mendengar atau yang mengetahui. Setelah membebaskan dua orang tawanan yang menyamar sebagai prajurit, lalu dua orang tawanan itu melarikan diri menggunakan tali ini. Dua orang tawanan itu berhasil meloloskan diri karena si kedok hitam di sebelah dalam benteng sengaja menimbulkan kekacauan sehingga para prajurit di sebelah dalam benteng tidak sempat membantu ke luar benteng untuk ikut mengepung dan menangkap dua orang buronan. Sungguh cerdi sekali si kedok hitam!"
"Akan tetapi bagaimana dia dapat memasuki benteng?"
Shu-Ciangkun membantah.
"Kalau dia orang luar, tidak mungkin dapat masuk benteng tanpa diketahui! Saya hampir yakin bahwa dia tentulah mata-mata yang berhasil menyelundup ke dalam benteng, mungkin selama ini dia telah bersembunyi dan kita tidak tahu di mana. Dan lebih besar lagi kemungkinan dia masih berada di dalam benteng. Saya akan memerintahkan pasukan penyelidik melakukan penggeledahan dan pemeriksaan di dalam benteng, Yauw-Ciangkun."
"Memang sebaiknya begitu. Kalau saja kau suruh bunuh dua orang tawanan itu, tentu tidak akan terjadi peristiwa malam ini. Akan tetapi tadi kau mengatakan bahwa penundaan hukuman mati sampai besok itu tidak sia-sia dan menghasilkan pengakuan tawanan perempuan itu. Pengakuan yang bagaimana?"
"Inilah yang saya katakan tidak sia-sia, Ciangkun. Kita dapat melakukan pembalasan atas kekalahan kita malam ini dengan lolosnya kedua orang tawanan itu! Perempuan muda itu telah memberitahukan di mana sarang kawan-kawannya, yaitu orang-orang Hwa I Kaipang yang kini tidak lagi memperlihatkan diri."
"Bagus sekali kalau begitu! Memang akupun merasa heran mengapa setelah kita ketahui bahwa Hwa I Kaipang menentang pemerintah, dan bermusuhan dengan Hek I Kaipang, kini tak pernah nampak seorangpun pengemis berpakaian kembang. Tentu mereka telah bersembunyi. Dan engkau mengetahui tempat persembunyiannya? Di mana, Shu-Ciangkun?" "
Di lereng Bukit Bambu Kuning lembah sungai Yang-ce! Dan kita harus cepat bertindak sebelum mereka melarikan diri lagi. Siapa tahu, di sana kita dapat menemukan pula dua orang buronan itu!"
Shu Ta lalu berbisik-bisik mengatur siasat dengan atasannya itu. Mendengar keterangan pembantu utamanya ini, Yauw-Ciangkun menjadi gembira dan berkuranglah rasa tidak senangnya oleh peristiwa lolosnya dua orang buronan itu. Apa lagi melihat bawahannya memang tidak bersalah, bahkan kini bersungguh-sungguh untuk menumpas pemberontak. Tak seorangpun dapat menduga bahwa lolosnya dua orang buronan itu karena siasat Shu-Ciangkun. Para prajurit melihat betapa malam itu panglima ini masih melakukan perondaan, bahkan memesan kepada para penjaga untuk melakukan penjagaan yang ketat.
Bahkan dalam keadaan malam gelap, hujan dan dingin itu, dia masih memeriksa penjagaan, ke pintu gerbang, ke tempat tahanan umum, ke tempat tahanan istimewa. Siapa yang akan menyangka bahwa orang berkedok hitam yang membebaskan dua orang pemberontak itu adalah sang panglima yang begitu getol memberantas pemberontak dan penjahat? Pasukan yang kuat telah dikumpulkan dan tak lama kemudian, Panglima Shu sendiri yang memimpin pasukan itu, menjelang pagi bergerak menuju ke Bukit Bambu Kuning di lembah sungai Yang-ce. Dengan tubuh lelah namun semangat tinggi dan hati penuh perasaan gembira, Goan Ciang dan Hui Yen akhirnya dapat lolos dari pengejaran para prajurit benteng. Mereka langsung saja keluar dari pintu gerbang kota Nan-king setelah menanggalkan pakaian prajurit yang mereka pakai di luar pakaian mereka sendiri.
Mereka berlari terus biarpun sudah keluar kota, dan baru berhenti mengaso setelah mereka bertemu dengan tempat persembunyian para anggota Hwa I Kaipang yang bermusuhan dengan Hek I Kaipang yang menjadi antek Mongol sehingga Hwa I Kaipang dicap sebagai pemberontak dan dikejar-kejar pasukan pemerintah, Hwa I Kaipang terpaksa meninggalkan markas besar mereka dan hanya mempunyai tempat-tempat pertemuan yang dirahasiakan. Ketika para anggota Hwa I Kaipang menyambut wakil ketua mereka dan pembantunya, yaitu Tang Hui Yen dan Cu Goan Ciang, mereka gembira bukan main.
Mereka telah mendengar berita ditawannya kedua orang pimpinan itu dan mereka sedang prihatin dan berbincang-bincang bagaimana mereka akan dapat menolong kedua orang pimpinan mereka yang kabarnya ditawan dalam benteng pasukan pemerintah di Nan-king. Akan tetapi, kedua orang itu menghentikan kegembiraan mereka dengan memberi tugas kepada mereka. Semua anggota yang berada di situ dikumpulkan. Jumlah mereka hanya ada tiga puluh orang lebih.
"Sekarang juga, kita pergi ke Bukit Bambu Kunig dengan gerak cepat. Di lereng bukit itu terdapat sarang gerombolan perampok yang dipimpin oleh Yang-ce Siang-houw (Sepasang Harimau Sungai Yang-ce), dan kita bersembunyi tak jauh dari sarang mereka. Kalau nanti sarang mereka itu telah diserbu pasukan pemerintah, baru kita keluar dan kita terjun ke dalam pertempuran. Untuk gerakan ini kita semua mengenakan pakaian lama Hwa I Kaipang, yaitu baju kembang,"
Kata Hui Yen, membuat semua anggota Hwa I Kaipang terheran-heran.
"Maaf, nona,"
Kata seorang di antara mereka, seorang anggota yang sudah setengah tua dan sudah lama menjadi anggota perkumpulan itu.
"Setahu saya, kita adalah sekumpulan orang miskin yang tidak pernah mendekati penjahat, apa lagi bersekutu dengan mereka. Menentang pasukan pemerintah, memang tugas kita, akan tetapi membantu gerombolan perampok...??"
Cu Goan Ciang maklum akan keraguan mereka, maka cepat dia bicara.
"Harap saudara sekalian ketahui bahwa gerakan kita sekarang ini sama sekali bukan untuk membantu para perampok. Biasanya kita bahkan menentang para perampok. Dalam gerakan kita ini, kitapun hanya berpura-pura saja membantu mereka, yaitu dengan jalan memperlihatkan diri sebagai anggota Hwa I Kaipang dengan pakaian kita, lalu kelihatan membantu. Hal ini merupakan siasat agar pasukan pemerintah benar-benar mengira bahwa tempat itu adalah sarang Hwa I Kaipang seperti yang mereka duga. Setelah kita memperlihatkan diri seperti membantu para perampok, kita harus cepat-cepat meninggalkan gelanggang pertempuran dan melarikan diri. Jangan sampai ada seorangpun di antara kita yang tewas. Mengerti?"
"Ada satu hal lagi. Di antara kalian yang merasa memiliki kepandaian dan kemampuan, sebelum melarikan diri harus sedapat mungkin menanggalkan baju kembang kalian dan mengenakan baju kembang itu pada mayat anggota gerombolan perampok agar nantinya pasukan itu mengira bahwa yang mereka tumpas benar-benar adalah anak buah Hwa I Kaipang. Nah, kiranya sudah jelas sekarang?"
Para anggota Hwa I Kaipang mengangguk-angguk dengan hati lega.
Biarpun mereka tidak mengerti mengapa para pimpinan mereka mempergunakan siasat itu, namun mereka mentaati, apa lagi karena gerakan itu sama sekali bukan berarti mereka membantu para perampok, melainkan pelaksanaan dari suatu siasat para pimpinan mereka yang tidak mereka mengerti. Tanpa beristirahat terlalu lama, Goan Ciang dan Hui Yen kembali melakukan perjalan, akan tetapi sekali ini, anak buah mereka menyediakan dua ekor kuda untuk mereka supaya tidak akan terlalu lelah menempuh perjalanan ke bukit itu. Bukit Bambu Kunig merupakan sebuah di antara bukit-bukit yang terdapat di lembah sungai Yang-ce. Bukit ini rimbun dengan hutan bambu kuning, dan sejak lama bukit ini dianggap sebagai tempat berbahaya bagi para penduduk daerah itu.
Selain bukit yang penuh hutan bambu itu tidak memungkinkan tumbuhnya pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan lain yang menghasilkan, juga tempat itu sering dijadikan sarang gerombolan penjahat yang kejam. Oleh karena itu, para penghuni dusun di sekitar daerah itu merasa lebih aman untuk menjauhinya. Pada waktu ini, di lereng bukit itu memang terdapat sarang gerombolan perampok yang ditakuti. Gerombolan yang anggotanya tidak kurang dari lima puluh orang ini dipimpin oleh dua orang kakak beradik yang dijuluki Yang-ce Siang-houw (Sepasang Harimau Yang-ce), karena mereka berdua itu ganas seperti harimau. Anak buah mereka juga terkenal kejam dan jahat, juga rata-rata memiliki tubuh yang kekar dan watak yang buas di samping ilmu silat yang lumayan. Pekerjaan mereka adalah merampok, atau membajak perahu para pedagang di sepanjang sungai, memaksakan kehendak mereka kepada para penduduk dusun.
Pendeknya, mereka itu merampok, membunuh, memperkosa dan memaksakan segala kehendak mereka. Agaknya tidak ada kejahatan yang mereka pantang melakukannya. Baru beberapa bulan gerombolan ini bersarang di lereng bukit itu, dipimpin oleh Yang-ce Siang-houw yang sebelumnya hanya melakukan kejahatan berdua saja tanpa anak buah. Lewat tengah hari, pada hari itu, suasana di sarang gerombolan yang biasanya lengang itu, nampak meriah. Biarpun tidak terdapat pesta seperti yang biasa dilakukan rakyat, namun gerombolan itu sebetulnya sedang merayakan pesta pernikahan! Pernikahan dari dua orang pimpinan mereka. Kakak beradik Yang-ce Siang-houw itu, setelah kini menjadi pimpinan gerombolan, mengambil keputusan untuk membangun keluarga.
Mereka yang usianya hampir lima puluh tahun, menjatuhkan pilihan masing-masing kepada dua orang gadis dusun yang mereka culik dan mereka paksa menjadi isteri. Tentu saja tidak ada pesta perayaan yang dihadiri oleh keluarga dua orang gadis itu atau oleh penduduk dusun asal mereka. Pesta itu hanya merupakan pesta mabok-mabokan oleh para anggota gerombolan perampok. Para wanita yang menemani mereka makan minum adalah para wanita yang tiada beda nasibnya dengan dua orang gadis yang dipaksa menjadi pengantin di hari itu, ialah wanita-wanita yang diculik dan dilarikan dari suami mereka atau dari orang tua mereka. Karena lima puluh lebih anak buah gerombolan yang selalu yakin bahwa tidak ada seprangpun dari luar yang berani naik ke lereng itu, apa lagi memasuki daerah sarang mereka, maka mereka menjadi lengah.
Mereka tidak tahu bahwa ada tiga puluh orang lebih bersembunyi di balik semak-semak, di belakang rumpun bambu. Bahkan mereka tidak tahu bahwa dua jam kemudian, pasukan pemerintah yang jumlahnya tiga ratus orang juga mendaki bukit iru dan mengepung sarang mereka. Pasukan ini dipimpin oleh Panglima Shu Ta sendiri, bahkan ditemani oleh Yauw-Ciangkun karena komandan atau panglima tertinggi di Nan-king ini merasa penasran dngan lolosnya dua orang tawanan, selain itu juga dengan cerdik sekali Shu Ta berhasil membujuknya untuk ikut dalam gerakan penumpasan terhadap sarang pemberontak itu! Shu Ta memang seorang yang amat cerdik dan setelah menjadi panglima dan mempelajari ilmu-ilmu perang dari kitab-kitab yang tersedia, dia menjadi semakin cerdik, seperti yang telah diduga oleh Goan Ciang dan semua siasatnya dilaksanakan dengan patuh oleh Goan Ciang, semua siasatnya telah diatur dengan cermat pada saat dia kebingungan melihat suhengnya tertwan.
Kebetulan sekali pada waktu itu, baru saja dia mendengar laporan para penyelidiknya tentang gerombolan perampok yang bersarang di Bukit Bambu Kuning. Keterangan tentang sarang gerombolan itulah yang menimbulkan gagasan untuk mempergunakannya sebagai suatu cara untuk menghilangkan kecurigaan terhadap dirinya setelah Goan Ciang dan Hui Yen dapat dibebaskan olehnya. Tanpa adanya gerakan penumpasan tehadap Hwa I Kaipang, tentu atasannya, Yauw-Ciangkun, akan merasa kecewa dan marah sekali, dan mungkin akan mencurigainya. Maka, dia mengatur siasar dan telah mempersiapkannya sebelum dia membebaskan dua orang tawanan itu secara cerdik sekali, dengan menyamar sebagai seorang berkedok hitam.
Kini siasatnya itu dilaksanakan dalam kerja sama antara dia dan suhengnya dan dia merasa yakin bahwa saat dia memimpin pasukannya naik ke lereng Bukit Bambu Kuning, suhengnya dan kawan-kawan suhengnya tentu sudah siap siaga pula. Dapat dibayangkan betapa kacau dan paniknya para anggota gerombolan perampok itu ketika tiba-tiba saja sarang mereka telah dikepung ratusan orang prajurit dan serbuan datang dari segenap penjuru! Mereka adalah orang-orang yang biasa dengan kekerasan, maka setelah panik sejenak, mereka segera menyambar senjata dan melawan mati-matian. Juga dua orang kakak beradik yang sedang menjadi pengantin itu mengamuk dengan golok besar merke. Ketika terjadi perempurarn itulah, orang-orang yang berpakaian baju kembang bermunculan di mana-mana dan mereka membantu para perampok, menyambut serangan para prajurit pasukan pemerintah.
Tentu saja pertempuran menjadi semakin seru. Panglima Shu Ta yang berdiri di tempat yang agak tinggi bersama Panglima Yauw, gembira sekali melihat munculnya banyak orang berbaju kembang, dan diapun segera berkata kepada atasannya.
"Nah, itulah mereka, para anggota Hwa I Kaipang! Tawanan perempuan itu tidak berbohong dalam pengakuannya semalam dan kita tidak terlambat. Para pemberontak itu belum sempat pergi dari sini."
Yauw-Ciangkun mengangguk-angguk dengan hati puas. Sementara itu, Goan Ciang dan Hui Yen ikut mengamuk, merobohkan banyak prajurit. Akan tetapi diam-diam mereka memberi isarat kepada anak buah meeka untuk mulai menyelinap dan melarikan diri, dan merekapun menggunakan kesempatan untuk meninggalkan baju kembang mereka pada tubuh mayat-mayat anak buah gerombolan.
Ada di antara para anggota Hwa I Kaipang yang terluka, dan mereka ini diseret dan diangkut oleh kawan-kawan mereka untuk melarikan diri. Bahkan ada tiga orang yang tewas ditinggalkan begitu saja, berikut baju kembang mereka! Kematian mereka itu tidak sia-sia, selain mereka sudah berhasil membunuh banyak prajurit, juga mereka dapat menolong Shu Ta, menjadi bukti bahwa tempat itu benar-benar menjadi sarang pemberontak baju kembang! Serbuan pasukan itu berhasil baik. Tidak kurang dari tiga puluh orang gerombolan "pemberontak"
Dibasmi, terluka parah atau tewas. Di antara yang tewas itu, lebih dari setengahnya mengenakan jubah kembang dan di antara mereka yang tewas terdapat pula kakak beradik Yang-ce Siang-houw.
Kedua orang panglima Shu dan Yauw pulang dengan pasukan mereka, membawa kemenangan dan kembali Shu-Ciangkun dipuji-puji oleh pemerintah Mongol sebagai seorang panglima muda yang baru akan tetapi telah membuat jasa besar. Akan tetapi, semua ini tidak membuat Shu Ta menjadi kehilangaan kewasppadaan. Di menerima pujian itu dengan rendah hati dan juga sama sekali tidak mendatangkan kelengahan sehingga dia tahu bahwa di dalam kemenangan siasatnya itu, masih terdapat bahaya besar yang datangnya dari para pimpinan Hek I Kaipang! Hal ini diketahuinya ketika beberapa hari kemudian, Yauw-Ciangkun menyatakan keheranannya dengan sikap dan suara yang mengandung kecurigaan.
"Sungguh aku tidak dapat mengerti sampai sekarang, Ciangkun. Ke mana perginya si kedok hitam itu? Siapakah dia? Bagaimana dia dapat memasuki benteng dan sekarang dia berada di mana? Menurut laporanmu, setelah diadakan penggeledahan, tidak ditemukan si kedok hitam atau bahkan jejaknya. Apakah dia dapat menghilang? Sungguh hal ini menimbulkan penasaran. Pendeknya kalau dia belum dapat ditemukan, hatiku selalu akan merasa gelisah memikirkan bahwa seorang di antara kita yang berada di dalam benteng adalah seorang mata-mata musuh yang lihai dan berbahaya."
Diam-diam Shu Ta terkejut bukan main.
"Akan tetapi, Yauw-Ciangkun, saya dan para pembantu saya sudah melakukan penyelidikan dan besar kemungkinan si kedok hitam yang dipergunakan kedua orang buronan itu. Agaknya mustahil kalau dia masih dapat bersembunyi di dalam benteng."
"Hemm, siapa tahu dia adalah seotang di antara para prajurit atau perwira sendiri, atau mungkin... ha-ha, ini menurut pendapat para tokoh yang lihai dari Hek I Kaipang, mungkin juga bisa aku atau engkau sendiri!"
Shu Ta tertawa bergelak.
"Aih, kalau benar ada yang berpendapat seperti itu, mungkin dia itu gila, Yauw-Ciangkun!"
"Gila atau tidak, mereka adalah orang-orang pandai yang kita harapkan dapat membantu kita untuk menaruh orang yang mau bekerja sama dengan kita menjadi Beng-cu yang akan dilakukan pemilihan beberapa bulan lagi."
"Siapakah mereka itu, Yauw-Ciangkun? Setahu saya di Hek I Kaipang hanya ada Coa-pangcu (ketua Coa) dan puterinya yang cerdik dan lihai, yaitu nona Coa Leng Si. Apakah mereka yang mengatakan demikian?"
"Bukan, bukan mereka, melainkan tiga orang lain yang kini sudah berkumpul di sana dan siap membantu kita. Yang pertama adalah guru dari nona Coa Leng Si, dia seorang bekas hwesio yang amat lihai, namanya Bouw In Hwesio dan... eh, kenapa? Kenalkah engkau kepada Bouw In Hwesio?"
(Lanjut ke Jilid 13)
Rajawali Lembah Huai (Cerita Lepas)
Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 13
Shu Ta sudah dapat menenangkan hatinya kembali. Untung bahwa selama menjadi murid Lauw In Hwesio ketua kuil Siauw-lim-si di lembah Huai, dia belum pernah bertemu dengan supeknya yang bernama Bouw In Hwesio itu, hanya mendengar namanya saja dan keterangan dari suhunya, bahwa supeknya itu lebih lihai dari pada suhunya. Dan sekarang, supeknya itu telah menjadi guru dari Coa Leng Si, gadis lihai puteri ketua Hek I Kaipang!
"Nama Bouw In Hwesio dari Siauw-lim-pai telah banyak dikenal di dunia persilatan, Yauw-Ciangkun. Siapa yang tidak pernah mendengarnya? Pantas saja nona Coa Leng Si disohorkan lihai sekali, tidak tahunya ia adalah murid hwesio yang sakti itu."
"Sekarang bukan lagi menjadi hwesio, melainkan seorang biasa bernama Bouw In dan dia telah berkeluarga, menikah dengan seorang janda cantik adapun dua orang yang lain adalah suhu dan subo dari Hek I Kai-pangcu sendiri, dan engkau tahu siapa mereka? Mereka adalah Huang-ho Siang Lomo, sepasang kakek nenek suami isteri yang sudah lama mengundurkan diri dari dunia kang-ouw akan tetapi sekarang siap membantu murid mereka."
"Ciangkun tadi mengatakan bahwa mereka itu yang bependapat bahwa si kedok hitam adalah seorang di antara penghuni benteng kita?"
Shu Ta mendesak.
Atasannya mengangguk.
"Mereka adalah orang-orang berpengalaman, Shu-Ciangkun, dan pendapat mereka itu berdasarkan pengalaman. Kurasa ada baiknya kita memperhatikan pandapat itu, siapa tahu benar-benar seorang di antara anak buah kita adalah seorang mata-mata musuh. Sungguh berbahaya sekali kalau benar begitu."
"Jangan khawatir, Yauw-Ciangkun. Saya berjanji akan membongkar rahasia si kedok hitam itu. Saya akan mengerahkan seluruh pembantu untuk mencari dan menangkapnya hidup ataupun mati!"
Kata Shu Ta dengan sikap yang penuh semangat. Gembira hati Panglima Yauw mendengar ini.
"Bagus, Shu-Ciangkun. Baik dia orang dalam benteng, atau orang luar, dia harus ditangkap karena dia telah merugikan kita."
"Saya berjanji, Ciangkun!"
Dengan mengenakan pakaian biasa, Shu Ta berjalan-jalan di dalam kota. Kepada para pembantunya, dia mengatakan bahwa dia sendiri akan turun tangan ikut melakukan penyelidikan ke dalam kota agar dapat menangkap si kedok hitam. Dia tiba di dekap pasar di mana terdapat banyak pengemis yang minta sedekah. Di antara para pengemis itu, dia melihat ada beberapa orang anak buahnya yang menyamar, akan tetapi sebagian besar adalah pengemis asli. Ketika dia membagi-bagikan uang receh kepada mereka, dia melihat seorang pengemis yang kaki kirinya buntung. Dia segera mengenal pengemia ini, karena sudah lama pengemis ini menjadi penghubungnya kalau dia hendak menyampaikan pesan kepada para pemberontak.
Pengemis ini adalah seorang anggota pejuang yang biarpun kakinya sudah buntung sebelah, namun masih bergelora semangatnya. Justeru karena kakinya buntung ketika dia ikut bertempur melawan pasukan pemerintah, maka dendamnya terhadap pemerintah Mongol makin menjadi. Dan karena dia buntung, diapun tidak dicurigai dan dia dapat menyamar sebagai pengemis tanpa ada yang mencurigainya. Melihat si kaki buntung yang dikenalnya dengan nama A Sam ini, Shu Ta yang masih membagi-bagi uang receh, juga memberikan sedekah kepada pengemis buntung yang bertopang pada tongkatnya itu.
"Berikan kepada ketua Hwa I Kaipang,"
Bisik Shu Ta sambil memberi sedekah.
A Sam menerima dan membungkuk menghaturkan terima kasih, lalu pergi bersama para pengemis lain. Tidak ada orang lain mendengar bisikan Shu Ta tadi, juga tidak ada yang melihat bahwa yang diberikan oleh panglima itu kepada A Sam, bukan uang receh seperti yang diberikannya kepada pengemis lain, melainkan sehelai kertas yang dilipat-lipat sekecil uang receh. Setelah terpincang-pincang pergi dari pasar dan keluar dari pintu gerbang kota tanpa ada yang mencurigainya, dan tiba di tempat sunyi, A Sam mempercepat langkahnya dan biarpun kakinya tinggal yang kanan saja, namun dibantu tongkatnya, dia dapat berjalan cepat sekali.
Malam harinya, A Sam sudah berhadapan dengan Goan Ciang dan Hui Yen di tempat persembunyian para anggota Hwa I Kaipang dan A Sam menyerahkan surat itu kepada Goan Ciang yang telah dikenalnya dengan baik. Tentu saja Goan Ciang gembira seklai ketika A Sam mengatakan bahwa surat itu diterimanya langsung dari tangan Panglima Shu Ta pribadi. Para pejuang di sekitar daerah Nan-king sudah tahu akan rahasia Panglima Shu Ta yang diam-diam selalu membantu para pejuang sehingga tidak sampai tertangkap. Begitu membaca surat itu, Goan Ciang dan Hui Yen segera berunding. Surat itu singkat saja bunyinya, tanpa menyebut nama, dan tulisannya juga dibuat-buat sehingga sehingga buruk seperti coretan kanak-kanak yang sedang belajar menulis.
"Saya harus menangkap Si Kedok Hitam, hidup atau mati, dapatkah membantu?"
Surat itu singkat saja dan andai kata ditemukan Yauw-Ciangkun sekalipun, tidak mungkin panglima itu akan mempercayai bahwa itu tulisan pembantu utamanya. Tanpa nama, dan juga tulisannya begitu buruk, tulisan seperti itu tentu saja tidak cukup kuat untuk menjadi bukti bahwa Shu-Ciangkun yang menulisnya. Biarpun surat itu singkat saja, namun Goan Ciang maklum bahwa tentu sutenya terancam bahaya maka sampai mengirim surat seperti itu kepadanya.
"Bagaimana menurut pendapatmu, Yen-moi?"
Tanya Goan Ciang kepada Hui Yen setelah mereka berdua membaca surat itu lalu berunding di ruangan dalam. Hui Yen mengerutkan alisnya, menggigit-gigit bibir bawah, suatu kebiasaan dirinya kalau ia sedang berpikir keras. Gadis ini memang terkenal cerdik sekali. Itulah sebabnya maka kakeknya, Pek Mau Lokai Tang Ku It, mempercayainya dan menyerahkan tongkat pimpinan Hwa I Kaipang kepada cucu itu.
"Jelas bahwa Shu-Ciangkun amat membutuhkan bantuan kita, dan itu tandanya bahwa di sana dia menghadapi masalah yang amat gawat. Dia diharuskan menangkap si kedok hitam, kalimat ini dapat diartikan bahwa kalau dia tidak dapat menangkap si kedok hitam, hidup atau mati, maka tentu dia akan menghadapi kesulitan. Kesulitan apa kiranya? Ini yang harus kita selidiki."
Goan Ciang mengangguk-angguk.
"Peristiwa malam itu, ketika kita berdua berhasil meloloskan diri karena bantuan si kedok hitam, tentu menimbulkan kecurigaan dan mungkin saja Shu-Ciangkun dicurigai! Ini berbahaya sekali dan satu-satunya jalan untuk dapat menyelamatkannya dari kecurigaan itu hanyalah apa bila si kedok hitam dapat ditangkap, hidup ataupun mati."
Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Atau setidaknya, dia akan bebas dari kecurigaan kalau si kedok hitam muncul di kota Nan-king, di luar benteng. Akan tetapi, si kedok hitam adalah Shu-Ciangkun sendiri, bagaimana mungkin..."
"Ah, engkau benar, Yen-moi! Si kedok hitam harus memperlihatkan diri kembali, di luar benteng dan dengna demikian, maka sute akan terbebas dari kecurigaan dan sangkaan. Kita dapat membantunya, atau setidaknya, aku dapat membantunya dengan muncul sebagai si kedok hitam dan membuat kekacauan di dalma kota!"
"Bagus sekali! Memang itu satu-satunya cara untuk membersihkan nama Shu-Ciangkun, toako. Akan tetapi, jangan hanya engkau seorang. Hal itu berbahaya dan sebaiknya akupun menyamar sebagai si kedok hitam, dan kita menyuruh beberapa orang kawan kita yang memiliki kepandaian yang boleh diandalkan agar tidak sampai tertawan. Kita hanya membuat kekacauan di sana sini, yang penting agar tersiar berita bahwa si kedok hitam muncul di luar benteng. Kalau sudah begitu, tentu tidak akan ada yang berani menyangka bahwa Shu-Ciangkun adalah si kedok hitam."
Goan Ciang mengangguk-angguk dan kagum akan kecerdikan gadis itu.
"Baik sekali, kita mulai kerjakan malam ini juga."
"Aku akan mempersiapkan penyamaran itu, toako."
Demikianlah, mulai malam hari itu, kota Nan-king digemparkan berita tentang munculnya si kedok hitam di mana-mana! Ada si kedok hitam yang menyerang seorang perwira itu. Ada pula si kedok hitam yang memasuki rumah seorang pejabat kaya dan mencuri barang-barang berharga. Dalam waktu semalam saja, ada lima orang berkedok hitam nampak di mana-mana. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Yauw-Ciangkun menemui Shu-Ciangkun dan wajahnya nampak serius sekali.
"Engkau sudah mendengar tentang si kedok hitam, Ciangkun?"
Tanya Yauw-Ciangkun. Shu Ta mengangguk.
"Tentu saja, Yauw-Ciangkun. Bahkan semalam saya dan pasukan, mencari-cari, namun kami selalu tidak dapat menemukan jejaknya. Agaknya dia memang lihai bukan main."
Shu Ta dengan cerdik tidak mau menyinggung tentang kenyataan bahwa si kedok hitam ternyata orang luar yang kini membuat kekacauan di luar benteng sehingga kecurigaan bahwa si kedok hitam yang dulu membantu lolosnya dua orang tawanan tidak berdasar lagi. Yauw-Ciangkun menghela napas pangjang.
"Ternyata engkau benar, Shu-Ciangkun. Si kedok hitam itu memang lihai, akan tetapi melihat betapa munculnya malam tadi di banyak tempat, maka aku menduga bahwa si kedok hiatam itu bukan hanya satu orang saja. Mungkin sekarang muncul sebuah perkumpulan rahasia yang semua anggotanya mengenakan kedok hitam."
"Mungkin saja, Ciangkun, akan tetapi saya akan mengerahkan pasukan untuk membasmi mereka. Saya yakin bahwa dengan penjagaan ketat dan dengan pengejaran yang sungguh-sungguh, kita dapat membersihkan Nan-king dari bayangan si kedok hitam."
Dan mulai hari itu, Shu-Ciangkun memimpin pasukan untuk melakukan aksi pembersihan di dalam kota Nan-king. Rumah-rumah digeledah dan banyak disebar mata-mata. Dan memang akibatnya, kota Nan-king semalin aman dan kini tidak lagi ada bayangan si kedok hitam, seolah-olah gerombolan itu telah terbasmi atau setidaknya telah melarikan diri dan tidak berani lagi muncul di kota Nan-king. Kembali Shu Ta dapat menyelamatkan diri dengan mulus berkat bantuan Cu Goan Ciang dan Tang Hui Yen! Dia semakin dipercaya, bahkan kini Hek I Kaipang sendiri percaya bahwa Shu-Ciangkun adalah seorang perwira yang setia kepada pemerintah! Pada suatu haru, dua orang penunggang kuda memasuki kota Nan-king.
Mereka menarik perhatian karena mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis yang elok, yang pria tampan dan yang wanita cantik jelita, keduanya masih muda dan kuda yang mereka tunggangi juga merupakan kuda pilihan. Tentu saja ada prajurit penyelidik yang mencurigai dan prajurit ini cepat melapor kepada atasan mereka. Atasan itu kebetulan adalah Panglima Khabuli, seorang di antara mereka yang tadinya mencurigai Shu Ta, akan tetapi karena tidak terdapat bukti apapun, bahkan Panglima Shu Ta itu berjasa besar dalam usaha membersihkan Nan-king dari pengacauan penjahat dan pemberontak, akhirnya Khabuli yang merasa iri kepada Shu Ta tidak dapat berbuat sesuatu.
Ketika Panglima Khabuli yang tadinya bertugas di Wu-han akan tetapi sering berkunjung ke Nan-king itu mendengar dari dua orang anak buahnya bahwa pagi hari itu ada dua orang muda yang mencurigakan memasuki Nan-king, diapun cepat keluar senriti untuk menyaksikan dan kalau perlu menangkap dua orang yang mencurigakan itu untuk mencari pahala. Dia bergegas keluar diikuti selosin orang anak buahnya, menuju ke jalan besar dan menghadang dua orang muda yang mencurigakan itu. Akan tetapi, begitu bertemu dengan dua orang muda ini, wajah Khabuli menjadi kemerahan dan di tempat itu juga dia menampar anak buahnya yang melapor.
"Plakk!!"
Anak buah itu terkejut dan terpelanting. Ketika dia bangkit pipinya yang ditampar menjadi bengkak, akan tetapi dia terbelalak dan mengeri mengapa atasannya marah kepadanya ketika melihat betapa panglima Khabuli begitu bertemu dengan dua orang muda itu, saling tegur dan memberi dalam dengan ramah dan akrab. Kiranya dua orang itu adalah saudara-saudara misan dari atasannya itu, bahkan kemudian dua orang penyelidik itu mendengar bahwa dua orang muda yang mereka curigai itu adalah putera dan puteri Menteri Bayan!
"Kakak Khabuli!"
Kata Bouw Mimi dengan alis berkerut ketika melihat betapa di depan mereka, kakak misannya itu menampar seorang anak buahnya sampai terpelanting.
"Engkau ini kenapa sih, tanpa sebab memukul orang di depan kami? Apakah engkau hendak menakut-nakuti kami dengan kekejamanmu?"
Khabuli tertawa menyeringai.
"Ha-ha-ha. Dia pantasnya dihukum lebih berat dicongkel keluar matanya yang seperti buta itu. Kau tahu, adik Mimi, dialah dan temannya itu yang tadi melapor kepadaku bahwa ada dua orang muda yang mencurigakan memasuki kota Nan-king. Dia mencurigai kalian! Tidakkah itu gila?"
Mendengar ini, kakak beradik itupun tertawa dan Bouw Ku Cin segera berkata,"Sudahlah, kakak Khabuli. Mereka berdua belum mengenal kami, maka mereka mereka curiga. Maafkan mereka."
Dua orang penyelidik itu sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kakak beradik itu mohon maaf dan sekaligus menghaturkan terima kasih. Peristiwa kecil ini menarik perhatian orang-orang di jalan itu dan melihat ini, Khabuli dengan mata melotot mengusir mereka yang berani mendekat dan menonton.
"Adik-adikku yang baik, angin apa yang meniupmu ke selatan ini? Kuharap paman Menteri dalam keadaan sehat-sehat saja,"
Kata Khabuli dan matanya yang berminyak itu seperti menggerayangi tubuh Mimi yang cantik jelita dan kini nampak semakin dewasa itu. Mimi mengerutkan alisnya melihat pandang mata kakak misannya yang ia tahu adalah seorang laki-laki mata keranjang yang tidak tahu malu itu.
"Kami datang dengan urusan dinas, tidak ada sangkut-pautnya dengan engkau!"
Katanya ketus.
Akan tetapi Bouw Kongcu merasa tidak enak dengan sikap adiknya itu, lalu dia cepat menyambung.
"Sesungguhnya, kami melaksanakan tugas dari ayah untuk menemui Yauw-Ciangkun."
Khabuli segera merasa tertarik.
"Ah, apakah urusan si kedok hitam itu sudah terdengar pula oleh kota raja? Memang pemuda she Shu yang menjadi panglima itu patut dicurigai dan karena dia datang dahulu kalian yang membawanya, maka kalau ada apa-apa, kalian tidak terlepas dari tanggung jawab."
"Eh, apa yang telah terjadi dengan saudar Shu Ta?"
Tanya Mimi dengan hati berdebar tegang. Khabuli tersenyum menyeringai.
"Banyak sekali yang terjadi, dan hampir saja teman kalian itu ditangkap sebagai seorang mata-mata pemberontak."
"Ahh...!"
Dua orang kakak beradik itu saling pandang dengan mata terbelalak.
"Kakak Khabuli, apa yang telah terjadi?"
Tanya Bouw Kongcu, tentu saja terkejut dan khawatir karena dia tahu benar bahwa Shu Ta adalah seorang pejuang!
"Sudah kukatakan banyak yang telah terjadi. Akan tetapi agaknya kunjungan kalian ini tidak ada hubungannya dengan Shu-Ciangkun. Marilah kuantar kalain menemui Yauw-Ciangkun, di sana engkau aan mendengar sendiri nanti tentang sahabat kalian itu."
Karena ingin segera mendengar tentang Shu Ta, kakak beradik itu segera melanjutkan perajalanan menuju ke benternuntuk menemui Yauw-Ciangkun, juga Shu-Ciangkun, diiringi oleh Panglima Khabuli yang tersenyum-senyum bangga dapat menemani kedua orang adik misannya ini. Mereka adalah putera puteri Menteri Besar Bayan yang berkuasa, dan tentu akan disambut dengan hormat oleh Yauw-Ciangkun dan para panglima lainnya, dan kehadirannya akan mengingatkan para panglima itu bahwa dia adalah kakak misan mereka, bahwa dia adalah keponakan dan Menterti Bayan. Ketika tiga orang itu memasuki kantor Yauw-Ciangkun, mereka tentu saja disambut dengan hormat oleh Yauw-Ciangkun dan para perwira yang sedang berada di situ. Nama besar Menteri Bayan cukup berpengaruh dan karena pemuda dan gadis itu putera dan puteri sang menteri, mereka disambut dengan penuh penghormatan.
Begitu bertemu dan saling memberi hormat lalu dipersilahkan duduk, Bouw Siocia yang sudah tidak sabar lagi segera bertanya.
"Yauw-Ciangkun, di mana saudara Shu Ta yang dulu kami ajak ke sini dan kabanya telah menjadi panglima? Apa yang telah terjadi dengan dia?"
Yauw-Ciangkun tersenyum.
"Dia baik-baik saja, Bouw Siocia. Tunggu sebentar akan saya suruh dia datang ke sini. Saya kita sekarang dia sedang mengawasi para perwira berlatih silat."
Yauw-Ciangkun lalu memerintahkan pengawalnya untuk mengundang Shu-Ciangkun.
"Paman Yatucin,"
Kata Bouw Kongcu yang sudah biasa menyebut Yauw-Ciangkun dengan sebutan paman dan nama aslinya.
"sebetulnya apakah yang telah terjadi dengan saudara Shu Ta? Kami mendengar dari kakak Khabuli bahwa dia hampir saja ditangkap sebagai mata-mata! Bagaimana ini?"
Yauw-Ciangkun mengerutkan alisnya dan memendang kepada Khabuli. Dia memang mempunyai perasaan tidak suka kepada pemuda keponakan Menteri Bayan yang kadang-kadang bersikap congkak itu.
"Apa yang telah terjadi dengan Shu-Ciangkun? Banyak yang terjadi, akan tetapi dia telah berjasa besar. Kalau Khabuli-Ciangkun mengatakan bahwa dia hampir ditangkap sebagai mata-mata, hal itu hanya merupakan kesalah pahaman saja dan ternyata dia sama sekali bukan mata-mata."
Lalu dengan singkat Yauw-Ciangkun bercerita tentang semua peristiwa yang telah terjadi di dalam benteng dari lolosnya dua orang tawanan yang ditolong oleh si kedok hitam sampai munculnya si kedok hitam di kota Nan-king.
"Memang semula ada yang mencurigai Shu-Ciangkun, karena dialah yang menjadi komandan yang bertanggung hawab memeriksa kedua orang tawanan. Akan tetapi kemudian terbukti bahwa dia sama sekali tidak tersangkut dengan para pemberontak, bahkan dia telah berjasa melakukan pembersihan terhadap para pemberontak dan penjahat."
Yauw-Ciangkun mengakhiri keterangannya. Kakak beradik itu saling pandang dan menghela napas lega.
"Tentang jasa-jasanya, kami di kota raja sudah pula mendengarnya. Maka, ketika tadi kami mendengar dari kakak Khabuli, tentu saja kami menjadi terkejut sekali,"
Kata Bouw Mimi, kini melirik ke arah kakak misan itu dengan cemberut.
"Ahh, adik Mimi, akupun tadi hanya mengatakan bahwa Shu-Ciangkun hampir ditangkap sebagai mata-mata, bukan sudah ditangkap. Kemudian ternyata dia bukan mata-mata dan bahkan berjasa, tentu saja akupun ikut merasa gembira. Bagaimanapun juga, dia telah bekerja untuk pemerintahan kita, bukan?"
Kakak beradik itu tidak menanggapi, apa lagi pada saat it, Shu Ta muncul di pintu ruangan.
Melihat kakak beradik yang menjadi sahabat-sahabatnya itu, tentu saja Shu Ta merasa girang sekali dan cepat dia memberi hormat secara militer. Kakak beradik itu memandang panglima muda itu dengan sinar mata penuh kagum. Memang Shu Ta yang bertubuh kekar itu nampak gagah bukan main, apa lagi kumis dan jenggot orang muda ini yang tumbuh lebat, terpelihara dengan baik, membuat dia nampak gagah berwibawa.
"Saudara Shu Ta, engkau kelihatan gagah sekali!"
Seru Mimi dengan suara lantang dan ia nampak gembira sekali. Sungguh seorang gadis luar biasa, pikir Shu Ta. Begitu jujur dan terbuka, begitu polos.
"Ah, Mimi, jangan sebut dia saudara lagi. Dia sekarang adalah seorang panglima. Betul tidak, Shu-Ciangkun?"
Kata Bouw Ku Cin dengan wajah berseri. Dia ikut merasa bangga bahwa Shu Ta yang dipercayanya itu ternyata memegang janji dan tidak menimbulkan kekacauan di Nan-king, bahkan berjasa menenteramkan kota itu.
"Bouw Kongcu, dan Bouw Siocia, aku masih tetap Shu Ta yang dahulu. Kuharap pakaian ini tidak akan menyilaukan dan mendatangkan perubahan pada diriku,"
Kata Shu Ta dengan sikap bersungguh-sungguh. Yauw-Ciangkun mempersilahkan semua orang masuk dan duduk di ruangan yang biasa dipergunakan untuk mengadakan rapat penting, kemudian dia bertanya kepada kakak beradik itu.
"Kongcu dan Siocia, jauh-jauh dari kota raja datang ke sini, apakah sekedar untuk pesiar, ataukah mempunyai urusan penting yang akan disampaikan kepadaku?"
"Paman Yatucin, kami diutus oleh ayah untuk membicarakan urusan penting dengan paman,"
Kata Bouw kongcu. Yauw-Ciangkun memandang pemuda itu dengan wajah berseri. Menerima pesan dari Menteri Bayan merupakan suatu kehormatan besar yang tinggi nilainya, hanya kalah oleh kehormatan yang didapatkan kalau ada pesanan istimewa dari Kaisar! Dia mengerling ke kanan kiri, lalu bertanya.
"Bouw Kongcu, pesan itu akan disampaikan secara pribadi dan empat mata sajakah, atau..."
"Ah, ini adalah urusan negara, paman. Tentu saja Shu-Ciangkun dan kakak Khabuli boleh ikut mendengarkan, bahkan dapat pula ikut memperbincangkan karena tugas negara merupakan tugas kita bersama, bukan?"
Mereka duduk menghadapi meja besar dan setelah seorang petugas atas perintah Yauw-Ciangkun mengeluarkan minuman dan makanan kecil, mereka mulai mengadakan percakapan dengan pintu tertutup.
"Paman Yatucin, pesan ayah yang harus kami sampaikan kepada paman ini merupakan hasil keputusan yang telah disidangkan di istana dan merupakan perintah Sribaginda Kaisar melalui ayah."
Yauw-Ciangkun dengan tegak mengambil sikap hormat dan berkata tegas.
"Saya siap melaksanakan perintah dengan penuh ketaataan dan kesetiaan!"
Setelah semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian, Bouw Kongcu menceritakan pesan yang harus disampaikannya kepada Yauw-Ciangkun.
Pergolakan di daerah selatan telah didengar oleh Kaisar dan setelah menerima laporan-laporan, kaisar lalu mengadakan pertemuan-pertemuan dengan para menteri, panglima dan penasihat untuk membicarakannya. Akhirnya diambil keputusan untuk menghadapi pergolakan itu dengan cara lain seperti yang biasa ditempuhnya.
"Pemberontakan-pemberontakan kecil itu terjadi di mana-mana, dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil pemberontak dan dasar pemberontakan itu bermacam-macam. Ada yang didorong oleh ketidak puasan, ada yang didorong oleh ambisi untuk keuntungan pribadi, ada karena sakit hati terhadap sebagian pembesar yang menyalah gunakan kekuasaan dan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat, dan sebagian kecil ada pula yang memang memiliki cita-cita membebaskan tanah air dan bangsa dari penjajahan.
Kisah Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo