Ceritasilat Novel Online

Rajawali Lembah Huai 14


Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Bagian 14



"

   Demikian antara lain Bouw Kongcu menyampaikan pesannya.

   Dia lalu melanjutkan apa yang menjadi inti pesan ayahnya itu.

   "Membasmi pemberontakan-pemberontakan itu secara kelompok-kelompok tidak akan banyak hasilnya. Karena gerombolan itu banyak sekali dan kalau yang satu dibasmi, akan muncul gerombolan yang lain. Dan makin lama, para pemberontak akan menjadi semakin ganas karena ditambah lagi oleh dendam yang disebabkan kematian rekan-rekan mereka. Oleh karena itu, harus dilakukan cara lain, yaitu membiarkan kelompok-kelompok itu tumbuh dan hidup, akan tetapi mengusahakan agar mereka menjadi kelompok yang tidak memusuhi pemerintah dengan jalan mendekati dan membaiki mereka, kalau perlu memberi sumbangan, juga agar pemerintah di Nan-king dapat mendekati dan menarik para tokoh kang-ouw untuk mendaptkan dukungan mereka.

   "Ayah, dengan persetujuan Sribaginda, mengutus kami untuk menyampaikan semua ini kepada paman Yatucin, dan kami berdua juga ditugaskan untuk sementara tinggal di Nan-king membantu usaha paman. Kami berdua bukan orang peperangan, maka kami hanya mampu bekerja kalau usaha itu untuk mencapai perdamaian dan ketenteraman."

   Yauw-Ciangkun mengangguk-angguk, demikian pula Shu-Ciangkun. Bahkan Shu Ta diam-diam terkejut dan bingung. Kalau siasat pendekatan itu dilakukan, maka hal itu memang akan dapat melemahkan para pejuang! Apa lagi kalau pemerintah tidak menunjukkan permusuhan, tidak mengejar-ngejar, bahkan bersikap baik dan mengulurkan tangan, membantu dengan uang untuk memakmurkan kehidupan mereka. Dia tahu betapa ampuhnya pengaruh uang, dapat melumpuhkan semangat perjuangan! Bahkan dia tahu pula bahwa andai kata sejak dahulu pemerintah bersungguh-sungguh mengusahakan kemakmuran dan ketenteraman bagi rakyat jelata, mungkin tidak akan ada perasaan benci dalam hati rakyat terhadap penjajah. Perlawanan yang timbul dari rakyat adalah akibat dari ada penindasan, penekanan dan kehilangan kemerdekaan.

   "Saya girang sekali mendengar keputusan itu, Bouw Kongcu. Sesungguhnya, kamipun sudah menuju ke arah pendekatan, yaitu dengan cara merangkul kelompok yang tidak memusuhi kita bahkan yang suka membantu kita. Dan ada cara yang paling teppat untuk melaksanakan rencana itu, yaitu nanti apa bila dunia kang-ouw mengadakan pemilihan Beng-cu (pemimpin rakyat), kita usahakan agar yang diangkat menjadi Beng-cu seorang tang dapat diajak bekerja sama. Kalau sekarang kita mulai berusaha, mendekati tokoh-tokoh, mengirim hadiah, tentu kelak dalam pemilian, kita dapat mengarahkan agar yang dipilih adalah seorang yang tidak memiliki watak anti pemerintah."

   Mereka lalu mengadakan perundingan. Terpaksa Shu Ta ikut pula memberi sumbangan pemikiran untuk mendukung tokoh yang tidak menentang pemerintah agar menjadi Beng-cu. Mereka lalu merundingkan siapa kiranya tokoh yang dapat mereka harapkan untuk membantu pemilihan Beng-cu yang pro pemerintah.

   "Saya mempunyai seorang sahabat, tokoh kang-ouw yang sepenuhnya dapat dipercaya. Nama besarnya di dunia kang-ouw juga merupakan jaminan. Andai kata ia sendiri tidak dapat dijagokan, setidaknya ia dapat mempengaruhi yang lain untuk memilih calon yang kita setujui. Nama besarnya terkenal di sepanjang Jang-kiang,"

   Kata Khabuli.

   "Bagus, siapa tokoh itu, Khabuli-Ciangkun?"

   Tanya Yauw-Ciangkun.

   "Siapa lagi kalau bukan Jang-kiang Pang-cu (ketua Jang-kiang pang) yang terkenal di dunia kang-ouw sebagai Jang-kiang Sianli (Dewi Sungai Panjang), yang amat lihai."

   "Dan siapa kiranya yang dapat dijagokan di sini, paman Yatucin?"

   Tanya Bouw Mimi.

   "Kami telah mempunyai beberapa orang jagoan. Pertama adalah suami dari adik misan ketua Hek I Kaipang. Tokoh ini bekas hwesio yang bernama Bouw In, ilmu silatnya tinggi dan diapun bukan dari golongan sesat. Dia suka membantu karena selain dia merupakan ipar dari ketua Hek I Kaipang, juga dia guru puteri ketua itu. Selain bekas hwesio itu, juga ada sepasang suami isteri yang sudah kakek nenek namun mereka lihai dan dapat menjadi pendukung yang kuat. Mereka adalah suhu dan subo ketua Hek I Kaipang yang terkenal dengan julukan Huang-ho Siang Lomo."

   "Apakah di daerah Nan-king dan sepanjang sungai Yang-ce tidak terdapat lagi tokoh besar dunia kang-ouw, paman?"

   Tanya Bouw Kongcu.

   "Masih banyak, akan tetapi yang menonjol hanya yang telah disebut tadi. Ada seorang tokoh lagi yang sakti, yaitu Pek Mau Lokai. akan tetapi karena dia adalah pimpinan Hwa I Kaipang yang menentang pemerintah tentu saja kita tidak dapat mengharapkan dia. Bahkan kita perlu mencari jagoan untuk menantangnya kerena agaknya para pemberontak atau mereka yang menentang pemerintah akan mencalonkan dia sebagai Beng-cu,"

   Kata Yauw-Ciangkun.

   "Kalau begitu, harap paman atur saja agar jangan sampai ada tokoh yang anti pemerintah yang menjadi Beng-cu, karena kalau hal itu terjadi, perang akan semakin berkobar dan menghadapi pemberontakan para tokoh dunia kang-ouw cukup berbahaya. Yang perlu sekali diingat bahwa selain jangan sampai terjatuh ke tangan pemberontak, juga agar kedudukan Beng-cu jangan sampai terjatuh ke tangan seorang datuk sesat, karena kalau Beng-cunya seorang penjahat, itupun amat berbahaya sekali. mana mungkin kira dapat mempercayai seorang penjahat?"

   Kata pula Bouw Kongcu.

   "Tentu saja, Bouw Kongcu. Kami akan mengatur semua itu sebaiknya. Akan tetapi, apakah di daerah selatan ini saja yang perlu diamankan? Bagaimana dengan dunia kang-ouw jauh di utara, di barat dan di timur sepanjang pantai lautan?"

   Tanya Yauw-Ciangkun.

   "Semua telah diatur oleh pemerintah pusat, paman. Para panglima yang memimpin pasukan di timur, barat dan juga utara telah diberi tugas yang sama, yaitu menguasai dunia kang-ouw agar dunia persilatan berpihak kepada pemerintah sehingga tidak akan terjadi perang pemberontakan."

   Diam-diam Shu Ta memperhatikan dan mencatat semua yang didengarnya itu. Dia mengakui bahwa kalau semua pejabat pemerintah Mongol berwatak lembut dan mempergunakan sikap halus bersahabat seperti putera puteri Menteri Bayan ini, maka kedudukan pemerintah penjajah akan menjadi kuat dan akan sukarlah membangkitkan semangat para pendekar untuk menumbangkan pemerintah penjajah. Justeru sikap keras menindas dari penjajah yang membuat rakyat mendendam, membenci dan memberontak. Kalau Cu Goan Ciang, suhengnya itu, ingin berhasil, diapun harus mengubah siasat.

   Dalam keadaan seperti ini, sebaiknya kalau tidak langsung menyerang pasukan pemerintah, melainkan lebih dahulu menyusun kekuatan dan kalau mungkin menguasai dunia kang-ouw. Kalau Cu Goan Ciang dapat mempersatukan semua kelompok dan menguasai atau setidaknya mendapat dukungan dari para tokoh dunia persilatan, barulah dia memiliki kekuatan dan akan mampu menandingi penjajah. Mulai hari itu, kakak beradik bangsawan dari kota raja itu tinggal di dalam benteng mendapatkan sebuah pondok yang mungil. Tentu saja mereka berdua segera menjadi akrab sekali dengan Shu Ta yang memang telah menjadi sahabat mereka, bahkan mereka yang memungkinkan Shu Ta menjadi seorang panglima. Pada waktu itu, memang muncul banyak sekali kelompok atau gerombolan orang-orang yang berkedok perjuangan, mengganas di daerah pinggiran.

   Mereka itu mengaku sebagai kelompok pejuang, namun sesungguhnya mereka hanyalah gerombolan penjahat yang suka merampok, memperkosa, dan membunuh. Mereka menyerbu sebuah dusun atau kota, dan tentu saja mereka bentrok dengan pasukan yang bertugas di tempat itu, dan agaknya bentrok dengan petugas keamanan ini yang mereka pakai sebagai kebanggaan bahwa mereka ada pejuang-pejuang yang melawan penjajah. Pada hal, kalau dalam penyerbuan itu mereka menang, mereka lalu merampoki siapa saja di tempat itu, mengangkut semua harta benda milik penduduk, menculik wanita dan kalau ada yang melawan lalu membunuh! Cu Goan Ciang dan Tang Hui Yen tentu saja tidak sudi melakukan perbuatan seperti itu.

   Mereka selalu mendapatkan nasihat dari Pek Mau Lokai Tang Ku It yang walaupun tidak langsung memimpin Hwa I Kaipang, namun selalu memberi nasihatnya. Pada suatu malam, setelah Goan Ciang menjadi pembantu Hui Yen memimpin Hwa I Kaipang, Pek Mau Lokai memanggil dua orang muda itu menghadap Pek Mau Lokai untuk sementara tinggal di sebuah gua di lembah sungai Yang-ce di sebelah barat Nan-king dan oleh para anggota Hwa I Kaipang, gua itu dijadikan sebuah ruangan yang cukup enak untuk dijadikan tempat tinggal.

   Ketika Goan Ciang dan Hui Yen menghadap, Pek Mau Lokai bertanya,"Apa yang kalian dengar tentang perkembangan di Nan-king? Aku tidak mendengar lagi adanya pengejaran terhadap para kelompok pejuang. Apakah semua ini berkat adanya sutemu yang menjadi panglima itu?"

   Sejak dia berada bersama Hwa I Kaipang, Goan Ciang banyak mendapat petunjuk dalam ilmu silat dari Pek Mau Lokai, bahkan dia mengaku kakek itu sebagai gurunya walaupun dia masih menyebutnya pangcu (ketua) seperti yang dilakukan seluruh anggota Hek I Kaipang.

   "Kami telah mendengar dari para penyelidik bahwa hal itu bukan hanya karena jasa sute, pangcu. Akan tetapi agaknya memang pemerintah penjajah kini mempergunakan siasat yang berbeda. Dan dugaan kami itu ternyata benar karena baru siang tadi kami menerima berita dari sute melalui si kaki buntung, A Sam. Berita itu mengabarkan bahwa kini putera dan puteri Menteri Bayan berada di Nan-king dan mereka berdua membawa pesan dari Menteri Bayan agar kini pemerintah daerah berikut pasukannya di Nan-king mendekati para tokoh kang-ouw, dan mereka mengubah siasat pembasmian menjadi pendekatan. Bahkan mereka akan berusaha agar kedudukan Beng-cu di daerah ini kelak akan terjatuh ke tangan tokoh yang suka bekerja sama dengan pemerintah."

   "Hemm, rencana yang bagus dan membahayakan kekuatan para pejuang. Memang Menteri Bayan selain memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi, juga dia amat cerdik. Kaisar Togan Timur ini merupakan kaisar yang lemah dan hanya mengejar kesenangan belaka. Dia dungu dan menjadi permainan para menteri durjana dan penjilat. Kalau tidak ada Menteri Bayan, sejak lama pemerintah penjajah itu jatuh karena kelemahan Kaisar Togan Timur. Kita harus waspada dan mulai sekarang, jangan menghamburkan tenaga dan mengorbankan anak buah menyerang pasukan pemerintah. Kita bahkan harus menghimpun tenaga, mendekati para tokoh dunia persilatan untuk mengimbangi usaha pemeritnah penjajah. Dan kalau ada kelompok yang melakukan kejahatan mengganggu rakyat jelata, kita harus membasmi mereka. Dengan cara demikian, kita akan mmperoleh dukungan rakyat jelata, setiap perjuangan tidak akan berhasil baik."

   "Kong-kong, bagaimana mengenai pemilihan Beng-cu yang akan dilakukan tiga bulan lagi di Bukit Merak itu? Kami semua mengharapkan agar kong-kong yang tampil sebagai calon agar kedudukan penting itu tidak sampai terampas oleh orang yang bekerja sama dengan penjajah,"

   Kata Hui Yen.

   Pek Mau Lokai menghela napas panjang.

   "Sebetulnya, aku sudah tidak mempunyai semangat lagi untuk menjadi Beng-cu. Beng-cu yang akan dipilih sekarang haruslah seorang yang memiliki semangat tinggi, kepandaian yang cukup tangguh, cerdik dan jujur, tidak mementingkan diri sendiri, dan terutama sekali haruslah masih muda. Dia mempunyai tugas yang amat berat, karena selain dia harus dapat mempersatukan semua tokoh di dunia persilatan, diapun harus mempunyai cita-cita tinggi dan tujuan terakhirnya adalah menghancurkan penjajah Mongol."

   "Akan tetapi, Pangcu. Siapakah orangnya selain pangcu yang pantas menjadi Beng-cu? Kalau kita salah pilih, bahkan kemudian hari akan merugikan kita semua."kata Goan Ciang dan Yen Yen mengangguk menyetujui.

   Seluruh anggota Hwa I Kaipang tentu saja condong memilih Pek Mau Lokai menjadi Beng-cu. Bahkan kelompok lain yang sehaluan dengan mereka, yaitu yang merupakan pejuang sejati dan tidak melakukan kejahatan, bahkan menentang kejahatan terhadap rakyat, juga sudah menyarankan agar Pek Mau Lokai yang menjadi calon Beng-cu. Kakek itu tersenyum dan mengelus jenggotnya yang putih sambil memandang kepada Cu Goan Ciang.

   "Goan Ciang, selama beberapa bulan ini, hampir semua ilmu andalanku telah kuajarkan kepadamu dan engkau telah memperoleh kemajuan pesat."

   Goan Ciang memberi hormat.

   "Terima kasih atas kemurahan hati Pangcu kepada saya."

   "Dalam beberapa bulan lagi, aku akan mengajarkan Hok-mo-tung dan semua ilmu simpananku dan tidak sampai setahun lagi. Aku sendiri sudah tidak akan mampu lagi menandingimu lagi, Goan Ciang. Nah, dengan demikian, berarti dalam hal ketangguan, aku akan kalah olehmu, apalagi aku sudah tua dan engkau masih muda. Selain itu, engkaupun cerdik, tabah dan pemberani. Juga engkau jujur, engkau tidak mementingkan diri sendiri, pendeknya, engkau memiliki segala syarat untuk menjadi seorang pemimpin besar."

   Pemuda itu mengangkat muka, memandang kakek itu dengan sinar mata tajam menyelidik.

   "Pangcu, apa yang pangcu maksudkan dengan itu?" "Engkaulah yang akan kucalonkan sebagai Beng-cu Goan Ciang!"

   Goan Ciang terbelalak.

   "Akan tetapi..... saya masih terlalu muda dan kurang pengalaman untuk menjadi Beng-cu!"

   "Ahh, justeru yang muda harus maju menggantikan yang tua. Dan tentang pengalaman, sejak kecil engkau sudah digembleng pengalaman hidup yang pahit getir dan itu sudah merupakan pelajaran yang baik sekali bagimu."

   "Aku setuju sepenuhnya, kong-kong!"

   Kata Yen Yen dengan wajah berseri.

   "Memang tidak ada orang lain yang dapat menggantikan kong-kong selain Cu-toako!"

   Kakek itu mengangguk-angguk dan berkata.

   "Sejak pertama kali aku bertemu denganmu di depan kuil itu, aku sudah mengambil keputusan dalam hatiku bahwa engkaulah orang yang pantas menjadi pemimpin. Setelah mengenalmu lebih lama di sini, hatiku semakin yakin maka aku mengajarkan ilmu-ilmu yang sepatutnya hanya kuwariskan kepada keturunanku, kepada keluarga kami."

   "Akan tetapi saya adalah orang luar,bukan keluarga pangcu,"

   Kata Cu Goan Ciang, merasa bahwadi balik ucapan itu seperti terkandung maksud tertentu. Kakek itu terkekeh.

   "Heh-heh-heh, engkau memang cerdik, Goan Ciang. Memang sesungguhnyalah, aku sudah menganggap engkau sebagai keluarga sendiri. Pertama-tama, melihat hubungan dan pergaulan di antara kalian, aku mempunyai sebuah usul, yaitu untuk menjodohkan kalian berdua. Goan Ciang, aku ingin engkau menjadi suami cucuku Tang Hui Yen. Bagaimana pendapat kalian?"

   Wajah Yen Yen segera berubah merah sekali dan ia menahan senyumnya, lalu menunduk.

   "Ih, kong-kong"!"

   Goan Ciang juga tersipu malu. Di dalam hatinya, pemuda ini memang harus mengakui bahwa Yen Yen seorang gadis yang amat baik, dan hanya sebanding dengan mendiang Kim Lee Siang, kekasihnya yang membunuh diri. Matinya Kim Lee Siang amat menyedihkan hatinya, akan tetapi setelah dia bertemu dan bergaul dengan Yen Yen, dia merasa seolah Lee Siang hidup kembali dan menggantikan kedudukan Lee Siang dalam hatinya. Akan tetapi, kalau dahulu dengan Lee Siang dia memang bermaksud untuk menjadi suami isteri, dengan Yen Yen ini dia hanya bergaul sebagai sahabat, tidak mencalonkan gadis itu sebagai isterinya. Maka, usul yang tiba-tiba dan terbuka dari kakek itu sungguh mengejutkan hatinya dan membuat dia bingung, tidak tahu harus menjawab bagaimana.

   "Ha-ha-ha, Yen Yen, tidak perlu engkau malu-malu dan tidak perlu engkau menyembunyikan. Aku mengenalmu dan tahu bahwa engkau mengagumi dan mencinta Goan Ciang. Engkau tentu setuju kalau menjadi calon isterinya, bukan? Katakanlah. Kalau engkau menjadi suami isteri, tentu saja Goan Ciang akan kuresmikan menjadi ketua Hwa I Kaipang dulu dan engkau yang menjadi pembantunya. Setelah menjadi ketua Hwa I Kaipang, barulah dia pantas untuk dicalonkan sebagai Beng-cu kelak dalam pemilihan besar itu. Nah, katakan, apakah engkau suka menjadi isteri Goan Ciang?"

   Yen Yen adalah seorang gadis yang lincah dan jenaka, periang dan galak, dan sama sekali tidak pemalu. Akan tetapi, ditodong dengan pertanyaan tentang perjodohan, tentu saja ia merasa malu dan salah tingkah, tidak tahu harus bersikap bagaimana dan berkata apa, ia makin menundukkan mukanya. Selama hidupnya, belum pernah ia merasa semalu itu. Mukanya terasa panas dan jantungnya berdebar keras, seluruh tubuhnya seperti gemetar rasanya. Kemudian, tiba-tiba ia teringat akan keadaan dirinya yang sebatang kara, tidak berayah tidak beribu lagi dan tak tertahankan pula, beberapa butir air mata menitik turun ke atas kedua pipinya. Bendungan perasaannya amat kuat karena ia seorang gadis yang tabah, maka hanya beberapa butir saja air mata yang membocor keluar.

   "Kong-kong tahu bahwa aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi kecuali kong-kong seorang, maka tentang hal itu... aku hanya menurut saja apa yang kong-kong tentukan..."

   "Ha-ha-ha, bagus, bagus! Nah, Yen Yen sudah setuju untuk menjadi jodohmu, Goan Ciang. Sekarang tinggal engkau. Kautahu bahwa kami adalah keluarga yang selalu bersikap terbuka, maka sebaiknya kalau engkaupun terbuka saja mengaku. Engkau setuju menjadi jodoh Yen Yen ataukah tidak? Andai kata tidak, katakan saja, tidak perlu sungkan dan pura-pura!"

   Goan Ciang sungguh merasa tersudut.

   Dia tahu bahwa menghadapi kakek ini dan juga Yen Yen, dia tidak perlu bersikap sungkan dan ragu. Menerima atau menolak, sebaiknya berterus terang saja karena andai kata dia menolak sekalipun, kalau terus terang, tidak akan menimbulkan dendam atau pertentangan seperti kalau dia berpura-pura. Beberapa kali dia menghela napas panjang, lalu memandang kepada Yen Yen, kemudiang kepada kakek itu, Yen Yen masih menundukkan mukanya, akan tetapi kakek itu mengamati wajahnya penuh selidik.

   "Pangcu, dan engkau juga, Yen-moi. Aku memang tidak perlu berpura-pura dan sebelumnya aku harap pangcu dan engkau suka memaafkan kalau ucapanku ini menyinggung perasaan. Terus terang saja, pangcu, saya amat kagum dan suka kepada Yen-moi. Ia seorang gadis yang pandai, bijaksana dan baik budi. Aku suka sekali kepadanya, akan tetapi aku belum berani mengatakan bahwa aku mencintainya dan mengharapkan ia menjadi jodoh saya. Bagaimana mungkin saya dapat berpikir sampai sejauh itu. Pangcu sudah mengetahui bahwa baru beberapa bulan saja saya kematian gadis yang saya cinta dan yang tadinya akan menjadi isteri saya. Bahkan kematian tunangan saya itupun belum terbalas sehingga rohnya masih penasaran, bagaimana saya berani mengalihkan cinta kepada seorang gadis lain, walaupun saya amat kagum dan suka kepada gadis itu? Karena itu, pangcu, saya minta waktu untuk menerima usul pangcu tentang perjodohanku dengan Yen-moi. Kalau sekarang aku menerima begitu saja, bukankah aku menjadi seorang laki-laki yang tidak setia dan mudah melupakan budi?"

   Kakek itu mengangguk-angguk, dan Yen Yen juga mengangkat muka memandang kepada Goan Ciang dengan sinar mata mengandung iba.

   "Ucapanmu menunjukkan bahwa engkau jujur dan juga setia, Goan Ciang. Memang permintaan itu pantas sekali dan akupun tidak dapat bersikap lain kecuali menyetujuinya. Biarlah urusan perjodohan ini ditunda keputusannya sampai engkau sudah siap."

   "Toako, aku akan membantumu membalaskan dendam kematian tunanganmu,"

   Kata Hui Yen penuh semangat. Mendengar ucapan kakek dan cucunya itu, hati Goan Ciang merasa lega dan senang.

   "Terima kasih, pangcu, terima kasih Yen-moi. Kalian memang orang-orang yang baik sekali. Semoga kelak aku tidak akan mengecewakan harapan kalian."

   Goan Ciang tidak dapat mengelak atau menolak lagi ketika dia diangkat menjadi ketua Hwa I Kaipang! Yen Yen menjadi wakilnya, dan kakek itu menjadi penasihat. Dan diapun mulai hari itu tekun melatih diri dengan ilmu Hok-mo-pang (tongkat penakluk iblis) dan ilmu lain yang diajarkan oleh kakek itu. Diam-diam Yen Yen ingin sekali membantu Goan Ciang membalaskan dendam kematian tunangan Goan Ciang, menyebar anak buah untuk melakukan penyelidikan di mana adanya Panglima Khabuli yang menyebabkan kematian tunangan Goan Ciang seperti yang didengarnya dari kakeknya. Goan Ciang pernah bercerita kepada Pek Mau Lokai tentang kematian kekasihnya yang diperkosa Khabuli-Ciangkun, yaitu ketika dia terpaksa mau menjadi suami Jang-kiang Sianli Liu Bi karena hendak menyelamatkan nyawa Kim Lee Siang yang telah diracuni wanita iblis itu. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Yen Yen mencari Goan Ciang.

   "Toako, ada kabar penting!"

   Gadis itu berkata. Melihat betapa Yen Yen sepagi itu telah terengah-engah seperti habis berlari jauh dan cepat, Goan Ciang tersenyum.

   "Eh, apakah yang terjadi, Yen-moi? Kenapa engkau seperti orang yang dikejar setan saja?" "Bukan aku yang dikejar setan, akan tetapi kita harus menghajar setan pagi ini, toako!"

   "Eh? Apa maksudmu, Yen-moi?" "Toako, kini tiba saatnya kita membunuh jahanam Khabuli itu untuk membalas dendam atas kematian tunanganmu."

   "Khabuli? Maksudmu, perwira yang menjadi komandan Wu-han itu? Yen-moi, engkau tahu bahwa kita telah mengubah cara perjuangan, tidak menggunakan kekerasan menyerbu benteng, melainkan menyusun kekuatan dan..."

   "Aku mengerti, toako. Akan tetapi kebetulan sekali dia sedang keluar dari benteng. Dia akan meninggalkan benteng pagi ini untuk kembali ke Wu-han. Ini kesempatan kita, toako. Kita hadang dia di tengah perjalanan dan kita dapat membalas dendam tanpa mengacaukan kota. Menurut penyelidikanku, panglima Khabuli hanya dikawal dua belas orang prajurit pengawal. Semua sudah kuatur, toako. Sudah kupilih dua puluh orang pembantu kita yang akan menandingi dua belas orang pengawal itu, sedangkan Khabuli sendiri kuserahkan kepadamu! Nah, bukankah ini kesempatan baik sekali?"

   "Tapi... kalau diketahui bahwa Hwa I Kaipang yang..."

   "Ah, sudah kupersiapkan kedok hitam untuk kita semua, toako!"

   Goan Ciang kagum.

   Gadis ini memang cekatan dan cerdik bukan main. Dengan girang diapun pergi bersama Yen Yen dan dua puluh orang anak buah dan mereka semua mengenakan pakaian dan kedok hitam! Panglima Khabuli menunggang seekor kuda hitam, dikawal oleh dua belas orang prajurit yang semuanya berkuda. Panglima yang congkak dan merasa kuat ini mengira bahwa dengan selosin pengawal pilihan itu saja sudah cukup baginya untuk melakukan perjalanan jauh tanpa takut diganggu orang, walaupun dia tahun bahwa para pemberontak tentu akan mengganggu kalau melihat dia melakukan perjalanan.

   Sudah terlalu banyak pemberontak yang dia basmi, dia siksa dan di bunuh. Siapa yang akan berani mengganggunya, seorang panglima, komandan kota Wu-han? Hari itu terik sekali dan biarpun mereka melakukan perjalanan menyusuri sungai Yang-ce, tetap saja panas matahari siang itu amat menyengat. Oleh karena itu, ketika melihat sebuah tenda di tepi sungai di mana orang menjual minuman, Khabuli memberi isyarat kepada anak buahnya untuk berhenti mengaso sambil minum-minum di kedai minuman sederhana yang agaknya sengaja dibuka orang di tempat sunyi itu untuk menjual minuman dan makanan kecil kepada mereka yang kebetulan lewat di situ dan kehausan.

   Penjual minuman arak dan air teh itu hanya dua orang laki-laki setengah tua. Mereka terbongkok-bongkok menyambut tamu-tamu itu dan tentu saja kedua orang itu menjadi repot bukan main harus melayani tiga belas orang kasar yang memesan minuman sambil membentak-bentak itu. Baru saja tiga belas orang itu minum-minum, tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebatan dan tahu-tahu kedai itu telah dikepung oleh dua puluh orang lebih yang membuat Khabuli dan para pengawalnya terkejut setengah mati. Dua puluh lebih pengepung itu semua berpakaian dan berkedok hitam! Khabuli dan selosin orang pengawalnya tentu saja sudah mendengar akan peristiwa yang terjadi di perbentengan Nan-king itu, ketika seorang berkedok hitam telah membunuh banyak penjaga dan membebaskan dua orang tawanan dan kemudian betapa orang-orang berkedok hitam mengacau di kota Nan-king. Maka kini melihat dua puluh orang lebih yang berpakaian dan berkedok hitam, mereka terkejut dan segera berloncatan sambil mencabut senjata masing-masing.

   "Serbu! Bunuh para pemberontak!"

   Teriak Khabuli tanpa banyak tanya lagi, dan dia sendiri sudah mencabut pedangnya. Segera terjadi pertempuran yang seru dan mati-matian, Khabuli sendiri diserang oleh seorang berkedok hitam yang bertubuh tinggi tegap dan yang bersenjatakan sebatang tongkat. Karena tidak mungkin mengharapkan bantuan selosin orang pengawalnya yang harus menghadapi serbuan dua puluh orang, Khabuli tanpa banyak cakap lagi sudah menyerang si kedok hitam yang sengaja menghadangnya itu.

   "Pemberontak rendah, mampus kau!"

   Bentaknya dengan suara yang mengandung kemarahan. Raksasa berkulit hitam yang tubuhnya kokoh kuat ini sudah mengayun pedangnya dan nampak sinar pedang berkelebat, terdengar bunyi mengaung saking kuatnya pedang itu diayunkan.

   "Singgg...!"

   Ketika si kedok hitam yang bukan lain adalah Cu Goan Ciang mengelak, pedang itu berkelebat dan membuat gerakan memutar dengan cepat sekali, sudah menyerang secara membalik ke arah leher si kedok hitam. Goan Ciang menggerakkan tongkat menangkis.

   "Tranggg...!"

   Bukan main kagetnya hati Khabuli. Pedangnya terpental dan ini membuktikan bahwa lawan memiliki tenaga yang amat kuat. Pada hal, jarang ada orang yang akan kuat menangkis dan menahan serangannya tadi.

   "Siapa kau?"

   Bentaknya marah.

   Sejak tadi, begitu melihat Khabuli, Goan Ciang sudah merasa marah sekali, teringata akan kekasihnya yang terpaksa membunuh diri karena telah dinodai oleh raksasa hitam ini. Akan tetapi, dengan kekuatan batinnya, dia menenangkan kembali hatinya karena maklum bahwa kemarahan akan membuat dia kehilangan kepekaan, padahal dia tahu betapa lihainya lawan ini. Kini mendengar bentakan yang nadanya bertanya itu, dia menggumam, lirih akan tetapi cukup jelas bagi lawannya.

   "Arwah Kim Lee Siang menyuruh aku membunuhmu!"

   Dan kini tanpa menanti jawaban, Goan Ciang sudah menggerakkan tongkatnya menyerang dengan totokan kilat. Totokan kilat bertubi sebanyak tiga kali berturut-turut.

   "Wuut-wuut-tranggg...!"

   Khabuli mengelak dua kali dan totokan terakhir tak dapat dielakkannya lagi maka diapun menangkis dengan pedangnya dan kembali keduanya terdorong ke belakang oleh kekuatan benturan kedua senjata.

   Kini wajah hitam Khabuli menjadi agak pucat karena jantungnya berdebar keras dan mulailah dia merasa gentar. Tentu saja dia tahu siapa Kim Lee Siang dan mengapa arwah gadis itu menyuruh orang membunuhnya. Teringat dia akan peristiwa di sarang Jang-kiang-pang itu, ketika dia menghadiri pesta pernikahan ketua Jang-kiang-pang dengan seorang pemuda yang namanya dia lupa lagi. Dalam pesta pernikahan ketua yang pernah menjadi kekasihnya, yaitu sumoi dari kekasihnya yang bernama Kim Lee Siang, seorang gadis yang cantik dan yang dalam keadaan terbius sehingga dengan mudah dia mampu menggaulinya dengan paksa. Kemudian dia mendengar bahwa gadis yang telah diperkosanya itu membunuh diri, dan mendengar pula bahwa ketua Jang-kiang-pang dibuntungi oleh suaminya sendiri yang kemudian dia dengar adalah seorang pemberontak yang menjadi buronan pemerintah! Dan kini, si kedok hitam ini mengaku disuruh arwah Kim Lee Siang untuk membunuhnya.

   "Kau akan kukirim ke neraka menyusulnya!"

   Bentaknya marah setelah dia menengok dan melihat betapa selosin pengawalnya sudah terdesak hebat oleh para penyerbu yang memakai kedok hitam.

   Dia menjadi nekat. Melarikan diri tidak mungkin. Minta bantuanpun tidak mungkin karena di tempat sunyi itu, siapa yang akan dapat membantunya? Andai kata rakyat melihatnyapun, mereka tidak akan mau membantu sepasukan tentara pemerintah yang sedang berkelahi. Dua orang pemilik kedai minuman tadipun sudah bersembunyi di balik meja mereka dengan tubuh menggigil, Khabuli menjadi nekat dan melawan mati-matian. Khabuli adalah seorang panglima yang selain tinggi besar dan kuat, juga memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.

   Dia ahli gulat Mongol, juga dia telah mempelajari berbagai ilmu silat dan sudah banyak pengalamannya dalam perkelahian dan pertempuran. Akan tetapi, sekali ini dia menghadapi Cu Goan Ciang yang bukan saja sudah lihai sekali dengan ilmu andalannya, yaitu Sin-tiauw ciang-hoat (Ilmu Silat Rajawali Sakti), akan tetapi juga selama berbulan-bulan menerima gemblengan yang sungguh-sungguh dari Pek Mau Lokai dan kini dia menguasai ilmu tongkat Hok-mo-tung yang gerakannya aneh dan berbahaya sekali bagi lawan! Sementara itu, Yen Yen memimpin dua puluh orang anak buah Hwa I Kaipang yang semua mengenakan pakaian dan kedok hitam, mendesak selosin orang prajurit pengawal Mongol.

   Pertempuran yang berat sebelah terjadi dan akhirnya selosin orang itu dapat dirobohkan semua, walaupun di pihaknya menderita tiga orang luka-luka. Yen Yen kini hanya menonton perkelahian antara Goan Ciang dan panglima Khabuli. Pemuda itu telah mulai mendesak Khabuli dengan sengit, sedangkan Khabuli yang melihat betapa semua pengawalnya telah roboh, mulai merasa gentar dan permainan pedangnya mulai ngawur. Dia tidak melihat jalan keluar, tidak dapat melarikan diri. Melihat betapa orang-orang yang berpakaian dan berkedok hitam itu mengurung tempat itu, sedangkan dia didesak oleh lawan, dia hanya dapat berlaku nekat dan mati-matian.

   "Wuuutt... singg...!!"

   Pedangnya digerakkan membabi-buta, menyambar dahsyat ke arah kepala Goan Ciang.

   Gerakan serangan ini sudah ngawur, lebih didorong kenekatan dan kemarahan dari pada gerak jurus yang baik. Goan Ciang merendahkan tubuhnya, membiarkan pedang itu menyambar lewat di atas kepalanya dan tongkatnya bergeral cepat menusuk ke arah perut lawan. Biarpun tongkat itu hanya terbuat dari kayu, namun ditangan Goan Ciang yang mengerahkan sin-kang, senjata sederhana itu akan mampu menembus pakaian dan kulit daging dan dapat mematikan, Khabuli maklum akan hal ini, maka diapun melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik untuk menghindarkan tusukan, Goan Ciang mengejar, tongkatnya menyambar-nyambar.

   "Tukkk!"

   Tongkat itu cepat sekali berhasil menotok pergelangan tangan kanan Khabuli yang tiba-tiba merasa tangan kanan itu lumpuh sehingga pedangnya terlepas. Ketika dia hendak mengambil pedang yang terjatuh, ujung tongkat menyambar-nyambar ganas sehingga dia terpaksa meloncat ke belakang.

   "Pengecut, engkau menghadapi orang yang tidak bersenjata lagi!"

   Bentaknya marah.

   Gertakannya untuk memanaskan hati lawan ini berhasil menyinggung harga diri dan kegagahan lawan karena mendengar ini, Goan Ciang lalu menancapkan tongkatnya di atas tanah dan menghadapi panglima Mongol itu dengan tangan kosong pula! Akan tetapi ternyata hal ini sama sekali tidak menguntungkan Khabuli. Kalau tadi pedangnya masih dapat menandingi tongkat lawan dan dia masih dapat membela diri dengan gigih, kini dia terkejut bukan main karena begitu lawan memainkan Sin-tiauw ciang-hoat, Khabuli terdesak hebat dan dalam belasan jurus saja dia beberapa kali terhuyung. Dengan nekat, melihat Goan Ciang memiliki gerakan yang seperti seekor burung menyambar-nyambar, dia hendak mengambil kemenangan dengan ilmu gulatnya.

   Ketika terbuka suatu kesempatan, begitu kedua lengan bertemu ketika dia menangkis tamparan lawan, secepat kilat pergelangan tangannya membalik dengan putaran kuat dan dia sudah berhasil menangkap lengan kanan Goan Ciang. Jari-jari tangannya yang panjang dan kuat itu mencengkeram dan menangkap lengan, memuntirnya dan jari-jari tangan kirinya berhasil pula menjambak rambut kepala Goan Ciang. Dengan satu tarikan saja dia akan dapat menjebol rambut itu atau memuntir patah sambungan tulang lengan lawan. Akan tetapi pada saat itu, secepat kilat tangan Goan Ciang, seperti seekor burung rajawali mematuk, telah menusuk ke arah ubun-ubun kepalanya yang tertutup topi panglima.

   "Takk...!!"

   Topi itu tidak ada gunanya melindungi kepala terhadap totokan jari tangan Goan Ciang.

   Mata Khabuli melotot, mulutnya terbuka dan terdengar suara aneh keluar dari kerongkongannya, cengkeraman kedua tangannya pada lengan dan rambut terlepas dan tubuhnya terjengkang dan tewaslah Khabuli dengan mata melotot dan mulut ternganga. Jari tangan Goan Ciang menembus topi dan panglima itu tewas dengan kepala berlubang! Yen Yen bertepuk tangan, diikuti oleh teman-teman mereka. Tepuk tangan ini baru menyadarkan Goan Ciang yang berdiri memandangi mayat musuhnya dengan termenung karena dia teringat kepada kekasihnya yang telah tewas. Dalam hatinya dia berdoa agar Kim Lee Siang tidak merasa penasaran lagi.

   "Mari kita cepat pergi!"

   Katanya kepada Yen Yen.

   Mereka lalu meninggalkna tempat itu dengan cepat, membawa tiga orang teman yang terluka. Tinggal dua orang pemilik kedai yang kini nampak ketakutan. Biarpun mereka sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan orang-orang yang memakai kedok hitam tadi dan mereka tidak tersangkut urusan perkelahian yang menyebabkan tewasnya pasukan pemerintah, namun kedai mereka telah berubah menjadi tempat pembantaian di mana tiga belas orang pasukan pemerintah kini menjadi mayat, berserakan di kedai mereka! Mereka hanya dapat menangis dan masih menangis ketika pasukan pemerintah datang dari Nan-king mendengar berita tentang pertempuran itu.

   Dua orang pemilik kedai itu dengan menangis ketakutan, menceritakan apa yang telah terjadi. Untung bagi mereka bahwa yang memeriksa dan menanyai mereka adalah Shu-Ciangkun. Setelah mendengar penjelasan kedua orang pemilik kedai bahwa yang membunuh Khabuli dan selosin anak buahnya adalah dua puluh lebih orang-orang berpakaian hitam dan berkedok hitam pula, dua orang itupun dibebaskan. Yauw-Ciangkun marah-marah, akan tetapi kepada siapa dia harus marah? Para penyerang itu berkedok hitam, sama seperti si kedok hitam yang pernah mengacau dalam benteng dan membebaskan dua orang tawanan!

   "Shu-Ciangkun, engkau harus dapat membasmi gerombolan kedok hitam ini. Kalau tidak dapat terbasmi dalam waktu sebulan, aku akan menganggap bahwa engkau telah gagal membersihkan daerah ini dari gangguan para pemberontak. Aku yakin bahwa gerombolan kedok hitam itu pasti golongan pemberontak, bukan sekedar gerombolan penjahat biasa."

   Shu Ta memberi hormat.

   "Baik, Ciangkun. Saya akan melakukan pembersihan dan dalam waktu sebulan, saya berjanji bahwa gerombolan kedok hitam itu tidak akan ada lagi di daerah ini!"

   Shu Ta dapat menduga siapa yang melakukan pembunuhan terhadap Khabuli dan anak buahnya. Siapa lagi yang membunuh perwira Mongol dan pasukannya dengan menggunakan kedok hitam kalau bukang suhengnya? Dan diapun mengerti apa maksud suhengnya. Tentu penggunaan kedok hitam itu untuk membebaskan dia dari kecurigaan! Diam-diam dia mengutus A Sam untuk menemui (Lanjut ke Jilid 14)

   Rajawali Lembah Huai (Cerita Lepas)

   
Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 14

   pimpinan Hwa I Kaipang dan minta agar semua kegiatan para pejuan dihentikan dan agar tidak lagi muncul kedok hitam di Nan-king.

   Dia sendiri memimpin pasukan dan melakukan penggeledahan di semua rumah penduduk di kota besar Nan-king dan sekitarnya, sengaja menangkap beberapa orang yang dicurigai untuk kemudian dibebaskan kembali karena tidak ada bukti bersalah. Akan tetapi hasilnya, biarpun tidak dapat menangkap seorang pemberontakpun, hanya menangkapi beberapa orang penjahat yang memang sudah lama dicari petugas keamanan, ternyata semenjak Shu-Ciangkun melakukan pembersihan, tidak pernah lagi muncul di Nan-king! Hal ini tentu saja membuat Shu Ta semakin dipercaya, dan pangkatnya dinaikkan sehingga kini dia menjadi wakil komandan pasukan di Nan-king, yaitu pembantu utama dari Yauw-Ciangkun!

   Perubahan siasat yang diperintahkan Menteri Bayan kepada para pejabat daerah di Nan-king, dilaksanakan dengan baik. Semenjak Panglima Shu Ta yang kini menjadi wakil komandan Nan-king mengadakan pembersihan terhadap gerombolan kedok hitam, tidak pernah lagi terjadi keributan dan seolah-olah terdapat perdamaian tak tertulis antara para pemberontak dan pemerintah.

   Tidak ada lagi kekacauan dilakukan para pejuang, dan juga pasukan pemerintah tidak pernah lagi mengadakan pembersihan untuk membasmi pemberontak. Kehidupan di Nan-king dan sekitarnya nampak tenteram dan tenang. Untuk melaksanakan siasat mendekati dunia kang-ouw agar dapat membantu pemerintah, maka dilaksanakan pemilihan Beng-cu (pemimpin rakyat) atau juga pemimpin dunia kang-ouw. Undangan untuk pemilihan Beng-cu ini diadakan oleh Hwa I Kaipang dan Hek I Kaipang. Memang pandai sekali siasat yang dilakukan pemerintah, Hek I Kaipang mengirim utusan mencari Pek Mau Lokai dan tokoh tua Hwa I Kaipang ini diundang untuk mengadakan pertemuan dengan Coa Kun, ketua Hek I Kaipang. Dalam pertemuan ini, Coa Kun mengajak Pek Mau Lokai untuk menghentikan pertentangan antara kedua perkumpulan pengemis dan bersama-sama menyelenggarakan pemilihan Beng-cu.

   Pek Mau Lokai maklum bahwa kalau undangan terhadap para tokoh kang-ouw dilakukan atas namanya, maka tentu akan mendapat perhatian para tokoh kang-ouw, apa lagi masih ada nama Coa Kun, sebagai ketua Hek I Kaipang ikut pula mengundang. Pek Mau Lokai dan Cu Goan Ciang serta Tang Hui Yen, maklum bahwa Hek I Kaipang dipergunakan pemerintah Mongol untuk menarik dunia kang-ouw agar mendukung pemerintah. Oleh karena itu, merekapun tidak tinggal diam dan anak buah Hwa I Kaipang telah disebar luas untuk menghubungi para tokoh kang-ouw dan mengingatkan mereka agar jangan sampai terjebak dan diperalat penjajah Mongol yang hendak menggunakan siasat lain untuk menguasai para pemberontak.

   Semua pihak dapat merasakan bahwa walaupun nampaknya saja terdapat ketenangan dan suasananya penuh damai antara pihak yang pro dan pihak yang anti pemerintah Mongol, agaknya kedua pihak mengadakan kerja sama untuk mengadakan pemilihan Beng-cu, namun dalam pemilihan itu pasti akan terjadi pergolakan dan pertentangan hebat. Diam-diam telah terjadi pengelompokan, yaitu kelompok yang pro dan diperalat pemerintah Mongol, kelompok yang anti penjajahan, dan kelompok yang acuh akan urusan politik melainkan berpamrih untuk keuntungan pribadi saja. Harapan kedua pihak yang diam-diam bertentangan itu terpenuhi ketika pada hari yang ditentukan, di tempat yang telah dipersiapkan untuk mengadakan pemilihan Beng-cu itu dibanjiri pengunjung. Hampir seluruh kang-ouw di daerah Nan-king ke selatan menghadiri pemilihan itu. Bahkan banyak pula tokoh dari utara dan barat datang sebagai penonton, bukan sebagai pengikut pemilihan.

   Adapun pihak Hwa I Kaipang diwakili oleh Pek Mau Lokai sendiri, kakek berusia enam puluh enam tahun yang rambutnya putih riap-riapan itu, kakek yang selalu tersenyum dan matanya yang sipit tajam sinarnya. Semua tokoh kang-ouw juga mengenal baik kakek jangkung kurus ini karena namanya sebagai pendiri dan pemimpin Hwa I Kaipang, sudah terkenal di sepanjang lembah Yang-ce. Bahkan para tokoh besar dunia persilatan juga segan melihat sebatang tongkat butut yang selalu menjadi temannya karena tongkat itu kabarnya tak pernah dikalahkan lawan! Di samping kanan kakek ini duduk seorang gadis yang berusia dua puluh satu tahun, cantik manis dengan tubuhnya yang tinggi ramping, rambutnya hitam tebal digelung ke atas, wajahnya bulat telur manis sekali, dengan sepasang mata indah dan jeli, dagunya runcing dan di sebelah kiri mulutnya membayang lesung pipit. Mulut yang manis itupun selalu tersenyum seperti mulut Pek Mau Lokai, dan memang gadis ini adalah cucu pendiri Hwa I Kaipang itu. Ia adalah Tang Hui Yen yang biasa disebut Yen Yen.

   Di sampingnya duduk Cu Goan Ciang dengan sikap gagah dan tenang. Para tokoh kang-ouw diam-diam memperhatikan pemuda tinggi tegap yang gagah dan anggunm berwibawa dan pembawaannya seperti seekor rajawali, demikian perkasa dan matanya mencorong tajam. Semua orang sudah mendengar akan sepak terjang pemuda ini. Dia amat dikenal karena semua orang mendengar betapa pemuda ini berjiwa pahlawan yang menentang penjajahan dengan berani, dan mendengar pula bahwa Cu Goan Ciang menjadi orang buruan pemerintah, namun tak pernah dapat ditangkap karena dia amat cerdik dan pandai mengatur siasat. Di belakang kursi ke tiga orang wakil Hwa I Kaipang ini duduk pula tiga orang ketua cabang Hwa I Kaipang, yaitu Lee Ti dari cabang barat, Pouw Sen dari cabang timur, dan Kauw Bok dari cabang selatan. Anak buah Hwa I Kaipang juga banyak yang hadir, akan tetapi mereka berbaur dengan para pendatang lainnya dan tidak mengenakan pakaian perkumpulan mereka.

   Pemilihan ini merupakan pemiihan pemimpin kang-ouw umum, bukan pemimpin perkumpulan, maka mereka tidak mewakili perkumpulan, melainkan sebagai orang-orang kang-ouw. Pula, para pimpinan Hwa I Kaipang memang melarang anak buah mereka mengenakan pakaian baju kembang karena pihak pemerintah sedang mengincar mereka dan kalau mereka mengenakan baju kembang, tentu akan mudah ditangkap. Kedatangan dan kehadiran para tokoh perkumpulan besar ini tentu saja mempunyai arti penting. Setelah semua orang berkumpul tidak ada lagi tamu yang datang, Coa Kun sebagai ketua Hek I Kaipang dan penyelenggara pertemuan itu bersama Hwa I Kaipang, berdiri di atas panggung dan memberi isarat dengan tangan agar semua orang tenang. Coa pangcu (ketua Coa) yang gagah dengan muka seperti harimau tiu mengucapkan terima kasih atas nama Hek I Kaipang.

   "Cu-wi (saudara sekalian) tentu tahu bahwa sudah lama dunia persilatan tidak dipimpin seorang Beng-cu sehingga di antara kita tidak ada persatuan. Karena itu, kita semua menyadari bahwa amat perlu diadakan pemilihan seorang Beng-cu, agar kita semua selalu mendapat petunjuk agar kita bersama dapat menjaga ketenteraman dan kemakmuran dalam kehidupan rakyat. Karena itu, hari ini kita akan mengadakan pemilihan Beng-cu dan saudara sekalian dipersilahkan untuk mengajukan calon-calon yang akan kita pilih bersama. Tentu saja kita harus memilih yang terbaik, yaitu yang memiliki pengalaman paling banyak dan pengetahuan paling lengkap, juga yang memiliki ilmu kepandaian silat paling lihai. Orang seperti itu barulah pantas untuk memimpin kita."

   Ketika Pek Mau Lokai, sebagai wakil Hwa I Kaipang mendapat kesempatan menyambut dan ketika kakek yang rambutnya riap-riapan putih ini berdiri di panggung, dengan tongkat butut di tangan kanan, semua orang memandang kagum.

   Dilihat keadaan tubuhnya yang jangkung kurus, kakek ini nampaknya lemah saja, akan tetapi semua orang tahu bahwa dibalik keadaan itu terkandung kekuatan yang hebat dan terutama tongkat butut itu kabarnya belum pernah mengalami kekalahan.

   "Saudara sekalian. Apa yang diucapkan Hek I Kaipangcu tadi memang betul. Kita semua membutuhkan seorang Beng-cu yang bijaksana. Rakyat membutuhkan bimbingan agar hidupnya tidak tertindas dan sengsara, dan rakyat membutuhkan seorang pemimpin yang selain tangguh, juga yang bijaksana, tidak mementingkan diri sendiri dan yang mencinta rakyat jelata. Kami sebagai pihak yang ikut menyelenggarakan pemilihan ini, mengajukan seorang calon kami, yaitu ketua Hwa I Kaipang kami yang bernama Cu Goan Ciang!"

   Mereka yang sudah mendengar nama Cu Goan Ciang, juga mereka yang menghormati Pek Mau Lokai dan percaya akan pilihannya, menyambut dengan tepuk tangan gemuruh.

   Diam-diam Coa Kun mendongkol. Pek Mau Lokai telah mendahuluinya, mengajukan wakil atau calon lebih dahulu sehingga mampu memancing perhatian dan dukungan banyak orang. Diapun cepat mengumumkan agar semua pihak mengajukan calon-calon mereka. Pihak Hek I Kaipang sendiri mengajukan tiga orang calon, yaitu kakek Bouw In, Thian Moko, dan Tee Moli. Melihat betapa Hek I Kaipang mengajukan tiga orang calon, Tang Hui Yen bangkit dari tempat duduknya dan berseru dengan suara nyaring.

   "Karena Hek I Kaipang mengajukan tiga orang calon, maka kami dari pihak Hwa I Kaipang juga menambah seorang calon lagi, yaitu kakekku sendiri, Pek Mau Lokai! Jadi pihak kami mengajukan dua orang calon, yaitu Cu Goan Ciang dan Pek Mau Lokai!"

   Kembali calon ini disambut dengan sorak-sorai.

   Ketika pihak lain dipersilahkan mengajukan calon, pihak orang-orang kang-ouw yang tidak membela atau menentang pemerintah, mengajukan dua orang calon. Yang pertama adalah Jang-kiang Sianli Liu Bi yang disambut dengan gembira pula oleh Hek I Kaipang karena mereka tahu bahwa wanita yang lengan kirinya buntung itu jelas dapat mereka tarik di pihak mereka karena wanita itu sudah lama dekat dengan para pejabat, bahkan pernah menjadi kekasih panglima Khabuli yang tewas oleh gerombolan kedok hitam! Adapun calon kedua adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang tubuhnya seperti raksasa dan berotot melingkar-lingkar, mukanya juga penuh brewok dan matanya lebar.

   Dia amat terkenal di dunia kang-ouw sebagai seorang tokoh sesat yang amat lihai dan bertenaga gajah, dan dia dikenal dengan nama julukan Tay-lek Kwi-ong (Raja Setan Tenaga Besar), seorang jagoan di sepanjang pantai timur, juga terkenal di sepanjang sungai Yang-ce sebagai bajak sungai tunggal. Akan tetapi tidak seperti perampok dan pembajak lainnya, dia hanya mau merampok harta yang besar jumlahnya saja, dan perbuatan inipun dilakukan amat jarang. Sekali merampok, dia memperoleh harta yang banyak dan setelah hasil rampokan itu habis, barulah dia turun tangan kembali.

   Tidak ada pantangan baginya, baik pedagang yang dilindungi tukang-tukang pukul, atau pejabat yang dilindungi pasukan pengawal, semua disikatnya dan dia tidak pernah gagal. Diapun tidak pernah mencampuri urusan politik, tidak menentang, juga tidak membantu pemerintah penjajah Mongol. Ketika para hadirin diberi kesempatan untuk mengajukan calon, ternyata tidak ada calon lain yang berani maju. Mereka yang tadinya mempunyai minat untuk menjadi calon, kini mundur teratur melihat tokoh-tokoh besar yang sudah ditunjuk.

   Ada yang merasa ngeri kalau harus bersaing dengan Tay-lek Kwi-ong, ada yang takut menghadapi Jang-kiang Sianli, akan tetapi mereka segan untuk bersaing dengan Pek Mau Lokai. Kini para calon dipersilahkan duduk berjajar di tengah panggung, dan para pemilih diperbolehkan untuk mengajukan keberatan terhadap calon-calon yang dipilih. Giliran pertama jatuh pada Cu Goan Ciang, Coa Kun segera maju dan naik ke atas panggung.

   "Saudara sekalian, kami merasa tidak setuju kalau Cu Goan Ciang diajukan sebagai calon. Pertama, dia masih terlalu muda dan tidak berpengalaman, kedua kalinya, namanya telah tersohor sebagai orang yang telah menimbulkan kekacauan sehingga kalu kelak dia menjadi Beng-cu, dia tidak akan mampu mendatangkan ketenteraman dalam kehidupan dunia kang-ouw."

   Mendengar ini, Tang Hui Yen bangkit dari tempat duduknya dan berdiri menghadapi para tamu. Suaranya merdu namun lantang ketika ia bicara.

   "Cu-wi harap pertimbangkan baik-baik dan tidak terpengaruh oleh keberatan yang diajukan Hek I Kaipang tadi. Alasan penolaknya kurang kuat. Pertama, justeru usia muda yang akan membuat seorang Beng-cu dapat bekerja dengan penuh semangat, tidak seperti orang tua yang sudah loyo! Tentang kekacauan yang dikatakan ditimbulkan oleh Cu Goan Ciang, hal itu terlalu dilebih-lebihkan, Cu Goan Ciang adalah seorang pendekar dan pendekar mana yang tidak akan turun tangan kalau melihat terjadinya ketidak adilan? Tentu sepak terjangnya menimbulkan keributan, akan tetapi tokoh kang-ouw manakah yang tidak pernah menimbulkan keributan? Kita memang belajar ilmu untuk menentang ketidak adilan dan tentu akan menimbulkan keributan. Akan tetapi, Cu Goan Ciang tidak pernah mengacau, tidak pernah merugikan rakyat, tidak pernah melakukan kejahatan. Karena itu, kami tetap mengajukan Cu Goan Ciang sebagai calon Beng-cu!"

   Ucapan gadis yang dilakukan penuh semangat itu disambut oleh banyak orang yang mendukungnya sehingga terpaksa Coa Kun mengalah dan Cu Goan Ciang dinyatakan sebagai seorang calon yang telah disetujui.

   Ketika Pek Mau Lokai diajukan untuk dinilai, tak seorangpun berani menyatakan tidak setuju dan dengan sendirinya kakek pendiri Hwa I Kaipang inipun menjadi seorang calon. Demikian pula ketika Thian Moko dan Tee Moli diajukan. Sepasang iblis ini membuat semua orang gentar sehingga tidak ada yang berani mengajukan keberatan. Akan tetapi ketika Bouw In diajukan, tiba-tiba terdengar seruan dari bawah panggung dan seorang hwesio melompat, naik ke atas panggung.

   "Omitohud, pinceng dari Siauw-lim-pai merasa tidak setuju sama sekali kalau dia diajukan sebagai calon Beng-cu!"

   Semua orang memandang dan Cu Goan Ciang sendiri terkejut melihat bahwa yang melompat ke atas panggung adalah seorang hwesio yang sikapnya lemah lembut, usianya sekitar enam puluh sati tahun.

   Hwesio itu bukan lain adalah Lauw In Hwesio, ketua kuil Siauw-lim-si di Lembah Sungai Huai, atau gurunya yang pernah mendidiknya di kuil selama delapan tahun. Lauw In Hwesio kini menghadapi Bouw In yang duduk dengan sikap tenang, dan kedua orang itu bertemu pandang, lalu Lauw In Hwesio memberi hormat dengan kedua tangan dirangkap di depan dada.

   "Omitohud...! Bouw In Suheng, bagaimana mungkin suheng menjadi seorang Beng-cu di dunia kang-ouw?"

   "Lauw In Sute, aku Bouw In sekarang bukan hwesio lagi, bahkan aku telah menikah dan membentuk keluarga. Apa salahnya kalau aku menjadi seorang Beng-cu kalau memang itu yang dikehendaki oleh dunia kang-ouw?"

   Sejenak Lauw In Hwesio mengamati suhengnya dan diapun berulang kali menyebut nama Buddha.

   Dia terkejut dan heran bukan main mendengar bahwa suhengnya itu telah meninggalkan kependitaannya, menjadi orang biasa, bahkan telah menikah dan kini membiarkan dirinya dipilih menjadi calon Beng-cu!

   "Suheng, katakanlah suheng bukan lagi menjadi hwesio,"

   Katanya dengan lantang agar didengarkan oleh orang-orang lain.

   "akan tetapi suheng adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai dan merupakan larangan bagi murid Siauw-lim-pai untuk menjadi pemimpin golongan lain apa lagi menjadi Beng-cu. Kami dari pihak Siauw-lim-pai tidak setuju kalau Bouw In suheng dicalonkan menjadi Beng-cu!"

   Coa Leng Si yang berpakaian serba hijau, gadis yang gagah dan cantik murid Bouw In Hwesio itu segera bangkit dari tempat duduknya dan suaranya terdengar nyaring.

   "Pihak Siauw-lim-pai sungguh bersikap tidak adil dan tidak wajar. Suhu tadi sudah mengatakan bahwa dia bukan lagi seorang hwesio Siauw-lim dan hal ini berarti dia boleh berbuat sekehendak hatinya. Kalau suhu melakukan perbuatan yang jahat, boleh saja Siauw-lim-pai merasa tersinggung dan merasa tercemar nama baiknya. Akan tetapi, suhu menjadi calon Beng-cu, kedudukan terhormat di dunia kang-ouw. Sepantasnyalah Siauw-lim-pai merasa ikut bangga karena suhu adalah bekas hwesio Siauw-lim-pai, bukan malah melarang dan menentang tanpa alasan!"

   Para tamu banyak mengangguk-angguk membenarkan ucapan itu, dan Lauw In Hwesio segera menjawab.

   "Omitohud... kalau benar Bouw In Suheng menyatakan tidak lagi menjadi anggota Siauw-lim-pai, tentu kami juga tidak berhak untuk mencampuri urusan pribadinya!"

   Kini Bouw In menjawab sambil tersenyum tenang.

   "Ha, agaknya engkau lupa bahwa engkau telah bersikap sama sekali tidak adil, sute Lauw In Hwesio! Aku tahu bahwa Cu Goan Ciang adalah muridmu, berarti dia murid Siauw-lim-pai pula. Akan tetapi kenapa engkau tidak menentang dia menjadi calon Beng-cu? Cu Goan Ciang itu muridmu, berarti murid Siauw-lim-pai juga, bukan? Apakah diapun harus keluar dari keanggotaannya di Siauw-lim-pai, abru boleh mengikuti pemilihan Beng-cu ini?"

   Diserang seperti itu, Lauw In Hwesio tertegun. Dia menghela napas panjang dan berkata dengan suara mengeluh.

   "Omitohud...! Engkau tahu bahwa pinceng bicara demi kebaikanmu sendiri, suheng. Suheng pernah menjadi tokoh besar Siauw-lim-pai sehingga setiap sepak terjang suheng akan menjadi perhatian dunia persilatan. Adapun Cu Goan Ciang, dia seorang pemuda, tentu lebih berhak untuk mengejar cita-citanya. Engkau sudah tua, suheng, apakah juga masih ingin mengejar kedudukan dan kehormatan sebagai Beng-cu? Akan tetapi, kalau engkau nekat, pinceng juga tidak dapat menghalangimu, pinceng hanya dapat berdoa semoga engkau tidak terseret ke dalam kesesatan dan kehormatan."

   

Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini