Ceritasilat Novel Online

Rajawali Lembah Huai 2


Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Bagian 2



Pada suatu malam terang bulan, ketika Siauw Cu sedang berlatih silat di taman bunga belakang kuil yang dirawatnya, seorang diri dan tenggelam dalam latihannya, tiba-tiba sesosok tubuh manusia berkelebat dan terjun ke dalam lingkaran latihan silat menyerang Siauw Cu. Pemuda ini segera mengenal suhunya, maka giranglah hatinya. Kemajuan besar selalu didapatkan-nya kalau gurunya ini mau mengajaknya berlatih silat seperti itu. Diapun, seperti selalu dianjurkan Lauw In Hwesio kalau berlatih, tidak bersikap sungkan lagi dan dia mengeluarkan seluruh kepandaiannya, mengerahkan seluruh tenaga karena maklum bahwa gurunyapun akan bersungguh-sungguh untuk mengalahkannya! Jurus demi jurus mereka keluarkan, saling serang dan saling desak.

   Diam-diam Lauw In Hwesio kagum sekali kepada muridnya ini. Dia sendiri sudah tidak mampu mengalahkan muridnya karena semua jurus dapat dilayani dengan baiknya oleh Siauw Cu, juga dalam hal tenaga, dia hampir tidak dapat menandingi karena dia sudah tua sedangkan Siauw Cu sedang kuat-kuatnya! Mulailah hwesio tua ini merasa lelah sekali dan dia tahu bahwa kalau dilanjutkan, dia yang akan kalah. Tiba-tiba hwesio tua itu mengeluarkan pekik nyaring dan gerakannya berubah sama sekali. Kini tubuhnya melayang dan berloncatan tinggi ke atas, lalu menyambar turun dengan serangan yang amat dahsyat dan asing bagi Siauw Cu!

   Pemuda ini berusaha untuk mempertahankan diri, namun dia hanya mampu bertahan selama sepuluh jurus saja menghadapi ilmu silat aneh itu dan akhirnya dadanya dapat diterjang Lauw In Hwesio sampai dia jadi terjengkang!

   "Suhu, ilmu apakah yang suhu mainkan ini?"

   Tanpa memperdulikan dadanya yang agak nyeri dan pinggulnya yang tadi menghantam tanah, Siauw Cu cepat menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya dan mengajukan pertanyaan itu. Gurunya berdiri terengah-engah, tersenyum girang sekali.

   "Omitohud... kalau pinceng (aku) tidak mempunyai ilmu simpanan tadi, tentu sudah kalah olehmu, Siauw Cu."

   "Suhu! Selama ini teecu selalu mentaati karena teecu yakin bahwa suhu adalah seorang yang berhati mulia, tidak pernah berbohong. Akan tetapi, suhu mengatakan bahwa semua ilmu silat Siauw-lim-pai yang pernah suhu pelajari, telah suhu ajarkan kepada teecu semua. Akan tetapi kenapa sekarang suhu mempunyai ilmu silat yang tidak teecu kenal?"

   "Omitohud, berdosalah pinceng membohongimu, Siauw Cu. Pinceng tidak pernah berbohong dan tidak akan berbohong. Memang sesungguhnyalah bahwa semua ilmu silat Siauw-lim-pai yang pinceng kuasai, telah pinceng ajarkan kepadamu, tidak ada satupun yang ter-tinggal. Kalau tadi pinceng mengeluarkan ilmu silat yang tidak kaukenal itu, adalah karena terpaksa. Kalau tidak mengeluarkan ilmu simpanan itu, bagaimana mungkin pinceng dapat mengatasimu? Akan tetapi, ilmu silat itu bukanlah ilmu silat aliran Siauw-lim-pai, karena itulah maka tidak pinceng ajarkan kepadamu."

   "Ah, begitukah, suhu? Kalau begitu mohon suhu mengampuni teecu yang menyangka suhu berbohong tadi. Ilmu apakah itu tadi, suhu dan kenapa pula suhu menguasai ilmu silat yang bukan Siauw-lim-pai, dan mengapa tidak diajarkan kepada teecu?"

   "Ilmu silat itu memang bukan ilmu silat Siauw-lim-pai dan pinceng mendapatkannya secara kebetulan saja."

   Hwesio tua itu lalu bercerita. Belasan tahun yang lalu, ketika dia dan seorang suhengnya berjalan-jalan di puncak pegunungan mereka berdua melihat seekor burung rajawali yang besar sedang berkelahi dengan seekor harimau memperebutkan bangkai seekor kijang. Perkelahian itu seru bukan main. Lauw In Hwesio dan Bouw In Hwesio mengintai dan menonton. Sebagai ahli-ahli silat Siauw-lim-pai, mereka berdua sudah mempelajari semua ilmu silat Siauw-lim-pai dan mereka telah memiliki kepandaian yang matang dan tinggi.

   Di Siauw-lim-pai terdapat bermacam ilmu silat, bahkan ada ilmu silat Bangau Putih, akan tetapi ketika mereka berdua melihat perkelahian itu,mereka tertegun. Mereka juga menguasai ilmu silat Houw-kun (Silat Harimau) yang gerakannya meniru gerakan harimau, akan tetapi kini harimau itu tidak berdaya menghadapi burung rajawali yang menyambar-nyambar dari atas dengan ganas dan dahsyatnya. Sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi, keduanya mencurahkan perhatian dan mengingat semua gerakan rajawali ketika bertanding melawan harimau. Akhirnya, harimau itu melarikan diri dengan tubuh luka-luka, dan rajawali itu menyambar bangkai kijang, dibawa terbang untuk diberikan kepada anak-anaknya di sarangnya, entah di mana.

   Setelah melihat perkelahian hebat itu, Lauw In Hwesio dan suhengnya, Bouw In Hwesio, berdua mulai merangkai ilmu silat berdasarkan gerakan rajawali ketika berkelahi melawan harimau tadi. Dan akhirnya, setelah bersusah payah selama satu tahun, mereka berdua berhasil merangkai sebuah ilmu silat baru, yaitu ilmu silat Rajawali Sakti. Karena ilmu itu bukan ilmu keturunan dari Siauw-lim-pai, keduanya berjanji untuk menyimpan ilmu itu untuk mereka berdua saja, dan bahkan merahasiakannya dari para murid Siauw-lim-pai yang lain. Di Siauw-lim-pai memang ada peraturan keras bahwa seorang murid tidak boleh mencampurkan ilmu silat Siauw-lim-pai yang asli dengan ilmu lain.

   Bahkan seorang murid Siauw-lim-pai tidak boleh memainkan ilmu silat yang bukan Siauw-lim-pai. Peraturan kuno yang keras ini mungkin diadakan demi menjaga kemurnian ilmu silat aliran itu.

   (Lanjut ke Jilid 02)

   Rajawali Lembah Huai (Cerita Lepas)

   Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 02

   "Demikianlah, Siauw Cu. Hanya kami berdua yang menguasai ilmu silat itu dan tadi terpaksa pinceng mainkan untuk mengatasimu. Bagaimanapun juga, bagaimana mungkin pinceng sebagai gurumu tidak mampu mengalahkanmu?"

   Mendengar ini, Siauw Cu segera memberi hormat sambil berlutut.

   "Suhu, teecu mohon agar suhu sudi mengajarkan ilmu silat Rajawali sakti itu kepada teecu."

   Lauw In Hwesio adalah seorang hwesio tua yang bukan saja pandai ilmu silat dan ilmu keagamaan, akan tetapi diapun mempelajari ilmu perbintangan dan dia dapat meramalkan bahwa muridnya ini berbeda dengan orang lain dan kelak akan dapat memperoleh kedudukan tinggi sebagai seorang pemimpin.

   "Siauw Cu, ilmu ini hanya dikenal oleh pinceng dan suheng Bouw In Hwesio yang sekarang entah merantau ke mana. Pinceng dapat mengajarkan kepadamu, akan tetapi hanya dengan dua syarat."

   "Apakah syarat itu, suhu?"

   "Pertama, ilmu ini tidak boleh kaupergunakan untuk membantu pemerintah kerajaan penjajah Mongol. Ke dua, dalam mempergunakan ilmu Rajawali Sakti ini, engkau tidak boleh mengaku sebagai murid Siauw-lim-pai."

   Siauw Cu yang memang tidak ingin menjadi hwesio, juga sama sekali tidak ingin mengabdi kepada pemerintah penjajah yang telah menyengsarakan kehidupan rakyat jelata termasuk mendiang kedua orang tuanya, tentu saja dapat menerima syarat itu dengan gembira.

   "Baik, suhu. Teecu bersumpah untuk memenuhi kedua syarat itu!"

   Katanya tegas dan gembira. Demikianlah, selama berbulan-bulan Siauw Cu mempelajari dan melatih Sin-tiauw ciang-hoat (Ilmu Silat Rajawali Sakti) itu dari gurunya dan setelah dia berhasil menguasainya dengan baik, Lauw In Hwesio memanggilnya menghadap.

   "Siauw Cu, kini tiba saatnya bagimu untuk terjun ke dunia ramai, mempergunakan semua kepandaian yang selama ini dengan tekun kau pelajari di sini agar semua jerih payahmu tidak sia-sia belaka. Akan tetapi ingat, engkau adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang selain mempelajari ilmu silat, juga memperoleh gemblengan dasar watak yang baik sebagai seorang gagah dan budiman. Ingatlah selain bahwa Siauw-lim-pai menentang segala bentuk kejahatan, dan bahwa engkau sebagai murid Siauw-lim-pai kalau sampai menyeleweng dan menjadi jahat, kelak engkau akan hancur oleh para murid Siauw-lim-pai sendiri."

   "Teecu akan selalu ingat semua petunjuk, nasihat dan perintah suhu."

   Berangkatlah Siauw Cu meninggalkan kuil itu. Ketika menuruni lereng itu, beberapa kali dia menengok ke arah bangunan kuno yang dikelilingi pagar tembok yang kehijauan karena lumut itu, dan hatinya terharu. Delapan tahun yang lalu, dalam usia dua belas tahun, dia melarikan diri dari kejaran anak buah Lurah Koa dalam keadaan luka-luka ke dalam kuil dan diterima, dilindungi oleh para hwesio di situ, bahkan diterima menjadi murid oleh Lauw In Hwesio. Andai kata tidak ada kuil itu dan para penghuninya, tentu dia tertangkap oleh anak buah Lurah Koa dan mungkin saja dia akan dihajar sampai mati karena dia telah berkelahi melawan dua orang putera lurah itu sampai mereka berdua roboh pingsan.

   Dia tidak mendendam kepada mereka. Selama delapan tahun di kuil itu, dia sudah menerima gemblengan lahir batin oleh Lauw In Hwesio sehingga dia merasakan benar, bukan hanya mengerti, betapa dendam merupakan racun yang merusak diri sendiri. Dendam dapat menghambat kemajuan lahir batin, dendam dapat mengeruhkan pikiran, bahkan mendorong orang melakukan kekejaman dan kejahatan demi pelampiasan dendam. Dendam merupakan satu di antara usaha setan untuk melumpuhkan manusia, untuk membuat manusia bertekuk lutut kepada daya-daya rendah yang menguasai hati akal pikiran.

   Tidak, dia tidak menaruh dendam kepada siapapun juga. Semua yang terjadi adalah sesuai dengan garis. Tidak perlu mendendam, karena dendam itu sendiri akan merupakan awal dari mata rantai karma yang tiada berkeputusan. Pengertian saja tidak akan ada gunanya tanpa pelaksanaan, bagaikan bunga yang rontok sebelum menjadi buah. Yang terpenting adalah pelaksanaannya, dan pelaksanaan inilah yang amat sukar karena bertentangan sengan kekuasaan nafsu. Semua orang tahu belaka apa yang disebut perbuatan jahat, namun mereka tidak mampu menahan nafsu yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan itu.

   Setiap orang pencuri tahu belaka, mengerti bahwa mencuri itu tidak baik dan tidak sepantasnya dilakukan, namun dorongan nafsu tak dapat mereka lawan dan merekapun mencuri, berlawanan dengan pengetahuannya tadi. Demikian pula dengan pelaku perbuatan sesat apapun. Pengetahuan saja tidak akan mampu melawan kekuasaan nafsu. Tidak, aku tidak mendendam, demikian Siauw Cu yang menjenguk isi hatinya berkata penuh keyakinan dalam hatinya. Dia memang hendak menuju ke kampung halamannya, tanah tumpah darahnya, yaitu tempat di mana darah ibunya tertumpah ketika melahirkan dia.

   Dia ingin menjenguk dan bersembahyang di kuburan ayah ibunya. Selain itu, yang terpenting, dia hendak melihat keadaan para warga dusun itu. Sudah adakah perubahan yang membaik selama delapan tahun ini? Dia ingin melakukan sesuatu demi kesejahteraan hidup para warga dusun yang dia tahu selama ini hidup dalam keadaan yang menyedihkan sekali, jauh di bawah garis kemiskinan! Apa yang dapat dia lakukan untuk mereka? Dia sendiri tidak tahu. Dia sendiri adalah seorang pemuda miskin. Dia meninggalkan kuil tanpa bekal apapun, kecuali beberapa stel pakaian sederhana yang terbuat dari kain kasar sederhana pula, seperti pakaian para pendeta di kuil.

   Kepalanya tidak dicukur gundul seperti para murid yang menjadi calon pendeta, namun tetap saja, ketika dia tinggal di kuil, pakaiannya sederhana sekali, disesuaikan dengan kehidupan kuil. Tentu saja dia tidak dapat memberikan bantuan berupa benda kepada warga dusun. Dia sendiri tidak tahu apa yang dapat dia lakukan, dan hal itu akan dilihatnya saja nanti perkembangannya kalau dia sudah tiba di dusunnya.

   "Suheng (kakak seperguruan)...! Perlahan dulu...!"

   Seruan ini mengejutkan hati Siauw Cu. Cepat dia menahan langkahnya dan membalik. Sesosok tubuh seorang pemuda berlari-lari dari belakang mengejarnya dan setelah dekat diapun mengenal pemuda itu dan dia tersenyum.

   "Heii, Shu-sute (adik seperguruan Shu)! Mau ke mana kau?"

   Tanya Siauw Cu gembira. Pemuda yang datang itu adalah Shu Ta, seorang di antara para murid di kuil itu yang bukan calon pendeta, seperti juga dia. Bahkan Shu Ta ini tadinya seorang kacung kuil sudah bekerja di kuil sebelum dia datang, akan tetapi Shu Ta yang sebaya dengannya, baru belajar silat sesudah dia, maka Shu Ta menyebutnya suheng (kakak seperguruan) dan dia menyebutnya sute (adik seperguruan). Dan biarpun dalam hal ilmu silat, sutenya itu biasa-biasa saja, tidak terlalu menonjol, namun dalam hal kecerdikan, Siauw Cu sering kali dibuat kagum.

   Sutenya ini mempunyai banyak sekali akal untuk mengatasi kesukaran dan sudah sering kali sutenya meringankan beban pekerjaan mereka ketika berada di kuil menggunakan akalnya yang banyak. Sutenya ini benar-benar amat cerdik dan kinipun dia tidak terlalu heran melihat sutenya dapat keluar dari kuil, entah dengan cara bagaimana.

   "Aku memang mengejarmu, suheng. Akupun meninggalkan kuil!"

   Kata pemuda itu gembira. Siauw Cu mengerutkan alisnya dan menatap wajah sutenya penuh perhatian dan teguran.

   "Shu-sute, kau... minggat dari kuil?"

   Pemuda itu tertawa dan walaupun usianya juga sekitar dua puluh tahun, namun dia nampak seperti kanak-kanak ketika tertawa.

   "Ha-ha-ha, Cu-suheng, kau kira aku ini orang macam apa? Aku sudah menerima budi yang berlimpah dari suhu dan para saudara di kuil Siauw-lim-si. Untuk membalas budi itupun aku belum mampu, bagaimana mungkin aku berani minggat? Tidak, suheng. Setelah mendengar suheng meninggalkan kuil, aku segera menghadap suhu dan mohon perkenan suhu untuk turun gunung pula. Dan suhu sudah memberi ijin. Aku turun gunung, keluar dari kuil dengan resmi, tidak minggat."

   "Begitu mudahnya? Akal apa yang kaupergunakan maka suhu dapat memberi ijin sedemikian mudahnya kepadamu, sute?"

   Shu Ta tertawa.

   "Aih, suheng. Terhadap suhu, mana aku berani main akal-akalan? Aku hanya menceritakan kepada suhu tentang kesengsaraan rakyat jelata di bawah penindasan pemerintah penjajah Mongol seperti yang banyak kita dengar dari rakyat di sekitar daerah ini, dan aku menceritakan keinginanku untuk membantu rakyat, berjuan untuk menentang pemerintah penjajah. Nah, suhu memberi restu dan mengijinkan aku keluar dari kuil."

   Siauw Cu mengangguk-angguk.

   Dia sudah tahu bahwa sutenya ini selalu bicara tentang perjuangan melawan pemerintah penjajah Mongol. Diam-diam dia sendiripun menyetujui sikap itu. Dia sendiripun membenci penjajah yang jelas menyengsarakan rakyat.

   "Sute, cita-citamu memang baik sekali. Akan tetapi, hanya dengan tenagamu, atau katakanlah tenaga kita berdua, bagaimana mungkin kita akan mampu menentang pemerintah yang memiliki pasukan ratusan ribu orang banyaknya. Untuk menentang pemerintah penjajah, kita harus menghimpun tenaga rakyat sebanyak mungkin dan untuk pekerjaan seperti itu, bukanlah hal yang mudah. Setidaknya kita harus memiliki biaya yang besar, sedangkan kita memiliki apa?"

   "Memang benar pendapatmu, suheng. Akan tetapi, kalau memang kita memiliki kemauan besar, memiliki semangat, kiranya pekerjaan itu tidaklah terlalu sukar, atau setidaknya bukan hal yang mustahil. Mari kita bekerja sama untuk maksud itu, suheng."

   Siauw Cu menggeleng kepala.

   "Sebaiknya, kalau kita berpencar dan mencari pengalaman lebih dahulu di dunia persilatan, sute. Kita melakukan penjajagan dan hubungan dengan orang-orang kang-ouw, melihat bagaimana sikap mereka dan melihat kemungkinan untuk menghimpun tenaga. Kelak, kalau tiba waktunya, kita dapat bergabung dan bekerja sama."

   Shu Ta mengangguk-angguk.

   "Pendapatmu baik dan tepat, suheng. Baiklah, mari kita berlumba untuk menghimpun tenaga. Akan tetapi, sekarang suheng hendak ke manakah?"

   "Aku hendak kembali dulu ke kampung halamanku, dusun Cang-cin untuk bersembah-yang di makam ayah ibuku."

   "Aih, dusunmu yang penuh kesengsaraan itu?"

   Shu Ta sudah pernah mendengar cerita Siauw Cu tentang dusunnya, dan tentang keadaan suhengnya itu.

   "Kalau begitu, akupun ingin ikut denganmu dan melihatnya, suheng."

   "Baik, sute. Mari kita pergi. Dusunku tidak terlalu jauh dari sini, hanya di balik bukit depan sana itu."

   Mereka lalu berjalan berdampingan menuruni bukit! Para penghuni dusun Cang-cin sedang bekerja di sawah ladang, di luar dusun. Matahari telah naik tinggi dan mereka semua memandang heran kepada dua orang pemuda yang berjalan menuju ke dusun itu. Dusun di Lembah Sungai Huai itu merupakan dusun kecil yang tidak pernah dikunjungi orang luar, maka kedatangan setiap orang asing tentu akan menarik perhatian mereka.

   Itulah sebabnya, ketika dua orang pemuda itu melangkah perlahan memasuki dusun, mereka semua memandang penuh perhatian dan keheranan. Pemuda pertama berusia dua puluhan tahun, bertubuh tinggi tegap, wajahnya sederhana namun sikapnya tegak anggun berwibawa. Langkahnya tegap, wajahnya tidak dapat dibilang tampan, namun jantan dengan dagu yang membayangkan kekerasan hati, sepasang mata yang mencorong tajam penuh semangat dan wibawa.

   Langkahnya bagaikan langkah harimau. Dia menggendong sebuah buntalan kain kuning yang tidak seberapa lebar, buntalan yang terisi beberapa stel pakaiannya. Pakaian yang menutupi tubuhnya amat sederhana, seperti pakaian pendeta, hanya potongannya lebih ringkas. Pemuda kedua sebaya, akan tetapi wajahnya tampan dan tubuhnya kekar. Pada wajahnya mulai nampak rambut halus dan dapat dilihat bahwa kelak akan menjadi seorang laki-laki tampan gagah berewok. Pandang matanya tidak terlalu tajam seperti pemuda pertama, akan tetapi mata itu bergerak-gerak dengan lincah dan nampaknya dia cerdik sekali.

   Di punggungnya juga terdapat buntalan pakaian, akan tetapi di pinggangnya tergantung sebatang pedang dengan sarung pedang sederhana. Mereka adalah Siauw Cu dan Shu Ta. Siauw Cu juga memandang ke arah para petani yang bekerja di sawah ladang dan wajahnya cerah, sikapnya ramah terhadap mereka karena dia maklum bahwa mereka adalah warga dusunnya. Akan tetapi, karena delapan tahun telah lewat, tidak ada seorangpun di antara mereka yang dikenalnya atau mengenalnya. Ketika dia meninggalkan dusun itu, usianya baru dua belas tahun, masih kanak-kanak, sekarang dia kembali dalam usia dua puluh tahun lebih, sudah menjadi seorang pemuda dewasa. Yang membuat hati Siauw Cu gembira adalah melihat betapa sawah ladang itu penuh dengan padi dan gandum yang subur.

   Agaknya kini keadaan dusun itu sudah makmur, pikirnya. Mereka memiliki sawah ladang yang demikian subur, berarti mereka tidak akan menderita kelaparan seperti ketika dia masih tinggal di dusun itu. Melihat para penghuni dusun bekerja di sawah ladang yang subur, mendatangkan perasaan gembira di hati Siauw Cu dan diapun mengajak sutenya untuk pergi ke tanah kuburan yang berada di pinggir dusun sebelah barat. Tanah kuburan itu penuh dengan kuburan, lama dan baru.

   Ketika mereka tiba di tanah kuburan, keduanya berhenti dan melihat dua orang laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar membentak-bentak seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun yang tubuhnya kurus dan agak bungkuk.

   "Siang begini engkau sudah meninggalkan sawah, tua bangka tak tahu diri!"

   Bentak seorang di antara dua laki-laki tinggi besar itu.

   "Kakek Coa, kalau engkau tidak cepat kembali ke sawah dan melanjutkan pekerjaanmu, terpaksa kami akan menghajar dan menyeretmu biarpun engkau sudah tua dan berpenyakitan!"

   Kata orang ke dua.

   "Apakah engkau ingin menyusul isterimu yang baru tiga hari mati?"

   Bentak orang pertama. Kakek itu tidak memperdulikan ancaman mereka, bahkan dia lalu menjatuhkan diri berlutut, bertiarap di atas gundukan tanah kuburan yang baru itu dan menangis.

   "Aku tidak sudi kembali ke sawah. Aku masih berkabung, aku ingin menemani isteriku... bunuhlah aku kalian kehendaki!"

   Dua orang tinggi besar itu saling pandang. Yang pertama yang kumisnya panjang masih mencoba untuk membujuk kakek itu.

   "Kakek Coa, ingatlah, engkau tidak akan dapat mengubur mayat isterimu tiga hari yang lalu, tidak akan mendapatkan peti mati dan tanah kuburan ini kalau tidak atas pertolongan dan kedermawanan Ji wan-gwe (hartawan Ji). Juga setiap hari, nasi siapa yang kaumakan? Untuk semua itu, Ji wan-gwe hanya minta engkau bekerja di sawahnya, bukankah itu sudah adil?"

   Tiba-tiba kakek itu bangkit dan biarpun tubuhnya kurus bungkuk, kini dia kelihatan penuh semangat dan keberanian.

   "Pertolongan? Kedermawanan? Huh, kini aku tidak perduli lagi, aku sudah tidak punya apa-apa lagi di dunia ini, semua telah dirampas oleh Ji wan-gwe dengan alasan membayar hutang berikut bunganya yang berlipat ganda. Semua milikku sudah diambilnya, dan sekarang masih juga hendak memeras tenagaku yang sudah tua? Dia bukan penolong, bukan dermawan, melainkan lintah darat, penjahat kejam yang bersembunyi di balik kekayaannya!"

   "Kakek Coa tua bangka yang bosan hidup! Berani kau memaki-maki Ji wan-gwe? Kalau tidak ada beliau, kau sudah mati kelaparan!"

   Teriak dua orang itu marah.

   "Siapa bilang? Justeru karena ada dia, kami semua warga dusun terancam kelaparan. Sawah ladang kami telah dirampasnya, tenaga kami diperas! Jahanam, setan busuk!"

   Dua orang itu marah-marah dan sekali pukul, tubuh kakek itu terpelanting keras, namun kakek itu masih memaki-maki dengan marahnya. Dua orang tukang pukul itu hendak menghujankan pukulan lagi, akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan sekali orang itu menggerakkan tangan mendorong, dua orang tukang pukul terpental dan terjengkang seperti dilanda badai. Mereka terkejut dan ketika memandang mereka melihat seorang pemuda tinggi tegap telah berdiri di depan mereka dengan mata mencorong. Pemuda lain yang juga tegap sedang membantu kakek Coa bangun.

   "Bocah setan, siapa kau berani mencampuri urusan kami? Apakah engkau minta dihajar pula?"

   Bentak tukang pukul yang kumisnya panjang. Biarpun marah menyaksikan kekejaman dua orang tukang pukul itu dan mendengar pertengkaran tadi, Cu Goan Ciang masih bersikap tenang. Dia hanya menghadapi kaki tangan hartawan Ji, dua orang yang hanya melaksanakan tugas karena memang itu pekerjaannya, walaupun pekerjaan itu jahat.

   "Siap aku tidaklah penting. Kalian ini kaki tangan hartawan penghisap darah rakyat yang patut dihajar! Pergilah dan jangan lagi mengganggu paman ini!"

   Dua orang tukang pukul itu tentu saja tidak takut. Mereka mencabut golok dari pinggang. Sudah terlalu sering golok itu mereka cabut untuk menakuti-nakuti orang, untuk mengancam dan kalau perlu melukai atau membunuh. Karena golok itu merupakan modal mereka bekerja dan dipercaya Ji wan-gwe, maka mereka selalu mengasah senjata itu sehingga nampak berkilauan tajam.

   "Orang muda, engkau dan kawanmu itu agaknya bukan penduduk dusun ini. Jangan mencampuri urusan kami dan cepat pergi keluar dari dusun sebelum terlambat. Kami masih mau memaafkan kalian karena sebagai orang luar, kalian tidak tahu akan keadaan di dusun kami,"

   Kata si kumis panjang.

   Pada saat itu terdengar bentakan halus namun nyaring, suara orang wanita.

   "Apa lagi yang terjadi di sini? Tanah kuburan adalah tempat yang suci, kenapa kalian begini tidak tahu sopan dan aturan, ribut-ribut di tempat suci?"

   Cu Goan Ciang dan Shu Ta menoleh, demikian pula kakek itu dan dua orang tukang pukul. Ternyata yang menegur itu adalah seorang gadis yang berusia sekitar tujuh belas tahun.

   Shu Ta terbelalak dan seperti terpesona melihat gadis yang wajah dan bentuk tubuhnya aduhai itu! Wajah itu cantik manis dan bentuk tubuhnya menggairahkan, dengan, lekuk lengkung yang sedang berkembang. Pakaiannya tidak terlalu mewah, namun jelas tidak sama dengan pakaian para gadis petani. Pakaiannya juga putih mulus dan halus, tidak ada bekas pekerjaan berat. Ketika dua orang tukang pukul yang galak itu melihat siapa yang menegur mereka, sungguh aneh sekali, mereka kelihatan ketakutan dan sikap yang galak itu terbang entah ke mana, berubah menjadi sikap menunduk dan menjilat. Mereka segera membungkuk-bungkuk memberi hormat kepada gadis muda itu.

   "Nona, maafkan kami. Bukan maksud kami membuat ribut di tanah kuburan, akan tetapi kakek Coa ini yang keterlaluan. Begitu banyak dia berhutang budi kepada wan-gwe, akan tetapi dia meninggalkan pekerjaannya dan berada di sini. Agaknya dia sudah lupa bahwa tiga hari yang lalu, kalau tidak ada wan-gwe, dia tidak akan mampu mengubur mayat isterinya dengan baik,"

   Kata si kumis panjang. Gadis itu mengerutkan alisnya, pandang matanya berkilat marah.

   "Huh, kiranya kalian adalah tukang-tukang pukul menjemukan itu! Siapa bisa percaya omongan kalian? Kakek Coa, ceritakan apa yang telah terjadi? Aku lebih percaya keteranganmu dari pada kata-kata mereka ini."

   Ketika menghadapi kakek Coa, suara nona muda itu terdengar lembut.

   "Siocia, saya tidak menyangkal bahwa saya telah banyak memperoleh pinjaman uang dari Ji wan-gwe. Akan tetapi semua pinjaman itu telah saya bayar dengan berlipat ganda sehingga semua sawah ladang saya kini menjadi miliknya. Namun semua itu masih belum cukup dan saya diharuskan bekerja di sawah ladang yang tadinya milik saya turun temurun. Karena saya masih berkabung dan saya ingin menunggui kuburan isteri saya, maka saya hari ini belum dapat bekerja di ladang. Akan tetapi dua orang ini datang dan hendak memaksa saya, bahkan akan memukuli saya. Kemudian datang kedua pemuda ini yang menolong saya."

   Sepasang mata yang indah itu kini menyapu wajah Cu Goan Ciang dan Shu Ta. Melihat Cu Goan Ciang yang berada di depan menghadapi dua orang tukang pukul, gadis itu bertanya.

   "Sobat, apakah kalian hendak membela kakek Coa ini?"

   "Kami selalu siap membela siapa saja yang ditindas kekuasaan jahat,"

   Jawab Cu Goan Ciang dengan sikap tenang. Gadis itu tersenyum dan matanya bersinar-sinar.

   "Hemm, agaknya kalian berdua bukan orang sini. Beranikah kalian melawan dua orang jagoan ini? Mereka itu kuat dan lihai!"

   "Kenapa tidak berani?"

   Shu Ta yang kini menjawab sambil tersenyum mengejek ketika dia melirik ke arah dua orang jagoan itu.

   "Jangankan hanya mereka berdua saja, biar ditambah sepuluh orang lagi kami berani melawan mereka! Akan kutonjok hidungnya sampai berdarah dan kucabut kumis panjang itu!"

   Shu Ta memang berwatak lincah dan nakal, maka dia sengaja mengejek si hidung besar yang akan ditonjok hidungnya dan si kumis panjang akan dicabut kumisnya.

   "Bagus!"

   Gadis yang lincah itu berseru gembira.

   "Kalau begitu, kenapa kalian tidak bertanding saja? Dua lawan dua, sudah adil. Heii, kalian lepaskan golok kalian dan lawan dua orang pemuda ini dengan tangan kosong saja. Baru sekarang aku melihat ada orang berani melawan kalian, hendak kulihat sampai di mana keberanian dan kehebatan mereka ini!"

   Sungguh aneh. Dua orang jagoan itu agaknya seperti mati kutu berhadapan dengan gadis itu dan mereka mentaati perintahnya. Mereka melemparkan golok mereka ke atas tanah, kemudiang keduanya menghampiri Shu Ta dan Cu Goan Ciang. Si kumis panjang menghadapi Shu Ta sedangkan si hidung besar menghadapi Cu Goan Ciang. Gadis itu sendiri lalu mendekati kakek Coa, seperti melindungi. Kakek Coa nampak khawatir. Dia tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri, melainkan khawatir terhadap dua orang pemuda yang mencoba untuk membelanya itu. Dia tidak ingin melihat mereka dihajar oleh dua orang tukang pukul yang dia tahu amat kejam.

   Karena gelisah, wajahnya pucat dan kakinya gemetar, lalu duduk di dekat kuburan isterinya. Shu Ta maju menghadapi si kumis panjang yang matanya sipit dan agak juling itu. Dia menggapai dengan tangan kirinya dan berkata.

   "Majulah, dan berikan kumismu kepadaku untuk kucabuti!"

   Ejekan ini membuat si kumis panjang marah sekali.

   "Bocah sombong, kuhancurkan kepalamu!"

   Bentak si kumis panjang dan dia sudah menerjang maju sambil mengirim pukulan bertubi-tubi. Akan tetapi gerakan orang kasar itu tentu saja tidak ada artinya bagi pendekar muda murid Siauw-lim-pai itu. Dengan mudah Shu Ta mengelak ke kanan kiri, kemudian ketika mendapat kesempatan baik, kakinya bergerak dan ujung sepatunya mengenai perut si kumis panjang.

   "Ngekkk!"

   Biarpun tendangan itu tidak dilakukan dengan terlalu kuat, cukup membuat si kumis membungkuk memegangi perutnya dan saat dia membungkuk itulad dipergunakan oleh Shu Ta untuk menyambarkan tangan ke depan dan... sekali renggut, kumis panjang itupun jebol dan di atas bibir itu menjadi merah karena berdarah!

   "Aduh... aduh...!!"

   Si kumis panjang menggereng, akan tetapi Shu Ta sudah melompat ke dekat suhengnya yang masih terus menangkis dan mengelak dari serangan bertubi yang dilakukan si gendut besar.

   "Suheng, serahkan si hidung besar ini kepadaku!"

   Kata Shu Ta dan diapun menyambut serangan si hidung besar. Terpaksa Cu Goan Ciang mundur dan diapun kini menghadapi si kumis panjang yang masih marah-marah dan menerjang membabi buta. Cu Goan Ciang hanya ingin memberi pelajaran karena dua orang ini hanyalah kaki tangan hartawan Ji. Yang kikir, kejam dan penindas rakyat adalah hartawan itu, sedangkan kaki tangan ini hanyalah orang-orang yang berwatak rendah, demi mendapatkan upah mereka ini tidak segan-segan melaksanakan perintah majikan mereka untuk bersikap keras dan kejam terhadap penduduk dusun yang miskin. Maka, melihat si kumis panjang sudah kehilangan kumisnya dan atas bibirnya berdarah, diapun mengakhiri perkelahian itu dengan sebuah tendangan yang mengenai dada si kumis panjang.

   "Desss...!"

   Tubuh si kumis panjang terjengkang dan terbanting keras ke atas tanah. Pada saat yang hampir berbareng, Shu Ta sudah berhasil menonjok hidung besar lawannya seperti yang dikatakannya tadi.

   "Prottt!"

   Bukit hidung itu pecah dan berdarah, sedangkan tubuh si hidung besar terhuyung ke belakang. Terdengar orang bertepuk tangan. Kiranya gadis manis tadi yang bertepuk tangan memuji. Dua orang tukang pukul itu menjadi marah bukan main. Mereka telah dihina orang di depan nona mereka lagi, dan yang membuat mereka menjadi semakin mendongkol adalah karena justeru nona majikan mereka itu memuji dan bersorak berpihak kepada dua orang pemuda asing yang telah menghina mereka. Mereka segera mencabut golok yang tadi mereka lempar ke tanah dan memutar golok itu di atas kepala, siap menyerang dua orang pemuda yang nampak tenang-tenang saja.

   
Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Bocah setan, mampus kau sekarang!"

   Bentak bekas si kumis panjang itu karena sekarang dia tidak berkumis lagi sambil memutar goloknya, sedangkan si hidung besar hanya mengeluarkan suara tidak karuan karena suaranya menjadi bindeng seperti orang bicara dengan hidung dijepit. Akan tetapi sebelum dua orang pemuda itu menyambut, nampak bayangan berkelebat didahului sinar terang dan terdengar suara berkerontangan. Dua orang jagoan itu berteriak kaget dan terhuyung ke belakang dengan mata terbelalak karena golok di tangan mereka telah buntung. Kiranya gadis manis itu yang tadi menyambut mereka dengan pedang di tangan, sekali tangkis ia telah membikin buntung dua batang golok itu! "Sudah kukatakan kalian tidak boleh menggunakan senjata golok, dan kalian masih berani membangkang!"

   Bentak gadis itu galak. Dua orang jagoan tinggi besar itu menundukkan mukanya dan nampak ketakutan.

   "Maafkan kami, nona,"

   Kata yang kehilangan kumis panjang, sedangkan si hidung besar yang remuk hanya menggumam saja.

   "Sudahlah, pergi kalian dari sini. Menjemukan saja!"

   Nona itu berseru galak dan bagaikan dua ekor anjing yang ketakutan, dua orang itu segera membalikkan tubuh dan pergi dari situ sambil menunduk. Cu Goan Ciang dan Shu Ta kagum sekali, terutama Shu Ta yang berwatak gembira.

   "Wah, hebat sekali, nona. Sungguh tidak kusangka, di dusun yang sunyi ini terdapat seorang pendekar wanita ahli pedang seperti nona!"

   Katanya sambil memberi hormat. Siauw Cu diam saja, hanya memandang dan tersenyum melihat sikap sutenya yang dianggapnya agak mencari muka dengan pujiannya.

   Sementara itu, kakek Coa memberi hormat kepada gadis itu dan berkata dengan suara khawatir.

   "Siocia, terima kasih atas pertolonganmu, akan tetapi harap siocia sampaikan kepada Ji wan-gwe bahwa bukan sekali-kali saya bermaksud untuk membangkang dan tidak mau bekerja. Akan tetapi saya ingin berkabung di kuburan isteri saya sampai besok. Lusa pagi saya pasti akan bekerja seperti biasa di ladang ayahmu, siocia (nona)."

   "Sudahlah, jangan khawatir, paman,"

   Kata gadis itu dengan sikap acuh. Mendengar ucapan kakek itu, Siauw Cu mengerutkan alisnya dan sinar matanya mencorong ketika menyambar ke wajah gadis itu.

   "Jadi engkau ini puteri Hartawan Ji Sun?"

   Tanyanya. Mendengar pertanyaan yang diajukan dengan suara yang kaku ini, gadis itu mengerutkan alisnya dan balas memandang dengan kaku pula.

   "Benar, namaku Ji Kui Hwa, puteri Hartawan Ji Sun. Habis mengapa?"

   Siauw Cu tidak menjawab, melainkan menarik tangan Shu Ta dan tanpa memperdulikan lagi kepada gadis itu, dia berkata.

   "Sute, mari kita pergi!"

   Diapun mengajak sutenya pergi ke kuburan ayah dan ibunya yang berada di sudut kiri tanah kuburan itu.

   Gadis itu terbelalak, kemudian alisnya berkerut karena ia mendongkol bukan main melihat sikap dua orang pemuda itu, apa lagi sikap pemuda tinggi tegap yang memandang kepadanya dengan sinar mata merendahkan. Tadinya, ia tertarik melihat dua orang pemuda yang mampu menghajar dua orang tukang pukul ayahnya, dan ingin berkenalan. Akan tetapi melihat sikap pemuda tinggi tegap itu, tentu saja ia merasa malu kalau harus mengejar mereka. Iapun memban-ting kaki kirinya untuk melampiaskan kejengkelan hatinya, lalu meninggalkan tempat itu dengan bersungut-sungut. Setelah tiba di depan kuburan ayah ibunya, Siauw Cu menjatuhkan diri berlutut dan sampai beberapa lamanya dia termenung dan terpekur.

   Hatinya diliputi keharuan melihat kuburan ayah ibunya tidak terawat, penuh dengan rumput alang-alang menjadi seperti semak belukar. Setelah menghormati kuburan orang tuanya sambil berlutut, dia lalu membersihkan kuburan itu, mencabut rumput dan tumbuh-tumbuhan. Tanpa diminta, Shu Ta yang tadi ikut pula berlutut memberi hormat, kini ikut pula membantu suhengnya membersihkan makam itu.

   Kakek Coa yang tadi, datang terbungkuk-bungkuk menghampiri mereka. Dia memandang kepada dua orang pemuda itu, lalu kepada kuburan yang kini sudah dibersihkan.

   "Siapa... siapakah kalian? Ada hubungan apakah dengan keluarga Cu yang dimakamkan di sini?"

   Cu Goan Ciang melangkah maju menghampiri kakek itu. Tentu saja sejak tadi, setelah mendengar disebutnya nama keluarga kakek itu, dia teringat. Kakek ini dahulu merupakan tetangga dan sahabat baik mendiang ayahnya.

   "Paman Coa, apakah paman lupa kepadaku? Ini adalah kuburan ayah dan ibuku."

   Sepasang mata yang sayu itu terbelalak dan kakek itu mengamati Siauw Cu dari kepala sampai kaki.

   "Ayah ibumu...? Kalau begitu... kau... kau adalah... Siauw Cu yang dulu itu?"

   Shu Ta tertawa.

   "Paman yang baik, suheng bukan lagi Siauw Cu (Cu Kecil), melainkan seorang pemuda dewasa, namanya Cu Goan Ciang."

   "Ah...ahhh... kami semua mengenalmu sebagai Siauw Cu. Bukankah engkau dahulu bekerja kepada Lurah Koa, kemudian... kemudian engkau menjadi buruan yang dikejar-kejar? Siauw Cu, kenapa engkau berani datang ke sini? Kalau sampai Lurah Koa mengetahui berbahaya sekali bagimu. Sebaiknya engkau cepat pergi dari dusun ini!"

   "Paman Coa, tenanglah dan mari kita duduk dan bicara. Aku bahkan ingin sekali mendengar segala tentang dusun kita ini darimu. Paman, kita berdua tadi ketika memasuki dusun, melihat para warga dusun, bekerja di sawah ladang yang subur. Agaknya keadaan di dusun ini sudah berbeda dari dahulu, paman. Tentu warga dusun kini tidak begitu menderita lagi, dengan memiliki sawah ladang yang subur itu..."

   "Siapa memiliki sawah ladang subur? Tidak ada seorangpun di antara kami warga dusun yang memiliki sebidang tanah lagi. Semua telah menjadi milik Hartawan Ji!"

   Kata kakek Coa dengan sikap marah.

   "Ehhh? Bukankah di dusun ini terdapat kepala dusun? Apakah warga dusun tidak lapor kepada lurahnya?"

   Shu Ta membantah penasaran.

   "Lurah? Hemm, Koa cung-cu (Lurah Koa) yang kau maksudkan, orang muda? Tidak ada bedanya! Kalau hartawan Ji itu serigala, Lurah Koa adalah harimaunya. Kami semua warga dusun diperas, diharuskan membayar pajak dan segala sumbangan lain oleh Lurah Koa. Kemudian, kalau kami membutuhkan biaya, hartawan Ji yang mengulurkan tangan memberi pinjaman yang bunganya mencekik leher. Akhirnya, setelah beberapa tahun lamanya, seluruh milik kami jatuh ke dalam tangan hartawan Ji atau Lurah Koa."

   Cu Goan Ciang mengepal tinju.

   "Hemm, kalau begitu, sejak delapan tahun yang lalu, keadaan di dusun ini masih sama saja dan tidak ada perubahan, paman?"

   Tanyanya.

   "Perubahannya ada, yaitu keadaan kami menjadi semakin buruk. Dusun ini menjadi milik mereka berdua, dan kami semua hanya menjadi semacam budak belian mereka belaka, kami menjadi tenaga kerja yang paling murah. Kemiskinan saja bagi kami sudah terbiasa, yang lebih menyiksa adalah ulah para jagoan mereka yang suka mengganggu anak bini orang."

   Shu Ta menjadi marah.

   "Suheng, keadaan macam ini tidak boleh kita diamkan saja! Kita harus turun tangan!"

   Cu Goan Ciang juga marah, namun dia dapat menguasai dirinya dan bersikap tenang.

   "Bersabarlah dulu, sute. Kita harus mencari jalan terbaik untuk meluruskan yang bengkok, menertibkan keadaan dan menolong mereka yang tertindas. Kalau hanya menuruti nafsu amarah tidak akan mengobati penyakitnya. Paman Coa, kalau kaukatakan bahwa hartawan Ji itu kikir dan kejam, hal itupun sejak dulu aku sudah mengetahui. Akan tetapi kulihat puterinya tadi tidaklah nampak jahat."

   "Ah, memang Ji-siocia itu amat baik. Semua orang mengetahu itu dan mereka semua menghormatinya. Bahkan Ji-siocia banyak membantu kami, walaupun hal itu dilakukan diluar tahu ayahnya yang kikir dan kejam.

   Kalau tidak ada Ji-siocia, tentu keadaan kami akan lebih parah lagi karena selain para jagoan yang suka mengganggu anak isteri orang, juga putera tertua dari Lurah Koa seorang mata keranjang yang suka mengganggu wanita mana saja. Akan tetapi, Ji-siocia selalu menentangnya sehingga mereka semua itu tidaklah terlalu berani."

   "Putera Lurah Koa yang tertua, maksudmu Koa Hok, paman?"

   "Benar, adiknya juga kejam, akan tetapi tidak suka mengganggu wanita."

   Setelah mendapatkan keterangan yang jelas tentang dua keluarga yang berkuasa di dusun itu, Goan Ciang mengajak Shu Ta untuk meninggalkan tanah kuburan. Matahari telah naik tinggi.

   "Apa yang akan kaulakukan sekarang, suheng? Apakah akan kaubiarkan saja hartawan Ji dan Lurah Koa merajalela di dusun ini dan menekan warga dusun?"

   "Tentu saja tidak, sute. Aku pasti akan bertindak, akan tetapi sungguh tidak baik kalau kita hanya menyerang dan menghajar mereka. Hal itu tidak akan menolong warga dusun, bahkan sebaliknya, kelak mereka akan semakin digencet lagi sebagai balas dendam dua keluarga itu terhadap kita. Kita harus mencari jalan yang paling baik, akan tetapi aku belum menemukan jalan itu."

   "Ah, serahkan saja kepadaku, suheng. Aku mempunyai akal yang baik!"

   Kata Shu Ta dan Cu Goan Ciang gembira sekali. Dia percaya akan kecerdikan sutenya ini, dan tentu sekali ini sutenya telah mempunyai akal yang amat baik. Mereka berhenti dan berunding, mengatur siasat seperti yang direncanakan Shu Ta yang cerdik, kemudian melanjutkan perjalan menuju ke rumah Lurah Koa. Lurah dusun Cang-cin bernama Koa Tong Lun. Karena kedudukannya, dia merupakan orang yang paling berkuasa di dusun kecil itu, dan dia merasa seolah dirinya seorang raja dan dusun itu adalah negaranya, warga dusun adalah rakyat yang harus tunduk kepadanya. Segala peraturan yang dibuatnya sendiri merupakan hukum yang harus ditaati.

   Karena siapa berani melanggar peraturan yang telah dia tetapkan, tentu akan berhadapan dengan pasukan kecil terdiri dari dua losin orang yang merupakan pasukan keamanan baginya. Tentu saja sikapnya terhadap warga dusun yang miskin itu amat kejam berbeda dengan sikapnya terhadap hartawan Ji. Hartawan itu mempunyai tukang-tukang pukul, pula dengan hartanya, hartawan itu dapat berbahaya bagi Lurah Koa, karena hartawan Ji mempunyai hubungan dengan para pejabat yang lebih tinggi kedudukannya di kota. Oleh karena itu, kedua orang penting di dusun ini, yang seorang penting karena kedudukannya, yang ke dua penting karena kekayaannya, dengan sendirinya bergaul akrab, bahkan seolah menjadi sekutu menghadapi rakyat yang mereka peras habis-habisan demi kepentingan dan kesenangan diri mereka sendiri dan keluarga mereka.

   Koa cung-cu (Lurah Koa) mempunyai tiga orang isteri, akan tetapi dari tiga orang isteri itu, hanya isteri pertama yang mempunyai dua orang anak laki-laki yang bernama Koa Hok kini berusia dua puluh dua tahun, dan Koa Sek yang berusia dua puluh tahun. Kedua orang anak inilah yang delapan tahun lalu pernah berkelahi dengan Cu Goan Ciang, menyebabkan Goan Ciang terpaksa melarikan diri dalam keadaan luka-luka dan akhirnya ditampung di kuil Siauw-lim-si dan menjadi murid Lauw In Hwesio. Mereka berdua kini telah menjadi dua orang pemuda dewasa yang tampan dan gagah.

   Koa Hok bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat, wataknya tinggi hati dan mata keranjang. Adapun adiknya, Koa Sek bertubuh tegap langsing, pendiam, akan tetapi dia memandang remeh kaum wanita dan perangainya kejam dan licik. Kakak beradik ini sejak kecil mempelajari ilmu silat dari guru-guru yang didatangkan ayah mereka dari kota dan membayar tinggi sehingga kini mereka menjadi dua orang pemuda yang pandai silat dan tidak ada seorangpun dari para pengawal ayah mereka yang mampu menandingi dan mengalahkan mereka dalam ilmu silat.

   Tentu saja mereka berdua menjadi kebanggaan Lurah Koa yang amat memanjakan mereka sehingga kakak beradik ini malang-melintang di dusun itu. Biarpun Lurah Koa sudah sering membujuk, namun kedua orang puteranya itu masih belum mau menikah, walaupun mereka, terutama sekali Koa Hok, bukan pemuda-pemuda alim yang tidak suka bergaul dengan wanita. Matahari sudah naik tinggi. Para petani sudah lebih dari empat jam bekerja di ladang, sejak matahari terbit. Namun, Koa Hok dan Koa Sek masih mendengkur di kamar masing-masing karena dua orang pemuda ini, seperti biasa, bergadang sampai jauh malam. Tidur malam-malam, bangun siang-siang, inilah kebiasaan mereka.

   Bekerja berat enggan, menghambur uang seenaknya, itulah kesenangan mereka. Tidak mampu mencari namun pandai membuang. Ketika memasuki dusun Cang-cin, Siauw Cu atau yang lebih tepat kita sebut Cu Goan Ciang karena dia bukan anak kecil lagi, dan sutenya, Shu Ta melihat betapa dusun itu nampak sunyi. Agaknya semua penduduk, besar kecil, pria dan wanita, semua bekerja di sawah ladang! Semua tenaga di dusun itu dikerahkan untuk menggarap sawah ladang milik hartawan Ji dan Lurah Koa, semua warga dusun bekerja keras demi menambah kekayaan mereka berdua.

   Tak lama kemudian, dua orang pemuda itu telah berdiri di depan sebuah rumah gedung besar yang tidak pantas berdiri di dusun yang amat miskin itu, di antara rumah-rumah penduduk yang amat sederhana dan buruk. Kandang kuda yang nampak di sebelah kiri agak ke belakang dekat gedung itu saja sudah mengalahkan semua rumah warga dusun dalam hal keindahannya. Goan Ciang berdiri dan tertegun. Ketika dia masih bekerja kepada Lurah Koa, gedung itu belum sedemikian indahnya. Sungguh besar sekali kemajuan yang diperoleh lurah itu selama delapan tahun ini. Dua orang penjaga yang tadinya berada di gardu penjagaan depan gedung itu keluar dan menghampiri dua orang pemuda yang berdiri di luar pintu gerbang.

   "Haii! Kalian ini dua orang pemuda tidak bekerja di sawah ladang, malah berkeliaran di sini!"

   Bentak seorang di antara mereka.

   Sikap mereka galak dan mengancam sehingga mudah diambil kesimpulan bahwa para petugas keamanan ini sudah biasa bersikap kasar dan menindas terhadap warga dusun. Sebelum Cu Goan Ciang atau Shu Ta menjawab, muncul seorang petugas lain dari dalam gardu. Dia ini seorang yang bertubuh tinggi besar, perutnya gendut dan mukanya penuh bekas cacar atau bopeng. Usianya sekitar empat puluh tahun dan sikapnya angkuh sekali. Dari pakaiannya dan pedang yang tergantung di pinggang, yang berbeda dari kedua orang pertama, mudah diduga bahwa dia tentulah petugas yang lebih tinggi kedudukannya. Memang orang ini adalah Bong Kit, kepala pasukan keamanan Lurah Koa yang jumlahnya dua losin orang itu. Sebagai orang yang paling berkuasa di antara dua losing penjaga keamanan, tentu saja Bong Kit sadar betul akan kepentingan dirinya, dan hal ini membuat dia berwatak sombong bukan main. Bahkan dalam hal kesombongan, dia tidak mau kalah bersaing melawan majikannya.

   "Ha, kalian tentu bukan penduduk sini. Siapa kalian dan mau apa berkeliaran di dusun ini?"

   Bong Kit membentak dengan sikapnya yang sombong. Sesuai dengan rencana yang sudah diatur bersama Shu Ta tadi, Goan Ciang menjawab dengan tenang.

   "Kami adalah kenalan keluarga Koa cung-cu, dan kami datang berkunjung untuk bicara dengan Lurah Koa."

   Mendengar bahwa dua orang pemuda itu sahabat Lurah Koa, tentu saja Bong Kit dan kawan-kawannya menjadi terkejut. Mereka tadi bersikap kurang hormat terhadap dua orang tamu sahabat majikan mereka! Maka, berubahlah sikap mereka dan wajah Bong Kit yang buruk dan menyeramkan itu, kini berubah cerah berseri dengan senyum menyeringai dia memberi hormat.

   "Aih, kiranya ji-wi kong-cu (dua orang tuan muda) adalah tamu dari majikan kami. Kalau begitu, silahkan masuk dan duduk di ruangan tamu, biar kami melaporkan kepada majikan kami tentang kunjungan ji-wi (anda berdua)."

   "Terima kasih,"

   Kata Goan Ciang yang saling lirik dengan sutenya, diam-diam merasa geli, juga girang bahwa siasat mereka berjalan dengan mulus.

   Setelah mereka dipersilahkan duduk di ruangan tamu yang luas dan indah di sebelah kiri beranda gedung itu, Bong Kit bertanya.

   "Siapakah nama ji-wi yang akan saya laporkan kepada majikan kami?"

   "Namaku Cu Goan Ciang dan dia ini bernama Shu Ta"

   Kata Goan Ciang tanpa ragu lagi. Seorangpun di dusun itu tidak yang tahu akan namanya, karena dahulu, semua orang mengenalnya sebagai Siauw Cu (Cu Kecil) seperti semua anak di dusun itu yang hanya dikenal nama kecil atau nama panggilannya saja. Bong Kit meninggalkan mereka untuk melapor ke dalam.

   Tak lama kemudian, muncul Koa cung-cu, diiringkan oleh Bong Kit yang agaknya bertugas pula sebagai pengawal pribadi di samping mengepalai pasukan pengawal yang selosin orang banyaknya. Melihat munculnya seorang laki-laki berusia hampir lima puluh tahun yang bertubuh tinggi kurus dan bersikap angkuh, dengan pakaian rapi dan mewah seperti pakaian seorang menteri saja, Goan Ciang segera mengenalnya sebagai Lurah Koa Tong Lun. Akan tetapi, lurah itu sendiri sama sekali tidak mengenalnya dan setelah menatap wajah kedua orang tamu mudanya dengan penuh perhatian, dia memberi isarat dengan tangan mempersilahkan kedua orang pemuda itu duduk, kemudian terdengar sang lurah berkata dengan nada suara seperti seorang raja menegur hamba sahayanya.

   "Pengawal melaporkan bahwa kalian datang untuk bicara denganku dan bahwa kalian adalah kenalanku. Pada hal, rasanya aku belum pernah melihat kalian. Apa maksud kalian berbohong dan ingin menghadap kami?"

   Goan Ciang memberi hormat sambil duduk.

   "Maafkan kami, paman..."

   Sepasang alis yang jarang itu berkerut.

   "Apa kau bilang? Paman? Aku bukan pamanmu!"

   Goan Ciang berpura-pura terkejut dan ketakutan.

   "Lalu... saya harus menyebut apa?"

   "Hemm, aku penguasa di sini, semua orang menyebut aku taijin (orang besar) dan sebagai tamu, engkaupun harus menyebut taijin kepadaku,"

   Kata sang lurah dengan sikap angkuh. Goan Ciang mengangguk-angguk.

   "Baiklah, maafkan kami, taijin karena kami belum tahu akan peraturan itu. Biarpun kita belum pernah saling berkenalan, akan tetapi kami berdua sudah mendengar nama besar Koa-taijin dan kami mendengar bahwa dalam masa yang tidak aman ini, taijin membutuhkan bantuan orang-orang yang boleh diandalkan. Nah, kami berdua adalah kakak beradik seperguruan yang baru saja tamat belajar silat dan kalau taijin dapat menerima kami sebagai pengawal, maka kami tanggung bahwa keselamatan dan keamanan taijin akan terjamin."

   Mendengar ucapan itu, Lurah Koa otomatis menengok dan memandang kepada Bong Kit. Keduanya bertemu pandang dan wajah Bong Kit menjadi semakin buruk, kehitaman karena dia marah sekali mendengar dua orang pemuda itu melamar untuk menjadi pengawal. Lurah Koa lalu tertawa bergelak dan kembali memandang kepada dua orang pemuda itu.

   "Ha-ha-ha, kalian ini dua orang bocah sungguh tekebur. Keamananku sudah terjamin dan tidak akan ada orang yang berani mengacau di dusun kami ini! Kami tidak membutuhkan pengawal baru, karena kami sudah mempunyai dua losing orang pengawal yang amat kuat dipimpin oleh Bong Kit ini, selain itu, juga dua orang putera kami adalah pendekar-pendekar yang tak terkalahkan."

   Cu Goan Ciang kembali saling pandang dengan Shu Ta dan mereka tersenyum geli mendengar kesombongan itu keluar dari mulut sang lurah. Memang sudah mereka perhitungkan kemungkinan sambutan seperti itu, maka sesuai dengan rencana mereka, kini Shu Ta yang menjawab.

   "Akan tetapi, Koa-taijin, bagaimana mungkin taijin mempercayakan keselamatan taijin sekeluarga kepada dua losing orang pengawal yang dipimpin oleh seorang macan ompong seperti itu? Ya, macan ompong. Memang kelihatannya saja dua losin orang pengawal taijin itu ganas dan kuat, namun mereka itu hanyalah sekelompok macan ompong yang tidak bertaring tidak berkuku lagi."

   "Bocah sombong! Berani engkau menghina pengawalku yang dua losin itu?"

   Lurah Koa berseru marah sedangkan Bong Kit mengepal tinjunya yang besar sambil melotot kepada Shu Ta.

   "Koa-taijin,"

   Kata Cu Goan Ciang.

   "Sute sama sekali tidak menyombongkan diri, tidak membual atau menghina para pengawal taijin. Kalau muncul gangguan orang jahat di dusun ini, pasti pengawal-pengawal taijin tidak akan berdaya dan keselamatan taijin sekeluarga akan terancam. Untuk meyakinkan hati taijin, bagaimana kalau kami berdua mengadakan percobaan untuk menguji penjagaan keamanan terhadap keluarga taijin?"

   Lurah Koa berkerut dan matanya memandang tajam penuh selidik.

   "Percobaan apa yang kau maksudkan? Jagalah kata-kata kalian, atau aku akan menyuruh pengawal unutk menangkap kalian dan menghajar kalian!"

   "Sekali lagi, kami tidak bermaksud menghina, melainkan bicara sebenarnya, taijin. Percobaan yang saya maksudkan adalah begini. Biarlah kami berdua berperan sebagai dua orang penjahat yang datang untuk menangkap dan menculik dua orang putera taijin. Dua losin orang pengawal itu boleh mencoba menghalangi, juga dua orang putera taijin boleh melawan. Kami akan mengalahkan mereka dan menangkap dua orang putera taijin dan membawa mereka menghadap taijin. Bagaimana?"

   Kata Cu Goan Ciang. Lurah Koa terbelalak, lalu tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, apakah kalian ini dua orang bocah yang sudah gila? Kalian berdua akan menangkap dua orang putera kami dan mengalahkan semua pengawalku dan dua orang puteraku. Kalian gila!"

   "Kami gila atau tidak, kita sama lihat saja dalam percobaan ini, taijin,"

   Kata Shu Ta.

   "Akan tetapi, kalian dapat dihajar sampai mampus oleh para pengawal kami sebelum dapat bertemu dua orang puteraku! Andai kata kalian dapat melampaui para pengawal, kalianpun akan dihajar oleh dua orang puteraku yang lihai."

   "Koa-taijin, kami datang untuk minta pekerjaan, bukan untuk membuat ribut. Kami hanya ingin membuktikan kemampuan kami dan membuktikan betapa lemahnya penjagaan para pengawal taijin. Oleh karena itu, kami tidak akan mencelakai siapapun, dan kami juga tidak akan melukai dua orang putera taijin."

   "Tapi ini berbahaya bagi kalian. Kalian dapat dihajar mampus oleh pasukan pengawal kami!"

   "Kalau terjadi demikian, kami tidak akan penasaran, taijin,"

   Kata pula Cu Goan Ciang.

   "Taijin, serahkan saja dua bocah gila ini kepadaku untuk kuhancurkan mulut mereka yang lancang sekarang juga!"

   Kata Bong Kit yang sejak tadi hanya menahan kemarahannya. Kalau saja dia tidak berada di depan majikannya, kalau dua orang bocah sombong itu bicara seperti itu di luar tadi, tentu sejak tadi dia sudah turun tangan menghajar mereka.

   

Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini