Rajawali Lembah Huai 7
Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Bagian 7
"Selamat pagi, pangcu."dia berkata setelah berdiri dalam jarak dua meter di belakang wanita itu. Liu Bi menoleh dan pura-pura hanya mengangkat sepasang alis yang hitam itu ke atas, matanya mengerling tajam dan bibirnya yang kemerahan itu tersenyum.
"Aihhh....selamat pagi, Cu-twako! Sudah berapa kali aku mengingatkan agar kau jangan menyebut pangcu kepadaku! Sebut saja Bi moi (adik Bi), tidak maukah engkau akrab dengan aku?"
Goan Ciang yang ingin menyenangkan hatinya dan ingin sekali mendengar tentang kekasihnya, membalas senyumnya.
"Tentu saja, Bi-moi."
"Nah, begitu lebih akrab, bukan? Toako, pagi-pagi benar engkau sudah bangun dan nampak segar, sudah mandi dan berganti pakaian. Apakah pelayan telah mengantar sarapan pagi untukmu?"
"Belum, dan biarlah nanti saja, Bi moi. Aku sengaja mencarimu di sini untuk menanyakan sesuatu." "Apa yang hendak kau tanyakan, twako yang baik?"
"Aku ingin bertanya tentang Siang-moi! Apakah yang terjadi dengannya maka ia dalam keadaan seperti itu, keracunan hebat? Apa yang terjadi semalam ketika ia minum-minum anggur denganmu, Bi-moi?"
Mendengar ini, Liu Bi tersenyum. Senyumnya memang manis sekali. Sepasang bibir lembut itu merekah dan nampak kilatan gigi yang berderet rapi dan putih dan karena mulut itu agak ternganga ketika senyum, nampak rongga mulut yang kemerahan dan ujung lidah yang merah muda.
"Engkau tahu bahwa ia keracunan hebat? Akan tetapi engkau tentu tidak tahu bahwa kalau ia tidak mendapatkan obat penawar yang ampuh, dalam waktu tiga hari ia pasti akan mati dan tidak ada obat apapun di dunia yang akan mampu menyembuhkannya."
Wajah Goan Ciang berubah agak pucat dan matanya terbelalak memandang wajah wanita itu dengan penuh selidik.
"Pangcu....eh, Si moi, apa yang telah terjadi dengannya. Mengapa ia dapat keracunan seperti itu?"
Senyum itu melebar dan kerlingnya menyambar tajam.
"Semua itu karena salahmu, twako."
"Salahku? Apa maksudmu, Bi-moi?"
"Semalam itu, engkau merayu dan menjatuhkan hati sumoi. Itulah kesalahanmu yang mengakibatkan kini sumoi terpaksa harus menderita seperti itu."
"Maksudmu?"
Goan Ciang sungguh tidak mengerti dan menjadi bingung.
"Karena engkau membuat aku membenci sumoiku yang tadinya sudah kuanggap sebagai murid atau adik sendiri. Ia minum anggur yang kucampuri racunku yang amat kuat!"
"Pangcu!!!"
Goan Ciang meloncat dan mukanya berubah merah, kedua tangannya gemetar karena timbul perasaan marah yang hebat yang membuat dia hampir tak dapat menahan diri untuk tidak menyerang wanita cantik itu. Akan tetapi, Liu Bwe tersenyum dan bangkit berdiri, agaknya sudah siap dan berkata lembut.
"Tenanglah, twako."
"Pangcu...."
"Ingat, Bi-moi, bukan pangcu." "Baiklah, Bi-moi!"
Kata Goan Ciang gemas.
"Apa artinya semua ini? Kalau engkau yang meracuni Siang-moi, engkau harus cepat memberinya obat penawar!"
"Kalau aku menolak?"
"Demi Tuhan! Aku akan memaksamu!"
"Memaksaku? Hik-hik, lucunya. Pertama, belum tentu engkau dapat mengalahkan aku, apa lagi kalau aku mengerahkan semua anak buahku. Kedua, andaikata engkau mampu mengalahkan aku sekalipun, menyiksa atau membunuh sekalipun, aku tidak akan mau membiarkan kau pergi dan dalam waktu tiga hari, tetap saja sumoi akan mati dalam keadaan tersiksa! Nah, kau tetap hendak memaksaku?"
Goan Ciang seorang cerdik dan dia tahu bahwa wanita itu bukan hanya menggertak saja.
"Lalu, apa kehendakmu, Bi-moi? Engkau meracuni sumoimu sendiri karena ia cinta kepadaku dan hal ini membuatmu membencinya. Kenapa? Engkau tidak mau mengobatinya, kenapa?"
"Cu Goan Ciang, engkau seorang laki-laki, masihkah perlu bertanya lagi sebabnya? Aku tidak ingin ia menjadi isterimu! Itulah sebabnya!"
"Tapi kenapa? Andaikata engkau tidak menyetujui perjodohan kami, dan engkau melarangnyapun, tidak perlu engkau meracuninya dan mengancam nyawanya! Tidak perlu engkau membunuhnya!"
"Cu-twako, apakah engkau menghendaki agar ia hidup kembali? Engkau ingin agar sumoi mendapatkan obat penawar dan nyawanya tidak terancam oleh racun itu?"
"Tentu saja! Bi Moi yang baik, tolonglah jangan sampai Siang-moi terancam bahaya maut. Kasihan ia! Bukankah engkau sayang kepadanya, Bi-moi? Tolonglah, berilah obat penawar agar ia sembuh."
"Tentu saja aku sayang kepadanya. Akan tetapi, peristiwa semalam membuat aku tega membunuhnya, twako."
"Akan tetapi kenapa? Apa salahnya kalau dia mencintaiku dan aku mencintainya? Apa salahnya dengan itu?"
"Salahnya adalah karena dia membuat aku iri hati, membuat aku cemburu setengah mati. Goan Ciang terbelalak saking kaget dan herannya.
"Cemburu? Ehh...apa....maksudmu, Bi-moi?"
"Maksudku, aku tidak ingin engkau menjadi suami sumoi, akan tetapi aku ingin engkau menjadi suamiku, Cu Goan Ciang!"
Goan Ciang tertegun, sejenak tidak mampu bicara, bahkan tidak mampu berpikir karena hal itu sama sekali tidak pernah disangkanya. Selama belasan hari tinggal di situ dia hanya akrab dengan Lee Siang. Biarpun ketua inipun bersikap ramah kepadanya, namun tak pernah dia melihat tanda-tanda behwa wanita ini tertarik kepadanya. Dan sekarang, tiba-tiba saja wanita ini menghendaki agar dia menjadi suaminya, dan tega meracuni sumoi yang disayangnya untuk merebut dia dari tangan sumoinya.
"Tapi...tapi...aku sungguh tidak mengerti, Bi-moi. Kenapa begini mendadak dan keinginan itu sungguh....rasanya tak masuk akal dan aneh!
"Apakah yang aneh, twako? Selama ini aku tidak menikah karena kuanggap tidak ada pria yang cocok untuk menjadi suamiku. Ketika aku bertemu denganmu, melihat sepak terjangmu, segera aku yakin bahwa engkaulah satu-satunya pria yang cocok untuk menjadi suamiku. Krena itu, tentu saja aku benci dan marah melihat sumoi hendak merebutmu. Malam tadi, kami berdua masih sama-sama bebas, kami saling mencinta dan..."
"Cukup! Sekarang tinggal terserah kepadamu. Kalau engkau suka menikah denganku, sumoi tidak akan mati. Aku akan memberi obat pemunah racun dan ia akan sembuh kembali. Sebaliknya, kalau engkau menolak, dalam tiga hari sumoi pasti tewas dan tidak ada obat di dunia ini yang akan mampu menyembuhkannya."
"Ahhh...! saking bingungnya, Goan Ciang tidak mampu bicara, hanya berdiri mematung dan memandang wanita itu dengan mata terbelalak mulut ternganga. Perlahan-lahan mukanya berubah merah sekali saking marahnya.
"Jang-kiang Sian li Liu Bi, engkau adalah seorang wanita berhati iblis! Akan kuhancurkan engkau dan perkumpulanmu!"
Dia membentak dan siap menyerang. Liu Bi tersenyum mengejek dan sekali ia mengeluarkan suara bersuit nyaring, dari segenap penjuru bermunculan anak buahnya yang jumlahnya tidak kurang dari lima puluh orang mengepung tempat itu.
"Engkau memilih sumoi mati tersika dan engkau sendiri mampus oleh pengeroyokan kami? Ingat, aku sendiri saja belum tentu engkau mampu mengalahkan!"
Katanya. Goan Ciang tidak takut mati, tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri. Akan tetapi mengingat keadaan kekasihnya, dia gelisah sekali.
"Kalau aku menuruti kehendakmu, engkau benar-benar akan menyembuhkan Siang-moi?"
Akhirnya dia bertanya.
"Maukah engkau bersumpah?"
"Kau laki-laki gila! Janji ketua Jang-kiang pang lebih kuat dari pada sumpah. Pula, aku sayang kepada sumoi dan hanya karena engkau maka aku tega meracuninya."
Diam-diam Goan Ciang mengasah otaknya. Yang terpenting adalah menyelamatkan Lee Siang lebih dahulu, pikirnya.
"Berilah waktu kepadaku sampai besok, dan biarkan aku menjaga Siang-moi dan bicara dengannya dahulu sebelum aku memberi keputusanku besok."
Dia minta waktu sehari semalam agar dia dapat berusaha mengobati gadis itu dengan kekuatan sin-kangnya, juga kalau gadis itu siuman, dia ingin bicara dengan Lee Siang tentang niat gila Liu Bi yang hendak menariknya sebagai suaminya.
Tentu saja Liu Bi dapat menduga apa yang sedang dipikirkan pemuda itu. Akan tetapi, dia pura-pura tidak tahu dan hanya tersenyum, lalu mengangguk.
"Baiklah, aku tidak tergesa-gesa. Akan tetapi ingat, kalau sampai besok malam engkau belum memberi jawaban berati sudah terlambat untuk menolong sumoi.. Bahkan obatku sekalipun tidak akan ada gunanya lagi. Besok siang harus sudah ada keputusan darimu."
"Baik,"
Kata Goan Ciang dan Liu Bi memberi isarat kepada semua anak buahnya sehingga mereka mundur.
Dengan langkah gontai Goan Ciang lalu menuju ke kamar Lee Siang, memasuki kamar itu dan menyuruh pelayan yang berjaga di situ keluar. Lalu dia duduk di tepi pembaringan setelah menutupkan daun pintu kamar itu. Dengan hati-hati Goan Ciang lalu memeriksa lagi keadaan kekasihnya. Dia pernah mempelajari ilmu pengobatan, walaupun tidak banyak, dari gurunya ketika dia berada di kuil Siauw-lim-pai. Setidaknya, oleh Lauw In Hwesio dia diajar bagaimana caranya mengobati luka oleh senjata tajam, bahkan sedikit tentang pengobatan menggunakan tenaga sin-kang seperti mengobati luka dalam dan menggunakan sin-kang mengusir hawa beracun dari dalam tubuh korban. Dengan hati-hati dia lalu duduk bersila di dekat tubuh kekasihnya, kemudian
(Lanjut ke Jilid 07)
Rajawali Lembah Huai (Cerita Lepas)
Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 07
menghimpun tenaga melalui pernapasan, dan menempelkan kedua telapak tangannya pada punggung Lee Siang setelah dia membalikkan tubuh kekasihnya itu sehingga rebah miring.
Dia lalu mengerahkan sin-kang, disalurkan melalui kedua telapak tangan, menggetar memasuki tubuh Lee Siang dari punggung. Tak lama kemudian, Lee Siang mengeluh, membuka mata, kemudian berkata.
"Hentikan...twako, hentikan....!"
Goan Ciang terkejut dan melepaskan kedua tangannya. Gadis itu telentang lagi dan napasnya terengah, akan tetapi ia telah siuman. Dahi dan lehernya penuh keringat. Goan Ciang menggunakan ujung lengan bajunya menghapus keringat itu.
"Bagaimana rasanya, Siang-moi?"
"Lemah....pusing....."
"Kenapa engkau menghentikan usahaku untuk mengusir racun dari tubuhmu?"
"Twako, kalau kaulakukan itu....aku....aku akan segera mati...."
Tentu saja Goan Ciang terbelalak dan mukanya berubah pucat.
"Apa? Kenapa begitu..?"
Lee Siang kini sudah sadar sepenuhnya dan ia menghela napas panjang.
"Racun yang telah masuk ke tubuhku ini amat kuat, bukan saja meracuni darahku, akan tetapi juga merampas tenaga saktiku. Kalau diobati dengan pengerahan sin-kang, maka tenagamu yang menyusup ke dalam tubuhku tidak dapat kubantu dengan tenagaku sendiri dan akibatnya bahkan akan mempercepat jalannya racun. Tanpa diobati, aku akan bertahan tiga hari. Hanya suci yang memiliki obat pemunahnya..."
"Betapa kejamnya Liu-Bi...!"
Kata Goan Ciang dengan gemas.
"Jangan berkata demikian, twako. Suci menyayangku..."
"Omong kosong ! Menyayangmu dan meracunimu, hendak membunuhmu?"
"Hai itu ia lakukan karena ia mencintamu, twako."
"Apa? Kau sudah tahu? Gila benar! Ia mengatakan bahwa ia baru akan memberimu obat penawar racun kalau aku mau menikah dengannya! Aku tidak sudi!"
"Ahhh...Cu-twako..., kuminta....kuharap, jangan engkau menolak permintaannya. Menikahlah engkau dengannya, twako...kata gadis itu dengan suara tersendat bercampur tangis. Goan Ciang tertegun, terkejut, heran dan penasaran sekali. Kekasihnya ini bahkan minta kepadanya agar dia mau menikah dengan Liu Bi! Kekecewaan menyusup ke dalam hatinya. Tak disangkanya bahwa kekasihnya yang amat dia cinta dan kagumi ini ternyata pada saat terakhir adalah seorang penakut. Takut mati. Akan tetapi dia menghibur dirinya. Siapa yang tidak akan takut kalau sudah dicengkeram racun seperti yang dialami Lee Siang dan tahu bahwa kalau dia menolak menikah dengan ketua Jang-kiang-pang, dalam waktu tiga hari nyawanya akan melayang?
"Tidak, Siang-moi. Dan jangan engkau takut. Aku akan mencarikan obat untukmu, kalau perlu aku akan menangkap Liu-Bi, menyiksa dan memaksanya agar ia suka mengobatimu sampai sembuh. Kalau perlu akan kuhancurkan seluruh Jang-kiang-pang ini!"
"Twako, engkau salah sangka! Aku tidak takut mati, twako, sama sekali bukan karena aku takut mati maka aku memohon engkau suka menikah dengan suci." "Lalu kenapa engkau minta aku melakukan hal yang gila itu?"
"Twako, aku kasihan dengan suci. Aku sayang padanya, aku berhutang budi padanya, aku berhutang budi padanya, aku ingin melihat ia berbahagia. Kalau engkau suka memenuhi permintaanya, menjadi suaminya dan ia berbahagia, akupun akan merasa berbahagia pula. Mengertikah engkau, twako? Bukan karena aku takut mati, melainkan aku ingin membahagiakan suci. Andaikata aku tahu bahwa suci mencintamu, sudah pasti aku mengeraskan hati menolak cintamu, mengubur perasaan cintaku padamu sebagai rahasia yang akan kubawa mati."
Kembali Goan Ciang terkejut bukan main. Kekasihnya ini adalah seorang gadis luar biasa, penuh kejutan.
"Jadi, engkau sama sekali tidak menyesal telah diracuni sucimu sendiri?"
Mulut itu tersenyum dan ia menggeleng kepala.
"Mengapa mesti menyesal? Suci melakukan ini untuk memaksamu menerima permintaannya. Aku mengenal suci. Ia harus mendapatkan apa saja yang dikehendakinya. Aku hanya menyesal, mengapa aku tidak tahu sebelumnya, bahwa suci mencintaimu."
"Tapi..., lalu bagaimana dengan kau?"
Dengan cintamu? Cinta kita?"
"Twako, aku rela mengorbankan apa saja demi kebahagiaan suci. Rela kehilangan engkau, kehilangan cintaku, bahkan aku rela mati demi untuk suci. Maka, sekali lagi aku mohon padamu, twako, terimalah suci sebagai isterimu. Kalau engkau menolak, aku akan mati penasaran, twako..."
Goan Ciang terkejut bukan main. Gadis ini rela patah hati, bahkan rela mati demi kebahagiaan iblis betina itu! Melihat pemuda itu duduk tertegun dan mematung dengan wajah pucat, akan tetapi matanya berkilat penuh penasaran dan kemarahan. Lee Siang menangis terisak-isak. Goan Ciang diam saja, akan tetapi tangis itu semakin mengguguk seperti menusuk-nusuk jantungnya.
"Sudahlah, Siang-moi, jangan menangis. Permintaanmu itu sungguh tidak masuk akal, bagaimana mungkin aku dapat menerimanya. Aku cinta padamu, dan aku sama sekali tidak mencintainya, bahkan muak dan benci rasa hatiku terhadapnya karena perbuatannya terhadap dirimu."
Mendengar ucapan itu, Lee Siang memaksa diri untuk menghentikan tangisnya. Setelah berhasil, ia lalu berkata, suaranya gemetar.
"Dengar, twako. Kalau engkau menikah dengan suci, engkau akan membahagiakannya, berarti engkau juga membuat aku berbahagia. Sedangkan kau sendiri aku yakin bahwa engkau akan dapat mencintai suci. Ia seorang wanita yang hebat segala-galanya melebihi siapa saja, melebihi aku. Ia amat lembut dan penuh kasih sayang kepada orang yang dicintanya. Ia hanya kejam dan keras kalau kehendaknya dihalangi. Kita bertiga akan merasa bahagia, twako. Akan tetapi kalau engkau menolak, aku akan.....benci sekali kepadamu! Aku bahkan minta kepada suci agar untuk sementara aku diberi penawar dan aku akan membantunya memusuhimu. Aku bersumpah untuk melakukan itu, twako!"
Goan Ciang tercengang, wajahnya berubah, pucat kini. Agaknya tidak ada jalan lain. Tentu saja dia tidak menghendaki Lee Siang mati keracunan, apa lagi kalau gadis itu sam pai membencinya, dan kalau mati sampai arwahnya menjadi setan penasaran! Kalau dia menerima permintaan Liu Bi, berarti dia berkorban demi kekasihnya ini. Sampai lama dia tak bergerak seperti patung sampai tangan gadis itu menyentuh lengannya, dan Lee Siang sudah bangkit duduk.
"Bagaimana, twako? Sudikah engkau memenuhi permohonanku?"
Goan Ciang menoleh. Mereka duduk dengan muka saling tatap, lalu Goan Ciang mengangguk lesu.
"Baiklah, akan tetapi ingat, aku melakukan ini hanya demi engkau, Siang-moi, hanya demi keselamatanmu."
"Dan aku melakukan ini hanya demi kebahagiaan suci, twako, kita berdua berkorban, engkau untuk aku dan aku untuk suci. Alangkah indahnya hidup ini kalau kita dapat berkorban demi orang lain...."
Gadis itu terisak, akan tetapi bukan karena duka, melainkan karena bahagia.
"Siang moi...!"
Goan Ciang tak dapat menahan keharuan hatinya dan diapun merangkul gadis itu dan mendekap kepalanya di dadanya.
"Siang-moi, apapun yang terjadi, aku akan tetap mencintaimu, selamanya.."
Dari dada pemuda itu, Lee Siang berbisik.
"Akupun demikian, twako. Biar aku tidak menjadi isterimu, aku akan tetap mencintaimu selama hidupku. Biar cinta kita tidak berakhir dengan pernikahan, namun kita masing-masing menyadari bahwa kita saling mencinta, sampai akhir hayat..."
Dengan lembut Lee Siang lalu melepaskan diri dari pelukan Goan Ciang merebahkan kembali tubuhnya yang lemah.
"Twako, keluarlah dan katakan kesanggupanmu kepada suci, agar ia cepat tahu dan berbahagia. Percayalah, kalau ia merupakan orang yang paling berbahagia, aku adalah orang paling berbahagia ke dua setelah dia."
Goan Ciang menunduk dan menghentikan ucapan gadis itu dengan mencium mulutnya, dan pada saat itu, dua titik air matanya jatuh menimpa pipi Lee Siang. Kemudian, dia cepat turun dan meninggalkan kamar itu, diikuti pandang mata Lee Siang dan gadis inipun tersenyum bahagia! Tebing bukit yang menjadi markas Jang-kiang pang itu ramai dan meriah sekali. Semua bangunan tempat tinggal para anggotanya dirias, terutama sekali bangunan besar megah yang menjadi tempat tinggal ketua mereka. Sang ketua yang cantik itu merayakan pernikahannya dengan Cu Goan Ciang! Suasananya amat meriah dan semua orang nampak bergembira ria.
Pesta pernikahan itu diadakan secara mewah, dibangun panggung besar yang khusus untuk pesta dan semua anggota Jang-kiang pang mengenakan pakaian baru. Tamu-tamu berdatangan pada sore hari itu, dan di antara para tamu yang sebagian besar adalah orang-orang kang-ouw, terdapat pula banyak orang-orang berpakaian sebagai pembesar dan bangsawan. Akan tetapi di antara para pembesar itu, yang nampak menyolok dan disambut dengan penuh kehormatan adalah seorang pria raksasa. Tidak mengherankan kalau dia dihormati karena orang ini adalah Panglima Khabuli! Usia panglima yang masih bujangan ini sudah empat puluh tahun dan dia memang memiliki kekuasaan dan pengaruh yang amat besar, karena dialah panglima pasukan di Wu-han.
Bahkan kepala desa Wu-han sendiri tunduk dan segan kepadanya bukan hanya karena Panglima Khabuli memegang kekuasaan atas pasukan keamanan di daerah Wu-han, akan tetapi terutama sekali karena panglima raksasa hitam ini adalah keponakan dari Menteri Bayan, tangan kanan Kaisar yang amat terkenal di kota raja. Dengan demikian, dapat dibilang bahwa Khabuli merupakan orang yang paling berkuasa di Wu-han! Orangnya memang mengesankan sekali. Tubuhnya yang tinggi besar itu nampak kokoh kuat seperti benteng. Kulitnya yang agak hitam itu mengkilap seperti berminyak, namun wajah itu tidak kelihatan buruk, bahkan menarik karena nampak jantan.
Segala yang ada pada dirinya menimbulkan kesan tebal dan bulat namun tidak gemuk, melainkan kokoh. Matanya lebar dan hidungnya besar. Mulut yang bibirnya tebal itu selalu dihias senyum, akan tetapi tarikan hidungnya membayangkan keangkuhannya dan rasa diri penting. Di antara para penyambut tamu, yaitu para murid kepala atau anggota tingkat atas dari Jang-kiang-pang, nampak pula kesibukan Lee Siang. Gadis ini sudah sehat kembali, berkat obat penawar dari sucinya, semua racun telah keluar dari tubuhnya.
Namun, akibat racun itu, dia masih kehilangan tenaga sinkangnya sehingga untuk sementara waktu, menurut keterangan Liu Bi untuk waktu kurang lebih tiga bulan, Lee Siang hanya merupakan seorang wanita yang tidak memiliki kelihaian luar biasa. Ia memang tidak kehilangan jurus-jurus silatnya, akan tetapi kalau di dasar ilmu silat itu tidak terkandung tenaga yang kuat, apa artinya? Tenaganya seperti tenaga wanita biasa yang sama sekali tidak tahu ilmu silat saja. Lee Siang nampak cantik manis dan wajahnya berseri gembira.
Bukan gembira palsu, melainkan ia benar-benar gembira dan merasa berbahagia melihat sucinya merayakan pesta pernikahannya dengan Cu Goan Ciang! Bahkan ia sendiri yang membantu sucinya berias, dengan penuh kebanggaan dan kegembiraan melihat betapa cantiknya sucinya dalam pakaian pengantin! Sungguh luar biasa sekali perasaan kasih sayang dan kesetiaan dalam hati Lee Siang terhadap sucinya. Sedikitpun tidak terkandung perasaan iri atau cemburu, walaupun sampai saat itu, ia tetap mencinta Goan Ciang sepenuh hati.
Ketika Lee Siang menyambut para tamu dengan sikap yang ramah dan suasana amat meriah karena musik telah dimainkan sejak tadi oleh para pemusik paling kenamaan dari Wu-han. Ruangan panggung yang luas itu mulai dipenuhi para tamu dan ketika Khabuli dan empat orang pengawalnya muncul, Lee Siang sendiri tergopoh menyambut, mewakili sucinya yang masih belum muncul karena sedang dirias di kamar pengantin. Ketika Lee Siang memberi hormat menyambutnya, Khabuli tersenyum lebar dan memandang kepada Lee Siang seolah seekor ikan besar yang hendak menelan ikan kecil.
"Selamat datang, Ciangkun (panglima), silakan duduk di kursi kehormatan."kata Lee Siang sambil mempersilakan tamunya untuk duduk di deretan kursi kehormatan, yaitu dekat tempat duduk mempelai, Khabuli memberi isarat kepada empat orang pengawalnya untuk duduk di tempat tamu biasa, sedangkan dia sendiri dengan langkah yang gagah, menggiringkan Lee Siang yang membawanya ke deretan kursi kehormatan, sedangkan para tamu yang sudah hadir, memandang dengan hormat, bahkan mereka yang dilewati panglima itu bangkit memberi hormat.
"Ah, Kim Siocia, engkau sungguh nampak cantik jelita sekali sore ini!"
Demikian kata panglima itu setelah dia dipersilakan duduk. Lee Siang yang mendengar pujian itu, memberi hormat dan tersipu.
"Terima kasih atas pujian Ciangkun."
"Sungguh, aku tidak hanya memuji kosong. Engkau tidak kalah cantik dibandingkan sucimu."
Lee Siang merasa tidak enak, Ia tahu bahwa antara sucinya dan panglima ini terjalin hubungan yang akrab sekali, bahkan pernah ia mengira bahwa sucinya akan menikah dengan panglima yang biarpun usianya sudah empat puluh tahun akan tetapi masih bujang ini.
"Tidak ada wanita yang secantik suci,"
Demikian katanya lirih.
Panglima itu mengangguk.
Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku tahu, apa lagi kalau sekarang ia mengenakan pakaian pengantin. Mana pengantinnya, kenapa belum keluar?"
"Nanti, sebentar lagi, Ciangkun. Belum selesai berias.
"
Hati Lee Siang semakin tidak enak.
Baru kemarin panglima ini datang bertamu dan melakukan pembicaraan berdua saja dengan sucinya. Ia dapat menduga bahwa tentu sucinya menjelaskan tentang cintanya kepada Cu Goan Ciang maka menikah dengan pemuda itu, dan mungkin sucinya minta maaf kepada sang panglima. Dan melihat sikap Panglima Khabuli, hatinya juga lega karena agaknya sang panglima sudah dapat menerima kenyataan itu dan tidak akan membuat ribut. Kebetulan para tamu berdatangan lagi sehingga Lee Siang mendapat kesempatan untuk minta maaf dan meninggalkan panglima itu yang kini bercakap-cakap dengan para tamu lain yang mendapatkan kehormatan, seperti para pejabat tinggi dan para undangan, yaitu tokoh-tokoh dunia kang-ouw.
Hanya karena nama besar Jang-kiang Sian Li sajalah maka tak seorangpun mencurigai pengantin pria. Andaikata ada yang mengenalinya dan menghubungkannya dengan perusuh yang membunuh Bhong-Ciangkun di Wu-han, tentu hal itu akan dilupakan atau dianggap tidak ada. Bagaimanapun juga, orang itu telah melangsungkan pernikahan dengan ketua Jang-kiang-pang, menjadi suami dari ketua yang disegani itu. Akan tetapi agaknya tidak ada yang mengenal pengantin pria, dan sama sekali tidak pernah dapat menduga bahwa pelarian itulah yang kini menjadi orang paling beruntung dapat mempersunting ketua yang cantik jelita, gagah perkasa dan kaya raya itu. Ketika sepasang pengantin keluar ke ruangan pesta, semua orang bangkit berdiri dan memberi selamat.
Semua orang juga kagum melihat pengantin puteri yang demikian cantiknya, seperti bidadari baru turun dari kayangan. Dan juga mereka semua memuji pengantin pria yang gagah dan tampan, yang cocok sekali untuk menjadi suami ketua Jang-kiang-pang. Musik dibunyikan semakin meriah dan pestapun dimulai. Masakan-masakan yang mewah, mahal dan lezat dihidangkan, juga anggur dan arah yang terbaik. Panglima Khabuli mendapat kehormatan pertama, yaitu duduk semeja dalam perjamuan itu dengan sepasang mempelai, ditemani pula oleh Lee Siang yang terpaksa ikut duduk karena diminta oleh pengantin puteri. Meja istimewa itu hanya dihadapi sepasang mempelai, Lee Siang, dan Panglima Khabuli. Mempelai wanita nampak cantik dan berbahagia, demikian pula dengan Panglima Khabuli yang selalu tersenyum dan tertawa-tawa, menggoda sepasang mempelai dan mengucapkan selamat berulang kali dengan secawan arak.
Ketika diperkenalkan, dia bersikap ramah kepada Cu Goan Ciang, dan Goan Ciang juga terpaksa harus bersikap manis dan hormat kepadanya. Bahkan wajah Lee Siang juga nampak bergembira dan murah senyum. Agaknya gadis ini tidak berbohong ketika mengatakan bahwa ia menjadi orang kedua yang paling berbahagia setelah sucinya. Hanya Goan Ciang seorang di antara mereka berempat yang terpaksa menggunakan kekuatan batinnya untuk menahan derita yang dirasakannya sebagai siksaan di saat itu. Andaikata Lee Siang tidak duduk semeja dengan mereka, agaknya tidak akan sedemikian hebat siksaan batin yang dideritanya saat itu. Gadis yang merupakan satu-satunya wanita yang pernah dan masih dicintanya, duduk semeja dengan dia yang bersanding sebagai pengantin pria dengan wanita lain yang tidak dicintainya! Beberapa kali dia mencuri pandang ke arah waja Lee Siang, untuk menangkap sedikit saja rahasia hati gadis itu.
Namun, tidak ada sedikitpun kepura-puraan dalam kegembiraan gadis itu. Demikian wajar, dan diapun percaya bahwa kekasihnya itu sungguh-sungguh telah rela, demi kasihnya kepada sucinya. Diam-diam Goan Ciang terpaksa memasang muka gembira itu, dan mengeluh dalam hatinya. Dia seoranglah yang sungguh menderita, Lee Siang juga berkorban, untuk menderita, Lee Siang juga berkorban, untuk kebahagiaan sucinya, akan tetapi kekasihnya itu benar-benar ikut berbahagia. Hanya dia seorang yang berkorban demi keselamatan Lee Siang, berkorban dengan hati yang hancur!
"Ha-ha-ha, kalian sungguh merupakan pasangan yang amat serasi, yang cocok, seperti pengantin dari kahyangan saja! Belum pernah selama hidupku aku melihat sepasang mempelai yang begini hebat. Yang wanita cantik jelita seperti dewi, yang pria tampan gagah seperti dewa. Aku harus memberi selamat lagi,"
Kata Khabuli sambil tertawa dan mukanya yang hitam itu semakin mengkilap, matanya yang lebar bercahaya.
"Selamat kepada kalian!"
Katanya sambil mengangkat cawan pula menyambut, dan terpaksa Lee Siang juga ikut minum pula anggur dari cawannya. Sebetulnya, ia sudah merasa pusing karena selain ia tidak begitu suka minum banyak anggur keras, juga keadaan dirinya yang masih lemah membuat ia tidak kuasa menolak pengaruh anggur.
"Ha-ha-ha, aku merasa gembira sekali. Malam ini adalah malam yang amat berbahagia karena ketua Jang-kiang-pang akhirnya menemukan jodohnya. Setelah kakak seperguruannya menikah, tinggal adik seperguruannya. Bagaimana, Kim Siocia, kapan tiba giliranmu? Ha-ha-ha!"
"Aih, Ciangkun...!"
Lee Siang tersipu dan menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan. Sucinya tertawa manis dan menyentuh lengan sumoinya.
"Sumoi adalah seorang gadis istimewa, harus mendapatkan suami yang istimewa pula. Bukankah engkau juga berpendapat demikian, koko?"
Goan Ciang terkejut. Lee Siang tak pernah memandang kepadanya, melirikpun tidak. Dan kini Liu Bi bertanya tentang jodoh Lee Siang. Akan tetapi dia menguatkan hatinya dan mengangguk.
"Pendapatmu benar."
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Kita semua telah sepakat! Untuk itu, mari kita doakan agar nona Kim segera menemukan jodohnya. Mari kita minum tiga cawan arak untuk itu!"
Lee Siang hendak memrotes karena ia telah merasa pening, akan tetapi melihat betapa sepasang mempelai juga minum dengan sikap senang, iapun tidak berani mengecewakan hati sucinya. Iapun memaksa diri minum tiga cawan anggur yang dituangkan ke dalam cawannya oleh tangan panglima sendiri, mendahului para pelayan yang berada di sekeliling meja. Setelah minum tiga cawan anggur, Lee Siang tidak dapat menahan lagi dan iapun berkata dengan suara keluhan lirih.
"Aih... maafkan.... kepalaku pusing, suci..."
Dan iapun meletakkan kepalanya ke atas kedua tangan di meja. Goan Ciang memandang dengan iba.
"Aih, sumoi, engkau memang tidak kuat minum."
Ia lalu memberi isarat kepada seorang pelayan yang menjadi kepercayaannya.
"Antar nona Kim ke kamarnya, ia perlu mengaso dan tidur."
Pelayan itu memberi hormat lalu membantu Lee Siang yang sudah dalam keadaan setengah sadar, terhuyung dan dipapah oleh para pelayan meninggalkan ruangan pesta. Biarpun hatinya merasa kasihan sekali, akan tetapi Goan Ciang tidak memperlihatkan sikap ini, bahkan kini dia nampak lega dan gembira. Lebih baik begitu, pikirnya. Biar Lee Siang mabok dan tidak ingat apa-apa lagi, terbuai dalam tidur pulas! Maka, diapun melayani panglima yang amat kuat minum arak itu dengan gembira. Akhirnya, Liu Bi yang kalah lebih dahulu.
"Aihh, aku sudah terlalu banyak minum, kepalaku sudah mulai terasa pusing. Lebih baik kita istirahat, aku tidak dapat minum lagi...."
Ia mengeluh. Panglima Khabuli tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, pengantin wanita sudah ingin mengajak pengantin pria ke kamar. Saudara Cu, sebaiknya engkau cepat membimbing isterimu ke kamar kalian, ha-ha-ha!"
Liu Bi tersipu.
"Ihh, panglima. Agaknya engkaupun sudah mulai mabok. Hati-hati, kalau sampai terlalu mabok engkau tidak bisa pulang!"
"Hemm, apa susahnya kalau mabok di sini? Apakah aku tidak boleh tidur di sini dan melepaskan mabokku di sini sampai besok pagi?"
"Tentu saja boleh, panglima. Engkau adalah tamu kehormatan kami. Pelayanku akan menunjukkan kamar tamu terbaik untukmu..."
Liu Bi bangkit dan agak terhuyung. Karena di situ banyak tamu, demi kepantasan Goan Ciang cepat menggandeng lengan isterinya sehingga mereka berdiri bergandengan.
"Para tamu yang terhormat!"
Kata Panglima Khabuli sambil tersenyum dan mukanya yang kehitaman itu kemerahan, tanda bahwa dia sudah dipengaruhi minuman keras.
"Kami memberitahukan bahwa sepasang mempelai sudah cukup makan minum dan kini hendak meninggalkan ruangan, memasuki kamar pengantin mereka. Mohon doa restu dari saudara sekalian!"
Dia tertawa-tawa dan para tamu menyambut dengan tawa gembira pula.
"Silakan saudara sekalian makan minum sampai selesai!"
Dengan tersipu Goan Ciang dan Liu Bi bergandeng tangan meninggalkan ruangan itu, diiringkan para pelayan yang mengantar kedua mempelai sampai ke depan kamar pengantin. Keduanya lalu memasuki kamar dan daun pintu kamar ditutup. Para pelayan yang terdiri dari gadis-gadis muda yang manis itu meninggalkan kamar itu sambil tersenyum-senyum dan tersipu. Biarpun hampir tanpa semangat, mau tidak mau Goan Ciang malam itu tidur sebagai suami isteri dengan Liu Bi. Dia mendapat kenyataan bahwa apa yang dikatakan Lee Siang tentang sucinya memang benar. Liu Bi seorang wanita yang hebat, penuh gairah dan amat mesra. Namun, tetap saja semalam itu dia lebih banyak melamun dan memikirkan Lee Siang sehingga berulang kali isterinya menegurnya.
Menjelang pagi, ketika dengan manja dan mesra Liu Bi merangkulnya dan dia menanggapi kembali Liu Bi menegur.
"Engkau kenapa sih?"
Kita sudah menjadi suami isteri dan malam ini adalah malam pengantin pertama kita, kenapa engkau banyak melamun? Apa yang kau pikirkan?"
Dalam suaranya yang sejak tadi lembut dan mesra, kini terkandung teguran.
"Tidak apa-apa, aku hanya lelah dan ingin tidur,"
Kata Goan Ciang, dan dia membalikkan tubuh membelakangi isterinya. Liu Bi bangkit duduk dan ia menjadi marah.
"Aku tahu, engkau tentu memikirkan sumoi, bukan? Hemm, tidak perlu kau pikirkan lagi. Pada saat engkau menjadi suamiku, ia telah menjadi isteri Khabuli Ciangkun!"
Goan Ciang tersentak kaget, bangkit duduk dan menghadapi isterinya, memandang dengan alis berkerut.
"Apa yang kau maksudkan!"
Liu Bi tersenyum manis.
"Malam ini, sumoi juga berpengantinan dengan Panglima Khabuli di dalam kamarnya!"
Tentu saja Goan Ciang terkejut bukan main.
"Kau.....! Kau....! Ah, jadi kau sengaja membuat Siang-moi mabok, kemudian kau berikan ia kepada jahanam itu?"
"Benar, dan apa hubungannya denganmu? Ia adalah sumoiku, dan Panglima Khabuli seorang laki-laki yang baik dan pantas menjadi suaminya. Mereka memang kujodohkan agar engkau tidak lagi memikirkan sumoi dan..."
"Keparat!"
Goan Ciang menyambar pakaiannya, meloncat turun dari pembaringan, mengenakan baju dan cepat meloncat keluar dari kamar itu.
"Koko....!"
Liu Bi berteriak memanggil akan tetapi dia tidak perduli.
Dengan marah Liu Bi membereskan pakaiannya sebelum lari mengejar. Hari masih pagi sekali. Hampir seluruh penghuni rumah itu masih tertidur karena semalam mereka tidur sampai larut malam. Goan Ciang sudah lari ke kamar Lee Siang dan dengan kemarahan meluap dia mendorong daun pintu yang tertutup dari kamar itu. Ternyata daun pintu tidak terkunci dari dalam dan dengan mudah terbuka. Sebatang lilin masih bernyala di atas meja dan diapun meloncat ke dalam. Tiba-tiba dia berdiri kaku dan matanya terbelalak memandang ke atas pembaringan. Di situ, dia melihat Lee Siang rebah telentang seorang diri dengan pakaian setengah telanjang, kedua tangannya masih memegang pedang yang menembus dadanya sampai ke punggung! Matanya terbuka dan gadis itu telah tewas, akan tetapi agaknya belum lama benar karena darah itu masih belum kering.
"Siang-moi....!! Goan Ciang berteriak dan menubruk ke atas pembaringan, merangkul dan mengangkat kepala gadis itu, dirangkulnya tidak perduli betapa tangan dan pakaiannya terkena darah.
"Siang-moi....ahhh, Siang moi....!"
Dia mengeluh dan menangis, tahu atau dapat menduga apa yang telah terjadi. Tentu dalam keadaan lemah dan mabok, mungkin juga terbius, gadis ini semalam telah menjadi korban kebiadaban panglima Mongol itu, dan pada pagi harinya, ketika panglima itu pergi, dan mendapat kesempatan, Siang-moi membunuh diri. Masih belum kering air mata yang membasahi kedua pipi gadis itu.
"Siang-moi....!"
Goan Ciang berteriak lagi mendekap muka itu ke dadanya. Pada saat itu, terdengar suara orang di pintu.
"Sumoi....! Apa yang telah terjadi?"
Liu Bi memasuki kamar itu dan berdiri di dekat pembaringan, wajahnya menjadi pucat ketika ia melihat sumoinya telah tewas dengan pedang masih menembus dadanya.
Iapun mengerti apa yang telah terjadi. Tak disangkanya sumoinya mengambil keputusan pendek dan nekat. Apa salahnya menjadi isteri Panglima Khabuli yang selain berkuasa, juga cukup gagah dan jantan? Ia sendiri, andaikata tidak bertemu dengan Goan Ciang, tentu akan menjadi isteri panglima itu dengan siapa ia telah menjalin hubungan yang mesra selama lebih dari setahun ini. Begitu mendengar suara Liu Bi, Goan Ciang seperti kemasukan setan saking marah, benci dan sakit hati. Dia mencabut pedang dari dada Lee Siang, kemudian bagaikan seekor harimau, dia meloncat turun dari pembaringan dan pedangnya menyambar ganas, menyerang kepada wanita yang baru semalam menjadi isterinya.
"Koko...!"
Liu Bi terkejut dan mencoba untuk mengelak, akan tetapi ia terguling oleh tendangan Goan Ciang. Dengan kemarahan yang meluap Goan Ciang telah mempergunakan gerakan Sin-tiauw ciang-hoat, tubuhnya melayang seperti seekor burung rajawali menyambar dan pedangnya berkelebat cepat membacok ke arah leher Liu Bi. Wanita itu yang tidak sempat mengelak lagi, terpaksa menggunakan tangan kirinya menangkis.
"Crokkk!"
Lengan kiri itu bertemu pedang yang dibacokkan dengan sepenuh tenaga dan dengan itupun buntung!
Melihat lengan itu buntung, darah muncrat dan Liu Bi menjerit lalu roboh, Goan Ciang seperti baru sadar. Dia berdiri tertegun. Bukan Liu Bi yang harus dibunuhnya akan tetapi Panglima Khabuli, pikirnya. Liu Bi memang bersalah dan sudah menerima hukumannya! Pada saat itu, berdatanganlah para anggota Jang-kiang-pang dan melihat betapa ketua mereka merintih-rintih dengan lengan kiri buntung dan Goan Ciang berdiri di situ dengan pedang di tangan, juga melihat Lee Siang rebah tewas di pembaringan, mereka segera mengepung dan mengeroyok Goan Ciang! Goan Ciang mengamuk dengan pedang yang telah membunuh kekasihnya dan membuntungi lengan ketua Jang-kiang-pang tadi. Akan tetapi, pihak pengeroyok semakin banyak sehingga dia kewalahan dan akhirnya, setelah merobohkan belasan orang, dia sendiri terkena sabetan golok dan tusukan tombak sehingga terluka pada pundak kiri dan paha kanannya.
Maklum bahwa kalau dilanjutkan akhirnya dia akan roboh, Goan Ciang lalu meloncat dan melarikan diri, dikejar para anggota perkumpulan itu. Akan tetapi, cuaca yang masih gelap menguntungkan Goan Ciang dan diapun dapat meloloskan diri di tebing itu, menyusup di antara pohon-pohon dan semak-semak. Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, Goan Ciang telah berada jauh dari tempat itu dan dia hampir pingsan saking kelelahan dan kehilangan darah ketika dia menggulingkan tubuhnya di sebuah gua yang tertutup batu-batu dan semak-semak mengering sehingga tidak nampak dari luar, di lereng sebuah bukit. Biarpun seluruh tubuhnya nyeri dan lelah, namun Goan Ciang tidak merasakan semua itu karena hati dan pikirannya masih dipenuhi kenangan tentang Lee Siang yang membuat dia serasa jantungnya seperti diremas-remas.
Ingin rasanya dia berteriak-teriak menangis, perasaan hatinya hancur penuh penyesalan, tersayat-sayat duka yang menimbulkan dendam. Lee Siang membunuh diri, tentu karena telah kehilangan kehormatannya, semalam dipermainkan oleh Khabuli dalam keadaan tidak berdaya, selain lemah kehilangan tenaganya akibat racun, juga ia dalam keadaan mabok. Semua itu karena ulah Liu Bi yang ingin menjauhkan Lee Siang darinya. Dendam kebencian memenuhi hatinya. Terhadap Liu Bi. Terhadap Khabuli dan mengingat bahwa Khabuli adalah seorang panglima Mongol, maka kebenciannya terhadap permerintah Mongol yang menjajah semakin berkobar. Tiba-tiba dia bangkit duduk, seluruh sendi tubuhnya menegang.
Terdengar suara banyak orang menuju ke gua itu! Siapa lagi kalau bukan para pengejarnya? Tentu para anggota Jang-kiang-pang yang terus mengejar. Dia lalu menyingkap semak-semak, mengintai keluar. Nampak sedikitnya dua puluh orang mendaki lereng itu dan dia terbelalak ketika melihat bahwa di antara orang-orang Jang-kiang-pang terdapat pula beberapa orang yang berpakaian seragam. Perwira-perwira pasukan pemerintah. Hemm, kiranya orang-orang Jang-kiang-pang sudah minta bantuan pasukan pemerintah, pikirnya geram. Apakah Khabuli berada di antara mereka?
Kalau benar demikian, dia akan mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk membunuh panglima itu! Dengan pedang rampasan di tangannya yang masih berlumuran darah dan berbau amis, dia siap menanti mereka. Dia tahu bahwa dia meninggalkan jejak, dan orang-orang itu akhirnya tentu akan sampai di gua. Kalau mereka sampai tiba di dalam gua itu, tentu saja dia tidak akan dapat melakukan perlawanan dengan leluasa. Tempat itu terlampau sempit dan dia akan terhimpit. Dia melupakan rasa nyeri di pundak dan pahanya, melupakan tubuhnya yang sudah lemah.
Melihat para perwira itu, seperti bangkit semangatnya karena dia harus membunuh Khabuli! Membayangkan betapa semalam Khabuli mempermainkan dan menghina tubuh dan kehormatan kekasihnya, kebenciannya memuncak dan melihat serombongan pengejarnya itu tiba di tempat terbuka yang datar, diapun meloncat keluar dan dengan pekik dahsyat seperti seekor harimau terluka, diapun menerjang mereka, terutama kepada mereka yang berpakaian perwira.
"Hyaaaaatttt....!!"
Pedang di tangannya menyambar-nyambar ganas dan biarpun pasukan itu segera mengeroyoknya, namun dua orang di antara mereka roboh terkena sabetan pedang. Bagaikan seekor harimau atau seekor rajawali terluka, Goan Ciang mengamuk dengan pedangnya. Dia sudah lupa akan keadaan dirinya, yang hidup pada saat itu hanyalah semangatnya untuk melawan, mengamuk dan membunuh musuh yang dibencinya. Ditambah lagi dia memainkan ilmu yang dia andalkan, yaitu Sin-tiauw-ciang-hoat, maka gerakannya bagaikan seekor rajawali yang menyambar-nyambar menyebar maut.
Akan tetapi karena pihak pengeroyok cukup banyak dan di antara mereka terdapat banyak perwira yang tangguh, maka biarpun Goan Ciang berhasil merobohkan sedikitnya sepuluh orang, dia sendiri menderita luka-luka di seluruh tubuhnya. Hanya keadaan tubuhnya yang kuat itu saja yang membuat dia mampu menerima luka-luka itu dengan pengerahan tenaga sehingga tidak ada luka yang cukup parah untuk merobohkannya. Namun, dia merasa semakin lemah karena banyak darah keluar, maka akhirnya terpaksa dia melarikan diri.
"Kejar!"
"Tangkap!"
"Bunuh....!!"
Pasukan pemerintah dan orang-orang Jang-kiang-pang melakukan pengejaran dengan penasaran dan marah sekali karena banyak kawan mereka yang tewas atau terluka oleh amukan pemuda buronan itu. Mereka mengambil keputusan untuk mengejar sampai berhasil menangkap pemuda itu, bahkan perwiranya lalu minta bala bantuan dan menyebar pasukan untuk terus melakukan pencarian. Sambil menahan rasa nyeri dan mengerahkan semua sisa tenaganya, Goan Ciang berhasil meloloskan diri dari pada pengejarnya dan dapat menumpang sebuah perahu nelayan melanjutkan pelariannya dengan perahu yang sedang mencari ikan di tepi sungai Yang-ce.
Perahu kecil itu hanya ditumpangi seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang sedang mencoba peruntungannya menangkap ikan dengan jala. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan perahunya terguncang. Seorang pemuda bertubuh tinggi tegap, pakaiannya robek-robek berdarah, tangan kanan memegang sebatang pedang yang juga berlumur darah, dari darat sejauh kurang lebih sepuluh meter telah meloncat ke atas perahunya!"
"Heiii...siapa...kenapa...."
Nelayan itu berseru sambil menoleh dan terbelalak, mukanya kemerahan dan dia marah, juga takut.
"Ssttt, paman. Aku tidak akan mengganggumu, akan tetapi tolonglah aku. Aku dikejar-kejar pasukan, aku harus menggunakan perahumu ini untuk melarikan diri."
Tanpa banyak cakap lagi Goan Ciang mengangkat jangkar perahu, lalu mendayung perahu itu mengikuti arus dengan cepat ke tengah sungai. Nelayan itu terpaksa menarik jalannya.
"Siapakah engkau? Apa yang terjadi?"
Tanyanya sambil menumpuk jala di perahu dan duduk memandang penuh perhatian.
"Nanti saja kuceritakan, sekarang bantulah aku melarikan diri, paman. Kalau paman menolak, aku tidak segan untuk menggunakan pedang ini yang telah membunuh banyak perajurit pasukan pemerintah."
Nelayan itu memang tidak perlu diancam lagi. Dia seorang nelayan sederhana yang tentu saja tidak ingin terlibat, akan tetapi melihat pemuda itu meloncat ke perahunya dan membawa pedang berlumur darah, dia sudah ketakutan. Diapun mengambil dayung kedua dan membantu pemuda itu mendayung perahu dengan cepatnya mengikuti aliran air sungai Yang-ce menuju ke timur. Demikianlah, Cu Goan Ciang berhasil lolos dari pengejaran pasukan. Setelah dia mengaku kepada nelayan itu bahwa dia yang pernah menggegerkan bandar sungai Wu-han membela para pekerja kasar, nelayan itu tentu saja menghormatinya dan atas bantuan nelayan itu, Goan Ciang berhasil membeli obat-obat untuk luka-luka di tubuhnya, membeli pula pakaian kasar beberapa stel untuk mengganti pakaian pengantin yang masih menempel di tubuhnya, pakaian pengantin yang robek-robek oleh senjata para pengeroyok dan bernoda darah.
Setelah meninggalkan perahu dan nelayan itu di tempat yang jauh sekali dari Wu-han, dia melanjutkan perjalanannya melalui darat, berjalan kaki dan karena dia harus selalu hati-hati, bersembunyi dan tidak berani memperkenalkan diri, maka dia hidup sengsara sekali sebagai seorang buronan. Bahkan di mana dia melihat gambarnya ditempel di dalam kota dan dusun, dengan pengumuman bahwa dia adalah seorang penjahat dan pemberontak yang dicari-cari pasukan! Hal ini membuat dia semakin tidak leluasa bergerak. Kalau hanya dusun-dusun kecil dan dia lebih sering melanjutkan perjalanan di waktu malam. Dia tidak mungkin dapat bekerja untuk biaya hidupnya. Bekal uangnya sudah habis dan pakaiannya sudah tinggal menempel di tubuhnya. Itupun sudah penuh tambalan. Cu Goan Ciang terlunta-lunta dan kalau orang seorang bertemu dengan dia, tentu menganggap dia seorang jembel yang terlantar. Pada suatu senja dia tiba di luar kota Nan-king.
Kota yang besar, merupakan kota ke dua setelah kota raja Pe-king. Kota tua yang pernah menjadi kota raja. Biarpun keadaannya sudah seperti jembel dan mukanya penuh ditumbuhi brewok sehingga keadaannya berbeda sekali dengan gambar yang ditempel di dinding kota-kota besar, namun Goan Ciang tetap tidak mau memasuki kota Nan-king di waktu senja itu. Biasanya pintu gerbang kota lebih diteliti oleh para penjaga setelah hari mulai gelap. Dengan perut perih karena lapar, tubuh dingin karena udara menjelang malam itu dingin dengan angin dari timur, tubuh lelah walaupun kini luka-lukanya telah sembuh semua. Goan Ciang memasuki sebuah kuil kosong yang berdiri terpencil di bukit kecil, sebelah kiri jalan raya yang memasuki pintu gerbang kota Nan-king.
Melihat kuil itu berdiri terpencil dan ada jalan setapak menuju ke sana, diapun mendatangi kuil itu. Melihat bahwa kuil itu adalah kuil tua yang kosong dan tidak dipergunakan lagi, dia lalu memasukinya mengambil keputusan untuk melewatkan malam di tempat itu. Akan tetapi, biarpun dari luar nampak sudah kosong, setelah dia masuk ke dalam kuil yang besar namun keadaannya rusak dan kosong itu, di sebelah dalamnya sama sekali tidak kosong atau sepi. Banyak sekali orang di dalam kuil itu, para pengemis atau jembel yang semuanya memang mempergunakan tempat itu sebagai tempat bermalam mereka! Mereka tentulah para pengemis yang setiap hari berkeliaran di kota Nam-king, bekerja dengan cara meminta-minta, kemudian setelah matahari condong ke barat, mereka keluar kota dan melewati malam di tempat ini.
Kuil ini merupakan sarang atau istana, hotel tanpa bayar bagi para pengemis! Akan tetapi, agaknya para pengemis itu telah menjadi penghuni tetap di kuil itu, walaupun hanya penghuni malam karena kalau siang, tempat itu kosong sama sekali. Maka, begitu melihat ada seorang asing memasuki kuil, sedikitnya tiga puluh pasang mata mengikuti gerak-gerik Goan Ciang dengan penuh perhatian dan kecurigaan, Tak seorangpun dari mereka rela kalau ada sudut yang telah menjadi tempat tinggal mereka terganggu orang asing. Mereka seperti sekumpulan binatang yang menjaga kandang masing-masing, kalau perlu dengan perkelahian! Melihat betapa kuil itu, dari ruangan paling luar sampai paling belakang sudah ditempati orang sehingga sukar mencari tempat untuk melewatkan malam itu. Goan Ciang menjadi bingung juga. Apalagi tempat itu berbau apek dan lembab. Dia keluar lagi dan berdiri bengong di luar kuil.
Haruskah malam ini dia berada di tempat terbuka, diterpa angin dan disiksa dingin dan kelaparan? Dia menengadah dan melihat betapa langit yang mulai gelap itu indah, bintang-bintang mulai nampak dengan sinar yang masih lemah disilaukan sinar matahari yang mulai mengundurkan diri. Langit cerah tiada awan. Dia menghela napas panjang. Langit demikian bersih dan damai, betapa jauh bedanya dengan keadaan di permukaan bumi yang kotor dan penuh penderitaan. Dan di antara bintang-bintang yang mulai bermain mata dengannya, dia melihat sepasang mata Lee Siang! Dan nampak pula garis bentuk wajah gadis itu, kekasihnya, satu-satunya wanita yang pernah dikasihinya. Cantik, manis sederhana, gagah perkasa dan lembut.
"Lee Siang....moi-moi...."
Dia mengeluh penuh duka, teringat akan tubuh setengah telanjang yang rebah dengan dada yang tertembus pedang.
Dia meraba pedang yang disembunyikan di balik bajunya. Dia tidak akan berpisah dari pedang itu. Betapapun menyakitkan perasaan, namun pedang itulah satu-satunya benda terakhir yang pernah dekat dengan Lee Siang, teramat dekat karena pedang itu telah memasuki dada kekasihnya dan menembus jantungnya! Dan pedang itu pula yang telah dia pergunakan untuk membalaskan dendam kematian Lee Siang, membuntungi tangan Jang-kiang Sian-li Liu Bi, dan membunuh entah berapa banyaknya orang-orang yang mengeroyok dan hendak menangkap atau membunuhnya.
"Siang-moi.."
Kembali dia mengeluh. Tiba-tiba terdengar suara tawa di belakangnya.
"Ha-ha-ha-ha, seorang laki-laki pantang menghela napas dan mengeluh! Itu hanya sikap seorang yang lemah dan cengeng!"
Goan Ciang terkejut dan membalikkan tubuh, siap siaga menghadapi lawan. Akan tetapi dia tidak melihat ada orang yang hendak menyerangnya, hanya nampak seorang pengemis tua duduk di sana, bersandar dinding depan kuil, beralaskan jerami, duduk dengan santai dan memandangnya dengan sinar mata yang tajam dan mulut di balik kumis yang tersenyum mengejek. Goan Ciang menghampiri kakek itu. Hanya seorang saja yang duduk di bagian luar kuil, yang terbuka dan tidak terlindung sama sekali. Kalau hujan akan kehujanan kalau angin bertiup akan kedinginan. Akan tetapi, setidaknya tempat itu tidak berbau apek dan hawanya segar dan bersih.
"Kakek yang baik, aku tidak mengeluh karena diri sendiri, melainkan karena mengingat keadaan orang-orang lain. Demikian banyaknya penderitaan kulihat di dunia ini."
Kembali kakek itu tertawa,
"Ha-ha-ha, kulihat engkau tadi masuk lalu keluar lagi. Tidak mendapatkan bagian tempat duduk atau tidur? Sama dengan aku. Nah, duduklah di sini, orang muda, kita dapat mengobrol dengan asyik!"
Goan Ciang tersenyum, mengangguk, lalu diapun duduk bersila di depan kakek itu.
"Bagaimana kalau aku membuat api unggun untuk mengusir nyamuk dan dingin, kek?"
"Heh-heh, bagus sekali kalau begitu!"
Goan Ciang bangkit lalu keluar dari pekarangan kuil, mengumpulkan kayu kering. Setelah meraih cukup, dia kembali ke ruangan depan kuil itu dan segera membuat api unggun kecil yang ternyata menyenangkan mereka berdua. Selain api itu dapat mendatangkan kehangatan, mengusir nyamuk, juga mereka kini dapat saling pandang dengan cukup jelas.
"Aha, ternyata engkau seorang pemuda yang tampan dan gagah! Dan kulihat engkau juga tidak malas dan cekatan!"
Kakek itu memuji setelah mereka duduk berhadapan lagi.
"Engkau pantas kuberi upah beberapa teguk arak. Nah, minumlah!"
Dia menyodorkan sebuah guci arak. Tanpa sungkan lagi Goan Ciang menerimanya, membuka tutup guci dan dia terkejut mencium bau arak yang amat sedap, arak yang jelas bukan arak murahan! Diapun mendekatkan guci ke bibirnya, dan minum beberapa teguk. Benar dugaannya.
"Wah, arakmu hebat, kek! Sedap dan enak sekali!"
"Heh-heh-heh, tentu saja. Arak ini mengandung jin-som dan rendaman janin kijang hanya menjadi minuman kaisar di istana, ha-ha!"
Goan Ciang terkejut. Dia pernah mendengar tentang arak yang dicampur jin-som dan rendaman janin kijang yang merupakan minuman yang selain lezat juga amat baik untuk kesehatan. Akan tetapi bagaimana mungkin seorang jembel tua bisa mendapatkan minuman yang takkan terbeli oleh seorang hartawan sekalipun?
"Engkau sudah makan?"
Tiba-tiba kakek itu bertanya dan wajah Goan Ciang berubah kemerahan. Sejak kemarin dia belum makan! Diapun menggeleng kepalanya.
"Sejak kemarin siang aku belum makan, kek,"
Katanya.
Kakek itu memandang kepadanya dengan mata terbelalak, lalu dia memandang ke atas dan suara ketawanya memecahkan kesunyian malam, bergelak. Diam-diam Goan Ciang mendongkol, akan tetapi dia mulai memperhatikan kakek itu karena merasa bahwa sikap jembel tua yang biasanya lemah dan selalu hendak menarik perhatian dan iba hati orang lain. Kakek itu usianya sudah enam puluh lima tahun, tubuhnya jangkung kurus rambutnya itu panjang putih tiap-tiapnya dibiarkan bergantung di punggung dan kedua pundak, juga kumis dan jenggotnya sudah putih semua. Sepasang matanya agak sipit, akan tetapi amat tajam dan kadang mencorong penuh wibawa, akan tetapi wajahnya ramah dan mulutnya selalu dibayng senyum sabar. Sikapnya lincah dan jenaka, ramah. Pakaiannya penuh tambalan, akan tetapi pakaian itu bersih, jelas sering dicuci. Bukan pengemis sembarangan, pikir Goan Ciang.
Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo