Rajawali Lembah Huai 9
Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Bagian 9
Hal ini menjengkelkan hati Yen Yen. Gerakan tongkatnya adalah gerakan seperti seekor ular. Kalau tangan biasa saja jangan harap dapat menangkapnya, karena gerakannya dapat berputar dan licin seperti tubuh ular. Akan tetapi, biarpun tadi dua kali Siauw Cu terpaksa melepaskan lagi, kini, dengan gerakan tangan seperti paruh rajawali mematuk, dia berhasil menangkap tongkat itu sehingga tidak dapat terlepas lagi! Dalam geramnya, Yen Yen menggunakan tangan kirinya menghantam ke arah muka Siauw Cu.
Pemuda ini menggerakkan pula tangan kana, membentuk paruh rajawali dan tahu-tahu tangannya telah menangkap pergelangan tangan kiri gadis itu. Gadis itu menarik-narik dan meronta-ronta, namun baik tangan kirinya maupun tongkatnya tidak dapat terlepas lagi dari kedua tangan Siauw Cu. Mereka kini kelihatan saling tarik sehingga nampak lucu seperti dua orang kanak-kanak memperebutkan mainan! "Lepaskan!"
Bentaknya, akan tetapi Siauw Cu tidak mau melepaskan, karena dia maklum bahwa begitu terlepas, gadis itu akan menyerangnya dari jarak dekat dan hal ini cukup berbahaya.
"Baik, kau menghendaki tongkatku! Nah, ambillah!"
Tiba-tiba dengan marah ia melepaskan tongkatnya, lalu tangan kanannya menotok ke arah tenggorokan Siauw Cu!
Siauw Cu sudah menduga akan hal ini, maka cepat diapun menggigit tongkat itu dan kini tangan kirinya menyambut, menangkap pula pergelangan tangan kanan itu sehingga kini kedua tangan gadis itu tertangkap olehnya. Yen Yen semakin marah, menarik dan meronta, namun kedua tangan Siauw Ce seperti sepasang tangan baja yang amat kuat. Dan tiba-tiba Yen Yen menangis! Siauw Cu terkejut bukan main, cepat melepaskan kedua tangan itu dan meloncat ke belakang, lalu menyerahkan tongkat itu kembali.
"Maafkan aku, nona, terimalah kembali tongkatmu."
Akan tetapi gadis itu mendengus, membalikkan tubuhnya lalu berlari meninggalkan tempat itu, membuat Siauw Cu berdiri bengong dengan muka merah dan hati menyesal karena ia telah membikin marah cucu Pek Mau Lokai. Akan tetapi, tepuk tangan memujinya dan para anggota Hwa I Kaipang bertepuk tangan memuji, sedangkan Pek Mau Lokai tahu-tahu sudah berada di depannya dan menerima tongkat cucunya itu.
"Ha-ha-ha, engkau telah dapat menaklukkan cucukuyang seperti naga betina itu, ha-ha!"
Kakek itu tertawa-tawa gembira. Tiga orang ketua cabang itu saling pandang, lalu mereka bertiga mengangkat kedua tangan depan dada dan berkata.
"Cu-sicu, kionghi (selamat)!"
"Ehh? Apa maksud paman bertiga?"
Tanya Siauw Cu heran mengapa tiga orang itu memberi selamat kepadanya.
Pada hal, kemenangan dalam ujian silat itu lama sekali tidak perlu diberi selamat, apa lagi melihat akibatnya membuat gadis itu merasa jengkel dan marah. Pek Mau Lokai yang menjawab.
"Siauw Cu, engkau tidak tahu bahwa senjata tongkat bagi kami merupakan senjata andalan, juga merupakan tanda bahwa kami adalah anggota kaipang yang setia. Tongkat merupakan kawan dan senjata yang setia bagi kami dan tidak akan kami tinggalkan, apa lagi kami serahkan kepada orang lain. Kalau kami menyerahkan tongkat itu, berarti taluk, sama dengan menyerahkan hati, nyawa, dan badan. Dan kini cucuku yang selama ini menolak semua lamaran orang, menganggap tidak ada pria yang patut menjadi jodohnya, hari ini ia menyerahkan tongkatnya kepadamu! Ha-ha-ha, hal itu hanya mempunya satu arti, bahwa ia taluk kepadamu, dan ia menyerahkan hatinya kepadamu."
Dia tertawa, diikuti empat orang ketua cabang. Mendengar ini, Cu Goan Ciang terkejut bukan main.
"Ah, nona Tang menyerahkan tongkat karena tidak mampu merampasnya kembali dariku dan aku merasa menyesal sekali telah membuat ia marah. Bukan....bukan maksudku untuk...."
"Siauw Cu, mari kita bicara di dalam."
Mereka masuk kembali ke dalam gua basar dan duduk di lantai bertilamkan tikar tebal.
"Kuharap engkau jangan menyangka salah. Kami semua orang mengetahui bahwa dengan penyerahan tongkat tadi, Yen Yen telah menyatakan taluk padamu, dan ia kagum padamu, dan ia bahkan tentu akan merasa berbahagia sekali kalau dapat menjadi jodohmu. Akan tetapi, sama sekali bukan berarti bahwa ia akan memaksamu untuk menjadi jodohnya. Kami semua percaya akan cinta kasih kedua pihak dalam perjodohan. Jadi, kalau engkau tidak membalas perasaan hatinya, hal itupun tidak akan mendatangkan penyesalan apapun dan kami hanya akan menganggap bahwa kalian tidak berjodoh."
"Akan tetapi, kalau boleh saya mengemukakan pendapat saya, Cu-sicu. Bukanlah sikap yang bijaksana kalau ada seorang pemuda menolak cinta seorang gadis seperti Yen Yen. Ia cantik jelita, berbudi mulia, patriot sejati, berwatak pendekar, cerdik, dan memiliki ilmu silat tinggi. Para pemuda yang pernah mengenalnya, dari golongan kecil sampai golongan yang paling besar, semua kagum dan mengharapkan uluran kasihnya, namun semuanya ditolaknya. Dan kalau sekarang ia memilihmu, sicu, sungguh luar biasa sekali. Kalau engkau tidak menyambutnya...."
Kata Kauw Bok yang pendek gendut.
Tentu saja Siauw Cu merasa tidak enak sekali terhadap Pek Mau Lokai. Dia menarik napas panjang dan teringatlah dia akan wajah Kim Lee Siang. Dia tahu bahwa dia mencinta Lee Siang, dan baru saja dia ditinggal Lee Siang yang mati secara amat menyedihkan. Bagaimana dalam waktu beberapa hari saja, dia dapat melupakan Lee Siang dan menyambut uluran cinta seorang gadis lain?
"Tadi aku mendengar bahwa Pangcu dan semua anggota Hwa I Kaipang percaya bahwa cinta kasih kedua pihak dalam perjodohan. Kepercayaan ini sama dengan kepercayaanku. Perjodohan memang harus diadakan dengan dasar cinta kasih kedua pihak. Akan tetapi, bagaimana mungkin aku berani mengatakan bahwa aku mencinta nona Tang yang baru saja kutemui sekarang? Aku akan bersikap palsu kalau aku mengaku cinta padanya sekarang, karena di dalam hatiku, sama sekali belum ada perasaan itu kepadanya kecuali perasaan kagum dan menyesal bahwa aku telah membikin dia marah. Pula, kita menghadapi tugas yang mulia, dan besar, bagaimana mungkin memikirkan urusan perjodohan? Oleh karena itu, kuharap agar Tang locianpwe, para pangcu dan seluruh anggota Hwa I Kaipang, terutama sekali nona Tang Hui Yen sendiri, suka memaafkan kalau aku belum dapat mengambil keputusan sekarang atau dalam waktu dekat mengenai perjodohan."
"Bagus sekali!"
Pek Mau Lokai berseru kagum.
"Begitulah seharusnya sikap seorang pahlawan! Mendahulukan kepentingan perjuangan dan mengesampingkan kepentigan pribadi. Aku dapat menerima pendapatmu itu Siauw Cu, dan percayalah, Yen Yen juga bukan seorang gadis yang berpemandangan sempit. Aku akan menyampaikan perasaan dan pendapatmu itu kepadanya. Sekarang, mari kita bicara, tentang keadaan kita dan perjuangan kita."
Mereka lalu berbincang-bincang, atau lebih tepat lagi, Cu Goan Ciang mendengarkan penjelasan mereka tentang keadaann Hwa I Kaipang dan perjuangan perkumpulan itu. Hwa I Kaipang merupakan perkumpulan pengemis terbesar di seluruh wilayah Nan-kiang. Akan tetapi karena kaipang ini jelas anti pemerintah Mongol, bahkan beberapa kali menyerang markas pasukan pemerinta dan membunuh banyak tentara dan perwira, tentu saja perkumpulan ini dinyatakan sebagai perkumpulan pemberontak oleh pemerintah. Pasukan keamanan mengadakan pembersihan dari para anggota Hwa I Kaipang.
Penangkapan dilakukan terhadap para pengemis baju kembang. Hwa I Kaipang melakukan perlawanan, akan tetapi pasukan keamanan terlampau kuat sehingga banyak di antara mereka yang gugur, termasuk ayah dan ibu Yen Yen yang tadinya menjadi tokoh terkemuka dari perkumpulan itu. Karena dimusuhi pemerintah dan dicap sebagai pemberontak maka tentu saja perkumpulan itu tidak lagi berani mempunyai rumah perkumpulan yang terang. Mereka tidak mempunyai markas tertentu, dan para anggotanya juga tidak lagi diharuskan memakai pakaian kembang kecuali kalau mereka mengadakan pertemuan rapat di suatu tempat yang ditentukan.
Mereka tinggal di kuil-kuil tua, di gubuk-gubuk dan pondok darurat yang mereka dirikan di dalam hutan-hutan, bahkan tinggal di gua-gua. Akan tetapi, pemimpin besar mereka, Pek Mau Lokai Tang Ku It, walaupun usianya sudah enam puluh lima tahun, tidak pernah turun semangat. Dia tetap memimpin para anggota Hwa I Kaipang, bahkan berusaha memperkenalkan perkumpulannya dan kadang-kadang masih memimpin anak buahnya untuk menentang para pembesar Mongol. Karena dikejar-kejar dan tentu ditangkap kalau ketahuan oleh petugas ada pengemis yang memakai pakaian berkembang, maka para anggota tidak berani memakai pakaian seperti itu. Yang masih tetap berani hanyalah para pemimpinnya saja, terutama Pek Mau Lokai sendiri, Tang Hui Yen atau Yen Yen, dan tiga orang ketua cabang. Mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi maka mereka berani menempuh bahaya itu.
"Berapakah jumlah anggota Hwa I Kaipang?"
Tanya Siauw Cu, hatinya tertarik sekali dan kagum mendengar bahwa para pengemis, justeru orang-orang yang paling miskin, memiliki semangat begitu besar dan keberanian yang luar biasa untuk menantang pemerintah penjajah yang amat kuat.
"Kalau dikumpulkan seluruhnya dari wilayah empat penjuru, anggota kita tidak kurang dari seribu orang,"
Kata Pek Mau Lokai. Siauw Cu terkejut.
"Ah, kalau begitu besar juga kekuatan Hwa I Kaipang. Apakah semua pengemis di wilayah ini menjadi anggotanya? Dan bagaimana dengan para pengemis yang mengeroyok kita di kuil itu?"
Pek Mau Lokai menghela napas panjang.
"Aihh, itulah yang merisaukan hati dan mendatangkan penasaran. Di wilayah Nan-king terdapat banyak kelompok pengemis yang mempunyai perkumpulan masing-masing. Hal ini tidak mengapa karena mereka adalah rekan-rekan sependeritaan kami. Akan tetapi yang paling menyebalkan adalah kenyataan bahwa ada perkumpulan pengemis yang cukup besar telah menjadi antek Mongol, bahkan mereka memusuhi kami. Kalau tadinya, di antara para kaipang terdapat persaingan biasa, akan tetapi yang dilakukan perkumpulan pengemis yang telah menjadi pengkhianat bangsa itu bukan persaingan, melainkan mereka diperalat oleh orang-orang Mongol untuk menumpas kami. Mereka adalah Hek I Kaipang (Pengemis Baju Hitam)."
Siauw Cu menggeleng-geleng kepalanya.
"Sungguh aku tidak mengerti bagaimana mungkin ada sekelompok pengemis yang mau menjadi antek Mongol? Bukankah mereka itu sampai hidup melarat karena akibat penindasan kaum penjajah? Sepatutnya mereka itu menentang penjajah, bukan menentang saudara sependeritaan, apa lagi sama-sama anggota kaipang."
Ketua Hwa I Kaipang tertawa.
"Di dunia ini, kekuasaan apa yang mampu menandingi kekuasaan emas dan perak? Sebagian besar manusia diperbudak oleh harta benda karena mereka mengira bahwa dengan harta benda merupakan syarat mutlak untuk memperoleh kesenangan. Mereka menganggap bahwa dengan harta benda, mereka dapat memenuhi semua keinginan mereka. Oleh karena itu, mereka silau oleh mengkilapnya emas dan perak dan mau melakukan apa saja demi memperoleh harta."
Siauw Cu terkenang akan kehidupan orang tuanya. Mereka, ayah ibunya, dan banyak lagi penduduk desanya, bahkan kemudian dia tahu bahwa banyak lagi yang senasih di seluruh negara, mati karena sakit, karena kelaparan. Kalau mereka memiliki harta benda, tentu tidak akan mati kelaparan!
"Maaf, lo-cian-pwe. Bukankah manusia hidup ini memang tidak mungkin ditinggalkan harta benda? Bahkan untuk makan saja, untuk mempertahankan hidup, untuk sandang dan untuk tempat tinggal, kita membutuhkan harta benda."
Kakek itu mengangguk-angguk.
"Hai itu memang benar dan tidak dapat disangkal pula. Akan tetapi kalau orang mengejar harta benda,maka pengejaran itu mempeerbudaknya, dan dia akan mengejar dengan cara apa saja untuk mendapatkannya.. Tidak dapat disangkal bahwa hidup ini membutuhkan harta benda, akan tetapi apakah hanya harta yang menjadi syarat utama untuk dapt hidup senang? Siauw Cu, coba bayangkan, engkau memiliki harta benda yang paling banyak di antara seluruh manusia di dunia ini, akan tetapi tubuhmu tidak sehat, engkau sakit dan tak dapat turun dari pembaringan, tak dapat menikmati apa saja karena tubuhmu menderita sakit dan setiap saat disiksa nyeri. Dalam keadaan seperti itu, apakah harta bendamu yang berlimpah itu dapat melenyapkan kesengsaraanmu?"
"Ah, tentu saja tidak, lo-cian-pwe. Akan tetapi, kalau kita memiliki harta benda, kita dapat mencari obat dan mengundang tabib yang paling mahal sekalipun. Sebaliknya, kalau kita melarat, lalu jatuh sakit, untuk membeli obatpun tidak mampu."
Siauw Cu membantah karena dia yang sejak kecil mengalami kemiskinan tahu benar akan kesengsaraan itu. Kakek itu mengangguk.
"Ada benarnya kata-katamu itu, walaupun belum tentu tabib itu pandai dan obat mahal dapat menyembuhkan seseorang, apa lagi menahan nyawanya di badan dan kalau memang sudah tiba saatnya nyawa itu harus kembali ke asalnya. Sekarang, katakanlah engkau kaya raya dan sehat badanmu, akan tetapi bagaimana kalau keluargamu yang sakit? Bagaimana pula kalau terjadi pertentangan dan percekcokan di dalam keluargamu? Bagaimana pula kalau terjadi pertentangan antara engkau dan tetanggamu, masyarakatmu? Bagaimana kalau harta bendamu dirampas orang, engkau terancam kehilangan harta bendamu? Bagaimana kalau usia tua menggerumutimu, dan kalau kematian datang menjemput?"
Siauw Cu tertegun.
"Aih, kalau diingat tentang banyaknya persoalan dan kesulitan yang kita dapat hadapi sewaktu-waktu dalam hidup, memang harta benda nampak tidak ada artinya, lo-cian-pwe. Apakah kalau begitu kita tidak perlu dengan harta?"
(Lanjut ke Jilid 09)
Rajawali Lembah Huai (Cerita Lepas)
Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 09
"Ha-ha-ha, tentu saja kita memerlukan harta, Siauw Cu, karena harta merupakan satu di antara kepentingan kita untuk dapat hidup layak di dunia ini, bahkan untuk dapat hidup wajar dan menikmati hidup. Hanya satu di antaranya, bukan kepentingan tunggal. Ingat ini! Siapa yang hanya mementingkan harta, mengira bahwa harta merupakan satu-satunya kebutuhan kita dalam kehidupan ini, dia akan kecelik, bahkan menyesal. Hidup merupakan suatu keadaan yang memiliki banyak macam kebutuhan, di antaranya harta, kesehatan, kerukunan dalam keluarga, kerukunan dalam masyarakat, dan banyak lagi. Selama nafsu menguasai diri kita, maka kita akan selalu mengejar kesenangan, lupa akan kebutuhan yang lain sehingga terjadi pertentangan dalam batin sendiri karena banyaknya kebutuhan yang saling bertabrakan. Seperti halnya para pimpinan Hek I Kaipang, karena mereka hanya mementingkan harta, maka mereka lupa diri dan rela mengkhianati bangsa sendiri, menjadi penjilat penjajah Mongol dan mau memusuhi golongan dan bangsa sendiri."
Siauw Cu mengangguk, mengerti apa yang dimaksudkan kakek itu.
"Apakah yang menyeleweng dalam Hek I Kaipang hanya pimpinannya, lo-cian-pwe?"
Pek Mau Lokai menoleh kepada tiga orang muridnya dan berkata.
"Kalian beri gambaran yang jelas kepada Siauw Cu, tentang keadaan kita, tentang perjuangan kita, tentang keadaan pihak musuh. Aku ingin beristirahat,"
Katanya dan diapun memasuki gua itu ke bagian dalam di mana terdapat ruangan yang menjadi kamarnya.
Lee Ti, Pouw Sen, dan Kauw Bok, tiga orang ketua cabang itu, lalu memberi penjelasan kepada Siauw Cu yang didengarkan oleh pemuda itu dengan penuh perhatian. Dahulu, Hek I Kaipang merupakan rekan seperjuangan dari Hwa I Kaipang. Apalagi karena ketua Hek I Kaipang masih terhitung murid keponakan Pek Mau Lokai sendiri. Akan tetapi dua tahun yang lalu, ketua Hek I Kaipang itu gugur ketika bertempur melawan pasukan pemerintah dan semenjak itu, ketuanya yang baru membawa Hek I Kaipang menyeleweng dan menjadi antek pemerinta penjajah Mongol.
"Ketua Hek I Kaipang semenjak dua tahun yang lalu bernama Coa Kun dan terkenal dengan julukan Twa-sin-to (Golok Besar Sakti). Dialah yang menguasai Hek I Kaipang dan sejak itu dia menjadi ketua dua tahun yang lalu, perkumpulan itu merajalela karena tidak dimusuhi pemerintah, bahkan menjadi sekutu atau anteknya. Ilmu kepandaian Coa-pangcu itu lihai, terutama sekali ilmu goloknya. Akan tetapi, selihai-lihainya, kami masih mampu menandinginya. Hanya ilmu kepandaian puterinya yang amat hebat. Bahkan Yen Yen sendiri pernah bentrok dengannya, dan Yen Yen nyaris celaka di tangan puteri Coa-pangcu yang bernama Coa Leng Si itu."
Tiga orang itu melanjutkan penjelasan mereka.
Sejak Hwa I Kaipang menjadi buronan pemerintah, tidak pernah ada lagi ada beberapa bentrokan langsung antara Hwa I Kaipang dan Hek I Kaipang, walaupun Hek I Kaipang selalu membantu pasukan pemerintah. Seperti telah dialami sendiri oleh Siauw Cu, ketika dia dan Pek Mau Lokai dikeroyok pasukan pemerintah, beberapa orang anggota Hek I Kaipang ikut pula mengeroyok. Karena menjadi antek pemerintah Mongol, tentu saja pimpinan Hek I Kaipang memiliki hubungan dekat dengan pejabat pemerintah, baik sipil maupun militer. Demikianlah, Siauw Cu menerima penjelasan dari tiga orang ketua cabang sehingga dia tahu benar keadaan Hwa I Kaipang dan keadaan perjuangannya, juga keadaan kota Nan-king dan siapa-siapa yang dapat dianggap kawan seperjuangan, dan siapa lawan.
Setelah para pimpinan Hwa I Kaipang berkumpul makan malam dalam gua besar itu, mengelilingi meja rendah dan duduk di lantai, barulah Siauw Cu bertemu dengan Yen Yen. Gadis itu bersikap biasa saja, tersenyum dan mengangguk kepadanya seolah-olah mereka sudah lama menjadi rekan dan tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Hanya kakeknya dan tiga orang ketua cabang itu yang diam-diam merasa geli karena mereka melihat perubahan besar pada diri gadis itu. Biasanya, Yen Yen berpenampilan sederhana, akan tetapi malam ini, dara itu mengenakan pakaian baru, rambutnya disisir rapi, dan terutama sekali kalau tadinya dia lincah jenaka dan galak, periang, kini mendadak saja ia menjadi pendiam.
Tawanya yang bisana meledak bebas itu kini lenyap dan yang berbekas dari kelincahan dan kejenakaannya hanya tinggal senyumnya yang manis itu! Mereka semua tahu bahwa perubahan ini tentu karena kehadiran Siauw Cu! Setelah makan malam, mereka duduk bercakap-cakap, dan sekali ini dihadiri pula oleh Yen Yen. Dalam percakapan inilah Siauw Cu mengemukakan pendapat dan usulnya.
"Kukira, cara perjuangan kita harus diubah."katanya.
"Penyerangan terhadap pasukan pemerintah merupakan perbuatan berbahaya yang akan menjatuhkan korban di pihak kita. Kita perlu menghimpun tenaga dan bersatu dengan rakyat. Tanpa bantuan rakyat, perjuangan kita takkan mungkin berhasil. Sebaiknya kalau kita mulai dari dusun-dusun. Kita baru menyergap kalau ada pasukan kecil yang terpencil sehingga kita yakin bahwa tidak akan ada anggota kita yang menjadi korban. Penyerangan ke kota harus dihentikan dan tunggu kalau sampai kekuatan kita lebih besar dari pada pasukan keamanan, baru kita melalukan penyerangan. Dan terutama sekali, kita harus bersatu dengan kelompok pejuang lainnya. Bahkan kalau mungkin, kita harus mendekati Hek I Kaipang dan membujuk agar mereka kembali ke jalan suci perjuangan menentang penjajah dan membebaskan rakyat dari penindasan."
Pek Mau Lokai mengangguk-angguk.
Pouw Sen, ketua tinggi kurus muka putih yang memimpin cabang di timur berkata dengan nada memrotes.
"Akan tetapi, kalau kita menghentikan serbuan-serbuan kita, berarti perjuangan kita mundur. Kita harus selalu ganggu dan kacaukan kedamaian di kota agar pemerintah penjajah selalu terpukul karena hal ini akan melemahkan mereka dan akan mengingatkan mereka bahwa para pejuang takkan pernah berhenti menentang mereka!"
"Pouw-pangcu benar, akan tetapi perjuangan bukan berarti dengan nekat menyerang dan mati konyol, mengorbankan banyak teman. Apa hasilnya? Apa artinya membunuh beberapa orang perwira dan beberapa puluh atau ratus tentara penjajah? Mereka dapat memperoleh penggantinya dalam sehari, bahkan lebih banyak lagi. Kita harus bekerja dengan berencana, dengan siasat bagaimana agar dapat merugikan dan melemahkan musuh dengan korban sedikit mungkin di pihak kita,"
Kata Siauw Cu penuh semangat.
"Kita harus mengikutsertakan rakyat sebanyak mungkin. Barulah perjuangan kita ada artinya dan lebih banyak harapan untuk dapat berhasil."
"Aku setuju dengan pendapat Cu-sicu! Memang selama ini kita hanya mengandalkan keberanian saja tanpa menggunakan perhitungan. Buktinya, sudah banyak di andtara kita yang tewas, bahkan ayah ibuku sendiri tewas, akan tetapi apa hasilnya? Begini-begini saja, bahkan kita menjadi orang-orang buronan yang tidak berani tampil terang-terangan. Kalau tidak diubah siasat kita seperti yang diusulkan Cu-sicu, kita tidak akan mendapatkan kemajuan setapakpun, bahkan mundur,"
Kata Yen Yen penuh semangat pula, terang-terangan menyokong pendapat pemuda itu. Pek Mau Lokai tersenyum.
"Aihh, sekarang aku baru merasakan betapa aku sudah terlalu tua untuk perjuangan. Pendapat dan siasatku ketinggalan jaman! Memang benar pendapat Siauw Cu yang didukung oleh Yen Yen. Nah mulai hari ini, aku wakilkan kepemimpinanku kepada Yen Yen dan Siauw Cu yang menjadi pembantu dan pendampingnya. Aku hanya akan menjadi penasihat saja. Aku sudah terlalu tua dan kurang semangat, aku khawatir kalau kulanjutkan memimpin langsung, Hwa I Kaipang akan menjadi semakin lemah."
Tiga orang ketua cabang tidak menentang keputusan itu karena merasa tua sudah melihat kelihaian Siauw Cu. Hanya diam-diam mereka meragukan kepemimpinan pemuda yang kurang pengalaman itu. Bagaimana pemuda itu akan mengatur untuk mendapatkan biaya bagi seluruh anggotanya yang semua berjumlah seribu orang lebih itu? Semua anggota yang berkumpul di tempat itu, yaitu mereka yang oleh kelompok kecil masing-masing diangkat sebagai wakil dan jumlahnya di tempat itu tidak kurang dari seratus orang, dikumpulkan dan malam itu juga, Pek Mau Lokai mengumumkan keputusannya, yaitu bahwa mulai malam itu, dia menunjuk cucunya, Tang Hui Yen mewakili dia sebagai ketua umum, sedangkan Cu Goan Ciang diangkat menjadi pembantu utama.
Tiga orang ketua cabang masih tetap menjadi ketua cabang masing-masing. Bukit penuh gua itu akan segera ditinggalkan malam itu juga dan akan tetap menjadi tempat pertemuan berkala. Masing-masing kelompok harus memberitahu tempat persembunyian masing-masing kepada ketua cabang yang berdekatan sehingga mudah mengadakan saling hubungan. Juga ketua dan kedua wakilnya akan selalu mengadakan kontak dengan tiga ketua cabang agar mereka dapat saling berhubungan. Ketika Pek Mau Lokai mengumumkan keputusannya, Cu Goan Ciang yang berdiri dekat Yen Yen membisiki gadis itu yang mengangguk-angguk. Setelah kakeknya selesai dengan pengumumannya, ia lalu mengangkat kedua tangan minta perhatian.
"Ketiga paman, pangcu dari timur, barat, dan selatan, juga semua saudara yang mewakili kelompok masing-masing! Sebagai pimpinan yang ditunjuk dan mewakili ketua umum, kami membuat pengumuman dan peraturan pertama yang harus dilaksanakan oleh setiap orang anggota. Mulai sekarang, mengingat bahwa kita semua menjadi orang buronan, juga mengingat bahwa seringkali pihak musuh menyamar sebagai anggota kita dengan pakaian berkembang, maka kita semua harus meninggalkan kebiasaan mengenakan pakaian berkembang."
Terdengar suara protes di sana-sini, bahkan tiga orang ketua cabang itupun tidak setuju.
"Lalu apa artinya nama perkumpulan kita Hwa I Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) kalau kita tidak boleh mengenakan pakaian berkembang?"
Terdengar Pouw Sen, ketua cabang dari timur dan semua anggota mendukung pertanyaan ini.
"Kita tetap anggota Hwa I Kaipang! Itu adalah nama perkumpulan kita. Bukankah sekarangpun banyak anggota kita terpaksa tidak mengenakan pakaian berkembang agar tidak dikejar-kejar petugas keamanan? Maksudku bukan untuk menghapus nama perkumpulan kita, melainkan sementara ini, demi keselamatan kita tanggalkan dulu pakaian berkembang itu. Siapa yang merasa sayang, boleh memakia pakaian berkembang sebelah dalam dan ditutup dengan pakaian biasa! Pula, yang penting bukan pakaiannya, melainkan semangatnya, bukan?"
"Akan tetapi, bagaimana kita dapat saling mengenal tanpa pakaian seperti itu?"
Bantah pula Kauw Bo ketua cabang selatan dan kembali semua anggota mendukung pertanyaan ini. Yen Yen mengangkat kedua tangan dan semua orang diam mendengarkan.
"Aku sudah memikirkan hal itu. Mulai sekarang, kita boleh mengenakan pakaian apa saja asal jangan tambal-tambalan dana berkembang seperti yang biasa kita pakai. Kita mengenakan pakaian biasa, polos akan tetapi harus ada sulaman setangkai bunga di baju kita, di bagian mana saja dari baju kita karena itu hanya merupakan tanda bagi sesama anggota. Atau boleh juga mengantungi setangkai bunga dan memperlihatkan bunga itu kepada sesama anggota sebagai tanda pengenal, ditambah lagi dengan cara penghormatan atau salam seperti ini."
Yen Yen memberi contoh, merangkap kedua tangan dikepal di depan dada seperti penghormatan biasa, akan tetapi begitu kedua tangan yang dikepal itu menempel di dada, tangan kiri yang tadinya mengepal tangan kanan itu dibuka atau dikembangkan jari-jarinya ke atas, lalu ditutup kembali.
"Nah, mengertikah kalian dan apakah masih ada keberatan lainnya?"
Tidak ada yang menyatakan keberatan lagi setelah mereka mengerti apa yang dimaksudkan Yen Yen. Mereka semua tidak merasa asing kalau kini Yen Yen mewakili kakeknya, karena biasanya ia memang seringkali mewakili kakeknya dalam banyak hal, hanya biasanya belum diresmikan oleh ketua Hwa I Kaipang. Pek Mau Lokai menyatakan pertemuan itu selesai karena semua laporan telah diterima sebelum Siauw Cu datang ke tempat itu, dan semua orang bubaran, meninggalkan tempat itu yang menjadi sepi. Tinggal Pek Mau Lokai, Yen Yen dan Siauw Cu bertiga saja.
"Nah, sekarang akupun akan pergi. Yen Yen mulai sekarang tanggung jawabmu besar. Berhati-hatilah dan cepat engkau cari aku kalau menemui kesulitan. Jangan memusuhi Hek I Kaipang secara terbuka. Mereka berbahaya. Sebaiknya, setelah kini ada Siauw Cu yang membantumu, segala hal kaurundingkan dengan dia. Engkau tahu ke mana harus mencariku, bukan?"
"Baik, kek. Aku tahu dan jangan khawatir, aku akan selalu berhati-hati seperti yang selalu kakek ajarkan."
"Sukurlah, dan engkau masih kurang matang dalam ilmu Hok-mo tung-hoat (Silat Tongkat Penakluk Iblis) itu. Engkau dapat mematangkannya dengan berlatih melawan Siauw Cu. Nah, selamat tinggal. Siauw Cu, bantulah Yen Yen. Sampai jumpa."
Siauw Cu cepat mengangkat kedua tangan ke depan memberi hormat dan teringat akan pesan Yen Yen tadi, dia mengembangkan tangan kiri yang terkepal itu sebentar, lalu mengepalnya kembali. Pek Mau Lokai tertawa.
"Ha-ha-ha, bagus, bagus! Tanda sebagai isarat antar anggota itu bagus sekali."
Sambil masih tertawa gembira kakek itu pergi dengan gerakan yang cepat sehingga sebentar saja dia sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Tinggal Yen Yen dan Siauw Cu yang masih berdiri berhadapan. Satu-satunya penerangan di situ hanya dua buah lilin besar yang berada di dinding gua.
"Heran, mengapa kita harus begini tergesa-gesa, malam-malan meninggalkan tempat ini? Apa lagi kakekmu yang sudah tua, kasihan dia pergi malam-malam......"
"Begini, Cu-sicu...."
"Ahh, setelah kita menjadi rekan, perlukah engkau menyebut aku sicu (orang gagah) lagi, nona?"
"Hemm, dan engkau juga menyebutku nona!"
Siauw Cu menyadari kesalahannya.
"Aku lebih tua darimu, sebaiknya kusebut engkau Yen-moi (adik Yen)."
"Dan engkau kupanggil Cu-toako (kakak Cu). Nah, begini, toako, menurut laporan penyelidik kita, mungkin sekali malam ini mereka akan menyerbu tempat ini. Berbahaya sekali kalau kita tidak pergi sekarang!"
"Mereka? Kaumaksudkan...."
"Siapa lagi kalau bukan orang-orang Hek I Kaipang jahanam itu! Dan mereka tentu membawa majikan mereka, pasukan Mongol. Penyelidik kita sore tadi melihat bayangan orang berkelebat di bawah, mencurigakan sekali. Maka, kami lalu mengambil keputusan untuk cepat pergi agar jangan terkepung. Nah, mari kita pergi sekarang sebelum terlambat. Kita dapat bicara dalam perjalanan nanti."
Gadis itu memasuki gua dan mengambil sebuah buntalan pakaian. Kiranya dara ini sudah siap. Setelah meniup padam dua batang lilin, Yen Yen melangkah keluar dan Cu Goan Ciang mengikutinya. Gadis itu lebih hafal jalan di situ. Malam hanya diterangi bintang-bintang saja, kalau tidak hafal benar jalan di daerah itu, orang dapat saja tersesat atau bahkan tergelincir ke dalam jurang. Baru setengah jam mereka menuruni lereng bukit yang berbatu-batu dan mempunyai banyak gua itu, tiba-tiba mereka mendengar suara gaduh dari depan. Yen Yen dan Siauw Cu dapat menyelinap dan bersembunyi di balik semak belukar, mengintai keluar! Nampak sinar obor dan bermunculan puluhan orang dari bawah, orang-orang yang memegang obor dan senjata tajam, jelas di bawah sinar api itu nampak orang-orang berpakaian perajurit dan mereka berpakaian tambal-tambalan serba hitam. Tentara kerajaan Mongol dan orang-orang Hek I Kaipang!
Tiba-tiba Yen Yen mencengkeram lengan kiri Cu Goan Ciang. Pemuda ini terkejut dan menoleh. Dia melihat gadis itu tidak memandang kepadanya, melainkan ke depan agak kana. Dia mengikuti pandang mata itu dan alisnya berkerut. Jelas nampak seorang yang pakaiannya kembang-kembang! Anggota pengemis baju kembang! Dan agaknya Yen Yen mengenal orang itu. Sepasang mata gadis itu mencorong mengeluarkan sinar dan mulutnya terkatup tanda bahwa ia menahan kemarahan. Kemudian, tiba-tiba tangan kiri gadis ituu bergerak ketika si baju kembang lewat dalam jarak terdekat dari tempat persembunyian mereka. Terdengar pekik, lalu gaduh, dan Yen Yen sudah menarik tangannya, diajak menyusup pergi meninggalkan tempat itu.
Mereka terus berlari menyusup-nyusup, makin jauh meninggalkan lereng bukit dan suara gaduh itu semakin tak terdengar, juga sinar obor itu di tangan banyak orang itu makin tak nampak. Mereka berlari terus dan menjelang pagi, Yen Yen baru mengajak Siauw Cu berhenti di dalam sebuah gubuk di tepi sungai kecil. Tempat itu sunyi sekali dan agaknya gubuk ini memang merupakan tempat yang sudah amat dikenalnya. Gubuk itu nampak reyot dan tua, namun ketika mereka berdua masuk, ternyata rangkanya terbuat dari kayu yang kuat. Jelas ini sengaja dibuat oleh orang-orang Hwa I Kaipang untuk tempat istirahat atau sembunyi atau bermalam kalau perlu. Dalamnya kosong, akan tetapi di lantai terdapat banyak jerami yang bersih.
"Semalam kita tidak tidur. Kita harus tidur dulu melepas lelah dan mengumpulkan tenaga,"
Kata Yen Yen. Cu Goan Ciang memandang aneh.
"Ti....tidur...?"
Tanyanya sambil memandang ke arah tumpukan jerami. Gadis itu tertawa, tawanya bebas mengingatkan Goan Ciang kepada kakek Pek Mau Lokai, akan tetapi wajah gadis itu kemerahan, hal yang diketahui oleh pemilik wajah itu sendiri karena terasa mukanya panas dan jantungnya berdebar.
"Hushhh, maksudku, tidak tidur bergantian. Aku tidur dulu engkau berjaga di luar, nanti setelah aku terbangun, engkau mendapat giliran tidur dan aku yang berjaga di luar. Nah, keluarlah, aku mau tidur."
Setelah berkata demikian, gadis itu lalu menjatuhkan diri, rebah miring di atas tumpukan jerami! Goan Ciang melangkah keluar.
"Yen-moi dari sini kita akan ke mana....!"
Dari luar dia bertanya.
"Bukan waktunya bicara. Aku mau tidur, perlu beristirahat. Besok setelah kita memulihkan tenaga kita bicara sepuasnya!"
Kata Yen Yen dan iapun tidak mengeluarkan kata-kata lagi.
Diam-diam Goan Ciang tersenyum. Gadis ini luar biasa, pikirnya dan diapun teringat kepada Lee Siang. Teringat akan gadis kekasihnya itu, wajahnya menjadi muram dan alisnya berkerut. Akan tetapi, dia mengepal tinju. Tidak! Aku tidak boleh menjadi laki-laki cengeng! Aku harus mengalahkan semua kelemahan i ni, pikirnya. Dia bercita-cita besar, apa akan jadinya dengan cita-citanya kalau urusan kematian kekasih saja membuat dia terkulai lemas? Dan apa gunanya disusahkan? Dia harus berani menghadapi kenyataan.
Lee Siang sudah me ninggal dunia dan agaknya itulah yang terbaik bagi Lee Siang. Kalau ia masih hiduppun, aib dan penghinaan itu akan menghantui kehidupan selanjutnya, akan selalu merasa hina, rendah, kotor. Dia mengenal watak Lee Siang yang gagah dan keras. Banyak persamaan Yen Yen dengan Lee Siang. Hanya bedanya, Yen Yen benar-benar keras seperti baja, sedangkan Lee Siang masih memiliki kelemahan, yaitu amat setia dan penurut terhadap sucinya pada hal sucinya adalah seorang wanita yang amat kejam dan jahat.
Lega hatinya kalau mengingat betapa dia telah membuntungi sebelah lengan Liu Bi. Setidaknya dia sudah dapat sedikit membalas kematian Lee Siang. Akan tetapi, tidak perlu berpikir tentang urusan pribadi, demikian dia mencela diri sendiri. Dia teringat akan percakapannya dengan Pek-mou Lo-kai. Memang, kalau dia benar-benar hendak berjuang, dia harus mengesampingkan semua urusan pribadi, mementingkan urusan perjuangan. Dan dia akan berjuang sekuat tenaga, demi....demi apa? Mulutnya tentu akan mudah mengatakan demi tanah air dan bangsa, membebaskan mereka dari cengkeraman penjajah! Akan tetapi ada bisikan di hatinya yang sesungguhnya amat dibencinya.
Bisikan lirih itu berkata bahwa dia berjuang demi mencapai puncak kekuasaan! Dia akan menunjukkan kepada dunia bahwa dia, anak dusun yang yatim piatu dan miskin, gelandangan yang tidak mempunyai rumah, dia dapat menjadi orang yang paling hebat di dunia ini, paling berkuasa! Dia berpegang kepada cita-cita ini, melekat dengan cita-cita ini sehingga dia dengan mudah dapat melupakan Lee Siang dan yang lain-lain. Biarlah Lee Siang mati sebagai pupuk bagi tercapainya cita-cita! Dan diapun duduk bersila di luar gubug itu, tidak berani tidur sama sekali, melainkan waspada menjaga kalau-kalau ada ancaman bahaya bagi mereka, yaitu dia dan Yen Yen.
Matahari mulai memuntahkan cahanya, menggugah ayam-ayam jantan dan burung-burung yang berkeruyuk dan berkicau dengan gembira menyambut datangnya fajar. Sudah kurang lebih dua jam Yen Yen tidur dan mendengar keruyuk ayam jago, dara yang peka inipun terbangun. Ia bangkit duduk, menggeliat, menguap, lalu meraih buntalan pakaian yang tadi ia pergunakan sebagai bantal, lalu bangkit berdiri dan melangkah keluar. Mendengar langkah lembut itu, Goan Ciang menoleh dan melihat Yen Yen yang rambutnya masih awut-awutan, namun kebetulan ia berdiri menghadap ke timur sehingga cahaya kemerahan jatuh ke mukanya, membuat ia nampak cantik jelita seperti dewi pagi, Goan Ciang memandang terpesona. Akan tetapi, cepat dia dapat menekan perasaannya dan bangkit berdiri.
"Kau sudah bangun?"
Yen Yen mengangguk, sebetulnya masih merasa sayang meninggalkan jerami empuk dan hangat itu, akan tetapi ia berkata.
"Sekarang giliranmu tidur, aku berjaga di luar."
Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi aku....."
"Sudahlah, cepat tidur, pulihkan tenagamu, mungkin kita memerlukannya nanti."
Goan Ciang tersenyum mendengar nada memerintah dalam ucapan itu dan seperti seekor anak domba penurut, diapun memasuki gubuk, diikuti pandang mata gadis itu yang tersenyum. Ketika tiga jam kemudian gadis itu menggugahnya dengan panggilan dari luar, Goan Ciang terbangun.
"Cu-toako, bangun! Sudah siang, engkau sudah cukup tidur! Kita harus melanjutkan perjalanan kita!"
Agaknya sudah berkali-kali gadis itu memanggilnya sehingga dalam suara itu terkandung nada jengkel.
"Baik, aku sudah terbangun!"
Kata Goan Ciang, menggeliat dengan enaknya mengurisr semua rasa lelah dan pegal-pegal pada sendi-sendi tulangnya.
Dia menggosok-gosok kedua matanya dengan punggung tangan, lalu merapikan rambutnya dengan kedua tangan, bangkit berdiri dan melangkah keluar. Begitu tiba di luar, dia terkejut bukan main. Tidak nampak Yen Yen di situ, melainkan seorang pemuda remaja yang pakaiannya seperti pemuda petani desa, pakaian butut dan muka serta tangannya tidak bersih, kepalanya tertutup caping petani butut pula.
"Heiii! Siapa engkau dan di mana nona yang tadi duduk di sini?"
Bentak Cu Goan Ciang, siap untuk menyerang karena dalam keadaan seperti itu, kecurigaan telah mencengkeram hatinya. Pemuda remaja yang seperti petani lugu itu nampak ketakutan, membungkuk-bungkuk dan berkata suara gemetar.
"Jangan marah, tuan...."
"Cepat katakan siapa engkau dan di mana nona tadi, atau....akan kuhajar engkau! Cepat jawab!!"
Melihat orang itu ketakutan, kecurigaan hati Goan Ciang menjadi-jadi sehingga dia menggertaknya agar cepat mengaku karena dia khawatir telah terjadi sesuatu dengan Yen Yen. Pemuda itu menjadi semakin takut mendengar ancaman Goan Ciang. Dia menjatuhkan diri berlutut.
"Ampun, kongcu, ampun tai-hiap....harap jangan pukul saya....ampun....."
"Tolol, cepat jawab, pertanyaanku tadi!"
Goan Ciang membentak dengan marah.
"Nona...nona tadi telah pergi dan meninggalkan pesan untuk saya katakan kepadamu..."
"Hayo katakan, apa pesan itu!"
Bentak pula Goan Ciang tak sabar lagi.
"Pesan nona adalah bahwa matahari telah naik tinggi akan tetapi kalau tidak dibangunkan, taihiap belum bangun itu tandanya taihiap malas, dan taihiap tidak mengenalnya, itu tandanya taihiap bodoh!"
"Hah....??"
Goan Ciang marah sekali dan maju hendak memukul, akan tetapi dengan gerakan kilat, pemuda dusun itu sudah menyerangnya lebih dahulu dengan sebatang tongkat!"
"Ehhh....??"
Goan Ciang cepat mengelak, akan tetapi tongkat itu menyerangnya bertubi-tubi dengan gerakan yang amat dahsyat, dan dia segera mengenal ilmu tongkat yang hebat itu. Itulah ilmu tongkat yang kemarin dimainkan oleh Yen Yen untuk menyerangnya! Diapun cepat memainkan Sin tiauw wu ciang hota untuk melindunginya, danbaru setelah dia memainkan ilmu ini, pemuda dusun itu terdesak dan akhirnya meloncat ke belakang, agak terhuyung.
"Kenapa engkau menyerangku? Siapa engkau?"
Tanyanya, mengira bahwa pemuda ini tentu seorang murid lain dari Pek Mau Lokai yang lihai sekali, tidak kalah lihai dibandingkan Yen Yen.
"Hemm, bukankah kakek memsan kepadaku agar mengajakmu berlatih untuk kemajuan ilmuku?"
Terdengar suara Yen Yen dan Goan Ciang kini terbelalak memandang pemuda remaja itu yang tertawa lepas di depannya, tawa khas Yen Yen!
"Yen-moi! Kau...? Ih, apa-apaan engkau ini? Menyamar seperti ini dan mempermainkan aku...."
"Toako, aku telah dikenal banyak orang, kalau tidak menyamar tentu dalam waktu setengah hari saja memasuki sebuah dusun atau kota aku akan dikenal dan ditangkap. Dan aku tidak mempermainkanmu, hanya untuk menguji apakah penyamaranku cukup baik."
"Wah, baik sekali, Yen-moi. Sungguh mati, sedikitpun aku tidak pernah mengira bahwa engkaulah pemuda remaja dusun yang ketolol-tololan dan penakut ini! Engkau memang hebat!"
"Pemuda"
Yang nampak masih muda sekali itu tertawa.
"Sudah, simpan pujianmu itu dan cepat mandi. Di sana ada sumber air jernih dan ini aku membawakan pengganti pakaian untukmu."
Dari buntelan pakaiannya, Yen Yen mengeluarkan satu stel pakaian berwarna biru terbuat dari kain yang kuat dan bentuknya sederhana, seperti pakaian yang biasa dipakai orang dusun. Akan tetapi pakaian itu bersih sekali. Wajah Goan Ciang berubah kemerahan.
"Aih, aku menyusahkanmu saja, Yen-moi. Akan tetapi, di tempat sunyi ini, dari mana engkau bisa mendapatkan pengganti pakaian untukku?"
Dia mengamati wajah Yen Yen dan diam-diam merasa kagum dan geli. Setelah ini dia tahu bahwa "pemuda"
Itu adalah Yen Yen, maka dari muka yang nampak kotor itu, dia dapat mengenal wajah Yen Yen.
"Tentu saja tidak mungkin mendapatkan pakaian di sini! Aku memang sengaja membawanya, kumintakan dari seorang di antara anggota kita yang kebetulan membawa bekal pakaian dan yang bentuk tubuhnya sama denganmu. Sudahlah, cepat mandi dan berganti pakaian, kita harus melanjutkan perjalanan."
"Ke mana....."
"Nanti saja! Mandi dulu!"
Kata Yen Yen dengan sikap seorang ibu membentak anaknya yang banyak rewel.
Goan Ciang pergi ke sumber air yang memang airnya bening itu. Dia segera menanggalkan pakaiannya dan mandi, menggosok-gosok bersih debu yang menempel di kulit tubuh bersama keringat. Tangannya menggosok dengan batu halus, mulutnya bersiul dan matanya ber sinar-sinar, hatinya merasa gembira bukan main. Tiba-tiba siulnya terhenti dan dia termenung. Betapa mudahnya dia melupakan Lee Siang! Akan tetapi, segera dia mengusir penyesalan ini. Untuk apa berduka terus mengenangkan seorang yang sudah mati? Tidak, masa depan yang harus dipandangnya, cita-citanya.
Masa lalu sudah mati dan lewat, tidak boleh mengganggu ketenteraman hatinya. Kini bukan lagi Lee Siang yang harus dikenang, melainkan Yen Yen! Gadis inipun hebat, seperti Lee Siang, bahkan lebih lagi. Dengan Yen Yen di sampingnya, dia akan mampu berbuat banyak! Diapun bersiul lagi dan melanjutkan mandinya sehingga dia merasa segar lahir batin dan setelah mencuci pakaiannya, dia kembali ke gubuk dengan pakaian bersih yang ukurannya pas dengan tubuhnya. Yen Yen menyambutnya dengan perintah.
"Twako, duduklah di atas batu ini dan jangan bergerak-gerak."
Dengan heran Goan Ciang duduk dan melihat gadis itu menghampirinya dengan sebuah kotak kecil di tangan. Ketika gadis itu berjongkok di depannya dan mengamati wajahnya dari jarak dekat sehingga dia dapat merasakan hembusan napas gadis itu mengusap pipinya, dia semakin heran.
"Hemm, apa lagi ini, Yen-moi?"
Akhinrnya saking tak tahan untuk mengetahui, dia bertanya.
"Aku sedang mempelajari bentuk mukamu, apa kiranya yang paling menonjol dan mudah diingat orang,"
Jawab Yen Yen. Goan Ciang tidak mengerti dan semakin heran, juga agak rikuh karena gadis itu mengamati wajahnya seperti orang mengamati dan menilai sebuah benda yang aneh!
"Apa sih maksudmu?"
Tanyanya, alisnya berkerut.
"Alismu! Benar, alismu mempunyai bentuk istimewa, harus diubah!"
"Apa? Apa maksudmu?"
"Toako, semua orang akan mengenalmu. Bahkan gambarmu dipasang di mana-mana sebagai seorang buruan. Apakah engkau senang dengan keadaan ini? Kita tidak akan dapat bergerak dengan leluasa. Engkaupun seperti aku, harus menyamar."
"Hemm, itukah maksudmu! Kenapa tidak bilang sejak tadi? Akan tetapi, aku tidak pernah menyamar dan...."
"Serahkan saja kepadaku. Bukankah engkau tadi tidak mengenalku? Aku ahli menyamar, dan kalau aku sudah selesai dengan wajahmu, bahkan orang yang paling dekat denganmu tidak akan mengenalmu lagi."
"Kau hendak mencoreng moreng mukaku?"
"Tidak. Penyamaran dengan mencoreng moreng muka adalah penyamaran kasar dan bodoh, hanya dilakukan para pemain wayang di panggung, dengan bedak tebal, gincu dan sebagainya. Nah, duduklah diam. Aku akan mengubah sedikit bentuk alismu yang seperti bentuk golok itu."
Goan Ciang maklum akan kebenaran pendapat Yen Yen. Memang dia akan dikenal orang di mana-mana karena pemerintah Mongol telah memasang gambarnya sebagai seorang buronan. Dan dia tentu tidak akan leluasa bergerak. Maka, diapun pasrah saja. Akan tetapi, melihat wajah gadis itu demikian dekat dengan wajahnya, walaupun itu sudah seperti wajah seorang pemuda, membuat dia merasa canggung dan untuk mengatasi getaran jantungnya, diapun memejamkan matanya. Dia tadi melihat gadis itu mengambil alis mata palsu, dengan bulu rambut alis yang aseli, menggunakan gunting dan merasa setelah dia memejamkan mata betapa gadis itu membongkar dan menambah rambut alisnya, menggunakan semacam getah sebagai alat penempel. Bentuk alisnya diubah, mungkin dipertebal dan diperpanjang.
"Alis tambahan ini akan melekat terus, biar kau gosok dan cuci dengan airpun tidak akan dapat lepas, kecuali kalau kaucabuti. Itupun mungkin akan membuat kulinya terluka dan berdarah. Satu-satunya cara untuk melepas alis palsu itu adalah menggunakan semacam minyak jarak yang ada padaku. Nah, sekarang giliran alismu sudah berubah. Matamu juga harus diubah bentuknya."
Goan Ciang terkejut.
"Ihh! Apakah mataku akan kausayat-sayat pelupuknya?"
Gadis itu tertawa dan Goan Ciang memejamkan mata lagi untuk melihat kilatan gigi putih seperti mutiara berderet, ujung lidah yang merah dan rongga mulut yang lebih merah lagi.
"Tentu saja tidak! Matamu terlalu lebar, mudah diingat orang. Kalau ujungnya diberi sedikit goresan, akan nampak sipit seperti mata orang kebanyakan."
Gadis itu kini menggunakan pena bulu dengan semacam tinta hitam yang tidak dapat luntur, membuat garis di kedua tepi mata Goan Ciang. Seperti seorang pelukis, ia membuat garis hitam, lalu mundur untuk melihat hasilnya, mencoret lagi sampai akhirnya ia menghela napas lega dan puas.
"Bagus, sekarang bentuk matamu sudah berubah. Garis hitam di tepi matamu inipun tidak akan hilang oleh air, akan tetapi jangan digosok terlalu kuat kalau engkau mandi atau mencuci muka, terutama jangan dengan air panas. Sekarang, coba kulihat apa lagi yang perlu diubah agar wajahmu benar-benar kehilangan jejak bentuk lamanya."
Sekarang Goan Ciang sudah menyerah benar-benar. Jari-jari tangan yang terasa halus dan hangat itu meraba-raba mukanya, membuat dia memejamkan mata dan merasa nyaman sekali, membuatnya mengantuk lagi!
"Hemm, coba kulihat. Telingamu tidak menyolok, seperti telinga orang biasa, akan tetapi dahimu terlalu lebar dan bentuknya mengandung wibawa, sebaiknya ditambah rambut di depan sehingga akan nampak lebih kecil. Kemudian, kalau ada kumis dan jenggot, ditambah sedikit cambang, dan bentuk gelung rambutmu diubah, hemm, tak seorangpun akan mengenalmu lagi, toako!"
Gadis itu nampak gembira lalu mengerjakan semua rencananya itu. Menempel sana menempel sini dan dalam waktu kurang dari sejam, kini Goan Ciang telah berkumis, berjenggot dan cambangnya memanjang sampai ke pipi, dahinya tidak selebar tadi, matanya sipit dan alisnya tebal panjang!
"Nah, coba kau periksa wajahmu sendiri, masih kurang apa untuk mengubahnya menjadi lain sama sekali."
Gadis itu mengeluarkan sebuah cermin kecil bundar dan menyerahkannya kepada Goan Ciang. Ketika Goan Ciang melihat wajahnya sendiri dalam cermin, dia tertegun. Mukanya berubah merah. Dia seperti melihat seorang laki-laki lain, wajah yang tidak disukanya, dalam cermin itu! Dengan cambang, kumis dan jenggot, matanya sipit dan alis tebal, apa lagi dahi sempit itu dia kelihatan kejam dan licik!
"Ihh! Tampanku seperti seorang bandit!"
Serunya.
Gadis itu tertawa senang. Makin kaget dan marah Goan Ciang, akan makin senanglah hatinya karena hal itu membuktikan bahwa pekerjaannya berhasil baik.
"Bagus, penyamaranmu sempurna, Hung-toako!"
Katanya seperti bersorak.
"Hung-toako? Apa lagi ini?"
"Toako, tentu saja namamu harus diganti. Mulai sekarang engkau bernama Hung Wu dan aku menyebutnya Hung-toako (kakak Hung), sedangkan engkau menyebut aku Yen-te (adik Yen). Nama Yen adalah nama umum, aku tidak perlu mengganti nama sama sekali, cukup dengan nama Siauw Yen (Yen kecil) saja. Lebih mudah bagimu, bukan?"
Diam-diam Goan Ciang kagum bukan main. Gadis ini memikirkan segala hal. Seorang gadis yang amat cerdik, dan sekarang dia tidak merasa heran mengapa seorang kakek bijaksana seperti Pek-mou Lo-kai menyerahkan kepemimpinan perkumpulan besar seperti Hwa I Kaipang kepada seorang gadis! Kiranya gadis ini memang cerdik sekali.
"Baiklah, Yen-te. Sekarang, kita akan ke mana?"
"Memasuki kota Nan-king?"
Goan Ciang membelalakkan matanya, tidak menyadari betapa lucunya ketika dia terbelalak sehingga gadis yang berubah menjadi pemuda remaja itu tertawa terpingkal-pingkal sehingga kotak alat penyamaran yang dipegangnya terlepas, kotaknya terjatuh, tutupnya terbuka dan isinya berantakan. Sambil mengambili isi kotak, Yen Yen masih tertawa terpingkal dan kadang memegangi perutnya.
"Siauw Yen! Apa sih yang kau tertawakan sampai setengah mati begitu?"
Tanya Goan Ciang.
"Toako, ingat, jangan sekali-kali engkau membelalakkan matamu seperti tadi. Aku pasti tidak dapat menahan untuk tidak tertawa terpingkal-pingkal. Kalau matamu yang berubah sipit itu kaubelalakkan, aduh, sungguh lucu sekali, mengingatkan aku akan seorang badut di panggung wayang yang pernah kutonton ketika aku berkunjung ke kota raja Peking."
"Hemm, engkau hendak mempermainkan dan mentertawakan aku?"
Kata Goan Ciang cemberut, marah karena dia dikatakan seperti badut.
"Maaf, toako. Maafkan adikmmu, ya? Sungguh mati, aku tidak bermaksud mentertawakanmu. Bahkan itu tandanya bahwa penyamaranmu amat baik. Nah, mari kita berangkat, toako, sekali lagi maafkan aku!"
Yen Yen memegang tangan pemuda itu dan menggandengnya. Lenyap seketika kemarahan dari hati Goan Ciang ketika mereka berjalan sambil bergandeng tangan.
"Yen-te, katakan, mau apa kita ke Nan-king? Bukankah tempat itu berbahaya sekali, penuh dengan pasukan keamanan dan mempunyai banyak perwira yang tangguh?"
"Kita harus menyelidiki para pengkhianat itu! Hek I Kaipang harus kita hancurkan! Merekalah yang mengkhianati kita. Para pengkhianat itu lebih berbahaya dari pada orang Mongol sendiri. Kalau orang Mongol, sudah jelas musuh kita. Akan tetapi para pengkhianat itu, merupakan musuh dalam selimut yang amat berbahaya. Aku lebih membenci mereka dari pada para penjajah itu sendiri."
"Hemm, itukah sebabnya engkau tadi membunuh anggotak Hwa I Kaipang yang agaknya mengkhianati kita dan melaporkan tentang pertemuan di bukit batu?"
Yen Yen mengangguk.
"Aku serang dia dengan pisau terbangku. Pengkhianat seperti dia tidak boleh diampuni. Kalau dia tidak terlambat, tentu malam tadi kita telah dikepung pasukan! Ini semua gara-gara Hek I Kaipang, dan para kaipang yang rela menjadi antek penjajah Mongol!"
"Akan tetapi, hanya kita berdua, apa yang dapat kita lakukan menghadapi mereka? Kakekmu sendiri sudah memperingatkan agar kita berhati-hati kalau berhadapan dengan para pemimpin Hek I Kaipang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Apa yang dapat kita lakukan? Menyerbu Hek I Kaipang dengan tenaga kita berdua saja?"
"Aih, toako, apakah engkau kira aku begitu bodoh? Tidak, aku belum ingin bunuh diri dan mati konyol. Kita menyelundup ke Nan-king dan kita mempelajari keadaan. Kita menyelidiki sampai di mana keakraban hubungan antara Hek I Kaipang dan para pembesar Mongol. Dengan penyamaran ini, kita dapat bergerak leluasa, menjadi dua orang pemuda yang datang dari dusun ke kota itu, untuk mencari pekerjaan, mencari pengalaman atau sekadar bertualang. Kita tidak akan dapat menyolok, tidak akan ada yang mencurigai kita."
Mereka melanjutkan perjalanan dan hati Goan Ciang merasa lega bahwa sejauh ini, Goan Ciang merasa lega bahwa sejauh ini, gadis yang luar biasa itu tidak pernah memperlihatkan dengan sikap, kata-kata maupun perbuatan tentang isi hatinya, yang oleh kakek Pek-mou Lo-kai dikatakan bahwa gadis itu telah memilih dia sebagai calon jodoh! Kita tinggalkan dulu Cu Goan Ciang dan Tang Hui Yen yang menyamar sebagai kakak beradik dari desa yang pergi ke kota Nan-king, dan mari kita mengikuti perjalanan pemuda Shu Ta, sute dari Cu Goan Ciang. Pemuda murid Lauw In Hwesio ini melakukan perjalanan seorang diri. Shu Ta juga seperti Cu Goan Ciang, yatim piatu dan hidup sebatang kara di dunia ini. Usianya sebaya dengan suhengnya, sekitar dua puluh tahun.
Akan tetapi pemuda yang tampan ini memiliki kecenderungan untuk brewok. Kumis dan jenggot serta cambangnya tumbuh dengan subur memenuhi setengah wajahnya yang tampan. Karena merasa belum pantas memelihara kumis jenggot, maka dia sering kali mencukurnya, akan tetapi baru dicukur beberapa hari saja sudah nampak rambut yang subur itu tumbuh lagi. Berbeda dengan Goan Ciang yang agak pendiam, Shu Ta ini orangnya cerdik dan lincah, banyak akalnya. Ketika dia berpisah dari suhengnya, selama beberapa jam melakukan perjalanan seorang diri, perasaan hatinya tertekan, seolah dia merasa kehilangan.
Sejak kecil, dia berada di kuil Siauw-lim-si, menjadi kacung kuil sampai dia bertemu dengan Goan Ciang, belajar silat bersama. Kemudian mereka berdua meninggalkan kuil untuk mencari pengalaman, dan bersama-sama menundukkan keluar Ji dan keluarga Koa di dusun Cang-cin sehingga kedua keluarga yang tadinya menjadi penindas rakyat itu berbalik kini menjadi dermawan dan pelindung rakyat di dusun itu. Kalau Cu Goan Ciang dari dusun itu pergi ke kota Wu-han, maka Shu Ta pergi menuju ke kota Nan-king. Dia tidak menolak ketika hendak meninggalkan dusun itu dia diberi bekal oleh dua orang kakak beradik Koa. Dia memang membutuhkan biaya dalam perjalanan, sebelum dia mendapatkan pekerjaan untuk membiayai kehidupannya sehari-hari. Dan bekal yang diterimanya itu cukup untuk membiayainya melakukan perjalanan ke kota Nan-king. Dahulu, ayah dan ibunya pernah tinggal di kota besar ini.
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo Nona Berbaju Hijau Karya Kho Ping Hoo