Sakit Hati Seorang Wanita 1
Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 01
"NONA MANIS, hendak ke manakah?"
Pemuda yang menegur itu bertubuh tinggi kurus berwajah tampan dan dari pakaiannya mudah diketahui bahwa dia seorang pemuda yang beruang. Usianya hampir tiga puluh tahun dan dari pandang matanya dan senyumnya, dapat pula diduga bahwa dia tentu seorang pria yang sudah biasa berhadapan dengan wanita. Dua orang laki-laki lain, agaknya pengikut-pengikutnya, yang usianya sebaya, tersenyum lebar melihat betapa orang itu berlagak dan menegur gadis itu. Gadis itu tidak menjawab, melirikpun tidak dan melanjutkan perjalanannya. Ia melangkah dengan cepat tanpa menoleh, membawa keranjangnya yang terisi seekor ayam dan sayur-sayuran yang baru saja dibelinya dari pasar.
"Adik cantik, siapakah namamu!"
Dara itu tetap berjalan tanpa menoleh. Ia seorang dara berusia lima belas dan enam belas tahun, bagaikan setangkai bunga sedang mulai merekah, belum mekar sepenuhnya, namun dalam keadaan seperti itu ia memiliki daya tarik tersendiri yang amat kuat. Tubuhnya sedang, ramping dan padat. Langkahnya nampak lemah gemulai namun gesit dan bertenaga, lekuk lengkung tubuh mulai nampak walaupun belum menonjol sekali. Dari kulit muka, leher dan tangannya dapat diketahui bahwa ia memiliki kulit yang putih kekuningan, halus mulus dan sehat kemerahan. Rambut kepalanya hitam, lebat dan panjang, dikuncir dua dan kuncir-kuncir itu bergantungan di kanan kiri. Anak rambut yang berjuntai halus di sekitar dahi dan tengkuknya melingkar hangat. Sepasang alisnya hitam sekali seperti dipulas, kecil panjang melengkung, membuat kulit pelupuk mata lebih putih nampaknya daripada kedua pipi yang segar kemerahan itu.
Sepasang matanya bersinar lembut, jeli dan jernih, agak lebar dan biasanya agak tajam akan tetapi saat itu sinar matanya menunduk, diliputi rasa takut dan malu. Hidungnya kecil mancung, ujungnya agak berjungkit ke atas memberi kesan lucu dan nakal. Akan tetapi mulutnya mungkin memiliki daya tarik paling kuat. Sepasang bibir merah tanpa gincu itu selalu nampak basah dan penuh, kulit bibirnya demikian tipis seolah-olah hanya terisi darah dan kalau tergigit sedikit saja tentu akan muncrat darahnya, mulut yang membayangkan kegairahan dan menjanjikan kenikmatan yang tak terbatas.
Deretan gigi kecil dan putih berkilau kadang-kadang nampak, dan dalam kegelisahannya, kadang-kadang nampak di ujung lidah yang kecil merah mencuat menjilat bibir. Dagunya meruncing dan ada tahi lalat kecil hampir tak nampak di dagu itu. Seorang perempuan yang cantik jelita, molek dan manis, yang belum matang benar, namun jelas mudah dilihat bahwa ia adalah seorang calon perempuan yang sebentar lagi akan mekar sepenuhnya dengan segala keindahan dan keharumannya.
"Nona manis, di manakah rumahmu?"
Pertanyaan bertubi-tubi dari laki-laki bersama dua orang temannya yang terus mengikut inya itu tak pernah dijawabnya, bahkan sama sekali tidak diperdulikan. Mulutnya yang indah itu kini agak cemberut, akan tetapi tidak mengurangi kemanisan wajahnya. Sepasang mata yang jeli itu, yang
tadinya menunduk malu, kini mulai melirik tajam dan mengandung kemarahan.
"Adik manis, kau jalan sendirian, bolehkah kuantar pulang?"
Ketika dara itu tidak menjawab dan bahkan mempercepat langkahnya, seorang di antara dua pengikut itu terkekeh.
"Aih, kongcu, jangan-jangan dia tidak bisa bicara!"
Laki-laki yang disebut kongcu (tuan muda) itu juga terkekeh.
"Heh-heh, masa? Sayang, ah, kalau seorang gadis yang begini cantik jelita seperti bidadari ternyata gagu. Tapi, biar gagu juga, aku tetap cinta, ha-ha!"
Setelah berkata demikian, orang itu mengeluarkan suara "ah-ah-uh-uh"
Dan membuat gerakan-gerakan seperti orang gagu kalau hendak bicara, diketawai oleh dua orang temannya. Karena orang itu kini berjalan sambil mundur di depan gadis itu, menghadang dan membuat gerakan-gerakan seperti orang gagu, gadis itu mengerutkan alisnya dan berhenti me langkah.
"Mau apakah engkau mengganggu orang di tengah jalan?"
Bentaknya dengan suara ketus.
Laki-laki itu tersenyum menyeringai dan memasang aksi yang dianggapnya paling menguntungkan, yaitu lagak yang biasa dipasang di depan wanita-wanita yang dirayunya. Dia menjura dengan sopan dibuat-buat, lalu berkata dengan senyum ramah.
"Maaf, nona, bukan maksudku untuk mengganggu, melainkan melihat nona, hatiku terpikat dan ingin sekali aku berkenalan......"
Pandang mata, senyum dan kata-kata merayu itu bukan menarik hati gadis remaja itu, bahkan mengejutkannya.
"Tidak, aku tidak ingin berkenalan!"
Katanya dan iapun menyelinap hendak melewati orang yang menghadangnya itu. Akan tetapi, dua orang teman laki-laki itu sudah menghadang pula di depannya dan seorang di antaranya berkata dengan suara lantang, agaknya sengaja agar didengar oleh orangorang lain yang tertarik oleh peristiwa ini dan berhenti menonton.
"Nona agaknya belum tahu dengan siapa nona berhadapan. Pemuda yang mengajak berkenalan ini adalah tuan muda Pui Ki Cong, putera dari kepala jaksa yang baru di Thian-cin. Beliau ingin berkenalan dengan nona, ini merupakan kehormatan besar bagi nona."
"Aku tidak perduli dia siapa dan anak siapa, aku tidak mau berkenalan!"
Kata dara itu dan iapun melangkah terus. Akan tetapi tiba-tiba yang diperkenalkan sebagai Pui Ki Cong putera kepala jaksa yang baru itu sudah berdiri di depannya sambil tersenyum menyeringai seperti seekor kuda.
"He-he, nona manis, jangan berlagak jual mahal!" katanya dan tangannya dengan sikap kurang ajar sekali mencolek ke arah dagu yang bertahi lalat kecil itu.
"Dukk..... plakkk!!"
Lengan kiri gadis itu menangkis tangan yang hendak mencolek dagunya dan tangan kanannya sudah menyambar ke depan dan menampar pipi itu dengan keras sekali.
"Aduhhh.....!"
Pui Ki Cong terhuyung ke belakang, tangan kirinya mengusap-usap pipi yang menjadi bengkak dan matang biru sedangkan dari ujung bibirnya mengalir darah karena sebuah giginya hampir copot dan mengeluarkan darah. Gerakan gadis remaja itu cepat bukan main dan tenaga tamparan tangannya juga kuat, sama sekali di luar dugaan karena tidak sesuai dengan tangannya yang berkulit halus dan terbentuk kecil itu.
"Eh, berani kau memukul kongcu kami?"
Dua orang teman putera jaksa itu marah sekali melihat betapa majikan muda mereka ditampar, dan mereka berdua lupa bahwa mereka berhadapan dengan seorang dara remaja. Mereka sudah langsung saja menyerang dan memukul ke arah dada dan kepala gadis itu. Akan tetapi, akibatnya sungguh di luar dugaan dua orang itu. Dengan tenang gesit sekali dara itu berhasil menghindarkan diri dari serangan mereka dan ketika ia membalas dengan kecepatan kilat, tangan kirinya sudah menampar ke arah kepala dan kaki kirinya juga melayang dan menendang dada orang ke dua. Dua orang itu mengaduh dan terpelanting, yang seorang menjadi pening kepalanya dan mengeluh kesakitan, sedangkan orang ke dua memegangi dada yang terasa nyeri dan sesak napasnya. Dara itu tidak memandang lagi kepada mereka, cepat mengumpulkan sayur dan ayam yang tumpah dari dalam keranjang, kemudian membawa keranjangnya dan cepat pergi dari situ setengah berlari.
"Kejar dara itu! Tangkap..... pukul....!"
Pui Ki Cong berteriak-teriak dengan marah kepada dua orang temannya. Akan tetapi dua orang itu masih kesakitan. Banyak orang menonton peristiwa itu dan mereka mengenal siapa adanya pemuda tinggi kurus itu, seorang pemuda bangsawan, putera kepala jaksa yang baru tiba di Thian-cin dan biarpun masih baru tinggal di Thian-cin, namanya sudah terkenal sekali sebagai seorang pemuda yang amat nakal. Pui Ki Cong dikenal sebagai seorang pemuda yang suka berkeliaran, membawa tukang-tukang pukul, suka pelesir dan main perempuan sehingga terkenal sekali di semua kompleks pelacuran sebagai seorang kongcu hidung belang yang kantongnya padat dan royal. Akan tetapi dia juga terkenal sebagai seorang laki-laki yang suka mengganggu perempuan baik-baik, suka mengganggu gadis-gadis dan bahkan isteri-isteri orang. Karena itu, ketika banyak orang melihat betapa kongcu itu ditampar dan dua orang tukang pukulnya dihajar oleh seorang gadis, diam-diam mereka merasa gembira sekali walaupun pada lahirnya, tak seorangpun berani memperlihatkannya.
Akan tetapi, selalu saja di antara banyak orang terdapat penjilat-penjilat. Pui Ki Cong adalah putera kepala jaksa yang berkuasa-dan berpengaruh, juga kaya raya, maka tidak kurang jumlahnya orang-orang yang suka menjilat dan bermuka-muka kepada keluarganya. Oleh karena itu, di antara banyak orang yang berkerumun itu ada pula yang cepat menghampiri tiga orang itu dan membantu mereka bangkit, dan seorang laki-laki tua yang mendekati Pui Ki Cong berkata,
"Kongcu, harap jangan dikejar. Gadis itu lihai dan juga saudara-saudara seperguruannya lihai."
Pui Ki Cong terkejut mendengar ini. Dia memandang orang tua itu dan bertanya.
"Siapakah gadis itu? Dan tinggal di mana?"
"Namanya Kim Cui Hong, kongcu. Ia puteri tunggal guru silat Kim Siok yang tinggal di dusun di selatan kota Thian-cin, yaitu dusun Ang-ke-bun. Kim-kauwsu (guru silat Kim) lihai dan mempunyai banyak murid yang lihai. Maka, kalau kongcu mengejarnya ke sana, akan berbahaya bagi keselamatan kongcu."
Pui Ki Cong mendengus.
"Hemm, guru silat kampungan. Lihat saja pembalasanku nanti. Hayo kita pulang!"
Bentaknya kepada dua orang temannya dan mereka segera kembali ke Thian-cin.
Sementara itu, dengan jantung berdebar penuh rasa marah, malu dan tegang, gadis remaja itu berlari menuju ke dusun Ang-ke-bun yang sudah nampak temboknya. Wajahnya yang manis itu masih cemberut dan marah sekali, bukan hanya merah karena panas tubuhnya dipakai berlari, melainkan terutama sekali karena panas hatinya. Semenjak kecil, Kim Cui Hong ini hidup bersama ayahnya yang sudah menduda sejak ia berusia lima tahun, la dididik ilmu silat oleh ayahnya, bersama belasan orang murid ayahnya. Di antara murid ayahnya yang kesemuanya laki-laki, hanya ada seorang saja yang dididik sejak kecil bersama-sama ia, yaitu Can Lu San yang tiga empat tahun lebih tua darinya, dan menjadi satu-satunya suhengnya.
Yang lain, biarpun banyak di antaranya yang usianya lebih tua, termasuk para sutenya (adik seperguruannya). Cui Hong belum pernah diganggu laki-laki seperti yang dialaminya tadi. Memang, sejak satu dua tahun yang lalu semenjak ia menjadi remaja dan menjelang dewasa, semenjak masa kanak-kanaknya mulai ditinggalkannya, pandang mata kaum pria terhadap dirinya dirasakan lain, aneh dan membuatnya kadang-kadang gugup dan bingung. Akan tetapi, belum pernah ada orang laki-laki berani mengganggunya dengan kata-kata atau sikap yang kurang ajar. Bagaimanapun juga, di dusun Ang-ke-bun nama ayahnya sebagai seorang guru silat sudah dikenal orang, maka siapakah berani kurang ajar kepada isterinya? Bahkan kota Thian-cin yang besarpun sudah mengenal nama Kim-kauwsu.
Akan tetapi, sungguh tak disangkanya sama sekali, ketika pada pagi hari itu ia pergi berbelanja ke kota Thian-cin, ia diganggu orang yang kurang ajar! Hatinya memang merasa puas bahwa ia sudah dapat menampar muka pemuda jangkung itu, dan menghajar dua orang temannya, akan tetapi tetap saja hatinya masih panas oleh kemarahan.
Tidak biasanya Cui Hong marah-marah. Ia seorang gadis yang berwatak gembira, lincah, Jenaka dan jarang marah. Akan tetapi sekali ini, ada perasaan aneh yang mendatangkan bayangan mengerikan ketika ia diganggu tiga orang itu, yang membuatnya marah bukan main. Kalau saja ia tidak ingat akan pesan-pesan ayahnya bahwa ia tidak boleh mempergunakan kepandaian silatnya untuk mencelakai orang, melukai apalagi membunuh, agaknya ia tadi akan memberi hajaran yang lebih keras kepada tiga orang itu! Terutama sekali kepada pemuda yang bernama Pui Ki Cong itu, yang katanya putera kepala jaksa! Ia tidak tahu benar apa arti kedudukan jaksa, yang diduganya hanyalah sebuah jabatan yang membuat orangnya menjadi kaya raya saja.
Perasaan yang mengancam hatinya itu membuat ia memasuki dusun tanpa menengok ke kanan kiri, bahkan ketika ia memasuki pekarangan rumah ayahnya, ia tidak tahu bahwa seorang pemuda yang sedang membetulkan pagar pekarangan itu yang rusak, memandangnya dengan sinar mata aneh.
"Heiii, sumoi, engkau seperti dikejar-kejar setan saja!"
Pemuda itu bangkit, dan menegur, suaranya lantang dan sinar matanya berseri ketika dia memandang wajah gadis yang segar kemerahan itu.
Baru Cui Hong menengok dan melihat pemuda itu dan iapun berhenti ber lari. Dengan sehe lai saputangan, diusapnya peluh dari dahi dan lehernya.
"Uhhh, panasnya...,"
Ia mengeluh untuk menentramkan hatinya.
"Apakah terjadi sesuatu, sumoi?"
Tanya pula Can Lu San, pemuda Itu sambil memandang dengan sinar mata membayangkan kekaguman. Senang hati Cui Hong melihat pandang mata itu. Sudah lama ia melihat sinar kekaguman itu memancar dari mata Lu San kalau suheng itu memandangnya.
Ia tersenyum.
"Tidak ada setan yang mengejarku, suheng. Hanya aku khawatir kesiangan dan ayam ini ribut saja sepanjang jalan."
Lu San tertawa. Sikap sumoinya yang selalu periang itu mendatangkan kegembiraan kepada hatinya yang pendiam, seperti sinar matahari pagi menyinari sudut-sudut yang kosong dan gelap.
"Akan tetapi engkau berlari-lari sampai bermandi peluh dan lihat, mukamu sampai kemerahan seperti..... seperti....."
"Seperti apa, suheng?"
"Seperti buah tomat masak!"
"Wah, celaka aku. Kalau mukaku seperti buah tomat, akan lucu dan jelek sekali. Bulat dan gendut."
Mereka tertawa.
"Sumoi, kenapa engkau sendiri yang berbelanja? Pagi tadi aku sudah mencari suhu untuk menanyakan masakan apa yang dikehendaki agar dapat kubelanjakan ke Thian-cin. Eh, tahu-tahu engkau sudah mendahului aku."
"Memang aku mendahuluimu, suheng. Tidak apakan sekali-kali aku yang pergi berbelanja."
"Akan tetapi engkau kini sudah menjadi seorang gadis dewasa, sumoi. Dan kau tahu betapa tidak amannya sekarang ini bagi wanita dewasa untuk bepergian seorang diri."
Cui Hong menjebikan bibirnya yang merah basah itu ke arah suhengnya.
"Huh, aku dapat menjaga diri, suheng."
"Aku tahu, akan tetapi kalau suhu mengetahui bahwa engkau sendiri yang pergi berbelanja, jangan-jangan aku disalahkan, disangkanya aku malas dan menyuruh engkau."
"Tidak, suheng. Sekali ini memang aku ingin pergi, bukan hanya untuk melihat keramaian Thian-cin yang sudah beberapa pekan lamanya tidak pernah kukunjungi. Juga karena aku hari ini ingin masa k enak untuk ayahku."
"Eh, ada keistimewaan apakah hari ini?"
"Hari ini adalah ulang tahun ayah."
"Ahh! Kenapa suhu diam saja?"
"Sudah lama ayah tidak pernah mau mengingat lagi hari lahirnya, akan tetapi aku pernah bertanya kepadanya dan aku mencatat hari lahirnya. Selalu aku yang menyediakan masakan atau hidangan istimewa pada hari ulang tahunnya."
"Wah, engkau memang seorang anak yang baik dan berbakti, sumoi."
"Aihh, tak perlu memuji. Di balik pujianmu itu terkandung rasa girang karena engkaupun akan kebagian masakanku yang istimewa hari ini!"
Gadis ini lalu lar i memasuki rumah, meninggalkan Lu San yang memandang sambil tertawa dan sinar mata penuh kagum.
Sumoinya memang hebat! Sejak kecil dia bergaul dengan sumoinya, sejak sumoinya berusia lima tahun dan dia berusia sembilan tahun. Dia seorang anak yatim piatu yang diambil murid oleh ayah Cui Hong dan dia berangkat besar bersama dengan Cui Hong. Kinipun di dalam rumah itu hanya tinggal mereka bertiga. Murid-murid lain tidak ada yang tinggal di situ. Dan dia merasa gembira sekali karena biarpun suhunya belum pernah mengatakannya, namun dari sikap suhunya, dari kata-katanya, dia dapat menangkap maksud hati suhunya untuk menjodohkan puteri tunggal itu dengan dia! Dan baginya, tidak ada kebahagiaan melebihi bayangan ini. Hidupnya akan lengkap sepenuhnya kalau saja dia dapat menggandeng Cui Hong sebagai isterinya, untuk selama hidupnya.
Pada masa itu, kekuasaan Kerajaan Beng sudah berada di ambang pintu kehancuran. Kaisar sendiri, yaitu Kaisar Cung Ceng, kaisar terakhir Dinasti Beng demikian lemahnya dan berada dalam cengkeraman para Thai-kam (Pembesar Kebiri) yang menguasai istana. Kaisar menjadi boneka yang dipermainkan mereka. Menteri-menteri dan hulubalang tidak didengar nasehatnya dan kebanyakan dari mereka adalah koruptor-koruptor yang tidak peduli akan keadaan negara dan bangsa melainkan saling berlomba untuk menggendutkan perut sendiri. Pemberontakan terjadi di mana-mana dan rakyat hidup sengsara, menderita dan tidak terjamin keamanannya karena setiap orang pembesar mempergunakan kekuasaannya untuk bersimaharajalela, mengumbar nafsu mengandalkan kedudukan.
Kepala jaksa Pui yang baru saja beberapa bulan lamanya ditugaskan di Thian-cin, tidak mau ketinggalan dengan rekanrekannya dalam hal bermumpung. Mumpung menduduki jabatan, mumpung memegang kekuasaan, dia pandai mempergunakan kekuasaannya untuk kepentingan diri sendiri. Karena pengaruh uang sogokan yang amat besar jumlahnya, yang benar bisa saja dituntut dan dibikin salah, sebaliknya yang bersalah menjadi benar dan dilindungi. Perlindungan hukum hanya dikenal oleh orang berpangkat dan berduit. Bagi rakyat jelata yang miskin, jangan harap memperoleh perlindungan hukum.
Dengan seorang ayah seperti itu, tidaklah mengherankan kalau anak tunggalnya, Pui Ki Cong, bersikap sombong dan tinggi hati, suka mengganggu anak isteri orang mengandalkan kedudukan orang tuanya. Dia merupakan anak tunggal yang dimanja ayahnya. Setiap keinginannya pasti dipenuhi, dan hal ini tumbuh menjadi penyakit yang berbahaya dalam batin Ki Cong. Sampai usianya hampir tiga puluh tahun, dia selalu berenang dalam kesenangan dan dia menuntut agar semua keinginannya terkabul. Karena suka bermain perempuan, berganti orang setiap malam, dia belum menikah dan hanya mempunyai selir yang tak terhitung banyaknya. Di dalam gedungnya sudah penuh perempuan muda dan cam-yang menjadi selir. Kalau ada pelayan-pelayan baru yang masih gadis dan cantik, hampir tak pernah dia membiarkannya begitu saja dan dalam waktu beberapa hari saja, pelayan yang dipilihnya tentu naik pangkat menjadi selir. Belum lagi perempuan-perempuan yang dipilihnya di luar gedung, bahkan pelacur-pelacur tercantik di Thian-cin menjadi langganannya.
Dengan kehidupan seperti itu, tidaklah mengherankan bahwa hatinya dibakar oleh kemarahan dan rasa penasaran karena dirinya telah ditolak mentah-mentah oleh seorang gadis dusun puteri guru silat kampungan! Bukan hanya ditolak, bahkan pipinya ditampar sampai bengkaknya tiga hari baru kempis, dan dua orang pengikutnya juga dihajar oleh gadis ingusan itu!
"Awas kau, kalau sampai terjatuh ke tanganku....!"
Berulang kali dia mengancam sambil mengepal tinju dan rebah gelisah di atas pembaringannya, tidak dapat senang hatinya walaupun beberapa orang selir tercinta mencoba untuk menghiburnya. Karena tidak melihat munculnya puteranya selama dua hari, Jaksa Pui lalu mengunjungi puteranya di dalam kamarnya dan melihat betapa puteranya itu rebah dengan rambut kusut dan wajah muram, dia merasa khawatir sekali.
"Ki Cong, engkau kenapakah? Sejak kemarin aku t idak melihatmu."
Dengan sikap manja Ki Cong lalu berkata kepada ayahnya.
"Ayah, aku merasa sangsi apakah benar dengan kedudukan ayah sebagai kepala jaksa di sini, orang-orang segan dan menghormat kepada keluarga kita."
Pembesar yang gendut perutnya itu bangkit berdiri lagi dan membelalakkan matanya.
"Tentu saja! Siapa yang berani tidak menghormat kepada kita? Aku berkuasa di sini. Aku yang memegang hukum, siapapun dapat kuhukum dan kutuntut dengan kekuasaanku!"
"Hemm, kalau benar begitu, kenapa dua hari yang lalu ada seorang gadis dusun, anak guru silat kampungan, berani menghinaku dan menampar mukaku?"
"Apa? Kau ditampar oleh seorang perempuan dusun? Siapa orang itu? Biar kusuruh pasukan menangkapnya dan akan kuhukum berat perempuan keparat itu!"
"Tapi..... aku bukan bermaksud menghukumnya, ayah. Aku..... aku cinta padanya."
Tiba-tiba wajah yang bengis itu berubah dan tertawalah Jaksa Pui.
"Ha-ha-ha! Begitukah kiranya? Ha-ha-ha, perempuan panas seperti itu memang menarik sekali. Nah, apa sukarnya kalau kautarik ia dan jadikan selirmu? Ataukah engkau sudah ingin beristeri?"
"Tidak, ayah. Akan tetapi aku ingin mendapatkannya. Hanya..... aku khawatir kalau ditolaknya, maka kuharap ayah....."
"Ha-ha-ha, sungguh memalukan! Biasa nya dengan menggapai saja -setiap wanita katanya akan bertekuk lutut dan merangkak menghampirimu. Baru sekarang kau minta bantuanku. Seperti apa sih perempuan ini?"
"Namanya Kim Cui Hong, puteri tunggal guru silat Kim Siok di dusun Nag ke-bun."
"Baik, sekarang juga akan kukirim utusan untuk meminangnya menjadi selirmu. Jangan khawatir, pinanganku pasti diterimanya. Apalagi dia kan hanya guru silat, tentu dengan bangga dia akan menyerahkan puterinya kepadamu."
Setelah berkata demikian, dengan mulut tersenyum dan hati penuh kepercayaan diri sendiri, pembesar itu meninggalkan kamar puteranya yang juga menjadi gembira dan penuh harapan.
"Dapat kau sekarang.....!"
Dia mengepal tinju, membayangkan betapa dia akan mempermainkan dan menikmati perempuan yang berani menamparnya itu sepuas hatinya.
Sudah dapat dipastikan bahwa orang yang mengandalkan kekuasaannya, dalam bentuk apapun juga kekuasaan itu, tentu berwatak sombong dan tinggi hati, suka memandang rendah orang lain dan menganggap bahwa dirinya sendiri yang paling berharga, paling penting dan paling tinggi kedudukannya di dunia ini. Orang seperti ini, kalau bertemu dengan orang lain yang lebih tinggi kedudukannya, yang tak dapat dibantah lagi kenyataan itu, misalnya bertemu dengan atasannya, maka tentu wataknya akan berubah lagi, menjadi seorang penjilat yang sudah tidak ketulungan lagi. Menjilat ke atas menginjak ke bawah, dua watak ini serangkai dan tak terpisahkan lagi.
Dengan penuh kepercayaan, pembesar gendut Pui lalu mengirim utusan ke rumah guru s ilat Kim Siok di dusun Angke- bun, untuk melamar puterinya yang bernama Kim Cui Hong menjadi selir putera tunggalnya. Dan dengan penuh kepercayaan akan hasil tugasnya dan membayangkan hadiah yang besar dari kanan kiri, comblang itupun berangkat dengan wajah gembira.
Cui Hong bukan hanya tidak bercerita kepada suhengnya tentang peristiwa gangguan yang dilakukan Pui Ki Cong kepadanya, bahkan kepada ayahnyapun ia tidak menceritakan.
Oleh karena itu, hati guru silat Kim Siok tidak menduga sesuatu ketika pada pagi hari itu dia kedatangan seorang tamu yang dikenalnya sebagai seorang comblang kenamaan di kota Thian-cin. Comblang itu adalah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, bertubuh tinggi kurus dan berkepala botak, berkumis kecil panjang turun berjuntai ke bawah melalui tepi mulutnya dan bersambung dengan jenggotnya yang jarang. Matanya sipit dan tajam, mulutnya mudah senyum. Comblang ini bernama Gu Mo Sim dan terkenal sebagai perantara perjodohan yang pandai bicara sehingga banyak orang suka mengutusnya untuk meminang atau membicarakan tentang urusan perjodohan.
Begitu disambut oleh tuan rumah, Gu Mo Sim segera memberi hormat dengan tergopoh-gopoh dan mukanya diramaikan senyum gembira, sepasang mata yang sipit itu bersinar-sinar.
"Kim-kauwsu, kionghi..... kionghi.....! Belum tahu apakah semalam kauwsu bermimpi kejatuhan bulan? Heh-heh, sekali lagi kionghi (selamat)!"
Kim Siok adalah seorang guru silat dan semenjak kecil dia berkecimpung dengan seni o lah raga bela diri. Wataknya tidak suka akan hal yang bertele-tele. Dia menyukai sikap yang singkat padat, tegas dan jujur. Maka, sikap dan pembawaan comblang ini membuat ia muak, akan tetapi sebagai tuan rumah yang bijaksana, diapun menyambut dengan senyum dan membalas penghormatan tamu itu.
"Saudara Gu, tiada hujan tiada angin mengapa kau memberi selamat kepadaku? Aku tidak mengerti dan tidak dapat menerimanya."
"Ha-ha-ha, sebentar lagi kau akan mengerti, Kim-kauwsu. Aku yang sudah tahu lebih dulu, saking gembiraku maka aku memberi selamat. Biarkan a ku duduk me lepas lelah, dan aku akan menceritakan mengapa aku memberi selamat. Tentu kauwsu semalam bermimpi indah sekali."
Kim Siok tidak mau menanggapi lagi ocehan tamunya. Dengan singkat dia mempersilakan tamunya duduk lalu bertanya.
"Sebetulnya, keperluan apakah yang membawa saudara datang berkunjung?"
Comblang itu menarik napas panjang.
"Aihhh..... apakah engkau tidak kasihan kepadaku, kauwsu? Tulang-tulangku yang sudah tua ini tidak sekuat tulang-tulangmu yang terlatih. Berilah aku minum dulu sebelum aku menceritakan berita yang tentu akan amat mengejutkan dan juga amat menggembirakan hatimu. Tuhan akan selalu memberkahi orang yang baik hati, dan tentu engkau suka berbaik hati kepada seorang tamu yang kelelahan dan kehausan."
Gemas sekali rasa hati Kim-kauwsu. mau rasanya dia menangkap leher baju orang ini dan melemparnya keluar lagi. Akan tetapi dia menahan kemarahannya, lalu mengambil sendiri sebotol arak dan cawannya, menyuguhkannya kepada tamu yang cerewet itu. Tanpa sungkan-sungkan lagi, Gu Mo Sim lalu menuangkan arak ke dalam cawannya dan minum sampai tiga cawan arak.
"Hemmm..... segar rasanya. Arakmu enak sekali, kauwsu. Nah, sekarang barulah aku dapat bicara dengan leluasa. Kalau engkau tahu keperluan apa yang kubawa, tentu engkau akan menyambutku dengan hidangan dua belas macam! Ketahuilah, aku datang ini sebagai utusan kepala jaksa Thiancin, yaitu Pui Taijin."
Diam-diam guru silat itu merasa terkejut dan juga heran sekali, akan tetapi dia menghibur hatinya bahwa tentu keperluan itu sama dengan keperluan para bangsawan dan hartawan di Thian-cin yang pernah menghubunginya. Tentu jaksa inipun ingin dia melatih silat kepada puteranya. Hal ini banyak diminta para pembesar darinya dan tentu saja dia tidak dapat menolaknya walaupun dengan hati t idak begitu suka. Akan tetapi, dia sengaja memberi latihan berat sehingga baru satu dua bulan saja anak-anak bangsawan itu sudah mundur dengan sendirinya, tidak tahan gemblengan keras dan sukar.
"Keperluannya?"
Tanyanya dengan singkat, dengan wajah yang tidak beruban.
Comblang itu mengangkat telunjuk kanannya sambil tersenyum.
"Ha-ha, sampai bagaimanapun engkau takkan pernah dapat menerkanya, kauwsu. Engkau tentu bermimpi kejatuhan bulan semalam."
"Saudara Gu, harap segera katakan apa keperluan itu dan tidak memutar-mutar pembicaraan!"
Tegurnya.
"Aha, kiranya Kim-kauwsu seorang yang tidak sabaran menanti berita baik. Baiklah. Engkau mempunyai seorang cian-kim siocia (anak gadis terhormat), bukan? Berapa usianya sekarang, kauwsu?"
Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba saja Kim Siok merasa jantungnya berdebar kencang. Baru dia men duga ke arah mana perkacapan itu dan mengapa pula yang diutus seorang pembesar adalah seorang comblang. Kiranya menaksir puterinya!
"Apa hubungannya usia puteriku dengan tugasmu, saudara Gu?"
"Hubungannya erat sekali. Ketahuilah bahwa aku diutus oleh Kepala Jaksa Pui untuk meminang puterimu untuk dijodohkan dengan putera tunggalnya, tuan muda Pui Ki Cong yang tampan, yang kaya raya, yang pandai dan terpelajar, yang bangsawan itu. Ha-ha, engkau terkejut, bukan? Aku sendiri terkejut ketika menerima tugas. Tak kusangka engkau memiliki nasib yang begini baik, saudaraku! Kionghi, kionghi!"
"Nanti du lu, saudara Gu! Maksudmu, anakku dilamar untuk menjadi isteri"
"Bukan..... eh, menjadi selir tuan muda Pui Ki Cong....."
Berubah wajah Kim Siok, menjadi merah karena dia marah sekali.
"Selir? Bahkan isteripun bukan? Anakku dilamar untuk dijadikan selir....."
Melihat perubahan muka itu, comblang Gu Mo Sim menjadi terkejut dan gugup. Dia lalu cepat berkata.
"Ah, isteri juga... hanya isteri muda, begitulah istilahnya..."
Kim Siok menahan kemarahannya. Puterinya, anak tunggalnya, dilamar menjadi selir dan comblang ini nampak demikian gembira, seolah-olah yakin bahwa lamaran itu tentu akan diterimanya. Kalau menurutkan keinginannya, lamaran yang dianggapnya sebagai penghinaan itu akan langsung ditolaknya dan utusan itu akan dihajarnya. Akan tetapi guru silat ini bukan seorang bodoh yang sembrono. Dia menahan dirinya, lalu bangkit dan memberi hormat kepada tamu itu.
"Saudara Gu Mo Sim, harap sampaikan jawabanku kepada Pui Taijin, bahwa menyesal sekali aku terpaksa menolak pinangan ini. Aku merasa terhormat sekali, akan tetapi pinangan ini tidak mungkin dapat kuterima."
Suara kekeh itu terhenti dan sepasang mata yang sipit itu mencoba untuk melebar, namun tak berhasil sehingga nampak lucu. Hampir Gu Mo Sim tidak mempercayai telinganya sendiri.
"Apa....? Mimpi burukkah aku atau.... kau yang sedang bermimpi buruk atau berubah ingatan? Kau tadi bilang bahwa kau..... kau menolak pinangan Pui Taijin yang berkuasa dan kaya raya?"
"Tidak salah. Aku terpaksa menolak pinangan itu."
"Tapi..... tapi, bagaimana ini? Kenapa ....? Aku tidak melihat suatu alasan mengapa kau sampai berani menolak....."
Kim Siok maklum bahwa penolakannya tentu mengejutkan dan tanpa alasan yang kuat bahkan mungkin akan menimbulkan kemarahan di pihak pelamar. Maka dia-pun sejak tadi sudah mengambil keputusan untuk mengajukan alasan yang memang sudah lama menjadi keinginan hatinya.
"Harap saudara Gu sampaikan ucapan terima kasih kami kepada Pui Taijin atas kehormatan yang dilimpahkan kepada keluarga kami. Akan tetapi terpaksa pinangan itu kami tolak karena anakku itu sudah terikat dalam pertunangan dengan Can Lu San, seorang muridku sendiri. Anakku tidak bebas lagi, melainkan sudah mempunyai seorang calon suami."
Gu Mo Sim melongo. Hal ini sungguh sama sekali tak pernah disangkanya. Pui Taijin tidak pernah mengatakan bahwa gadis yang dipinangnya itu sudah bertunangan dengan seorang pria lain. Tentu saja penolakan itu wajar dan dia tidak dapat membantah lagi. Bagaimanapun juga, dia seorang comblang yang terkenal dan bukan hanya dia akan kehilangan muka kalau sampai pinangannya gagal, juga akan kehilangan hadiah besar. Dalam keadaan putus asa itu, diapun mencoba untuk membujuk.
"Pertunangan itu masih belum terlambat untuk diputuskan, kan belum menikah? Apa artinya seorang murid dibandingkan putera Pui Taijin? Pula, hanya seorang murid, bukankah murid itu seperti anak sendiri dan diputuskanpun tidak menjadi halangan...."
"Cukup, saudara Gu Mo Sim!"
Hampir habis kesabaran di dalam hati guru silat Kim itu.
"Engkau hanya seorang utusan dan urusan pertunangan anakku tidak ada sangkut-pautnya denganmu! Engkau sudah menyampaikan tugasmu dan aku sudah menjawab. Sampaikan saja jawaban ini kepada orang yang mengutusmu. Aku tidak banyak waktu untuk bercakapcakap denganmu!"
Guru silat itu lalu bangkit dan dari suaranya jelas bahwa dia mengusir tamunya itu.
Dengan muka berubah merah Gu Mo Sim lalu bangkit, setelah memandang beberapa jam lamanya, diapun menjura dan membalikkan tubuhnya, pergi meninggalkan rumah guru silat Kim Siok dengan hati mendongkol dan kecewa bukan main. Sekali saja menjadi utusan Kepala jaksa Pui yang demikian kaya dan berkuasa, dan ternyata dia gagal melaksanakan tugasnya dengan hasil baik.
Karena hatinya kecewa, dia merasa sakit hati terhadap Kim Siok yang dianggapnya bersikap tidak baik dan merugikannya, maka begitu menghadap Pui Taijin, dia melapor sambil menjelek-jelekkan diri Kim-kauwsu.
"Taijin, guru s ilat she Kim itu sungguh seorang manusia yang tak tahu diri sekali. Dia berani menolak pinangan taijin terhadap puterinya!"
"Aihhh....!"
Pembesar Pui yang gendut itu berseru marah dan alis matanya diangkat naik.
"Keparat sombong! Berani dia menolak? Apa alasannya?"
"Anak perempuan itu sudah ditunangkan dengan muridnya yang bernama Can Lu San."
"Aihhh....?"
Kemarahan pembesar itu menurun. Bagaimanapun juga, dia mengerti pula aturan dan penolakan itu menjadi wajar. Bagaimana seorang gadis yang sudah mempunyai calon suami dapat menerima pinangan orang lain?
"Wah, kenapa Ki Cong tidak memberi tahu? Celaka, kita menjadi malu, melamar gadis yang sudah mempunyai calon suami!"
"Kalau Pui-kongcu menghendaki selir, biar selusin dan lebih cantik daripada anak guru silat kampungan itu, saya masih sanggup mencarikan, Taijin. Harap hal itu jangan khawatir.
Akan tetapi, guru silat itu harus dihajar. Adalah haknya untuk menolak karena anaknya sudah bertunangan, akan tetapi dia tidak perlu marah-marah dan mengusir saya. Apakah dia tidak tahu bahwa ketika berhadapan dengan saya, maka saya mewakili Pui Taijin dan kalau menghina saya, hal itu sama artinya dengan menghina Pui Taijin?"
Akan tetapi Pui Taijin termenung. Kini dia mengerti mengapa puteranya ditampar oleh gadis anak guru silat itu. Kiranya dia sudah bertunangan dan tentu Ki Cong menggodanya maka gadis itu marah dan menamparnya.
"Sudahlah, kalau dia marah tentu engkau tidak pandai membawa diri. Hal itu tidak perlu ribut. Yang lebih penting, coba kau hibur Ki Cong dan tawarkan gadis-gadismu itu, agar dia tidak memikirkan lagi anak tukang silat itu."
Melihat hasutannya tidak berhasil, Gu Mo Sim tidak berani mendesak. Dia memperoleh kesempatan lain yang lebih baik untuk melampiaskan rasa penasaran dan kecewa hatinya. Bergegas diapun pergi menemui Pui Ki Cong dan di depan pemuda inilah dia menghasut dengan kata-kata beracun.
"Guru silat itu dan anak gadisnya amat menghinamu, kongcu. Mereka bukan hanya menolak pinangan, bahkan berani memburuk-burukkan kongcu, mengatakan kongcu tidak tahu aturan berani meminang seorang gadis yang sudah bertunangan dengan orang lain. Siapa yang tidak panas perutnya mendengar guru silat itu berkata bahwa biarpun kongcu putera jaksa atau putera raja sekalipun mereka tidak takut menolak! Pendeknya, gadis itu dan ayahnya dan tunangannya, bersikap menantang dan menghina sekali. Sayapun sebagai utusan Pui Taijin dihinanya dan diusirnya!"
Wajah Pui Ki Cong sebentar merah' sebentar pucat. Perasaan di hatinya bermacam-macam, akan tetapi yang paling kuat adalah kekecewaan dan kemarahan. Kecewa karena gadis yang membuatnya tergila-gila itu tidak jadi jatuh ke dalam pelukannya dan marah karena selain ditolak lamarannya, juga keluarga gadis itu berani menghinanya. Apalagi melihat sikap pemuda bangsawan itu, Gu Mo Sim masih menambahkan minyak pada api yang berkobar itu.
"Mereka itu harus dihajar, kongcu. Kalau tidak tentu nama besar kongcu dan Pui Taijin akan menjadi cemar. Mari, kongcu, bawa sepuluh orang tukang pukul dan saya yang akan menjadi saksi. Kita serbu Ang-ke-bun dan kita hajar ayah dan anak dan calon mantunya itu, agar puas hati kita walaupun lamaran dito lak!"
Kebetulan ketika Gu Mo Sim menghadap, di situ terdapat dua orang kepala pengawal jagoan yang biasa membantu Puikongcu. Karena mereka berdua itu ditakuti orang, dan mereka memang boleh diandalkan, Pui Ki Cong lalu menarik dua orang kepala pengawal yang menjadi komandan pasukan pengawal ayahnya itu dan menjadi pembantu-pembantu pribadinya, melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak ada sangkutpautnya dengan tugas mereka berdua sebagai kepala pengawal. Ketika dua orang kepala pengawal ini mendengar laporan yang disampaikan Gu Mo Sim, mereka juga ikut menjadi marah.
"Guru silat kampungan itu berani menolak pinangan kongcu, bahkan menghinanya? Keparat!"
Bentak komandan yang bernama Bhong Gun,, yang bertubuh pendek gemuk dan matanya bundar, mukanya licin seperti muka anak kecil.
"Kita harus menghajarnya! Kongcu tak usah khawatir, kami berdua cukup untuk menghajar guru silat itu!"
Bentak pula komandan ke dua, yang bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh brewok menyeramkan. Orang ini bernama Teng Ki dan terkenal memiliki tenaga besar, sedangkan kawannya yang bernama Bhong Gun tadi terkenal pula dengan gerakannya yang lincah dan cepat walaupun tubuhnya bundar.
"Nah dengan adanya dua orang ciang-kun ini, tentu guru silat kampungan she Kim itu dapat dihajar sampai bertobat!"
Gu Mo Sim menambah.
"Akan tetapi harus diingat bahwa mereka itu dan murid, ayah dan anak semuanya adalah ahli- ahli silat."
"Ji-wi ciangkun (perwira berdua) harap membawa pasukan belasan orang. Kita berangkat sekarang juga!"
Tiba-tiba Pui Ki Cong yang sudah menjadi panas perutnya itu mengajak dua orang pembantunya.
"Eh, kongcu mau ikut juga?"
Tanya Gu Mo Sim.
"Kalau begitu, sayapun ikut. Ingin saya melihat guru silat kampungan itu dihajar babak belur, ha-ha!"
Demikianlah, dengan kemarahan meluap-luap, Pui Ki Cong tanpa setahu ayahnya, membawa dua belas orang pengawal termasuk Bhong Gun dan Teng Kui, tiga belas bersama Gu Mo Sim yang sudah bergembira ingin nonton keramaian untuk melampiaskan rasa kecewa dan marahnya terhadap keluarga guru silat Kim Siok. Dua orang pengawal itu tentu saja pernah mendengar nama guru silat Kim Siok, akan tetapi mereka tidak merasa gentar karena selain mereka berduapun ahli silat, juga mereka berdua adalah komandan pengawal dan kini mereka membawa sepuluh orang anak buah. Takut apa? Juga kedudukan mereka sebagai kepala pengawal jaksa Pui merupakan andalan yang cukup kuat. Bagaikan pasukan yang hendak maju perang, empat belas orang itu menunggang kuda dan keluar dari kota Thian-cin menuju ke selatan, ke dusun Ang-ke-bun.
Cui Hong menghadap ayahnya dengan alis berkerut dan hati diliputi ketegangan. Ia tadi tahu bahwa ayahnya kedatangan seorang tamu yang tidak dikenalnya. Akan tetapi ketika tamu itu pulang, ayahnya nampak seperti orang marah dan memanggil dia bersama Lu San untuk menghadap. Kini ia duduk di atas bangku di depan ayahnya. Lu San juga datang dan murid ini menjatuhkan diri berlutut, akan tetapi Kim Siok minta kepada murid ini untuk bangkit dan duduk di atas bangku dekat Cui Hong, Kini mereka berdua duduk di atas bangku menghadapi orang tua yang wajahnya nampak muram itu.
"Ayah, ada urusan apakah maka ayah kelihatan tidak gembira seperti biasanya, bahkan memanggil aku yang sedang sibuk membuat masakan istimewa untuk ayah?"
Gadis ini masih gembira kalau mengingat beberapa hari yang lalu, kembali ia mengejutkan dan menggembirakan hati ayahnya dengan masakan istimewa untuk merayakan hari ulang tahun ayahnya. Dan pagi ini iapun ingin membuat masakan istimewa untuk ayahnya, karena suheng-nya kemarin telah mendapatkan jamur-jamur kuning yang enak dimakan dan yang mulai bertumbuh di dalam hutan karena hujan sudah mulai turun.
Akan tetapi, kegembiraan Cui Hong nampaknya tidak dapat menembus awan kelabu yang menggelapkan wajah guru silat itu. Dia bahkan menarik napas panjang, lalu bertanya kepada puterinya sambil menatap tajam wajah yang manis itu.
"Cui Hong, berapakah usiamu tahun ini?"
"Eh.? Aih, bagaimana sih ayah ini? Apakah ayah sudah lupa berapa usia anaknya sendiri, anak tunggal lagi?"
"Aku tidak lupa, Hong-ji, hanya ingin mengingatkan. Berapa usiamu sekarang?"
"Beberapa bulan lagi enam belas tahun, ayah."
Ayahnya mengangguk-angguk.
"Sudah dewasa, bukan anak-anak lagi. Sungguh bukan anak-anak lagi, Hong-ji."
"Ayah, apa maksudmu...?"
Cui Hong memandang ayahnya, kini dengan serius dan sinar mata penuh selidik karena ia merasa benar akan perbedaan dalam sikap dan kata-kata ayahnya.
"Maksudku, Hong-ji, bahwa seorang wanita yang sudah dewasa, akan kemana lagi kalau bukan memasuki hidup baru, menjadi seorang isteri dan ratu rumah tangga"
"Ayah, jangan bicara seperti teka-teki. Apa maksudmu?"
"Hong-ji, keadaan negara sedang tidak aman. Kini bangsa Mancu sudah mulai menekan dari utara, sedangkan di mana-mana terjadi pemberontakan. Keadaan sebentar lagi akan kacau dan tidak aman oleh akibat perang. Karena itu, akan lebih tenanglah hatiku melihat engkau sudah terikat dan sudah ada yang melindungi....."
"Ayah, sekali lagi, apa maksudmu terhadap diriku?"
"Engkau sudah dewasa, Hong-ji, sudah tiba waktunya bagimu untuk menikah."
"Ahhh.....!"
Wajah itu berubah merah sekali dan hampir Cui Hong lari saking malunya. Ayahnya bicara soal pernikahan begitu saja, apalagi di depan suhengnya. Akan tetapi, ia seorang gadis yang lincah dan tabah, maka ia menekan batinnya yang diliputi perasaan malu dan ia membantah sesuai dengan suara hatinya.
"Akan tetapi, ayah. Usiaku baru hampir enam belas tahun! Aku..... aku belum ingin menikah, masih ingin melayani ayah. Dan dengan adanya ayah disampingku, ditambah lagi dengan kekuatanku sendiri, apa yang ayah khawatirkan? Aku mampu menjaga diri sendiri."
"Memang tadinya akupun berpikir demikian, tidak akan tergesa-gesa, setidaknya menanti sampai engkau berusia tujuh belas atau delapan belas tahun. Akan tetapi kedatangan tamu tadi mengubah pikiranku....."
"Tamu siapakah, ayah? Orang yang tinggi kurus berkepala botak tadi? Siapakah dia dan apa hubungan kedatangannya dengan aku? Dengan..... maksud ayah?"
"Dia adalah comblang Gu Mo Sim dari Thian-cin dan kedatangannya tadi adalah untuk meminangmu, Hong-ji."
"Ahh.....! Dan ayah..... ayah menerima pinangannya!"
Gadis itu setengah berteriak saking kaget dan khawatirnya. Hati gadis itu lega karena ayahnya menggeleng kepalanya dengan cepat.
"Dia datang sebagai utusan Kepala jaksa Pui Taijin, melamar engkau untuk puteranya yang bernama Pui Ki Cong....."
"Ahhh...."
Cui Hong berseru kaget.
"Untuk menjadi.. selirnya. Aku menolaknya dengan keras."
"Ahhh.....! Si keparat! Berani benar dia!"
Teriak Cui Hong dan membuat ayahnya menjadi heran mendengar ini. Juga Lu San yang sejak tadi hanya duduk diam mendengarkan percakapan yang menegangkan hatinya ini, kini mengangkat muka memandang wajah sumoinya.
"Kau sudah mengenal dia?"
"Tentu saja! Aku belum bercerita kepada ayah, juga kepada suheng aku tidak bicara apa-apa. Terjadinya pada hari ulang tahun ayah itu. Aku pergi ke pasar Thian-cin untuk berbelanja sayur dan ayam untuk membuatkan masakan istimewa untuk ayah. Ketika pulang dari pasar, seorang pemuda jangkung bersama dua orang kaki tangannya menghadang perjalananku dan bersikap kurang ajar kepadaku. Karena dia menggangguku, maka aku telah menampar mukanya. Dua orang kaki tangannya menyerangku dan kuhajar mere ka, lalu aku pulang dengan cepat....."
"Ah, ketika itu engkau nampak marah-marah dan mukamu merah padam, sumoi. Kiranya terjadi hal itu?"
Kata Lu San yang teringat akan keadaan sumoinya pada beberapa hari yang lalu itu.
"Benar, dan sekarang, dia berani menyuruh seorang untuk meminangku. Keparat benar orang itu! Kalau tahu begini, tentu aku akan menghajarnya lebih keras lagi!
"Hemm..."
Ada kejadian seperti itu?"
Guru silat Kim Siok mengerutkan alisnya dan berpikir keras.
"Dia tertarik padamu, mengganggumu dan kautampar dia. Akan tetapi dia malah menyuruh ayahnya mengirim utusan melamar, dan melamarmu untuk menjadi selirnya. Sungguh terlalu!"
Guru silat itu mengepal t inju.
"Memang hatiku sudah merasa tidak enak sejak munculnya comblang keparat itu. Dan kini ceritamu lebih meyakinkan lagi hatiku. Engkau harus segera menikah, Hong-ji!"
"Tapi, ayah! Engkau sudah menolak lamarannya, dan akupun tidak sudi....."
"Jangan bodoh, Hong-ji. Tentu saja akupun tidak rela membiarkan engkau menjadi selir keparat itu. Tidak, engkau bukan menjadi selir anak jaksa itu, melainkan menjadi isteri dari suhengmu ini, Can Lu San."
"Ahh.....!"
Cui Hong berseru dan menahan suaranya, menunduk dan tidak berani berkutik lagi saking malunya. Ingin ia lari akan tetapi mengingat akan pentingnya persoalan yang dibicarakan, ia menahan diri dan hanya menunduk.
"Ahh....!"
Can Lu San juga terkejut karena ucapan suhunya ini terlalu tiba-tiba datangnya, walaupun sudah sejak lama dia jatuh cinta kepada sumoinya dan sudah lama mengharapkan putusan suhunya ini. Diapun lalu menundukkan mukanya yang berwarna kemerahan.
Melihat sikap kedua orang muda yang menundukkan muka dengan malu-malu itu, Kim Siok tersenyum.
"Kurasa kalian merasa setuju dan dapat menerima keputusanku agar kalian berjodoh dan menjadi suami isteri."
Dua orang muda itu tidak dapat menjawab dan kepala mereka semakin menunduk. Kim Siok mendapat akal.
"Kalau ada di antara kalian merasa tidak setuju, harap menyatakan sekarang juga karena kalau diam saja sudah kuanggap kalian tidak menolak dan sudah merasa setuju. Bagaimana?"
Can Lu San yang setuju seribu prosen itu tentu saja merasa lega dan diapun hanya menunduk, bahkan semakin rendah mukanya menunduk. Tiba-tiba Cui Hong mengangkat mukanya.
"Ayah....."
Hati ayah ini terperanjat. Apakah puterinya tidak setuju? Dengan was-was dia menatap wajah puterinya penuh selidik.
"Ayah, perlukah pernikahan dilakukan tergesa-gesa? Kalau hanya ancaman dari keparat itu saja....."
"Anakku, ketahuilah bahwa tadi aku terpaksa mempergunakan alasan untuk menolak pinangan dari Jaksa Pui, dan alasan yang kupergunakan adalah bahwa kau telah bertunangan dengan Lu San. Dan hatiku takkan merasa tenteram sebelum kalian benar-benar menjadi suami isteri sehingga tidak akan ada yang berani mengganggumu lagi karena- engkau sudah bersuami. Aku merencanakan untuk merayakan pernikahan itu dalam bulan ke sepuluh depan ini."
"Bulan ke sepuluh? Kini sudah ke tujuh. Tinggal tiga bulan lagi,"
Pikir Cui Hong dengan jantung berdebar tegang.
"Bagaimana? Apakah kalian setuju? Ingat, kita sekeluarga hanya tiga orang, aku tidak dapat mengajak siapapun berunding kecuali kalian. Karena itu, keluarkan pendapat kalian. Apakah kalian setuju kalau pernikahan dilakukan dalam bulan ke sepuluh?"
Tanpa mengangkat mukanya, Cui Hong berkata lirih.
"Terserah kepada ayah....."
Mendengar sumoinya menjawab, Lu San memberanikan diri berkata pula.
"Teecu hanya mentaati segala perintah suhu."
"Nah, kalau begitu legalah hatiku."
Akan tetapi baru saja guru silat itu merasa terlepas daripada himpitan kekhawatiran, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda yang berhenti di depan rumah mereka. Kim Siok saling pandang dengan puteri dan muridnya, dan ketiganya lalu serentak meloncat bangun dan berlari keluar. Dan di pekarangan rumah mere ka itu telah berloncatan turun enam belas orang perajurit pengawal berpakaian seragam yang dikepalai dua orang perwira, dan yang dua orang lagi adalah Pui Ki Cong dan Gu Mo Sim! Melihat pemuda jangkung kurus itu, tentu saja Cui Hong sudah menjadi marah sekali dan tahu bahwa pemuda itu datang mencari gara-gara. Sedangkan Kim Siok sendiri begitu melihat hadirnya Gu Mo Sim di situ, sudah dapat menduga apa artinya kedatangan rombongan perajurit ini. Tentu bermaksud kurang baik.
"Hati-hati....."
Bisiknya kepada puteri dan muridnya. Akan tetapi Gu Mo Sim yang sudah melangkah maju dan orang ini memperoleh keberanian karena mengandalkan pasukan itu, sudah menudingkan telunjuknya ke muka Kim Siok dan memaki.
"Guru silat kampungan she Kim! Engkau sudah berani menolak kehormatan dan maksud baik keluarga Pui yang mulia, bahkan berani pula mengusir aku yang menjadi utusannya. Agaknya engkau memang sudah bosan hidup! Hayo cepat minta maaf kepada Pui-kongcu dan cepat menyerahkan nona Kim dengan baik-baik untuk menebus dosamu!"
Bukan main marahnya hati Kim Siok mendengar ucapan ini. Biarpun dia tahu dar i cerita puterinya bahwa putera jaksa Pui itupun bukan seorang yang baik-baik, akan tetapi sedikit banyak comblang Gu Mo Sim ini mempengaruhinya.
Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mulutmu yang busuk itulah yang perlu dihajar!"
Katanya dan dia melangkah maju untuk menampar muka comblang itu. Melihat ini Gu Mo Sim lari bersembunyi di belakang Pui Kongcu.
"Kaupun bukan manusia baik-baik. Mau apa datang ke sini? Mau minta ditampar sampai mukamu hancur?"
Bentak Cui Hong dan iapun sudah melangkah maju untuk menghampiri Pui Ki Cong. Akan tetapi, Bhong Gun dan Teng Kui sudah cepat melangkah maju untuk menghadang ayah dan anak yang marah itu.
"Hemm, guru silat Kim Siok, berani engkau hendak melawan yang berwajib? Hayo cepat kau berlutut dan menyerah!"
Bentak Bhong Gun dengan sikap gagah dan galak. Kim Siok memandang mereka berdua dan tersenyum mengejek.
"Aha, bukankah kalian ini dua orang perwira keamanan di Thian-cin yang bertugas mengawal pembesar?
Sebagai kepala pengawal, tugas kalian adalah menjaga keselamatan pembesar, bukan untuk berlagak menindas rakyat."
"Kurang ajar! Tangkap dia!"
Pui Ki Cong yang sudah tidak sabar lagi melihat Cui Hong di situ dan ingin cepat-cepat menangkap dan membawa pulang gadis itu, sudah memberi aba-aba.
Mendengar aba-aba ini, dua orang perwira pengawal itu lalu menerjang maju. Bhong Gun yang gemuk pendek menerjang Kim Siok, sedangkan Teng Kui yang tinggi besar itu maju menyerang Cui Hong. Akan tetapi dengan cepat Lu San yang berdiri di belakang gadis itu meloncat ke depan menyambut terjangan Teng Kui mewakili tunangannya atau sumoinya. Seperti juga Kim Siok yang sudah mulai berkelahi me lawan Bhong Gun, Lu San segera bertanding melawan Teng Kui dengan serunya.
Sementara itu, melihat betapa ayahnya dan suhengnya sudah berkelahi, Cui Hong yang sudah marah sekali terhadap Pui Ki Cong, sudah menerjang ke depan untuk menyerang pemuda yang menjadi biang keladi se mua keributan ini. Akan tetapi, beberapa orang perajurit pengawal menyambutnya dengan senjata mereka dan sebentar saja Cui Hong sudah dikeroyok oleh belasan orang perajurit itu! yang sebagian membantu Bhong Gun yang nampaknya kewalahan menghadapi guru silat Kim Siok.
Bhong Gun yang gemuk pendek itu, biarpun memiliki gerakan yang lincah dan cepat, ternyata bukan lawan seimbang dari guru silat Kim. Mula-mula dia memang menyerang dengan ganas, menggunakan kaki tangannya yang serba pendek namun cepat dan kuat itu, hendak mendesak lawan. Namun, Kim Siok adalah se orang ahli silat murid Siauw-lim-pai yang sudah memiliki ilmu silat yang matang.
Ilmu itu sudah mendarah daging dalam gerakannya dan sebagai guru silat, tentu saja ia seringkali mengajar muridmuridnya dan hal ini sama saja dengan berlatih diri, maka gerakannya cekatan dan tepat. Mula-mula dia hanya membela diri, akan tetapi agaknya pihak lawan tidak tahu diri, tidak mau tahu bahwa dia banyak mengalah. Maka setelah lawan terus mendesaknya sampai dua puluh jurus lebih, Kim Siok mulai membalas dan baru beberapa jurus saja dia membalas, sebuah kakinya berhasil mendarat dengan tendangan kilat ke arah perut Bhong Gun yang bundar dan gendut.
"Bukkkk!"
Bagaikan sebuah bola yang ditendang, tubuh Bhong Gun terlempar dan terbanting roboh sampai tergulingguling.
Akan tetapi ternyata dia cukup lihai karena begitu terlempar, dia sengaja menggulingkan dirinya sehingga dia mampu cepat melompat bangkit lagi. Kini dia mencabut keluar goloknya dan menyerang lagi, dibantu oleh empat orang perajurit yang melihat betapa komandan ini kewalahan menghadapi guru silat Kim. Karena Bhong Gun dan empat orang perajurit itu mempergunakan senjata, Kim Siok juga segera melolos ikat pinggangnya yang merupakan senjata yang ampuh. Ikat pinggang ini terbuat daripada kain yang ulet, akan tetapi dikedua ujungnya diikatkan mata pisau bercabang tiga yang kecil namun cukup berat. Segera terjadi pengeroyokan yang lebih seru lagi.
Perkelahian antara Lu San dan Teng Kui amat ramai. Walaupun Teng Kui juga mempergunakan goloknya dan Lu San hanya bertangan kosong, namun komandan pengawal itu tidak mampu mengimbangi kecepatan gerakan Lu San dan sudah beberapa kali dia terkena pukulan dan tendangan. Kalau saja tidak ada dua orang anak buahnya yang cepat membantunya tentu dia sudah roboh dalam waktu kurang dari dua puluh jurus saja Dikeroyok tiga, Lu San yang gagah perkasa itu masih mengamuk dan sama sekali tidak terdesak walaupun tiga orang pengeroyoknya mempergunakan senjata golok.
(Lanjut ke Jilid 02)
Sakit Hati Seorang Wanita (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 02
Sisa enam orang anak buah pasukan pengawal itu mengeroyok Cui Hong. Namun, mereka yang bertangan kosong dan tidak berani mempergunakan senjata karena Pui Ki Cong melarang mereka melukai gadis itu, sama sekali bukan lawan tangguh bagi Cui Hong. Dara remaja ini berloncatan dengan lincah seperti seekor burung walet menghindarkan diri dari tangan-tangan yang hendak menangkapnya, dan membagi-bagi tamparan dan tendangan yang cukup keras sehingga enam orang itu jatuh bangun dan tiap kali terkena tamparan atau tendangan tentu terpelanting dan mengaduh. Dara itu sungguh lincah dan kecepatan gerakannya sama sekali t idak dapat diimbangi oleh enam orang pengeroyok yang hanya memiliki tenaga otot yang besar dan keberanian karena mengeroyok itu.
Perkelahian itu, walaupun t idak seimbang dalam jumlah, namun ternyata keadaannya sama sekali berlawanan dengan jumlahnya karena keluarga guru silat yang hanya terdiri dari tiga orang itu ternyata mampu mendesak para pengeroyok yang jumlahnya empat belas orang! bahkan di antara para pengeroyok, terutama yang mengeroyok guru silat Kim, banyak yang sudah roboh dan tidak mampu melanjutkan pengeroyokan lagi. Melihat keadaan yang tidak menguntungkan pihaknya ini, Gu Mo Sim menjadi ketakutan.
"Kongcu.....! Kongcu.....! Mari kita pergi. Cepat-cepat.....!"
Comblang yang berwatak pengecut ini dengan ketakutan lalu lari menghampiri kudanya dan berusaha meloncat ke atas punggung kuda. Akan tetapi karena dia memang bukan ahli menunggang kuda dan berada dalam keadaan panik, loncatannya tidak mencapai sasaran dan kakinya yang menginjak sanggurdi terpeleset sehingga diapun terjatuh. Ketika dia hendak bangun dia terkejut setengah mati melihat bahwa Kim Siok telah berdiri di dekatnya.
"Celaka......!"
Serunya.
"Manusia busuk!"
Kim-kauwsu memaki dan sekali tangannya menampar, terdengar suara "krekk!"
Dan tulang pundak comblang itupun patah-patah. Manusia itu menjerit-jerit, lebih karena takut dan ngeri daripada karena nyeri dan belum apa-apa diapun sudah terkulai lemas dan pingsan.
Sementara itu, ketika mendengar teriakan Gu Mo Sim, Pui Ki Cong juga tahu akan bahaya. Tak disangkanya bahwa keluarga guru silat itu sedemikian lihainya. Maka diapun berpikir bahwa melarikan diri lebih aman dan diapun cepat lari dan meloncat ke atas punggung kudanya. Akan tetapi, baru saja tubuhnya tiba di atas sela di punggung kudanya, tahu-tahu ada bayangan berkelebat dan Cui Hong sudah berada di sampingnya.
Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo