Sakit Hati Seorang Wanita 11
Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo Bagian 11
Empat orang yang dulu memperkosanya itu dihukumnya dengan amat mengerikan. Pui Ki Cong menjadi seorang laki-laki cacat dan buruk seperti setan, tidak akan berguna selama hidup-nya. Demikian pula Koo Cai Sun, menjadi cacat, tapadaksa yang sudah bukan seperti manusia normal lagi. Lauw Ti menjadi cacat dan gila. Keadaan mereka bertiga lebih menyedihkan dan mengerikan daripada kalau mereka mati. Dan pamannya sendiri, orang ke empat yang dulu memperkosa Cui Hong, terpaksa membunuh diri dengan perasaan penuh penyesalan. Sungguh pembalasan dendam Cui Hong itu terlalu kejam.
Kembali Tan Siong menghela napas panjang ketika terbayang olehnya semua kekejaman yang dilakukan Cui Hong terhadap orang-orang yang dibencinya, termasuk pamannya.
Akibat kekejamannya itu, bukan hanya empat orang yang pernah memperkosanya itu yang menderita, terutama yang tiga orang kecuali pamannya yang sudah tewas. Mereka itu mati tidak, hidup pun bukan. Apa artinya hidup dalam keadaan tapadaksa separah itu? Lengan dan kaki patah bahkan ada yang buntung sehingga tubuh amat sukar bergerak, muka cacat, ada yang matanya buta, ada yang hidungnya hancur, pendeknya badan lumpuh sukar bergerak, muka cacat menjijikkan, batin terguncang sehingga menjadi seperti gila! Bukan mere ka saja yang menderita hebat bukan kepalang, melainkan juga keluarga mere ka, anakisteri mereka!
"Aahh, Hong-moi.... betapa kejamnya engkau... dendam kebencian telah membuat engkau seperti iblis! Akan tetapi, ya Tuhan, aku cinta padamu, Hong-moi, aku tetap cinta padamu!"
Tan Siong mengeluh lalu pergi dari situ dengan perasaan hampa. Semangatnya seolah ikut terbang bersama Cui Hong.
Sudah banyak tercatat dalam sejarah betapa perkaraperkara besar yang menyangkut bangsa dan negara, dipengaruhi oleh ambisi pribadi para pemimpinya. Perasaan dendam, iri, murka, dan keinginan pribadi untuk mereguk kesenangan melalui kekuasaan dari seorang pemimpin negara dan para pembantunya, terkadang menyeret bangsa ke dalam kehancuran.
Seperti tercatat dalam sejarah Negeri Cina, bangsa Cina tadinya hidup dalam keadaan yang lebih baik di bawah pemerintahan Kerajaan Beng (Terang) dibandingkan dengan keadaan rakyat di jaman penjajahan Mongol yang mendirikan Dinasti Goan yang bertahan selama hampir satu abad (1280-1368). Setelah rakyat Han dapat menggulingkan penjajah Mongol dan yang berkuasa adalah bangsa sendiri dengan berdirinya Kerajaan Beng, kehidupan rakyat mulai menjadi makmur. Akan tetapi, setelah berjaya selama hampir tiga abad (1368-1644), mulailah pemerintah Beng menjadi lemah sekali sehingga mengakibatkan rakyat kembali hidup menderita, bahkan keadaan kehidupan rakyat jelata lebih parah dibandingkan keadaan ketika dijajah orang Mongol!
Hal ini disebabkan karena Kaisar terakhir Kerajaan Beng yang bernama Kaisar Cung Ceng (1620-1644) merupakan seorang kaisar yang lemah dan yang hanya mengejar kesenangan diri sendiri. Kelemahan ini tentu saja memunculkan banyak pejabat penjilat, terutama para Thai-kam (orang kebiri, sida-sida) yang berkuasa di dalam istana yang sedianya menjadi pelayan-pelayan kaisar dan keluarganya. Pada mulanya, Kaisar mempergunakan tenaga para pria yang dikebiri ini sebagai pelayan-pelayan dalam istana untuk mencegah terjadinya perjinaan antara banyak selir dan gadis-gadis dayang istana dengan para pelayan pria.
Karena itu, semua pelayan pria dikebiri sehingga tidak memungkinkan terjadinya penyelewengan. Karena para Thaikam ini tidak dapat lagi berhubungan dengan wanita, maka mereka melampiaskan semua nafsunya kepada kedudukan dan harta. Mulailah mereka menggunakan segala daya upaya untuk memperoleh kekuasaan dan satu-satunya cara untuk mendapatkan kekuasaan itu adalah mendekati Kaisar dan mengambil hati Kaisar.
Mungkin karena merasa senasib sependeritaan, para Thaikam ini kompak sekali dan dapat bekerja sama dengan baik. Juga mereka biasanya merupakan orang-orang pilihan. Kaisar tentu saja ingin memiliki pelayan-pelayan dalam istana yangberwajah tampan, bersih, pandai membawa diri, cerdas dan cekatan. Bahkan banyak di antara mereka yang pandai. ilmu silat untuk dijadikan pengawal pribadi, menjaga keselamatan Kaisar sekeluarga. Akan tetapi sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang terpelajar, ahli sastra. Maka, tidak mengherankan kalau sekumpulan orang pandai ini mudah menggunakan kecerdikan mere ka, menguasai politik pemerintahan dan mempengaruhi Kaisar.
Kaisar Cung Ceng yang memang pada dasarnya lemah itu seolah menjadi boneka dan menurut saja kepada para Thaikam pimpinan yang dia anggap sebagai hamba-hamba yang baik dan setia! Maka, biarpun kekuasaan masih berada di tangan Kaisar, namun sesungguhnya segala keputusan yang disahkan dan ditanda tangani Kaisar itu keluar dari pikiran para Thaikam.
Memang tepatlah pendapat dan ajaran para bijaksana jaman dahulu bahwa yang terpenting bagi manusia adalah hidup dalam kebenaran dan kebaikan. Benar dan baik merupakan syarat bagi manusia untuk dapat hidup berbahagia. Para bijaksana selalu menasihati keturunan dan muridnya begini.
"Aku tidak ingin melihat kamu menjadi orang kaya raya, atau menjadi orang pintar, atau menjadi orang berkuasa! Aku hanya ingin kamu menjadi orang yang baik dan benar! Hanya orang yang baik dan benarlah menjadi kekasih Thian (Tuhan) dan menerima kasih karunia dan kebahagiaan dunia dan akhirat!"
Baik dan benar merupakan dasar bagi ketenteraman dan kebahagiaan. Orang kaya belum tentu benar, orang pintar belum tentu benar, orang berkuasa belum tentu benar. Orang yang baik dan benar tentu merupakan penyalur berkat Tuhan bagi manusia lain, bagi dunia. Akan tetapi sesungguhnya, orang kaya, orang pintar, orang berkuasa tanpa didasari sifat baik dan benar, sering malah mendatangkan malapetaka bagi manusia dan dunia karena keadaannya itu terkadang membuat dia sewenang-wenang, memikirkan kesenangan diri pribadi saja, bahkan menggunakan kekayaan, kepintaran atau kekuasaannya untuk menindas orang lain yang dianggap menjadi penghalang kesenangannya.
Demikianlah keadaan para Thaikam di dalam istana Kaisar Cung Ceng, pada masa terakhir pemerintah Kerajaan atau Dinasti Beng. Mereka berdiri dari orang-orang pintar, kaya raya, dan berkuasa, namun tidak memiliki watak dasar baik dan benar tadi. Maka sepak terjang dewikz mereka hanya menimbulkan kesengsaraan bagi negara dan bangsa.
Pemerintahan Kaisar Ceng Cung menjadi lemah, banyak peraturan yang sewenang-wenang menindas rakyat. Para pejabat pemerintah yang baik, yang setia, yang ingin membawa roda pemer intahan melalui jalan yang benar dan yang menyejahterakan rakyat, menjadi penghalang bagi para Thaikam dan mereka itu, satu demi satu, disingkirkan dari jabatannya. Bahkan, yang dianggap berbahaya karena sikapnya menentang para Thaikam, banyak di antara mereka bukan hanya dipecat oleh Kaisar atas bujukan para Thaikam, melainkan dihukum berat dengan tuduhan fitnah memberontak.
Kalau pemerintah gagal menyejahterakan rakyat, bahkan menyengsarakan rakyat, maka akibatnya mudah diduga. Di mana-mana terjadilah pemberontakan. Muncul orang-orang gagah yang t idak suka dengan keadaan itu dan mereka ini memiliki banyak pengikut, membentuk laskar-laskar rakyat dan mulai mengadakan aksi menentang kerajaan!
Di antara para pemberontak itu, yang paling kuat memiliki banyak sekali pengikut sehingga namanya terkenal dan menjadi bagian sejarah, adalah Li Cu Seng. Sebetulnya, Li Cu Seng tadinya adalah seorang pendekar ahli silat dari dusun, bukan orang penting dan bukan orang ternama. Namun, sikapnya yang gagah dan wibawanya yang kuat menggerakkan ratusan ribu orang yang dengan suka rela menjadi pengikutnya. Terbentuklah barisan yang kokoh kuat dan mulailah pasukan Li Cu Seng bergerak. Pendekar yang berasal dari Propinsi Shensi ini, memimpin laskarnya dan mulai penyerangannya dari utara dan barat. Pada waktu itu orang-orang Mancu sudah mengembangkan kekuasaannya ke selatan, namun gerakan mereka itu terbentur dan terhenti oleh pertahanan pasukan pemer intah Kerajaan Beng yang berjaga di Tembok Besar yang kokoh itu.
Dalam tahun 1640 Honan terjatuh ke tangan Li Cu Seng, dan dengan cepat pasukannya bergerak dan menduduki Propinsi Shensi dan Shansi. Di beberapa daerah ini, jumlah pengikutnya bertambah dan dia berhasil menghimpun pasukan yang besar dan kuat. Pemerintahan Kaisar Cung Ceng yang dipenuhi para Thai-kam dan pejabat tinggi yang korup, tidak mendapat dukungan rakyat. Bahkan banyak pula panglima perang yang besar kekuasaannya seolah kurang mengacuhkan adanya pemberontakan Li Cu Seng yang semakin mendekati kota raja Peking. Banyak panglima perang juga sudah muak dengan pemerintahan Kaisar Cung Ceng yang korup dan dikuasai Thaikam itu. Diam-diam mereka mengharapkan pergantian pimpinan pada pemerintah Dinasti Beng.
Di antara para panglima besar ini, yang terkenal adalah Panglima Bu Sam Kwi. Panglima Bu Sam Kwi memiliki pasukan yang besar dan kuat dan berkat pertahanannya di Tembok Besar Sa-hai-koan di mana Tembok Besar sampai di tepi lautan, maka pasukan Mancu tidak mampu menembus ke selatan. Panglima Bu Sam Kwi terkenal sebagai seorang panglima yang pandai memimpin pasukan, dan diam-diam dia menaruh simpati kepada gerakan Li Cu Seng yang merupakan seorang Beng-cu (Pemimpin Rakyat) yang berjuang membebaskan pemer intah dari cengkeraman para pejabat korup. Maka, Panglima Bu Sam dewi Kzwi seolah-olah menutup sebelah mata dan pura-pura t idak tahu bahwa gerakan pemberontakan Li Cu Seng sudah menguasai beberapa propinsi, bahkan mulai mendekati kota raja Peking!
Pada suatu pagi bulan kedua tahun 1644, tiga orang penunggang kuda menjalankan kudanya dengan santai di jalan umum di luar kota raja Peking sebelah barat. Yang berada di tengah adalah seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun, bertubuh sedang namun tegap dan gagah, duduk di atas punggung kuda dengan tegak lurus menunjukkan seorang ahli, wajahnya membayangkan kegagahan dan kekerasan, sepasang matanya tajam bagaikan mata burung rajawali, pakaiannya seperti seorang petani sederhana dan di punggungnya tergantung sebatang pedang. Dua orang yang menunggang kuda di kanan kirinya adalah pria-pria berusia sekitar lima puluh tahun, yang seorang bertubuh tinggi kurus wajahnya seperti tengkorak dan yang ke dua bertubuh tinggi besar seperti raksasa, wajahnya penuh brewok menyeramkan. Juga dua orang ini mempunyai senjata golok yang terselip di punggung mereka.
Pria yang berada di tengah dan dari sikap kedua orang pendampingnya mudah diduga bahwa dialah yang menjadi pemimpin, bukanlah orang biasa. Dialah pende kar Li Cu Seng yang amat terkenal dan dipuja ratusan ribu orang sebagai pejuang yang hendak menumbangkan kekuasaan yang dianggap lalim di Kerajaan Beng. Adapun dua orang pendampingnya itu adalah dua orang pembantunya yang setia. Yang seperti raksasa brewok bernama Gu Kam, sedangkan yang bertubuh tinggi kurus bermuka tengkorak adalah Giam Tit, sute (adik seperguruan) dari Gu Kam. Kedua orang ini adalah tokoh-tokoh Bu-tong-pai yang terkenal lihai ilmu goloknya.
Li Cu Seng adalah seorang pemimpin rakyat yang amat terkenal dan dia mempunyai pasukan yang amat besar jumlahnya. Sebagai seorang panglima besar, mengapa dia sekarang berkeliaran di luar kota raja, ditemani dua orang pembantunya, berpakaian seperti tiga orang desa biasa?
Li Cu Seng, selain lihai ilmu silatnya, juga merupakan seorang pemimpin barisan yang pandai. Setelah menguasai beberapa propinsi di barat dan daerah utara, dia memimpin barisannya menuju kota raja Peking. Dan sebagai seorang ahli perang vang ulung, kini dia turun tangan sendiri melakukan penyelidikan di luar benteng kota raja sebelah barat, ditemani dua orang pembantunya. Dia memang sudah menyebar para mata-mata dan penyelidik untuk mempelajari kekuatan musuh di kota raja, akan tetapi dia tidak merasa puas kalau tidak terjun sendiri melakukan penyelidikan. Di sinilah letak kekuatan dari Li Cu Seng. Dia teliti dan penuh perhitungan, melengkapi kekuatan pasukannya dengan kecerdikannya. Dua kelebihan ini digabung dan mendatangkan keberhasilan kepadanya.
Karena kini pasukannya sudah siap untuk melakukan penyerbuan ke kota raja Peking, maka Li Cu Seng, ditemani dua orang pembantunya yang setia, melakukan pengamatan sendiri untuk melihat bagaimana kekuatan pasukan kerajaan yang melakukan penjagaan di kota raja.
Sementara itu, di kota raja sendiri, para panglima yang masih setia kepada Kaisar Cung Ceng, sibuk melakukan persiapan untuk mempertahankan kota raja dari ancaman laskar rakyat pimpinan Li Cu Seng yang sudah menguasai sebagian besar daerah barat dan utara. Akan tetapi mereka ini sebagian besar adalah para panglima yang berpihak pada para Thaikam, para panglima yang memperoleh kedudukan tinggi karena jasa para Thaikam dan yang mendapatkan pembagian harta benda yang mereka korup. Karena mereka hanya setia kepada harta, kedudukan, dan kesenangan, maka tentu saja mereka juga tidak sepenuh hati membela Kerajaan Beng, walaupun jumlah pasukan mereka masih cukup banyak dan kuat.
Kaisar Cung Ceng sendiri tidak menyadari bahwa kota raja sudah terancam oleh laskar rakyat pimpinan Li Cu Seng. Para Thaikam sengaja menimbuni Kaisar dengan segala macam pesta dan kesenangan. Akan tetapi mereka juga berusaha untuk menyelamatkan diri. Mereka menghubungi dan mengirim sogokan kepada para panglima besar yang bertugas di perbatasan. Juga Panglima Bu Sam Kwi menerima sogokan dan hadiah dengan permintaan agar Panglima Bu Sam Kwi mengirim bala-tentaranya untuk melindungi kota raja dari ancaman musuh. Akan tetapi, Panglima Bu Sam Kwi yang memang sudah t idak suka kepada Cung Ceng, tidak mengacuhkan permintaan itu. Bahkan diam-diam Panglima Bu Sam Kwi condong mendukung gerakan Li Cu Seng untuk menumbangkan Kaisar Cung Ceng yang menjadi kaisar boneka di bawah pengaruh para Thaikam.
Li Cu Seng dan dua orang pembantunya, Cu Kam dan Giam Tit, terlalu memandang rendah kepada para pimpinan pasukan pertahanan kota raja. Karena memandang rendah, mereka menjadi lengah, tidak tahu bahwa rahasia kedatangan mereka mendekati kota raja telah diketahui mata-mata pasukan kerajaan! Bagaimanapun juga, di kota raja masih terdapat panglima tua yang amat setia kepada Kerajaan Beng. Biarpun mereka juga t idak suka melihat Kaisar dikuasai para Thaikam, namun mereka tetap setia kepada Dinasti Beng dan siap untuk membela kerajaan itu mati-matian dengan taruhan nyawa. Dalam keadaan kota raja terancam bahaya, maka para panglima yang setia inilah yang mengundang para pendekar untuk membantu pasukan kerajaan mempertahankan Peking dari serangan musuh.
Di antara panglima ini terdapat seorang panglima tua, yaitu Panglima Ciok Kak yang biasa disebut Ciong-goanswe (Jenderal Ciong). Usianya sudah enam puluh lima tahun, namun dia masih gagah perkasa, terkenal sebagai seorang ahli silat dan ahli perang yang berpengalaman. Bahkan dia mengenal baik para pendekar di dunia kang-ouw karena dia sendiri adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang pandai. Dialah yang mengepalai bagian para penyelidik yang merupakan bagian penting dari pasukan pertahanan kota raja. Dia mengundang para pendekar gagah untuk menjadi penyelidik.
Ciong Goanswe ini yang mengutus tujuh orang pendekar, dijadikan mata-mata yang melakukan penyelidikan dan pengawasan di luar kota raja, bersama belasan orang pendekar lain. Tujuh orang ini melakukan pengamatan di sebelah barat, luar benteng kota raja. Mereka adalah Su Lok Bu, seorang murid Siauw-lim-pai yang pandai, juga seorang pen-siunan perwira kerajaan. Orangnya berusia sekitar lima puluh dua tahun, bertubuh tinggi besar berkulit hitam, mukanya penuh brewok dan matanya lebar seperti Panglima Thio Hwi dalam cerita Sam Kok, dan dia seorang ahli bermain siang-kiam (sepasang pedang) yang kosen.
Orang ke dua adalah seorang pensiunan perwira pula, sahabat dari Su Lok Bu sejak muda, bernama Cia Kok Han, berusia sekitar lima puluh dua tahun pula. Cia Kok Han ini seorang murid Bu-tong-pai yang terkenal dengan senjata twato (golok besar). Tubuhnya pendek dengan perut gendut, kulitnya putih, matanya sipit sekali dan seluruh rambut dan jenggotnya sudah putih semua.
Kita mengenal Su Lok Bu dan Cia Kok Han ini karena mereka ini, kurang lebih dua tahun yang lalu, bekerja sebagai pengawal pribadi Pui Ki Cong atau yang dikenal sebagai Pui Kongcu (Tuan Muda Pui), yaitu orang pertama yang menjadi musuh besar Kim Cui Hong dan yang kemudian disiksa sampai menjadi seorang tapadaksa berat oleh gadis itu yang membalas dendamnya. Setelah terjadi peristiwa pembalasan dendam dari Kim Cui Hong terhadap empat orang yang pernah memperkosa dan menghinanya, yang telah disiksa tiga orang dan yang seorang membunuh diri, dua orang jagoan ini segera mengundurkan diri. Mereka berdua adalah pendekar, tokoh Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai. Setelah mereka mengetahui duduknya perkara, mereka segera meninggalkan keluarga bangsawan Pui. Keduanya menyadari bahwa mereka telah bekerja sebagai pengawal seorang pemuda bangsawan yang pernah melakukan perbuatan keji terhadap Kim Cui Hong. Mereka merasa malu dan pergi tanpa pamit.
Kemudian, dua orang sahabat ini mememenuhi panggilan Jenderal Ciong Kok yang mereka kenal baik, dan mendapat tugas mengamati keadaan di luar benteng kota raja bagian barat. Dua orang jagoan ini ditemani oleh lima orang jagoan lain yang terkenal dengan sebutan Liong-san Ngo-eng (Lima Pendekar Bukit Naga). Mereka adalah kakak beradik seperguruan, tokoh-tokoh perguruan silat Liong-san-pai yang merupakan ahli-ahli silat pedang yang cukup tangguh.
Tujuh orang mata-mata pemerintah ini telah mendapat berita dari para penyelidik yang membuat pengamatan lebih jauh dari benteng kota raja bahwa ada tiga orang penunggang kuda yang pakaiannya seperti penduduk dusun, akan tetapi cara mereka menunggang kuda dan di punggung mereka terdapat senjata, menimbulkan dugaan bahwa mereka itu bukanlah penduduk dusun biasa dan patut dicurigai dan diselidiki lebih lanjut karena tiga orang penunggang kuda itu menuju ke arah kota raja.
Demikianlah, karena memandang rendah pertahanan kota raja Peking, maka pemimpin las kar rakyat Li Cu Seng menjadi lengah. Ketia dia dan dua orang pembantunya tiba di luar tembok benteng, di tepi sebuah hutan, mereka menghentikan kuda mereka. Li Cu Seng memberi isyarat dan dua orang pembantunya, Cu Kam dan Giam Tit, ikut pula turun dari atas punggung kuda mereka. Mereka menambatkan kuda di pohon tepi hutan itu.
"Dari sini kita harus berjalan kaki. Bersikaplah biasa dan kalau ada pertanyaan, kita mengaku akan mengunjungi keluarga yang tinggal di kota raja."
Kata Li Cu Seng dengan sikap tenang.
Dua orang pembantunya mengerutkan ali dan tampak ragu dan khawatir.
"Memasuki kota raja?"
Tanya Gu Kam.
"Akan tetapi itu berbahaya sekali, Li-bengcu (Pemimpin Li)!"
"Hemm, Gu-twako, apakah engkau takut?"
Li Cu Seng bertanya sambil menatap wajah raksasa brewok itu dengan sinar mata tajam.
"Li-bengcu, engkau tahu bahwa aku tidak pernah takut!"
Kata Gu Kam.
"Suheng (Kakak Seperguruan) Gu Kam tentu saja tidak takut, Li-bengcu. Akan tetapi yang kami khawatirkan adalah bengcu sendiri. Kalau sampai ketahuan musuh bahwa bengcu sendiri yang memasuki kota raja, bagaimana mungkin kami berdua dapat melindungi bengcu dari ser-gapan balatentara kerajaan yang berkumpul di kota raja?"
Kata Giam Tit.
Li Cu Seng tersenyum, mengangguk-angguk. Tentu saja dia tidak pernah meragukan kesetiaan dan kegagahan dua orang pembantunya ini.
"Gu-twako dan Giam-twako, aku tahu benar bahwa kalian berdua tidak takut menghadapi apapun juga. Sejak semula kita semua sudah menyadari bahwa perjuangan ini berarti mempertaruhkan nyawa kita. Hanya ada dua pilihan, berhasil atau mati! Karena itu, mengapa kita ragu kalau ada bahaya menanti dalam kota raja? Kiranya tidak ada yang tahu akan penyamaran kita bertiga. Kalau ada yang bertanya, jangan lupa mengatakan bahwa kita datang dari dusun dan hendak mengunjungi keluarga Panglima Bu Sam Kwi yang tinggal di kota raja."
"Akan tetapi, apakah bengcu benar-benar mengenal Jenderal Bu Sam Kwi?"
Tanya Giam Tit.
Li Cu Seng tersenyum.
"Tentu saja aku mengenalnya, bahkan kami dulu menjadi sahabat baik. Aku akan memakai nama marga Cu, dan kalian berdua adalah kakak beradik she (bermarga) Kam. Nah, mari kita memasuki kota raja. Kita tinggalkan kuda di sini."
Mereka bertiga menambatkan kuda pada batang pohon, akan tetapi melepaskan kendali dari hidung dan mulut kuda-kuda itu sehingga tiga ekor binatang itu dapat makan rumput yang tumbuh subur di bawah pohon-pohon itu.
Su Lok Bu dan Cia Kok Han memberi isarat kepada lima orang Liong-san Ngo-heng untuk mendekat. Mereka bertujuh lalu berunding.
"Kita belum yakin siapa mereka dan apa niat mereka. Belum tahu benar apakah mereka itu lawan atau kawan. Maka kita bayangi saja ke mana mereka pergi. Lihat, mereka bertiga meninggalkan kuda dan kini berjalan menuju ke pintu gerbang kota raja. Kita bayangi dari jauh!"
Bisik Cia Kok Han.
Tujuh orang itu membayangi tiga orang yang berjalan dengan santai menuju ke pintu gerbang. Setelah tiba di pintu gerbang, para penjaga pintu gerbang menghadang dan menghentikan t iga orang itu.
"Berhenti! Kami mendapat tugas untuk memer iksa semua pendatang yang tidak kami kenal. Hayo katakan, siapa kalian, datang dari mana dan hendak kemana?"
Tanya komandan jaga dengan sikap tegas.
Li Cu Seng melangkah maju dan memberi hormat.
"Sobat, dalam keadaan seperti sekarang ini, memang kalian sebagai penjaga-penjaga harus teliti dan tegas. Sikapmu ini mengagumkan dan pasti akan mendapat pujian dari Panglima Besar Bu Sam Kwi. Kami akan melaporkan ketegasanmu ini kepada beliau!"
"Panglima Besar Bu Sam Kwi?"
Komandan jaga bertanya, matanya terbelalak. Tentu saja dia tahu siapa Panglima Besar Bu Sam Kwi. Semua orang mengenal panglima besar yang amat terkenal itu, apalagi perajurlt seperti dia dan kawankawannya.
"Engkau menyebut nama Panglima Besar Bu Sam Kwi? Apakah kalian bertiga ini perajurit-perajurit anak buah Bu Thai-ciangkun (Panglima Besar Bu)?"
Li Cu Seng tersenyum, sengaja mengambil sikap angkuh dan dua orang pembantunya juga mengimbangi sikap ini, mereka membusungkan dada.
"Perajurlt? Kami adalah perwira-perwira pembantu beliau yang amat dipercaya sehingga beliau kini mengutus kami untuk mengunjungi keluarga beliau di kota raja."
Sikap komandan jaga dan anak buahnya yang berjumlah selosin orang itu berubah. Komandan jaga memandang hormat.
"Ah, maafkan karena kami tidak mengenal sam-wi (tuan bertiga). Akan tetapi, kalau sam-wi para pembantu Panglima Besar Bu Sam Kwi, mengapa sam-wi tidak mengenakan pakaian dinas?"
"IH, kawan. Di luar sana terdapat tt banyak pasukan pemberontak. Kalau kami memakai pakaian perwira, tentu kami tidak akan dapat sampai di sini! Kami sengaja menyamar sebagai petani agar dapat mudah masuk ke kota raja dan menyampaikan pesan Panglima Besar Bu kepada keluarganya di kota raja."
"Baiklah, kami percaya. Akan tetapi demi ketertiban, harap sam-wi memperkenalkan nama sam-wi agar kami catat."
"Aku bermarga Cu, dan dua orang temanku ini adalah kakak beradik bermarga Kam. Sekarang maafkan kami karena kami harus segera menghadap keluarga Panglima Besar Bu Sam Kwi."
Kata Li Cu Seng. Para penjaga itu tidak berani lagi menghalangi dan mereka mempersilakan tiga orang yang mengaku sebagai perwira-perwira utusan Jenderal Bu memasuki pintu gerbang kota raja.
Akan tetapi pada saat itu, tujuh orang penunggang kuda yang berpakaian sebagai perwira datang dari luar. Su Lok Bu dan Cia Kok Han berlompatan turun dari atas punggung kuda mereka, diikuti o leh lima orang Liong-san Ngo-eng. Su Lok Bu dan Cia Kok Han sudah menghadang tiga orang yang baru hendak memasuki pintu gerbang dan Su Lok Bu, murid Siau-wlim-pai yang bertubuh tinggi besar hitam brewokan itu berkata dengan suara yang nyaring.
"Harap kalian bertiga berhenti dulu!"
Seru Su Lok Bu sambil berdiri tegak di depan tiga orang itu dan mengamati wajah mereka dengan tajam menyelidik.
"Siapakah kalian, datang dari mana dan hendak ke mana?"
Dengan penuh kewaspadaan namun dengan sikap yang tenang, Li Cu Seng tersenyum lalu menjawab.
"Baru saja para penjaga pintu gerbang sudah menanyakan hal yang sama kepada kami sudah kami jawab dengan sejelasnya. Akan tetapi kalau cu-wi (kalian semua). ingin tahu, boleh kami ulang jawaban kami. Aku she (bermarga) Cu dan dua orang temanku ini kakak beradik bermarga Kam. Kami bertiga datang dari barisan penjaga garis depan di San hai-koan, kami tiga orang perwira kepercayaan Panglima Besar Bu Sairi Kwi dan kami diutus oleh Bu Thai-ciangkun untuk mengunjungi keluarganya di kota raja."
Cia Kok Han yang bertubuh pendek gendut bertanya.
"Maafkan kami, sobat-sobat, kalau kami bersikap teliti. Kalau kalian bertiga benar perwira pembantu Panglima Besar Bu Sam Kwi, tolong perlihatkan surat kuasa untuk tanda kalian agar kami merasa yakin. Juga agar kalian memberi keterangan mengapa kalian berpakaian seperti petani dusun dan mengapa pula kalian meninggalkan tiga ekor kuda tunggangan kalian di hutan itu."
Diam-diam tiga orang pimpinan laskar pemberontak itu terkejut. Kiranya tujuh orang itu telah mengetahui bahwa mereka datang berkuda! Ini berarti bahwa sudah sejak jauh dari situ mereka telah diawasi! Akan tetapi Li Cu Seng yang cerdik tetap tenang ketika dia menjawab sambil tersenyum.
"Kami kira sebagai perwira-perwira yang berpengalaman, tentu cu-wi mengerti keadaan kami. Di luar sana terdapat banyak sekali pasukan pemberontak. Kalau kami mengenakan pakaian perwira, sudah pasti kami tidak mungkin dapat sampai di sini dan sudah terbunuh di tengah perjalanan. Kami sengaja meninggalkan kuda kami di hutan karena kami ingin agar tidak menarik perhatian karena kami menyamar sebagai orang desa. Dan tentang surat-surat yang menunjukkan bahwa kami utusan Panglima Besar Bu Sam Kwi, ah, tentu cuwi sudah mengetahui. Kami adalah perajurit-perajurit yang
setia sampai mati. Andaikata kami yang melaksanakan tugas ini harus mati dalam perjalanan, jangan sampai ada yang mengetahui siapa kami untuk menjaga rahasia pimpinan kami."
Jawaban yang lancar ini membuat hati Su Lok Bu, Cia Kok Han dan kelima Liong-san Ngo-heng merasa puas.
"Maafkan kalau kami memer iksa dengan teliti karena kami tidak ingin kecolongan. Nah, kalau begitu silakan sam-wi (kalian bertiga) melanjutkan perjalanan ke rumah keluarga Panglima Besar Bu. Perkenalkan, kami bertujuh adalah para pembantu Ciong Goan-swe yang juga merupakan rekan dan sahabat Panglima Besar Bu Sam Kwi. Kami akan melaporkan kedatangan kalian di kota raja kepada beliau."
Kata Su Lok Bu.
Diam-diam hati Li Cu Seng terkejut juga. Kalau Jenderal Cong sendiri yang bertemu dengannya, tentu jenderal itu akan mengenalnya. Maka dia cepat mengucapkan terima kasih dan melanjutkan perjalanannya ke dalam kota raja, diikuti oleh dua orang pembantunya. Karena Li Cu Seng menduga bahwa para perwira tadi cerdik dan tentu tidak akan melepaskannya dari pengawasan begitu saja, maka dia terpaksa mengajak dua orang temannya menuju ke rumah keluarga Panglima Besar Bu Sam Kwi, tidak jadi langsung menyelidiki keadaan dan kekuatan benteng pasukan kerajaan.
Dua orang temannya berbisik, menyatakan kekhawatirannya kalau mereka mengunjungi keluarga Bu Sam Kwi. Bagaimana kalau keluarga itu mengenal Li Cu Seng? Pasti akan gempar dan pasukan datang menangkap mereka. Di dalam kota raja, mereka bagaikan tiga ekor harimau yang sudah terjebak dalam ruangan tertutup dan tidak mungkin dapat lolos!
"Jangan khawatir, tidak ada seorang pun anggauta keluarga Bu Sam Kwi yang pernah mengena! aku. Bahkan Bu Sam Kwi sendiri kalau bertemu dengan aku belum tentu dapat mengenalku. Kami bersahabat ketika kami masih muda, belasan tahun yang lalu. Jangan khawatir, kita ke sana dan biarkan aku yang bicara dengan mereka. Setelah ada kesempatan, baru kita akan berkeliling dalam kota untuk melakukan penyelidikan."
Tiga orang itu lalu menuju ke rumah besar yang menjadi tempat tinggal keluarga Panglima Besar Bu Sam Kwi. Tentu saja mereka sudah tahu di mana rumah itu karena sebelumnya mereka telah mempelajari keadaan kota raja dari para penyelidik yang lebih dulu sudah disebar dalam kota raja Peking. Ketika mere ka sedang berjalan dan tiba di depan sebuah pasar, seorang pengemis berusia sekitar lima puluh tahun, berpakaian compang-camping penuh tambalan, terbungkuk-bungkuk menghampiri mereka dan menyodorkan sebuah mangkok retak dengan tangan kanannya minta sedekah (sumbangan). Tangan kirinya memegang sebatang tongkat hitam.
"Kasihanilah, Tuan, berilah sedikit sumbangan!"
Kata pengemis itu dengan suara cukup lantang sehingga terdengar orang-orang di sekitar tempat itu.
Li Cu Seng dan dua orang pembantunya segera mengenal pengemis ini. Ada belasan orang anggauta Hek-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam), sebuah perkumpulan pengemis yang mendukung gerakan Li Cu Seng, memang telah menyusup ke dalam kota raja dan menjadi mata-mata yang melaporkan keadaan kota raja kepada para pimpinan pemberontak. Maka Li Cu Seng dan dua orang temannya segera mengeluarkan uang receh dan memasukkannya ke dalam mangkok retak itu. Ketika tidak ada orang lain memperhatikan peristiwa biasa dan wajar ini, si Pengemis berbisik.
"Beng-cu (Pemimpin Rakyat), hati-hati, ada beberapa ekor serigala membayangi."
Setelah berbisik demikian, pengemis itu pergi.
Tiba-tiba Li Cu Seng menjatuhkan dua buah uang receh dan segera membungkuk untuk memungutnya. Kesempatan ini dia pergunakan untuk melihat ke arah belakangnya dan dia dapat melihat lima orang menyelinap di antara para pengunjung pasar dan tahulah dia bahwa mereka itu yang disebut srigala oleh anggauta Hek-tung Kai-pang itu. Sebutan srigala berarti mata-mata musuh, atau kaki tangan pasukan kerajaan.
Li Cu Seng memberi isarat kepada dua orang temannya untuk berjalan tenang seperti biasa dan dia lalu mengajak mereka pergi ke gedung keluarga Panglima Bu. Gedung itu besar dan halaman depannya amat luas. Akan tetapi anehnya, mereka tidak melihat ada perajurit yang berjaga di gardu dekat pintu gerbang. Padahal Panglima Bu Sam Kwi adalah seorang pembesar militer yang memiliki kedudukan tinggi, bahkan kini pertahanan seluruh balatentara kerajaan untuk menghadang gerakan orang-orang Mancu berada di tangan Panglima Bu. Akan tetapi mengapa rumah keluarga panglima yang berkuasa itu tidak dijaga perajurit? Karena tidak ada yang menjaga, tiga orang itu langsung saja memasuki halaman yang luas menuju ke pendapa gedung besar itu.
Ketika mereka tiba di pendapa, dua orang laki-laki setengah tua yang berpakaian sebagai pelayan keluar menyambut. Melihat bahwa yang datang hanya tiga orang laki-laki berpakaian seperti orang-orang desa, dua orang pelayan itu mengerutkan alis mereka dan tampak tidak senang.
"Heh, siapa kalian dan mau apa datang ke sini!"
Seorang di antara mereka membentak, tampaknya marah.
"Kalau mau minta pekerjaan atau minta sumbangan, kami tidak dapat membantu dan hayo pergi dari sini!"
Kata orang kedua, cak kalah galaknya.
Li Cu Seng dan dua orang pembantunya segera dapat mengenal dua orang pelayan ini. Dari sikap mereka, tahulah Li Cu Seng bahwa mereka berdua adalah orang-orang yang suka menjilat ke atas dan meludah ke bawah, mencari muka kepada atasan dan menekan kepada bawahan. Dan dia tahu bahwa Kerajaan Beng kini penuh dengan orang-orang macam ini. Sebagian besar para pejabatnya adalah penjilat-penjilat kaisar dan memeras rakyat, merendahkan rakyat, dan menumpuk harta kekayaan dari hasil memeras rakyat.
Karena para pembesar sebagian besai merupakan penjilat dan koruptor, maka dia tergerak dan mengerahkan laskar rakyat untuk memberontak, untuk meruntuhkan kekuasaan para koruptor itu. Baru dua orang pelayan saja sudah begini sikapnya. Dia yakin bahwa mereka ini merupakan sebagian dari anak buah atau pendukung dari para thai-kam yang kini berkuasa di istana.
Gu Kam dan Giam Tit sudah tidak sabar melihat sikap dua orang pelayan itu. Gu Kam yang tinggi besar dan brewok itu melangkah ke depan menghadapi mereka dan berkata dengan suara keren.
"Kami adalah perwira-perwira utusan Panglima Besar Bu Sam Kwi! Cepat laporkan kepada keluarga Panglima Bu bahwa kami diutus untuk bicara dengan keluarga beliau!"
Dua orang pelayan itu saling pandang dan cengar-cengir. Jelas bahwa mereka tidak percaya dan menghina.
"Huh, siapa percaya?"
Kata yang seorang.
"Kalian bohong! Hayo pergil Masa ada perwira-perwira seperti kalian tiga orang desa kotor?"
Gu Kam dan Giam Tit tidak dapat menahan kemarahan mereka. Sekali bergerak, mereka sudah memegang lengan kanan dua orang pelayan itu dan begitu mereka mengerahkan tenaga, terdengar suara "krekk!"
Dan tulang lengan kanan dua orang pelayan itu patah! Tentu saja mereka menjerit dan menyeringai kesakitan. Tiba-tiba seorang laki-laki yang juga berpakaian sebagai pelayan muncul dari pintu. Usianya lebih tua dari yang dua orang itu.
"Eh, ada apakah ini? Siapa kalian bertiga dan mengapa ada ribut-ribut di sini?"
Karena pelayan satu ini sikapnya sopan dan kata-katanya juga halus, Li Cu Seng berkata kepada dua orang pembantunya.
"Lepaskan mereka!"
Kemudian setelah dua orang pelayan itu dilepaskan dan mereka memegangi lengan yang patah tulangnya sambil mengaduh-aduh, dia berkata kepada pelayan ke tiga.
"Kami bertiga adalah perwira-perwira pembantu Panglima Besar Bu Sam Kwi yang diutus datang menemui keluarga beliau. Kami sengaja menyamar dan dua orang pelayan ini tidak percaya dan bersikap kurang ajar kepada kami."
Pelayan tua itu segera membungkuk dengan hormat.
"Ah, kiranya sam-wi adalah perwira-perwira utusan Panglima Besar Bu! Heh, kalian berdua sungguh tidak tahu aturan. Hayo pergi ke belakang!"
Setelah dua orang pelayan yang patah tulang lengan kanannya itu sambil merintih pergi, pelayan tua itu lalu berkata kepada Li Cu Seng.
"Harap Sam-wi Ciangkun (Perwira Bertiga) ketahui bahwa pada saat ini, anggauta Panglima Besar Bu yang berada di rumah hanya tinggal Kim Hujin (Nyonya Kim) seorang saja. Sam-wi Ciangkun tentu mengetahui bahwa semua keluarga yang lain telah dijemput oleh pasukan utusan Panglima Besar Bu Sam Kwi beberapa minggu yang lalu dan yang tinggal di sini sekarang hanya Kim Hujin."
Tentu saja Li Cu Seng tidak mengetahui akan ha l ini, akan tetapi setelah mengaku sebagai perwira utusan Panglima Bu, tidak mungkin kalau dia tidak mengetahui!
"Tentu saja kami tahu akan hal itu. Kami memang diutus untuk menemui Kim Hujin untuk menyampaikan pesan Panglima Bu."
"Kalau begitu silakan duduk menanti sebentar, saya akan melaporkan kepada Kim Hujin!"
Kata pelayan itu, lalu dia masuk ke dalam gedung. Li Cu Seng dan dua orang temannya duduk menunggu di atas bangku yang terdapat di pendapa atau ruangan depan itu.
Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Beng-cu, apa yang akan kita katakan kalau berhadapan dengan Kim Hujin itu?"
Ciam Tit berbisik, bingung.
Li Cu Seng memberi isarat dengan pandang matanya agar dua orang temannya itu memandang ke luar. Ketika keduanya memandang ke luar, mereka melihat berkelebatnya bayangan beberapa orang di luar pintu gerbang. Tahulah mereka bahwa sampai sekarang ada orang-orang yang membayangi mereka seperti dilaporkan anggauta Hek-tung Kai-pang tadi.
"Jangan khawatir, serahkan saja kepadaku."
Kata Li Cu Seng dengan sikap tenang sehingga dua orang pembantunya merasa agak lega. Mereka percaya sepenuhnya akan kecerdikan pemimpin mereka ini.
Pelayan tua tadi muncul kembali.
"Silakan sam-wi masuk dan menunggu di ruangan tamu. Kim Hujin akan segera menemui sam-wi."
Dia mengantar tiga orang tamu itu memasuki ruangan tamu yang luas, bersih dan tertutup.
Agaknya ruangan ini selain menjadi ruangan tamu, juga dapat dipergunakan untuk ruangan tempat pertemuan penting yang tak dapat dilihat atau didengar orang luar. Setelah mengajak tiga orang itu masuk ke dalam ruangan tamu, pelayan itu keluar lagi dan menutupkan pintu depan dari luar.
Li Cu Seng memberi isarat kepada dua orang pembantunya untuk mengambil tempat duduk di atas kursi-kursi yang menghadap kepada sebuah meja di mana terdapat pula beberapa buah kursi, agaknya biasa menjadi tempat duduk mereka yang memimpin pertemuan.
Terdengar langkah kaki lembut dari dalam. Mereka bertiga cepat menengok dan ketika yang memiliki langkah kaki muncul dari pintu dalam, berdiri di ambang pintu dan menahan langkahnya lalu memandang kepada mereka bertiga dengan sinar mata tajam menyelidik, tiga orang itu cepat bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan. Mata tiga orang itu terbelalak heran dan juga kagum. Sama sekali Li Cu Seng tidak mengira bahwa yang disebut Nyonya Kim itu adalah seorang wanita yang demikian muda, dengan kecantikan seorang dewi!
Sang Dewi Kecantikan sendiri yang agaknya berdiri di situ! Usianya paling banyak dua puluh lima tahun, masih tampak seperti gadis belasan tahun, namun sinar mata, senyumnya, dan sikapnya menunjukkan bahwa wanita ini sudah matang dan selain pandai membawa diri, juga anggun dan bahkan bersikap agung seperti seorang puteri istana saja!
Rambutnya hitam subur dan agaknya panjang sekali karena dilipat menjadi sanggul yang besar ke atas, dihiasi tusuk sanggul emas permata berbentuk burung Hong (sejenis Cenderawasih), indah dan tentu mahal sekali. Anak rambut hitam halus melingkar- lingkar manja di atas dahi dan kedua pelipisnya, membuat wajah berbentuk bulat telur itu tampak semakin putih mulus. Sepasang alis hitam melengkung tanpa dibuat melindungi sepasang mata bintang yang bersinar tajam namun lembut dan jernih, dengan bulu mata panjang lentik.
Hidungnya kecil mancung dengan ujung agak menjungat sehingga mendatangkan kesan lucu. Mulutnya menggairahkan dengan sepasang bibir yang lunak, tipis namun penuh, kemerahan kalau bicara bergerak-gerak hidup. Senyumnya menawan dan kilatan gigi putih rapi berderet teramat manis. Selain wajah yang amat cantik jelita ini, tubuh wanita itu pun ramping padat dengan lekuk lengkung sempurna, terbungkus pakaian dari sutera yang indah. Kakinya memakai sandal bulu putih yang bersih, terhias sulaman benang sutera keemasan. Benar-benar penampilan seorang wanita yang sepantasnya tinggal di antara awan-awan bersama Kwan Im Pouwsat (Dewi Maha Kasih)!
Li Cu Seng adalah seorang pendekar yang tidak termasuk seorang terpelajar tinggi, lebih tepat disebut seorang ahli silat. Selama ini dia sibuk dengan perjuangan, hidup di dunia kangouw (sungai-telaga, dunia persilatan), bahkan tidak menghiraukan keluarganya, tidak mudah tertarik oleh wanita cantik. Akan tetapi sekali ini dia merasa seperti mimpi bertemu seorang dewikz! Inikah yang oleh pe layan disebut Kim Hujin? Seorang Nyonya? Apakah ia isteri dari Panglima Besar Bu Sam Kwi?
"Maaf, Nona, kalau kunjungan kami ini mengganggu."
Kata Li Cu Seng sambil menatap wajah wanita itu dengan kekaguman terbuka.
Wanita cantikitu tersenyum, bukan oleh ucapan yang keluar dari mulut laki-laki gagah itu, melainkan karena ia melihat pandang mata kagum itu. Ah, betapa setiap orang pria memandangnya seperti itu kalau bertemu dengannya! Ia sudah terbiasa, akan tetapi biasanya laki-laki yang memandang kagum mencoba untuk menyembunyikan kekaguman mereka, tidak seperti laki-laki ini yang memperlihatkan kekagumannya secara terbuka. Juga ia geli mendengar sebutan nona itu.
"Aku bukan nona, melainkan seorang diantara selir-selir Panglima Besar Bu Sam Kwi."
Kata wanita itu sambil tersenyum sehingga wajahnya menjadi semakin menarik.
"Sam-wi (kalian bertiga) siapakah dan benarkah kalian diutus Panglima Bu untuk berkunjung ke sini?"
"Maafkan kami, Nyonya, kami adalah utusan Panglima Bu. Saya she Cu dan mereka ini kakak beradik she Kam. Kami adalah perwira-perwira pembantu Panglima Bu. Kami diutus mengabarkan bahwa keadaan Panglima Bu di sana baik-baik saja dan kami disuruh menanyakan keadaan keluarga beliau di sini."
"Hemm, keluarga Panglima Bu yang tinggal di sini hanya aku seorang, dan para pelayan. Semua anggauta keluarga telah diboyong ke San-hai-koan!"
Wanita itu memandang tajam penuh selidik.
"Kami mengerti, Toanio (Nyonya Besar)...."
"Hemm, jangan menyebut aku Nyonya besar! Namaku Kim Lan Hwa dan aku lebih suka disebut Nyonya Kim begitu saja!"
"Baiklah, Nyonya Kim. Kami sudah tahu bahwa sebagian besar anggauta keluarga Panglima Bu sudah diboyong ke sana, justeru Panglima Bu menyuruh kami datang mengunjungimu, Nyonya. Beliau mengkhawatirkan keadaanmu di sini."
Wajah yang cantik itu berseri, matanya bersina-sinar.
"Aih, Panglima Bu demikian sayang padaku, sungguh membuat aku merasa bahagia sekali! Memang keadaan di sini.... ah, bagaimana kalau dua orang temanmu ini disuruh menjaga di luar kedua pintu depan dan belakang agar jangan ada yang ikut mendengarkan percakapan kita? Aku mempunyai banyak hal yang akan kusampaikan kepada Panglima Bu lewat engkau, Cu sicu (orang gagah Cu)."
Li Cu Seng berkata kepada dua orang pembantunya.
"Kalian berjagalah, seorang di luar pintu depan dan seorang lagi di luar pintu sebelah dalam itu."
Gu Kam lalu keluar dan berjaga di pintu luar dari mana tadi mereka masuk, sedangkan Giam Tit berjaga di luar pintu dalam dari mana tadi Kim Lan Hwa memasuki ruangan tamu.
Setelah kini berada berdua saja dengan Li Cu Seng, Kim Lan Hwa berkata dengan suara lirih.
"Cu-sicu, laporkan kepada Panglima Bu bahwa keadaan kota raja kini terasa tegang. Menurut kabar pasukan pemberontak telah mulai menuju ke kota raja. Sribaginda Kaisar telah memer intahkan semua pasukan pemerintah ditarik ke kota raja untuk melindungi kota raja. Bahkan telah dikirim utusan kepada suamiku, Panglima Bu, agar membawa pasukannya kembali ke sini. Akan tetapi aku mendengar bahwa Panglima Bu tidak menghiraukan perintah itu. Hal ini tentu saja menimbulkan kecurigaan dan amarah para Thaikam yang menuduh Panglima Bu sengaja membiarkan kota raja terancam oleh pasukan pemberontak.
Karena anggauta keluarga Bu hanya tinggal aku seorang di sini, maka mereka mulai melontarkan kata-kata tidak enak terhadap aku. Aku takut sekali, Sicu! Apalagi aku mendengar bahwa pemberontak Li Cu Seng dan anak buahnya yang amat banyak itu benci sekali kepada para pejabat pemerintah Kerajaan Beng. Kalau sampai kota raja mereka serbu dan mereka duduki, tentu bahaya besar mengancam diriku sebagai seorang selir Panglima Besar Bu Sam Kwi!"
Wanita yang cantik itu mulai gemetar dan tampak sekali ia memang ketakutan.
"Akan tetapi, Nona Kim...."
"Nyonya, bukan Nona..."
Kim Lan Hwa memotong.
"Ketika Panglima Bu memboyong semua anggauta keluarga dari sini ke San-hai-koan, mengapa Nona tidak ikut pergi?"
Mendengar Li Cu Seng kembali menyebut Nona Kim Hwa tidak perduli lagi.
Ia menghela napas panjang.
"Biarlah aku berterus terang agar engkau mengerti duduknya perkara, Cu-sicu. Sebetulnya tidak semestinya hal ini kuceritakan kepada orang lain. Akan tetapi entah mengapa, aku percaya padamu. Ketahuilah bahwa dahulu aku adalah seorang penyanyi yang terkenal di empat propinsi utara. Panglima Bu Sam Kwi mengambil aku sebagai seorang selir dan semenjak itu, isteri dan para selir lain dar i Panglima Bu amat membenciku... mungkin karena.... Panglima Bu amat sayang kepadaku.... mereka menjadi iri hati dan cemburu.
Maka ketika Panglima Bu menyuruh pasukan menjemput keluarganya dari sini dan diboyong ke San-haikoan, Nyonya Bu mempergunakan kekuasaannya sebagai isteri pertama, memaksa aku agar tidak ikut dan tinggal di sini untuk menjaga rumah. Tentu saja mereka berharap agar kalau pemberontak menyerbu kota raja, aku akan disiksa dan dibunuh pemberontak yang membenci para bangsawan dan keluarga mereka.
"Aih, aku khawatir sekali, Sicu... aku takut sekali..."
Wanita itu mulai menangis. Rasa takutnya selama ini, semenjak ditinggalkan seorang diri di gedung itu bersama sisa para pembantu yang tidak diikutsertakan boyongan ke San-hai-koan, ia tahan-tahan dan sekarang rasa takut yang ditahan itu jebol sehingga ia menangis tersedu-sedu, menutupi mukanya dengan saputangan yang dipegang kedua tangan.
Li Cu Seng merasa kasihan. Seorang wanita cantik jelita itu kalau tersenyum, membuat orang lain merasa gembira, akan tetapi kalau menangis, membuat hati yang keras seperti hati Li Cu Seng menjadi lunak dan penuh iba! Dia membiarkan saja wanita itu menangis mengeluarkan segala rasa takut dan kesedihan bersama air mata. Setelah tangisnya mereda, dia berkata.
"Nona Kim, hentikan tangismu. Jangan takut dan jangan bersedih. Saya akan melindungimu dari marabahaya!"
Kim Lan Hwa menghapus air matanya dengan sepasang mata kemerahan dan membengkak ia memandang wajah Li Cu Seng.
"Ah, terima kasih, Cu-sicu, Aku mohon padamu, sicu.... kalau sicu kembali ke San-hai-koan, bawalah aku serta, Sicu"
Mendengar permintaan ini, bingung juga hati Li Cu Seng. Tentu saja dia tidak dapat membawa wanita ini, karena dia sama sekali tidak akan pergi ke San-hai-koan, melainkan memimpin pasukannya menyerbu ke kota raja!
Melihat keraguan wajah pria itu, Kim Lan Hwa menjulurkan kedua tangannya dan menyeberangi meja, memegangi lengan kiri Li Cu Seng.
"Bawalah aku, Sicu, dan jangan takut. Akulah yang akan bertanggung jawab kalau Panglima Bu marah. Dia tidak mungkin marah padaku, dan dia bahkan akan merasa senang sekali kalau aku menyusul ke sana. Aku jamin engkau tidak akan disalahkan, Cu-sicu!"
Li Cu Seng merasa betapa lunak dan hangat jari-jari tangan yang memegang lengannya itu dan hatinya tergetar. Belum pernah dia begini terpesona terhadap seorang wanita! Tanpa disadarinya, tangan kanannya juga ditumpangkan ke atas tangan wanita itu dan ditekannya dengan penuh perasaan.
"Kalau begitu, baiklah, Nona..."
Pada saat itu, pintu depan terbuka dan Cu Kam menyelinap masuk bersama seorang laki-laki setengah tua berpakaian pengemis dan memegang sebatang tongkat hitam. Seorang anggauta Hek-tung Kai-pang! Wajah pengemis itu tampak tegang.
"Gu-twako, ada apakah?"
Li Cu Seng lupa bahwa tadi dia memperkenalkan Cu Kam dan Giam Tit sebagai kakak-beradik she Kam karena dia terkejut dan maklum bahwa anggauta Hek-tung Kai-pang itu tentu membawa berita yang buruk maka wajahnya tegang seperti itu.
"Cepat lapor kepada Beng-cu!"
Kata Cu Kam.
Pengemis itu menghampiri Li Cu Seng dan berbisik.
"Bengcu, tujuh orang perwira tadi menuju ke sini. Agaknya mereka mencurigai Beng-cu bertiga!"
Li Cu Seng mengerutkan alisnya.
"Hmm, kalau begitu cepat hubungi kawan-kawan dan siap untuk melindungi kami keluar dari kota raja. Jangan turun tangan dulu sebelum terjadi perkelahian."
"Baik, Beng-cu."
Setelah berkata demikian, dengan gerakan gesit pengemis itu menyelinap keluar. Gu Kam menutupkan daun pintu luar itu dari dalam. Kim Lan Hwa kini bangkit dari kursinya dan menatap tajam wajah Li Cu Seng, kemudian ia menudingkan telunjuknya ke arah muka pemimpin pemberontak itu dan berkata gagap,
"Engkau Beng-cu...? Engkau Pemimpin Pemberontak Li I Cu Seng sendiri...?"
Mata wanita itu terbelalak dan wajahnya berubah pucat.
Gu Kam menuju pintu dalam dan memanggil Giam Tit sehingga kini mereka bertiga berada di ruangan tamu. Li Cu Seng mengangguk kepada Kim Lan Hwa. Dalam keadaan seperti itu dia harus tenang namun dapat mengambil keputusan tepat dan cepat.
"Nona Kim, melihat kenyataan bahwa Panglima Besar Bu Sam Kwi tidak mau membawa pasukannya ke kota raja untuk melindungi Kaisar, membuktikan bahwa di antara kami terdapat persamaan, yaitu kami sama-sama menentang pemerintah Kerajaan Beng yang brengsek karena Kaisar telah dikuasai oleh para Thaikam dan pembesar yang korup dan lalim. Karena itu, keadaan Nona dan kami sama-sama berada dalam bahaya. Tidak ada pilihan lain bagi Nona kecuali bekerja sama dengan kami!"
"Bekerja sama bagaimana maksudmu?"
"Begini, Nona. Nona harus melindungi kami agar kami tidak diganggu dan tidak dikenal para pengawal, kemudian setelah kita dapat keluar dari kota raja, kami akan melindungi Nona dari semua bahaya yang mengancam diri Nona."
Kim Lan Hwa mengangguk-angguk.
"Baik... baik aku akan berusaha sedapatku!"
Pada saat itu, terdengar pintu diketuk dari luar dan ketika pintu dibuka, seorang pelayan tua masuk dan berkata kepada Kim Lan Hwa.
"Kim Hujin, di luar terdapat tujuh orang perwira yang mohon bicara dengan Hujin."
"Baik, katakan kepada mereka bahwa aku akan segera keluar menemui mere ka."
Kata Kim Lan Hwa dengan suara tegas. Wanita ini sudah dapat menenangkan hatinya dan tidak tampak ketakutan lagi. Pelayan itu keluar dan Kim Lan Hwa berkata kepada Li Cu Seng bertiga.
"Sam-wi tunggu saja di sini, aku akan menemui mere ka dan percayalah, sebagai selir tersayang Panglima Bu Sam Kwi, aku masih disegani para perwira."
Setelah berkata demikian, wanita cantik jelita ini lalu membereskan wajahnya yang tadi menangis, membedakinya kembali sehingga wajahnya kembali tampak berseri. Setelah itu ia keluar dengan langkah gontai dan sikap anggun dan agung.
Tujuh orang perwira yang duduk menunggu di pendapa itu adalah Su Lok Bu, Cia Kok Han, dan lima Liong-san Ngo-heng. Mereka segera bangkit berdiri memberi hormat ketika Kim Lan Hwa muncul dari pintu dalam dengan sikapnya yang anggun dan agung. Mereka bertujuh sudah tahu betul siapa wanita cantik jelita ini. Wanita ini selir tersayang Panglima Besar Bu Sam Kwi yang tidak ikut diboyong ke San-hai-koan karena ia menjaga rumah gedung panglima besar itu.
"Maafkan kami, Toa-nio (Nyonya Besar) kalau kami menganggu. Akan tetapi terpaksa kami datang berkunjung bertalian dengan tiga orang yang datang ke gedung ini. Mereka itu amat mencurigakan dan atas perintah Jenderal Ciong Kak kami diharuskan menahan mereka untuk diperiksa lebih lanjut. Kalau kemudian ternyata bahwa mereka memang benar tiga orang perwira pembantu Panglima Besar Bu seperti yang mereka katakan, tentu kami akan membebaskan mereka kembali. Kami mohon perkenan Toa-nio untuk menangkap mereka bertiga."
Kim Lan Hwa mengerutkan alisnya, mukanya berubah kemerahan, sepasang matanya yang indah itu menyinarkan kemarahan dan kedua tangannya bertolak pinggang, memandangi mereka satu demi satu.
"Berani sekali kalian menuduh yang bukan-bukan terhadap para utusan suamiku, Panglima Besar Bu Sam Kwi? Kalau kalian tidak percaya kepada mereka bertiga, berarti kalian tidak percaya kepadaku dan kalau tidak percaya kepadaku, berarti tidak percaya kepada Panglima Bu! Begitukah? Mereka bertiga, Perwira Cu dan dua orang Perwira Kam adalah orang-orang kepercayaan suamiku, utusan pribadi Panglima Besar Bu Sam Kwi yang diutus untuk bicara dengan aku mengenai urusan keluarga kami. Juga mereka menceritakan bahwa saat ini, Panglima Besar Bu sedang menyiapkan balatentara untuk ditarik kembali ke kota raja, melindungi kota raja dari ancaman serbuan pasukan pemberontak! Dan sekarang kalian hendak menangkap mereka, seolah-olah para utusan suamiku itu penjahat-penjahat? Kalau begitu, sebelum kalian menangkap mereka, tangkaplah aku lebih dulu, biar nanti Panglima Besar Bu Sam Kwi yang akan memutuskan apa yang akan dia lakukan sebagai hukuman kepada kalian bertujuh!"
Tujuh orang itu tentu saja terkejut sekali mendengar ucapan yang bernada marah ini. Melihat betapa selir tersayang Panglima Bu itu menjamin bahwa tiga orang itu benar-benar utusan pribadi Panglima Bu, tentu saja mereka bertujuh percaya.
"Maaf, Toanio. Kami hanya melaksanakan perintah Jenderal Ciong!"
Kata Cia Kok Han membela diri.
(Lanjut ke Jilid 12)
Sakit Hati Seorang Wanita (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 12
"Bagus! Kalau begitu, Jenderal Ciong yang akan menangkap tiga orang utusan pribadi Panglima Besar Bu Sam Kwi? Berarti Jenderal Ciong sudah berani memberontak terhadap atasannya? Kalau perlu, suruh Jenderal Ciong bicara sendiri dengan aku"
Tujuh orang itu kehilangan nyali. Mereka tadinya menaruh kecurigaan besar terhadap tiga orang itu. Akan tetapi setelah Kim Lah Hwa bersikap seperti itu, kecurigaan mereka hampir hilang sama sekali. Kiranya mustahil kalau selir tersayang Panglima Besar Bu Sam Kwi melindungi mata-mata pemberontak!
"Baiklah, Toa-nio. Kami tarik kembali keinginan kami menangkap tiga orang itu. Harap maafkan kesalah-pahaman kami ini."
Kata Su Lok Bu dan mereka bertujuh lalu memberi hormat dan meninggalkan gedung itu.
Ketika wanita cantikitu bicara dengan tujuh orang perwira, Li Cu Seng bertiga mengintai dari dalam dan mereka sudah siap siaga kalau-kalau wanita itu melaporkan keadaan mereka yang sesungguhnya, atau kalau terjadi bahaya mengancam. Tentu saja mereka akan melawan mati-matian karena kalau Li Cu Seng sampai tertawan hidup-hidup, berarti dia menyerah dan ini akan melemahkan semangat laskar rakyat yang dipimpinnya. Sebaliknya kalau dia melawan sampai mati, hal ini malah menambah kemarahan para pemberontak terhadap pemerintah Kerajaan Beng. Akan tetapi, betapa lega dan girang rasa hati mereka melihat sikap Kim Lan Hwa dan mendengar ucapannya yang tegas dan berwibawa sehingga tujuh orang perwira itu menjadi jerih dan meninggalkan gedung itu. Untuk sementara mereka aman, akan tetapi rianya sementara saja. Hal ini mereka ketahui benar. Ketika Kim Lan Hwa memasuki ruangan tamu kembali, tiga orang itu bangkit menyambutnya.
"Ah, Nona Kim hebat sekali! Kami sungguh merasa kagum dan berterima kasih!"
Kata Li Cu Seng dan kembali dia memandang dengan kekaguman yang tulus. Akan tetapi Kim Lan Hwa mengerutkan alisnya.
"Li Beng-cu, sementara ini memang kita aman. Akan tetapi bagaimana selanjutnya? Apa yang akan kita lakukan sekarang?"
"Tenanglah, Nona Kim. Mari kita bicarakan dan kita cari jalan terbaik untuk dapat meloloskan diri dari kota raja. Yang terpenting, kami bertiga harus dapat keluar tanpa gangguan, dan juga Nona sendiri agar dapat keluar dari sini kemudian menyusul keluarga Nona di San-hai-koan. Hal itu merupakan langkah ke dua. Langkah pertama sekarang bagaimana kita berempat, yaitu kami dan Nona, dapat meninggalkan kota raja tanpa halangan."
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo