Sakit Hati Seorang Wanita 12
Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo Bagian 12
Mereka berempat bersiam diri, berpikir-pikir. Tiga orang pria itu t idak bisa mendapatkan ja lan terbaik, maka perhatian mereka tertuju kepada Kim Lan Hwa. Wanita ini mengerutkan alisnya dan jalan hilir mudik dalam ruangan yang luas itu. Tiba-tiba pintu diketuk dari dalam.
"Siapa?"
Tanya Kim Lan Hwa.
"Hamba mengantarkan minuman, Hu-jin."
Terdengar suara pelayan wanita.
"Baik, bawa masuk."
Kata Kim Lan Hwa.
Pintu terbuka dan seorang pelayan wanita setengah tua masuk membawa baki terisi seguci arak, empat buah cawan perak dan beberapa piring makanan kecil. Dengan sikap hormat pelayan itu meletakkan piring makanan dan guci serta cawan di atas meja, kemudian ia membungkuk memberi hormat lalu meninggalkan ruangan tamu itu.
"Mari, silakan makan dan minum arak untuk mengendurkan ketegangan, perlahan-lahan aku akan mencari akal."
Kata Kim Lan Hwa.
Tanpa sungkan lagi tiga orang itu lalu minum arak dan makan hidangan kecil itu bersama nyonya rumah.
"Ah, aku tahu caranya!"
Tiba-tiba Kim Lan Hwa berseru dan Li Cu Seng memandang dengan wajah berseri.
"Apa yang harus kami lakukan, Nona?"
"Begini, Li Beng-cu, kalian bertiga akan kucarikan pakaian perwira. Hal ini akan menguatkan kepercayaan mereka bahwa kalian memang perwira pembantu Panglima Besar Bu Sam Kwi. Dan sebagai tiga orang perwira, kalian mengawal aku keluar pintu gerbang kota raja."
"Hemm, gagasan yang baik sekali."
Kata Li Cu Seng, diam-diam semakin kagum karena selain cantik jelita, wanita ini pun cerdik sekali. Tidak mengherankan kalau ia menjadi selir tersayang dari Bu Sam Kwi. Tiba-tiba timbul rasa iri dalam hatinya terhadap Bu Sam Kwi!
"Akan tetapi, maafkan pertanyaanku, Nona. Bagaimana kalau mereka bertanya ke mana kita hendak pergi?"
Tanya Cu Kam.
"Tidak akan ada yang berani bertanya kepadaku. Aku naik kereta, Li Bengcu yang menjadi kusir dan kalian berdua mengawal kereta. Kalau ada yang berani bertanya, aku dapat menjawab sesuka hatiku, mungkin pergi berjalan-jalan, atau pergi berburu, atau bahkan aku dapat mengatakan bahwa aku akan menyusul suamiku di San-hai-koan. Siapa yang berani melarangku?"
"Kalau mereka tetap menghalangi?"
Tanya Li Cu Seng. Kim Lan Hwa mengangkat kedua pundaknya dan menghela napas panjang.
"Kalau sampai terjadi demikian, aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Tinggal terserah kalian bertiga."
"Kalau begitu, kita lawan mati-matian!"
Kata Giam Tit dan Gu Kam menyetujui pendapat ini.
"Nona Kim, apakah engkau tidak dapat minta bantuan pasukan yang setia kepada Panglima Besar Bu Sam Kwi agar mereka memperkuat pengawalan ketika Nona meninggalkan kota raja?"
Kim Lan Hwa menggeleng kepala.
"Tidak bisa... kalau hal itu kulakukan, memang ada perwira yang setia akan tetapi kalau pengawalan pasukan terjadi, hal itu tentu akan menimbulkan kecurigaan dan akan terjadi pertempuran besar yang akibatnya bahkan buruk bagi suamiku. Tidak, kurasa jalan tadi yang terbaik. Mudah-mudahan saja akal kita akan berhasil baik."
Kim Lan Hwa bekerja cepat. Ia menyuruh orang-orangnya untuk menyediakan pakaian perwira bagi Li Cu Seng, Gu Kam, dan Giam Tit. Tiga orang itu lalu mengenakan pakaian perwira di luar pakaian penyamaran mereka, sedangkan Kim Lan Hwa memer intahkan pelayan pria untuk mempersiapkan kereta yang ditarik dua ekor kuda, juga hendak menyediakan dua ekor kuda untuk Gu Kam dan Giam Tit. Akan tetapi Li Cu Seng berkata.
"Tidak perlu disediakan kuda bagi mereka. Kami telah meninggalkan tiga ekor kuda kami di dalam hutan di luar pintu gerbang barat."
Kim Lan Hwa mengumpulkan perhiasan dan beberapa potong pakaian untuk dibawa pergi. Setelah semua persiapan selesai, ia memesan kepada para pelayan untuk menjaga rumah baik-baik karena ia akan pergi menyusul keluarganya ke San-hai-koan, dikawal tiga orang perwira pembantu Panglima Besar Bu Sam Kwi itu.
"Mari kita berangkat."
Katanya kepada tiga orang yang sudah berubah menjadi perwira-perwira berpakaian indah membuat mereka tampak gagah.
"Hari telah siang jangan sampai kita kemalaman sebelum jauh dari kota raja."
Wanita itu memasuki kereta dan sengaja tidak menutup tirainya agar semua orang dapat melihat bahwa yang berada di dalam kereta adalah ia. Li Cu Seng yang berpakaian perwira gagah itu duduk di tempat kusir, memegang kendali kuda, dan Gu Kam bersama Giam Tit berjalan di belakang kereta sebagai pengawal. Maka berangkatlah kereta itu keluar dari halaman gedung tempat tinggal keluarga Panglima Besar Bu, diantarkan para pelayan sampai di depan pintu gerbang gedung itu.
Gadis itu sudah dewasa dan matang, usianya sekitar dua puluh lima tahun. Wajahnya cantik dan lembut, namun sinar matanya terkadang sayu seperti orang yang menderita luka dan terkadang tajam lerkilat. Tubuhnya ramping padat, kulitnya putih mulus kekuningan. Rambut hitam panjang lebat, dikuncir dua sehingga tampak lucu. Hidungnya kecil mancung, dagunya runcing dan sebuah tahi lalat kecil di dagu membuat ia tampak manis sekali. Bibirnya merah basah namun sayang mulut yang manis itu jarang sekali tersenyum. Ia berjalan seorang diri di luar kota raja bagian barat. Karena ia tidak membawa senjata apa pun, maka tentu orang akan menyangka bahwa ia seorang gadis lemah, walaupun keadaannya berjalan seorang diri di tempat sepi itu mengherankan bagi seorang gadis lemah.
Padahal, sesungguhnya gadis ini sama sekali bukan seorang wanita lemah. Bahkan ia seorang gadis yang amat lihai, dan pernah menggemparkan kota raja dengan perbuatannya yang mendirikan bulu roma. Dan tahun yang lalu, gadis ini telah mengamuk dan membuat putera seorang kepala jaksa di kota Thian-cin menjadi seorang yang cacat dan mengerikan karena wajahnya dirusak dan kaki tangannya menjadi buntung dan lumpuh. Putera jaksa itu bernama Pui Ki Cong dan bersama dia, dua orang ahli silat yang tangguh juga dibuat serupa dengan majikan mereka, menjadi cacat dan gila, tidak seperti manusia lumrah lagi. Yang seorang lagi malah tewas membunuh diri.
Gadis ini adalah Kim Cui Hong, puteri mendiang guru silat Kim Siok di dusun Ang-ke-bun. Seperti telah diceritakan di bagian depan kisah ini, ketika ia berusia enam belas tahun, seorang gadis remaja yang cantik, Kim Cui Hong diculik dan diperkosa bergantian oleh Pui Ki Cong bersama tiga orang tukang pukulnya, yaitu Gan Tek Un, Koo Cai Sun, dan Louw Ti. Bukan hanya perkosaan berulang oleh empat orang dan penghinaan yang diderita Cui Hong, melainkan lebih dari itu karena ayahnya, Kim Siok dan suhengnya, Can Lu San, tewas pula ketika hendak menolongnya. Mereka berdua tewas di tangan tiga orang jagoan anak buah Pui Ki Cong itu, tiga orang yang terkenal dengan julukan Bu-tek Sam-eng (Tiga Pendekar Tanpa Tanding).
Setelah menderita malapetaka hebat itu, Cui Hong menjadi murid Toat-beng Hek-mo (Iblis Hitam Pencabut Nyawa), seorang datuk kang-ouw yang sakit dan ia digembleng selama tujuh tahun oleh gurunya itu, sehingga Cui Hong, yang tadinya memang sudah pandai bersilat belajar dari ayahnya, kini menjadi seorang gadis yang luar biasa lihainya. Akan tetapi oleh gurunya itu yang setahun lalu telah meninggal dunia karena usianya yang sudah tua, Cui Hong disuruh berjanji bahwa ilmunya tidak boleh dipergunakan untuk membunuh.
Akan tetapi, saking demikian mendalam perasaan dendam dan bencinya kepada musuh-musuh itu, walaupun ia tidak membunuh mereka, namun ia menyiksa mereka dan membuat mereka dalam keadaan hidup tidak mati pun tidak, lebih berat daripada kalau mereka mati. Bahkan seorang di antara Bu-tek Sam-eng, yang sudah bertaubat dan hidup sebagai seorang tosu pertapa, membunuh diri karena tidak ingin melihat Cui Hong bermusuhan dengan keponakannya sendiri yang hendak melindunginya. Keponakannya itu bernama Tan Siong, murid Kun-lun-pai yang hidup sebagai seorang pendekar.
Sebetulnya Tan Siong jatuh cinta kepada Cui Hong, akan tetapi ketika Cui Hong karena hendak membalas dendam kepada Gan Tek Un yang sudah menjadi pertapa, yang dulu juga ikut memperkosa dan menghinanya, Tan Siong membela pamannya dan menghalangi Cui Hong. Melihat ini, dan merasa menyesal akan dosanya, akan perbuatannya yang teramat keji terhadap Cui Hong tujuh tahun yang lalu, Gan Tek Un lalu membunuh diri sehingga tidak terjadi perkelahian antara Cui Hong dan Tan Siong.
Cui Hong melangkah santai sambil termenung. Ia teringat akan Tan Siong. Setelah ia berhasil melaksanakan balas dendam sakit hatinya, Tan Siong menyatakan cintanya kepadanya. Ia menolak karena merasa dirinya sudah ternoda, diperkosa empat orang secara keji. Akhirnya ia meninggalkan Tan Siong walaupun pemuda itu mengaku tetap mencintanya walaupun ia sudah ternoda.
Cui Hong menghela napas panjang. Selama dua tahun ini ia merantau di dunia kang-ouw (persilatan), bertindak sebagai seorang pendekar wanita yang membela kebenaran dan keadilan, menentang yang jahat seperti pesan ayahnya dahulu ketika ayahnya mengajarkan silat kepadanya. Dan selama dua tahun itu, banyak sudah laki-laki yang tertarik dan menyatakan cinta kepadanya, namun semua itu dito laknya dengan halus maupun dengan kasar sesuai dengan sikap laki-laki itu sendiri ketika menyatakan cintanya.
Harus diakuinya bahwa ia tidak dapat melupakan Tan Siong yang amat baik kepadanya, la tahu bahwa Tan Siong amat mencintanya, cinta yang tulus. Namun ia sendiri ragu. Ia sendiri tidak tahu apakah ia juga mencinta Tan Siong. Ia tidak tahu apakah ia masih dapat mencinta seorang laki-laki setelah hidup dan kebahagiannya dihancurkan empat orang laki-laki itu.
Ketika pergolakan terjadi, yaitu adanya pemberontakan-pemberontakan terhadap Kerajaan Beng, terutama sekali yang digerakkan oleh pemimpin pemberontakan Li Cu Seng, Cui Hong tidak tahu harus berpihak mana. Ia sendiri sudah mengalami hal pahit oleh ulah seorang kepala jaksa, yaitu Pembesar Jaksa Pui dan ia pun dalam perantauannya selama dua tahun serlngkall bertemu pembesar-pembesar lalim yang menekan rakyat, yang sewenang-wenang mengandalkan kekuasaannya, maka ada perasaan tidak suka kepada para pejabat pemerintah Kerajaan Beng yang pada umumnya tukang korup dan sewenang-wenang itu.
Maka, ketika mendengar ada pemberontakan terhadap pemerintah Kerajaan Beng, ia pun tidak begitu mengacuhkan. Akan tetapi, ia pun melihat betapa banyak pendekar berdatangan ke kota raja memenuhi undangan Jenderal Ciong Kak untuk membantu pemerintah memperkuat kota raja menghadapi ancaman pemberontak. Ia menjadi bimbang dan teringatlah Cui Hong kepada seorang saudara sepupunya.
Ayahnya, mendiang Kim Siok mempunyai seorang kakak bernama Kim Tek dan uwanya itu mempunyai seorang anak perempuan yang sebaya dengannya. Nama saudara sepupunya itu adalah Kim Lian Hwa. Ia mendengar bahwa enam tahun yang lalu Kim Lian Hwa diambil sebagai selir oleh seorang panglima besar Kerajaan Beng yang bernama Panglima Bu Sam Kwi dan yang kini terkenal sebagai panglima yang berkuasa memimpin balatentara menjaga di San-haikoan. la mendengar dari para pendekar bahwa Panglima Bu Sam Kwi adalah seorang Panglima baik dan setia, dan dikagumi oleh semua tokoh dan para datuk dunia kang-ouw.
Maka timbul keinginan hatinya untuk mengunjungi saudara sepupunya itu, dan ia tentu akan mendapat keterangan dan penggambaran jelas tentang pemberontakan yang dipimpin Li Cu Seng, nama yang juga dikagumi para pendekar dan kabarnya bahkan partai-partai persilatan besar mendukung gerakan Li Cu Seng ini. Maka pada siang hari itu, Kim Cui Hong berjalan santai seorang diri di luar kota raja sebelah barat.
Pada saat itu juga, kereta yang ditumpangi Kim Lan Hwa dikusiri Li Cu Seng dan dikawal Gu Kam dan Giam Tit. Ketika kereta melalui pintu gerbang, para perajurit penjaga tidak berani menghalangi melihat kereta dikusiri dan dikawal tiga orang perwira. Apalagi ketika melihat kereta yang terbuka tirainya itu ditumpangi Kim Hujin yang dikenal semua perajurit, mereka malah segera bersikap tegak dan memberi hormat.
Kereta keluar dari pintu gerbang, mula-mula dijalankan perlahan karena dua orang itu mengawal dengan jalan kaki, akan tetapi setelah agak jauh dari pintu gerbang, Li Cu Seng menjalankan keretanya lebih cepat. Gu Kam dan Giam Tit mengikut inya sambil berlari.
Ketika mereka tiba di dekat hutan di mana mereka meninggalkan kuda mereka, tiba-tiba muncul delapan orang menghadang di tengah jalan. Terpaksa Li Cu Seng menahan kuda penarik kereta, dan Kim Lian Hwa menjenguk dari kereta. Melihat delapan orang perwira berdiri menghadang dan ternyata mereka adalah tujuh orang yang tadi datang ke gedungnya ditambah seorang perwira tua lagi, Kim Lan Hwa berkata dengan suara tegas dan alis berkerut.
"Hei! Kalian ini perwira-perwira yang tidak tahu aturan! Berani sekali kalian menahan keretaku? Apakah kalian tidak mengenal aku, isteri Panglima Besar Bu Sam Kwi? Hayo minggir dan biarkan kami lewat, atau aku akan melaporkan kekurang-ajaran kalian kepada Panglima Besar Bu!"
"Maafkan kami, Toanio."
Kata Su Lok Bu yang memimpin rombongan itu.
"Tindakan kami ini justru untuk melindungi Toanio, karena yang menyamar sebagai perwira pembantu Panglima Besar Bu Sam Kwi ini adalah pemimpin pemberontak Li Cu Seng dan dua orang anak buahnya!"
Mendengar ini, wajah Kim Lan Hwa menjadi pucat dan ia jatuh terhenyak di atas kursi kereta, tidak mampu bicara lagi. Akan tetapi Li Cu Seng tetap tenang dan dari tempat duduknya di depan kereta dia berkata dengan lantang.
"Sobat, engkau sungguh lancang sekali menuduh orang. Kami bertiga adalah perwira-perwira pembantu Panglima Besar Bu Sam Kwi, bagaimana kalian dapat menuduh kami pimpinan pemberontak?"
Tiba-tiba perwira tua yang muncul bersama Su Lok Bu, Cia Kok Han, dan lima Liong-san Ngo-heng berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah Li Cu Seng.
"Engkau adalah pemimpin pemberontak Li Cu Seng! Aku pernah melihatmu ketika aku ikut mempertahankan Shen-si dari serbuanmu. Setelah Shen-si jatuh ke tangan pemberontak, aku bertugas di sini. Aku tidak lupa, engkaulah Li Cu Seng!"
"Bohong!"
Kim Lan Hwa membentak.
"Dia adalah Perwira Cu, pembantu suamiku Panglima Besar Bu Sam Kwi!"
"Maaf, Toanio. Terpaksa kami akan menangkap tiga orang ini dan kami bawa kepada Ciong Goan-swe (Jenderal Ciong) untuk diteliti lebih dulu!"
Kata Su Lok Bu.
Perwira yang bertubuh tinggi besar berkulit hitam, bermata lebar dan mukanya penuh brewokitu telah mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dari pinggangnya. Cia Kok Han, perwira sebaya Su Lok Bu, berusia lima puluh dua tahun, bertubuh pendek gendut, berkulit putih dan matanya sipit, rambut dan jenggotnya sudah putih semua, juga sudah mencabut sebatang golok besar yang berat. Su Lok Bu adalah seorang jagoan murid Siauw-lim-pai, sedangkan Cia Kok Han adalah seorang tokoh Bu tong pai tentu saja mereka berdua ini memiliki kepandaian tinggi. Lima orang Liong-san Ngo-heng juga mencabut pedang mereka. Tidak ketinggalan perwira tua yang mengenal Li Cu Seng itu pun mencabut pedangnya. Delapan orang itu siap untuk menyerang.
"Li Cu. Seng!"
Bentak Su Lok Bu sambil menudingkan pedang kanannya.
"Menyerahlah kalian bertiga agar kami tidak perlu menggunakan kekerasan!"
Karena merasa percuma menyangkal karena perwira tua itu telah mengenalnya, Li Cu Seng melompat turun dari atas kereta sambil memberi isarat kepada dua orang pembantunya, mereka bertiga lalu merenggut lepas pakaian perwira yang mereka pakai menutupi pakaian mereka yang biasa, dan mencabut senjata masing-masing.
"Aku adalah Li Cu Seng! Kami bertiga pimpinan laskar rakyat dan tidak mudah untuk menangkap kami!"
Kata Li Cu Seng. Sementara itu, Gu Kam dan Ciam Tit sudah memasang kuda-kuda dengan golok di tangan kanan. Melihat sepasang kuda-kuda itu, Cia Kok Han berseru heran dan marah.
"Kalian adalah murid-murid Bu-tong-pail Sungguh memalukan murid Bu-tong-pai menjadi pemberontak!"
"Hemm, kuda-kudamu adalah pembukaan ilmu golok Butong-pai pula! Kami membantu para pejuang untuk merobohkan kekuasaan kaisar lalim yang menjadi boneka para Thaikam. Engkau lebih memalukan merendahkan diri menjadi anjing para Thaikam yang korup dan jahat!"
Bentak Gu Kam. Mendengar ini, Cia Kok Han menjadi marah sekali dan dia sudah menggerakkan golok besarnya menyerang Gu Kam. Pembantu Li Cu Seng ini pun menyambut dengan goloknya.
"Tranggg!"
Bunga api berpijar ketika dua batang golok beradu dan mereka merasa betapa tangan mereka tergetar, tanda bahwa tenaga mereka seimbang. Mereka lalu saling serang dengan seru dan mati-matian.
Su Lok Bu juga sudah menggerakkan sepasang pedangnya menyerang Giam Tit yang cepat memutar goloknya untuk menangkis dan balas menyerang. Kedua orang ini pun segera terlibat dalam per kelahian yang seru.
Liong-san Ngo-eng ketika mendengar bahwa laki-laki tinggi tegap yang tampan gagah itu adalah pimpinan pemberontak Li Cu Seng, segera bergerak maju dan mengeroyok. Mereka mencabut pedang dan segera mengatur gerakan, lambat-lambat mereka melangkah mengitari Li Cu Seng dengan berbagai kuda-kuda. Melihat gerakan mereka ini, Li Cu Seng waspada. Dia tahu bahwa lima orang itu membentuk sebuah kiam-tin (barisan pedang) yang berbahaya sekali. Cepat dia pun memutar pedangnya dan berusaha membobol kepungan itu dengan menyerang orang yang berada di depannya, menusukkan pedangnya dengan pengerahan tenaga sakti.
"Tranggg...!"
Bukan hanya pedang lawan yang dia serang itu yang menangkis, melainkan juga orang di sebelah kirinya sehingga ada dua pedang yang menangkis, lalu pada saat yang bersamaan, orang di sebelah kanannya menyerang dengan bacokan pedang sehingga Li Cu Seng harus cepat mengelak.
Benarlah dugaannya. Lima orang itu membentuk barisan pedang yang luar biasa tangguhnya. Setelah saling serang beberapa lamanya, tahulah Li Cu Seng bahwa lima orang itu membentuk Ngo-heng Kiam-tin (Barisan Pedang Lima Unsur) yang amat berbahaya dan amat tangguh. Seperti juga unsur Ngo-heng, yaitu Air-Kayu-Api-Tanah-Logam, lima orang itu saling mengisi dan saling menghidupkan atau menunjang. Air menghidupkan Kayu, Kayu menghidupkan Api, Api menghidupkan Tanah, Tanah menghidupkan Logam dan Logam menghidupkan Air. Maka, setiap kali Li Cu Seng menyerang seorang lawan, ada orang lain yang bantu menangkis atau melindunginya dan orang lain pula menyerangnya.
Semua ini dilakukan secara tertatur sekali sehingga pertahanan mereka amat kuat, juga mereka dapat menyerang secara bertubi-tubi. Tak lama kemudian Li Cu Seng menjadi kewalahan juga. Dia memang seorang pemimpin perjuangan yang gigih dan pandai, pandai mengatur pasukan, membentuk barisan-barisan yang kuat, namun ilmu silatnya tidaklah terlalu tinggi sehingga kini menghadapi Ngo-heng Kiam-tin dari Liong-san Ngo-eng, Li Cu Seng terdesak hebat. Melihat betapa usaha mereka melarikan diri ketahuan dan kini tiga orang pimpinan pemberontakitu dikeroyok, Kim Lan Hwa menjadi bingung. Ia hendak turun dari kereta dan melarikan diri, kembali ke kota raja. Akan tetapi tiba-tiba perwira tua itu sudah menghadang di luar kereta sambil menodongkan pedangnya.
"Toanio terlibat dengan para pemberontak, harap tidak meninggalkan kereta."
Katanya.
Kim Lan Hwa terpaksa duduk kembali. Kini, wanita bangsawan ini tidak dapat lagi menggunakan gertakan karena keadaan Li Cu Seng sudah ketahuan dan ini berarti bahwa ia mempunyai hubungan dengan pimpinan pemberontakan itu! Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang gadis cantik sudah berdiri dekat kereta.
"Enci Kim Lan Hwa, jangan khawatir, aku datang melindungimu!"
Kim Lan Hwa terbelalak memandang gadis itu dan ia berseru girang.
"Cui Hong!"
Perwira tua yang tadi menodongkan pedangnya, kini membalik dan menyerang Cui Hong dengan pedangnya. Akan tetapi Cui Hong yang hanya memegang sebatang ranting, dengan mudah mengelak dan sekali ranting itu berkelebat, jalan darah di pundak perwira itu telah tertotok, sehingga lengan kanannya lumpuh dan pedangnya terlepas dari pegangan. Kaki kiri Cui Hong menendang.
"Bukk...!"
Perut perwira itu tertendang sehingga tubuhnya terpental dan dia roboh pingsan!
"Adik Cui Hong, cepat engkau bantu mereka!"
Kini Kim Lan Hwa menunjuk ke arah Li Cu Seng yang masih kerepotan dikeroyok lima orang itu. Sedangkan dua orang pembantunya, Gu Kam dan Giam Tit, juga masih bertanding seru dengan lawan masing-masing.
Kim Lan Hwa tadi segera mengenal Kim Cui Hong, puteri pamannya. Ia sudah mendengar tentang nasib Cui Hong yang malang dan sudah mendengar pula betapa kini Cui Hong menjadi seorang wanita yang tinggi sekali ilmu silatnya sehingga mereka yang menjadi musuh-musuhnya, yang membunuh ayah dan suhengnya, yang memperkosa dan menghinanya, semua telah dihukumnya secara mengerikan. Karena yang disiksanya itu putera jaksa tinggi dan orang-orangnya, maka tentu saja Kim Cui Hong menjadi orang buruan pemerintah. Tentu saja yang memburunya adalah para penjahat yang menjadi kawan-kawan pembesar itu. Maka, kemunculan Cui Hong yang lihai itu menggirangkan hati Kim Lan Hwa.
Seperti kita ketahui, secara kebetulan pada siang hari itu Cui Hong sedang berjalan menuju kota raja untuk mengunjungi saudara sepupunya, yaitu Kim Lan Hwa. Sama sekali tidak disangkanya ia akan bertemu dengan wanita itu di dekat hutan. Melihat perkelahian itu, tadinya ia ragu karena ia tidak tahu akan urusannya. Akan tetapi ketika mengenali Su Lok Bu dan Cia Kok Han yang dulu pemah menjadi jagoan Tuan Muda Pui Ki Cong, ia t idak ragu lagi harus membantu pihak mana. Sudah pasti pihak dua orang bekas kaki tangan Pui Ki Cong itu yang tidak benar. Juga melihat Kim Lan Hwa yang duduk di kereta ditodong seorang perwira, ia cepat turun tangan membereskan perwira itu. Setelah Kim Lan Hwa minta kepadanya untuk membantu, Cui Hong kembali meragu. Siapa yang harus dibantunya? Jangan-jangan dua orang bekas anak buah Pui Kongcu itu berada di pihak Kim Lan Hwa. Saudara sepupunya ini adalah isteri seorang panglima, maka tidak aneh kalau dua orang itu kini menjadi pengawalnya.
"Enci Lan Hwa, siapa yang harus kubantu? Perwira itukah?"
Tanyanya ragu.
"Bukan! Merekalah yang hendak menangkap a ku. Bantulah tiga orang pendekar itu!"
Pada saat itu, Su Lok Bu mengeluarkan bunyi siulian nyaring dan bermuncul-lanlah dua losin perajurit! Tadinya, dia memandar rendah tiga orang itu dan merasa yakin akan dapat mengalahkan mere ka. Akan tetapi setelah mendapat kenyataan betapa lihainya mereka, dan melihat pula munculnya seorang gadis cantik memegang ranting yang membuat wajahnya pucat dan jantungnya berdebar, dia cepat memberi isarat memanggil pasukannya yang tadi sudah siap menanti perintah ini. Su Lok Bu mengenal Kim Cui Hong! Juga Cia Kok Han mengenalnya sehingga dua orang ini menjadi jerih sekali karena mereka maklum betapa lihainya gadis itu.
Cui Hong sudah menerjang dengan rantingnya. Ia melihat betapa seorang di antara tiga pendekar yang dikeroyokitu kewalahan menghadapi barisan pedang lima orang yang lihai. Ia menyerang dan karena ia menyerang dari luar kepungan, tentu saja yang diserangnya membalik untuk membela diri dan kepungan itu menjadi kacau. Melihat kehebatan gerakan ranting di tangan Cui Hong, dua orang dari lima anggauta kiam-tin itu terpaksa menghadapinya sehingga Li Cu Seng hanya dikeroyok oleh tiga orang. Tentu saja hal ini membuat dia tidak terdesak lagi.
Barisan pedang itu berusaha untuk memancing Cui Hong ke dalam kepungan. Biarpun ada dua orang, kalau keduanya dapat mereka kepung dalam barisan pedang mereka, tentu mereka berlima dapat mendesak dan mengalahkannya. Akan tetapi Cui Hong tidak dapat dipancing. Ia tetap saja bergerak di luar kepungan dan Li Seng bergerak di dalam kepungan. Akan tetapi, tidak terlalu lama Li Cu Seng dan Kim Cui Hong membuat lima orang Liong-san Ngo-eng terdesak karena Su Lok Bu telah meniup peluitnya dan dua losin perajurit itu datang menyerbu. Segera empat orang itu, Li Cu Seng, Kim Cui Hong, Cu Kam, dan Ciam Tit menghadapi pengeroyokan banyak orang. Tujuh jagoan ditambah dua puluh empat orang perajurit. Orang yang tadi dirobohkan Cui Hong masih belum dapat ikut mengeroyok.
Melihat empat orang itu dikeroyok demikian banyak perajurit, Kim Lan Hwa menjadi khawatir sekali. Kalau mereka itu roboh, ia sendiri tentu akan ditangkap dan dituduh bersekutu dengan para pimpinan pemberontak! Sementara itu, Su Lok Bu dan Cia Kok Han, dibantu belasan orang perajurit, sudah mengepung Cui Hong.
"Kim Cui Hong iblis betina! Sekarang engkau akan menebus semua dosa kekejamanmu dulu!"
Bentak Su Lok Bu.
"Engkau ikut menjadi seorang pemberontak!"
Cui Hong mengelebatkan rantingnya.
"Huh, kiranya engkau anjing-anjing penjilat pembesar korup dan laknat, sampai sekarang tetap saja menjadi anjing penjilat!"
Empat orang itu tentu saja terdesak hebat karena dikeroyok terlalu banyak orang. Memang mereka masing-masing sudah merobohkan dua orang pengeroyok, namun pihak musuh terlalu banyak sehingga keselamatan mereka terancam dan gawat sekali. Selain untuk melarikan diri tidak mungkin karena mereka dikepung banyak orang, juga bukan watak Li Cu Seng untuk lari meninggalkan kawan-kawannya. Dia pun bertanggung jawab atas keselamatan Kini Lan Hwa karena bagaimanapun juga, wanita selir Panglima Bu Sam Kwi itu sudah berjasa menolong dia bertiga keluar dari kota raja. Kalau kini dia dan dua orang anak buahnya melarikan diri meninggalkan Kim Lan Hwa dan gadis perkasa yang kini membantu mere ka, dunia akan mencemoohkan nama mereka sebagai pengecut-pengecut yang tidak mengenal budi! Lebih baik mati daripada dianggap pengecut.
Pada saat yang amat gawat itu, tiba-tiba terdengar sorak-sorai dan muncullah puluhan orang berpakaian pengemis yang membawa tongkat hitam menyerbu ke tempat pertempuran. Mereka itu adalah para anggauta Hek-tung Kai-pang dan mereka segera menyerang para peraju-rit kerajaan dengan permainan tongkat mereka yang lihai! Jumlah para anggauta Hek-tung Kai-pang itu tidak kurang dari empat puluh orang dan mereka itu rata-rata memiliki ilmu tongkat yang lihai, yang merupakan ilmu istimewa dari Hek-tung Kai-pang. Kini keadaannya menjadi terbalik. Para perajurit terdesak hebat, banyak di antara mereka yang sudah roboh.
Cui Hong mengamuk. Dengan bantuan banyak anggauta Hek-tung Kai-pang, ia mendesak Su Lok Bu dan Cia Kok Han dengan ranting di tangannya. Pada saat yang tepat ia berhasil menendang roboh Su Lok Bu dan tangan kirinya menampar dan mengenai pundak Cia Kok Han sehingga dua orang ini terpelanting. Akan tetapi mereka dapat melompat bangkit dan bersama Liong-san Ngo-eng, mereka tanpa malu-malu lagi melarikan diri karena makium bahwa kalau mereka nekat melawan, akhirnya mereka tentu akan tewas. Sisa para perajurit yang belum roboh juga melarikan diri.
Li Cu Seng lalu meneriaki para anggauta Hek-tung Kai-pang untuk membubarkan diri.
"Tidak perlu lagi kalian semua kembali ke kotaraja, cukup beberapa orang saja dengan menyamar sebaiknya dan kalian bersiaplah karena penyerbuan akan segera dilakukan. Nona Kim, terpaksa engkau harus ikut dulu dengan kami karena kami tidak mempunyai waktu mengantar Nona ke San-hai-koan."
"Hong-moi (Adik Hong), naiklah dan temani aku!"
Kata Kim Lan Hwa kepada Cui Hong.
Gadis itu pun tidak menolak dan tanpa banyak cakap ia memasuki kereta dan duduk di samping selir panglima besar itu. Karena keadaan mendesak, yaitu para perwira kerajaan tadi tentu akan cepat datang lagi membawa pasukan besar, maka Cui Hong juga tidak ada waktu lagi untuk bercakap-cakap. Kereta segera dilarikan oleh Li Cu Seng. Gu Kam dan Giam Tit menunggangi kuda mereka dan mereka membalap menuju daerah barat yang sudah dikuasai pasukan rakyat pimpinan Li Cu Seng.
Setelah kereta berjaian dan mereka duduk bersanding di dalam kereta, barulah Kim Cui Hong yang tangannya dipegang oleh Kim Lan Hwa yang gemetaran itu berkata.
"Enci Lan, apakah artinya semua ini? Engkau adalah isteri seorang panglima besar, mengapa engkau malah bersama tiga orang yang dikeroyok para perajurit itu? Mengapa pasukan kerajaan malah mengganggumu? Dan siapakah tiga orang itu?"
"Panjang ceritanya, Hong-moi. Ketahuilah bahwa suamiku, Panglima Bu, kini berada di San-hai-koan memimpin pasukan menjaga tapal batas di timur-laut itu. Semua anggauta keluarganya telah diboyong pula ke sana. Hanya aku seorang diri yang tinggal di gedungnya di kota raja."
"Akan tetapi mengapa, Lan-ci (Kakak Lan)? Mengapa engkau tidak ikut puia di boyong ke sana?"
Kim Lan mengheia napas panjang.
"Ahh, semenjak aku diambil menjadi selir Panglima Besar Bu Sam Kwi, hidupku amat pahit, Hong-moi."
Katanya dengan nada sedih.
Cui Hong mengerutkan aiisnya dan memandang wajah yang cantikitu dengan heran. Seingatnya, ketika terjadi malapetaka menimpa dirinya, yaitu ketika ia berusia sekitar enam belas tahun, kurang lebih sembilan tahun yang laiu, saudara sepupunya ini menjadi seorang penyanyi yang amat terkenal. Hidupnya serba kecukupan, mewah, dan dikagumi banyak orang. Ketika itu, ia tidak mendengar berita apa pun tentang Kim Lan Hwa, apalagi setalah peristiwa menyedihkan menimpa dirinya, ia lalu menghilang dari dunia ramai, menjadi murid Toat-beng Hek-mo selama tujuh tahun. Setelah tamat belajar dan terjun ke dunia ramai lagi, ia pernah mendengar bahwa Kim Lan Hwa telah menjadi selir Panglima Besar Bu Sam Kwi dan tentu saja ia menganggap saudara misannya itu hidup daiam kemuliaan. Tentu saja ia merasa heran mendengar ucapan wanita itu bahwa setelah menjadi panglima besar, hidupnya amat pahit!
"Tapi, aku mendengar bahwa engkau menjadi selir yang paling disayang oleh Panglima Besar Bu Sam Kwi! Bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa engkau hidup pahit, berarti tidak berbahagia?"
"Justru kenyataan itulah yang menyebabkan hidupku terasa sakit, Hong-moi. Memang, Panglima Bu amat sayang kepadaku, akan tetapi hal itu justru membuat seluruh keluarga Pangiima Bu, terutama isteri dan para selirnya, merasa iri dan tidak suka kepadaku, bahkan mereka diam-diam amat membenciku! Aku hidup seperti dikelilingi musuh-musuh, Hong-moi. Bagaimana aku dapat hidup senang? Padahal, sebelum aku menjadi selir Panglima Bu, dan hidup sebagai seorang penyanyi, semua orang sayang dan memujiku. Ah, ketika itu aku hidup berbahagia, akan tetapi setelah menjadi selir Panglima Bu, aku hidup sengsara walaupun berada dalam gedung besar dan serba mewah dan kecukupan."
Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wanita itu lalu menangis perlahan.
"Akan tetapi, Lan-ci, mengapa engkau perdulikan mereka semua itu? Yang terpenting suamimu. Kalau engkau mencintanya dan dicinta olehnya, hal-hal lain dan sikap orang-orang lain tidak perlu diperdulikan."
Kim Lan Hwa menyusut air matanya dan menghentikan tangisnya.
"Engkau tidak tahu, Hong-moi. Justru itu yang pertama-tama membuat aku tidak berbahagia. Aku sama sekali tidak mencinta laki-laki yang menjadi suamiku. Ketika Panglima Besar Bu mengambil aku sebagai selir, siapa yang berani menghalanginya? Aku pun tentu saja tidak berani menolak. Aku hanya mengharapkan agar dapat hidup berbahagia di sampingnya karena aku mendengar bahwa Panglima Bu adalah seorang yang baik dan adil. Akan tetapi kenyataannya, aku tidak dapat mencintanya. Hal itu mestinya masih dapat kupertahankan karena dia memang amat baik dan sayang kepadaku, akan tetapi setelah semua anggauta keluarga membenciku, aku merasa seolah hidup dalam neraka. Bahkan, ketika Panglima Bu mengirim pasukan menjemput keluarganya, isteri dan para selirnya meninggalkan aku dengan alasan agar aku menjaga gedung keluarga kami."
Kim Cui Hong mengangguk-angguk. Kini ia baru mengerti an dapat membayangkan betapa tidak enaknya hidup seperti saudara sepupunya itu. Menjadi isteri seorang laki-laki yang tidak dicintainya, malah dibenci oleh semua keluarga yang merasa iri. Tentu setiap saat bertemu dengan pandang mata membenci dan muiut cemberut, suara-suara yang mencemoohkan dan memanaskan hati!
"Kemudian apa yang terjadi maka engkau dapat berada di tempat pertempuran tadi, Enci Lan?"
"Pagi tadi datang tiga orang berpakaian petani yang mengaku perwira-perwira utusan Panglima Bu yang menyamar untuk mengunjungi aku. Akan tetapi kemudian ternyata mereka itu adalah para pemimpin laskar rakyat yang memberontak."
"Ah...l"
Kim Cui Hong terkejut.
"Laskar rakyat yang dipimpin Li Cu Seng yang terkenal itu?"
Kim Lan Hwa mengangguk dan menunjuk ke arah punggung kusir kereta.
"Dialah Li Cu Seng sendiri! Dan dua orang pengawal itu para pembantunya!"
"Ahh...!"
Cui flong terkejut dan tubuhnya menegang, siap menghadapi musuh.
Tanpa menoleh, Li Cu Seng yang sejak tadi mendengarkan, berkata.
"Nona, jangan kaget dan khawatir. Kami adalah sahabat dan pelindung rakyat. Musuh kami hanyalah pemerintah Kerajaan Beng yang dipimpin pembesar-pembesar korup dan lalim. Kami berjuang demi kepentingan rakyat!"
"Dia benar, Hong-moi. Engkau sendiri tentu sudah mendengar betapa laskar rakyat yang membebaskan banyak propinsi di daerah barat dan utara itu selalu disambut dengan gembira oleh rakyat yang mendukung mere ka. Bahkan aku mendengar bahwa ketika Kaisar minta bantuan kepada Panglima Bu untuk mengirim pasukan mempertahankan kota raja, Panglima Bu menolak. Agaknya Panglima Bu sendiri melihat kelaliman Kaisar yang dipengaruhi dan dikuasai para Thaikam. Karena itulah, maka kami saling berjanji. Aku membantu Li Bengcu (Pemimpin Rakyat Lu) dan dua orang pembantunya keluar dari kota raja, dan dia akan membantu aku, mengantarkan aku pergi ke San-hai-koan menyusul Panglima Bu. Kami berhasil keluar dari pintu gerbang, akan tetapi setelah tiba di sini mereka tadi menghadang dan hendak menangkap kami. Lalu engkau muncul dan juga para pengemis tadi datang membantu sehingga musuh dapat diusir pergi."
"Mereka bukan pengemis-pengemis biasa, Nona Kim. Mereka adalah anggauta-anggauta Hek-tung Kai-pang yang gagah perkasa dan membantu perjuangan kami."
Kata Li Cu Seng.
"Hong-moi, engkau sudah mendengar semua riwayat dan pengalamanku. Sekarang ceritakanlah padaku, kemana saja selama ini engkau menghilang? Aku mendengar akan semua sepak terjangmu, ketika engkau menghukum Pui Kongcu (Tuan Muda Pui) putera Jaksa Pui yang korup dan sewenang-wenang itu, juga para jagoannya. Mereka memang manusiamanusia iblis yang jahat dan pantas menerima hukuman yang berat. Aku kagum sekali kepadamu yang telah membalas kematian ayahmu. Akan tetapi lalu ke mana engkau pergi? Dan bagaimana engkau bisa menjadi demikian lihai?"
Kim Cui Hong menghela napas panjang. Sungguh pahit mengenang semua pengalamannya itu.
"Enci Kim Lan Hwa, banyak hal kualami dan agaknya hidupku yang lalu juga tidak lebih daripada keadaanmu. Setelah ayah dan suheng terbunuh orang-orang jahat, aku hampir putus asa. Akan tetapi aku lalu ditolong dan diambil murid suhu Toat-beng Hek-mo dan digembleng selama tujuh tahun."
"Hebat! Kiranya Nona murid Lo-cian-pwe (Orang Tua Gagah) Toat-beng Hek-mo (Iblis Hitam Pencabut Nyawa) yang amat sakti?"
Tiba-tiba Li Cu Eng bertanya.
"Nona, di mana suhumu itu sekarang dan bagaimana keadaan beliau?"
"Suhu telah meninggal dunia, tahun yang lalu karena sakit tua."
"Adik Cui Hong, lalu bagaimana engkau tadi tiba-tiba dapat muncul dan membantu kami?"
"Enci Lan Hwa, selelah aku berhasil membalas rendam atas kematian Ayahku dan Suhengku, aku lalu merantau."
Cui Hong sengaja tidak menceritakan tentang malapetaka yang menimpa dirinya, diperkosa dan diperhina Pui Ki Cong dan tiga orang jagoannya.
"Dalam perantauan itu aku mendengar tentang keadaan pemerintahan Kerajaan Beng yang mulai kacau, tentang para pejabat yang korup dan lalim, tentang penderitaan rakyat jelata, dan tentang pemberontakan yang dilakukan rakyat yang dipimpin orang-orang gagah. Juga aku mendengar tentang laskar rakyat yang dipimpin oleh.... Li Bengcu ini. Aku masih bingung mendengar semua itu. Lalu aku teringat kepadamu, Lan-ci. Aku ingin mengunjungimu karena engkau adalah selir Panglima Besar Bu Sam Kwi yang tentu mengetahui benar keadaan negara yang kacau itu. Dan setibanya di sana tadi aku melihat engkau berada di dalam kereta ditodong seorang perwira, maka aku segera turun tangan."
Li Cu Seng berkata.
"Kedatangan Nona tepat sekali dan kami berterima kasih atas bantuanmu. Sekarang engkau sudah mendengar sendiri, Nona. Pemerintah Kerajaan Beng telah menjadi rusak dan busuk karena Kaisar telah berada dalam cengkeraman para Thaikam. Para pejabat tinggi sebagian besar korup dan lalim sehingga rakyat merasa tidak puas dan terjadi pemberontakan di mana-mana. Nona sendiri, menurut apa yang kudengar tadi, menjadi korban kejahatan putera seorang jaksa tinggi yang sewenang-wenang. Sekarang terdapat lebih banyak lagi pembesar yang bahkan lebih jahat daripada mereka yang dulu Nona musuhi. Maka, sekarang terserah kepadamu, Nona Kim Cui Hong, kalau engkau mau membantu perjuangan kami, kami akan menerima dengan senang hati."
"Hal itu akan kupikirkan dulu, Beng-cu. Akan tetapi sekarang, ke mana engkau hendak membawa Enci Kim Lan Hwa?"
Tanya Cui Hong.
"Tentu saja ke Shensi di mana markas besar kami berada. Sekarang tidak ada waktu lagi untuk mengantarnya ke Sanhai-koan karena kami harus mempersiapkan penyerbuan ke kota raja. Setelah kami menyelidiki dan mendapat kenyataan bahwa Panglima Besar Bu Sam Kwi tidak mengirim pasukan untuk melindungi kota raja, maka kami harus cepat menyerbu dan menguasainya."
"Akan tetapi, bukankah engkau berjanji kepada Enci Lan untuk mengantarnya ke San-hai-koan?"
Tanya Cui Hong.
"Benar, akan tetapi maaf, hal itu tidak dapat kami lakukan sekarang. Sebaiknya, demi keselamatannya sendiri, Nona Kim ikut bersamaku dan untuk sementara tinggal di sana."
Cui Hong menoleh kepada saudara sepupunya.
"Bagaimana, Enci Lan. Apakah engkau mau tinggal bersama Li Bengcu untuk sementara, ataukah engkau ingin menyusul keluarga suamimu ke San-hai-koan sekarang? Kalau engkau ingin kesana sekarang, aku dapat mengantar dan mengawalmu!"
"Terima kasih, Hong-moi. Engkau memang baik sekali. Akan tetapi kupikir aku tidak akan menyusul ke San-hai-koan sekarang. Pertan, perjalanan itu amat jauh, dan kedua, amat berbahaya kalau hanya engkau seorang diri yang mengawalku, dan pula... aku akan merasa aman kalau berada dalam perlindungan Li Bengcu. Biarlah untuk sementara aku ikut ke Shen-si."
Kim Lan mengerling ke arah pendekar itu. Ia memang sejak bertemu merasa kagum kepada Li Cu Seng. Laki-laki itu demikian gagah, tegas, dan tenang penuh wibawa.
"Baiklah, kalau begitu, selamat jalan, Enci Lan. Aku ingin melanjutkan perjalananku merantau."
"Akan tetapi.... Hong-moi, apakah engkau tidak ikut bersamaku? Aku masih kangen dan ingin banyak bercakap-cakap denganmu."
"Maaf, Enci Lan. Engkau sudah aman terlindung, aku t idak mengkhawatirkan keadaan dirimu lagi. Aku akan melihat-lihat keadaan kota raja."
"Li-hiap (Pendekar Wanita), berbahaya sekali kalau engkau memasuki kota raja. Tentu para perajurit tadi akan mengenalmu dan engkau akan ditangkap dan dianggap pemberontak karena engkau tadi membantu kami."
Kata Li Cu Seng, dan dia menghentikan dua ekor kuda yang menarik kereta.
"Karena itu, marilah engkau ikut dengan kami dan kita bersama menghadapi pasukan Kerajaan Beng yang sudah mulai runtuh itu."
Cui Hong tersenyum dan menggeleng kepalanya.
"Terima kasih, Bengcu. Terus terang saja, aku masih bingung memikirkan tentang permusuhan antara Kerajaan Beng dan para pemberontak yang menamakan dirinya pejuang. Memang, aku merasakan adanya pembesar-pembesar yang menyeleweng dari kebenaran, mengandalkan kekuasaan bertindak sewenang-wenang dan jahat, akan tetapi permusuhanku dengan mereka hanya merupakan urusan pribadi, bukan urusan negara. Ketika aku melakukan perjalanan, aku bertemu dengan para pendekar yang bertekad membela Kerajaan Beng sebagai warga negara yang setia. Akan tetapi aku bertemu pula dengan para pendekar yang mendukung laskar rakyat yang Bengcu pimpin dan mengatakan bahwa laskar rakyat itu pejuang-pejuang pembela rakyat, sebaliknya yang membela kerajaan mengatakan bahwa laskar rakyat itu pemberontak-pemberontak dan pengacau keamanan. Aku sendiri menilai bahwa kedua golongan itu ada benarnya dan ada pula kelirunya. Karena itu, tadinya aku ingin bertemu Enci Kim Lan Hwa dan bertanya kepada suaminya karena aku mendengar bahwa Panglima Besar Bu Sam Kwi seorang yang adil dan bijaksana. Akan tetapi sayang, aku tidak dapat bertemu dengannya. Sampai sekarang pun aku belum dapat mengambil keputusan harus berada di pihak yang mana, Beng cu."
"Akan tetapi, Kim-lihiap. Tadi engkau sudah membantu kami melawan para perajurit kerajaan, itu berarti bahwa engkau sudah berpihak kepada kami para pejuang dan memusuhi pemerintah Kerajaan Beng!"
"Tidak, Bengcu. Kalau tadi aku turun tangan, aku hanya ingin membela Enci Kim Lan Hwa dan aku membantu Bengcu bertiga atas permintaan Enci Lan. Kuanggap mereka itu hanya segerombolan orang yang hendak mengganggu Enci Kim Lan Hwa, maka aku menentang mereka. Bukan berarti aku menentang Kerajaan Beng. Seperti dulu, kalau aku menentang pembesar pemerintah yang jahat, bukan berarti aku menentang pemerintah, melainkan menentang orangnya yang kebetulan menjadi pejabat. Aku menentang kejahatannya, Bengcu, bukan kedudukannya."
Li Cu Seng menghela napas panjang dan berkata.
"Kim Lihiap, aku tidak dapat menyalahkanmu. Aku menghargai pendirianmu karena aku pun dapat merasakan apa yang menjadi gejolak hatimu. Banyak pendekar yang juga bimbang seperti perasaanmu. Aku dulu juga seorang pendekar yang hanya menjunjung tinggi dan mempertahankan kebenaran dan keadilan perorangan. Akan tetapi sekali ini menyangkut nasib jutaan orang rakyat kecil, Lihiap. Maka aku memilih berjuang menumbangkan kekuasaan lama yang sudah busuk dan korup ini dan menggantikan dengan kekuasaan baru yang adil bersih."
"Terima kasin atas pengertianmu, Bengcu. Nah, selamat tinggal. Enci Lan, selamat jalan, semoga engkau menemukan kebahagiaan."
Setelah berkata demikian, Kim Cui Hiong melompat dan berlar i cepat meninggalkan tempat itu.
Apa yang dikatakan pemimpin pemberontak Li Cu Seng tentang akibat pemunculan Kim Cui Hong membantunya ternyata benar. Su Lok Bu dan Cia Kok Han, dua orang jagoan murid Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai yahg menjadi perwira dalam pasukan Jendeial Ciong Kak, terkejut mengenali Kim Cui Hong. Mereka berdua bersama Liong-san Ngo-eng terpaksa melarikan diri dan meninggalkan banyak perajurit yang tewas atau terluka parah, cepat kembali ke kota raja dan segera melaporkan kepada Jenderal Ciong. Mendengar bahwa Pimpinan Pemberontak Li Cu Seng sendiri berani memasuki kota raja dan Mini melarikan diri bersama Kim Lan Hwa, selir Panglima Besar Bu Sam Kwi yang terkenal, jenderal itu lalu menyuruh dua ratus orang perajurit melakukan pengejaran dengan tujuh orang perwira itu menjadi penunjuk jalan. Akan tetapi, pengejaran ini gagal karena Li Cu Seng sudah menghilang ke daerah yang sudah dikuasai pemberontak dan pasukan itu terpaksa kembali karena di sana terdapat puluhan, bahkan ratusan ribu perajurit dan Laskar Rakyat yang siap menghadapi mereka.
Jenderal Ciong tentu saja merasa penasaran sekali. Kehormatannya sebagai panglima yang mengatur pertahanan kota raja terpukul. Li Cu Seng, pemimpin pemberontak itu sendiri sampai dapat memasuki kota raja dan dia tidak dapat menangkapnya! Lebih dari itu, malah pemimpin pemberontak itu melarikan diri bersama selir Panglima Besar Bu Sam Kwi! Ini saja membuktikan bahwa Panglima Bu Sam Kwi tidak mempunyai iktikad baik terhadap Kerajaan Beng.
Agaknya panglima penjaga pertahanan di garis depan mencegah mlrnknya tentara Mancu itu tidak perduli bahwa kota raja terancam para pemberontak! Jenderal Ciong lalu menghadap Kaisar dan seperti biasa, para pimpinan Thaikam menyertai Kaisar dalam pertemuan itu. Mereka ini jelas mengambil alih kekuasaan Kaisar dan segala keputusan seolah keluar dari mereka. Kaisar sendiri seolah tidak tahu. bahwa dia berada dalam cengkeraman kekuasaan para Thaikim, bahkan Kaisar menganggap bahwa para Thaikam itu merupakan pembantu-pembantunya yang paling setia dan paling dapat dipercaya!
Setelah Jenderal Ciong melaporkan akan ancaman bahaya dani pasukan besar pemberontak, Kepala Thaikam Sue yang dimintai pendapat Kaisar, berkata dengan sikap congkak.
"Ciong Goan-swe mengapa melaporkan hal sekecil itu seolah-olah perkara besar sehingga mendatangkan kegelisahan dalam hati Sri baginda Kaisar? Apa sih artinya pemberontakan semacam itu? Semua pemberontakan dapat dihancurkan selama ini!"
"Akan tetapi, Sri baginda Yang Mulia, sekali ini ancaman datang dari Laskar Rakyat yang dipimpin Pemberontak Li Cu Seng. Anak buah mereka itu ratusan ribu orang banyaknya!"
Bantah Jenderal Ciong.
"Maksud Ciong Goan-swe, ratusan ribu orang petani dan jembel-jembel yang kurang makan sehingga bertubuh kurus dan lemah! Mengapa harus khawatir? Bukankah kita mempunyai balatentara yang cukup banyak dan kuat, juga kami mendengar banyak pendekar yang siap mempertahankan kerajaan dan kota raja?"
Bantah Thaikam Sue.
"Ciong Goan-swe."
Kini Kaisar berkata.
"Kami percaya akan kemampuan Goan-swe memimpin pasukan. Kami memer intahkan Goan-swe untuk menghancurkan para pemberontakitu!"
Kaisar lalu memberi tanda bahwa persidangan ditutup.
Jenderal Ciong terpaksa kembali ke benteng dengan wajah muram. Celaka, pikirnya. Air bah sudah merendam tubuh sampai mendekati leher, masih saja Kaisar tidak menyadari bahaya mengancam. Semua ini gara-gara para Thaikam tolol yang berlagak pintar itu! Tidak ada lain ja lan bagi Jenderal Ciong sebagai seorang panglima yang gagah kecuali akan mempertahankan kota raja mati-matian dan sampai tit ik darah terakhir!
Su Lok Bu dan Cia Kok Han, pendekar Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai yang kini menjadi perwira pembantu Jenderal Ciong untuk membela Kerajaan Beng dari ancaman pemberontak, juga merasa kecewa sekali. Akan tetapi kekecewaan mereka terutama sekali disebabkan mereka tidak berhasil menangkap atau membunuh Kim Cui Hong. Dua orang ini menganggap Kim Cui Hong sebagai seorang wanita iblis yang teramat kejam dan jahat.
Memang mereka telah mengetahui bahwa Pui Ki Cong, kepada siapa mereka tadinya menghambakan diri, telah melakukan kejahatan terhadap Kim Cui Hong, telah memperkosa-nya. Juga jagoan-jagoan pembesar Pui, termasuk Koo Cai Sun dan Lauw Ti. Akan tetapi, pembalasan Kim Cui Hong terhadap mereka bertiga melampaui batas perikemanusiaan, maka, setelah Kim Cui Hong dapat terbebas dari tangkapan mereka, bahkan mereka terpaksa melarikan diri karena munculnya banyak pengemis bertongkat hitam yang lihai, dua orang perwira itu lalu mengunjungi sebuah rumah besar yang terpencil di sudut kota.
Rumah itu besar dan kuno, tampak seram dan sunyi. Akan tetapi begitu Su Lok Bu dan Cia Kok Han memasuki halaman gedung, dari tempat persembunyian muncul empat orang berpakaian seperti biasa dipakai para penjaga atau tukang pukul jagoan. Akan tetapi sikap garang mereka menghilang ketika dalam keremangan senja itu mereka mengenal dua orang perwira yang datang.
"Laporkan kepada Tuan Muda Pui Ki Cong bahwa kami berdua hendak Bertemu dan menyampaikan berita penting sekali."
Kata Su Lok Bu.
Kepala jaga mengangguk dan dua orang perwira itu menunggu di pendapa ketika kepala jaga melapor ke dalam. Sebetulnya, Su Lok Bu dan Cia Kok Han sudah tidak membantu Pui Kongcu (Tuan Muda Pui) lagi, aKan tetapi melihat keadaan bangsawan itu yang amat menderita, terkadang mereka datang menjenguk, bahkan mereka mencarikan tabib yang terkenal pandai untuk merawat dan mengobati tubuh Pui Kongcu yang cacat. Mungkin karena merasa senasib, atau mengingat bahwa nasib dua orang-anak buahnya yang juga dibuat cacat oleh Cui Hong itu setia kepadanya, Pui Kongcu bahkan menyuruh orang membawa Koo Cai Sun dan Lauw Ti ke gedung itu dan tinggal bersamanya. Mereka mendapat perawatan tabib yang pandai. Biarpun menjadi manusia caca, namun karena Pui Kongcu kaya raya, maka mere ka dapat terawat baik.
Tak lama kemudian kepala jaga keluar dan mempersilakan Su Lok Bu dan Can Kok Han masuk ruangan dalam. Cuaca sudah mulai gelaf dan lampu-lampu penerangan mulai dinyalakan sehingga ruangan dalam itu pun terang sekali karena ada lima buah lampu besar meneranginya. Kalau saja dua orang perwira ini belum pernah melihat tiga orang yang berada di ruangan icu, tentu mereka akan bergidik dan merasa ngeri. Memang keadaan ruangan itu dan keadaan mereka menyeramkan sekali.
Ruangan yang luas itu sudah menyeramkan. Penerangan lima buah lampu besar itu membuat semua yang berada di situ tampak jelas. Dinding-dindingnya terhias lukisan dan tulisan indah. Pot-pot bunga setiap sudut menyegarkan, akan tetapi sutera-sutera putih yang bergantungan sebagai tirai jendela dan pintu, mendatangkan kesan menyeramkan, seperti ruangan berkabung karena ada kematian.
Dan di tengah ruangan itu terdapat sebuah meja yang bundar dan lebar. Di belakang meja tampak tiga orang yang keadaannya amat mengerikan. Mereka semua duduk di atas kursi roda. Mereka adalah Tuan Muda Pui Ki Cong, putera Kepala Jaksa Pui yang telah pensiun setelah dipenjara selama satu tahun, dan sekarang bekas jaksa itu yang masih kaya raya menjadi tuan tanah yang memiliki banyak rumah yang dia sewakan. Orang ke dua adalah Koo Cai Sun, dan yang ke tiga Lauw Ti. Dua orang ini dahulu merupakan dua orang di antara Thian-cin Bu-tek Sam-eng (Tiga Orang Pendekar Tanpa Tanding dari Thian-cin), bertiga dengan mendiang Gan Tek Un yang membunuh diri.
Pui Ki Cong sekarang berusia tiga puluh sembilan tahun, akan tetapi karena mukanya rusak, sukar ditaksir berapa usianya. Muka pemuda bangsawan yang dulunya tampan berkulit putih itu kini menyeramkan, seperti muka setan menakutkan. Seluruh tubuhnya ada bilur-bilur menghitam, bekas luka-luka sayatan yang diakibatkan cambukan ranting oleh Cui Hong. Kulit mukanya juga penuh luka-luka sayatan yang sudah sembuh tapi meninggalkan garis-garis menghitam. Sepasang matanya buta dan kosong karena kedua biji matanya sudah copot, bukit hidungnya hilang sehingga tampak berlubang, bibirnya juga hilang sehingga tampak deretan gigi saja, bahkan kedua daun telinganya juga hilang.
Sungguh tidak mirip manusia lagi dan kalau orang bertemu dengannya di jalan, orang itu tentu akan lari ketakutan! Semua ini masih ditambah lagi dengan kelumpuhan kedua kakinya karena tulang-tulang kakinya hancur. Tadinya, tulang lengan dari siku ke bawah juga remuk, akan tetapi berkat kepandaian tabib, kini dia sudah dapat menggerakkan lagi kedua lengan dan tangannya, walaupun gerakannya kaku.
Keadaannya sedemikian menakutkan dan menjijikkan sehingga isteri-isterinya sendiri dan anak-anaknya pun merasa takut dan jijik mendekatinya. Maka dia hidup terasing di dalam gedung pemberian orang tuanya itu, hanya dikelilingi pelayan pelayan karena kegiatan apa pun yang dia lakukan, harus dibantu pelayan.
Koo Cai Sun berusia empat puluh empat tahun, akan tetapi juga tak seorang pun yang mengenalnya sembilan tahun yang lalu akan dapat mengetahui bahwa si muka setan ini adalah Koo Cai Sun! Keadaannya hampir sama dengan keadaan Pui Ki Cong. Kedua telinganya hilang, bukit hidungnya remuk dan kini hidungnya berlubang melompong, mulutnya juga tanpa bibir sehingga tampak giginya yang besar-besar dan ompong sebagian. Kedua lengan tangannya juga bentuknya bengkok-bengkok akan tetapi sudah dapat digerakkan dan biarpun kedua kakinya tidak lumpuh, namun kedua ujung kaki, jari-jari kakinya habis terbakar sehingga terpaksa dia pun memakai bantuan kursi roda!
Orang ke tiga, Louw Ti berusia sebaya dengan Koo Cai Sun, sekitar empat puluh empat tahun. Juga mukanya cacat, mata kirinya buta karena biji mata itu pecah, dan matanya yang tinggal sebelah kanan Itu mempunyai sinar, yang aneh, sinar mata seorang yang miring otaknya! Dia menyeringai dan terkadang dia terkekeh, aneh dan mengerikan. Kedua tangannya juga cacat dan bahkan tangan kirinya buntung sebatas pergelangan. Kedua kakinya juga dahulu mengalami patah-patah tulang akan tetapi kini telah dapat disembuhkan tabib walaupun yang kanan setengah lumpuh sehingga kalau berjalan dia harus beiipncat-loncatan dengan kaki kiri. Maka dia menggunakan kursi roda untuk dapat berjalan. Biarpun penderitaan jasmani Louw Ti tidak sehebat Pui Ki Cong dan Koo Cai Sun, namun penderitaan batinnya lebih hebat sehingga pikirannya terganggu dan menjadi setengah gila.
Demikianlah, ketika Su Lok Bu dan Cia Kok Han duduk berhadapan dengan tiga orang itu, diam-diam mereka bergidik ngeri. Sungguh terlalu kejam pembalasan dendam yang dilakukan Kim Cui Hong kepada tiga orang ini. Orang ke empat, Gan Tek Un, telah bertaubat dan menjadi pendeta, akan tetapi dia pun kini membunuh diri sebagal penebusan dosanya terhadap gadis itu! Biasanya, dua orang itu kalau datang, ke gedung ini, hanya untuk bertemu dengan Pui Ki Cong, bekas majikan mereka. Baru sekarang mere ka datang dan melihat tiga orang Itu bersama, dan mereka yang
(Lanjut ke Jilid 13)
Sakit Hati Seorang Wanita (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 13
dulunya pendekar kang-ouw dan sekarang menjadi perwira, yang sudah banyak menyaksikan kekerasan dan akibat kekerasan, mereka ngeri melihat tiga orang bekas amukan Kim Cui Hong itu!
"Su-ciangkun (perwira Su) dan Cla-ciangkun (Perwira Cia), kalian berdua sudah menjadi perwira dan masih suka mengunjungi aku. Terima kasih atas kebaikan kalian. Sekarang kalian hendak bertemu denganku, membawa berita penting apakah?"
Tanya Pui Ki Cong dengan suara yang pelo sekali karena dia bicara tanpa menggunakan bibir! Ngeri melihat orang ini bicara, seperti melihat setan tengkorak bicara. Apalagi wajah tidak berbiji lagi, ditambah amat kurus. Persis tengkorak hidup.
Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo