Sakit Hati Seorang Wanita 13
Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo Bagian 13
"Pui Kongcu, kami hanya akan memberitahukan bahwa kami melihat Nona Kim Cui Hong!"
Mendengar ini, tiga orang yang seperti mayat hidup itu seolah tersentak kaget. Wajah Pui Ki Cong berubah merah sekali, mata Koo Cai Sun yang mencorong, liar dan menyorotkan kebencian jtu seolah bersinar mengeluarkan api. Louw Ti tiba-tiba tertawa ha-ha-he-heh dan dia mengacungkan tangan kanan yang terkepal seperti hentak memukul dan lengan kirinya yang buntung sebatas pergelangan itu pun diacung-acungkan.
"Kubunuh dia! Mana dia Si Kim Cui Hong laknat, kubunuh dia....!"
Katanya.
"Louw Ti, diamlah!"
Kata Pui Ki Cong, lalu dia bertanya kepada Su Lok Bu.
"Su-ciangkun, di mana perempuan iblis itu sekarang?"
"Ia membantu pemimpin pemberontak Li Cu Seng ketika kami hendak menangkap pemberontakitu di luar kota raja. Sayang kami tidak dapat menangkapnya karena gerombolan pengemis tongkat hitam yang amat banyak jumlahnya membantunya."
"Ahh! Iblis betina itu ternyata membantu pemberontak? Dasar perempuan jahat! Su-ciangkun dan Cia-ciangkun, tolong kumpulkan dan Siapkan para pendekar yang tangguh untuk menangkapnya. Kalau kalian dapat menangkapnya, aku akan memberi hadiah yang amat banyak, yang akan dapat membuat kalian kaya raya! Biar separuh kekayaanku akan kuhadiahkan asalkan kalian dapat menangkap iblis betina itu dan menyeretnya ke sini!"
"Pui Kongcu, kami berdua tidak begitu memikirkan tentang hadiah. Kami akan mengumpulkan orang-orang sakti yang berada di kota raja untuk membantu kami menyelidiki dan menangkap kalau Kim Cui Hong muncul, bukan karena hadiah itu, melainkan karena kami menganggap ia seorang wanita yang amat kejam, jahat, dan berbahaya."
Kata Cia Kok Han. Dua orang perwira itu lalu berpamit dan keluar dari gedung yang menyeramkan itu.
Su Lok Bu dan Cia Kokz Han lalu cepat menghubungi para pendekar yang berdatangan ke kota raja memenuhi undangan Jenderal Ciong untuk membela pertahanan kota raja dari serbuan pemberontak. Pada waktu itu, memang terjadi perpecahan di dunia persilatan. Ada yang merasa bahwa mereka harus membela Kerajaan Beng sebagai patriot, seperti Su Lok Bu, Cia Kok Han, Liong-san Ngo-heng, dan lain-lain.
Ada pula sebagian tokoh kang-ouw yang berpihak kepada Li Cu Seng, dan ada pula, terutama para pendekar di utara, yang mendukung Panglima Besar Bu Sam Kwi. Di antara pendekar yang membela Kerajaan Beng terdapat seorang datuk dunia persilatan dari timur. Dia adalah seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar, rambut, kumis dan jenggotnya sudah putih semua. Namanya tidak begitu di kenal di kota raja, akan tetapi di sepanjang pantai Laut Timur, dia terkenal dengan julukan Tung Ok (Racun Timur).
Ilmu silatnya tinggi dan dia pun pandai ilmu sihir sehingga ditakuti banyak orang. Ketika Jenderal Ciong mengundang para orang gagah untuk membantu pertahanan kota raja, Tung Ok yang kebetulan berkunjung ke kota raja tertarik. Diam-diam dia tertarik menyaksikan kemewahan di kota raja dan dia Ingin mendapatkan kedudukan sehingga dapat menjadi seorang pembesar tinggi dan hidup dalam gedung seperti istana mewan. mendapat kehormatan dan kemuliaan yang tidak pernah dia rasakan! Ketika ia mendaftarkan dirinya dan dicoba kepandaiannya, segera dia dihadapkan Jenderal Ciong karena memang ilmu silatnya luar biasa.
Su Lok Bu dan Cia Kok Han menghubungi Tung Ok yang tinggal dalam sebuah gedung besar yang diperuntukkan tempat tinggal para pendekar. Sebagai seorang datuk, Tung Ok mendapatkan sebuah kamar terbesar dan pelayanan istimewa. Su Lok Bu dan Cia Kok Han sudah tahu akan kelihaian datuk ini, maka mereka menghubunginya, bukan hanya untuk menghadapi Kim Cui Hong apabila gadis itu muncul, melainkan terutama menghadapi para mata-mata Li Cu Seng yang berkeliaran di kota raja.
Setelah menceritakan tentang Li Cu Seng yang menyelundup ke kota raja dan berhasil membawa lari Kim Lan Hwa, selir Panglima Besar Bu Sam Kwi, dan tentang Kim Cui hong yang diceritakan sebagai iblis betina yang jahat dan kejam, Tung Ok tertawa.
"Ha-ha-ha, mengapa baru sekarang kalian datang kepadaku? Kalau ketika itu aku berada dengan kalian, sudah pasti pemberontak Li Cu Seng dan kaki tangannya, juga iblis betina Kim Cui Hong Itu, dapat kutangkap hidup atau mati."
"Maafkan kalau kami pada waktu itu tidak sempat menghubungi Lo-cian-pwe (Orang Tua Gagah), akan tetapi mulai sekarang, kami mengharapkan bantuan Lo-cian-pwe. Kalau kami dan para pembantu kami melihat ada mata-mata pemberontak ber keliaran di kota raja, terutama sekali mereka yang melindungi Li Cu Seng ketika hendak kami tangkap, dan lebih lagi iblis betina Kim Cui Hong itu, tentu kami akan minta bantuan Lo-cian-pwe. Mereka itu rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh sekali. Kalau Lo-cian-pwe dapat menangkap mereka, hidup atau mati, tentu jasa Lo-cian-pwe amat besar dan selain akan dilaporkan kepada Jenderal Ciong dan dicatat, juga Pui Kongcu telah menjanjikan hadiah yang amat besar dan membuat Lo-clan-pwe kaya raya."
"Ha-ha-ha, beres, beres! Kalau mereka muncul, serahkan saja kepadaku, beres!"
Kata Racun Timur sambil tertawa senang membayangkan hadiah-hadiah yang akan diterimanya.
Demikianlah, mulai hari itu, atas perintah Jenderal Ciong, para perwira termasuk Sn Lok Bu dan Cia Kok Han menyebar banyak perajurit penyelidik agar tidak lagi merela kecolongan seperti yang sudah-sudah, ketika banyak anggota perkumpulan pengemis Tongkat Hitam berkeliaran di kota raja sebagai mata-mata Pemberontak Li Cu Seng tanpa mereka ketahui.
Seorang pemuda tampan memasuki pintu gerbang kota raja Peking pada pagi hari Itu, berbaur dengan mereka yang keluar masuk pintu gerbang. Para petugas penjaga pintu mengamati setiap orang yang lewat dengan penuh perhatian. Akan tetapi tidak ada di antara mereka yang mencurigai pemuda tampan berpakaian seperti seorang satrawan itu. Dengan langkah santai pemuda itu berjalan-jalan di sepanjang jalan besar dalam kota saja seolah hanya melihat-lihat dengan sikap acuh tak acuh. Akan tetapi sesungguhnya dia memperhatikan segala yang dilihatnya, terutama ketika dia berjalan di luar benteng dan melihat banyaknya perajurit dalam pasukan-pasukan kecil berkeliaran di kota dalam keadaan siap.
Setelah berjalan-jalan berputar-putar kota raja sejak pagi memasuki kota sampai siang hari, agaknya dia merasa lelah dan lapar. Dia lalu memasuki sebuah rumah makan besar "Lok Thian"
Yang letaknya di sudut kota. Biarpun tidak berapa ramai dikunjungi orang, namun rumah makan ini cukup besar dan seperti kebiasaan pada waktu itu, rumah makan Lok Thian ini juga merupakan bagian dari rumah penginapan yang berada di belakang rumah makan itu. Seorang pelayan tua segera menyambut ketika pemula itu memasuki rumah makan.
"Selamat siang, Kongcu (Tuan Muda)."
Dia lalu Mempersilakan pemuda itu duduk di meja kosong yang berada di sudut. Dengan sikapnya yang tenang pemuda tampan itu memesan makanan dengan minuman air teh. Tak lama kemudian dia sudah makan. Buntalan pakaian yang tadi dibawanya dia letakkan di atas meja. Setelah selesai makan dia menggapai pelayan dan bertanya.
"Paman, apakah di rumah penginapannya masih ada kamar kosong?"
"Ah, Kongcu hendak bermalam? Masih ada, Kongcu, dan kamar rumah penginapan kami terkenal bersih. Mari saya antar."
Setelah membayar harga makanan, pemuda itu lalu diantar ke rumah penginapan di belakang rumah makan itu. Seorang pelayan bagian rumah penginapan menyambut dan menerima tamu itu dari tangan pelayan rumah makan. Pemuda itu diantar pelayan mendapatkan sebuah kamar yang bersih di bagian depan rumah penginapan, di atas loteng. Dari kamar tidurnya yang berada di depan tamu itu dapat melihat orang-orang yang berlalu lalang di atas jalan raya depan rumah makan. Memang dia sengaja memilih kamar di bagian depan.
Setelah ditinggalkan pelayan, dia memasuki kamar, menutup daun pintu, lalu duduk di dekat jendela luar dan memandang ke arah orang-orang yang berlalu lalang di jalan depan rumah makan itu. Pemuda tampan itu melamun. Pemuda itu adalah Kim Cui Hong.
Ketika memperkenalkan namanya kepada pelayan rumah penginapan untuk dicatat dalam daftar tamu, dia memberi nama Ok Cin. Dulu ketika ia menuntut balas kepada musuh-musuh besarnya, ia pernah menggunakan nama samaran Ok Cin Hwa. Sekarang, menyamar sebagai seorang pemuda, ia memakai nama itu, hanya dikurangi huruf Hwa sehingga pantas untuk nama pria. Ok Cin, Tuan Muda Ok Cin!
Kim Cui Hong termenung. Hatinya merasa bingung juga menghadapi keadaan negara pada saat itu. Dahulu, ayahnya, yaitu mendiang Kim Siok, guru silat di dusun Ang-ke-bun, seorang yang berjiwa pendekar, selalu memberi nasihat kepadanya agar dia memiliki tiga kebaktian. Berbakti kepada Thian (Tuhan) yang Maha Kuasa dengan cara hidup bersih, baik dan benar. Berbakti kepada orang tua dengan cara menghormat i dan mencinta serta merawat mereka, dan berbakti kepada negara, yaitu Kerajaan Beng! Kebaktian pertama sudah ia laksanakan, yaitu ia selalu berusaha agar perbuatannya selalu berada di pihak yang benar dan baik, tidak pernah melakukan kejahatan menuruti nafsu sendiri.
Kemudian kebaktian kepada orang tua, tidak dapat ia laksanakan sepenuhnya karena ibunya telah meninggal dunia sejakia berusia lima tahun dan ayahnya tewas di tangan para penjahat yang telah ia balas semua. Kini tinggal kebaktian terakhir yaitu kepada Kerajaan Beng! Hal inilah yang membingungkannya. Ketika dulu ayahnya mengajak ia dan mendiang suhengnya yang menjadi tunangannya melarikan diri meninggalkan Ang-ke-bun, sebelum disusul para jagoan yang dikirim Pui Kongcu, ayahnya pernah menyatakan ketidak-senangan hatinya terhadap Kerajaan Beng karena kelemahan Kaisar yang menjadi boneka di tangan para pembesar lalim. Bahkan ayahnya berkata bahwa kalau mereka terus dikejar-kejar, lebih baik mereka bergabung dengan rakyat yang memberontak terhadap kelaliman Kaisar.
Inilah yang membingungkan hatinya. Ia melihat ada tiga kekuasaan besar kini sedang bersaing dan siap untuk berperang memperebutkan kekuasaan. Pertama, kekuasaan pemerintahan Kerajaan Beng di mana kaisarnya dikuasai oleh para Thaikam sehingga para pejabat sebagian besar melakukan penyelewengan, tersesat dan korup. Kekuasaan kedua adalah Laskar Rakyat yang dipimpin Li Cu Seng, yang merupakan golongan pemberontak yang paling besar dan terkuat. Adapun kekuasaan ke tiga dipegang oleh Panglima Besar Bu Sam Kwi yang mengepalai bala tentara yang besar jumlahnya dan kini berada di San-hai-koan. Ia harus berpihak mana kalau terjadi perang? Cui Hong termangu-mangu. Ia tahu bahwa tiga kekuasaan itu terdiri dari bangsa sendiri!
Masing-masing tentu mempunyai alasan sendiri dan mereka diri sendiri atau pihak sendiri benar. Kaisar merasa benar karena dia adalah kaisar, keturunan dari pendiri Dinasti Beng dan menganggap mereka yang menentangnya sebagai pemberontak. Pihak Li Cu Seng menganggap dirinya benar karena merasa sebagai pembela rakyat yang tertindas dan menganggap kaisar dan para pejabat lalim dan tidak bijaksana. Adapun balatentara yang dipimpin Bu Sam Kwi merupakan pihak ke tiga dan ia tidak tahu pasti panglima besar itu akan berpihak siapa, setia kepada Kaisar atau membantu para pemberontak yang merasa berjuang demi rakyat.
Cui Hong merasa bingung. Andaikata yang bertikai hanya dua pihak, yang pihak Kerajaan Beng menghadapi orang asing, Mongol atau Mancu, ia tidak akan ragu lagi. Pasti ia akan membela Kerajaan Beng melawan musuh. Akan tetapi sekarang, tiga kekuasaan itu adalah bangsa sendiri yang terpecah-pecah! Kalau terjadi perang antara kerajaan melawan pejuang rakyat, akibatnya sama saja. Rakyat yang menderita. Kalau kota raja dihancurkan pihak pejuang yang memberontak, penduduk kota raja tentu mengalami kehancuran dan penderitaan. Sebaliknya kalau pihak pejuang pemberontak kalah, tentu laskar yang terdiri dari rakyat itu banyak yang tewas!
Ia lalu membayangkan kakak sepupunya, Kim Lan Hwa. Ia merasa kasihan kepada saudara sepupunya itu. Lan Hwa sebetulnya dapat hidup berbahagia sebagai selir Panglima Besar Bu Sam Kwi yang amat mengasihinya. Hal ini d iakuinya sendiri oleh Lan Hwa, biarpun Lan Hwa pada dasarnya tidak mempunyai perasaan cinta kepada Panglima Besar Bu. Bagaimanapun juga, ia dapat hidup mulia dan terhormat sebagai selir terkasih panglima itu. Akan tetapi sungguh sayang, kasih sayang panglima itu menimbulkan rasa iri dan cemburu da lam hati para isteri Panglima Bu sehingga akhirnya Lan Hwa dibenci oleh mereka semua. Kini Kim Lan Hwa bersama Li Cu Seng, pemimpin pemberontak! Apa yang akan terjadi dengan diri kakak sepupunya itu? Ia tentu sudah dianggap sebagai pemberontak karena melarikan diri bersama Li Cu Seng. Dan bagaimana tanggapan Panglima Besar Bu Sam Kwi kalau dia mengetahui bahwa selir terkasihnya itu kini pergi bersama Li Cu Seng?
Akhirnya Cui Hong mengambil keputusan untuk tidak melibatkan diri da lam permusuhan dan perang saudara. Lebih bebas hidup sebagai pendekar yang tidak memihak karena ketiga kekuasaan itu masih sebangsa sesaudara. Ia hanya akan melanjutkan pendiriannya sejak dulu, yaitu memihak orang-orang yang tertindas, menegakkan kebenaran dan keadilan, dan menentang orang-orang yang bertindak sewenang-wenang dan jahat, tidak perduli dari golongan mana orang itu! Setelah mengambil keputusan ini, Cui Hong lalu mandi, bertukar pakaian, makan malam, dan tidur. Ia akan pergi meninggalkan kota raja pada besok pagi, sebelum terlambat, karena kalau sudah terjadi perang tentu akan sulit baginya untuk keluar dari kota raja. Apalagi kalau ada orang yang mengenalnya sebagai wanita yang kemarin membantu pemimpin pemberontak Li Cu Seng, tentu ia akan dikejarkejar.
Menjelang tengah malam Cui Hong tersentak bangun dari tidurnya. Ia mendengar suara ribut-ribut di luar kamarnya. Cepat ia meniup padam lampu kecil di atas mejanya dan membuka jendela, melihat keluar, ke arah jalan raya. Akan tetapi sudah sunyi di jalan itu, tidak tampak orang berlalu lalang. Akan tetapi suara itu terdengar di dalam rumah makan yang berada di depan rumah penginapan dan yang membuat ia terkejut dan heran adalah ketika mendengar suara senjata tajam beradu dan bentakan-bentakan marah diseling teriakan-teriakan kesakitan. Ada orang-orang berkelahi, pikirnya.
Maklum bahwa ada peristiwa penting mungkin keadaannya gawat, dia cepat membereskan pakaian penyamarannya sebagai seorang laki-laki, menggendong buntalan pakaiannya, lalu keluar dari kamarnya, terus menuju ke pintu besar bagian luar rumah penginapan setelah menuruni loteng. Pintu besar itu tertutup dan anehnya, ia tidak melihat seorang pun di rumah penginapan itu, tidak ada tamu, tidak tampak pula pelayan. Ia membuka daun pintu yang menembus ke ruangan rumah makan dan di bawah penerangan yang cukup ia melihat perkelahian hebat. Ia melihat lima orang berpakaian pelayan dan lima orang lain berpakaian pedagang sedang mati-matian melawan pengeroyokan puluhan orang perajurit!
Ia merasa heran sekali. Lima orang pelayan itu, termasuk pelayan rumah makan dan pelayan rumah penginapan yang melayaninya tadi, ternyata kini melawan dengan menggunakan pedang dan gerakan mereka cukup lihai! Ia berdiri bingung karena tidak tahu mengapa rumah makan itu diserbu perajurit. Ia tidak tahu urusannya dan tidak tahu pula siapa yang bersalah sehingga ia tidak ingin mencampuri.
Akan tetapi belum lama ia berdiri di luar pintu belakang rumah makan itu, di bawah penerangan sebuah lampu gantung, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Nah, itu dia Si Iblis Betina!"
Lima orang berloncatan mengepung Cui Hong dan dua orang di antaranya adalah Perwira Su Lok Bu dan Cia Kok Han! Cui Hong terkejut mengetahui bahwa rahasianya telah diketahui musuh dan keadaannya berbahaya sekali.
Namun sedikit pun la tidak merasa gentar. Ketika Su Lok Bu yang berada paling dekat dengannya sudah menyerang dengan sepasang pedangnya, Cui Hong melompat ke kiri di mana terdapat ruangan yang lebih luas. Lima orang itu mengejar dan mengepungnya. Akan tetapi Cui Hong sudah cepat menyambar sebuah sapu bergagang panjang, mematahkan sapunya tinggal gagangnya saja yang terbuat dari kayu dan menggunakan gagang sapu sebagai senjata. Su Lok Bu menyerang dengan sepasang pedangnya, disusul Cia Kok Han yang menggerakkan golok besarnya menyerang pula, dibantu tiga orang perajurit yang masing-masing bersenjatakan golok. Namun Cui Hong tidak menjadi gentar. Ia mainkan senjata gagang sapu itu, diputar cepat dengan pengerahan tenaga sakti, tubuhnya berkelebatan cepat sekali. Terdengar suara berdentangan dan lima orang pengeroyokitu begitu tertangkis senjata mereka, merasa terkejut karena tangan mereka tergetar hebat. Lebih lagi tiga orang perajurit itu. Begitu terkena tangkisan, mereka terhuyung ke belakang.
Akan tetapi ketika para pelayan rumah penginapan Lok Thian bersama tamunya sudah roboh semua, terluka dan tertawan, kini para perajurit ikut mengeroyok sehingga Cui Hong dikeroyok lebih dari dua puluh orang! Namun, sungguh hebat sepak terjang Cui Hong. Senjatanya yang amat sederhana itu menyambar-nyambar dahsyat, berubah menjadi gulungan sinar yang amat dahsyat sehingga sebentar saja, gulungan sinar tongkatnya itu telah berhasil merobohkan enam orang pengeroyok! Hal ini tidak mengherankan karena ia bersilat dengan ilmu silat aneh Toat-beng Koai-tung (Tongkat Aneh Pencabut Nyawa), yaitu ilmu andalan yang diwarisinya dari mendiang Toat-beng Hek-mo (Iblis Hitam Pencabut Nyawa).
Kebetulan Cui Hong membuat para pengeroyok menjadi jerih dan kepungan, menjadi agak longgar. Hanya Su Lok Bu dan Cia Kok Han yang masih mengeroyoknya dari jarak dekat, namun hujan serangan dua orang itu selalu terpental kembali ketika bertemu dengan gulungan sinar tongkat gagang sapu!
Tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak dan muncullah seorang kakek tinggi beijar yang memegang sebatang cambuk hitum, diikuti oleh delapan orang perajurit. Dia adalah Tung Kok yang telah dimintai bantuan. Tung Kok cepat datang ke rumah makan Lok Thian, diikuti delapan orang perajurit yang telah dia didik untuk menjadi pengawal dan pembantunya. Mendengar suara tawa ini, Su Lok Bu dan Cia Kok Han cepat mundur dan memberi isarat kepada para perajurit untuk mundur membuat kepungan luas agar kakek andalan mereka itu dengan leluasa dapat menangkap Kim Cui Hong. Gadis itu kini berdiri berhadapan dengan Tung Ok, menatap tajam wajah kakek yang rambut dan jenggot kumisnya sudah putih semua itu.
"He-he-he, Su-ciangkun, mana iblis betina cantik yang kau maksudkan itu? Di sini hanya ada seorang pemuda tampan!"
Kata Tung Ok.
"Lo-cian-pwe, pemuda itulah penyamaran Si Iblis Betina Kim Cui Hong yang kejam dan jahat, dan kini menjadi mata-mata pemberontak!"
Kata Su Lok Bu.
"Hati-hati, Lo-cian-pwe, ia lihai bukan main. Jangan sampai ia lolos!"
Kata pula Cia Kok Han.
"Heh-heh-heh, lolos dari tanganku? Tidak mungkin! Nona, engkau tentu, cantik sekali. Dalam pakaian pria pun engkau tampak tampan luar biasa. Namamu Kim Cui Hong? Nama yang indah, sesuai orangnya. Nah, Kim Cui Hong, aku adalah Tung Ok Si Racun Timur dan semua orang di dunia kang-ouw tunduk kepadaku. Maka, dengarlah, Kim Cui Hong, engkau harus tunduk pula padaku! Menyerah dan berlututlah!"
Cui Hong merasa betapa ada kekuatan aneh seolah memakfcanya agar ia menjatuhkan diri berlutut kepada kakek yang bernama Racun Timur itu. la sudah merasa betapa kedua kakinya gemetar. Tiba-tiba ia teringat akan nasehat gurunya, mendiang Toat-beng Hek-mo yang mengajarkan kepadanya bagaimana untuk menolak pengaruh sihir. Ia teringat bahwa ini tentulah kekuatan sihir yang dipergunakan kakek rambut putih itu kepadanya. Cepat ia lalu mengerahkan tenaga batinnya ia membiarkan tenaga sakti dari tan-tiat dibawah pusar bergulung ke atas dan memperkuat perasaan hati dan pikirannya.
"Kakek siluman! Siapa mau menyerah kepadamu!"
Bentaknya. Tung Ok menjadi marah sekali karena merasa malu. Di depan dua orang perwira dan puluhan perajurit itu dia dibuat malu karena sihirnya tidak dapat mempengaruhi gadis yang menyamar sebagai pria itu.
"Tidak bisa menangkap hidup-hidup, aku akan menangkapmu dalam keadaan mati!"
Bentaknya dan cepat kakek itu bergerak ke depan dan tongkat hitamnya menyambar dahsyat sekali.
Cui Hong mengenal serangan yang sangat bahaya itu, maka ia cepat nenggunakan kecepatan gerakan dan keringanan tubuhnya untuk mengelak ke kiri.
"Tar-tar-tarrr...!"
Cambuk itu meledak-ledak dan menyambar-nyambar ke arah kepala, disusul serangan ke arah pinggang, lalu ke arah kaki secara bertubi. Hebat sekali serangan cambuk itu. Akan tetapi Cui Hong memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi sehingga tubuhnya berkelebatan sedikit, terhindar dari sambaran cambuk. Ketika cambuk menyambar lagi ke arah lehernya, ia melompat ke kanan, membalik dan menghantam cambuk itu dengan tongkat gagang sapu.
"Wuuuttt... takkk!"
Tung Ok berseru kaget dan melangkah mundur.
Dia terkejut sekali karena tangkisan gagang sapu itu mampu menggetarkan tangannya yang memegang gagang cambuk! Sulit dipercaya seorang wanita muda memiliki tenaga sin-kang yang nmampu mengimbangi tenaganya! Dia menyerang semakin hebat, memainkan ilmu cambuknya yang ia sendiri menganggap tidak ada lawan yang mampu menandinginya. Akan tetapi Cui Hong tidak mau kalah. Ia memainkan ilmu tongkat warisan gurunya, yaitu Toat-beng Koai-tung dan terjadilah perkelahian yang amat seru.
Gulungan sinar cambuk dan tongkat menyambar-nyambar dan terkadang tampak cambuk dan tongkat seolah berubah menjadi banyak. Mereka yang menonton perkelahian itu menjadi kagum dan juga gentar untuk maju membantu. Tung Ok sendiri harus mengakui bahwa baru sekali ini dia bertemu seorang wanita muda yang sanggup melawannya tanpa terdesak walaupun dia sudah mengerahkan tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus simpanannya. Bahkan tadi ilmu sihirnya juga tidak mampu mempengaruhi Cui Hong. Baru sekarang dia tahu mengapa dua orang tangguh seperti Su Lok Bu murid Siauw-Iim-pai dan Cia Kok Han murid Bu-tong-pai memuji-muji gadis ini dan merasa jer ih kepadanya. Sebutan Iblis Betina bukan sebutan kosong.
Setelah perkelahian satu lawan satu itu berlangsung cukup lama, sekitar lima-puluh jurus dan dia belum juga mampu menangkap wanita itu, hidup atau mati seperti yang dikatakannya, Tung Ok menjadi penasaran. Dari perkelahian itu dia tahu bahwa dia pun tidak akan kalah oleh Kim Cui Hong, akan tetapi untuk dapat merobohkan wanita itu pun bukan hal mudah baginya. Kalau dibiarkan terlalu lama, pandangan orang terhadapnya akan menurun. Maka dia memberi isarat kepada delapan orang perajurit yang menjadi pembantu dan pengawalnya. Delapan orang yang sejak tadi sudah siap siaga mengepung dalam lingkaran para perajurit itu, tiba-tiba bergerak mengelilingi Cui Hong dan Tung Ok yang masih bertanding seru. Mereka melolos benda lunak hitam dari ikat pinggang mereka. Benda itu ternyata adalah semacam jala ikan yang terbuat dari tali hitam yang halus.
Tiba-tiba mereka menggerakkan tangan secara bergantian dan jala berkembang menyambar ke arah Cui Hong. Wanita ini menangkis dengan tongkatnya sambil mengerahkan tenaga, namun ternyata tongkat yang mampu merusak senjata tajam lawan itu, tidak mampu membikin putus tali-tali jala yang terbuat dari bahan yang khas dan aneh, yang tidak akan putus walaupun dibacok senjata tajam sekalipun! Cui Hong terkejut dan mengelak. Ia berhasil mengelak dari sambaran jala-jala itu sampai lima".
----------------------------------------------------------------------------------
Ada halaman hilang
----------------------------------------------------------------------------------
mereka pun tidak ingin mengetahui dan ia merasa yakin bahwa wanita itu tentu dibunuh oleh Perwira Su dan Perwira Cia.
Ruangan tertutup yang luas itu tidak terang ketika Su Lok Bu dan Cia Kok an masuk pada hari kemar in dulu. Kalau pada waktu pertama kali mereka berdua datang menemui tiga orang tengkorak hidup, yaitu Pui Ki Cong, Koo Cai Sun, dan Louw Ti, dalam ruangan itu dipasang lima buah lampu besar sehingga keadaan dalam ruangan itu terang benderang seperti siang, kini yang dipasang hanya dua buah lampu sehingga remang-remang menyeramkan! Agaknya tiga orang itu memang tidak ingin pekerjaan mere ka tampak jelas oleh orang yang selalu mereka tunggu-tunggu untuk dihadapkan mereka, maka mereka, atau lebih tepat Pui Ki Cong sebagai tuan rumah, menyuruh para pelayan menyalakan dua buah lampu saja. Baru saja Pui Ki Cong menerima kabar dari Su Lok Bu bahwa musuh besarnya, Kim Cui Hong, telah dapat ditangkap hidup-hidup dan hendak diserahkan kepadanya!
Dengan girang sekali dia lalu mengajak Koo Cai Sun dan Lauw Ti untuk menanti di dalam ruangan itu, sengaja membuat cuaca di situ tidak terang sekali agar keburukan rupa mereka tidak tampak nyata. Kemulian dengan perasaan hati berdebar-debar penuh ketegangan, penuh dendam kebencian, mereka duduk di atas kursi roda masing-masing dan menunggu.
Akhirnya seorang pelayan membuka pintu ruangan itu dari depan dan Su Lok Bu masuk mendorong Kim Cui Hong yang kaki tangannya terbelenggu kuat. Gadis itu masih mengenakan pakaian pria, wajahnya agak pucat akan tetapi sepasang matanya mencorong dalam keremangan cuaca dalam ruangan itu. Setelah tidak berdaya dalam libatan dan bungkusan delapan helai jaring yang kokoh kuat, Cui Hong sama sekali tidak berdaya ketika ia ditotok oleh Su Lok Bu, tidak mampu mengelak atau menangkis. Dalam keadaan tak mampu bergerak karena tertotok dengan mudah Su Lok Bu dan Cia Kok San melepaskannya dari dalam libatan jaa-jala dan membelenggu kedua pasang kaki tangannya.
"Hemm, beginikah sikap dua orang laki-laki yang mengaku gagah perkasa ini? katanya dahulu adalah pende kar Sauw-lim dan Bu-tong? Curang, main keroyokan dan tidak adil! "
Cui Hong mengejek, sama sekali tidak memperliatkan rasa takut.
WAJAH kedua orang perwira itu terasa panas dan kalau bukan di waktu malam ketika mereka menangkap gadis itu, tentu akan tampak muka mereka berubah kemerahan.
"Hemm, terhadap seorang wanita yang jahat dan kejam melebihi iblis betina, tidak perlu memakai peraturan orang gagah! Yang jahat harus dibasmi, dengan cara apapun juga."
Kata Su Lok Bu untuk menyembunyikan rasa tidak enak mendengar teguran yang mengandung ejekan itu.
Memang, sebagai seorang pendekar murid Siauw-lim-pai, amat memalukan kalau mengalahkan musuh dengan cara keroyokan. Akan tetapi musuhnya ini bukan sekedar pi-bu (mengadu kepandaian silat) atau sekadar menguji, akan tetapi sebagai usaha untuk menyingkirkan seorang yang jahat dan amat kejam sekali.
"Huh, kalian ini dulu menjadi anjing-anjing penjilat pembesar Pui dan putera-nya yang jahat, masih dapat mengatakan orang jahat seperti iblis! Tak tahu malu!"
Kata pula Cui Hong marah.
"Tidak perlu banyak cerewet! Rasakan pembalasan orangorang yang engkau siksa dengan kejam. Engkau memang bukan manusia lagi! Hayo!"
Su Lok Bu dan Cia Kok Han lalu membawa gadis itu dan setengah menyeretnya menuju ke gedung tempat tinggal Pui Ki Cong.
Kini mereka telah menyeret Cui Hong memasuki ruangan remang-remang di mana t iga orang tengkorak hidup itu sudah menanti di atas kursi roda masing-masing, seperti setan-setan yang keluar dari neraka untuk membalas dendam kepada Kim Cui Hong.
Cui Hong didorong masuk dan karena kedua kakinya terbelenggu, ia pun terpelanting roboh dalam keadaan terlentang, akan tetapi dengan kedua kakinya yang telah terbebas dari totokan ia dapat mengangkat rubuhnya dan duduk menghadapi t iga orang di atas kursi roda itu. Matanya mencorong dan terbayang kengerian melihat tiga orang yang wajahnya seperti setan itu memandang kepadanya. Ia merasa ngeri melihat yang duduk di tengah kedua matanya telah berlubang dan tidak ada biji matanya lagi. Ia teringat bahwa orang itu adalah Pui Ki Cong. Yang duduk di sebelah kiri Ki Cong, mata kirinya juga buta dan itu tentulah Lauw Ti yang memandang kepadanya dengan mata kanannya yang berputar-putar aneh, bukan mata orang yang waras otaknya.
Yang duduk di sebelah kanan itu tentu Koo Cai Sun yang biarpun kedua matanya tidak buta, namun mukanya juga hancur dan kehilangan hidung, bibir dan telinga, seperti tengkorak hidup! melihat tiga orang itu, diam-diam Cui Hong bergidik dan baru ia melihat sendiri dan merasa betapa pembalasan sakit hatinya dulu itu memang teramat kejam.
Dalam keadaan dendam sakit hati, ia seolah bukan manusia lagi, menyiksa tiga orang sampai sedemikian rupa sehingga kalau ia membunuh mere ka bertiga, kiranya tidak sekejam penyiksaan yang dilakukannya itu. Mulailah timbul perasaan penyesalan dalam hatinya yang sekarang dua orang perwira itu menyerahkannya kepada tiga orang manusia yang sudah berubah mukanya seperti iblis Itu. Tahulah ia bahwa nyawanya tidak mungkin tertolong lagi. Mereka mungkin akan membalas dan menyiksaku seperti aku menyiksa mereka, pikir Cui Hong. Biarlah kalau demikian, memang sudah sepantasnya dan ia akan membunuh diri begitu mendapat kesempatan! Ia merasa heran mengapa tiga orang itu masih mau hidup dalam keadaan seperti itu!
Di antara tiga orang itu, hanya Koo Cai Sun yang kedua matanya masih utuh dan masih awas. Dia mengamati pemuda tampan yang terbelenggu kaki tangannya itu dan menegur.
"Su-ciangkun dan Cia-ciangkun, mana Kim Cui Hong yang engkau janjikan akan dibawa ke sini itu? Ini seorang pemuda, bukan Nona Kim Cui Hong!"
"Ya, ini seorang pemuda, bukan iblis betina!"
Kata Lauw Ti yang memandang dengan sebelah matanya yang berputarputar.
"Hemm, benarkah itu, Ji-wi Ciangkun (Kedua Perwira)?"
Tanya Pui Ki Cong yang telah buta kedua matanya.
"Harap kalian pandang baik-baik! Ia adalah Kim Cui Hong yang menyamar sebagai seorang pemuda!"
Kata Su Lok Bu.
"Mana kami bisa keliru?"
Kata Cia Kok Han.
"Penyamarannya memang bagus, akan tetapi ia betul seorang gadis, yaitu Kim Cui Hong!"
Cui Hong yang sudah bangkit duduk itu tiba-tiba menggunakan lututnya untuk meloncat sehingga ia dapat bangkit berdiri. Dengan sikap angkuh dan suara tegas ia berkata.
"Pui Ki Cong, Lauw Ti, dan Koo Cai Sun, aku benar Kim Cui Hong. Aku telah ditangkap secara curang dan sudah berada dalam kekuasaan kalian bertiga. Mau bunuh, lakukanlah! Aku t idak takut mati!"
Mendengar suara ini, Pui Ki Cong berkata.
"Benar, ia adalah Kim Cui Hong. Su-ciangkun dan Cia-ciangkun, tinggalkan ia di sini dan ji-wi (kalian berdua) datang lagi besok untuk menerima apa yang aku janjikan."
Su Lok Bu dan Cia Kok Han mengangguk dan mereka lalu pergi. Mereka merasa yakin bahwa gadis itu sudah tidak berdaya. Tak mungkin dapat melepaskan diri dari belenggu kaki tangannya. Biarpun tiga orang itu sudah tidak memiliki tenaga, namun mereka mempunyai belasan orang pelayan yang juga menjadi pengawal dengan kepandaian yang cukup. Agaknya Pui Ki Cong menyadari akan kelemahan dia dan dua orang bekas pembantunya yang kini senasib dengannya, menjadi manusia yang jasmaninya seperti setan. Maka setelah dua perwira itu keluar, dia berseru memanggil dua orang kepala pelayan yang juga kepala pengawalnya.
"Bong Can dan Bong Lim, ke sinilah kalian!"
Pintu sebelah dalam ruangan itu terbuka cepat, menunjukkan bahwa dua orang itu sejak tadi memang siap menanti panggilan di belakang pintu. Mereka adalah dua orang kakak beradik, Bong Can berusia tiga puluh lima tahun dan Bong Lim berusia tiga puluh tahun. Kakak beradikini keduanya bertubuh tinggi besar dan sikap mereka gagah, wajah mereka juga cukup menarik. Hanya bedanya kalau Bong Can berkulit hitam, Bong Kun berkulit agak putih.
Mereka adalah murid-murid Kun-lun-pai dan termasuk orang-orang gagah berjiwa pendekar. Tadinya mereka datang ke kota raja dari daerah selatan untuk membantu Kerajaan Beng dari ancaman orang Man-cu yang semakin berkembang.
Ketika mendengar akan adanya pemberontakan rakyat dipimpin oleh Li Cu Seng karena Kaisar dikuasai para Thaikam sehingga pemerintah tidak bijaksana dan para pembesar sebagian besar lalim dan korupsi, kedua orang murid Kun-lun-pai ini merasa ragu untuk membantu pemerintah. Maka ketika Pui Ki Cong mengundang mereka untuk menjadi pengawal pribadi dewi-kz, mereka menerima pekerjaan ini. Pertama, karena menjadi pengawal pribadi merupakan pekerjaan wajar dan baik asalkan tidak menghambakan diri kepada pembesar atau hartawan yang menyuruh mereka melakukan kejahatan.
Ke dua, mereka merasa iba sekali melihat keadaan Pui Ki Cong dan dua orang temannya yang harus mereka jaga. Tentu saja mereka ingin mengetahui mengapa tiga orang itu menjadi seperti itu dan Pui Ki Cong menceritakan bahwa mereka bertiga dianiaya oleh seorang iblis betina bernama Kim Cui Hong. Dan dengan alasan takut kepada iblis betina itu kalau-kalau datang mengganggu lagi, maka dia minta kepada dua orang bersaudara itu menjadi pengawal pribadi yang melindungi keselamatan mereka bertiga. Pui Ki Cong tentu saja merasa malu menceritakan sebab dari kemarahan Si Iblis Betina itu. Demikianlah, kedua saudara Bong ini menjadi pengawal pribadi Pui Ki Cong dan sudah berada hampir satu setengah tahun di gedung itu. Mereka merasa iba karena Pui Ki Cong berada di gedung hanya bertiga dengan dua orang senasib itu, tidak didekati keluarga karena keluarga tiga orang itu agaknya tidak ada yang mau mendekati mereka. Kedua orang bersaudara Bong menjadi kepala pengawal atau boleh juga disebut kepala pelayan di gedung itu, mengepalai delapan orang pelayan lain yang juga menjadi pengawal.
Ketika dua orang perwira, Su Lok Bu dan Cia Kok Han menghadap tiga orang majikan mereka membawa seorang teman, Bong Can dan Bong Lim sudah siap s iaga kalau-kalau tenaga mereka diperlukan, maka mereka sudah bersiap di belakang pintu. Begitu dipanggil, keduanya lalu memasuki ruangan itu. Melihat keadaan ruangan agak gelap, tanpa diperintah Bong Can dan Bong Lim, segera menghampiri lampu-lampu lain dan akan menyalakannya.
"Bong Lim, jangan nyalakan lampu itu, biar begini saja!"
Seru Pui Ki Cong karena biarpun dia tidak dapat melihat, pendengarannya menjadi tajam dan dia dapat mendengar ketika Bong Lim menghampiri meja lampu. Bahkan langkah kaki Bong Lim juga dia dapat membedakan dari langkah kaki Bong Can atau orang lain.
"Mengapa, Pui Kong-cu?"
Koo Cai Sun berkata.
"Mengapa harus merasa malu kalau ia melihat keadaan kita bertiga? Biarlah ia melihat betapa kejamnya Iblis Betina ini yang telah membuat kita bertiga seperti ini! Bong Lim, nyalakan saja semua lampu itu!"
Akan tetapi karena dia bekerja kepada Pui Ki Cong, Bong Lim tidak menaati perintah Koo Cai Sun, sebaliknya dia bertanya kepada Pui Ki Cong.
"Bagaimana, Pui Kongcu? Dinyalakan atau tidak lampu-lampu ini?"
Pui Ki Cong menghela napas panjang dan mengangguk.
"Benar juga pendapatmu, Koo-twako. Nyalakanlah semua lampu itu, Bong Lim."
Bong Lim lalu menyalakan tiga lampu yang lain sehingga kini ruangan itu menjadi terang sekali. Kini Cui Hong berdiri terbelalak memandang bergantian kepada tiga orang itu karena setelah kini cuaca amat terang, ia melihat betapa wajah mereka benar-benar mengerikan sekali! Aih, bagaimana mungkin ia dulu dapat sekejam itu? Teringatlah ia kepada Tan Siong. Murid Kun-lun-pai, pendekar yang budiman dan perkasa itu pernah menasehatinya bahwa membiarkan dendam di hati sama dengan meracuni diri sendiri. Ternyata kini ia melihat sendiri betapa racun dendam dalam batinnya itu telah membuat ia mampu melakukan kekejaman yang tidak manusiawi lagi! la merasa menyesal, sungguh menyesal!
"Bong Can Twako dan Bong Lim, periksa apakah kaki tangan gadis itu sudah diikat kuat sehingga ia tidak mungkin melepaskan diri lagi?"
Tanya Pui Ki Cong kepada dua orang pengawalnya. Kakak beradik Bong itu saling pandang.
"Gadis yang mana, Kongcu?"
Tanya Bong Lim.
Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bodoh! Tentu saja gadis yang berpakaian pria ini!"
Bentak Lauw Ti kepada Bong Lim. Dua orang kakak beradik ini diam-diam tidak suka kepada Lauw Ti yang bersikap kasar kepada mereka, seolah-olah dia itu yang berkuasa dan menjadi majikan mereka.
"Ah, jadi inikah yang bernama Kim Cui Hong dan disebut Iblis Betina yang telah bertindak kejam sekali terhadap Kongcu bertiga?"
Bong Can berkata dan bersama adiknya dia menghampiri Cui Hong. Setelah melihat dari dekat baru mereka yakin bahwa "pemuda tampan"
Itu memang benar seorang wanita yang menyamar dan diam-diam kedua orang murid Kun-lun-pai ini merasa heran bagaimana ada gadis secantik itu sudah sedemikian jahat dan kejamnya. Setelah memer iksa belenggu pada kaki tangan Cui Hong, Bong Lim berkata.
"Ikatannya cukup kuat dan ia tidak akan mampu membebaskan diri, Kongcu."
"Hemm, bagus! Kalau begitu, ikat tubuhnya di tihang sudut ruangan itu!"
Perintah Pui Ki Cong.
Dua orang pengawal itu lalu memegang lengan Cui Hong bagian siku dari kanan kiri, kemudian mereka mengangkat tubuh gadis itu, dibawanya ke tihang tembok di sudut ruangan dan mengikat kaki tangannya pada tihang itu. Semua ini, dari cara mengangkat tubuh gadis, itu sampai ke sudut dan mengikat kaki tangan yang sudah terbelenggu kepada tihang, dilakukan dengan cara yang tidak melanggar kesusilaan sehingga diam-diam Cui Hong mencatat bahwa dua orang pembantu Pui Ki Cong ini adalah orang-orang yang baik, tidak jahat atau kurang ajar seperti kebanyakan pengawal atau tukang pukul, bertolak belakang dengan watak dua orang bekas tukang pukul Pui Ko Cong yang kini juga duduk di kursi roda seperti tengkorak hidup.
"Ia sudah terikat pada tihang, Kongcu."
Kata Bong Can.
"Dorong aku ke depannya!"
Kata Pui Ki Cong. Bong Lim lalu mendorong kursi roda yang diduduki Ki Cong dan mendorongnya sehingga laki-laki buta itu kini duduk di kursi roda, di depan Cui Hong yang tak mampu bergerak karena kini kaki tangan yang terikat pada tihang. Koo Cai Sun dan Lauw Ti juga menggerakkan roda kursi masing-masing mengikuti Pui Ki Cong mendekati Cui Hong yang terikat pada tihang. Gadis itu memandang kepada mereka dan kembali ia merasa ngeri melihat keadaan mereka.
"Can-twako dan Bong Lim, kalian harus menjaga dekat karena gadis ini lihai sekali."
Kata Pui Ki Cong yang masih merasa jerih, apalagi karena dia tidak dapat melihat bagaimana keadaan Cui Hong pada saat itu. Berbeda dengan Koo Cai Sun dan Lauw Ti yang melihat bahwa gadis yang ditakuti itu benar-benar tidak berdaya.
"Pui Ki Cong, Koo Cai Sun, dan Lauw Ti! Sekarang aku menyadari bahwa pembalasan sakit hatiku kepada kalian memang amat kejam. Karena itu, bunuhlah aku untuk menebus kekejamanku. Aku tidak takut mati, bahkan rela menebus kekejamanku terhadap kalian itu dengan nyawaku."
Kata Kim Cui Hong sengaja menutup kedua matanya agar tidak melihat muka yang mengerikan itu.
Muka tanpa hidung, tanpa bibir, tanpa telinga. Muka yang bagian hidungnya berlubang besar, giginya tampak berderet-deret karena tidak ada bibirnya lagi, sepasang daun telinga yang buntung, kaki tangan yang bengkok! Apalagi Pui Ki Cong yang kedua matanya juga hanya berbentuk dua buah lubang. Presis tengkorak hidup, hanya tengkorakini berkulit dan berambut.
"Bunuh mati begitu saja? Huh, enaknya!"
Kata Lauw Ti dengan suaranya yang pelo.
"Aku akan membalas siksaan-mu, aku akan menghinamu dan membuatmu menderita sehingga engkau akan merasa menyesal hidup sebagai manusia!"
Suaranya semakin kacau dan matanya yang tinggal satu itu mencorong seperti mata iblis karena dia dibakar kemarahan dan kebencian.
"Sekarang, lebih dulu aku akan menelanjangimu!"
Setelah berkata demikian, Lauw Ti meloncat keluar dari kursinya, berdiri dengan kaki kirinya saja karena kaki kanannya lumpuh, berloncatan mendekati Cui Hong yang merasa ngeri. Tangan kiri Lauw Ti buntung sebatas pergelangan, maka dia menggunakan tangan kanannya, meraih baju Cui Hong dan menariknya sekuat tenaga karena tenaga saktinya juga sudah tak dapat dikeluarkan lagi.
"Bretttt....!"
Baju itu robek terlepas dari tubuh atas Cui Hong, akan tetapi gadis itu tidak menjadi telanjang karena di bawah baju pria itu ia masih mengenakan baju wanita. Pakaian rangkap ini yang menyempurnakan penyamarannya karena tubuhnya tampak lebih besar. Mata yang tinggal sebelah itu terbelalak dan Lauw Ti semakin marah melihat betapa tubuh Cui Hong masih tertutup baju wanita yang rapi, maka dia sudah menjulurkan tangan kanan hendak merenggut lagi baju wanita itu dari dada Cui Hong.
"Tahan, Lauw Ti!"
Teriak Pui Ki Cong. Melihat Lauw Ti tidak menaati perintah Pui Ki Cong dan hendak tetap merenggut baju Cui Hong, Bong Can lalu menangkap tangan Lauw Ti dan mendorongnya duduk kembali ke atas kursi roda.
"berani kau....?"
Lauw Ti membentak.
"Pui Kongcu melarangmu dan engkau harus menaatinya!"
Kata Bong Can singkat.
Mendengar suara Bong Can yang tegas ini, Lauw Ti tidak berani rewel lagi, akan tetapi dia bersungut-sungut dan matanya yang tinggal sebelah memandang ke arah Cui Hong dengan penuh kebencian, seolah dia hendak menyiksa dan membunuh wanita itu dengan pandangi matanya.
"Hemm, engkau melarang aku menyiksanya? Lalu apa yang hendak kaulakukan kepada musuh besar kita ini, Pui Kongcu?"
Tanyanya dengan suara mengandungi penasaran dan kemarahan.
"Hemm, kukira tidak perlu menyiksa dan menghinanya lagi. Kesalahan kita sembilan tahun lalu tidak kita ulangi lagi sekarang. Lebih baik dia dibunuh saja dan impas sudah semua perhitungan!"
Kata Pui Ki Cong.
Terharu rasa hati Cui Hong mendengar ucapan Pui Ki Cong ini. Mungkin putera pembesar itu mata keranjang dani suka mempermainkan wanita, akan tetapi ucapannya itu sedikitnya menunjukkan bahwa dia menyadari akan kesalahan dirinya sembilan tahun yang lalu.
"Ah, kalau aku tidak setuju ia disiksa dan tidak setuju ia dibunuh. Lebih baikia dibiarkan hidup saja!"
Kata Koo Cai Sun.
"Hee? Apa maksudmu, Cai Sun? Membiarkan musuh kita yang telah merusak kehidupan kita ini hidup? Maksudmu melepaskannya, begitu?"
Lauw Ti membentak marah.
"Koo Cai Sun, bagaimana mungkin engkau mempunyai pendirian seperti itu? Selama dua tahun ini kita hidup tidak mati pun bukan, mengandung dendam segunung tingginya dan selaut dalamnya, dan sekarang setelah ia kita tangkap, engkau bilang kita sebaiknya melepaskannya begitu saja?"
Tanya pula Pui Ki Cong yang merasa terheran-heran.
"Apakah engkau... menaruh iba kepada orang yang telah membuat mukamu menjadi seburuk setan begini?"
"Heh-heh, bukan begitu, Pui Kongcu. Aku tadi mendengar suara Kim Cui Hong ini demikian penuh penyesalan setelah ia melihat betapa mengerikan keadaan kita akibat penyiksaannya yang kejam dan buas seperti iblis. Nah, kalau ia mati berarti ia akan berhenti menderita batin teringat akan kekejamannya yang tak mengenal batas. Kalau ia disiksa seperti yang dikehendaki Lauw Ti, ia pun akan merasa sudah terbayar perbuatannya yang di luar prikemanusiaan itu. Maka, kita bebaskan ia dan biarkan ia hidup agar selama hidupnya ia akan selalu membayangkan wajah kita dan disiksa oleh penyesalan yang akan membuat batinnya menderita selamanya!"
Mendengar ini, Cui Hong memejamkan kedua matanya dan berkata lirih.
"Kalian bunuh saja aku... bunuh saja aku..."
Suara tergetar karena ia benar-benar merasa menyesal. Ia membayangkan pula apa yang terjadi dengan keluarga tiga orang itu, betapa mereka itu, anak isteri mereka, ikut pula menderita karena keadaan suami mereka. Dan semua ini terjadi karena ia terlalu menuruti nafsu mendendam yang membuat ia sekejam iblis!
"Tan-twako..."
Hatinya mengeluh, teringat akan Tan Siong yang dulu pernah memperingatkan dan menasehatinya bahwa dendam itu akan membakar dirinya sendiri, akan mengakibatkan penderitaan dalam batinnya sendiri karena nafsu dendam mendorong orang untuk melakukan kekejaman agar memuaskan dendamnya. Dan kini, hanya penyesalan mendalam yang ia rasakan, melihat wajah tiga orang seperti itu. Mendengar ucapan Koo Cai Sun yang disusul keluhan Kim Cui Hong yang minta dibunuh, Pui Kongcu menganggukangguk.
"Hemm, ada benarnya juga pendapatmu, Koo Cai Sun. Akan tetapi, biarlah hal ini kupikirkan dulu sampai besok. Akan kuambil keputusan besok."
"Can-ko (Kakak Can) dan Lim-te (Adik Lim), kalian berdua jagalah tawanan ini, jangan sampai ia terlepas. Kami hendak mengaso dulu dan besok akan kuambil keputusan apa yang akan kulakukan dengan Kim Cui Hong."
"Baik, Kongcu. Jangan khawatir, kami akan menjaganya."
Kata dua orang kakak beradik Bong itu.
Tiga orang itu lalu memutar roda kursi mereka dengan tangan dan kursi-kursi itu menggelinding memasuki bagian dalam gedung melalui pintu sebelah dalam yang dibuka pelayan dan kursi roda Pui Kl Cong lalu didorong o leh seorang pelayan. Mereka menuju ke kamar masing-masing untuk beristirahat karena pertemuan dengan wanita yang membuat mereka kini menjadi seperti hantu itu sungguh mendatangkan ketegangan luar biasa dalam hati mereka sehingga membuat tubuh mere ka yang kini amat lemah itu menjadi lemas.
Bong Can dan Bong Lim kini duduk di atas dua buah bangku, agak jauh dari Cui Hong akan tetapi waspada mengamati gerak-gerik wanita itu. Diam-diam dua orang murid Kun-lun-pai ini merasa iba kepada gadis itu. Akan tetapi mereka sudah mendengar bahwa wanita cantik ini yang telah menyiksa Pui Ki Cong dan dua orang bekas pengawalnya sehingga mereka pun mendapatkan kesan buruk atas diri Cui Hong. Mereka berdua menganggap Cui Hong seorang wanita yang teramat kejam, karena Pui Ki Cong tidak pernah memberitahu kepadanya mengapa Cui Hong bertindak sekejam itu kepada mereka bertiga. Kini mereka melihat betapa Cui Hong memejamkan mata, tubuhnya lunglai dan jelas gadis itu mengendurkan semua urat syarafnya, bernapas dengan panjang dan teratur.
Mereka berdua merasa kagum juga. Mereka mengenal cara mengatur pernapasan yang dilakukan gadis itu untuk mengumpulkan hawa murni dan dalam keadaan seperti itu, selain dapat menghimpun kembali tenaganya, gadis itu pun dapat beristirahat menghilangkan semua kelelahan. Biarpun dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya dan terikat pada ti-hang, namun ternyata Cui Hong tetap tenang bahkan dapat melakukan siu-lian (samadhi) dan mengatur pernapasan dengan santai dan baik.
Su Lok Bu dan Cia Kok Han duduk di ruangan depan rumah penginapan para pendekar yang mendukung Kerajaan Beng untuk menghadapi pemberontak, berhadapan dengan Tung Ok. Pagi itu dua orang perwira ini sudah mengadakan pembicaraan dengan Tung Ok dan mere ka merayakan keberhasilan mereka menangkap Cui Hong yang dianggap wanita iblis jahat. Kalau Su Lok Bu dan Cia Kok Han merasa gembira karena mereka telah menolong tiga orang yang menderita hebat itu dan menangkap seorang wanita iblis yang amat kejam dan berbahaya bagi masyarakat, Tung Ok gembira karena janji yang diberikan Pui Ki Cong untuk menghadiahkan setengah dari kekayaannya kepada orang yang dapat menangkap Kim Cui Hong, dan yang berhasil menangkap gadis perkasa itu adalah dia, dibantu delapan
orang anak buahnya!
Sambil minum arak dan menikmat i makanan kecil, dua orang perwira itu menceritakan kepada Tung Ok akan kekejaman yang dilakukan Kim Cui Hong kepada Pui Ki Cong, Koo Cai Sun, dan Lauw Ti yang kini menjadi tengkorak-tengkorak hidup dan selalu mengurung diri dalam gedung yang disediakan untuk mereka oleh keluarga Pui Ki Cong. Bahkan selama di kota raja, Tung Ok sendiri belum pernah melihat mereka.
"Ha-ha-ha-ha, aku akan memiliki sebuah gedung yang lengkap dan mewah, dan akan mengumpulkan sedikitnya lima orang isteri! Tinggal menanti imbalan jasa berupa pangkat yang tinggi dan lengkaplah sudah apa yang kucitakan, ha-haha!"
Su Lok Bu dan Cia Kok Han saling lirik dan mereka mengerutkan alisnya. Timbul perasaan tidak puas dalam hati mereka. Mereka adalah murid Siauw-lim-pai dan murid Butong-pai yang merasa diri mereka pendekar, dan sekarang mereka terpaksa bekerja sama dengan orang seperti Tung Ok yang jelas melihat sikap dan mendengar ucapannya adalah seorang datuk sesat yang hanya mementingkan harta dan pangkat, sama sekali bukan ingin membela negara sebagai seorang pahlawan.
Su Lok Bu dan Cia Kok Han memang bukan golongan pendekar yang bijaksana, namun mereka bukan orang jahat dan perguruan mereka mengajarkan watak pendekar yang menentang kejahatan dan berjiwa pahlawan pembela negaradan bangsa. Mereka maklum bahwa sebagai manusia, mereka harus memerangi nafsu mereka sendiri. Mereka maklum bahwa yang membuat manusia lupa diri, bahkan membuat seorang yang tadinya berwatak pendekar dapat menjadi lemah dan jatuh ke dalam kesesatan, adalah nafsu sendiri, nafsu yang selalu mengejar kesenangan dan yang paling kuat adalah kesenangan yang didapatkan melalui tiga hal. Pertama adalah kedudukan atau kekuasaan, ke dua adalah harta benda, dan ke tiga adalah wanita. Tiga hal inilah yang meruntuhkan hati seorang laki-laki kalau dia t idak memiliki batin yang kuat. Dan kini mere ka melihat Tung Ok adalah orang yang seperti itu, yakni hanya mementingkan tiga hal itu.
Mereka merasa kecewa sekali dan diam-diam merasa muak bahwa mereka harus bekerja sama dengan orang seperti itu dalam perjuangan membela Kerajaan Beng. Enam orang berjalan menghampiri ruangan depan itu. Tung Ok yang berwatak angkuh memandang acuh tak acuh ketika mengenal bahwa yang datang adalah Liong-san Ngoeng dan seorang laki-laki muda. Tung Ok memang memandang rendah para pendekar, apalagi yang masih muda. Dia tidak melihat mereka lagi dan melanjutkan minum araknya.
Akan tetapi Su Lok Bu dan Cia Kok Han segera tersenyum ketika melihat Liong-san Ngo-eng yang menjadi sahabat mereka. Lima pendekar Liong-san itu adalah murid-murid Liong-san-pai yang gagah. Mereka seringkali bekerja sama dengan Su Lok Bu dan Cia Kok Han, bahkan ketika hendak menangkap Li Cu Seng mereka juga bekerja sama.
"Ah, Ngo-wi Eng-hiong (Lima Pendekar), silakan duduk dan mari minum bersama kami!"
Kata Su Lok Bu ramah.
"Terima kasih, Su-ciangkun!"
Kata Thio Ki, orang pertama dan tertua dari Liong-san Ngo-eng.
"Kami hanya ingin mengundang Ji-wi ciangkun (Perwira berdua) membicarakan urusan penting."
Tiba-tiba Cia Kok Han menyentuh lengan Su Lok Bu dan dia memandang kepada laki-laki muda yang gagah perkasa itu. Su Lok Bu juga memandang dan mereka berdua segera mengenalnya. Tan Siong! Pemuda berusia sekitar tiga puluh dua tahun itu adalah Tan Siong, pemuda yang pernah membela Kim Cui Hong dan memiliki ilmu silat Kun-lun-pai yang lihai.
"Saudara ini.... siapakah?"
Tanya Su Lok Bu kepada Thio Ki.
"Ini Saudara Tan Siong, seorang sukarelawan baru yag sudah diterima Jenderal Ciong. Kami berlima sudah lama mengenal dia sebagai seorang pendekar Kun-lun-pai yang budiman dan bijaksana. Justru kami ingin bicara dengan ji-wi bersama Tan-enghiong (Pendekar Tan)."
Su Lok Bu dan Cia Kok Han saling pandang dan melihat sikap mereka itu, Tan Siong lalu berkata dengan suara lembut.
"Paman berdua tentu masih ingat kepada saya. Saya ingin membicarakan sesuatu yang penting kepada ji-wi."
Su Lok Bu lalu berkata kepada Tung Ok.
"Lo-cian-pwe, maafkan kami. Kami mempunyai urusan penting dengan Saudara-saudara ini. Terpaksa kami meninggalkan Lo-cianpwe minum seorang diri."
Dengan sikap angkuh kakek itu berkata.
"Pergilah, aku pun tidak ingin diganggu orang-orang muda!"
Dan dia kembali minum arak dar i cawannya.
Su Lok Bu dan Cia Kok Han lalu mengikut i Liong-san Ngoeng dan Tan Siong memasuki taman di sebelah kiri gedung itu. Di taman yang cukup luas ini terdapat sebuah beranda di mana terdapat bangku-bangku untuk beristirahat. Delapan orang itu lalu duduk di atas bangku mengelilingi sebuah meja.
Mereka tidak khawatir akan ada orang lain mendengarkan percakapan mereka karena dari beranda yang terbuka itu mereka dapat melihat ke sekeliling sehingga tidak mungkin ada orang mendekati beranda itu tanpa mereka ketahui. Setelah delapan orang itu mengambil tempat duduk, Su Lok Bu yang sejak tadi menahan rasa penasarannya, berkata kepada Tan Siong.
"Engkau Tan Siong murid Kun-lun-pai yang dulu membantu Iblis Betina Kim Cui Hong itu, bukan? Hemm, biarpun sekarang kita sama-sama hendak membela kerajaan dan menjadi pembantu Jenderal Ciong, namun kami kira tidak ada urusan apa pun di antara kita."
Suaranya agak kasar karena dia memang merasa penasaran kepada Tan Siong yang dianggap sesat karena dulu membantu gadis jahat dan kejam itu.
"Maaf, Paman Su Lok Bu dan Paman Cia Kok Han. Saya kira dahulu itu kita saling bertentangan hanya karena salah pengertian saja. Bagaimanapun juga, ji-wi (kalian berdua) adalah murid Siauw-lim-pai dan murid Bu-tong-pai dan saya sendiri adalah murid Kun-lun-pai. Saya merasa yakin bahwa perguruan kita bertiga selalu mengajarkan kepada kita untuk bertindak sebagai pendekar yang membela kebenaran dan keadilan. Maka, bentrokan antara kita dahulu itu tentu karena salah paham."
"Hemm, bagaimana mungkin salah paham? Engkau dahulu membela Kim Cui Hong, iblis betina yang amat kejam dan jahat!"
Bentak Cia Kok Han dengan penasaran.
"Apalagi yang hendak dibicarakan?"
"Paman, saya ingin membicarakan dengan ji-wi tentang Nona Kim Cui Hong yang ji-wi tawan."
Kata Tan Siong. Su Lok Bu mengerutkan alisnya dan memandang marah.
"Engkau mau apa sekarang? Masih hendak membela perempuan kejam itu? Tan Siong, kalau benar-benar engkau seorang pendekar Kun-lun-pai, apakah engkau tidak melihat kenyataan ataukah karena engkau tergila-gila akan kecantikan Kim Cui Hong maka engkau hendak membelanya mati-matian? Engkau tidak tahu kekejaman apa yang telah dilakukan iblis betina itu terhadap Pui Ki Cong, Koo Cai Sun, dan Lauw Ti? Tiga orang itu ia siksa sehingga kini mereka itu hidup bukan mati pun t idak. Mereka menjadi seperti tengkorak-tengkorak hidup dan tidak berani memperlihatkan diri kepada orang lain yang tentu akan merasa ngeri dan jijik. Kami memang telah menangkap Iblis Betina yang amat kejam itu dan kami menyerahkannya kepada mereka bertiga. Kalau engkau kini masih hendak membelanya, berarti engkau juga seorang pendekar yang menyeleweng dan sesat!"
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Kumbang Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo