Sakit Hati Seorang Wanita 2
Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
"Turun kau, pengacau busuk!"
Dara remaja itu mendorongkan kedua tangannya dan tanpa dapat dihindarkan lagi, tubuh pemuda bangsawan itu terpelanting dari atas punggung kuda dan terbanting ke atas tanah sampai mengeluarkan suara berdebuk. Pemuda bangsawan itu mengaduh, akan tetapi dia ketakutan dan memandang dengan muka pucat kepada dara remaja yang sudah melangkah menghampirinya dengan sikap mengancam. Saking takutnya, Pui Ki Cong sampai tidak mampu bangun dan celananya menjadi basah tanpa disadarinya!
"Hong-ji, jangan.....!"
Tiba-tiba Kim Siok berseru keras dan puterinya yang sudah siap memberi hajaran keras kepada Pui Ci Kong mengurungkan niatnya dan meninggalkan pemuda yang masih rebah di atas tanah itu. Ternyata perkelahian itu sudah selesai. Bhong Gun sudah roboh, demikian pula Teng Kui. Dari dua belas orang pengawal, yang delapan orang luka-luka dan kini yang empat orang tidak berani lagi melawan.
"Kalian pergilah dan jangan mengganggu kami lagi!"
Kata guru silat Kim Siok. Dengan susah payah, dan saling bantu, enam belas orang itu lalu meninggalkan dusun Ang-ke-bun, menunggangi kuda mere ka perlahan-lahan karena sebagian besar dari mereka luka- luka.
Setelah mereka pergi, Kim Siok berkata kepada puterinya dan muridnya.
"Kalian berkemas. Kita harus pergi sekarang juga!"
"Ke mana, ayah?"
Cui Hong bertanya heran.
"Ke selatan, makin jauh makin baik."
"Ah, perlu apa kita melarikan diri. ayah? Maksud ayah, kita harus melarikan diri, bukan?"
Guru silat itu menatap wajah puterinya dan juga wajah Lu San yang agaknya juga merasa penasaran mendengar bahwa mereka diharuskan melarikan diri dari dusun tempat tinggal mereka.
"Agaknya kalian belum dapat membayangkan akan bahaya besar yang mengancam kita. Apakah kalian tidak menyadari bahwa Pui Ki Cong itu adalah putera kepala jaksa di Thian-cin? Lihat saja sepak-terjangnya. Ditolak lamarannya, dia malah membawa pasukan pengawal untuk menghukum kita. Untung bagi kita bahwa perhitungannya keliru. Kalau dia datang bersama pasukan besar yang jumlahnya puluhan atau ratusan orang, tentu kita tadi tidak akan mampu menyelamatkan diri dan entah bagaimana nasib kita. Oleh karena itu, sekarang juga kita harus pergi dari sini sebelum pasukan yang lebih besar datang untuk menangkap atau membunuh kita."
"Aku tidak takut!"
Cui Hong berteriak.
"Mereka itu jahat dan aku akan melawan mere ka, akan kuhajar mereka!"
"Cui Hong, jangan bicara seperti anak kecil,"
Ayahnya menegur.
"Keberanian tanpa perhitungan bukan merupakan kegagahan, melainkan suatu kebodohan. Hanya mengandalkan keberanian melawan pasukan besar pemerintah dengan nekat, hal itu berarti bunuh diri. Ucapanmu itu menimbulkan keraguan apakah engkau ini memang gagah atau bodoh."
Cui Hong dapat melihat kebodohannya dan iapun tidak membantah lagi hanya mengepal tinju karena marah sekali kepada Pui Ki Cong yang menjadi biang keladi semua ini.
"Akan tetapi, suhu. Sudah jelas bahwa sumoi tidak bersalah, kita tadi hanyalah membela diri. Kalau kita tidak bersalah, kenapa kita harus pergi? Bukankah melarikan diri seperti juga mengaku bersalah? Kita tidak bersalah, dan pemerintah tentu dapat menilainya."
Lu San juga membantah karena diapun merasa penasaran mengapa mere ka yang diganggu, malah kini mereka yang harus melarikan diri.
Gurunya menarik napas panjang.
"Memang mendatangkan rasa penasaran sekali, Lu San. Akan tetapi engkau harus menyadari bahwa dalam keadaan pemerintah lemah seperti ini, kaisar tidak berwibawa sama sekali sehingga kita sendiri bingung siapa sebenarnya yang berkuasa. Oknum-oknum yang memegang jabatan itu ataukah hukum pemerintah. Dalam keadaan seperti sekarang ini, bisa saja kita dituduh sebagai pemberontak dan dihadapkan kepada pasukan keamanan pemer intah. Karena itu, satu-satunya jalan adalah menghindarkan bentrokan lebih lanjut dan melarikan diri sejauh mungkin dari sini."
Dengan hati penuh duka dan penasaran, terpaksa Cui Hong mentaati ayahnya dan mereka bertiga lalu berkemas. Kepada, beberapa orang murid yang rumahnya berdekatan dan sudah berdatangan mendengar keributan yang terjadi di rumah guru mereka, Kim Siok meninggalkan pesan agar mereka tidak mencampuri urusan itu dan sebaiknya menjauhkan diri jangan sampai terlibat kalau pihak pembesar she Pui itu mencari gara-gara di antara murid-muridnya. Mereka bertiga hanya dapat membawa barang-barang kecil dan berangkatlah mereka meninggalkan Ang-ke-bun pada hari itu juga.
Apa yang dikhawatirkan guru silat Kim Siok memang tidak berselisih jauh dengan kenyataannya. Jaksa Pui menjadi marah bukan main ketika dia melihat puteranya babak belur dan kepalanya tumbuh benjolan besar ketika terjatuh dari atas kuda. Ada dua hal yang membuat pembesar itu marah. Pertama karena kelancangan puteranya yang membawa pasukan untuk bertindak sendiri. Ke dua karena puteranya telah dipukul dan dihina orang.
"Ayah, kita akan kirim pasukan besar untuk menangkap dan menghukum mereka!"
Kata Pui Ki Cong yang merasa malu dan marah sekali.
"Bodoh! Kau hendak menarik perhatian orang seluruh Thian-cin? Memukul anjing tidak perlu menggunakan tongkat terlalu besar. Akan memalukan saja kalau kita harus menggunakan pasukan. Apalagi, urusan ini adalah urusan pribadi, bukan urusan pemerintah."
"Akan tetapi, apa sukarnya mengalihkannya menjadi urusan pemerintah, ayah? Bukankah mereka telah melabrak pasukan pengawal dan berarti mereka itu telah memberontak? Anggap saja mereka pemberontak-pemberontak dan ayah berhak untuk membasminya dengan pasukan, bukankah begitu?"
"Bodoh! Mana ada pemberontak hanya tiga orang dan alangkah memalukan kalau harus menundukkan tiga orang saja mempergunakan pasukan besar. Tidak, suruh orang panggil ke sini Thian-cin Bu tek Sam-eng!"
Pui Ki Cong terbelalak.
"Bu-tek Sam-eng? Tapi..... mana mereka mau membantu kita dan..... mereka bukan pembunuh-pembunuh bayaran."
"Hemm, kau tahu apa? Mereka itu haus akan kedudukan dan kini aku akan memberi kesempatan kepada mereka untuk meraih kedudukan. Kalau aku menjanjikan kedudukan dan memperkenalkan mere ka ke kota raja, tentu mereka mau membekuk tiga orang itu."
"Bagus, kalau mereka yang maju, tentu tiga orang itu dapat dibekuk. Akan tetapi, jangan boleh membunuh mereka, ayah. Aku ingin mendapatkan mereka hidup-hidup di tanganku!"
Sang ayah yang sangat sayang kepada puteranya itu tersenyum dan mengangguk angguk.
"Hayo cepat kirim utusan kepada mereka!"
Pui Ki Cong lalu cepat mengutus pengawal mengundang tiga orang jagoan itu dan pengawal itu tentu saja tahu ke mana harus mencari mereka. Nama besar tiga orang jagoan itu amat terkenal. Baru julukannya saja Thian-cin Bu-tek Sameng (Tiga Jagoan Tanpa Tanding dari Thian-cin) Tak lama kemudian, tiga orang penunggang kuda memasuki pekarangan yang luas dari rumah gedung pembesar Pui. Melihat lagak dan pakaian saja, mudah diduga bahwa tiga orang penunggang kuda ini adalah jago-jago silat.
Mereka menunggang kuda dengan cara yang gagah, duduk dengan tegak di atas kuda mere ka yang tinggi besar. Siapakah tiga orang gagah ini dan mengapa mereka berani mempergunakan julukan yang demikian tekebur, yaitu Tiga Orang Jagoan Tanpa Tanding dari Thian-cin?
Seorang di antara mereka bernama Gan Tek Un berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, berperawakan sedang, mukanya bersih dan termasuk tampan juga, akan tetapi wajah yang tampan bersih itu dingin sekali, jarang tersenyum dan matanya amat tajam menusuk. Pakaiannya indah, model pakaian pendekar yang serba ringkas. Sepasang pedang tergantung di punggungnya, bersilang dengan ronce-ronce merah dan kuning.
Orang ke dua bernama Koo Cai Sun, usianya juga kurang lebih t iga puluh lima tahun. Tubuh orang ini agak gemuk, terutama di bagian perutnya yang gendut. Mukanya juga bersih karena dia berkulit putih kuning, muka yang bulat karena gemuk. Sepasang matanya yang lincah mengerling ke kanan kiri itu, mulutnya yang bibirnya agak tebal dan selalu tersenyum-senyum gembira, menunjukkan dengan jelas bahwa dia seorang mata keranjang dan sombong, pakaiannya pesolek, bahkan dari pakaian itu berhamburan bau minyak wangi melebihi wanginya pakaian pelacur di waktu malam.
Rambutnya disisir licin bekas minyak. Di pinggangnya, secara menyolok sekali, tampak terselip sepasang tombak pendek, yaitu senjata siang-kek, tombak cagak yang pendek, yang di kedua gagangnya dipasangi tali merah. Adapun orang ke tiga bernama Louw Ti, usianya juga sebaya, kurang lebih tiga puluh lima tahun, la dapat dibilang buruk rupa di antara ketiganya. Hidungnya pesek dan tubuhnya pendek tegap nampak kuat sekali. Mukanya hitam dan matanya menyeramkan. Dia tidak membawa senjata, akan tetapi di pinggangnya melingkar sebuah benda yang menarik. Itulah sebatang cambuk hitam yang ujungnya dipasangi kaitan baja!
Tiga orang ini sebenarnya berasal dari aliran yang berbeda. Akan tetapi secara kebetulan, tiga orang ini sama-sama menjadi murid seorang pertapa tersesat, seorang tokoh sakti dari dunia hitam. Karena mereka seguru, maka mere ka lalu bersatu dan memang tingkat kepandaian mereka sama. Mereka bertiga, dengan kepandaian masing-masing, sudah menjadi seorang jagoan yang sukar dilawan. Apalagi mereka bersatu dan saling bela, tentu saja kekuatan mereka menjadi berlipat ganda.
Inilah sebabnya, mereka menjadi jumawa dan merasa tidak ada lagi yang mampu menandingi mereka dan mereka berani mempergunakan julukan Tiga Jagoan Tanpa Tanding dari Thian-cin. Bukan hanya karena kepandaian mereka yang tinggi yang membuat mereka berani memakai julukan ini, juga terutama sekali karena mereka mempunyai hubungan yang amat baik dan erat dengan kalangan atas, dengan pejabat-pejabat tinggi yang berkuasa di Thian-cin. Inilah sebabnya maka para pendekar, walaupun merasa penasaran mendengar tentang julukan mereka yang amat tekebur itu, mereka segan untuk menentang mereka yang berlindung di balik kekuasaan para pejabat dan membiarkan mereka mabok dalam kejumawaan mereka.
Tiga orang itu memakai julukan Sam-eng (Tiga Jagoan atau Tiga Pendekar) karena memang mereka merasa diri mereka sebagai pendekar-pendekar silat yang tangguh. Mereka memang bukan penjahat, dalam arti kata tidak melakukan pekerjaan sebagai penjahat. Hal ini sama sekali bukan berarti bahwa mereka adalah pendekar-pendekar budiman yang suka menolong sesama hidup, menentang yang kuat menindas dan membela kaum lemah tertindas. Sama sekali t idak. Bahkan kadang-kadang, di luar kesadaran mere ka sendiri, tiga orang ini, dalam kepongahan dan kemabokan masing-masing, suka melakukan hal-hal yang bertentangan dengan sikap seorang pendekar. Kadang-kadang mereka itu dipergunakan oleh para pejabat tinggi untuk membela kepentingan sang pejabat. Akan tetapi mereka bertiga ini terkenal sebagai jagoan-jagoan bayaran yang menuntut bayaran tinggi.
Demikianlah sedikit tentang keadaan tiga orang jagoan yang kini diundang oleh Pui Taijin itu. Mendengar undangan dari pejabat yang penting ini, tentu saja tiga orang jagoan yang tempat tinggalnya berpisah, akan tetapi ketiganya sama-sama tinggal di kota Thian-cin, cepat-cepat berkumpul dan segera datang berkunjung ke rumah gedung Pui Taijin. Pembesar gendut itu menyambut mereka di dalam ruangan khusus yang biasa dia pergunakan untuk membicarakan urusan rahasia. Setelah pelayan mengeluarkan hidangan, mereka mulai dengan perundingan mere ka dan daun pintu dan jendela ditutup rapat, para pelayan tidak diperkenankan mendekat. Yang berada di dalam kamar itu hanyalah tiga orang jagoan itu bersama Pui Taijin dan Pui Ki Cong. Pertama-tama Pui Taijin sendiri mengucapkan selamat datang dengan secawan arak, mempersilakan mereka makan minum dan diapun menyampaikan kehendaknya minta bantuan dari tiga orang pendekar itu.
"Keluarga Kim itu jelas menghina kami sekeluarga, berani menghina kami dan melawan pasukan pengawal. Mereka itu jelas memberontak, atau setidaknya memperlihatkan sikap melawan alat negara dan memberontak. Akan tetapi karena jumlah mereka hanya bertiga, kami merasa malu kalau harus mengerahkan pasukan untuk menangkap mereka. Oleh karena itu, kami mengharap bantuan sam-wi untuk menangkap mereka."
"Tapi harap sam-wi jangan sekali-kali membunuh mereka, bahkan jangan melukai nona Kim. Tangkap mereka hiduphidup dan seret mereka ke sini."
Pui Ki Cong menambahkan perintah ayahnya.
Koo Cai Sun yang bermuka bulat dan selalu tersenyum itu memainkan biji matanya yang berminyak itu, menyumpit sepotong daging dan memasukkan daging itu ke mulutnya. Sambil mengunyah daging babi berminyak itu dia berkata.
"Aha, agaknya kongcu tertarik kepada nona Kim itu, sudah dapat dipastikan bahwa ia tentu amat cantik jelita!"
"Aihh, nona itulah yang menjadi gara-gara semua ini."
Pui Taijin berkata gemas.
"Dan anak yang kurang hati-hati ini. bernasib sial. Mula-mula dia bertemu dengan nona itu dan tertarik. Kami mengajukan pinangan. Pinangan ditolak, bahkan keluarga itu menghina kami. Dia membawa selosin pengawal untuk memberi hajaran, akan tetapi malah dilabrak o leh guru silat Kim, puterinya dan calon mantunya."
"Apakah yang taijin maksudkan dengan guru silat Kim itu adalah Kim Siok, guru silat dari Ang-ke-bun itu?"
Tiba-tiba Gan Tek Un yang sejak tadi diam saja bertanya.
"Benar, dialah orangnya, guru silat kampungan itu,"
Kata Pui Ki Cong.
Tiga orang jagoan itu saling pandang.
"Hemm,"
Kata Louw Ti yang bermuka hitam itu sambil memandang wajah Pui Kongcu.
"Guru silat kampungan? Dia adalah murid S iauw-limpai yang cukup lihai ilmu silatnya."
"Akan tetapi bagaimanapun juga aku tidak percaya kalau sam-wi takut melawannya."
Kata Pui Ki Cong. Pemuda ini memang cerdik dan licik sekali. Ucapannya ini merupakan kesengajaan untuk membangkitkan kemarahan mereka karena harga diri mere ka disinggung dan kegagahan mereka diragukan.
"Takut? Huh, setanpun kami tidak takut melawannya!"
Kata Louw Ti setengah membentak dan diam-diam Ki Cong merasa girang karena pancingannya mengena.
"Kamipun sudah tahu bahwa keluarga Kim itu memiliki kepandaian silat yang lihai sehingga pasukan pengawal kamipun dihajar oleh mereka. Karena itulah maka kami sengaja mengundang sam-wi untuk minta bantuan sam-wi, karena siapa lagi , kalau bukan sam-wi yang akan mampu menyeret mereka bertiga ke sini."
Kata Pui Taijin dan ucapan ini cocok sekali dengan pancingan puteranya.
Koo Cai Sun yang merupakan orang paling pandai dan paling suka bicara di antara mereka bertiga, kini mewakili saudara-saudaranya berkata kepada Pui Taijin.
"Harap taijin jangan khawatir. Memang Kim Kauwsu itu murid S iauw-lim-pai yang lihai, akan tetapi bagi kami dia itu bukan apa-apa. Kami tanggung dalam waktu singkat kami akan dapat menyeret mereka bertiga itu sebagai tawanan ke sini. Akan tetapi, kami mengharap agar taijin suka mempertimbangkan permintaan kami bertiga tempo hari yang sampai kini belum juga taijin penuhi."
"Ahh, tentang kedudukan itu? Jangan khawatir. Kami sudah mencari-carikan di kota raja dan kami sudah mengadakan hubungan di sana. Kalau sam-wi berhasil membantu kami, kami akan menyerahkan surat perkenalan dan tanggungan agar sam-wi dapat diterima menjadi calon-calon perwira di kota raja. Kalau mungkin di istana, kalau tidak tentu di dalam pasukan pengawal para pejabat tinggi di sana."
Tentu saja tiga orang jagoan itu merasa gembira bukan main. Hanya ada satu cita-cita mereka yang belum tercapai, yaitu kedudukan tinggi karena mereka tahu bahwa kedudukan tinggi mendatangkan kekuasaan yang jauh bedanya dari kekuasaan yang datang karena ilmu silat mereka. Kekuasaan yang didapat dari kedudukan atau jabatan jauh lebih besar pengaruhnya.
"Baiklah, taijin."
Kata Koo Cai Sun.
"Sekarang juga kami akan menangkap keluarga Kim itu."
"Mungkin mere ka melarikan diri dari Ang-ke-bun. Harap sam-wi mencarinya sampai dapat kalau mereka telah melarikan diri,"
Kata sang pembesar.
"Tentu saja kami akan melakukan pengejaran. Mereka takkan dapat lari jauh."
Jawab Gan Tek Un.
"Akan tetapi saya mohon dengan sangat kepada sam-wi agar nona Kim jangan dilukai, dan jangan..... diganggu, ingat, ia itu milikku, calon selirku....."
Kata Pui Ki Cong sambil memandang tajam wajah bulat Koo Cai Sun. Dia sudah mendengar tentang jagoan ini, seorang mata keranjang yang tidak melewatkan wanita cantik begitu saja.
Koo Cai Sun terkekeh dan matanya makin menyipit.
"Ha-ha-ha, kongcu aku masih tahu perempuan mana yang boleh kujamah dan mana yang tidak. Tentu saja aku tidak akan mengganggu dara cantik yang membuat kongcu tergila-gila itu, ha-ha!"
Kim Kauwsu bersama puterinya dan muridnya meninggalkan Ang-ke-bun dan melarikan diri menuju ke selatan kemudian membelok ke barat. Setelah melakukan perjalanan cepat selama tiga hari, sampailah mereka ke kaki Pegunungan Tai-hang-san dan mereka pada pagi hari ke empat berhenti di tepi sebuah sungai yang melintang dan menghadang perjalanan mereka. Banyak sudah bukit dan hutan mereka lalui, dusun-dusun kecil mereka lewati. Setelah berada di lembah sungai di kaki Pegunungan Tai-hang-san yang indah itu, cuaca yang cerah dan suasana yang sunyi dan tenang membuat hati mereka merasa tenang pula.
"Ayah, kita akan menuju ke manakah?"
Cui Hong bertanya kepada ayahnya selagi mereka makan bekal makanan mereka yang kemar in mere ka beli dar i sebuah dusun. Mereka duduk di bawah sebatang pohon besar dan sinar matahari pagi menerobos di antara celah-celah daun pohon itu, menimpa tempat mereka beristirahat dengan sentuhan-sentuhan hangat dan halus.
"Sebaiknya kita pergi ke kota Tai-goan. Di mana aku mempunyai seorang sahabat baik. Tentu untuk sementara waktu dia akan suka menampung kita, sementara kita berusaha mencari sumber penghasilan baru. Kita harus hidup baru di tempat itu, dan sebaliknya kalau kita berganti nama."
Dara itu mengerutkan alisnya, juga Lu San merasa tidak setuju. Dua orang muda itu merasa betapa sikap orang tua itu terlalu ketakutan. Kalau menuruti hati mereka, lebih baik mereka tetap tinggal di dusun dan melawan mati-matian terhadap setiap pengganggu yang berani datang mengusik mereka.
Agaknya guru silat itupun dapat menduga akan isi hati puterinya dan muridnya, maka diapun menarik napas panjang.
"Cui Hong, dan Lu San, aku tahu bahwa kalian merasa tidak puas dengan sikapku yang melarikan diri seolah-olah takut menghadapi bahaya. Memang terus terang saja, aku merasa takut."
"Ayah.....!"
Ucapan ayahnya itu hebat sekali bagi Cui Hong yang sejak kecil menganggap ayahnya orang yang paling hebat, paling gagah dan tidak mengenal takut. Dan sekarang ayahnya begitu saja mengaku bahwa dia takut!
Orang tua itu memegang tangan anaknya.
"Aku memang takut sekali, bukan takut kalau aku sampai terkena celaka. Akan tetapi aku takut kalau-kalau engkau, Cui Hong, kalaukalau kalian berdua tertimpa malapetaka. Kalian tidak tahu betapa kejam dan jahatnya manusia-manusia di dunia ini. Aku ingin melihat kalian terhindar dari bencana. Kalau aku sudah berhasil menyelamatkan kalian, kalau kalian sudah menjadi suami isteri, aku sendiri akan menggabungkan diri dengan para pemberontak."
"Suhu, apa maksud ucapan suhu ini?"
Lu San terkejut mendengar ini. Belum pernah suhunya bicara seperti itu, apalagi menyatakan hendak bergabung dengan pemberontak.
"Ketahuilah kalian. Pada waktu ini, pemerintah amat lemah, Kaisar telah menjadi seperti boneka saja. Yang berkuasa adalah pejabat-pejabat setempat dan mereka yang memiliki kekuasaan. Kabarnya, di kota raja sekalipun yang berkuasa adalah pejabat-pejabat dan di istana yang berkuasa adalah pejabat-pejabat thai-kam. Kejahatan merajalela, perbuatanperbuatan tak patut dan tidak adil terjadi di mana-mana. Karena itu, orang-orang gagah yang berjiwa patriot memberontak terhadap pemerintah yang dianggap tidak becus. Mereka memberontak untuk membentuk pemer intahan baru yang bijaksana dan adil. Sudah lama aku memikirkan hal itu dan siapa kira hari ini kita sendiri malah menjadi korban keganasan seorang pejabat yang sewenang-wenang. Hal ini mendorong semangatku untuk membantu para pemberontak, yaitu menggulingkan pemer intah lalim dan mendirikan pemerintah baru yang sehat. Dengan demikian, maka tidak akan sia-sialah aku menghabiskan sisa hidupku. Aku mendengar bahwa banyak sekali para pendekar gagah perkasa yang masuk menjadi pembantu suka rela dari pasukan pemberontak yang disebut pejuang-pejuang rakyat."
"Kalau begitu, teecu ikut, suhu!"
Kata Lu San penuh semangat.
"Aku juga ikut, ayah!"
Sambung Cui Hong.
Tiga orang itu terseret oleh semangat perjuangan yang timbul karena perhatian yang mereka alami akibat gangguan seorang pejabat. Demikian tersentuh rasa hati mereka oleh kegembiraan semangat itu sehingga mereka tidak begitu memperhatikan bunyi derap kaki kuda yang datang dari jauh. Setelah tiga orang penunggang kuda itu tiba di situ dan berloncatan turun, barulah Kim Kauwsu, puteri dan muridnya terkejut dan mereka pun mengenal tiga orang itu. Jagoan- jagoan sombong yang menyebut diri Thian-cin Bu-tek Sameng!
Tiga orang itu dengan sikap tenang menambatkan kuda mereka pada batang pohon dan mereka lalu melangkah maju menghampiri Kim Siok dan dua orang muda itu. Koo Cai Sun memperhatikan dara remaja yang nampak berdiri dengan gagahnya itu dan tiba-tiba dia tertawa bergelak.
----------------------------------------------------------------------------------
hal 24-25 gak ada
----------------------------------------------------------------------------------
"orang juga."
Kata Koo Cai Sun, masih tersenyum mengejek dan pandang nyatanya seperti menggerayangi seluruh bagian tubuh yang ranum dar i remaja itu.
Karena tidak melihat cara lain untuk menghindarkan bentrokan, Kim Kauw-su membentak dengan marah.
"Ah, kalau begitu, benar ucapan anakku tadi bahwa kalian adalah tiga ekor anjing penjilat dan pemburu dari jaksa Pui?"
"Ha-ha-ha, benar Benar! Kami adalah tiga ekor anjing pemburu yang mengejar-ngejar tiga ekor tikus yang melarikan diri, ha-ha!"
Kata Koo Cai Sun yang pandai bicara itu.
"Ayah, menghadapi anjing perlu bertindak, bukan bicara!"
Tiba-tiba Cui Hong sudah menerjang ke depan, mengirim tendangan yang amat keras dan cepat ke arah perut Koo Cai Sun yang gendut. Akan tetapi, orang ini sambil terkekeh sudah mengelak dengan menarik tubuh ke belakang, bahkan dia berusaha menyambar dengan tangannya untuk menangkap kaki Cui Hong yang menendang. Dara itu terkejut dan cepat menarik kembali kakinya, kemudian menyerang lagi dengan kedua tangannya, mengirim pukulan-pukulan beruntun.
"Aha, kuda betina liar ini sungguh menarik!"
Kata Koo Cai Sun dan dengan mudah dia menghindarkan diri dari semua serangan itu dengan elakan dan tangkisan. jelas bahwa dia hendak mempermainkan gadis itu karena dia tidak membalas serangan-serangan itu, hanya membiarkan gadis itu menyerang terus yang semua dapat dihindarkannya dengan mudah, bahkan dalam serangan jurus ke lima, sambil mengelak dia berhasil mengusap dagu runcing itu.
"Aih, manisnya!"
Tentu saja Cui Hong menjadi marah dan menyerang semakin dahsyat. Hal itu membuat Lu San juga marah sekali.
"Manusia busuk!"
Bentaknya dan dia-pun terjun ke dalam perkelahian itu, hendak membantu sumoinya atau tunangannya. Akan tetapi, dari kanan menyambar tubuh Gan Tek Un yang sudah menghadangnya sehingga merekapun segera berkelahi dengan seru.
Hati guru silat Kim Siok terkejut dan khawatir sekali ketika dia melihat gerakan dua orang yang sudah berkelahi dengan anak perempuan dan muridnya. Tahulah dia bahwa tiga orang lawan ini bukan hanya bernama kosong saja dan biarpun mereka menggunakan julukan yang terlalu sombong, namun Tiga Jagoan Tanpa Tanding dari Thian-cin ini ternyata memang lihai sekali. Tidak ada jalan lain baginya kecuali menyertai anak dari calon mantunya untuk membela diri dan melawan mati-matian. Hanya Louw Ti seorang yang masih belum memperoleh tanding, maka diapun tak mengeluarkan kata-kata lagi, langsung saja menyerang Louw Ti yang pendek tegap itu dengan pukulannya yang ampuh.
Louw Ti menghadapi serangan itu dengan tenang. Pukulan itu bukan pukulan biasa, melainkan pukulan dari jurus Ilmu Silat Sin-ho-kun (Silat Bangau Sakti), dilakukan dengan sempurna dan didorong oleh tenaga sinkang yang amat kuat. Namun Louw Ti tidak mengelak, sengaja tidak mengelak melainkan menyambutnya dengan tangkisan sambil mengerahkan tenaganya pula karena dia ingin menguji kekuatan pihak lawan.
"Dukkk......!"
Dua tenaga yang amat kuat bertemu melalui dua lengan itu dan akibatnya, tubuh Kim Siok terdorong ke belakang sampai dia terhuyung, sebaliknya, Louw Ti masih berdiri tegak, matanya melotot lebar dan mulutnya bergerak ke arah senyum mengejek. Dalam pertemuan adu tenaga gebrak pertama ini, mereka berdua sudah maklum akan kekuatan masing-masing dan diam-diam guru silat Kim terkejut bukan main karena dia tahu bahwa tenaganya masih kalah jauh dibandingkan dengan lawan yang bertubuh pendek tegap bermuka hitam ini. Dengan sudut matanya diapun melihat betapa keadaan anak perempuan dan muridnya sudah payah, terdesak terus oleh pihak lawan dan mudah diduga bahwa mereka berdua itu pasti akan kalah. Maka, dengan menebalkan muka, demi kepentingan puterinya, dia segera berkata dengan lantang.
"Tahan dulu......!!"
Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiga orang itu menahan serangan mereka dan melangkah mundur sambil memandang dengan sikap memandang rendah. Bagaimanapun juga, tentu akan lebih menyenangkan dan lebih mudah bagi mereka kalau t iga orang buruan ini menyerahkan diri dengan suka re la agar tidak susah-susah lagi mere ka menggiring tawanan itu ke Thian-cin. Inilah sebabnya mengapa mereka menahan serangan mereka ketika mendengar suara Kim Siok.
"Bu-tek Sam-eng, kalian bertiga adalah orang-orang gagah. Kalau memang kami dianggap bersalah, biarlah semua kesalahan itu aku sendiri yang akan menanggungnya. Kalian kasihanilah puteriku dan muridku yang tidak berdosa ini. Biarkan mereka berdua pergi dan aku yang akan menerima segala macam hukuman yang akan dijatuhkan kepada kami."
"Ayah!"
"Suhu.....!"
Dua orang muda itu memandang kepada Kim Siok dengan mata terbelalak dan alis berkerut. Tentu saja mereka merasa tidak setuju sama sekali dengan sikap Kim Kauwsu itu.
"Ha-ha-ha-ha! Kim Siok, untuk apa kami hanya membawa pulang seorang seperti engkau? Yang dibutuhkan adalah puterimu, dan engkau bersama muridmu ini harus ikut pula untuk menerima hukuman!"
Kata Koo Cai Sun sambil tertawa mengejek.
"Dar ipada kami harus menggunakan kekerasan dan bagaimanapun juga kalian takkan dapat menandingi kami, lebih baik kalian bertiga lekas berlutut dan menyerah saja."
"Singgg....!"
Nampak sinar berkilat ketika Cui Hong sudah mencabut pedangnya. Karena mereka bertiga melarikan diri dari bahaya, maka dari rumah mere-ka telah mempersiapkan senjata dan kini dara itu yang menjadi marah sekali mendengar ucapan Koo Cai Sun, sudah mencabut pedangnya.
"Manusia sombong, lihat pedang!"
Bentaknya dan iapun sudah menggerakkan pedangnya menyerang Koo Cai Sun dengan tusukan ke arah dada.
"Heh-heh, liar dan panas!"
Si perut gendut itu mengelak dengan cepatnya.
Akan tetapi Cui Hong menyerang terus dengan tusukantusukan dan bacokan-bacokan bertubi-tubi dan berbahaya sekali. Melihat sumoinya sudah maju lagi, Lu San juga mencabut pedangnya dan tanpa banyak cakap diapun sudah menggerakkan pedang menyerang Gan Tek Un yang juga cepat mengelak dari serangan-serangan pedang yang cukup berbahaya itu.
"
Kim Siok menghela napas panjang. Usahanya gagal! Tidak ada jalan lain kecuali melawan mati-matian. Maka diapun melolos sabuknya yang merupakan senjatanya yang ampuh dan dengan sabuk ini diapun menyerang Louw Ti. Louw Ti mengeluarkan dengus mengejek dan tahu-tahu cambuk hitamnya yang disebut Toat beng-joan-pian (Cambuk Pencabut Nyawa ) sudah berada pula di tangannya.
"Tar-tar-tarrr.....!"
Cambuknya meledak-ledak menyambut sambaran sabuk Kim Siok dan kedua orang ini segera berkelahi dengan seru. Nampak gulungan sinar putih dan hitam dari senjata mere ka menyambar-nyambar.
Perkelahian antara Cui Hong dan Koo Cai Sun terulang kembali, akan tetapi biarpun kini Cui Hong menggunakan pedang, tetap saja keadaan mereka tidak seimbang. Koo Cai Sun juga mempergunakan senjatanya, yaitu sepasang tombak pendek, akan tetapi sepasang senjata ini hanya dia pergunakan untuk menangkis dan mengancam saja. Dia tidak bermaksud melukai gadis itu seperti yang telah dipesankan dengan sungguh-sungguh oleh Pui Ki Cong. Kalau dia menghendaki, dengan ilmu kepandaiannya yang jauh lebih tinggi, akan mudah bagi Koo Cai Sun untuk merobohkan gadis itu. Dia mempermainkan sambil tertawa-tawa, dan hanya menambah tenaganya setiap kali menangkis sehingga beberapa kali hampir saja pedang di tangan Cui Hong terlempar lepas.
Tidak banyak perbedaannya dengan keadaan Lu San. Pemuda ini mengamuk dengan pedangnya, akan tetapi semua gerakan pedangnya itu menemui jalan buntu dan kandas dalam gerakan sepasang pedang Gan Tek Un. Jagoan ini menggunakan sepasang pedang dan dengan pedang pasangan yang digerakkan secara hebat, sepasang pedang itu demikian ganasnya seperti sepasang naga terbang dan bermain-main di angkasa, sesuai dengan ilmu pedangnya, yaitu Siang-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Naga). Lu San sungguh bukan lawan seimbang dari Gan Tek Un dan setelah mempermainkan pemuda ini selama tiga puluh jurus lebih, tiba-tiba Gan Tek Un mengeluarkan bentakan keras dan tahu-tahu pedang di tangan Lu San terlepas dan pemuda itupun terpelanting roboh karena pundak kanannya tercium ujung pedang dan ada otot di pundaknya yang putus!
Robohnya Lu San disusul dengan robohnya Cui Hong. Dara ini dirobohkan oleh Koo Cai Sun yang merasa sudah cukup mempermainkannya. Tiba-tiba pedang di tangan dara itu tertangkap oleh kaitan senjata siang-kek di tangannya dan sekali membuat gerakan memutar, pedang itupun patah dan karena tangannya terasa nyeri, terpaksa Cui Hong melepaskan gagang pedang. Sebelum dara ini mampu menjaga diri, tahu-tahu lawannya yang amat lihai telah menotoknya dan robohlah ia tanpa terluka, terkulai dalam keadaan lumpuh dan tak mampu bergerak lagi.
Melihat betapa dua orang kawannya sudah merobohkan lawan, Louw Ti mengeluarkan suara melengking nyaring sekali dan kini gerakan cambuknya berubah ganas bukan main. Guru silat Kim Siok terkejut. Dia sendiri adalah seorang ahli bermain senjata lemas seperti cambuk atau sabuknya, akan tetapi kini dia tahu bahwa dia telah bertemu dengan seorang yang tingkat kepandaiannya masih jauh lebih t inggi. Dia mencoba untuk mengerahkan seluruh tenaga dan memutar senjata sabuknya itu dengan sebaik mungkin, memainkan ilmu silat yang mendarah daging kepadanya.
Sabuknya membuat gerakan menyambar-nyambar dan membentuk lingkaran cahaya putih. Akan tetapi, cambuk di tangan Louw Ti mengeluarkan suara meledak-ledak, membuat gerakan melecut-lecut secara aneh, kadang-kadang menyambarnyambar dari atas, bawah, kanan kiri dan depan belakang, sukar sekali untuk dibendung. Apalagi setiap lecutan itu mengandung tenaga yang amat kuat sehingga sabuk di tangan Kim Kauwsu kadang-kadang membalik ketika terbentur senjata lawan. Dia tidak tahu bahwa lawannya telah memainkan Ilmu Cambuk Pencabut Nyawa yang dahsyat sekali. Kim Siok terlalu lama meninggalkan dunia persilatan.
Semenjak kurang lebih dua puluh tahun yang lalu, dia tidak pernah lagi menjelajah dunia persilatan dan tidak tahu bahwa di dunia kang-ouw, telah terjadi banyak perubahan dan banyak bermunculan tokoh-tokoh yang lihai. Juga telah terjadi perkembangan yang luas dalam ilmu silat sendiri. Karena ini, biarpun dia setiap hari melatih diri dengan mengajarkan ilmu silat kepada murid-muridnya, namun selama dua puluh tahun dia tidak menambah pengetahuannya dalam ilmu silat. Maka, begitu bertemu tanding tangguh, yang memainkan ilmu silat baru yang sama sekali tidak dikenalnya, dia menjadi bingung.
"Tar-tar-tarrr..... robohlah kamu!"
Terdengar Louw Ti membentak dan ujung cambuknya yang dipasangi mata pisau tajam itu menyambar turun secara bertubi-tubi. Kim Siok terkejut mengelak dan memutar sabuknya melindungi dirinya, namun terlambat.
"Crokkk.. aughhhh...."
Dan robohlah guru silat itu, dari kaki kanannya di bagian lutut bercucuran darah karena sambungan lututnya hampir putus disambar mata pisau di ujung cambuk lawan tadi. Juga di pergelangan tangannya mengucurkan darah dan terpaksa dia melepaskan sabuknya. Karena luka di lutut dan pergelangan tangan, guru silat itu tidak mampu melakukan perlawanan lagi dan diapun roboh terguling tanpa dapat mengelak ketika Louw Ti menambahkan totokan yang membuat kaki tangannya lumpuh.
"Ha-ha-ha, Kim Siok. Kiranya engkau dan puterimu beserta muridmu ini tidak seberapa hebat. Engkau memang orang keras kepala dan tolol. Kalau saja kau-berikan puterimu kepada Pui-kongcu, tentu tidak akan begini jadinya dan engkau akan hidup terhormat dan makmur."
"Bunuhlah aku, tapi bebaskan anakku berdua itu."
Kim Siok masih mencoba untuk membujuk karena dia amat mengkhawatirkan nasib puterinya. Akan tetapi tiga orang itu hanya tertawa-tawa dan Koo Cai Sun lalu mengangkat tubuh Cui Hong yang sudah tak mampu bergerak, meletakkan tubuh itu melintang di atas punggung kudanya. Lalu dia sendiri meloncat naik dan tubuh dara itu melintang menelungkup di depannya.
"Mari kita cepat bawa mereka!"
Katanya dan dua orang temannya juga segera membawa tawanan masing-masing. Kim Siok dan Lu San yang juga sudah tidak mampu bergerak karena ditotok, juga mereka dibelenggu kaki tangannya, diikat di atas punggung kuda. Lalu tiga orang jagoan itu melarikan kuda masing-masing membawa tawanan itu menuju ke Thiancin, membayangkan kedudukan terhormat yang akan mereka terima sebagai hadiah Pui Taijin.
"Ha, nona manis, akhirnya engkau terjatuh ke dalam tanganku!"
Cui Hong rebah di atas pembaringan dengan kaki tangan terikat. Tadi ia dilemparkan oleh Koo Cai Sun ke atas pembaringan di dalam kamar itu, dan sambil terkekeh Koo Cai Sun menyerahkannya kepada Pui Ki Cong.
"He-heh-heh, Pui-kongcu. Nih, kuda betina liar itu. Ia panas dan liar, akan tetapi aku menepati janji, ia tidak kusentuh! Haha, memang ia menarik sekali, tapi aku tidak menyentuhnya."
Jagoan itu tertawa bergelak.
"Terima kasih, Koo-enghiong, terima kasih."
Kata Pui Ki Cong dan setelah jagoan itu keluar dari kamar, dia cepat menutupkan daun pintu dan menghampiri pembaringan dengan mulut menyeringai.
"Kim Cui Hong, kalau engkau dahulu menerima pinanganku, tentu tidak perlu dilakukan kekerasan seperti ini. Akan tetapi sekarang masih belum terlambat, manis, aku sungguh cinta padamu dan kalau engkau mau dengan suka rela menjadi isteriku, aku akan membujuk ayahku agar ayahmu tidak menerima hukuman berat."
Pui Ki Cong duduk di tepi pembaringan dan mengulur tangan untuk membelai dagu yang meruncing manis itu.
Cui Hong menggerakkan kepalanya mengelak dari belaian itu. Totokan pada tubuhnya telah punah akan tetapi ikatan pada kaki tangannya kuat sekali, membuat ia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya.
"Tidak sudi aku! Lebih baik mati!"
Ia membentak dan melotot kepada pemuda itu.
"Ah, nona manis, kenapa engkau berkeras hati? Ingatlah, engkau sudah tertawan, juga ayahmu dan muridnya itu. Betapa mudahnya menjatuhkan hukuman kepada kalian bertiga dengan dalih pemberontak. Kalau engkau berkeras dan menolak, aku dapat mendapatkan dirimu, kalau perlu dengan perkosaan. Apa kau lebih suka diperkosa dan melihat ayahmu dan muridnya itu mati tersiksa? Ataukah engkau lebih baik menyerahkan diri baik-baik kepadaku, menjadi isteriku, sedangkan ayahmu mungkin akan dibebaskan?"
Ki Cong membujuk dan merayu. Dia ingin mendapatkan diri gadis ini dengan suka rela karena dia benar-benar tertarik oleh kemurnian dan kecantikan aseli dara puteri guru silat ini. Kalau harus memperkosanya, sungguh kurang menyenangkan dan tidak akan memuaskan hatinya. Pula, hal ini menyinggung harga dirinya. Sebagai seorang perayu wanita yang tampan dan kaya, belum pernah ia harus memperkosa wanita.
Semua wanita yang digodanya dan dirayunya, satu demi satu pasti akan tunduk bertekuk lutut, menyerahkan diri dengan suka rela kepadanya. Memperkosa wanita, sama saja mengaku bahwa dia ditolak dan tidak dikehendaki wanita itu! Tiba-tiba terjadi perubahan pada wajah yang cantik manis dan dan agak pucat itu. Sepasang mata yang jeli itu menatap wajah Pui Ki Cong penuh selidik, kemudian bibir yang mungil dan walaupun dalam keadaan tegang dan lelah masih nampak segar merah membasah itu, bergerak mengajukan pertanyaan lirih.
"Be..... benarkan..... kau akan membebaskan ayahku kalau aku.... aku menyerahkan diri dengan suka rela padamu?"
Wajah pemuda bangsawan itu berseri gembira.
"Tentu saja! Ha-ha, nona Kim yang baik, apakah kau belum percaya kepadaku? Apakah aku harus bersumpah? Aku cinta padamu dan kalau kau mau menerima cintaku, dengan suka rela, engkau akan menjadi seorang isteriku yang tercinta dan tentu saja aku akan membebaskan ayahmu yang menjadi ayah mertuaku!"
"Kalau begitu.... demi keselamatan ayah.... akui... aku menyerah. Tapi..... harap bersikap sabar denganku, kongcu. Aku..., aku masih belum dewasa......"
Wajah dara itu menjadi merah sekali dan ia tidak berani menentang pandang mata pemuda itu yang kini tersenyum penuh kegembiraan.
"Tentu saja, manisku! Aku cinta padamu, aku akan bersikap sabar.... ah, girang rasa hatiku kalau kau mau menyerahkan diri dengan suka rela."
Dan dia-pun merangkul hendak mencium mulut yang sejak pertama kali dilihatnya telah membuatnya tergila-gila itu.
"Aih, nanti dulu, kongcu....."
Cui Hong miringkan mukanya mengelak.
"Aku ..... tidak enak sekali terbelenggu seperti ini..... kenapa kau tidak melepaskan ikatan tangan kakiku? Aku sudah menyerah.... demi keselamatan ayah."
"Ah, aku sampai lupa! Maafkan, kekasihku, aku a kan cepat melepaskan ikatan kaki tanganmu."
Dengan penuh kegembiraan, sambil menggunakan jari-jari tangannya kadang-kadang mencolek sana-sini dengan sikap genit, Ki Cong lalu membuka ikatan tangan kaki Cui Hong. Dia sudah membayangkan betapa akan gembira dan nikmatnya kalau nanti gadis remaja ini menyerahkan diri dengan hati terbuka kepadanya.
Dengan kedua tangan gemetar karena gejolak hatinya, Ki Cong melepaskan ikatan-ikatan pada pergelangan kaki dan tangan Cui Hong dan membantu gadis itu bangkit duduk. Cui Hong mengurut-urut pergelangan kaki dan tangannya, yang terasa kaku dan nyeri setelah ikatannya dibuka.
"Mari kuurut kakimu, manis."
Ki Cong segera meraba kaki itu dengan tangan panas membelai, akan tetapi tiba-tiba dia terkejut setengah mati karena tengkuknya sudah dicengkeram dan gadis itu sekali meloncat sudah turun dari atas pembaringan dan tangan kirinya mencengkeram tengkuk, tangan kanannya siap memukul kepala.
"Jangan bergerak!"
Bentaknya.
"Hayo cepat perintahkan agar ayahku dan suhengku dibebaskan!"
Ki Cong terkejut bukan main, bergerak meronta hendak melepaskan diri.
"Akan tetapi, nona....."
"Diam dan jangan bergerak! Hemm, kalau tidak cepat kaubebaskan mereka, akan kuhancurkan kepalamu!"
Dan ia memperkuat cengkeramannya sehingga tengkuk Ki Cong rasanya seperti dijepit besi membuat pemuda itu gelagapan dan sesak napasnya.
"Ba..... baik..... baik....., tapi..... mereka tidak ditahan di sini....."
Pemuda itu merasa mendongkol, menyesal, marah akan tetapi juga ketakutan. Tak disangkanya sama sekali bahwa dara remaja itu dapat mempergunakan siasat selicik itu. Sedikitpun tidak nampak kepura-puraannya ketika tadi mau menyerahkan diri, nampak demikian sungguh-sungguh. Dia sama sekali tidak tahu bahwa seorang manusia, dalam keadaan terhimpit, akan mampu melakukan apa saja untuk menyelamatkan diri. Dalam hal ini, Cui Hong tidak hanya mengkhawatirkan diri sendiri, melainkan ia ingin sekali menyelamatkan ayahnya dan suhengnya.
"Jangan bohong! Hayo panggil pengawalmu dan katakan bahwa ayahku dan suhengku harus dibebaskan dan dibawa ke sini. Cepat, atau akan kupatahkan batang lehermu!"
Kembali cekikannya pada tengkuk menguat dan Ki Cong dengan ketakutan lalu memanggil pengawalnya.
Dua orang pengawal mengetuk daun pintu karena daun pintu itu tadi dikunci dari dalam oleh Ki Cong.
"Apakah kongcu memanggil kami?"
Demikian terdengar teriakan dari luar.
Melihat sebatang pedang menghias dinding, sebatang pedang yang tidak begitu baik akan tetapi indah ukirannya dan lebih menyerupai hiasan daripada! senjata, Cui Hong lalu menyambar senjata itu, menghunusnya dan menempelkannya pada leher Ki Cong yang menjadi semakin ketakutan.
"Cepat buka pintu dan perintahkan! dia agar cepat membawa ayahku dan suhengku ke sini. Cepat!"
Dengan todongan pedang di tengkuknya, Ki Cong membuka daun pintu dan dua orang pengawal itu terbelalak melihat betapa majikan mereka ditodong pedang oleh gadis yang menjadi tawanannya. Tentu saja mereka terheran-heran. Tadi, di luar pintu di mana mereka ditugaskan menjaga keamanan, mereka kasak-kusuk dan terkekeh-kekeh membicarakan dan membayangkan betapa majikan muda mereka tentu tengah mempermainkan gadis tawanan itu yang mereka namakan sebagai "memetik bunga"
Atau "menyembelih ayam". Siapa kira, kini majikan muda mereka itu sama sekali tidak menikmati tawanannya, bahkan ditodong oleh tawanan itu, mukanya pucat tubuhnya gemetar seperti orang terserang demam.
"Cepat..... pergi ke tempat tahanan.... dan bawa dua tawanan itu ke sini......."
"Siapa, kongcu? Tawanan yang mana?"
Dua orang pengawal itu masih bingung dan gugup.
"Guru silat Kim Siok dan muridnya yang tertawan. Bebaskan dan bawa mereka ke sini, atau.... aku akan memenggal leher kongcu kalian ini. Cepat!"
Bentak Cui Hong dan ujung pedang itu ia tempelkan pada tengkuk Ki Cong sehingga terluka sedikit dan berdarah.
"Cepat...... lakukan perintah itu, cepat.....!"
Ki Cong berkata dan dua orang pengawal itu kini maklum apa yang terjadi. Ternyata tawanan ini, dara yang mereka sudah dengar pandai ilmu silat ini, telah berhasil meloloskan diri sehingga keadaannya menjadi terbalik, kongcu mereka kini menjadi tawanan. Mereka mengangguk dan bergegas pergi dari situ untuk melaksanakan perintah. Tempat tahanan berada di belakang gedung besar.
Setelah dua orang pengawal itu pergi, Cui Hong menotok jalan darah tawanannya dan Ki Cong roboh dengan lemas. Cepat dara itu mempergunakan tali yang tadi dipakai untuk mengikatnya, kini ia mempergunakannya untuk mengikat kaki tangan Ki Cong dengan erat. Ia tahu bahwa ia berada di dalam guha singa dan kalau tiga orang jagoan yang pernah menangkap ia dan ayahnya itu muncul, berarti keselamatannya terancam.
Akan tetapi ia mempunyai tawanan penting dan dengan adanya pemuda ini di dalam kekuasaannya, tiga orang jagoan itu tidak akan mampu mengganggunya. Ia bertekad untuk membebaskan ayahnya dan suheng-nya, dengan jalan menjadikan Ki Cong sebagai sandera yang amat berharga. Ia harus berlaku hati-hati sekali dan karenanya, ia baru merasa tenang setelah pemuda itu dibelenggu kaki tangannya dan membiarkan pemuda itu roboh di atas lantai, sedangkan ia sendiri lalu duduk di atas bangku, siap dengan pedang di tangan menodong ke arah pemuda itu dan menghadap ke arah pintu.
Seperti dapat diduga oleh dara perkasa itu, perbuatannya membuat gedung menjadi gempar! Tentu saja pembesar Pui merasa bingung dan khawatir sekali. Memang mudah mengerahkan pasukan pengawal untuk mengeroyok gadis itu, akan tetapi bagaimana dengan keselamatan nyawa puteranya? Untung masih ada Thian-cin Bu-tek Sam-eng yang sedang dijamu dengan hidangan mewah oleh pembesar itu.
Tiga orang jagoan inilah yang bersikap tenang dan merekalah yang mengatur siasat untuk menghadapi kenekatan Cui Hong. Hampir habis kesabaran Cui Hong menanti di dalam kamar itu dengan daun pintunya terbuka dan pedang siap di tangan. Pui Ki Cong mengeluh perlahan-lahan, akan tetapi pemuda itu terlampau ketakutan untuk dapat bicara atau banyak bergerak. Pandang mata Cui Hong ditujukan ke luar kamar dan ia melihat betapa keadaan di luar kamar itu sunyi saja, tidak nampak ada gerakan apa-apa.
Akhirnya dua orang pengawal itu muncul di depan pintu dan Cui Hong cepat menempelkan ujung pedangnya di dada Ki Cong.
"Mana mereka?"
Bentaknya kepada dua orang pengawal itu.
"Awas kalau kalian menipuku, dada kong-cu kalian ini akan kurobek-robek!"
"Tolol kalian! Mana tawanan itu?"
Ki Cong juga berseru dengan ketakutan melihat betapa dua orang pengawal itu kembali dengan tangan kosong.
"Ampun, kongcu, ampunkan kami."
Kata seorang di antara mereka sedangkan orang ke dua hanya memandang dengan muka pucat.
"Para penjaga di kamar tahanan tidak percaya kepada kami dan tidak mau menyerahkan dua tawanan itu. Mereka minta agar kongcu sendiri yang datang ke sana, baru mereka mau percaya."
"Keparat....!"
Makian ini keluar dari mulut Cui Hong dan kembali ujung pedangnya menembus baju dan melukai kulit dada Ki Cong yang menjerit kesakitan, atau lebih lagi, karena ketakutan.
"Ampun."
Dia meratap.
"biarlah aku sendiri..... yang membebaskan mereka...."
Cui Hong memutar otaknya. Kalau dibiarkan berlarut-larut dan ayah serta suhengnya tidak cepat dibebaskan, pihak musuh akan dapat mengatur siasat. Memang lebih ba ik kalau pemuda ini yang membebaskan sendiri dua tawanan itu. Kalau ia terus menodongnya, pihak lawan tidak akan mampu mengganggunya dan terpaksa harus memenuhi tuntutannya.
"Baik, mar i kita bebaskan mereka!"
Katanya dan dengan pedangnya ia membabat tali pengikat kedua kaki Ki Cong, lalu ia membebaskan totokannya dari tubuh pemuda itu.
Pemuda itu dapat bergerak lagi dan dengan susah payah karena kedua pergelangan tangannya masih dibelenggu, dia bangkit berdiri, dibantu dengan sepakan kaki oleh Cui Hong. Dengan tangan kiri mencengkeram rambut kepala, tangan kanan menodongkan pedang yang ditempelkan di leher pemuda itu, Cui Hong lalu menodongnya keluar dari kamar, didahului oleh dua orang pengawal, yang bersikap ketakutan dan menjadi petunjuk jalan menuju ke kamar tahanan yang berada di belakang gedung.
Hati Cui Hong diliputi penuh kecurigaan dan ia bersikap hati-hati sekali, tak pernah melepaskan kewaspadaan dan dengan keras mencengkeram rambut kepada Ki Cong dan terus menempelkan pedangnya di leher orang itu. Ia merasa lega ketika tiba di ruang tahanan, melihat bahwa di situ tidak nampak penjaga-penjaga yang siap mengeroyoknya, bahkan para penjaga nampak menyingkir dan berdiri di tepi yang aman. Dan hatinya girang sekali ketika tiba di sebuah tikungan sempit, dari jauh ia melihat ayah dan suhengnya di dalam sebuah kamar kerangkeng, terbelenggu dan duduk di atas lantai dalam keadaan selamat.
"Ayah....!"
Tak tertahankan lagi keharuan hatinya dan ia berteriak memanggil.
Tiba-tiba ayahnya berseru.
"Hong-ji, hati.. hati......!"
Akan tetapi terlambat. Karena pada saat itu, perhatian Cui Hong tertarik kepada ayah dan suhengnya sehingga ia tidak melihat betapa tiba-tiba ada sebuah tubuh menubruknya dari kanan. Tentu saja ia cepat menggerakkan pedangnya menyambut tubrukan orang itu tanpa melepaskan jambakan tangan kirinya dari rambut kepala Ki Cong.
"Crokkkk........!"
Perut orang yang menubruknya itu terbacok dan darah muncrat-muncrat ke Cui Hong. Tentu saja gadis ini merasa terkejut dan ngeri. Biarpun sejak kecil ia belajar ilmu silat, akan tetapi belum pernah ia membunuh orang, apalagi membacok perut sampai muncrat-muncrat darahnya seperti itu. Tak disangkanya sama sekali bahwa orang yang menubruknya itu ternyata tidak menubruk, melainkan dilontarkan orang dan orang itu sama sekali tidak mampu mengelak atau menangkis ketika dibacoknya. Karena kaget dan ngeri, otomatis melepaskan jambakan rambut Ki Cong dan melompat ke belakang agar tidak terkena darah. Dan pada saat itu, muncullah Koo Cai Sun dan Gan Tek Un.
Gan Tek Un menyambar tubuh Ki Cong dan Koo Cai Sun sudah menyerang Cui Hong dengan kedua tangannya. Gadis ini berusaha membela d iri, akan tetapi ia memang kalah jauh, dan juga sudah lelah sehingga sebuah tendangan yang mengenai lututnya membuat ia terpelanting dan sebelum ia dapat bangkit berdiri, Kuo Cai Sun sudah menubruknya dan beberapa orang pengawal maju dan membelenggu kaki tangannya! Cui Hong meronta-ronta dan memaki-maki, akan tetapi sia-sia saja dan di lain saat ia sudah tidak mampu bergerak, kaki tangannya ditelikung dengan amat kuat. Tiba-tiba Pui Ki Cong tertawa.
"Ha-ha-ha-ha, bocah liar. Engkau memang tidak boleh disayang! Engkau memang ingin disiksa, diperkosa, dan dihina. Aku akan mempermainkan engkau sampai meratap-ratap minta ampun, sampai engkau menyesal pernah dilahirkan oleh ibumu!"
Setelah berkata demikian, dalam kemarahannya Ki Cong mengayun tangannya menampar muka gadis yang sudah tak berdaya rebah di atas lantai itu.
"Plak! Plak!"
Dua kali tangannya menampar, sampai panas rasanya mengenai kedua pipi gadis itu saking kerasnya. Kedua pipi gadis itu menjadi merah sekali, akan tetapi sepasang matanya tetap melotot penuh kebencian. Melihat ini, kembali Pui Ki Cong tertawa mengejek. Dia merasa amat penasaran dan marah. Beberapa kali dia mengalami penghinaan gadis ini dan kemarahannya membuat dia lupa diri bahwa di situ terdapat tiga orang jagoan itu, dua orang tawanan dan beberapa orang pengawal yang menjadi penonton.
"Ha-ha-ha, setelah ditampar engkau bertambah cantik!"
Setelah berkata demikian, tiba-tiba dia merangkul leher Cui Hong dan mencium mulut yang dikaguminya itu. Dia mencium dengan rakus, seperti orang kehausan memperoleh minuman segar yang diteguknya dengan lahap.
"Aaughhhh.......!!"
Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba Ki Cong menjerit dan meronta-ronta, akan tetapi deretan gigi putih kecil-kecil yang amat kuat itu tidak mau melepaskannya, karena seperti seekor singa menggigil korbannya. Ki Cong meronta-ronta dan mengaduh-aduh, darah bercucuran dari mulutnya. Melihat ini, Koo Cai Sun cepat menotok jalan darah di leher Cui Hong dan gadis itu terkulai, gigitannya terlepas.
"Aduhhhh..... iblis betina..... aduhhhh"
Ki Cong bangkit dan menutupi mulutnya yang bercucuran darah. Bibirnya yang bawah hampir putus oleh gigitan Cui Hong, gigitan yang dilakukan penuh kebencian tadi. Mulut gadis itupun juga berlepotan darah yang keluar dari luka di bibir Ki Cong dan gadis itu, biarpun sudah tertotok lemas, masih mampu meludahkan darah yang menodai mulutnya.
Koo Cai Sun tertawa.
"Ain, kongcu, tidak perlu tergesagesa. Sudah kukatakan bahwa dia ini seekor kuda betina liar, ganas dan panas. Kalau engkau mampu menjinakkannya, wah, dia akan hebat sekali. Akan tetapi sebaliknya, ia dapat membawa kau terjun ke jurang, ha-ha!"
Pui Ki Cong menjadi semakin penasaran dan marah. Dengan kasar dia lalu menggunakan sehelai saputangan untuk diikatkan di depan mulut Cui Hong, kemudian ia memondong tubuh gadis itu dan dibawanya kembali ke dalam kamarnya, diikuti suara ketawa ketiga orang jagoan itu. Dapat dibayangkan betapa hancur rasa hati Kim Siok dan Lu San menyaksikan semua. Mereka tidak berdaya, dibelenggu dengan kuat. Timbul tekad dalam hati mereka untuk mencari kesempatan, memberontak dan kalau perlu mempertaruhkan nyawa untuk mencoba menyelamatkan Cui Hong.
"Tar! Tar! Tarr.....!!"
(Lanjut ke Jilid 03)
Sakit Hati Seorang Wanita (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 03
Berulang kali cambuk itu melecut dan menimpa tubuh Cui Hong. Gadis itu terlentang di atas pembaringan dengan tangan dan kaki terpentang dan terikat pada kaki pembaringan. Cambuk itu diayun oleh Ki Cong dan melecut tubuhnya, menggigiti kulitnya melalui robekan baju. Pakaian gadis itu koyak-koyak oleh lecutan cambuk dan bahkan kulitnya yang putih mulus itu mulai penuh dengan garis-garis merah, ada pula yang mengeluarkan darah. Namun tidak satu kalipun terdengar keluhan dari mulut Cui Hong. Ia merapatkan bibirnya, bahkan kalau terlalu nyeri, digigitnya bibir sendiri dan matanya tetap melotot menatap wajah penyiksanya. Habis koyak-koyak seluruh pakaiannya dan yang tinggal hanyalah belenggu pada masing-masing tangan dan kakinya.
Kadang-kadang datang pula perasaan takut dan ngeri yang bergelombang dan hampir menenggelamkan kesadarannya, rasa takut yang jauh lebih hebat dan lebih besar daripada rasa nyeri karena siksaan cambuk itu. la berharap agar orang itu mencambukinya terus sampai ia mati. Tidak, ia tidak takut mati. Kalau ia mati, ia akan terbebas dari siksaan ini, terutama sekali siksaan rasa takut yang mengerikan. Hanya satu hal yang membuat ia penasaran kalau ia mati, yaitu ia tidak akan lagi mampu membalas dendam kepada keparat ini.
"Bunuhlah aku, bunuhlah, hanya demikian bisik suara hatinya ketika akhirnya Ki Cong menghentikan siksaannya. Dia melemparkan cambuk yang berlepotan darah itu, dan mengusap peluh yang membasahi tubuhnya. Matanya liar menatap seluruh tubuh yang ditinggalkan pakaian yang sudah koyak-koyak dan kulit I putih mulus yang dihiasi garis-garis merah. Memandang dengan penuh gairah nafsu dan Ki Cong lalu duduk di tepi pembaringan, kedua tangannya mengusap-usap seperti hendak mengobati atau mengusir semua rasa nyeri. Berdebar jantung Cui Hong dan seluruh tubuhnya terasa menggigil. Rasa ngeri dan takut menyerangnya dan ketika Ki Cong mendekapnya dan menciuminya, iapun terkulai dan roboh pingsan. Ia tidak tahu apa-apa lagi, tidak merasakan apa-apa lagi seperti orang pulas atau mati.
Nafsu birahi timbul karena gambaran pikiran. Tanpa adanya pikiran yang menggambarkan hal-hal yang ada hubungannya dengan nafsu berahi, maka nafsu itu t idak akan timbul begitu saja. Dan menurutkan nafsu birahi, tanpa dikendalikan kebijaksanaan dan kesadaran akan membuat seseorang menjadi hamba nafsu berahi. Dan celakalah badan dan batin kalau orang sudah menjadi hamba nafsu. Nafsu apa saja, termasuk nafsu berahi. Dalam cengkeraman nafsu, orang akan lupa diri dan sanggup melakukan apa saja, bahkan kadang-kadang melakukan hal-hal yang melanggar segala hukum kemanusiaan atau kesusilaan, kadang-kadang malah mengarah kepada perbuatan keji dan kejam sekali, tanpa memperdulikan keadaan orang lain, yang terpenting adalah memenuhi dorongan hasrat untuk memuaskan nafsu sendiri yang mendesak-desak.
Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo