Ceritasilat Novel Online

Sakit Hati Seorang Wanita 3


Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo Bagian 3



Dendam membuat seseorang dapat melakukan kekejaman yang luar biasa. Dendam adalah nafsu kebencian, dan seperti juga nafsu berahi, sekali orang dicengkeram, maka orang itu akan menjadi boneka, menjadi hamba daripada nafsunya sendiri. Pui Ki Cong menaruh dendam kebencian yang cukup mendalam terhadap Cui Hong. Mula-mula karena dia kecewa bahwa hasrat hatinya tidak mendapat sambutan. Kemudian dia merasa dihina oleh gadis itu, dan terutama sekali merasa tersinggung rasa harga dirinya oleh semua penolakan dan penghinaan itu. Apalagi setelah berkali-kali dia gagal, bahkan hampir celaka di tangan Cui Hong.

   Rasa suka karena dorongan birahi berubah menjadi kebencian, dendam kebencian yang amat besar. Kebencian menimbulkan hasrat ia melihat orang yang dibencinya itu menderita sehebat-hebatnya. Dendam kebencian hanya dapat dipuaskan kalau melihat orang yang dibencinya itu menderita hebat. Karena dirinya dicengkeram dua macam nafsu yang amat berbahaya itu, nafsu birahi dan nafsu kebencian, maka perbuatan Ki Cong terhadap diri Cui Hong sungguh d i luar batas perikemanusiaan. Segalanya tidak dipantangnya untuk dilakukan terhadap Cui Hong, untuk dapat menghina sehebat-hebatnya, untuk dapat memuaskan hasrat hatinya sedalam-dalamnya.

   Begitu siuman dari pingsannya dan mendapatkan dirinya ternoda, tanpa mengeluh atau menangis, Cui Hong pingsan lagi. Berulang kali ia sadar dan pingsan lagi, dan akhirnya ia hanya rebah terlentang seperti mayat, pandang matanya kosong ditujukan ke langit-langit kamar itu dan ia sama sekali tidak perduli lagi akan dirinya, sama sekali tidak menghiraukan lagi apa yang akan terjadi dengan dirinya. Bahkan ia hanya memandang kosong ketika Ki Cong menggodanya dengan kata-kata, dengan perbuatan, seolah-olah semua itu hanya terjadi dalam mimpi buruk.

   Ia hanya menanti datangnya saat terbangun dari tidur agar mimpi buruk itu dapat terhenti. Akan tetapi mimpi buruk itu berkelanjutan dan tak pernah terhenti, baru berhenti kalau ia tenggelam kembali ke dalam ketidaksadaran! Wajah Ki Cong terukir di dalam lubuk hatinya, tanpa disadarinya. Wajah seorang laki-laki yang kemerahan, penuh peluh, yang matanya kemerahan, hidungnya kembang-kempis, mulutnya dengan bibir pecah menjendol itu terengah-engah. Ia takkan pernah melupakan wajah itu!

   Cui Hong lupa segala. Lupa akan waktu. Ia tidak tahu sudah berapa lama ia tersiksa di dalam kamar itu. Ia tidak ingat apa-apa lagi t idak tahu bahwa sudah sehari semalam ia tersiksa secara melampaui batas itu. Ki Cong juga lupa diri. Hanya berhenti menyiksa gadis itu untuk makan dan minum, yang diantarkan oleh seorang pengawal. Kini hatinya tenteram dan dia boleh melakukan apa saja tanpa gangguan karena tiga orang jagoan itu berada tak jauh dari kamarnya. Di kamar sebelah, selalu siap melindunginya.

   Ki Cong agak mabok, terlalu banyak minum arak. Dihampirinya gadis itu dan dituangkannya arak dari cawan ke mulut Cui Hong yang setengah terbuka. Gadis itu menelannya dan tersedak.

   "Heh-heh-heh, Cui Hong, manisku. Bagaimana, apakah sekarang engkau sudah tunduk dan takluk kepadaku? Ha-ha-ha.....!"

   Dia menunduk untuk mencium dengan buas.

   "Brakkk......!!"

   Tiba-tiba daun pintu jebol dan dua laki-laki berloncatan masuk. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Ki Cong ketika dia melihat bahwa yang menjebol daun pintu itu adalah guru silat Kim Siok dan Lu San!

   "Tolooonggg......! Toloooongggg....!!"

   Dia berteriak-teriak ketakutan.

   Pada saat itu, tiga bayangan orang berloncatan masuk sebelum Kim Siok dan muridnya terbelalak memandang ke arah dipan di mana Cui Hong rebah seperti mayat itu dapat melakukan sesuatu, tiga orang jagoan itu telah menerjang mereka. Kim Siok dan Lu San tadi berhasil melepaskan diri dari ikatan kaki tangan mere ka dengan susah payah, merobohkan enam orang penjaga dan lari ke kamar itu. Sekarang, melihat tiga orang tangguh itu menerjang, mereka mengamuk dan sekali ini mereka berkelahi seperti dua ekor harimau terluka. Mereka marah, benci dan sakit hati melihat keadaan Cui Hong sehingga mereka menjadi nekat, tidak memperdulikan nyawa sendiri dan menerjang dengan ganas dan dahsyat.

   Biarpun tingkat kepandaian tiga orang jagoan itu lebih tinggi, akan tetapi menghadapi amukan dua orang yang sudah nekad tanpa memperdulikan keselamatan nyawa sendiri Nitu Bu-tek Sam-eng menjadi kewalahan dan terpaksa mereka lalu mengeluarkan senjata masing-masing dan akhirnya senjata-senjata mereka dapat merobohkan Kim Siok dan Lu San. Guru silat dan murid itu roboh dengan luka-luka parah dan pada saat itu Cui Hong yang selalu berada dalam keadaan setengah pingsan itu siuman dan melihat ayah dan suhengnya roboh mandi darah, ia menjerit.

   "Ayaaaahhhh......!."

   Dan gadis itupun menangis. Baru sekarang ia menangis, menangis karena melihat ayahnya, bukan menangisi dirinya sendiri. Guncangan batin yang menimpa dirinya lebih mendalam daripada tangis. Ia tidak lagi dapat menangisi diri sendiri, karena di dalam batinnya, sebagai akibat malapetaka yang menimpa dirinya, hanya terdapat dendam dan sekali lagi dendam!

   Ki Cong yang kembali terlepas dari ancaman maut itu, berdiri dengan muka pucat dan dia memandang kepada Cui Hong, kepada Kim Siok dan Lu San dengan mata mengandung kemarahan besar. Dia memang berhasil membalas dendam kepada gadis itu, berhasil mempermainkannya dan memperkosanya sesuka hatinya. Akan tetapi dia sama sekali tidak menikmati kepuasan dari pengalaman itu, bahkan semakin dia memaksakan kehendaknya, semakin terasaolehnya betapa gadis itu menolaknya sehingga dia terpaksaharus memperkosanya. Dia merasa bosan harus memperkosaterus, sedangkan keadaan gadis itu lebih banyak matidaripada hidup, lebih sering pingsan daripada sadar.

   "Phuhh! Keluarga setan!"

   Dia mengomel.

   "Sam-wi enghiong,kuserahkan gadis itu kepada kalian. Ambillah, aku tidaksudi lagi!"

   Katanya dan diapun meninggalkan kamar itu untukpergi ke kamarnya sendiri di gedung besar.

   Koo Cai Sun tertawa girang.

   "Ha-ha-ha, sungguh beruntung. Aku memang kagum sekali kepada gadis ini!"

   "Pui-kongcu menyerahkan kepada kita bertiga bukan, bukan kepada seorang!"

   Tiba-tiba Gan Tek Un berkata dan matanya yang tajam itu menyambar dingin.

   Koo Cai Sun tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, jangan khawatir, kawan. Gadis ini memang menarik sekali dan amat tabah. Baiklah, kita bagi rasa. Engkau dan Louw toako boleh mendapat giliran lebih dulu, biar aku yang terakhir, ha-ha-ha!"

   Gan Tek Un dan Louw Ti memang tidak semata keranjang Koo Cai Sun, akan tetapi merekapun bukan laki-laki yang alim. Melihat Cui Hong yang demikian muda dan demikian cantik manis, juga melihat sikap gadis itu yang amat tabah dan keras hati, mereka berduapun merasa tertarik sekali. Dan tiga orang jagoan ini memang sudah biasa bersenang-senang bertiga, maka kini tanpa malu-malu lagi, tanpa banyak cakap lagi, Gan Tek Un lalu menghampiri pembaringan di mana Cui Hong masih terbelenggu kaki tangannya. Dengan jari-jari tangannya yang kuat, Gan Tek Un membikin putus belenggu-belenggu itu dan diapun merangkul dengan penuh nafsu.

   Ketika merasa betapa kaki tangannya terbebas dari belenggu, Cui Hong lalu bergerak memukul. Akan tetapi dengan mudah Gan Tek Un menangkap pergelangan kedua tangan gadis yang sudah lemas karena menderita lahir batin, juga sudah tiga hari tidak pernah mau makan. Dan kembali Cui Hong tidak ingat apa-apa lagi ketika Gan Tek Un mulai mendekapnya.

   Dapat dibayangkan bagaimana perasaan hati Kim Siok dan Lu San menyaksikan betapa Cui Hong diperkosa orang di depan mata mereka. Biarpun mere ka berdua sudah terluka parah, akan tetapi kemarahan dan sakit hati membuat mereka mampu bergerak lagi dan mereka lalu meloncat ke atas, bangkit berdiri dan dengan tubuh berlumuran darah, dengan mata terbelalak penuh kebencian, merekapun menerjang ke arah manusia berhati binatang yang sedang mempermainkan tubuh Cui Hong di atas pembaringan itu.

   Akan tetapi sambil tertawa, Koo Cai Sun dan Louw Ti menyambut mereka dan dengan tendangan-tendangan tubuh Kim Siok dan Lu San terjengkang dan terbanting jatuh kembali ke atas lantai. Mereka berusaha bangkit, akan tetapi kembali dua orang jagoan itu menyusulkan tendangan-tendangan yang membuat mereka jatuh kembali. Koo Cai

   Sun, Louw Ti tertawa-tawa, berdiri dan setiap kali dua orang yang sudah luka-luka itu hendak bangkit berdiri, mereka merobohkannya kembali dengan tendangan-tendangan. Gan Tek Un meloncat turun kembali dari pembaringan.

   Wajahnya keruh karena ia merasa terganggu oleh dua orang yang sudah luka-luka itu.

   "Mereka lebih baik dibunuh saja agar kelak tidak mendatangkan banyak urusan,"

   Katanya dan kedua tangannya bergerak menyambar sepasang pedangnya.

   Nampak sinar pedang berkelebat. Pada saat itu Cui Hong sudah siuman dan dia sempat melihat betapa sepasang pedang itu menyambar dan menembus dada ayahnya dan suhengnya.

   "Ayaaahhh......! Suhengggg......!"

   Dan iapun jatuh pingsan lagi. Cui Hong t idak ingat apa-apa lagi, tidak tahu betapa tiga orang itu mempermainkannya secara bergantian. Setiap kali sadar dari pingsannya, yang tampak hanyalah bayangan ayahnya dan Lu San yang mandi darah.

   Jaksa Pui mendengar akan semua peristiwa itu. Setelah dua jenazah Kim Siok dan Lu San disingkirkan, jaksa Pui lalu membujuk tiga orang jagoan itu agar segera berangkat ke kota raja, membawa suratnya yang memperkenalkan mereka ke kota raja kepada seorang rekannya yang berpengaruh di sana.

   "Sebaiknya kalau sam-wi segera berangkat. Kini keadaan kota raja sedang kalut, dan membutuhkan bantuan tenagatenaga yang boleh dipercaya seperti sam-wi. Dan jangan lupa, kalau sam-wi pergi, bawa perempuan itu bersama sam-wi. Kalau ia ditinggalkan di sini, ia hanya akan membikin pusing saja."

   Tiga orang jagoan itu menerima hadiah-hadiah berupa masing-masing sekantung emas, dan merekapun menerima masing-masing seekor kuda terbaik. Setelah menyimpan surat dari 3aksa Pui itu, Koo Cai Sun membawa Cui Hong yang lemas itu ke atas kudanya, dan diikuti oleh dua orang temannya, diapun berangkat pada pagi hari sekali menuju ke kota raja di utara.

   Koo Cai Sun ternyata jatuh cinta atau mempunyai rasa sayang kepada Cui Hong, maka ia tidak keberatan membawa gadis itu ke kota raja. Akan tetapi ketika mereka tiba di sebuah hutan, dan berhenti beristirahat di bawah pohon dalam hutan, Gan Tek Un mencelanya.

   "Koo-toako, sungguh tidak baik sekali kalau membawa perempuan ini ke kota raja. Ia hanya akan menimbulkan kesukaran saja. Lihat, pandang matanya penuh dendam. Ia takkan pernah mau menyerah kepada kita dan di sana hanya akan menimbulkan kecurigaan orang banyak saja."

   "Benar, ia kelak hanya akan menjadi musuh bagi kita. Di kota raja tentu banyak perempuan yang lebih cantik dan lebih baik daripadanya. Mengapa susah-susah membawa calon mayat ini ke kota raja saja?"

   Dibujuk oleh dua orang rekannya, Koo Cai Sun menjadi bimbang. Ia menoleh dan memandang kepada gadis yang duduk bersandarkan pada pohon itu. Dia telah menotok gadis itu dan mendudukkannya di sana. Gadis itu merupakan pandangan yang tidak menarik sama sekali. Seorang wanita muda yang kotor. Rambutnya kusut masai. Mukanya pucat, bibirnya yang masih nampak indah bentuknya itu-pun kehilangan warna merahnya, bahkan nampak pucat. Sepasang matanya mengerikan, seperti mata mayat, sama sekali tidak bercahaya lagi, akan tetapi ketika pandang mata itu ditujukan kepada mereka bertiga, seperti ada api membara di manik matanya. Pakaiannya awut-awutan.

   Koo Cai Sun menghela napas panjang. Seorang gadis yang keras hati dan tak pernah mau tunduk walaupun segalagalanya telah dipatahkan dengan paksa. Betapa akan menggembirakan kalau saja seorang wanita seperti ini mampu mencurahkan kasih sayang. Seorang wanita yang panas membara, penuh semangat. Akan tetapi sayang, penuh pula dengan dendam kebencian. Diapun hanya akan dapat menguasai gadis itu dengan cara memperkosanya.

   "Baiklah, ia akan kutinggalkan saja di sini."

   Akhirnya dia berkata dengan suara bernada menyesal dalam hati.

   "Bunuh saja, agar kelak tidak mendatangkan kepusingan."

   Kata Gan Tek Un.

   "Benar, membasmi tanaman beracun harus sampai ke akarakarnya."

   Sambung Louw Ti.

   Akan tetapi, hati Koo Cai Sun yang mempunyai rasa sayang kepada Cui Hong, merasa tidak tega.

   "Apakah kalian merasa takut kepadanya? Lihat, ia hanya seorang gadis yang tidak berdaya. Mau bisa apakah ia terhadap kita? Biarlah, biarkan ia di sini dan kita lanjutkan perjalanan kita."

   "Tapi, kelak......"

   Louw Ti membantah.

   "Louw-toako, tidak kita bunuh juga ia akan mati sendiri. Hutan ini penuh dengan binatang buas. Biarlah ia mati dimakan binatang buas. Terus terang saja, setelah menikmati dirinya, aku tidak tega melihat ia terbunuh."

   Jawab Koo Cai Sun.

   "Mari kita berangkat!"

   Tiga orang jagoan itu lalu berangkat meninggalkan tempat itu, meninggalkan Cui Hong yang masih lemas bersandar pohon. Mereka tidak tahu bahwa biarpun kelihatan seperti orang setengah mati, yang seperti kehilangan semangatnya, namun sesungguhnya, semangat Cui Hong masih menyalanyala.

   Bahkan kekerasan hatinya menekan penderitaannya yang dialami tubuh dan batinnya, yang kadang-kadang membuat ia ingin mati saja. Kekerasan hatinya yang menentang ini. Ia harus hidup! Ia harus hidup terus agar kelak ia dapat membalaskan semuanya ini! Ia harus hidup, biarpun semata-mata untuk dendamnya! Ia tidak mau mati sebelum dapat membalas dendam kebencian hatinya terhadap empat orang, yaitu Pui Ki Cong, Koo Cai Sun, Gan Tek Un, dan Louw Ti! Ia harus hidup, dan kalau ia sudah memiliki kesempatan, ia akan mengejar empat orang itu, biar sampai ke neraka sekalipun!

   Karena itu, Cui Hong tahu dan sadar betapa tiga orang itu berbantah dan kemudian meninggalkannya. Senyum kemenangan mulai menghias bibirnya yang pucat dan berdarah. Ia berdarah di mana-mana. Bahkan bibirnya luka-luka bekas gigitan, juga lehernya, dadanya, mereka itu telah bertindak melebihi binatang-binatang buas terhadap dirinya! Setelah tiga orang itu pergi menunggang kuda, terjadilah ketegangan luar biasa dalam hati Cui Hong. Bagaimana kalau mereka itu mengubah pikiran dan mereka kembali lagi? Setiap ada suara, hatinya terguncang keras, takut kalau-kalau mereka bertiga, atau seorang di antara mereka, kembali lagi.

   Jalan darahnya mulai normal kembali dan lewat dua tiga jam kemudian, totok-an pada tubuhnya mencair dan ia dapat bergerak kembali. Pertama-tama yang dikerjakannya adalah bangkit berdiri, memandang ke kanan kiri dan berindap-indap pergi dari tempat itu secepat mungkin, untuk menyembunyikan diri karena khawatir kalau-kalau tiga orang itu akan datang kembali. Setelah ia berhasil menyusup-nyusup melalui pohon-pohon dan semak-semak belukar, akhirnya ia menjatuhkan diri ke atas rumput tebal di balik semak be lukar. Dipegang-pegangnya kaki tangannya, kepalanya, tubuhnya, ia masih hidup dan inilah yang terpenting. Ia masih hidup! Tapi ayahnya dan suhengnya sudah mati.

   "Ayahhh...............! Suheng..........!"

   Ia mengeluh dan menangislah Cui Hong. Teringat ia akan ayahnya dan bahwa kini ia hidup sebatangkara, seorang diri, dalam keadaan seperti itu. Ayahnya dibunuh orang, suhengnya atau tunangannya juga dibunuh orang. Dan ia dinodai, dipermainkan dan dihina melampaui batas perikemanusiaan. Cui Hong menangis, mengguguk akan tetapi ia masih berusaha agar tangisnya tidak mengeluarkan suara.

   Ia harus dapat menyelamatkan diri. la harus hidup terus demi dendam! Ia harus dapat membalas semua ini! Rasa duka yang amat berat menindih perasaannya dan membuat ia merasa lelah bukan main. Dan iapun terkulai dan roboh pulas, tertidur di balik semak-semak belukar. Tidur dalam arti yang sesungguhnya karena kelegaan hati terlepas dari cengkeraman musuh, karena kedukaan yang menghimpit. Tidur yang amat dibutuhkan badan dan batinnya, karena hanya tidurlah yang dapat menghapus segala duka. Kalau orang tidak memiliki batin yang kuat, apalagi seorang dara remaja seperti Cui Hong, setelah mengalami segala penderitaan lahir batin yang merupakan malapetaka amat hebatnya itu, mungkin saja orang itu akan menjadi gila.

   Penderitaan badan masih dapat dipertahankan, akan tetapi penderitaan batin seperti yang dialami Cui Hong itu terlalu hebat untuk dapat ditahan perasaan. Ayahnya dan tunangannya walaupun ia belum memiliki perasaan cinta kasih terhadap tunangannya itu, dibunuh orang di depan matanya. Dan ia sendiri diperkosa di depan mereka, dipermainkan dan dihina oleh empat orang yang kejam seperti iblis. Dan kini, ia berada seorang diri di dalam hutan, kehilangan segalagalanya, keluarganya, harta benda, kehormatannya.

   Selama kurang lebih sepekan ia berkeliaran di dalam hutan. Rasa lapar di perutnya mendorongnya untuk mencari makanan. Buah-buahan, daun-daun muda, dan binatang kelinci dan ayam hutan menjadi makanannya. Akan tetapi yang amat parah menindih hatinya adalah perasaan dendam yang membuatnya putus asa. Bagaimana itu mungkin dapat membalas sakit hati kepada empat orang itu? Pui Ki Cong adalah putera seorang jaksa, putera seorang pembesar yang dilindungi pasukan pengawal. Dan tiga orang musuh besar lainnya adalah Thian-cin Bu-tek Sam-eng, tiga orang jagoan yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. Apalagi ia sendiri, bahkan ayahnyapun tidak mampu menandingi mereka.

   Bayangan inilah yang membuatnya putus asa. Dendam sakit hati amat mendidih, akan tetapi ia sadar bahwa ia tidak akan dapat membalas semua dendam itu. Kenyataan ini merupakan siksaan batin baginya dan berkali-kali ia menangis karena ini. Betapa kita hidup ini terombang-ambing oleh pikiran yang melahirkan keinginan-keinginan, dipermainkan antara harapan dan keputusan, suka duka, cinta benci dan sebagainya.

   Apakah kita semua dilahirkan hanya untuk menjadi permainan antara terang dan gelap ini? Tidakkah kita yang dilahirkan bukan atas kehendak kita sendiri ini berhak untuk menikmati kehidupan ini? Mengapa kehidupan selalu penuh dengan duka dan hanya sedikit saja datang suka? Mengapa selalu datang kekecewaan yang mendatangkan duka? Kenapa kita selalu diganggu oleh keresahan, kemurungan, kemarahan yang menimbulkan kebencian? Mengapa terhadap segala pertentangan dan permusuhan dengan orang lain? Mengapa ketenteraman, kedamaian dan kebahagiaan hanya merupakan cahaya khayali yang menggapai dari jauh tak pernah menjadi kenyataan?

   Kita selalu lupa bahwa segalanya itu harapan dan keputusasaan, suka dan duka, cinta dan benci, kemarahan, kebencian dan sikap bermusuhan, kesemuanya itu tidaklah terpisah daripada batin kita sendiri. Kalau kita marah, maka kemarahan itulah kita! Segala macam perasaan itu adalah diri kita sendiri. Suka duka bukan datang dari luar walaupun dinyalakan dari keadaan luar. Suka duka adalah suatu keadaan diri kita sendiri, yang kita buat sendiri! Segala macam kebencian, kemarahan, segala macam perasaan datang dari pikiran, datang dari "aku"

   Yang selalu memperhatikan dengan dasar rugi untung.

   Kalau semua datang dar i ingatan, dari pikiran, apakah kita lalu menghentikan pemikiran itu dan melupakan segala yang terpikir dan yang menimbulkan duka? Hal ini jelas tidak mungkin. Bagaimana kita bisa melarikan diri dari diri sendiri? Melarikan diri dari duka, dengan kewaspadaan, tanpa memuji atau mencela, tanpa membela atau menentangnya, maka kita telah memasuki dimensi lain.

   Pagi itu Cui Hong berkeliaran sampai jauh dari hutan di mana ia biasa tinggal semenjak ia terlepas dari cengkeraman tiga jagoan. Kalau malam tiba ia naik ke atas pohon dan tidur dengan aman di atas pohon, jauh dari jangkauan binatang buas. Pagi itu ia keluar dari hutan besar dan memasuki hutan lain yang berada di lereng bukit. Hatinya diliputi kedukaan dan putus asa. Ingin ia mati saja, karena semakin dipikir, semakin hilang harapannya untuk dapat membalas dendamnya terhadap empat orang musuh besarnya. Beberapa kali malam tadi ia melepas ikat pinggangnya. Betapa mudahnya mengikatkan ujung yang satu dari ikat pinggangnya pada dahan pohon yang didudukinya dan mengikatkan ujung yang lain pada lehernya lalu meloncat turun. Betapa mudahnya menghabiskan riwayatnya yang penuh duka itu. Namun, suara lain dari hatinya selalu menentang perbuatan itu. Sejak kecil ia digembleng kegagahan oleh ayahnya dan ia merasa betapa perbuatan itu amat pengecut sehingga ia merasa malu sendiri untuk melakukannya.

   Pagi itu ia berkeliaran dengan tubuh lemas, dengan langkah gontai tanpa tujuan. Kalau ada orang mengenal Cui Hong sebelum malapetaka itu, tentu dia akan terkejut dan sukarbaginya untuk mengenal kembali gadis ini. Dulu, Cui Hong adalah seorang dara remaja berusia lima belas tahun lebih yang manis, lincah gembira, dengan sepasang mata memancarkan gairah hidup penuh semangat, dan sebuahmulut yang selalu tersenyum cerah, seorang dara yang memiliki lenggang tegap dan menggairahkan. Akan tetapi sekarang, perempuan yang berkeliaran di hutan itu sungguh merupakan pemandangan yang menyedihkan. Kemudaannya tidak nampak lagi, bagaikan setangkai bunga yang layu karena kekeringan.

   Rambutnya yang hitam panjang itu kusut masai, sebagian menutupi mukanya yang amat pucat. Sepasang mata yang biasanya penuh gairah hidup itu kini nampak sayu tidak bercahaya, seperti lampu yang kehabisan minyak, kadang-kadang memandang kosong ke tempat jauh menembus pohon dan kadang-kadang seperti mata orang yang mengantuk.

   Mata yang biasanya jeli itu kini agak kemerahan, dan mulut yang biasanya segar kemerahan penuh senyum itu kini kepucatan dan membayangkan kepedihan hati. Tubuhnya yang bagaikan bunga baru mulai mekar itu nampak kurus dan layu.

   Selagi Cui Hong melangkah tanpa tujuan, dengan hati kosong dan penuh duka, tiba-tiba mendengar suara orang bernyanyi. Otomatis langkah kakinya terhenti dan ia menyelinap di balik sebatang pohon besar, mengintai ke depan. Tidak nampak ada orang, akan tetapi suara laki-laki itu bernyanyi itu terdengar jelas dari depan. Mungkin orangnya berada di balik semak-semak belukar yang menghadang di depan. Cui Hong memperhatikan kata-kata orang itu yang terdengar lantang dan jelas.

   "aku bebas,

   tak ingin tak harap

   tak duka tak suka

   tak lebih tak kurang

   tak kiri - tak kanan.........

   apa kemarin sudah lalu

   mengapa sesal - mengapa kecewa

   tiada guna.....

   sekarang sadar - sekarang ubah

   sekarang baru - sekarang benar

   sekarang bebas.........

   apa kemudian - hanya akibat bukan

   urusanku sekarang benar - esokpun benar

   mengapa harap - mengapa ingin

   apa lamunan - apa impian

   tiada guna......

   sekarang insaf - sekarang bebas

   aku bahagia

   karena bebas!

   tak sudi aku

   terkurung - terbelenggu

   biar kurung emas

   biar belenggu intan

   lebih baik bebas

   lepas di udara

   terbang melayang

   arah tertentu

   sabar - yakin - waspada

   takkan tersesat

   karena bebas!"

   Mendengar kata-kata dalam nyanyian yang lantang dan jelas itu, Cui Hong tersenyum. Lama sudah suara itu terhenti, namun ia masih tertegun. Suara nyanyian itu seolah-olah ditujukan kepadanya. Bebas! Terlepas dari segala sesuatu! Terlepas dari perasaan duka ini, dari kehancuran hati dan dari keputusasaan. Kenapa hidup macam ini harus dipertahankan lagi? Hanya akan menderita siksa batin setiap hari saja.

   "Aku ingin bebas... ..."

   Bibirnya menggumam dan tangannya menanggalkan kain ikat pinggang yang panjang dan seperti dalam mimpi saja, Cui Hong lalu meloncat ke atas dahan terendah, mengikatkan ujung kain itu pada dahan pohon, kemudian mengikatkan ujung yang lain ke lehernya. Tanpa ragu sedikitpun, setelah ujung kain ke dua mengikat lehernya, ia berbisik.

   "aku ingin bebas...."

   Dan iapun meloncat turun dari atas dahan.

   "Brukkk....!"

   Tubuhnya jatuh menimpa tanah. Cui Hong terkejut dan merasa heran, cepat ia bangkit dan memandang ke atas. Kiranya ujung tali yang mengikat dahan tadi terlepas!

   "Tolol.....!"

   Ia memaki diri sendiri dengan lantang. Betapa bodohnya. Mengikatkan ujung kain itu saja ke dahan sampai begitu ceroboh dan kurang kuat. Kalau ada orang melihat tentu akan mentertawakannya, mengira ia memang takut membunuh diri maka mengikatkan ujung kain pinggang itu dengan kendur. Dengan gemas ia meloncat lagi ke atas dahan, membawa ikat pinggangnya dan sekali ini ia mengikatkan ujungnya dengan kuat sampai dua kali. Barulah ia mengalungkan ikatan pada ujung lain pada lehernya dan kembali ia berbisik.

   "aku ingin bebas...."

   Dan iapun meloncat ke bawah.

   "Brukkk.....!"

   Kembali tubuhnya meluncur dan jatuh ke bawah. Cui Hong membelalakkan matanya dan cepat bangkit, akan tetapi pinggulnya agak sakit ketika terbanting yang kedua kalinya itu, pinggulnya terbanting agak keras juga. Dan ternyata tali ikat pinggang yang tadi diikatnya dengan amat kuat itu telah terlepas pula! Cui Hong menoleh ke kanan kiri dan ia merasa betapa bulu tengkuknya meremang ketika pikirannya membayangkan bahwa yang melakukan perbuatan jahil seperti ini tentulah sebangsa setan penunggu hutan itu. Celaka, pikirnya, sungguh sial nasibnya. Baru ingin bebas saja sudah dihalangi oleh setan! Akan tetapi bagaimana ia dapat melawan setan yang tidak nampak? Seratus kali berusaha menggantung diri, tentu seratus kali pula setan itu dapat melepaskan tali ikat pinggangnya dari dahan pohon dan ia akan terbanting-banting seperti tadi.

   "Ah, tolol memang, sungguh tolol sekali.....!"

   Cui Hong cepat menengok di belakangnya telah berdiri seorang kakek bongkok yang entah dari mana datangnya. Kakek itu sudah amat tua, sukar ditaksir berapa banyak usianya, tentu sudah tujuh puluh tahun lebih. Mukanya hitam keriputan dan amat kurus. Kulit muka itu berlipatan pada pipi dan kedua matanya, menyembunyikan sepasang mata yang kecil dan amat hitam mencorong. Mulutnya menyeringai dan nampak di balik bibir itu tidak ada sebuahpun giginya lagi.

   Pakaiannya serba hitam dan kepalanya botak, hanya ada sisa rambut putih di sekeliling kepala bagian bawah. Tubuh yang kurus itu berdiri bengkok karena di punggungnya, di bawah tengkuk, terdapat tonjolan daging sebesar kepala anak kecil.

   Pakaiannya yang serba hitam itu kedodoran, seperti kain dibelit-be litkan begitu saja pada tubuhnya, juga sepatunya berwarna hitam. Melihat kakek buruk dan serba hitam ini, Cui Hong merasa jantungnya berdebar keras dan bulu tengkuknya makin tegak berdiri. Setan, pikirnya! Akan tetapi ia melirik ke arah kedua kaki kakek itu dan melihat bahwa sepasang sepatu itu menginjak tanah. Padahal, menurut dongeng, setan-setan itu kakinya tidak menyentuh tanah, kira-kira sejengkal di atas tanah.

   "Kau..... ssee..... tankah kau....?"

   
Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dengan suara gemetar karena merasa serem dara itu bertanya, telunjuknya menuding ke arah muka keriputan itu.

   "Heh-heh-heh-heh!"

   Bibir yang hitam itu bergerak-gerak dan mulut itu terbuka seperti sebuah guha kecil yang gelap.

   "Engkaulah yang hampir menjadi setan penasaran, nona. Setan perempuan yang tolol sekali! Aku seorang manusia hidup, masih menikmati kehidupan ini, tidak seperti kau anak tolol yang mau mengakhiri hidup begitu saja, seolah-olah engkaulah pengatur hidup dan mati. Huh!"

   Lenyap seketika semua keseraman dari hati Cui Hong. Terganti oleh kemarahan yang membuat wajahnya yang pucat itu menjadi kemerahan, sepasang mata yang sayu dan layu itu menjadi hidup dan bersemangat kembali.

   "Jadi engkaukah yang tadi melepaskan tali gantunganku sampai dua kali?"

   "Heh-heh-heh, kalau bukan aku, lalu siapa?"

   "Manusia jahil!"

   Cui Hong sudah cepat menyerang dengan pukulan tangannya ke arah dada kakek itu. Kemarahan membuat tubuhnya tiba-tiba menjadi gesit dan pukulan tangannya kuat sekali.

   "Wuuuttt.... heh-heh...!"

   Pukulan itu luput dan ternyata kakek itu mampu menghindarkan pukulan dengan tanpa menggeser kaki, hanya menarik tubuhnya bagian dada itu ke belakang saja.

   "Setan....!"

   Cui Hong menyerang lagi, kini dengan tendangan kakinya yang menyambar dari bawah ke arah perut orang.

   "Ehhh?"

   Kembali kakek itu hanya menarik bagian tubuh yang ditendang dan serangan itupun luput. Cui Hong menjadi semakin marah. Kakek itu mengelak sambil terkekeh dan membuat gerakan-gerakan yang mengejek sekali. Ia lalu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, menyerang kalang-kabut dan membabi buta, kedua tangan dan kedua kakinya menyambar-nyambar dengan pukulan dan tendangan bertubi-tubi. Namun, terjadilah hal yang lucu dan aneh. Kakek bongkok itu meliuk-liukkan tubuhnya seperti seekor ular, mengelak ke kanan kiri, hanya dengan cara menarik tubuh ke belakang atau ke depan, ke atas atau ke bawah tanpa menggeser kedua kakinya dan semua serangan itu selalu mengenai tempat kosong!

   Cui Hong sedang dilanda kedukaan, putus asa, dan kemarahan yang memuncak sehingga ia kehilangan kecerdikannya. Kalau tidak dikuasai perasaan yang memabukkan itu, tentu ia sudah cepat dapat melihat kenyataan bahwa kakek yang menjadi lawannya itu memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi darinya. Akan tetapi ia tidak menginsyafi hal itu dan terus saja menyerang semakin ganas, dengan penuh nafsu, bahkan ia lalu berseru keras,

   "Kubunuh kau.!"

   "Heh-heh-heh, membunuh diri sendiri saja tidak becus, mau membunuh orang lain. Wah, jahat sekali kau!"

   Dan kakek itu mengangkat tongkatnya. Dia memang memegang sebuah tongkat kayu butut berwarna hitam yang sejak tadi dikempitnya saja ketika dara itu menyerangnya kalang kabut.

   "Tukkk.....!"

   Kepala Cui Hong kena dipukul tongkat. Nyeri sekali rasanya dan otomatis tangan gadis itu meraba kepala yang terpukul. Betapa gemas hatinya ketika meraba kepalanya dan mendapatkan benjolan sebesar telur ayam pada kepala yang terpukul. Rasa berdenyut-denyut nyeri menambah kemarahannya.

   "Kurang ajar kau!"

   Ia berteriak dan menubruk ke depan, hendak merampas tongkat itu. Dan..... ternyata tongkat itu dengan mudah dapat dirampasnya! Akan tetapi sebelum Cui Hong sempat mempergunakan tongkat itu, baru diayunnya untuk memukul, tahu-tahu tongkat itu seperti bersayap saja.

   "terbang"

   Dan kembali ke tangan pemiliknya.

   "Bukkk!"

   Tahu-tahu tongkat itu telah menggebuk pinggul Cui Hong, cukup keras sehingga terasa nyeri bukan main dan Cui Hong jatuh terpelanting. Dara itu meringis dan mengusap-usap pinggulnya. Seolah-olah pecah-pecah rasa kulit pinggulnya dan baru lega hatinya ketika ia meraba pinggulnya, di situ tidak ada tanda luka, hanya terasa ngilu saja. Sambil menggosok-gosok pinggul Cui Hong bangkit dan memandang kakek yang ter-senyum-senyum tanpa gigi di depannya itu, seperti seorang anak kecil kegirangan.

   Tiba-tiba Cui Hong teringat akan sesuatu dan ketika kemarahannya lenyap.

   "Kakek, engkaukah yang bernyanyi tadi? Bernyanyi lagu Bebas?"

   "Heh-heh-heh, kalau benar begitu, mengapa? Kau marah-marah karena nyanyianku tadi?"

   Kakek itu balas bertanya sambil mengamang-amangkan tongkatnya.

   "Kalau marah-marah, boleh maju, akan kuhajar lagi. Anak nakal perlu dihajar sampai jera!"

   Cui Hong menggeleng kepalanya.

   "Aku tidak ingin digebuk lagi. Akan tetapi engkau adalah seorang yang berhati palsu, kek."

   "Lho! Palsu? Eh, bocah bengal. Kapan engkau menjenguk hatiku? Bagaimana engkau bisa mengatakan hatiku palsu?"

   "Orang yang lain tindakannya dari ucapannya, dia berhati palsu. Nyanyianmu tadi menyatakan satu hal, akan tetapi perbuatanmu terhadap diriku merupakan lain hal yang sama sekali bertentangan."

   "Eh, kok begitu? Apanya yang berlainan? Kau bocah tolol, tiada hujan tiada angin mau gantung diri. Apa yang bermimpi bahwa kau telah menjadi Giam Lo Ong Si Raja Akhirat? Hal itu sama sekali tidak boleh, maka aku terpaksa menggunakan tongkat saktiku untuk menggagalkan perbuatanmu yang tolol dan pengecut."

   "Nah, perbuatanmu itulah yang palsu! Engkau tadi bernyanyi tentang kebebasan, dan nyanyianmu menggugah hatiku. Aku ingin bebas dari kehidupan yang penuh derita ini. Aku ingin bebas dari kesengsaraan lahir batin, dari duka, dari dendam yang tak mungkin dapat dibalas, dari keputusasaan. Aku ingin bebas dan mengakhiri ini semua. Akan tetapi engkau begitu jahil untuk menggagalkan keinginanku untuk bebas. Bukankah perbuatanmu itu berlawanan dengan nyanyianmu di mana engkau mengatakan bahwa engkau ingin bebas pula?"

   "Ho-ho-ha-ha, wah ngawur! Bebas bukan berarti lalu membunuh diri agar terlepas dari semua kesengsaraan lahir batin. Siapa bilang kalau sudah mat i itu lalu dapat bebas dari kesengsaraan lahir batin? Heh-heh, anak bengal, mari kita duduk dan bicara. Tubuhku yang tua ini tidak enak kalau harus bicara sambil berdiri lama-lama."

   Dan kakek itu dengan santainya menjatuhkan diri begitu saja di atas tanah berumput tebal. Sampai kaget hati Cui Hong dan hampir ia turun tangan menyambut tubuh kakek yang agaknya terpelanting jatuh itu. Akan tetapi ia teringat bahwa kakek itu bukan orang sembarangan, maka ia menahan diri dan benar saja. Biarpun tadi kelihatan terguling, kakek itu ternyata dapat mendarat dengan lunak, duduk bersila di atas tanah. Cui Hong menarik napas panjang. Orang ini aneh dan sakti seperti setan. Ada-ada saja peristiwa yang dihadapinya dalam hidup ini. Entah perkembangan apa yang akan menimpa dirinya, bertemu dengan manusia luar biasa ini. Iapun tidak peduli lagi. Mati pun bukan apa-apa lagi baginya, apalagi menghadapi malapetaka lain. Tidak akan ada malapetaka yang lebih hebat daripada yang pernah dialaminya. Ia pun duduk di depan kakek itu, memandang penuh perhatian dan kembali merasa seram. Wajah kakek itu memang menyeramkan sekali.

   Tiba-tiba kakek serta hitam itu lalu menggerakkan bibirnya membaca sajak sambil memukul-mukulkan tongkatnya ke atas sebuah batu sehingga terdengar suara "tak-tok-tak-tok"

   Berirama. Mula-mula hanya suara tak-tok-tak-tok berirama itulah yang terdengar, kemudian disusul suara kakek itu yang terdengar lembut dan lirih namun amat jelas memasuki telinga Cui Hong, seolah-olah kakek itu berbisik di dekat telinganya. Dan Cui Hong yang sejak kecil pernah menerima pelajaran sastera dari mendiang ayahnya, kini mendengar kata-kata dalam nyanyian itu yang tidak asing baginya.

   "Tidak condong itulah Tiong (tegak lurus)

   tidak berubah itulah Yong (seimbang)

   Tiong adalah Jalan Kebenaran

   Yong adalah hukum alam."

   Mendengar kata-kata itu, Cui Hong lalu berkata.

   "Kakek yang aneh apa maksudmu mengutip kata-kata dari Sang Budiman Beng Cu itu? Bukankah itu merupakan penjelasan tentang kitab Tiong Yong?"

   Kini kakek itu yang mencoba untuk melebarkan sepasang matanya yang sipit dan dia kelihatan lucu, seperti orang mengantuk yang berusaha membuka mata lebar-lebar memandang dara itu.

   "Eh, eh....! Kau tahu tentang Tiong Yong?"

   Tiong Yong adalah satu di antara kitab-kitab suci pelajaran Agama Khong Kauw.

   "Aku pernah membaca kitab suci itu walaupun sukar untuk mengerti maksudnya."

   Jawab Cui Hong dengan jujur.

   Kakek itu nampak girang sekali, terkekeh senang mendengar bahwa dara itu pernah membaca kitab Tiong Yong. Dia tidak tahu bahwa mendiang ayah dara ini adalah seorang penggemar pelajaran Khong Kauw, bahkan banyak pula membaca kitab-kitab Too Kauw sehingga ketika memberi pelajaran membaca kepada puterinya, dia menyuruh puterinya membaca kitab-kitab itu. Memang pada jaman itu, belajar membaca didasarkan kepada pembacaan kitab-kitab agama atau filsafat yang tinggi-tinggi sehingga anak-anak itu hanya mampu menghafal huruf-huruf itu tanpa mengerti artinya secara mendalam.

   "Kalau beg itu dengarkan ini: Hi Nouw Ai Lok Ci Bi Hoat, Wi Ci Tiongl"

   "Ah, aku ingat!"

   Seru Cui Hong, terseret oleh kegembiraan kakek itu yang mengingatkan dia akan masa kecilnya ketika mempelajari semua ujar-ujar itu.

   "Itulah bagian ke empat dari kitab Tiong Yong dan artinya Sebelum timbul perasaan Senang, Marah, Duka dan Girang, keadaan itu disebut Tiong (tegak lurus tidak miring)!"

   "Heh-heh, bagus, bagus! Atau dengan lain kata-kata, keadaan itulah yang dinamakan Kosong atau Bebas! Aku selalu rindu akan keadaan itu."

   Seru kakek serba hitam dengan girang.

   "Tapi kau tadi bernyanyi bahwa kau rindu akan kebebasan. Aku yang terhimpit kekecewaan ingin bebas dari semua kesenangan dengan jalan mengakhiri hidup, akan tetapi engkau menghalangiku. Bebas yang bagaimana yang kaumaksudkan, kek?"

   "Dengarkan ini Lima warna membutakan mata, Lima nada menulikan telinga, Lima kelezatan menumpulkan rasa."

   "Wah, itu kitab Tao-tek-keng....!"

   Seru Cui Hong.

   Kakek itu menjadi semakin g irang.

   "Bagus! Engkau seorang anak perempuan aneh. Hafal akan ujar-ujar dalam kitab Tiong Yong dan Tao-tek-keng, akan tetapi hendak membunuh diri. Bebas yang kaumaksudkan bukan melarikan diri dari kenyataan, betapapun pahit kenyataan itu terasa oleh kita, melainkan bebas dari semua pengaruh panca indranya, bebas dari pengaruh perasaan dan pikiran. Eh, anak baik, siapakah engkau dan mengapa engkau seorang diri berada di tempat ini dan ingin membunuh diri?"

   Dia berhenti sebentar, memukul-mukulkan tongkatnya ke atas tanah lalu berkata lagi,

   "Sungguh pun engkau pernah mempelajari ilmu silat, akan tetapi kepandaianmu itu masih terlampau rendah untuk dapat kau pakai membela diri, padahal di dunia ini penuh dengan kekerasan."

   Setelah semua perasaan kecewa, dendam dan keputusasaan meninggalkan batinnya untuk saat itu karena pikirannya dipenuhi dengan pertemuan aneh itu, maka kecerdikan Cui Hong pun timbul kembali. Ia memang seorang gadis yang cerdik dan kini ia melihat jelas terbukanya suatu kesempatan yang amat baik baginya. Kakek inilah yang akan dapat menolongnya! Kakek ini adalah seorang sakti, hal itu tak dapat diragukannya lagi dan kalau ia bisa mewarisi ilmu-ilmu kesaktian dari kakek ini, tentu bukan hal mustahil lagi baginya untuk kelak membalas dendam terhadap empat orang musuh besarnya! Cui Hong lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.

   "Locianpwe, saya adalah seorang yang menderita malapetaka. Ayah dan suheng saya dibunuh orang, sehingga sekarang saya hidup sebatangkara di dunia ini. Karena putus asa, tadi saya bermaksud mengakhiri penderitaan ini dengan bunuh diri. Akan tetapi, setelah bertemu dengan locianpwe, baru saya sadari betapa kelirunya niat saya tadi. Saya akan merasa beruntung sekali kalau locianpwe sudi menerima saya sebagai murid locianpwe....."

   "Heh-heh-heh, aku harus tertawa agar tidak menangis. Di pelosok manapun di dunia ini selalu kutemui kebencian, kekerasan, permusuhan, bunuh-membunuh di antara manusia. Tidak mudah untuk menjadi muridku, karena selamanya aku tak pernah menerima murid. Akan tetapi.... engkau ini anak perempuan yang aneh, hapal akan kitab-kitab suci akan tetapi mau bunuh diri, hemm, siapakah namamu?"

   "Nama saya Kim Cui Hong."

   "Kenapa ayahmu dan suhengmu dibunuh orang?"

   "Mula-mula putera jaksa di Thian-cin meminang saya. Karena saya sudah ditunangkan dengan suheng, maka pinangan itu dito lak oleh ayah. Hal ini membuat marah putera jaksa itu dan dia hendak menggunakan kekerasan. Kami melawan dan akhirnya kami ditangkap, ayah dan suheng dibunuh dan saya..... saya mengalami penghinaan-penghinaan, akan tetapi tidak dibunuh dan dibuang di dalam hutan ini....."

   "Aihhh.....! Sungguh benar sekali para bijaksana mengatakan bahwa kecantikan, kekayaan, kedudukan, kepandaian lebih banyak mendatangkan sengketa dan permusuhan daripada kedamaian dan persahabatan. Kim Cui Hong, jadi sekarang engkau hidup sebatangkara, tanpa sanak-kandang, tanpa rumah tinggal?"

   "Benar, locianpwe, saya tidak memiliki apa-apa lagi dan karena itu mohon sudilah locianpwe menerima saya sebagai murid."

   "Hemmm, selamanya aku belum pernah menerima murid, dalam usia setua ini muncul engkau. Inikah yang dinamakan nasib, jodoh atau kebetulan saja? Agaknya aku harus meninggalkan semua yang pernah kupelajari kepada seseorang, akan tetapi bagaimana kalau kelak kepandaian itu dipergunakan untuk kejahatan?"

   Cui Hong yang mendengarkan kakek itu bicara seperti bicara kepada diri sendiri, cepat menjawab.

   "Saya bersumpah tidak akan mempergunakan ilmu yang saya terima dari suhu untuk kejahatan. Saya akan mentaati semua pesan dan perintah suhu!"

   Dengan cerdiknya ia langsung menyebut "suhu"

   Kepada kakek itu untuk melenyapkan sama sekali keraguan yang masih membayang pada suara kakek itu.

   "Suhu..... aih, sungguh enak sebutan itu, agaknya sama dengan sebutan ayah yang belum pernah kurasakan. Suhu..... heh-heh-heh, anak baik, aku suka menjadi suhumu."

   Bukan main girangnya hati Cui Hong dan iapun segera memberi hormat sambil berlutut.

   "Suhu, teecu (murid) Kim Cui Hong siap menerima petunjuk dan perintah suhu yang akan teecu taati dengan taruhan nyawa."

   "Heh-heh-heh, bangkit dan duduklah, Cui Hong. Kuharap saja engkau akan menjadi murid yang baik. Akan tetapi ketahuilah bahwa tidak enak menjadi murid orang seperti aku, tidak enak dan tidak mudah. Melihat tingkat kepandaian-mu, sedikitnya engkau harus berlatih dengan penuh semangat dan tekun selama lima tahun, baru boleh diharapkan engkau akan memperoleh kemajuan."

   "Teecu berjanji akan berlatih dengan tekun dan biarpun sampai lima tahun lebih teecu tidak akan mengendurkan semangat dan akan selalu mentaati petunjuk dan perintah suhu."

   "Bagus, dan sekarang sebagai tugas pertama, engkau harus bersumpah bahwa kepandaian yang kau pelajari dariku tidak akan kau pergunakan untuk membunuh! Engkau tidak boleh membunuh!"

   Mendengar ini, Cui Hong terkejut bukan main sampai mukanya berubah agak pucat dan kedua matanya terbelalak. Tidak boleh membunuh? Dan ia ingin be lajar silat yang tinggi hanya dengan satu tujuan, yaitu membalas dendam dan membunuh musuh-musuhnya!

   "Cui Hong, aku bertemu denganmu ketika engkau hendak membunuh diri. Karena itu, aku ingin menghapus semua keinginan membunuh dari dalam lubuk hatimu. Engkau tidak boleh membunuh, baik membunuh diri sendiri maupun orang lain! Engkau mempunyai musuh-musuh dan dendam kebencian membayang di wajahmu, karena itulah maka aku minta kau bersumpah bahwa engkau tidak akan menggunakan kepandaian dariku untuk membunuh!"

   Biarpun ia terkejut dan kecewa mendengar larangan membunuh ini, namun Cui Hong yang mendapatkan kembali kecerdikannya, cepat memutar otaknya dan iapun lalu tanpa ragu-ragu lagi bersumpah.

   "Baiklah, suhu. Teecu bersumpah bahwa teecu tidak akan menggunakan kepandaian dari suhu untuk membunuh orang."

   Ia membayangkan bahwa untuk membalas dendam kepada musuh-musuhnya, tidak perlu membunuh! Masih banyak jalan lain kecuali membunuh untuk melampiaskan dendamnya.

   Kakek ini menarik napas panjang.

   "Bagus, Cui Hong. Aku percaya engkau akan memegang teguh sumpahmu.

   Ketahuilah, mengapa aku menyuruh engkau bersumpah untuk pantang membunuh? Tiada lain karena aku sudah terlalu banyak membunuh orang! Dan aku tidak ingin muridku, selain mewarisi ilmu-ilmu-ku, juga mewarisi pula kesenanganku membunuh orang."

   Dia mengangkat tongkat hitamnya dan mencium tongkat itu.

   "Dengan kaki tanganku, terutama dengan tongkat ini, entah sudah berapa ratus atau ribu nyawa orang kurenggut dari tubuhnya. Gurumu ini pernah dijuluki orang Toat-beng Hek-mo (Iblis Hitam Merenggut Nyawa) karena paling suka membunuh orang tanpa pilih bulu! Aku diperhamba nafsu-nafsuku sendiri, karena itulah aku melarikan diri ke hutan-hutan, ke gunung-gunung, tidak mau bertemu manusia dan aku selalu mencari kebebasan, bebas dari nafsu-nafsuku sendiri. Aih, betapa tersiksanya batinku, betapa kuatnya ikatan-ikatan ini. Karena itu, aku tidak ingin melihat engkau terbelenggu oleh dendam, diperhamba nafsu sendiri. Aku tidak ingin melihat muridku menderita seperti aku."

   Cui Hong tidak mengerti, akan tetapi tidak membantah. Ia tidak peduli akan semua masalah gurunya. Yang penting baginya mempelajari ilmu agar dapat membalas dendam kepada musuh-musuhnya. Dan ia sudah bersumpah takkan membunuh, maka iapun tidak akan membunuh musuhmusuhnya, akan tetapi mem balas dendam, itu harus dan merupakan tujuan tunggal hidupnya! Ia tidak sama dengan gurunya. Gurunya suka membunuh orang tanpa pilih bulu. Ia tidak, sama sekali tidak! Dendamnya hanya kepada empat orang saja.

   "Teecu akan menaati semua petunjuk dan perintah suhu,"

   katanya lagi untuk melegakan hati kakek itu. Suhunya dijuluki Toat-beng Hek-mo, tentu saja memiliki kesaktian luar biasa, pikirnya dengan girang. Tidak peduli apakah gurunya itu seorang datuk sesat, seperti julukannya, yang penting ia dapat mempelajari ilmu silat tinggi dari kakek itu untuk kelak menghadapi Thian-cin Bu-tek Sam-eng!

   "Engkau tidak akan menyesal telah bertemu dengan aku yang menggagalkan niatmu membunuh diri tadi, Cui Hong. Kalau engkau sudah mewarisi ilmu-ilmu-ku, maka engkau akan mampu menjelajahi dunia ini tanpa khawatir diganggu lagi. Engkau akan sukar menemukan tandingan!"

   "Terima kasih, suhu."

   "Akan tetapi, jangan dikira menjadi muridku itu enak, Cui Hong. Aku orang miskin, tidak punya apa-apa, rumah pun tidak punya. Aku sudah tua, untuk mencari makan sehari-hari pun sukar. Kalau kau menjadi muridku harus mencarikan makan setiap hari untukku dan untukmu sendiri, kalau perlu mengemis, atau mencuri."

   "Teecu sanggup!"

   Kata Cui Hong.

   "Masih ada satu hal lagi."

   Kata kakek itu, mulai gembira melihat betapa dara itu memang keras hati dan besar semangat, tidak pantang mundur menghadapi segala macam kesukaran.

   "Selama engkau belajar silat, kita akan tinggal di puncak gunung yang sunyi terpencil dan selama itu, engkau hanya boleh turun ke dusun kalau kehabisan bumbu masak dan keperluan lain, dan itu pun harus kaulakukan dengan singkat, sama sekali engkau tidak boleh melibatkan diri dengan urusan dan pertikaian dengan orang lain, tidak boleh mencampuri urusan orang lain. Sanggup kati?"

   "Teecu (murid) sanggup!"

   Kata pula Cui Hong. Apa pun syarat-syarat gurunya akan disanggupinya karena memang tujuannya hanya satu, ialah mempelajari ilmu silat dari kakek ini.

   Demikianlah, mulai hari itu Cui Hong menjadi murid kakek yang berjuluk Toat-beng Hek-mo, seorang kakek yang sudah puluhan tahun lamanya tidak pernah lagi muncul di dunia kang-ouw, yang mengasingkan diri berperang dengan batin sendiri mencari kebebasan, seorang kakek yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi akan tetapi yang memiliki pengetahuan tentang filsafat hidup melalui ayat-ayat kitab suci yang hanya diketahui kulitnya saja, dengan penafsiran isinya yang kacau balau.

   Kebebasan, dalam arti kata bebas lahir batin, tidak mungkin bisa didapatkan dengan jalan mencari dan mengejar. Kebebasan, seperti juga kebahagiaan, adalah satu keadaan, bukan merupakan suatu hasil dari pengejaran atau usaha. Kebebasan yang sudah didapatkan melalui usaha bukan merupakan kebebasan lagi, melainkan merupakan kebebasan semu yang terbelenggu oleh KEINGINAN UNTUK BEBAS.

   Dan di mana ada keinginan, dalam bentuk apapun juga, maka takkan mungkin ada kebebasan. Kebebasan adalah suatu keadaan di mana tidak ada lagi aku yang ingin ini dan itu, tidak ada lagi aku yang sarat dengan nafsu-nafsu yang membelenggu. Kebebasan bukan sekedar bebas dari ikatan dengan manusia lain atau dengan benda, sehingga tidak mungkin didapatkan melalui pengasingan diri jauh dari manusia dan harta benda. Sebaliknya, orang dapat berada dalam keadaan bebas walaupun hidup di tengah-tengah masyarakat ramai. Batin yang tidak memiliki apa-apa walaupun lahirnya mempunyai banyak benda, batin yang sama sekali tidak terbelenggu walaupun badannya mempunyai ikatan, dengan pekerjaan, dengan keluarga, dengan kewajiban-kewajiban dan sebagainya.

   Memang lebih mudah dibicarakan tentang kebebasan, namun semua pembicaraan itu hanya teori belaka. Kebebasan bukan untuk dibicarakan, melainkan untuk dihayati dalam kehidupan ini karena tanpa adanya kebebasan, takkan mungkin ada cinta kasih, takkan mungkin ada kebahagiaan. Hidup kita ini sudah demikian sarat dengan beban, demikian ruwet penuh ikatan-ikatan sehingga isinya hanyalah permainan emosi belaka karena sang aku sudah terlanjur merajalela dipermainkan oleh Im dan Yang (Positif dan Negatif).

   Semenjak mengikuti gurunya ke puncak yang amat sunyi, sebuah di antara puncak-puncak yang tinggi dari Pegunungan Lu-Iiang-san di sebelah barat kota raja, Cui Hong mulai suka akan warna pilihan gurunya, yaitu warna hitam. Ia menyukai warna hitam karena untuk menyusup-nyusup ke dalam hutan dan semak-semak belukar, warna ini paling aman, tidak cepat kotor. Dan setelah beberapa bulan lamanya ikut gurunya, berlatih ilmu silat setiap hari sambil mengurus kepentingan gurunya dan diri sendiri, mencuci, mencari air, memasak dan sebagainya, mulai pulih kembali keadaan badan Cui Hong. Kedua pipinya menjadi kemerahan lagi, wajahnya nampak segar berseri, sepasang matanya menjadi hidup dan lincah.

   Agaknya sisa-sisa peristiwa hebat itu, bekas-bekas malapetaka yang menimpanya, tidak lagi meninggalkan bekas di tubuhnya, walaupun jauh di dalam hatinya, bekas-bekas itu tak mungkin dapat dihapus begitu saja biarpun Cui Hong tidak pernah membicarakannya dengan suhunya. Dendam yang amat hebat itu disimpannya di dalam hati sebagai suatu rahasia pribadi yang takkan diungkapkan kepada siapa pun juga, kepada gurunya pun tidak. Apalagi karena ia melihat sikap gurunya yang tidak setuju dengan pemeliharaan dendam itu.

   Kakek yang berjuluk Toat-beng Hok-mo itu ternyata memang seorang yang sakti. Ilmu kepandaiannya tinggi sekali dan hal ini dirasakan benar oleh Cui Hong. Dari hari pertama saja ia sudah menerima latihan sinkang yang luar bisa. Kakek itu bahkan membantunya dengan kedua tangannya diletakkan di punggung dara itu, membantunya agar dapat dengan cepat menghimpun tenaga sakti, mempergunakannya di seluruh tubuh dan berlatih samadhi untuk memperkuat sinkang di dalam tubuhnya. Setelah berlatih selama hampir dua tahun, barulah ia dianggap mulai memiliki sinkang yang cukup kuat untuk mempelajari ilmu silat kakek itu. Dan Toat-beng Hek-mo juga tidak mengajarkan banyak ilmu silat, hanya satu macam saja! Akan tetapi ilmu s ilat ini dapat dimainkan dengan tangan kosong maupun dengan senjata tongkat. Nama ilmu silat ini menyeramkan, sama dengan nama julukannya, yaitu Toat-beng-kun (Ilmu Silat Mencabut Nyawa)!

   Kalau dimainkan dengan tongkat maka nama ilmu itu menjadi Toat-beng Koaitung (Tongkat Aneh Mencabut Nyawa ). Dan biarpun hanya satu macam, ternyata ilmu silat ini sedemikian sukar, aneh dan dahsyat sehingga untuk melatihnya sampai sempurnya, dibutuhkan waktu hampir lima tahun! Dapat dibayangkan betapa kesepian rasanya harus hidup sampai bertahun-tahun di tempat sunyi dan dingin itu. Hanya berteman seorang kakek tua renta yang buruk, dan yang jarang sekali bicara karena kakek itu lebih banyak bersamadhi dan hanya bicara kalau sedang memberi petunjuk dalam pelajaran ilmu silat. Bahkan di waktu makan pun Toat-beng Hek-mo jarang mengajak bicara muridnya.

   (Lanjut ke Jilid 04)

   Sakit Hati Seorang Wanita (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 04

   Waktu yang seolah-olah merayap itu merupakan latihan yang paling berat bagi Cui Hong. Hampir ia kehilangan kesabaran dan beberapa kali ada dorongan kuat dalam hatinya untuk melarikan diri, turun gunung dan mencari musuh-musuhnya. Apalagi setelah ia merasa bahwa kepandaiannya telah meningkat dengan cepat. Namun, dendam yang amat mendalam itu membuat ia cerdik dan tidak mau bertindak lancang dan tanpa perhitungan. Ia teringat akan kelihaian Thian-cin Bu-tek Sam-eng. Kalau ia sekali turun tangan membalas dendam, ia tidak boleh gagal! Kegagalan berarti membuat musuh-musuhnya menjadi kuat, berjaga dan akan semakin sukarlah kelak baginya untuk mengulangi usahanya membalas dendam. Ia harus berhasil dengan sekali pukul dan untuk dapat memperoleh keyakinan dalam hal ini, ia harus tekun belajar sampai gurunya menyatakan bahwa pelajarannya sudah tamat.

   Cui Hong adalah seorang gadis yang masih muda, dan memiliki pembawaan lincah gembira. Biarpun ia pernah menderita malapetaka hebat hampir saja membuatnya putus asa dan membunuh diri, namun setelah tinggal di puncak gunung itu dan menyibukkan diri dengan pekerjaan sehari-hari dan latihan-latihan, kesegarannya pulih kembali bagaikan setangkai bunga yang pernah layu kini hidup dan segar kembali mendapatkan air dan embun. Bahkan kini, setelah lewat kurang lebih enam tahun, Cui Hong telah berubah, dari seorang dara remaja yang masih memiliki sifat kekanakkanakan, menjadi seorang gadis yang bagaikan bunga sedang mekar semerbak. Tubuhnya ramping dan padat, keindahan bentuk tubuhnya yang tidak dapat disembunyikan oleh pakaian sederhana berwarna hitam itu. Bahkan pakaian serba hitam itu membuat kulitnya yang putih kuning dan halus nampak semakin menyolok. Cui Hong telah menjadi seorang gadis dewasa yang amat cantik, seorang perempuan yang penuh daya tarik.

   Pada suatu pagi, seperti biasa dilakukannya satu dua kali setiap bulan, ia berpamit kepada suhunya untuk membeli bumbu dan sedikit kain untuk membuat pakaian baru di sebuah dusun di kaki gunung. Untuk memperoleh uang guna berbelanja, Cui Hong membawa sekarung dendeng yang dibuatnya. Di hutan yang terletak di balik puncak terdapat banyak binatang hutan. Cui Hong banyak berburu binatang ini, dagingnya didendeng dan kulitnya dijemur, kemudian kulit dan dendeng ini dibawanya ke dusun, dijualnya atau ditukarnya dengan bumbu-bumbu dapur, pakaian dan keperluan lain.

   Karena selama enam tahun lebih ini sudah seringkali ia berkunjung ke dusun itu, maka semua orang dusun mengenalnya sebagai nona penghuni puncak yang cantik manis. Melihat betapa nona berpakaian serba hitam itu membawa beban berat dan turun dari puncak, semua orang dapat menduga bahwa tentu nona cant ik ini seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka tak seorang pun berani mengganggunya.

   Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Akan tetapi pada pagi hari itu, setelah menjual dendeng sekarung dan membeli bumbu masa kan, kain hitam dan lain keperluan, seperti minyak, lilin dan lain-lain, terjadi keributan yang sama sekali tidak dikehendakinya. Sejak terjadi malapetaka yang menimpa dirinya, Cui Hong merasa tidak senang kalau melihat mata laki-laki memandangnya penuh gairah. Ingin ia marah-marah dan menghajar orang lelaki yang berani memandangnya seperti itu, namun ia masih harus menahan kesabarannya selama ini. la teringat akan pesan suhunya, bahwa ia tidak boleh mencari keributan, permusuhan dan tidak boleh mecampuri urusan orang lain. Maka, karena pandang mata itu tak mungkin dianggap sebagai gangguan, ia pun pura-pura tidak melihatnya saja walaupun hatinya merasa mendongkol.

   

Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini