Sakit Hati Seorang Wanita 9
Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo Bagian 9
Sementara itu, Tan Siong juga tenggelam dalam kesedihan. Kiranya gadis itu bukanlah seorang wanita sembarangan, melainkan seorang gadis yang gagah perkasa dan berkepandaian tinggi. Akan tetapi juga seorang gadis yang penuh dengan dendam kebencian. Jelaslah bahwa dia sama sekali tidak pantas mengharapkan seorang gadis perkasa seperti itu, dan yang nampaknya juga kaya raya, dapat menerima uluran cinta kasihnya, cinta kasih seorang pemuda miskin yang selain tidak memiliki apa-apa, juga keturunan petani biasa saja. Di samping itu, juga d ia berbeda paham dengan gadis itu. Gadis yang batinnya penuh dengan racun dan api dendam kebencian! Dia merasa bersedih mengingat akan hal itu. Ingin dia mengingatkan gadis itu, mencegahnya melanjutkan dendam kebencian yang hanya akan meracuni hidupnya sendiri.
Akhirnya yang membuka percakapan dan memecahkan kesunyian itu adalah Cui Hong, karena gadis ini makin lama semakin merasa tidak enak saja.
"Tan-toako, setelah mendengar riwayatku, tentu engkau akan memandang rendah kepadaku..."
"Ah, mengapa begitu, Nona? Sama sekali tidak, hanya aku.... aku merasa bersedih kalau mengingat bahwa engkau sedang merusak kehidupanmu dengan dendam itu. Sekali lagi, aku minta dengan sangat, sukalah engkau menghapus saja dendam kebencian yang hanya akan meracuni batinmu sendiri itu."
Cui Hong mengerutkan alisnya.
"Tan-toako, engkau tidak berhak mencampuri urusan pribadiku!"
Pemuda itu menarik napas panjang.
"Maaf, aku bukan bermaksud mencampuri hanya aku merasa kasihan kepadamu, Nona."
"Kasihan....?"
"Ya, aku merasa kasihan karena racun dendam kebencian itu akan membuatmu menderita sendiri."
Makin tak senang rasa hati Cui Hong.
"Biarlah, aku yang menderita, bukan engkau, Toako. Nah, selamat tinggal dan terima kasih atas segala bantuanmu yang kau lakukan kepada Ok Cin Hwa."
Gadis itu membalikkan tubuh dan hendak pergi.
"Nona Kim...!"
Tan Siong berseru dan Cui Hong berhenti melangkah, membalik dan memandang dengan alis berkerut akan tetapi pandang mata penuh harapan. Tak sedap rasa hatinya harus berpisah dari pemuda yang dikaguminya ini dalam keadaan berbeda paham.
"Sekali lagi kuminta kepadamu, Nona, hapuskanlah dendam itu...."
Hampir saja Cui Hong marah-marah dan memaki pemuda itu, kalau saja ia tidak ingat betapa beberapa kali pemuda itu telah membelanya mati-matian.
"Sudahlah, jangan mencampuri urusan pribadiku, selamat tinggal!"
Katanya dan ia meloncat jauh lalu lari secepatnya meninggalkan pemuda itu.
Tan Siong berdiri termangu-mangu, hatinya penuh penyesalan. Dia tahu bahwa dia mencinta Cui Hong. Cintanya tidak berubah walaupun dia mendengar bahwa gadis itu ternyata bukan seorang perawan lagi, melainkan seorang gadis yang pernah diperkosa oleh empat orang penjahat.
Bahkan dia merasa rendah diri kalau dia mengingat bahwaperempuan yang bernama Ok Cm Hwa itu, yang tadinya disangkanya seorang perempuan yang lemah tak berdaya dan membutuhkan perlindungan, ternyata adalah seorang wanita perkasa yang tingkat kepandaiannya mungkin tidak berada di sebelah bawah tingkatnya sendiri, seorang wanita lihai yang agaknya kaya-raya pula. Dan dia merasa berduka melihat kenyataan pada diri wanita itu yang penuh dendam kebencian. Orang yang diracuni dendam kebencian seperti itu, mana mungkin dapat mencinta?
Sementara itu, Cui Hong mempergunakan ilmunya berlari cepat, dengan tubuh ringan seperti seekor kijang ia berlompatan dan berlarian cepat sekali. Sebentar saja ia sudah meninggalkan Tan Siong jauh sekali dan akhirnya ia berhenti di tepi sebuah anak sungai yang airnya mengalir dengan lembut di antara batu-batu yang membuat air itu menjadi jernih dan menimbulkan suara berteriak tiada hentinya.
Cui Hong duduk di tepi sungai itu, di atas rumput hijau yang tebal. Ia tidak perduli pakaiannya menjadi agak basah karena rumput itu segar dan basah. Hatinya terasa berat. Kosong dan sepi. Ia merasa seperti kehilangan seorang sahabat yang dikagumi dan amat disukainya. Bahkan ia hampir merasa yakin bahwa ia telah jatuh cinta kepada Tan Siong. Pria itu sama sekali berbeda dengan pria-pria la in yang pernah dijumpainya. Di dalam pandang matanya, sama sekali tidak nampak bayangan tidak sopan atau kurang ajar, melainkan suatu kemesraan yang mendalam.
Juga sikapnya amat baik, lembut dan kuat. Dan betapa gagahnya pria itu ketika membela dan melindunginya ketika ia masih menjadi seorang wanita lemah. Pembelaan yang tanpa pamrih! Tan Siong adalah seorang pendekar budiman yang mengagumkan hatinya dan betapa akan mudah baginya untuk jatuh cinta kepada seorang pria seperti itu. Sebelum bertemu dengan Tan Siong, dibakar dendamnya, ia selalu memandang pria sebagai mahluk yang tidak sopan dan kurang ajar, yang menganggap wanita sebagai barang permainan belaka. Akan tetapi, anggapan itu membuyar ketika ia bertemu dengan Tan Siong. Ia jatuh cinta kepada pemuda murid Kun-lun-pai itu!
"Tidak!"
Tiba-tiba Cui Hong membantah suara hatinya sendiri, la tidak boleh jatuh cinta, sedikitnya untuk sementara ini ia tidak boleh mengikatkan diri dengan siapapun juga, apalagi dengan ikatan cinta. Ia harus memusatkan perhatiannya kepada musuh-musuhnya. Masih ada dua orang musuh yang belum dibalasnya.
Dan dia maklum bahwa kini tidak akan mudah lagi baginya untuk dapat berhadapan dengan Cai Sun dan Ki Cong. Semenjak perkelahian itu, ketika ia muncul dengan berkedok tentu dua orang musuhnya itu akan menjadi semakin hati-hati dan tidak sembarangan keluar rumah tanpa pengawalan yang ketat. Ia harus mencari akal. Ia cukup bersabar untuk menyusun siasat. Sudah bertahun-tahun ia menahan kesabarannya dalam dendam. Kalau sekarang hanya menghadapi hambatan selama beberapa hari atau beberapa bulan saja, tidak ada artinya baginya. Sekali waktu, pasti ia akan melihat lubang dan kesempatan untuk dapat berhadapan berdua saja dengan musuh-musuhnya dan membalas dendam sepuasnya, seperti yang telah dilakukan terhadap Louw Ti. Ia cukup sabar.
Dugaan Cui Hong memang benar. Bukan saja Pui Ki Cong dan Koo Cai Sun menjadi terkejut dan ketakutan dengan kemunculan Cui Hong dengan kedoknya sehingga mereka selalu tinggal di dalam gedung keluarga Pui yang dijaga dengan lebih ketat lagi, akan tetapi juga Ki Cong mengerahkan orang-orangnya untuk mencari wanita yang mengancam keselamatannya itu. Dia mendatangkan jagoan-jagoan dan menjanjikan hadiah besar bagi siapa saja yang mampu menangkap atau membunuh wanita bernama Kim Cui Hong yang mempunyai tanda tahi lalat di dagunya. Hampir setiap hari dan malam kedua orang itu berbincang-bincang dan selalu yang menjadi bahan percakapan mereka adalah Kim Cui Hong.
"Hayaaa, sungguh celaka!"
Pada suatu malam Ki Cong mengeluh kepada Cai Sun yang duduk di depannya. Mereka selalu hanya berdua saja kalau membicarakan Cui Hong karena bagaimanapun juga, apa yang pernah mereka lakukan terhadap gadis itu merupakan rahasia pribadi mereka.
"Menghadapi seorang perempuan saja, kita menjadi begini tak berdaya. Untuk keluar saja tidak berani. Koo-toako, apakah selamanya kita akan begini saja, bersembunyi di dalam rumah sendiri seperti tikus-tikus yang takut keluar karena ada kucing yang siap menerkam? Kalau perempuan iblis itu belum dapat kita bekuk, maka hidup akan menjadi penderitaan besar bagi kita!"
Bangsawan yang kaya-raya itu mengepal tinju dan mukanya menjadi merah padam karena menahan kemarahannya.
"Pui-kongcu, kami sudah berusaha sekuat tenaga, menyebar orang-orang untuk melakukan penyelidikan. Akan tetapi ibiis itu agaknya pandai menghiiang karena biarpun semua tempat telah diperiksa, tidak ada yang menemukan jejaknya."
Kata Cai Sun.
"Hemm, lalu, apakah kita harus tetap begini saja? Bagaimana kalau manusia-manusia tolol itu tidak mampu menemukan jejaknya untuk selamanya? Apakah selamanya kita lalu menjadi orang-orang hukuman di rumah sendiri?"
Tanya Pui Ki Cong dengan jengkel.
"Jangan khawatir, Kongcu. Saya mempunyai akal baik yang segera saya suruh mereka melaksanakan, tentu dalam waktu singkat iblis perempuan itu akan dapat kita ketahui tempat sembunyinya."
Wajah Pui Ki Cong yang tampan pesolek itu, yang selama beberapa pekan ini selalu muram, kini nampak agak berseri dan dia menatap wajah bulat tukang pukulnya itu dengan penuh harapan.
"Apakah akalmu itu, Koo-toako? Lekas beritahukan padaku."
"Begini, kongcu. Untuk mencari jeja k siluman itu, memang tidak mudah karena ia memiliki iimu kepandaian yang tinggi. Akan tetapi, saya kira tidak akan begitu sukar untuk mencari jejak perempuan yang bernama Ok Cin Hwa itu. Kita tangkap dulu wanita itu...."
"Huh, dasar engkau paling gila perempuan! Dalam keadaan begini engkau masih memikirkan wanita itu? Gila! Untuk apa menangkap perempuan itu, Toa-ko?"
"Kongcu, Ok Cin Hwa itu selalu dilindungi oleh pemuda yang bernama Tan Siong itu, maka besar sekali kemungkinannya ia mengetahui di mana Tan Siong bersembunyi. Dan mengingat bahwa ketika Tan Siong dikeroyok oleh Cia Kok Han dan Su Lok Bu, dia dibela oleh siluman itu, maka kalau kita sudah dapat menangkap Tan Siong, tentu dapat pula mengetahui di mana adanya Kim Cui Hong. Bahkan mungkin juga Ok Cin Hwa tahu dan mengenal siluman itu."
Pui Ki Cong mengangguk-angguk dan wajahnya berseri penuh kegirangan dan harapan.
"Bagus sekali kalau begitu! Cepat panggil Cia-enghiong dan Su-enghiong, kita atur dan rencanakan siasat itu. Ok Cin Hwa harus dapat ditemukan dan ditangkap!"
Tak lama kemudian, dua orang jagoan itu datang menghadap dan mereka berempat lalu mengatur siasat untuk menyebar orang-orang, sekali ini bukan mencari Kim Cui Hong melainkan mencari seorang wanita bernama Ok Cin Hwa. Semua anak buah yang bertugas mencari wanita ini dibekali keterangan lengkap tentang ciri-ciri Ok Cin Hwa dan mulailah para penyelidik itu bertebaran di seluruh kota pada hari itu untuk mencari Ok Cin Hwa.
Tentu saja hal ini segera didengar oleh Cui Hong dan gadis perkasa ini melihat munculnya suatu kesempatan yang amat baik baginya. Ia pun cepat menyamar sebagai Ok Cin Hwa dan sengaja memperlihatkan dirinya di pasar. Selagi ia memilih buah-buahan di pasar, empat orang laki-laki menghampirinya dan mengurungnya.
"Nona Ok C in Hwa?"
Tanya seorang di antara mere ka yang tinggi kurus dan bermata juling.
"Ya."?"
Cui Hong berlagak kaget dan heran menghentikan kesibukannya memilih buah.
"Mari kau ikut dengan kami. Koo-toako ingin bertemu denganmu."
Kata pula si mata juling.
Kembali Cui Hong berlagak. Sambil mengerutkan alisnya ia menjawab, suaranya tak senang.
"Harap kalian jangan bersikap tidak sopan. Aku tidak mengenal siapa itu Koo-toako. Pergilah dan jangan mengganggu."
Empat orang laki-laki itu saling pandang.
"Nona Ok, Koo-toako adalah kenalanmu yang baik, dia adalah penolongmu dan dia minta kepada kami untuk mencarimu. Dia adalah jagoan yang pernah menyelamatkanmu di rumah makan..."
Si mata juling meniru kata-kata Cai Sun yang sudah memesan kepada para anak buah itu kalau-kalau bertemu dengan Ok Cin Hwa dan wanita itu menanyakan dirinya.
"Ahhh....dia....?"
Cui Hong memperlihatkan sikap gembira.
"Tapi.... kenapa bukan dia sendiri yang datang mencariku?"
"Dia sedang sibuk sekali, dan kami disuruhnya menjemputmu, Nona. Kami sudah menyiapkan sebuah kereta di luar pasar. Marilah, Koo-toako ingin sekali membicarakan urusan yang amat penting denganmu."
"Akan tetapi...."
Cui Hong berlagak meragu seperti pantasnya seorang wanita baik-baik yang diundang mengunjungi seorang pria.
"....eh, baiklah kalau begitu."
Ia lalu membereskan pakaiannya yang cukup bersih dan indah, lalu tangannya meraba sanggul dan dengan diiringkan empat orang itu, ia pun keluar dari pasar. Dengan sebuah kereta, ia lalu diajak pergi ke rumah gedung keluarga Pui. Hati para anak buah itu merasa lega sekali karena ternyata mereka dapat membawa Nona Ok Cin Hwa sedemikian mudahnya.
Mereka sudah khawatir kalau-kalau muncul pria yang bernama Tan Siong, yang biasanya melindungi wanita ini dan kabarnya Tan Siong itu lihai se kali. Ternyata mereka dapat menemukan dan mengajak Ok Cin Hwa ke gedung keluarga Pui tanpa halangan apa pun dan tidak ada orang muncul mengganggu kelancaran tugas mereka. Dengan hati bangga karena tentu mereka akan menerima hadiah, empat orang itu mengawal Ok Cin Hwa memasuki gedung.
Tentu saja hati Cai Sun menjadi girang bukan main melihat Ok Cin Hwa dapat didatangkan ke dalam gedung itu. Bukan hanya girang karena mengharapkan dapat menemukan tempat persembunyian musuh besarnya dari wanita ini, akan tetapi juga mengharapkan untuk dapat memiliki wanita yang telah membuatnya tergila-gila itu.
"Moi-moi.... Akhirnya engkau datang juga..!"
Serunya dengan gembira sekali sambil mengembangkan kedua lengannya, kemudian memegang lengan janda itu, tanpa memperdulikan sopan santun dan seperti lupa bahwa Pui Ki Cong juga berada di situ.
Cui Hong mengambil sikap malu-malu dan dengan halus ia melepaskan lengannya dari pegangan Cai Sun sambil melirik ke arah Pui Ki Cong, diam-diam menekan perasaannya yang terguncang penuh kebencian.
"Aih, ln-kong...! Saya dipanggil ke sini, ada keperluan apakah?"
"Ha-ha, engkau masih menyebutku ln-kong? Moi-moi, bukankah kita sudah berjanji bahwa engkau selanjutnya akan menyebut Koko (Kanda) kepadaku? Ha-ha-ha!"
Karena merasa di tempat aman, kumat kembali sifat Cai Sun yang mata keranjang dan perayu wanita.
"Koo-inkong, mana saya berani? Saya hanyalah seorang janda yang hidup sebatangkara...."
Cui Hong mempermainkan senyumnya dan mengerling tajam ke arah Pui Ki Cong yang sejak tadi menatap dengan tajam penuh perhatian.
Dalam hal kegemaran terhadap wanita, tingkat Pui Ki Cong tidak kalah oleh Koo Cai Sun. Maka, melihat sikap Cui Hong yang beberapa kali tersenyum dan melirik ke arahnya, dia pun menduga bahwa tidak akan sukar baginya untuk mendekati wanita ini. Sikap wanita ini menunjukkan bahwa ia "ada perhatian"
Terhadap dirinya. Dan Ki Cong percaya bahwa dalam segala hal, kecuali ilmu silat, dia memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan pembantunya itu. Dia lebih muda beberapa tahun, juga dia lebih kaya, dengan kedudukan yang membuatnya menjadi seorang bangsawan.
Dalam hal wajar, dia merasa yakin bahwa dia lebih tampan. Cai Sun mempunyai muka yang bulat dan bersih, pandai merayu, suka bergurau dan banyak ketawa, akan tetapi tidak dapat dibilang tampan atau gagah. Perutnya gendut dan tubuh yang kegemukan itu tentu tidak menarik hati wanita. Sebaliknya, dia berwajah tampan,., jantan dan tubuhnya pun tidak gendut, bahkan agak tinggi. Jantungnya berdebar juga melihat kecantikan wanita bernama Ok Cin Hwa yang janda muda ini. Akan tetapi, melihat sikap yang akrab dari Cai Sun, dia mengerutkan alisnya dan ingin memperlihatkan kekuasaannya di atas pembantunya itu kepada Ok Cin Hwa.
"Koo-toako, bukan tempatnya kita bicara di luar. Mari, ajak Nona ini masuk ke dalam agar kita dapat bicara dengan tenang dan aman. Marilah, Nona Ok, silakan masuk ke dalam rumahku."
Cui Hong tersenyum mana, maklum bahwa Pui Ki Cong mulai memperlihatkan sikap bersaing dengan Cai Sun, dan hal ini menandakan bahwa pancingannya berhasil. Ia telah berhasil menarik perhatian musuh utamanya itu! Sambil tersenyum manis, ia lalu bangkit.
"Kiranya Kongcu yang menjadi tuan rumah? Koo-inkong, siapakah Kongcu ini dan mengapa saya diajak ke rumahnya ini?"
Diam-diam Cai Sun mendongkol juga.
Percakapan antara Ok Cin Hwa dan Pui Ki Cong itu dirasakannya seperti menyeretnya turun harga! "Marilah kita masuk dan kita bicara di dalam!"
Katanya singkat dan mereka pun masuk ke dalam gedung besar itu. Biarpun di dalam batinnya, Cui Hong sama sekali tidak tertarik akan kemewahan dan kekayaan berlimpah yang berada di dalam gedung, namun ia memaksa diri memperlihatkan kekaguman dan berkali-kali mengeluarkan seruan kagum sehingga Pui Ki Cong merasa girang dan bangga, sebaliknya Cai Sun semakin muram wajahnya. Dia teringat betapa harta kekayaannya habis ketika tokonya dibakar orang, dan dia dapat menduga bahwa pembakarnya tentulah musuh besar yang kini sedang ditakutinya.
Cui Hong diajak masuk ke ruangan dalam dan Cai Sun segera disuruh memanggil dua orang jagoan yang mengepalai pasukan pengawal keluarga Pui, yaitu Cla Kok Han dan Su Lok Bu. Melihat dua orang ini, diam-diam ada juga rasa khawatir di dalam hati Cui Hong. Dua orang ini lihai, kalau sampai rahasianya ketahuan, ia tentu akan celaka. Ia berada di dalam kepungan musuh-musuh yang lihai! Akan tetapi sikapnya nampak tenang-tenang saja, agak malu-malu seperti sikap seorang wanita yang berada di antara beberapa orang laki-laki asing.
Empat orang laki-laki itu kini duduk berhadapan dengan Cui Hong dan dengan suara tetap halus, dengan pandang mata berseri dan senyum menyeringai seperti biasa lagak Cai Sun terhadap wanita, Cai Sun berkata.
"Adik Ok Cin Hwa, kami sengaja mengundangmu karena kami membutuhkan bantuanmu. Maukah engkau membantu kami?"
Cui Hong memandang dengan alis dikerutkan dan mulut tersenyum keheranan.
"Ah, harap jangan main-main, Koo-inkong. Seorang seperti aku ini, dapat membantu apakah kepada Cu-wi (Anda Sekalian)?"
"Nona, kami membutuhkan bantuanmu berupa keterangan yang sejujurnya dan sebenarnya."
Ki Cong berkata.
"Aih, kalau cuma keterangan yang sebenarnya, tentu saja saya mau melakukannya dengan segala senang hati, Kongcu."
Kata Cui Hong sambil mengarahkan pandang mata jeli dan mesra kepada Pui Ki Cong. Melihat ini, Cai Sun kembali merasa tak senang karena cemburu. Dia merasa mendapatkan saingan berat dalam diri Ki Cong terhadap wanita cantik ini.
"Adik Ok C in Hwa, beliau ini adalah seorang pejabat tinggi, maka sepatutnya engkau menyebut Tai-jin (Pembesar) dan bukan Kongcu (Tuan Muda)."
Kata-kata Cai Sun ini membuat alis Ki Cong berkerut. Tadi ia sudah merasa girang karena sebutan kongcu itu berarti bahwa nona manis ini menganggapnya masih seorang muda! Padahal usianya sudah tidak muda lagi, hampir empat puluh tahun. Dan kini Cai Sun merusak "suasana"
Yang menyenangkan hatinya itu.
"Ah, maafkan saya, karena saya tidak tahu, Taijin!"
Kata Cui Hong sambil cepat menjura dengan hormat ke arah Ki Cong. Hal ini menghapus kekecewaan hati Ki Cong dan dengan sikap berwibawa dia menggerakkan tangan menyuruh wanita itu duduk kembali.
"Nona, kami sedang mencari dua orang dan kiranya hanya engkaulah yang dapat membantu kami dan menunjukkan di mana adanya dua orang itu."
Ki Cong melanjutkan katakatanya.
"Yang seorang adalah laki-laki bernama Tan Siong itu, yang sering membelamu. Sedangkan yang ke dua adalah seorang wanita yang muncul dengan muka berkedok dan mempunyai tahi lalat di dagunya. Nah, kami mengharapkan keterangan yang sejujurnya dan sebenarnya darimu. Di manakah kedua orang itu?"
Cui Hong mengangguk-angguk.
"Saya akan memberikan keterangan yang sejujurnya, Taijin. Laki-laki yang bernama Tan Siong itu baru saja kenal ketika dia muncul di rumah makan itu dan melindungi saya dari gangguan beberapa orang laki-laki kurang ajar, bahkan kemudian muncul Koo-inkong ini yang menolong saya. Ada pun wanita berkedokitu saya kenal ketika ia muncul di malam hari itu."
"Yang kami butuhkan adalah keterangan di mana adanya mereka?"
Desak pula Pui Ki Cong. Sejak tadi Cui Hong memutar otak mencari siasat terbaik demi keuntungannya.
"Sesungguhnya, saya tidak pernah mereka beri tahu di mana mere ka tinggal. Setahu saya, Tan Siong tadinya tinggal di dalam kuil tua itu, akan tetapi entah sekarang, saya sendiri tidak tahu, apalagi tempat tinggal wanita berkedokitu, saya tidak pernah diberi tahu."
Empat orang itu saling pandang.
"Mengakulah saja kalau engkau tidak ingin kami paksa!"
Tiba-tiba Su Lok Bu yang berkulit hitam dan bertubuh tinggi besar itu menggertak. Cui Hong memperlihatkan wajah ketakutan dan melihat ini, Pui Ki Cong yang sudah mulai tertarik kepada wanita cantikini cepat berkata.
"Kita tidak perlu menggunakan kekerasan, Su-enghiong!"
Kemudian dia memandang wajah Cui Hong dan berkata ramah.
"Aku percaya, Nona ini pasti akan dapat memberi petunjuk bagaimana kita akan dapat bertemu dengan kedua orang itu. Benarkah begitu, Nona? Kuharap saja kepercayaanku kepadamu takkan sia-sia belaka."
Cui Hong menggeser duduknya mendekat ke arah Pui Ki Cong yang duduk di sebelah kanannya sambil melirik ketakutan kepada Su Lok Bu. Kemudian, ia memandang Ki Cong dan berkata dengan merdu dan bernada sungguh-sungguh.
"Taijin, seorang perempuan seperti saya ini, mana berani berbohong kepada Taijin? Saya berkata dengan sesungguhnya ketika mengatakan bahwa saya tidak tahu di mana mereka tinggal. Akan tetapi, seperti yang Taijin katakan tadi, kalau memang Taijin ingin bertemu dengan mereka atau seorang di antara mereka, agaknya saya dapat memberi petunjuk..."
"Ah, Nona manis!"
Ki Cong berseru gembira sekali.
"Itulah yang kuharapkan! Dapatkah engkau memberi petunjuk agar kami dapat bertemu dengan wanita berkedokitu?"
"Dapat, Taijin.... karena memang ia telah.... ah, akan tetapi ini rahasia! Kenapa sih Taijin ingin bertemu dengan wanita aneh yang selalu berkedokitu? Saya sendiri ngeri dan takut terhadap dirinya yang penuh rahasia."
Su Lok Bu sudah hendak menghardik lagi untuk memaksa wanita itu cepat bercerita di mana tempat sembunyi wanita berkedok, akan tetapi Ki Cong memberi tanda dan berkedip kepadanya sehingga jagoan ini terdiam. Kemudian Ki Cong berkata lagi kepada wanita itu, nada suaranya membujuk.
"Ketahuilah, Nona Ok. Wanita berkedokitu dan laki-laki yang bernama Tan Siong, mereka adalah penjahat-penjahat kejam, pembunuh-pembunuh keji. Mereka sedang kami cari-cari untuk ditangkap dan dihukum karena kalau mereka tidak ditangkap, tentu mereka akan melakukan lebih banyak pembunuhan lagi atas diri orang-orang yang tidak berdosa. Nah, sekarang katakan bagaimana agar kami dapat menangkap mereka?"
"Ihhh....! Mengerikan! Memang saya sudah merasa takut terhadap mereka. Akan tetapi kalau saya membuka rahasia ini, tentu mereka akan marah kepada saya dan bagaimana kalau saya dibunuh?"
La menggigil dan mukanya berubah pucat.
"Ha-ha, jangan takut, Adik manis. Di sini ada Kakanda Cai Sun yang akan melindungi!"
Kata Cai Sun, gembira bahwa ternyata dugaannya benar dan siasatnya berhasil baik karena wanita ini agaknya akan menjadi kunci pembuka tempat persembunyian dua orang musuh itu, terutama tempat persembunyian Kim Cui Hong yang mengancam nyawanya.
"Kami akan melindungimu!"
Kata Ki Cong tak mau kalah.
Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nah, bagaimana kami dapat menangkap mereka?"
"Dalam pertemuan terakhir antara kami, wanita berkedokitu membawa saya lari ke sebuah pondok kecil di tengah hutan. Kemudian wanita itu berpesan bahwa kalau saya memer lukan bantuannya, saya disuruh ke pondokitu dan menanti sampai la datang."
"Ah! Di mana pondokitu? Di hutan mana?"
"Tapi..... tapi saya takut..... Taijin."
"Jangan takut, kami akan melindungimu. Katakan saja di mana pondokitu?"
"Di sebelah timur pintu gerbang kota, ada sebuah bukit sunyi dan pondokitu berada di tengah hutan, di lereng bukit itu. Hutan yang amat sunyi, penuh pohon cemara."
"Ah, di hutan cemara bukit itu?"
Koo Cai Sun berseru, girang.
"Ya, sebuah pondok kosong di tengah hutan. Sunyi sekali. Saya..... saya takut untuk pergi ke sana, Taijin."
"Dan perempuan berkedokitu tinggal di sana?"
Kini Cia Kok Han yang bertanya. Cui Hong menoleh dan beradu pandang dengan sepasang mata yang sipit sekali namun yang sinar matanya mencorong menakutkan.
"Saya tidak tahu, ia hanya mengatakan bahwa saya disuruh datang ke sana dan menunggu kedatangannya."
"Apakah ia mengaku siapa namanya?"
Koo Cai Sun ingin kepastian.
Cui Hong menggeleng kepala.
"la hanya mengaku bahwa ia she Kim."
Itu saja sudah cukup bagi Cai Sun dan Ki Cong. Kim Cui Hong, musuh besar mereka! Gadis puteri g uru s ilat Kim yang kini datang sebagai siluman yang hendak membalas dendam kepada mereka. Harus didahului sebelum mereka celaka di tangan siluman itu. Bergidik mereka mengingat akan nasib yang diderita Louw Ti.
"Biarkan Nona ini pergi ke sana malam ini. Kita mengepung tempat itu dan menyergapnya ketika ia memasuki pondok."
Kata Cia Kok Han dan rekannya, Su Lok Bu mengangguk menyetujui.
"Ah, ah..... saya tidak berani....."
Cui Hong berkata seperti mau menangis dan wajahnya menjadi pucat.
"Ia tentu akan membunuhku, setelah tahu aku mengkhianatinya tidak, saya tidak berani.!"
"Mau atau tidak, engkau harus membantu kami agar kami dapat menangkapnya!"
Kata pula Cia Kok Han tegas.
"Ahh..... tapi apakah tidak dapat diambil jalan lain yang lebih tepat? Ia bukan seorang bodoh, tentu ia akan menaruh curiga dan kalau sudah begitu, selain Cu-wi (Anda Sekalian) tak dapat menangkapnya karena ia tidak akan muncul, juga saya pasti akan dibunuhnya. Lalu apa artinya segala jerih payah ini?"
"Adik yang manis, apakah engkau mempunyai siasat lain yang lebih baik?"
Cai Sun bertanya karena kata-kata gadis itu memang masuk di akal. Kalau sampai gagal, dan wanita itu terbunuh secara sia-sia, sungguh sayang sekali.
"Ia harus dapat dipancing dengan umpan yang menarik tanpa menimbulkan kecurigaan padanya. Kalau saja Cu-wi mengetahui apa yang menjadi keinginan hatinya yang paling besar, yang akan memaksanya keluar dari tempat persembunyiannya dan datang ke pondokitu....."
"Hemm, keinginannya yang paling besar adalah membunuh kami....."
Cai Sun terlanjur bicara dan isarat dari Ki Cong sia-sia saja.
Pui Ki Cong menarik napas panjang.
"Karena Koo-toako sudah terlanjur mengatakan kepadamu, Nona, biarlah kuceritakan saja dengan terus terang. Kami sudah percaya kepadamu dan kami mengharapkan bantuan untuk menangkap siluman betina yang amat jahat ini. la telah mengancam untuk membunuh aku dan Koo-toako ini....."
"Ihhh.....! Jahatnya....!"
Cui Hong berseru dengan wajahkaget dan ngeri, memandang bergantian kepada Ki Cong dan Cai Sun, seolah-olah t idak percaya bahwa dua orang yang demikian baiknya akan dibunuh orang.
"Memang siluman itu jahat sekali, karena itu kami akan menangkap atau membunuhnya,"
Kata pula Pui Ki Cong.
"Kalau begitu, Ji-wi saja yang datang ke pondokitu, tentu ia akan muncul! Sementara itu, dipersiapkan orang-orang untuk mengepung dan menangkapnya,"
Kata Cui Hong memberi saran.
"Ah, itu berbahaya sekali!"
Kata Cai Sun, bergidik membayangkan betapa dia dan Ki Cong berada di pondok sunyi dalam hutan kemudian muncul musuh besarnya itu.
"Heh, engkau takut? Bukankah ada kami dan pasukan yang telah mengepung pondokitu?"
Su Lok Bu mencela.
"Sejak kapan Koo Cai Sun yang terkenal itu menjadi seorang penakut?"
Cia Kok Han juga mengejek.
Koo Cai Sun merasa disudutkan. Dia tidak mampu mengelak lagi, dan teringat bahwa yang diusulkan oleh Ok Cin Hwa adalah dia dan Ki Cong. Kalau ada Ki Cong, tentu akan berkurang rasa takutnya.
"Aku tidak takut, hanya aku khawatir Pui-kongcu yang tidak berani bersama aku pergi ke Pondok itu."
Berkata demikian, Cai Sun memandang Ki Cong sambil menyeringai.
Pui Ki Cong mengerutkan alisnya. Dia memang menghendaki dengan sangat agar musuh besar yang berbahaya itu secepat mungkin dapat terbunuh agar dia dapat tidur dengan nyenyak, akan tetapi kalau dia harus ke tempat berbahaya itu, sungguh membuat dia merasa ngeri.
"Hemm, perlukah aku ke sana sendiri? Tidak cukup engkau saja, Koo-toako? Dengan engkau menjadi umpan, sudah cukup untuk memancing ia datang, atau setidaknya laki-laki she Tan itu."
Katanya meragu.
"Aih, Kongcu. Kita takut apakah? Selain ada kita berdua, masih ada lagi Cia dan Su-enghiong, dan kalau kita siapkan seratus orang perajurit mengepung tempat itu, membuat barisan pendam, apa yang akan dapat dilakukan oleh siluman itu? Sebelum ia sempat menyerang kita berdua, tentu ia sudah lebih dulu disergap dan mampus! Selain itu perlu apa takut kalau di samping kita ada nona yang begini manis dan hangat?"
Berkata demikian, dengan ceriwis sekali tangan kiri Cai Sun mengelus pipi Cui Hong. Wanita ini pura-pura malu dan mengerling tajam ke arah Ki Cong, menepiskan tangan Cia Sun dengan berkata.
"lhhh.... Koo-inkong harap jangan nakal...!"
Dan ia tersenyum dan mengerling dengan daya tarik yang amat kuat ke arah Ki Cong, membuat orang mata keranjang ini menelan ludah. Di dalam pondok bersama wanita cantik ini! Menarik sekali, dan pula, kalau ada pasukan seratus orang yang dipimpin oleh dua orang pembantunya yang lihai, memang tidak ada yang perlu ditakuti. Pula, Cai Sun di sampingnya juga merupakan seorang pengawal yang cukup tangguh.
"Baiklah, aku akan Ikut ke sana. Kita semua harus bekerja sama untuk dapat membekuk siluman itu secepatnya!"
Akhirnya dia mengambil keputusan setelah melihat betapa mata kiri Cui Hong berkedip lembut memberi isyarat kepadanya yang hanya dapat dilihatnya sendiri! Kedipan mata yang merupakan janji yang Cai Sun dan suaranya terdengar gemetar.
Cai Sun mengangkat kedua pundaknya dan menoleh kepada Ok Cin Hwa.
"Bagaimana pendapatmu, Adik manis? Akan berhasilkah pancingan kita ini?"
Suaranya lirih sekali seolah-olah dia takut kalau-kalau suaranya akan terdengar musuh.
"Saya tidak tahu, akan tetapi mudah-mudahan berhasil, la hanya mengatakan bahwa kalau saya perlu sesuatu darinya, saya disuruh datang ke sini dan menanti, tentu ia akan datang."
"Bagaimana kalau ia tiba-tiba muncul di dalam pondokini, Toako?"
Ki Cong bertanya dan jelas nampak betapa dia menggigil ketakutan.
"Ha-ha-ha!"
Cai Sun tertawa, walaupun dia menahan suara ketawanya agar jangan terdengar terlalu keras.
"Bagaimana mungkin? Sebelum ia tiba di pintu, ia akan disergap seratus orangl Kita di sini aman seperti di rumah sendiri, Kong-cu, harap jangan khawatir."
"Saya pun tidak merasa takut, karena bukankah di luar sana ada seratus orang pasukan yang berjaga? Apalagi di sini ada dua orang gagah perkasa yang menemani saya. Koo-inkong dan Pui-taijin, saya mau beristirahat dulu di kamar yang kiri itu. Silakan Ji-wi beristirahat pula di kamar kanan kalau Ji-wi tidak sedang ketakutan."
Cui Hong tersenyum dan melempar kerling genit sekali dan ia pun bangkit berdiri, langkahnya dibuat semenarik mungkin ketika ia melenggang dan memasuki kamar yang sebelah kiri, tahu bahwa dua orang pria itu mengikuti nya dengan pandang mata kehausan. Dua pasang bukit pinggulnya sengaja dibuat menari-nari ketika ia melenggang tadi. Dan hasilnya memang baik sekali, dua orang pria itu memandang dengan mata melotot, bahkan Cai Sun tak dapat menahan dirinya untuk tidak menelan ludah.
"Kongcu, saya akan menemani nona itu, silakan kalau Kongcu mau beristirahat di kamar kanan. Selamat malam, Kongcu....!"
Dia pun bangkit dan hendak segera menyusul wanita itu, akan tetapi Pul Ki Cong cepat menegurnya.
"Koo-toako, engkau hendak memandang rendah kepadaku?"
"Ehh? Apa maksud Kongcu....?"
Cai Sun menahan langkah dan membalikkan tubuhnya.
Pui Ki Cong sudah bangkit berdiri dan mukanya berubah merah.
"Sudah sejakia ditangkap, la memberi isyarat-isyarat kepadaku. Akulah yang akan menemaninya!"
"Tapi, saya yang telah mengenalnya lebih dulu, Kongcu!"
Cai Sun membantah dengan mata melotot dan merasa penasaran. Tak disangkanya bahwa majikannya ini ternyata tertarik kepada Ok Cin Hwa dan hendak merampas daging gemukitu dari depan mulutnya.
Pui ki Cong mengerutkan alisnya dengan marah. '"Koo Cai Sun! Apakah engkau hendak menentang aku?"
Bentaknya. Cai Sun terkejut dan sadar bahwa orang she Pui ini bukan hanya tertarik, melainkan sudah tergila-gila kepada Ok Cin Hwa sehingga bersikap demikian kasar keji, Tentu saja dia tidak berani menentang orang Itu. Perpecahan akan amat merugikan dirinya, apalagi kalau hanya karena memperebutkan seorang wanita, seorang janda saja. Kalau Pui Ki Cong mengusirnya, dia bisa mati konyol di dalam tangan iblis wanita itu. Maka dia pun cepat menjura dan tertawa lebar.
"Aha, mengapa kita harus bertengkar karena seorang perempuan saja? Maaf, Pui-kongcu. Tidak kusangka bahwa Kongcu demikian bergairah terhadap dirinya. Kita tidak perlu berebut karena seorang janda muda seperti wanita itu tentu tidak akan kewalahan melayani dua orang seperti kita. Nah, silahkan Kongtu lebih dulu, baru nanti saya yang menggantikan Kongcu."
Pui Ki Cong juga teringat dan dia pun tersenyum. Memang tidak semestinya dalam keadaan nyawanya terancam seperti itu memperebutkan seorang janda yang belum tentu akan memuaskan hatinya, walaupun wajahnya, bentuk badan dan sikap janda itu demikian menggairahkan. Sudah banyak dia mengalami kekecewaan dari wanita-wanita yang tadinya nampak cantik dan menawan hati.
"Maaf, Toako, tadi aku telah lupa diri. Baiklah, aku akan main-main dengannya lebih dulu, dan biar nanti kusuruh ia keluar menemani dan melayanimu."
Dengan langkah lebar Pui Ki Cong menghampiri kamar yang sebelah kiri, membuka daun pintunya, masuk dan menutupkan lagi daun pintu kamar itu dari dalam.
Sambil menyeringai Cai Sun kembali duduk di atas kursi, matanya memandang ke arah kamar itu seolah-olah ingin menembus dinding untuk mengintai apa yang terjadi di dalamnya. Dia mendengar suara Pul Ki Cong bicara, lalu disusul suara ketawanya lirih dan suara ketawa Ok Cin Hwa. Bahkan terdengar suara wanita itu cukup je las.
"Aihhh.... Taijin, jangan begitu"
Cai Sun terkekeh, membayangkan permainan cinta mereka dan dia pun mendengar suara dipan berderit diduduki mereka. Suasana lalu menjadi sepi di kamar itu dan Cai Sun memperlebar senyumnya. Kalau wanita itu pandai, sebentar saja tentu Pui Ki Cong kalah dan dia memperoleh giliran! Dia akan mengajak wanita itu ke kamar sebelah.
Agaknya tidak meleset dugaan dan harapan Cai Sun. Tak lama kemudian, daun pintu kamar itu terbuka dan Ok Cin Hwa nampak keluar setelah menutupkan lagi daun pintu dari luar. Pakaian dan rambutnya kusut, bahkan kancing-kancing bajunya hanya tertutup sebagian sehingga Cai Sun dapat melihat sebagian kulit dan dada yang kuning mulus. Wanita itu menghampirinya sambil tersenyum manis sekali. Cai Sun bangkit berdiri menyambut dengan pujian.
"Wah, engkau hebat sekali, Adik manis. Mana Pui-taijin?"
"Dia kelelahan dan tidur, harap jangan diganggu."
Bisik wanita itu dengan muka merah dan nampak tersipu.
"Ha-ha, engkau sungguh hebat, mengalahkannya dalam waktu singkat, tidak ada seperempat jam. Ha-ha, lawannya yang seimbang adalah aku, ha-ha!"
Cai Sun lalu maju merangkul wanita itu yang mandah saja ditarik sambil dirangkul, memasuki kamar yang di sebelah kanan.
Tadi ketika dia mendengarkan dari luar di antara kesunyian dalam kamar sebelah kiri, dia mendengar suara dipan berderit dan Pui-kongcu terengah-engah, maka sudah bangkitlah berahinya sampai ke ubun-ubun. Maka, begitu dia memasuki kamar yang kosong itu, dia mempererat rangkulannya dan mendekatkan mukanya mencium mulut Ok Cin Hwa. Yang dicium mandah saja sehingga Cai Sun mencium mulut itu penuh nafsu. Akan tetapi pada saat dia mengecup bibir perempuan itu, tiba-tiba tengkuknya dihantam oleh tangan miring yang amat kuat.
"Kekkk....!"
Tubuh Cai Sun menjadi lemas dan dia pun pingsan seketika! Untuk mencegah agar robohnya Cai Sun tidak menimbulkan suara, Cui Hong sudah menjambak rambutnya dan menyeretnya keluar kamar, merebahkannya di atas lantai. Ia bekerja dengan cepat sekali. Ia tadi tidak berani menotok Cai Sun untuk merobohkannya seperti yang dilakukannya pada Ki Cong karena ia tahu bahwa Cai Sun lihai. Kalau sampai totokannya meleset tentu Cai Sun akan berteriak dan rencananya dapat menjadi gagal. Maka, ia mempergunakan pukulan dengan tangan miring pada saat Cai Sun mencium tadi sehingga ia yakin takkan gagal.
Cui Hong meludah dan mengusap bibirnya dengan ujung lengan baju. Muak rasanya teringat akan ciuman tadi. Ia meludah ke arah muka Cai Sun, kemudian mengeluarkan borgol dari ramai besi yang sudah dipersiapkan untuk keperluan itu. Diborgolnya kedua tangan Cai Sun itu ke belakang tubuhnya, kemudian ia menotok beberapa jalan darah untuk membuat orang itu t idak dapat bergerak atau mengeluarkan suara kalau siuman dari pingsan nanti. Setelah itu, ia pun memasuki kamar sebelah kiri. Ternyata Pui Ki Cong juga sudah menggeletak di atas lantai dalam keadaan tertotok, tak mampu bergerak atau bersuara, hanya matanya saja yang bergerak-gerak memandang kepada Cui Hong dengan ketakutan. Kiranya ketika tadi Ki Cong masuk dan menghampirinya, ia melayani orang itu bercakap-cakap dan bergurau.
Akan tetapi ketika tangan Ki Cong mulai meraba-raba dan hendak menciumnya, secepat kilat tangan kiri Cui Hong menotok jalan darah dan Ki Cong roboh seketika tanpa mampu berteriak. Cui Hong lalu membuat dipan bergerak-gerak, dan kakinya menginjak-injak perut Ki Cong sehingga orang itu mengeluarkan suara terengah-engah seperti yang didengarkan oleh Cai Sun tadi. Kini Cui Hong juga memborgol kedua tangan Ki Cong, dan menyeret tubuhnya dengan cara menjambak dan menarik rambutnya. Ki Cong hanya terbelalak ketakutan dan kedua matanya mengeluarkan air mata, bahkan kini celananya menjadi basah saking takutnya.
Cai Sun juga sudah siuman dan dia teringat akan segala yang dialaminya tadi. Mula-mula dia terheran dan merasa seperti mimpi. Kedua tangannya diborgol, bahkan dia tidak mampu menggerakkan kaki tangan, tidak mampu mengeluarkan suara. Ketika pintu kamar kiri terbuka dan muncul Ok Cin Hwa yang menyeret tubuh Pui Ki Cong, barulah dia tahu bahwa semua itu bukanlah mimpi buruk, melainkan kenyataan! Dan dia pun mengeluarkan keringat dingin dan matanya terbelalak ketakutan. Akan tetapi, Cui Hong kini sudah menjambak rambut kepalanya dan menyeret dua tubuh itu menuju ke ruangan kecil di antara kedua kamar itu.
Dilepaskannya papan lantai dan ternyata di tempat itu terdapat lubang yang bergaris tengah satu meter, la menyeret tubuh dua orang musuhnya itu ke dalam lubang, lalu ditutupnya kembali papan lantai itu dengan rapi dari bawah. Ternyata lubang itu merupakan sebuah terowongan yang menembus ke dasar jurang di belakang pondok!
Memang selama ini Cui Hong tidak tinggal diam menganggur. Ia telah mempersiapkan segala-galanya sehingga ketika muncul kesempatan yang amat baikitu, yaitu ketika anak buah musuh-musuhnya mulai mencari wanita bernama Ok Cin Hwa, semua telah dipersiapkannya, dari tempat jebakan sampai terowongan untuk melarikan diri tanpa diketahui oleh seratus pasukan yang mengepung pondok itu! Tak seorang pun akan menyangka bahwa ia dapat melarikan dua orang musuhnya itu dari dalam pondok tanpa diketahui orang! Dan siapa pula yang menduga bahwa Ok Cin Hwa, perempuan yang dianggapnya membantu komplotan itu untuk menjebak Kim Cui Hong, ternyata adalah musuh itu sendiri!
Cia Kok Han dan Su Lok Bu bersama seratus orang anak buahnya berjaga di tempat masing-masing dengan hati diliputi ketegangan. Mereka sudah mempersiapkan senjata untuk menyergap, begitu ada orang masuk ke hutan mendekati pondok. Akan tetapi, sampai lewat tengah malam, tidak nampak ada orang datang. Juga tidak ada gerakan sesuatu di dalam pondok.
"Hemm, sialan! Kita kedinginan dan dikeroyok nyamuk di sini, akan tetapi mereka berdua tentu kini sedang meniduri perempuan itu!"
Su Lok Bu mengomel, karena dia mengenal baik orang-orang macam apa adanya Pui Ki Cong dan Koo Cai Sun. Dua orang laki-laki mata keranjang, tukang main perempuan.
Kini semalam suntuk berada di sebuah pondok kosong, bersama seorang janda muda yang manis. Mudah saja diduga apa yang akan mereka lakukan.
"Terkutuk memang iblis betina itu. Kenapa ia tidak juga muncul?"
Cia Kok Han juga mengomel. Memang berat tugas mereka saat itu. Malam begitu dingin dan di hutan itu terdapat banyak nyamuk yang mengeroyok mereka. Akan tetapi mereka tidak berani membuat api unggun dan terpaksa harus menahan semua derita. Untuk menghampiri pondok dan melihat ke dalam, mereka pun t idak berani. Hal itu akan merugikan karena siapa tahu perempuan iblis itu kini sedang mengintai dan kalau melihat bahwa pondoknya dikepung banyak musuh, tentu perempuan itu tidak berani mendekat.
Dua orang jagoan itu bersama seratus orang anak buahnya, melewatkan malam yang menyiksa di hutan itu. Mereka harus tetap dalam persembunyian mereka, tidak berani mengeluarkan suara, tidak berani keluar. Mereka sudah menyumpah-nyumpah di dalam hati.
Baru setelah terdengar ayam berkokok dan burung-burung pagi berkicau tanda bahwa fajar mulai menyingsing, Cia Kok Han dan Su Lok Bu yang sudah tidak sabar lagi, meloncat ke luar dari tempat persembunyian mereka dan menghampiri pondok. Siasat mere ka telah gagal! Ikan yang dipancing tidak mau menyambar umpan! Hasilnya hanya kulit muka mereka merah-merah dan gatal-gatal, juga seluruh sendi tulang linu dan pegal.
Keduanya mendorong pintu pondok terbuka dan mereka melongo. Kosong pondokitu. Keduanya meloncat ke arah dua buah kamar itu, mendorong daun pintu kamar terbuka. Kosong pula!
"Heiii....! Ke mana mereka?"
Cia Kok Han berseru heran.
"Tak mungkin mere ka bertiga menghilang begitu saja!"
Kata Su Lok Bu.
Tentu saja dua orang jagoan itu menjadi terkejut, terheran kemudian panik karena setelah mereka memer iksa seluruh pondok, jelaslah bahwa Pui Ki Cong, Koo Cai Sun dan Ok Cin Hwa memang benar telah lenyap tanpa meninggalkan jejak. Wajah kedua orang jagoan ini menjadi pucat sekali.
"Tak masuk akal!"
Kata Cia Kok Han sambil membanting kakinya.
"Bagaimana mungkin mereka lenyap dari tempat yang terkepung ketat itu? Dan siapa pula yang dapat datang ke pondok ini tanpa kita ketahui? Sungguh aneh sekali!"
Su Lok Bu yang sejak tadi termenung, kini berkata.
"Datang secara berterang rasanya tidak mungkin. Akan tetapi bagaimana kalau datangnya itu secara rahasia?"
"Secara rahasia? Kalau begitu ada jalan rahasianya di sini."
Kata Cia Kok Han, terkejut.
"Hanya, itulah satu-satunya kemungkinan. Mari kita mencarinya."
Dua orang jagoan ini lalu memanggil anak buah mereka dan pondok itu pun penuh dengan perajurit yang sibuk mencari jalan rahasia. Tidak sukar untuk ditemukan karena tempat itu tidak begitu luas. Tak lama kemudian mereka pun sudah membongkar papan dan mereka menemukan terowongan bawah tanah itu.
"Celaka! Dari sinilah mereka keluar atau.... dilarikan orangl"
Teriak Cia Kok Han dan dengan hati-hati, bersama Su Lok Bu dan dengan senjata di tangan, mereka lalu memasuki terowongan itu, diikuti pula oleh anak buah mereka. Akan tetapi pengejaran mereka itu sudah jauh terlambat karena baru pada keesokan harinya mereka mendapatkan rahasia terowongan itu, sedangkan Cui Hong telah melarikan dua orang musuhnya pada malam tadi.
Setelah menyeret dua orang musuh besarnya melalui terowongan, akhirnya Cui Hong membawa mereka ke luar di pintu tembusan yang berada di dasar jurang, dan ia terus menyeret mereka naik dan memasuki sebuah hutan lain yang lebat dan gelap, la memang sudah mempersiapkan tempat-tempat itu dan berhenti di sebuah lapangan rumput di tengah hutan, la lalu membuat dua api unggun yang cukup besar sehingga tempat itu menjadi terang, la tidak khawatir akan dilihat orang lain karena ia sudah selidiki bahwa tempat itu, terutama di waktu malam, sunyi bukan main dan tidak pernah didatangi manusia. Juga ia tidak khawatir akan tersusul oleh pasukan yang dipimpin oleh Cia Kok Han dan Su Lok Bu karena sudah ia perhitungkan bahwa mereka tentu tidak akan mendekati pondok sampai keesokan harinya. Malam ini ia bebas dari gangguan orang luar!
Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pui Ki Cong dan Koo Cai Sun masih rebah terlentang tak mampu bergerak ataupun bersuara, hanya mata mereka saja yang terbelalak ketakutan memandang kepada wanita itu. Cui Hong kini menghampiri Cai Sun yang menjadi ketakutan dan sekali tepuk, Cai Sun mendapatkan kembali suaranya. Dia tidak mengeluarkan teriakan karena maklum bahwa hal itu akan sia-sia belaka. Teman-temannya berada di tempat yang jauh sekali dan di tempat seperti ini mana ada orang yang akan dapat mendengar teriakannya? Kembali wanita itu menotoknya sehingga dia mampu bergerak, dan dia hanya dapat bangkit duduk karena kedua tangannya masih terbelenggu di belakang tubuhnya. Dia terbelalak menatap wajah wanita itu yang memandang kepadanya dengan mata mencorong dan mulut tersenyum mengejek.
"Kenapa.... kenapa kau melakukan ini kepadaku.?"
Tanyanya, masih terlalu ngeri membayangkan apa yang ditakutinya ketika semacam dugaan menyelinap di dalam benaknya.
"Ok Cin Hwa, siapakah sebenarnya engkau?"
Cui Hong tidak menjawab, melainkan tersenyum dan kini ia mematahkan belenggu yang mengikat kedua tangan Cai Sun. Laki-laki itu bebas dan ketika ia meraba senjatanya, yaitu sepasang tombak pendek, ternyata sepasang senjata itu masih terselip dengan aman di punggungnya. Hatinya terasa agak aman, setidaknya dia dapat membela diri, pikirnya. Dia bangkit berdiri, membiarkan darahnya yang tadi berhenti mengalir itu kini menjadi normal kembali. Dia masih belum mengerti. Memang ada dugaan menyelinap di dalam benaknya bahwa Ok Cin Hwa ini mungkin penyamaran Kim Cui Hong.
Akan tetapi tidak mungkin, bantahnya. Musuhnya itu mempunyai tahi lalat di dagunya, dan selama ini sikap Ok Cin Hwa amat baik. Akan tetapi yang jelas, Ok Cin Hwa ini pun mempunyai ilmu kepandaian t inggi sehingga dapat menyeret dia dan Ki Cong keluar dari pondok setelah merobohkan dia dengan tamparan pada tengkuknya. Dan lebih jelas lagi, Ok Cin Hwa ini tidak mempunyai maksud baik terhadap dia dan Ki Cong.
Cui Hong meraba dagunya, menghapus bedak tebal yang menyembunyikan tahi lalat di dagunya, kemudian melangkah maju, membiarkan sinar api menerangi wajahnya, mulutnya tersenyum mengejek.
"Koo Cai Sun, jahanam besar. Buka matamu lebar-lebar dan lihat baik-baik, siapakah aku?"
Cai Sun terbelalak, mukanya menjadi semakin pucat dan napasnya terengah-engah. Dia menderita pukulan batin yang amat menggetarkan jantungnya. Dengan tangan gemetar dia menuding ke arah muka Cui Hong.
"Kau.... kau....?"
Akan tetapi dia tidak mampu melanjutkan karena rasa takut dan ngeri sudah mencekik lehernya.
"Ya, akulah Kim Cui Hong. Lupakah engkau kepada gadis puteri Kim-kauwsu yang telah kauhina dan perkosa, kemudian kau buang seperti seekor binatang yang sudah hampir menjadi bangkai?"
Saking takutnya, Cai Sun lalu membalikkan tubuhnya dan meloncat untuk melarikan diri.
"Brukkkk!!"
Tubuhnya terjengkang karena tahu-tahu gadis itu telah berada di depannya, mendahuluinya dan menghadangnya, lalu menendang perutnya yang gendut.
"Ah, tidak.... aku.... aku hanya ikut-ikutan.... yang bersalah adalah dia....!"
Cai Sun dengan tubuh menggigil dan telunjuk tangan gemetaran menuding ke arah tubuh Ki Cong yang masih menggeletak tak jauh dari situ dan yang sedang memandang dengan mata melotot ketakutan.
"Dia? Dia akan mendapatkan gilirannya. Sekarang aku akan membalas dendamku kepadamu, Koo Cai Sun!"
"Tidak.... tidak!"
Dan t iba-tiba Cai Sun menjatuhkan diri berlutut di depan Cui Hong.
"Nona... Lihiap.... ampunkan saya.... ampunkan saya...."
Ratapnya.
Ratap tangis ini terdengar merdu bagaikan nyanyian bagi Cui Hong. la mendengarkan sambil tersenyum senang dan setelah Cai Sun berhenti memohon, menangis sambil berlutut, baru ia berkata dengan suara yang halus namun tajam menusuk.
"Jahanam busuk, keparat hina Koo Cai Sun, lupakah engkau betapa gadis Kim Ciu Hong itu pun meratap dan menangis, memohon ampun kepadamu dan tiga orang kawanmu yang memperkosa-nya? Akan tetapi kalian tertawa-tawa senang mendengar ia meratap, merintih dan menangis, melihat ia menggeliat-geliat kesakitan, terhina lahir batin, lupakah kamu?"
"Ampun..... Lihiap, ampunkan saya. Saya merasa menyesal sekali, saya bertobat, ah, ampunkan saya, kasihanilah keluarga saya, anak isteri saya...."
Kini Cai Sun tanpa malu-malu lagi menangis! Lenyaplah semua kegarangan dan dia merasa menyesal sekali.
Mengapa dia begitu bodoh, tidak mengenal Ok Cin Hwa sebagai musuh besarnya? Kini setelah tahi lalat itu terhapus, dia mengenal wajah itu, wajah yang tujuh tahun yang lalu pernah dikenalnya baik-baik sebagai wajah seorang gadis berusia Lima belas tahun, yang dipermainkannya sepuas hatinya, bersama Louw Ti, Gan Tek Un, dan didahului oleh Pui Ki Cong! Akan tetapi, ratapan ini bahkan menambah rasa sakit di hati Cui Hong, menambah kemarahannya seperti minyak bakar disiramkan pada api yang sudah menyala.
"Bangsat rendah! Lupakah kalian yang telah membunuh ayahku dan suhengku? Dan sekarang engkau minta aku mengasihani anak isterimu? bangkitlah dan lawanlah aku seperti seorang laki-laki. Engkau pengecut hina, bukan saja berwatak kejam dan jahat, akan tetapi juga pengecut tak tahu malu. Bangkitlah dan lawan aku, atau.... aku akan menyiksamu sekarang juga!"
Cai Sun adalah seorang yang amat licik dan cerdik. Dia pun maklum bahwa tidak ada gunanya segala macam ratap tangis itu, dan dia tadi melakukannya hanya terdorong oleh rasa takutnya, juga merupakan semacam siasat karena harus mencari jalan untuk dapat menyelamatkan dirinya. Ketika Cui Hong bicara, diam-diam tangannya merayap ke arah gagang sepasang senjatanya dan begitu Cui Hong habis bicara, tiba-tiba saja, dari keadaan berlutut, dia sudah meloncat dan menerjang dari bawah, sepasang siang-kek (tombak pendek) bercabang itu sudah menyambar dengan kecepatan kilat, yang kiri menyerang ke arah kaki, yang kanan ke arah pusar lawan!
"Mampuslah.!"
Dia membentak nyaring untuk mengejutkan lawan.
"Heiiiittt....!"
Dengan gerakan amat ringan, tubuh Cui Hong melayang ke atas belakang, lalu berjungkir balik sampai tiga kali baru turun ke atas tanah. Akan tetapi ternyata serangan Cai Sun yang hebat tadi hanya untuk mencari kesempatan saja, karena begitu lawan meloncat untuk mengelak, dia sudah membalikkan tubuhnya dan melarikan diri! Sesosok bayangan berkelebat melewatinya dan tahu-tahu Cui Hong telah menghadang di depannya sambil bertolak pinggang.
"Koo Cai Sun, engkau bukan saja seorang jahanam yang kejam dan jahat, akan tetapi juga pengecut dan curang!"
Di tangan Cui Hong tergenggam sebatang kayu ranting pohon dan melihat Ini, Cai Sun menjadi nekat. Dia tidak mempunyai jalan keluar lagi. Bagaimanapun juga, sepasang senjatanya masih berada di tangannya, sedangkan lawan hanya memegang sebatang kayu ranting. Mustahil kalau dia sampai kalah, pikirnya, maka tanpa banyak cakap lagi dia pun lalu menerjang maju sambil menggerakkan kedua tombak pendeknya yang mengeluarkan suara berdengung dibarengi angin pukulan yang keras dan sepasang tombak pendek itu pun lenyap berubah menjadi dua gulungan sinar.
Koo Cai Sun bukan seorang lemah. Ilmu silatnya tinggi dan dia pun sudah memiliki banyak pengalaman dalam pertempuran. Akan tetapi bagaimanapun juga, tingkat kepandaian Cui Hong kini sudah berada di atasnya. Ilmu silat yang dimiliki Cui Hong adalah ilmu-ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu silat Cai Sun. Selain itu, kalau Cui Hong tekun berlatih dan memiliki tenaga dan ketahanan yang kuat, sebaliknya Cai Sun yang setiap hari hanya suka mengejar perempuan dan bermain cinta saja menurutkan nafsu berahinya, menjadi semakin lemah tanpa disadarinya. Tenaganya banyak berkurang, napasnya pendek dan sebentar saja bersilat, dia telah menjadi lelah.
(Lanjut ke Jilid 10)
Sakit Hati Seorang Wanita (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 10
Akan tetapi, karena sekali ini dia harus melindungi nyawanya, dan dia maklum bahwa musuhnya takkan mau mengampuninya, dia menjadi nekat dan melawan mati-matian. Segala macam ilmu yang ada padanya dikeluarkannya, dan dia pun mengerahkan seluruh tenaga yang ada.
Tiba-tiba dia mengeluarkan gerengan keras dan dari tangan kakinya menyambar benda hitam ke arah perut dan dada lawan. Melihat senjata rahasia yang dilepas dari jarak dekat dan amat berbahaya ini, Cui Hong memutar rantingnya dan belasan batang paku hitam runtuh ke atas tanah. Melihat senjata rahasianya gagal, Cai Sun menekan gagang tombak pendeknya yang kanan dan dari gagang senjata ini pun meluncur sebatang anak panah kecil yang cepat sekali ke arah leher lawan! Cui Hong terkejut, tidak keburu menangkis maka ia mengelak dengan tubuh dimiringkan sambil mengerahkan sinkang melindungi tubuh atas.
"Takkk!"
Anak panah yang dielakkan itu luput dari leher akan tetapi mengenai pundak gadis itu dan meleset karena pundakitu telah dilindungi sinkang. Anak panah itu tidak melukai kulit, meleset dan hanya merobek baju di pundak saja.
Cui Hong tertawa mengejek.
"Keluarkan semua kepandaianmu, Koo Cai Sun, karena saat ini merupakan saat terakhir bagimu untuk dapat memamerkan kepandaianmu!"
Gulungan sinar yang dibentuk dari gerakan ranting itu semakin ketat mengepung Cai Sun, membuat dia menjadi semakin repot. Bukan hanya repot menghadapi ancaman ranting yang meno-tok-notok ke arah jalah darah di tubuhnya, akan tetapi juga repot mengatur pernapasannya yang hampir putus dan mempertahankan tubuhnya yang sudah hampir kehabisan napas.
"Pertahankan dirimu baik-baik, karena sebentar lagi aku akan membuat engkau kehilangan semua kepandaianmu, kehilangan semua tenaga dan daya tarikmu, dan kemudian sekali aku akan menyiksa dan membunuh anak-anak dan isterimu setelah aku membakar habis tokomu kemarin dulu. Puaslah hatiku sekarang, hik-hik!"
Cui Hong sengaja mengeluarkan kata-kata ini untuk menyiksa hati lawan.
Dan memang kata-kata itu mendatangkan rasa takut yang lebih berat bagi Cai Sun. Dia tahu bahwa wanita ini tidak hanya menggertak saja. Buktinya, tokonya sudah habis menjadi abu dan kini dia semakin terdesak dan dia tahu pula bahwa dia takkan dapat bertahan terlalu lama. Napas dan tenaganya semakin berkurang sedangkan wanita itu kelihatan semakin kuat dan semakin cepat saja. Dan siapa yang akan melindungi isterinya dan anak-anaknya kalau wanita ini mengganggu mereka?
Dia menjadi semakin nekat dan tanpa memperdulikan keselamatan diri sendiri dia menubruk maju untuk mengadu nyawa. Sepasang siang-kek di tangannya menyambar dari kanan kiri, atas bawah. Namun, dengan mudah Cui Hong mengelak dengan loncatan ke belakang dan begitu kedua senjata itu menyambar, ranting di tangannya menusuk dua kali dengan kecepatan kilat. Cai Sun mengeluarkan teriakan kaget karena kedua pergelangan tangannya seperti disengat, seketika lumpuh dan kedua senjatanya telah terlepas dari pegangan kedua tangannya. Sambil terkekeh Cui Hong menendang dua senjata itu sampai terlempar hilang ditelan kegelapan malam.
Pedang Pusaka Thian Hong Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo