Ceritasilat Novel Online

Sepasang Pendekar Kembar 4


Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo Bagian 4



"Kalau memang kami mengambil sikap bermusuhan, apakah kalian kira akan dapat keluar dari tempat ini?"

   Ciu Pek In kembali tertawa. Lie Eng mendengar semua ini lalu cepat membalikkan tubuh dan lari pulang, diikuti oleh Ouwyang Bu.

   "Sumoi... Bu-te... Tunggulah sebentar."

   Tapi kedua anak muda itu terus lari cepat tanpa menoleh lagi. Ouwyang Bun ragu-ragu hendak menyusul pula, tapi tiba-tiba Ciu Pek In berkata kepadanya,

   "Ouwyang-hengte, dengarlah kata-kataku sebentar. Kau adalah seorang muda yang panjang pikirannya dan cerdik, apakah masih juga belum dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah? Masih tidak percayakah kau bahwa perjuangan para pemberontak ini suci dan mulia?"

   Dan tiba-tiba Ouwyang Bun mengurungkan niatnya untuk mengejar adik dan su-moinya.

   "Bagaimana siauwte tidak merasa ragu dan bimbang? Memang kalau melihat lo-cianpwe dan saudara-saudara yang berada di sini, siauwte merasa tak percaya bahwa cuwi sekalian tergolong orang-orang yang jahat, perampok dan mengacau rakyat seperti yang sering kudengar dikatakan orang. Akan tetapi sebaliknya, apakah orang-orang seperti suhu, susiok bahkan ayahku sendiri dapat keliru dan salah?"

   Ciu Pek In tertawa sebelum menjawab.

   "Aku tidak pernah mempersalahkan susiok-mu. Cin-ciangkun adalah seorang perwira dan perajurit dan memegang teguh tugas kewajibannya sebagai seorang perajurit sejati. Juga suhumu tak dapat dipersalahkan, karena selain orang tua itu selalu berada di atas gunung hingga tak pernah melihat keadaan dunia ramai dan tidak tahu pula kelaliman raja dan para pembesar korup, juga karena ia percaya penuh kepada sute-nya, yakni Cin-ciangkun, yang dianggapnya sedang bertugas membasmi segala gerombolan perampok jahat. Adapun tentang orang tuamu, yah, aku tak dapat memberi sambutan apa-apa terhadap pandangan seorang hartawan besar seperti ayahmu itu."

   Diam-diam Ouwyang Bun merasa heran sekali terhadap orang tua yang agaknya mengerti segala apa tentang dirinya dan guru serta orang tuanya.

   "Anak muda, akupun tidak menyalahkan kau, karena kau masih hijau dan belum berpengalaman. Cobalah kau merantau dan lihatlah dunia dengan segala isinya ini sambil mempergunakan pertimbanganmu, maka kau akan mengerti mengapa orang seperti kami sampai memberontak terhadap kaisar yang memegang pemerintahan pada masa ini."

   Dengan hati bingung dan pikiran kacau, Ouwyang Bun akhirnya minta diri dan lari pulang ke markas Cin-ciangkun. Ternyata sumoinya yang sudah tidak tahan lagi pada malam itu juga pergi ke kamar ayahnya dan membangunkan orang tua ini lalu menceritakan pengalamannya.Cin Cun Ong mendengar ini menjadi marah sekali dan ia berjalan hilir-mudik di dalam kamarnya sambil menggigit-gigit bibir dengan gemas.

   "Kurang ajar. Pantas saja mereka tak pernah menyerang, tidak tahunya mengatur muslihat curang. Celaka, kita harus cepat-cepat mundur untuk menjaga serangan mereka di pedalaman."

   Ketika Ouwyang Bun tiba di markas, ternyata panglima tua itu telah mengumpulkan semua perwira dan pemimpin pada malam hari itu juga.

   "Besok pagi-pagi, di waktu fajar menyingsing, kita semua harus mundur dan berpencar menjadi lima. Sebagian harus tinggal di sini untuk tetap menjaga, kalau-kalau ada barisan pembantu pemberontak hendak lewat di sini. Aku sendiri pimpin barisan induk langsung menuju ke kota raja. Sisa barisan semua menuju ke barat dan bermarkas di kota See-bun, bersatu dengan kesatuan di bawah pimpinan Lu-ciang-kun. Jurusan barat itu harus diperkuat karena kuduga bahwa barisan pimpinan Thio Sian Tiong ini tentu hendak bergabung dengan sisa barisan Lie Cu Seng dari barat."

   Setelah memberi instruksi secara cermat kepada semua perwira dan pemimpin regu, pertemuan lalu dibubarkan untuk memberi kesempatan kepada mereka bersiap dan berkemas. Cin Cun Ong lalu memanggil menghadap ketiga orang tua yang menjadi pembantunya itu, yakni Khu Ci Lok si Huncwe Maut dan kedua temannya.

   "Sam-wi ketahui sendiri bahwa tugasku di sini gagal. Kalau memang sam-wi berniat membasmi kaum pemberontak, silakan menggabung dengan para pahlawan keraton yakni barisan Sayap Garuda atau Kuku Garuda. Dapat juga sam-wi bekerja sendiri, karena kini pemberontak telah masuk di pedalaman hingga di mana-mana mereka mungkin bergerak."Kemudian panglima tua itu memberi bekal beberapa kantung emas dan perak kepada tiga orang itu sambil memberi petunjuk-petunjuk. Lalu ia panggil Ouwyang-hengte.

   "Kalian berdua telah berjasa karena dengan kenekatanmu keluar dari sini malam tadi dan telah membuka rahasia mereka. Kalian merasa bosan dan tidak senang karena di sini menganggur saja? Nah, di pedalaman akan terjadi banyak pertempuran dan kalian boleh membantu aku membasmi anggauta gerombolan itu sebanyak mungkin. Kita menuju ke kota raja."

   Ouwyang Bun berkata,

   "Susiok, kalau kiranya susiok mengijinkan, teecu ingin sekali meluaskan pengalaman dengan merantau, karena sejak turun gunung teecu terus langsung ke sini dan belum mendapat pengalaman. Maka, ijinkanlah teecu berdua menuju ke kota raja dengan jalan memutar dan biarlah teecu menjumpai susiok di kota raja dan menggabungkan diri di sana."

   Cin Cun Ong tidak keberatan dan memberi pesan agar kedua murid keponakan itu berlaku hati-hati di sepanjang jalan. Maka pada keesokan harinya berangkatlah semua orang memenuhi tugas masing-masing. Berbeda dengan rombongan Cin-ciangkun yang menuju langsung ke selatan, Ouwyang-hengte memutar ke barat. Tapi ketika mereka melarikan kuda belum ada dua puluh li meninggalkan benteng itu, tiba-tiba dari belakang terdengar suara kaki kuda dilarikan dengan cepat dan ketika mereka menengok, ternyata yang mengejar mereka adalah Cin Lie Eng.

   "Eh, sumoi, engkau menyusul kami?"

   Terdengar Ouwyang Bu berseru girang sekali hingga kakaknya diam-diam memperhatikan adiknya ini, karena semenjak pergi tadi adiknya tampak tidak gembira, tapi kini tiba-tiba melihat sumoi itu lalu berobah menjadi girang sekali.

   "Aku hendak ikut kalian merantau."

   Jawab Lie Eng dengan muka merah karena tadi ia terlalu cepat melarikan kudanya.

   "Sumoi, apakah hal ini sudah mendapat persetujuan ayahmu?"

   Tanya Ouwyang Bun. Lie Eng memandangnya dengan mata berseri.

   "Tentu saja, twa-suheng. Ayah juga menganggap ada baiknya aku mencari pengalaman, sekalian memata-matai keadaan dan gerakan lawan."

   Ouwyang Bun tak dapat mengatakan ketidakcocokan hatinya terhadap sumoinya ini dan terpaksa menerimanya. Mereka bertiga lalu melanjutkan perjalanan dengan perlahan sambil mengobrol dan melihat-lihat pemandangan di sepanjang jalan. Di sepanjang jalan, dengan diam-diam Ouwyang Bun memperhatikan keadaan rakyat dan keadaan kampung-kampung serta kota-kota. Sedikit demi sedikit terbukalah matanya terhadap kenyataan yang pahit dan menyakitkan hati. Memang, semenjak pertemuannya dengan Ciu Pek In, dalam hatinya timbul keraguan akan kesucian tugas yang sedang dijalankan oleh susioknya. Dalam pandangannya, Ciu Pek In tampak begitu gagah dan budiman, sedangkan kedua nona yang menjadi murid Ciu Pek In tampak begitu cantik dan gagah.

   Orang-orang macam itukah yang harus dibasmi? Ia kini melihat betapa semua sawah ladang yang berada di bumi Tiongkok sebagian besar dimiliki oleh beberapa gelintir orang saja, pertama-tama oleh para pembesar negeri, dari lurah sampai yang berpangkat tinggi, kedua oleh para hartawan yang seakan-akan menjadi raja kecil di kampung-kampung. Pada suatu hari mereka bertiga masuk ke dalam sebuah kampung yang cukup besar dan ramai. Ketika tiba di sebuah jembatan, terpaksa mereka hentikan kuda mereka karena jembatan itu penuh dengan orang-orang. kampung yang sedang mengelilingi seorang laki-laki tua yang sedang menangis. Mereka memegangi kedua lengan orang tua itu dan membujuk-bujuk-nya. Ouwyang Bun segera meloncat turun dari kuda dan bertanya kepada seorang di antara mereka?

   "Eh, laoko, apakah yang terjadi di sini?"

   Orang itu menengok dan ketika melihat Ouwyang Bun dan kedua kawannya ber pakaian sebagai orang-orang gagah berpedang, segera memberi hormat dan berkata perlahan,

   "Siapa lagi kalau bukan seorang daripada pembesar-pembesar busuk yang menyusahkan kehidupan kami? Sekarang yang menjadi korban adalah empek she Lim ini. Ia adalah penduduk kampung ini semenjak mudanya, hidup sebagai petani miskin. Tapi ia cukup beruntung karena anak perempuannya telah kawin dengan seorang pemuda tani yang pandai bekerja hingga penghidupan empek ini dan anaknya terjamin. Empek Lim demikian senang melihat keadaan anaknya yang telah kawin dengan baik-baik hingga ia ingin menyatakan terima kasihnya kepada Yang Mahakuasa maka diajaknya anak dan mantunya pergi ke kota Lam-ciu untuk bersembahyang di kelenteng. Tapi tiba-tiba datang malapetaka menimpanya. Di dalam kota, anak perempuannya terlihat oleh tikwan kota Lam-ciu yang terkenal mata keranjang, hingga pembesar itu mengucapkan kata-kata yang menghina dan memalukan anak perempuan empek Lim itu. Tentu saja anaknya menjadi marah dan melawannya. Tikwan itu lalu bertindak dan anak mantu empek Lim ditangkap dengan tuduhan yang telah men bosankan kami."

   "Tuduhan apa?"

   Ouwyang Bun bertanya penasaran, sementara itu, Ouwyang Bu dan Lie Eng juga sudah mendekat dan mendengarkan.

   "Apalagi? Tentu saja tuduhan sebagai kaki tangan pemberontak. Juga anak perempuannya ditangkap. Kemudian pembesar itu diam-diam memberi tahu kepada empek Lim bahwa, jika ia memberikan anak perempuannya dengan baik-baik untuk menjadi bini muda tikwan itu, maka anak mantunya boleh pulang dengan aman, akan tetapi kalau tidak, maka anak mantunya akan dihukum

   (Lanjut ke Jilid 03)

   Sepasang Pendekar Kembar/Ouw Yang Heng Te (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 03

   terus, sedangkan anak perempuannya juga akan ditahan."

   Orang itu menghela napas.

   "Dan sekarang mengapa banyak orang membujuk-bujuk empek itu di sini?"

   Tanya Lie Eng yang juga sangat tertarik dan penasaran oleh kelakuan tikwan jahanam itu.

   "Pagi tadi empek Lim hendak bunuh diri dan terjun ke dalam sungai yang curam itu, maka ia dicegah oleh, orang banyak dan dibujuk-bujuknya supaya jangan mengambil keputusan pendek dan-nekat."

   Ouwyang Bu tidak sabar lagi. Ia bertindak maju mendekati empek Lim itu dan berkata,

   "Orang tua, jangan kau khawatir. Kami bertiga sanggup menolongmu."

   Kakek itu heran mendengar kata-kata ini karena terdengar baru dan ganjil. Semenjak ia mendapat kesusahan ini, orang-orang hanya menghiburnya dan minta ia menyerahkan nasib kepada Yang Maha Kuasa. Tapi anak muda ini sanggup menolongnya, maka ia lalu mengangkat muka memandang. Melihat betapa anak muda itu berpakaian dan berwajah tampan dan gagah, serta di pinggang tampak gagang pedang,, tiba-tiba ia mendapat harapan besar. Ia lalu maju berlutut di depan Ouw-yang Bu dan kedua kawannya yang juga mendekatinya.

   "Kalau enghiong bertiga dapat menolong tak dan mantuku, aku yang tua akan bersembahyang siang malam memohon kepada Thian agar membalas budi kalian orang-orang gagah."

   Kata-kata yang diucapkan dengan bibir gemetar dan mata basah ini membuat Lie Eng merasa terharu.

   "Hayo antar kami ke kota Lam-oiu untuk bertemu dengan tikwan itu."

   Kata gadis itu dengan gagah. Melihat peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya itu, yakni betapa ada orang-orang muda yang hendak melawan tikwan, orang-orang kampung merasa heran dan gembira dan segera ada orang yang meminjamkan seekor kuda kepada empek Lim ke Lam-ciu. Ketika mereka tiba di kota Lam-ciu mereka langsung menuju ke gedung tikwan. Melihat gedung yang angker dan megah itu, empek Lim menggigil karena bagaimana mereka dapat melawan seorang pembesar yang memiliki kekuasaan Tapi Lie Eng menghiburnya.

   "Jangan kau takut, lopeh, aku yang tanggung bahwa, anak dan mantumu pasti akan dibebaskan?"

   Mendengar suara gadis yang gagah itu, empek Lim merasa agak terhibur. Kedatangan mereka berempat disambut oleh penjaga pintu dan Ouwyang Bu berkata kepadanya,

   "Beritahukan kepada tikwan bahwa kami hendak bertemu."

   Penjaga itu menjadi marah melihat lagak mereka dan sebentar saja lima orang penjaga telah menghadapi mereka.

   "Kami bertiga sengaja mengantar empek Lim ini untuk menghadap kepada tikwan dan minta keadilan,"

   Kata Ouwyang Bun yang tidak mau menerbitkan keributan dengan penjaga itu.

   "Tunggu saja di sini, akan kami laporkan...' kata kepala penjaga yang lalu masuk ke dalam. Tak lama kemudian penjaga itu datang dan mereka diperkenankan masuk, tapi dikawal oleh belasan penjaga. Tikwan kota Lam-ciu adalah seorang gemuk yang bermulut lebar. Ketika ia keluar dengan pakaian kebesaran, wajahnya nampak pucat dan kepalanya dibalut. Begitu keluar dan melihat para tamunya yang memakai pedang di pinggang, ia segera menuding ke arah Ouwyang-hengte dan Lie Eng sambil berseru keras,

   "Nah, inilah orang-orangnya. Tangkap... tangkap mereka..."

   Para penjaga yang belasan jumlahnya itu segera maju mengurung hingga Ouwyang-hengte dan Lie Eng menjadi marah sekali. Mereka cepat mencabut pedang, dan Lie Eng meloncat bagaikan seekor burung ke arah tikwan itu lalu ia pegang pundaknya dan pedangnya ditempelkan di lehernya.

   "Kalau orang-orangmu bergerak, maka lehermu akan kuputuskan lebih dulu."

   Ancamnya dengan marah dan gemas.

   "Ampun... ampun, lihiap... ampun.,"

   Tikwan itu ketakutan dan ia membentak para kaki tangan.

   "Eh, kalian... mundur..."

   "Kau anjing gemuk. Tidakkah kau tahu sedang berhadapan dengan siapa? Kalau aku beri tahu kepada ayahku, pasti dengan tangannya sendiri ia akan mematahkan batang lehermu. Kau kenal ayah? Namanya Cin Cun Ong, kenalkah kau??"

   Makin takutlah tikwan itu mendengar nama Cin Cun Ong. Ia kini ingat bahwa Cin-ciangkun yang berpengaruh itu mempunyai seorang puteri yang gagah perkasa. Jadi inikah puterinya itu?

   "Ampun, lihiap... ampun. Apakah salahku maka lihiap memberi pengajaran? Aku... aku tidak bersalah apa-apa terhadap Cin-ciangkun..."

   "Kau memang tidak bersalah terhadap kami, tapi apa yang telah kau lakukan terhadap keluarga Lim? Lihatlah kepada empek ini, apa yang telah kau perbuat terhadap anak perempuan dan menantunya?"

   "Aku... aku... ah, mereka itu adalah pemberontak-pemberontak, lihiap. Menantunya adalah anggauta pemberontak, maka kusuruh tangkap."

   Tiba-tiba ia mendapat pikiran baik dan berkata dengan penuh semangat.

   "Lihatlah ini, lihiap. Aku dapat membuktikan bahwa menantu kakek Lim adalah pemberontak jahat, bahkan kakek Lim inipun tadinya hendak kusuruh tangkap hari ini juga. Malam tadi telah datang kawan-kawan menantunya dan apa yang mereka lakukan terhadapku? Lihatlah, sendiri."

   Tikwan itu lalu melepaskan pembalut kepalanya dan ternyata telinga kirinya terpotong dan lenyap. Kemudian secara singkat tikwan itu menceritakan betapa tadi malam kamarnya didatangi dua orang yang masuk dari jendela. Orang-orang itu mengancamnya untuk melepaskan menantu dari anak kakek Lim dan dengan pedang mereka lalu menyabet putus telinga kirinya. Dan di dalam kamarnya, di dinding yang putih, mereka gunakan darah yang mengucur dari telinganya untuk melukis sebatang bunga bwee. Mendengar penuturan ini, Lie Eng saling pandang dengan Ouwyang-hengte.

   "Aku tidak percaya, yang perlu sekarang lekas keluarkan dan bebaskan anak dan menantu kakek ini."

   Tapi pada saat itu, datang masuk sambil berlari-lari seorang berpakaian penjaga.

   "Celaka, taijin. Dua orang penjaga penjara terbunuh mati dan menantu kakek Lim telah dibawa kabur penjahat. Juga... anak perempuannya telah lenyap dari kamar tahanan."

   Tikwan itu menjadi pucat.

   "Nah, inilah bukti lebih nyata lagi, lihiap. Mereka itu pasti pemberontak-pemberontak jahat. Lekas tangkap anjing tua ini."

   Ia memerintahkan orang-orangnya. Tapi Lie Eng mencegah.

   "Lepaskan dia. Dia orang tua, tidak tahu apa-apa. Lim-lopeh, sekarang pulanglah kau. Anak dan menantumu ternyata telah ditolong oleh orang-orang lain."

   Suara Lie Eng mengandung nada tak senang karena kini iapun percaya bahwa menantu kakek Lim itu tentu anggauta pemberontak.

   "Mari kita periksa lukisan di dinding kamarmu,"

   Katanya kepada tikwan itu yang lalu mengantar mereka bertiga ke kamarnya. Tikwan ini benar-benar takut dan tunduk kepada Lie Eng, karena nama Cin Cun Ong yang terkenal, sebagai seorang jenderal perang yang keras, jujur, dan suka bertindak terhadap siapa saja yang tidak benar dalam anggapannya itu membuat semua pembesar merasa takut. Kini menghadapi puleri panglima tua itu, tentu saja ia merasa gemetar apalagi karena tahu bahwa gadis ini memiliki kepandaian tinggi dan kini datang berkawan pula. Benar saja, di atas dinding yang putih terdapat lukisan setangkai bunga bwee yang indah, dilukis dengan menggunakan tinta darah.

   "It-to-bwee (Setangkai Bunga Bwee)?? Siapakah mereka ini?"

   Tanya Lie Eng. Tapi Ouwyang-hengte yang baru saja muncul dalam dunia ramai, tentu saja belum pernah mendengar nama ini. Setelah mereka keluar dari gedung tikwan, Ouwyang Bun berkata kepada Lie Eng,

   "It-to-bwee tidak ada hubungannya dengan kita, untuk apa kita urus mereka? Asalkan mereka tidak mengganggu kita, biarkan sajalah. Lebih baik kita lanjutkan perjalanan kita."

   Lie Eng mengerutkan jidatnya yang berkulit halus.

   "Tidak tahukah kau bahwa mereka itu mungkin anggauta-anggauta pemberontak yang berada di kota ini, kita harus cari dan basmi mereka. Demikianlah pesan ayah. Coba saja ingat, malam tadi mereka telah melukai seorang tikwan dan membunuh mati dua orang penjaga."

   "Tapi mereka lakukan itu untuk menolong empek Lira dan anak menantunya. Bukankah kita juga tadinya bermaksud menolong mereka? Sudah sepatutnya tikwan jahanam itu mendapat hukuman."

   Kata Ouwyang Bun.

   "Kalau semua orang boleh saja membunuh pegawai pemerintah, maka di manakah kewibawaan pemerintah. Tidak, twa-suheng, bagaimanapun, sudah kewajiban kita untuk mencari It-to-bwee ini dan menyelidikinya, apakah betul-betul orang-orang ini anggauta pemberontak yang perlu dibasmi."

   Ouwyang Bun melihat betapa adiknya diam saja mendengar perbantahannya dengan Lie Eng, lalu bertanya untuk minta bantuan,

   "Bagaimana pikiranmu, Bu-te? Apakah kita harus mencari mereka itu atau kita biarkan saja dan melanjutkan perjalanan kita?"

   Setelah memandang kepada Lie Eng, Ouwyang-Bu menjawab,

   "Aku sependapat dengan suraoi."

   Mendengar jawaban ini, Lie Eng nampak gembira sekali dan lalu berkata dengan suara halus kepada Ouwyang Bun,

   "Twa-suheng, mungkin kau juga benar dan mungkin mereka ini bukanlah anggauta pemberontak, tapi hanyalah orang-orang gagah yang merantau dari dunia kang-ouw. Tapi tidak ada salahnya kalau kita mencoba selidiki dulu. Kalau mereka ternyata orang-orang gagah, lebih baik lagi, kita bisa berkenalan dengan mereka. Bukankah ini baik sekali?"

   Kata-kata ini diikuti senyuman manis hingga Ouwyang Bun terpaksa menurut.

   "Tapi ke mana kita harus mencari mereka?"

   Tanya Ouwyang Bu. Sebelum Lie Eng dapat menjawab pertanyaan sukar ini, Ouwyang Bun yang berotak cerdik berkata,

   "Mereka telah menolong dan membawa pergi anak perempuan serta menantu empek Lim. Maka bagaimanapun juga, mereka pasti akan menghubungi empek Lim. Kalau hendak mencari tahu tentang mereka, tiada jalan lain kecuali menghubungi kakek itu."

   Lie Eng bertepuk tangan memuji.

   "Twa-suheng memang cerdik."

   Ouwyang Bun melirik ke arah gadis itu dan diam-diam dalam hatinya ia memuji,

   "Ah, kau sendiri yang cerdik luar biasa. Kau kira aku tidak tahu bahwa pujian-pujianmu ini sengaja, kau keluarkan untuk menyenangkan hatiku karena kalah dalam perbantahan tadi?"

   Memang Lie Eng adalah seorang gadis yang berpikiran cepat dan cerdik. Sebelum Ouwyang Bun mengeluarkan pendapatnya, memang ia telah berpendapat bahwa mereka harus mencari melalui empek Lim, tapi ia terlampau cerdik untuk menyatakan ini dan biarlah Ouwyang Bun yang mengemukakan pendapatnya. Gadis ini setelah kenal baik dengan Ouwyang-hengte, dapat membedakan, kedua saudara itu, tidak saja membedakan rupa, tapi juga keadaan dan perangai mereka. Ia tahu bahwa Ouwyang Bu keras hati dan jujur, tapi tidak sepandai Ouwyang Bun yang sangat cerdik dan berbudi halus itu. Hanya satu hal yang tak diketahui oleh gadis itu, yakni bahwa di dalam dada Ouwyang Bun telah timbul perang pertimbangan dan perasaan mengenai baik buruk dan benar salahnya orang-orang yang mereka sebut pemberontak jahat itu.

   Sebaliknya, dalam pikiran Ouwyang Bun sama sekali tiada sangkaan bahwa diam-diam gadis yang gagah dan cantik jelita itu telah jatuh hati kepadanya. Sementara itu, sikap Ouwyang Bu yang terus terang dan jujur membuat Ouwyang Bun dan Lie Eng tahu jelas bahwa pemuda ini mencintai Lie Eng. Demikianlah, setelah mengambil keputusan, ketiganya lalu cepat menyusul empek Lim yang pulang ke kampungnya menunggang kuda pinjamannya dengan cepat. Dan ketika empek ini sudah mengembalikan kuda kepada pemiliknya dan pulang ke rumah, ia mendapatkan sebuah surat di dalam kamarnya. Dengan cepat ia buka surat itu dan tangannya yang sudah tua itu gemetar ketika membaca isinya,

   "Empek Lim yang baik. Aku dan kawan-kawanku telah menolong dan membebaskan anak serta menantumu dari cengkeraman pembesar korup. Tak mungkin menyuruh mereka pulang ke kampung karena pasti akan dicari oleh pembesar jahanam itu. Juga dengan suka rela menantumu hendak ikut dengan kami. Kalau kau hendak bertemu dengan mereka, datanglah malam ini di hutan sebelah timur kampung Tanda lukisan It-to-bwee."

   Girang sekali hati empek Lim membaca surat ini. Ah, benar saja anak dan menantunya telah selamat. Tapi mengapa mereka hendak ikut dengan para penolong itu? Siapakah mereka ini dan mengapa anak dan menantunya hendak ikut mereka? Pada saat itu, dari luar jendela terdengar suara,

   "Empek, tolong kau perlihatkan surat itu kepada kami."

   Dan sebelum hilang kagetnya tahu-tahu tiga orang dengan gerakan cepat sekali telah berada di dalam kamarnya dengan meloncati jendela. Tapi kekagetan kakek Lim segera lenyap ketika melihat bahwa yang datang adalah tiga anak muda yang menolongnya tadi. Ia segera menjatuhkan diri berlutut di depan mereka, tapi Ouwyang Bun cepat mengangkatnya bangun. Tanpa sangsi-sangsi lagi kakek-itu memberikan surat yang baru saja dibacanya kepada Lie Eng. Dara ini mengangguk-angguk karena ia makin yakin bahwa It-to-bwee dan kawan-kawannya adalah para anggauta pemberontak, dapat diketahui dari sebutan-sebutan mereka kepada pembesar yang penuh dengan kebencian dan makian.

   "Lopeh, hati-hatilah kau malam nanti, jangan sampai ada orang yang mengikutimu,"

   Pesan Lie Eng. Mereka bertiga lalu meninggalkan kakek itu.

   "Bagaimana, twa-suheng. Bukankah mereka itu mencurigakan sekali?"

   Tanya Lie Eng. Ouwyang Bun harus mengakui bahwa ia kini juga menyangka bahwa mereka itu adalah anggauta pemberontak. Tapi dugaan ini bahkan mempertebal rasa kagumnya terhadap sepak terjang kaum pemberontak. Kini ia dapat menduga mengapa kaum pemberontak itu demikian banyak mendapat bantuan para petani dan orang-orang miskin. Ternyata perbuatan mereka yang selalu menolong kaum lemah dan miskin tertindas, membuat rakyat kecil merasa simpati dan membantu mereka, seperti halnya dengan menantu empek Lim yang telah tertolong itu, kini secara suka rela agaknyapun hendak masuk menjadi anggauta pemberontak.

   "Lebih baik kita mendahului mereka dan menyelidiki sekarang juga ke hutan itu, ia utarakan pikirannya. Lie Eng dan Ouwyang Bu setuju dan berangkatlah mereka ke hutan di sebelah timur kampung, hutan ini memang lebat dan liar, penuh pohon siong yang telah puluhan tahun umurnya. Ouwyang-hengte dan Lie Eng menambatkan kuda mereka di luar hutan dan masuk hutan dengan jalan kaki. Mereka tak dapat menggunakan kuda karena kaki kuda bersuara berisik, menimbulkan kecurigaan.dan mudah diketahui orang dari jauh. Pada waktu itu hari telah, mulai gelap, lebih-lebih di dalam hutan yang penuh pohon-pohon besar itu. Setelah masuk di tengah-tengah hutan, ketiga anak muda itu melihat sekelompok orang duduk mengelilingi api unggun.

   Mereka segera menghampiri kelompok orang itu sambil sembunyi-sembunyi di belakang rumpun. Dan ketika melihat orang-orang itu, terkejutlah Ouwyang-hengte dan Lie Eng. Ternyata di antara beberapa orang yang tidak mereka kenal, tampak kedua orang gadis berpakaian laki-laki murid Ciu Pek In, dan di situ terdapat pula Lui Kok Pauw, murid Kengan-san yang pernah mereka jumpai di tempat Gak Liong Ek Si Naga Terbang dari Liok-hui dulu. Sungguh-sungguh di luar dugaan mereka, dan kini tak dapat diragukan lagi bahwa mereka ini adalah anggauta-anggauta pemberontak, bahkan tokoh-tokoh yang penting. Di antara mereka tampak juga seorang laki-laki muda dan seorang perempuan yang berpakaian petani tapi berwajah cantik, maka mereka bertiga dapat menduga bahwa kedua orang itu tentu anak dan menantu dari kakek Lim.

   "Bagaimana, sumoi? Kita serbu saja?"

   Ouwyang Bu berbisik perlahan kepada Lie Eng. Melihat bahwa keadaan para anggauta pemberontak itu tidak sekuat dulu, karena hanya terdiri dari tujuh orang saja, sedangkan yang sudah ketahuan kehebatannya hanyalah kedua murid Ciu Pek ln dan Lui Kok Pauw saja, maka Lie Eng memberi tanda setuju dengan anggukan kepala. Tapi Ouwyang Bun berpikir lain.

   "Sabar dulu,"

   Bisiknya,

   "lebih baik kita muncul dengan baik-baik dan menanyakan It-to-bwee yang berada di antara mereka, dan kita lihat saja sikap mereka bagaimana."

   Lie Eng dan Ouwyang Bu sebetulnya tidak menyetujui sikap sabar terhadap para pemberontak yang jelas menjadi musuh-musuh mereka itu, tapi tidak mau berbantah pada saat seperti itu. Mereka lalu keluar dari tempat persembunyian dan dengan beberapa kali loncatan saja mereka telah berada di dekat mereka. Tapi sungguh aneh, orang-orang yang mengelilingi api unggun itu tidak melihat kedatangan mereka. Bahkan Lui Kok Pauw hanya menengok sebentar kepada mereka dengan acuh tak acuh. Murid pertama dari Ciu Pek In, yakni gadis yang lebih tua daripada Siauw Leng yang dulu pernah mencoba kepandaian Ouwyang Bu, agaknya menjadi pemimpin kelompok itu, karena ia segera berdiri menyambut Ouwyang-hengte dan Lie Eng, menjura sebagai pemberian hormat lalu berkata,

   "Sam-wi telah sudi mengunjungi tempat kami yang kotor, silakan duduk dekat api. Maaf bahwa kami tak dapat menyediakan tempat yang lebih baik kepada sam-wi, tapi agaknya dekat api lebih baik daripada di belakang rumpun alang-alang itu, ia menunjuk ke arah di belakang rumpun di mana tadi mereka bertiga bersembunyi.

   "Kau sudah tahu bahwa kami tadi bersembunyi di sana, nona?"

   
Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tanya Ouwyang Bun kagum. Nona itu tersenyum dan wajahnya yang gagah itu tiba-tiba berobah manis sekali, hingga dalam pandangan Ouwyang Bun, gadis ini bahkan lebih cantik daripada Lie Eng. Sayang bahwa pakaian dan topinya yang seperti laki-laki itu menyembunyikan kecantikannya.

   "Bukankah sam-wi mencari It-to-bwee?"

   "Di manakah pemberontak itu?"

   Tiba tiba Lie Eng maju dan bertanya dengan suara keras. Gadis itu menghadapi Lie Eng dengan senyum sabar.

   "Nona Cin, kau sungguh cantik dan gagah, pantas menjadi puteri Cin-ciangkun. Kau mau mencari It-to-bwee? Akulah orangnya, dan namaku Cui Sian."

   "Bagus, dan mana kawanmu yang pergi bersamamu membunuh penjaga penjara?"

   Tanya Lie Eng sambil mencabut pedangnya.

   "Akulah orangnya, kalian sudah kenal padaku, bukan?"

   Dan meloncatlah Siauw Leng menghadapi Lie Eng. Gadis yang lincah ini tersenyum dan matanya berseri-seri memandang ke arah Ouwyang Bu.

   "Kalau begitu, menyerahlah kalian."

   Bentak Ouwyang Bu. Cui Sian tertawa dengan nyaring.

   "Kalian ini sungguh harus dikasihani. Benar seperti kata suhu bahwa kalian adalah tiga batang kembang teratai yang tumbuh di. dalam lumpur. Tanpa sadar kalian telah menghambakan diri kepada raja lalim, memusuhi pejuang-pejuang rakyat. Tanpa disadari membela para pembesar ganas, pemeras rakyat jelata."

   Mendengar ini, Lie Eng tak dapat mengendalikan kesabaran hatinya lagi.

   "Bangsat pemberontak."

   Makinya dan pedangnya berkelebat menyambar. Tapi dengan gesit sekali Cui Sian dapat mengelakkan serangan itu sambil mencabut pedang.

   "Kau hendak menguji kepandaian? Baik, baik, mari kita main-main sebentar, agar kau ketahui kehebatan It-to-bwee."

   Maka bertempurlah Lie Eng dan Cui Sian. Keduanya sama gesit dan sama mahir mempermainkan pedang. Keduanya sama-sama murid tokoh persilatan yang tenar namanya. Sebagai puteri tunggal dari Cin Cun Ong, tentu saja Lie Eng memiliki kepandaian silat dan ilmu pedang yang luar biasa, karena sepasang pedang (siang-kiam) di tangannya itu dimainkan dengan ilmu silat pedang-berpasang ciptaan ayahnya sendiri yang disebut Im-yang Siang-kiam-hoat. Begitu ia putar kedua pedangnya, lenyaplah tubuhnya terbungkus sinar kedua pedangnya itu. Tapi ia kini menghadapi Cui Sian, murid pertama dari Ciu Pek In yang terkenal sebagai Si Naga Sakti. Cui Sian atau yang dijuluki It-to-bwee (Setangkai Kembang Bwee) segera memutar pedangnya dalam gerakan ilmu silat Sin-liong Kiam-sut yang memiliki sinar panjang dan kuat.

   Gerakan pedangnya seperti gelombang samudera yang menelan sinar kedua pedang Lie Eng, tapi karena Lie Eng mempunyai ilmu pedang Im Yang yang gerakannya sangat bertentangan yang kiri dengan tenaga kekerasan, sebaliknya yang kanan digunakan dengan tenaga lembek, dan begitu sebaliknya hingga untuk beberapa puluh jurus mereka bertempur dengan hebat dalam keadaan berimbang. Akan tetapi, setelah bertempur seratus jurus, diam-diam Lie Eng mengakui bahwa kepandaian lawan ini sungguh hebat dan luar biasa, dan mulailah ia terdesak. Tiba-tiba terdengar bentakan Ouwyang Bu yang tidak enak harus tinggal diam saja melihat Lie Eng terdesak. Ia menyerbu masuk ke dalam kalangan pertempuran dengan pedang di tangan. Tapi ia disambut oleh Siauw Leng, yakni adik dari Cui Sian.

   Seperti dulu, kedua anak muda ini bertanding lagi. Tapi kalau dulu mereka hanya bertanding tangan kosong, kini keduanya menggunakan pedang. Juga Ouwyang Bu begitu pedangnya terbentur dengan pedang Siauw Leng, harus mengakui bahwa gadis yang lincah ini memiliki tenaga lweekang dan gerakan pedang yang hebat dan merupakan lawan yang kuat. Ouwyang Bun berdiri bingung. Haruskah ia turun tangan? Ia melihat bahwa selain Lui Kok Pauw, di situ masih ada tiga o-rang lagi yang agaknya memiliki kepandaian tinggi, maka andaikata ia maju pula turun tangan, belum tentu pihaknya akan mendapat kemenangan, dan hasil dari serbuan ini tentu hanya akan memperhebat permusuhan belaka. Oleh karena itu ia mencabut pedangnya dan meloncat memisah Cui Sian dan Lie Eng yang sedang bertempur sambil berkata,

   "Sumoi, tahan."

   Lie Eng melohcat mundur dan merasa girang karena menyangka bahwa Ouwyang Bun hendak menggantikannya, tapi ia kecewa melihat bahwa Ouwyang Bun hanya memisah saja, bahkan kini membentak adiknya supaya menghentikan pertempurannya. Ouwyang Bu dengan bersungut-sungut juga meloncat mundur dan pertempuran dihentikan. Orang-orang yang mengelilingi api unggun tetap di tempatnya tidak bergerak.

   "It-to-bwee, kau memang gagah dan maafkan kami- kalau mengganggu. Biarlah lain kali kita bertemu pula."

   Kata Lie Eng dengan hati gemas kepada Ouwyang Bun yang tak mau membantunya.

   "Nona Cin, kau juga hebat,"

   Jawab Cui Sian sambil tersenyum.

   "sayang kita dilahirkan di tempat yang berbeda, kalau tidak, aku akan senang sekali bersahabat dengan kau."

   Tanpa menjawab dan dengan muka cemberut menandakan bahwa hatinya masih merasa dendam dan jengkel karena tak dapat mengalahkan lawannya, Lie Eng lalu meloncat pergi, diikuti oleh Ouwyang Bu. Sementara itu, Ouwyang Bun menjura kepada Cui Sian sambil berkata,

   "Kulihat bahwa nona dan kawan-kawan nona adalah orang-orang perwira yang memiliki kepandaian tinggi dan orang baik-baik, tapi mengapa sampai menjadi anggauta pemberontak?"

   Nona itu memandang wajah Ouwyang Bun dengan tajam dan tiba-tiba muka yang tadinya lemah lembut itu kini tampak berapi ketika ia berkata,

   "Sudahlah. Kau yang dilahirkan di air laut tentu menganggap bahwa semua air rasanya asin dan tidak tahu bahwa air daratan adalah air tawar yang rasanya manis. Berkali-kali kami masih memberi kesempatan hidup kepada kau dan kawan-kawanmu tapi sekali lagi kita bertemu, hanya ujung pedanglah yang akan menentukan."

   Ouwyang Bun merasa hatinya tertusuk sekali oleh ueapan ini dan ia makin bimbang dan ragu-ragu. Menghadapi dua pihak yang bermusuhan ini, ia merasa terjepit di tengah-tengah seakan-akan orang berdiri di antara dua api yang bernyala-nyala panas. Akhirnya dengan menghela napas dan menundukkan kepala ia pergi menyusul Lie Eng dan Ouwyang Bu. Setelah mereka bertiga berkumpul kembali, Ouwyang Bu berkata,

   "Mereka masih berada di sana, mengapa kita tidak minta bantuan pembesar kota untuk mengerahkan barisan penjaga dan menawan mereka itu? Dengan bantuan kita bertiga, tentu mereka semua akan dapat dibekuk dan diserahkan kepada pengadilan."

   Ouwyang Bun buru-buru mencela usul adiknya dan berkata,

   "Ah, apa perlunya hal itu kita lakukan? Kurang baik dan memalukan. Apakah untuk melawan beberapa orang saja kita harus mengerahkan barisan penjaga? Pula mereka telah berlaku lunak terhadap kita, apakah perlunya kita membalas dengan kekerasan. Ini akan memalukan dan menodai nama baik kita saja."

   "Bun-ko. Mengapa akhir-akhir ini hatimu begitu lemah? Kau pikir sedang menghadapi siapa? Ingat, kita menghadapi pemberontak jahat. Mereka itu harus dibasmi. Sekarang kita bertemu dengan mereka dan mendapat kesempatan baik sekali, mau tunggu apa lagi?"

   Ouwyang Bun menghela napas. Otaknya membenarkan kata-kata adiknya, tapi hatinya membantah. Ia lebih taat kepada suara hatinya, maka katanya,

   "Bu-te, sebenarnya mereka itu mempunyai kesalahan apakah terhadap kita? Apakah mereka pernah mengganggu kau atau aku, atau bahkan pernah mengganggu sumoi? Mengapa kita mau menawan mereka dan kemudian mereka dihukum mati seperti semua orang yang dianggap anggauta pemberontak? Bukankah itu terlalu kejam?"

   Lie Eng memandang wajah Ouwyang Bun dengan tajam, lalu berkata,

   "Untung sekali bahwa kau tidak mengucapkan kata-kata ini di depan ayah. Kata-katamu ini dapat dianggap mengkhianati negara. Ah, twa-suheng, kau tak dapat menjadi seorang perajurit yang baik. Kau bukan berdarah perajurit hingga kau terlalu menurutkan suara hati, dan tidak taat kepada perintah atasan serta tidak tahu akan tugas kewajiban sebagai seorang perajurit. Aku tidak dapat menyalahkan-mu, suheng, karena kau belum pernah mengalami pertempuran hebat. Kalau saja kau tahu dan pernah mengalami betapa para pemberontak itu menyembelih tentara kita dengan kejam, betapa mereka itu membasmi dan membinasakan seluruh keluarga para pembesar yang jatuh ke tangan mereka, betapa anggauta-anggauta mereka itu pada malam hari mendatangi gedung-gedung orang hartawan dan pembesar tinggi untuk merampok harta dan membunuh jiwa, betapa mereka bercita-cita untuk menggulingkan pemerintah dan untuk membunuh kaisar dan semua pembesar tinggi yang sekarang berkuasa, tentu kau takkan bicara seperti itu."

   Gadis ini bicara dengan bernapsu sekali. Dan aneh, tiba-tiba saja kedua matanya yang bening dan bagus itu mengalirkan air mata. Melihat keadaan gadis itu dan mendengar kata-katanya, Ouwyang Bun duduk kebingungan, sedangkan Ouwyang Bu merasa terharu dan jengkel, la memang telah jatuh hati kepada sumoinya ini dan mencintainya tanpa disadarinya, maka mendengar kata-kata gadis itu, timbullah semangatnya. Serentak ia berdiri dan mengepal tinju.

   "Kalau begitu, mengapa kita membuang-buang waktu di sini dengan mengobrol saja? Hayo kita lekas menjemput pengawal dan membasmi mereka itu."

   Tapi biarpun Ouwyang Bun telah mendengar kata-kata. gadis itu dengan segala alasannya, namun ia tetap ragu-ragu dan1 tidak bergerak dari tempat duduknya. Mungkinkah seorang gadis secantik dan segagah Cui Sian itu dapat berlaku sekejam dan sejahat itu? Ketika Lie Eng melihat sikap Ouwyang Bu yang bersemangat, ia berkata,

   "Ji-suheng, takkan ada artinya kalau kita menyerbu ke sana. Sepanjang pengetahuanku, mereka itu bukanlah orang-orang bodoh, dan setelah tempat mereka kita ketahui, tentu mereka akan berpindah tempat secepatnya dan dapat kupastikan bahwa jika kita membawa barisan menyerbu ke sana, tentu mereka telah pergi dari situ. Kalau hal ini terjadi, maka kita hanya akan mereka tertawakan dan mendapat malu saja. Biarlah kali ini kita biarkan mereka, tapi lain kali kalau kita mendapat kesempatan] bertemu dengan anggauta pemberontak lagi, kita sekali-kali tidak boleh berlaku lemah."

   Sambil berkata demikian, Lie Eng mengerling kepada Ouwyang Bun yang hanya menundukkan kepala. Pada keesokan harinya, setelah meninggalkan pesan kepada tikwan agar jangan berlaku sewenang-wenang dengan ancaman bahwa hal itu akan diadukan kepada ayahnya, Lie Eng dan Ouwyang-hengte meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan perantauan mereka. Pada suatu hari mereka tiba di sebuah kampung yang tampak sunyi sekali. Di dalam kampung itu terdapat dua buah rumah penginapan sederhana, tapi anehnya, ketika ketiga anak muda itu hendak bermalam dan minta kamar, kedua rumah penginapan itu tidak mau menerima mereka dengan alasan kamar penuh. Ouwyang Bu yang beradat keras segera berkata,

   "Kamar penuh? Eh, louwko, kami datang dari tempat jauh dan sudah lelah sekali. Kau harus menerima kami."

   Pengurus rumah penginapan itu dengan wajah muram menjawab.

   "Bagaimana kami dapat menerima kalian? Kamar sudah penuh, lebih baik sam-wi terus saja, Di sebelah barat kira-kira limabelas li dari sini terdapat sebuah kampung dan di situ juga ada rumah penginapan."

   "Kau gila?"

   Ouwyang Bu membentak.

   "Hari sudah malam dan kami sudah lelah, kau bilang harus melanjutkan perjalanan? Kau katakan bahwa rumah penginapanmu penuh, tapi mana tamunya? Aku tidak melihat seorangpun di sini. Jangan kau menipu kami, apa kau kira kami takkan membayar sewa kamarnya?"

   Melihat pemuda itu menjadi marah, pengurus rumah penginapan yang sudah tua itu cepat menjura dengan hormat.

   "Maaf kongcu, bukan saya menipu, tapi benar-benar semua kamar telah diborong oleh Lai-loya untuk digunakan malam ini dan besok hari. Saya tidak berani melanggar perintah dan pesannya."

   "Lai-loyamu itu mengapa begitu serakah? Kamar begini banyak hendak disewanya semua? Sungguh gila."

   Kata Ouwyang Bun yang juga merasa jengkel.

   "Lai-loya hanya menggunakan dua kamar, tapi ia tidak mau terganggu oleh tamu-tamu lain, maka ia borong semua kamar. Dan siapakah yang berani membantah perintah Lai-loya?"

   Kata pengurus itu dengan muka takut-takut dan melihat ke sana-sini karena ia khawatir kalau-kalau ada orang mendengar betapa Lai-loya dimaki-maki oleh Ouwyang Bun. Mendengar jawaban ini, Ouwyang Bu marah sekali dan ia segera mengangkat tangan hendak memukul sambil berkata,

   "Kau harus memberi kamar kepada kami. Sedikitnya kau harus melihat bahwa di antara kami ada terdapat seorang siocia. Aku dan kakakku dapat tidur di luar atau di lantai, tapi untuk siocia ini kau harus memberi sebuah kamar."

   Ouwyang Bun melihat betapa adiknya hendak memukul tuan rumah, segera mencegahnya dan dengan suara halus lalu berkata,

   "Saudara, berlakulah baik hati dan berilah sebuah kamar untuk sumoiku ini. Nanti kalau Lai-loya itu marah, kami yang akan menghadapinya."

   Lie Eng juga tidak sabar lagi, lalu maju dan bertanya kepada pengurus rumah penginapan.

   "Eh, sebenarnya Lai-loya ini orang macam apakah? Apakah ia telah menjadi raja?"

   "Di kampung ini ia memang sama dengan raja. Siapa berani membantahnya? Hampir semua rumah-rumah di kampung ini adalah miliknya dan semua sawah ladang di sekeliling kampung inipun miliknya. Boleh dibilang sekampung ini adalah hambanya, karena betapapun juga, kami telah berhutang budi kepadanya."

   "Berhutang budi? Bagaimana maksudmu?"

   Tanya Lie Eng.

   "Lai-loya telah begitu baik hati sudi menyewakan rumah-rumahnya itu kepada kami dan menyerahkan tanah-tanahnya itu untuk kami kerjakan dengan bagi hasil. Kalau tidak ada dia, bukankah kami akan mati kelaparan?"

   Lie Eng memandang heran, sedangkan Ouwyang Bun tiba-tiba menjadi tertarik sekali.

   "Kau bilang bahwa dia yang menolong semua penduduk kampung ini? Dan berapa kau bayar untuk sewa rumah ini?"

   "Murah saja, hanya seperempat bagian dari seluruh hasil usaha kami."

   "Seperempat bagian? Dan kau katakan ini sebagai pertolongan?"

   Setelah berkata demikian, tiba-tiba Ouwyang Bun tertawa bergelak-gelak. Ia merasa geli dan kasihan melihat kebodohan orang kampung itu dan merasa marah mengingat akan kelicinan orang she Lai yang memeras penduduk kampung tapi masih menerima ganjaran nama baik sebagai "penolong besar"

   Itu. Alangkah bodohnya orang-orang kampung ini dan alangkah pintarnya hartawan itu.

   "Apalagi kalau bukan pertolongan?"

   Pengurus rumah penginapan itu berkata lagi.

   "Kalau tidak ada Lai-loya, takkan ada rumah ini, dan kalau tidak ada rumah ini, kami takkan dapat membuka perusahaan ini."

   Kembali Ouwyang Bun tertawa geli.

   "Dan sawah-sawah ladang itu? Apakah hendak kau bilang juga bahwa kalau tidak ada Lai-loyamu itu, maka takkan ada sawah ladang dan tanah? Apakah Lai-loya itu yang membikin tanah di sekitar kampung ini pula?"

   "Tentu, kalau tidak ada dia tentu kita tidak bisa menyewa tanah sawah di sekitar kampung ini. Dan tentang membikin tanah..."

   Penjaga rumah penginapan itu berhenti karena bingung.

   "Bun-ko, sudahlah,"

   Tiba-tiba Ouwyang Bu menyela kakaknya.

   "apakah anehnya dengan semua itu? Memang sudah menjadi kebiasaan demikian, yakni penyewa rumah harus membayar dan penggarap tanah harus pula membagi hasilnya kepada pemilik tanah. Apakah yang aneh dalam hal ini maka kau menjadi heran dan menertawakannya?"

   Ouwyang Bun memandang kepada adiknya dengan heran.

   "Apa? Kau juga tidak dapat melihat kelucuan hal ini? Tak dapatkah kau melihat kejahatan orang she Lai itu? Kejahatannya lebih besar daripan da kejahatan seorang perampok. Tidak tahukah kau... dan kau, sumoi, kau juga tidak tahu? Tidak mengerti...?"

   Ouwyang Bun memindah-mindahkan pandangan matanya kepada Lie Eng dan Ouwyang Bu, tapi kedua anak muda itu hanya balas memandang dengan penuh keheranan. Akhirnya Ouwyang Bu segera memegang pundak kakaknya karena ia merasa cemas kalau-kalau kakaknya itu terlampau lelah.

   "Bun-ko, sudahlah. Kau perlu beristirahat. Jangan pikirkan hal itu lagi, karena bukankah ayah juga seorang kaya dan memiliki banyak tanah dan rumah pula? Ingatlah, sawah-sawah dan rumah-rumah kita juga banyak disewa orang seperti yang terjadi di kampung ini."

   Tapi sungguh tak terduga sama sekali, mendengar kata-kata adiknya ini, tiba-tiba Ouwyang Bun menggunakan tangannya untuk memukul tiang yang berdiri di dekatnya hingga dengan mengeluarkan suara keras tiang kayu yang besar itu roboh karena sebagian daripadanya hancur kena pukulan Ouwyang Bun.

   "Itulah yang memualkan perutku. Itulah..."

   Sambil berkata demikian pemuda itu berjalan ke arah sebuah kamar yang kosong dan tanpa melepas pakaian atau sepatunya lagi ia menjatuhkan diri di atas pembaringan dan kemudian terdengarlah dengkurnya. Ouwyang Bu saling pandang dengan Lie Eng. Keduanya heran sekali melihat kelakuan Ouwyang Bun seperti itu. Sementara itu, pengurus rumah penginapan melihat betapa galaknya mereka ini, hinggai ia tak berani, membantah, lalu menyediakan dua kamar untuk mereka. Hanya ia berkata berkali-kali kepada Ouwyang Bui dan Lie Eng bahwa mereka harus berani bertanggung jawab bila nanti Lai-loya menjadi marah.

   "Jangan takut, kami yang akan menghadapi loyamu itu."

   Ouwyang Bu akhirnya membentak marah hingga pengurus rumah penginapan itu menjadi takut dan pergi.

   Lie Eng memasuki kamarnya dan beristirahat, sedangkan Ouwyang Bu masuk ke dalam kamar yang ditiduri kakaknya. Dengan khawatir dan penuh kasih sayang, ia perlahan-lahan membuka sepatu kakaknya itu lalu menyelimuti tubuh Ouwyang Bun. Lalu ia duduk di pinggir pembaringan dan berkali-kali meraba jidat kakaknya, karena ia khawatir kalau-kalau kakaknya jatuh sakit. Ouwyang Bu sampai lupa akan diri sendiri yang sama sekali belum mel ngaso itu. Sambil memandangi wajah kakaknya, ia merasa bingung memikirkan mengapa kakaknya menjadi begini. Sungguh ia tidak mengerti. Terdengar suara panggilan perlahan dari Lie Eng di luar pintu. Ouwyang Bu lalu keluar. Ternyata, setelah mencuci muka dan badan, gadis itu memesan makanan dan maksudnya mengajak kedua suhengnya itu makan malam.

   "Sumoi, kau makanlah lebih dulu. Bun-ko belum bangun."

   "Bagaimana dia? Apakah sakit?"

   Lie Eng bertanya dengan khawatir lalu ia memasuki kamar itu. Dengan penuh perhatian dipandangnya muka pemuda yang berbaring itu dan dengan gaya yang mesra dirabanya jidatnya. Kemudian ia berpaling dan bersama Ouwyang Bu keluar dari kamar.

   "Kalau begitu biarlah kita menanti sampai ia bangun,"

   Katanya perlahan.

   "Sumoi, kau makanlah dulu. Kau lelah dan sejak pagi tadi belum makan pagi. Makanlah, nanti kau sakit,"

   Kata Ouwyang Bu dengan penuh perhatian. Mendengar suara pemuda itu, Lie Eng menjadi terharu. Ia maklum bahwa pemuda ini mencintainya, tapi apa daya hatinya telah terjatuh oleh sinar mata Ouwyang Bun. la hanya menggelengkan kepala dan menjawab,

   "Biarlah, ji-suheng, aku juga belum lapar benar. Kita makan sama-sama saja nanti kalau twa-suheng telah bangun."

   Dan gadis ini lalu lari ke kamarnya. Ketika Ouwyang Bii memasuki kamarnya lagi, ia melihat kakaknya bergerak-gerak. Ia cepat menghampiri dan duduk di pinggir pembaringan. Ouwyang Bun membuka matanya perlahan dan memandang adiknya.

   "Bun-ko, bagaimana? Kau merasa pening?"

   Tanya adiknya sambil memegang lengannya. Ouwyang Bun menggeleng-gelengkan kepala.

   "Bun-ko, kau kenapa? Apakah kau marah kepadaku? Kalau aku bersalah, pukul saja aku, Bun-ko."

   Tiba-tiba Ouwyang Bun bangun cepat. Ia peluk adiknya yang dikasihinya ini.

   "Adikku, adikku... tidak. Kau tidak bersalah, Bu-te. Akulah yang bersalah, ah... kau juga... kita berdua dan... dan suhu juga..."

   "Bun-ko, apa maksudmu?"

   Ouwyang Bu memandang dengan mata terbelalak.

   "Ya, suhu salah, bahkan..., ayah juga salah... Ah, adikku, tidak tahukah kau bahwa mereka itu, orang-orang yang kita anggap pengkhianat dan pemberontak jahat itu, mereka adalah orang-orang yang benar cinta kepada tanah air dan bangsa? Mereka adalah patriot-patriot sejati. Mereka benar, memang keadaan rakyat kita sangat sengsara dan perlu ditolong."

   Ouwyang Bu memandang kakaknya dengan mata liar. Ia takut kalau-kalau kakaknya telah menjadi gila. Kata-kata kakaknya membuat ia marah sekali. Ia pegang kedua pundak Ouwyang Bun sambil berkata dengan suara berbisik tapi penuh nap-su hingga terdengar mendesis,

   "Apa katamu...? Apa katamu...??"

   Ia mengguncang-guncangkan tubuh kakaknye seakan-akan hendak membuat kakaknya sadar dari maboknya Dengan tubuh lemas dan suara terputus-putus Ouwyang Bun berkata,

   "Memang... suhu... susiok... ayah dan kita sendiri... kita semua tersesat dan menjadi... alat. belaka..."

   "Plok..."

   Tangan Ouwyang Bu menampar muka kakaknya. Karena Ouwyang Bun tidak mengelak atau menangkis, maka tamparannya tepat mengenai pipi Ouwyang Bun hingga darah merah mengalir keluar, dari bibir pemuda ifu...

   "Ya, tamparlah... tamparlah sekali lagi, dua kali, ya tamparlah seratus kali, Bu-te. Memang aku pantas ditampar untuk menebus dosa suhu, dosa ayah... dosa kita..."

   Melihat betapa muka kakaknya yang dikasihinya itu berdarah, tiba-tiba Ouwyang Bu memeluk kakaknya dan menangis.

   "Bun-ko... Bun-ko, jangan kau bicara begitu, Bun-ko... kau tidak sayang kepada adikmu...?"

   "Bu-te, siapa bilang aku tidak sayang kepadamu? Aku tidak gila, juga tidak mabok. Semua kata-kataku itu kuucapkan dengan penuh kesadaran. Bu-te, kalau kau memang menurut kehendakku, marilah kita pergi dari sini. Marilah kita tinggalkan sumoi dan tinggalkan semua ini, kita pergi ke puncak gunung dan mengasingkan diri dari dunia yang penuh keributan ini."

   Ouwyang Bu bangun duduk dan memandang muka kakaknya.

   "Bun-ko, kalau aku tidak sangat sayang kepadamu, untuk ucapanmu terhadap ayah dan suhu tadi saja, sudah cukup bagiku untuk membunuhmu. Tapi aku tak dapat melakukan itu, dan kau... janganlah kau berbuat semacam ini, Bun-ko. Apakah kau ingin menjadi seorang pengkhianat? Ingin melawan dan memusuhi pendapat dan cita-cita ayah dan suhu sendiri? Di mana jiwa kebaktianmu terhadap orang tua dan guru? Apakah kau ingin menjadi pengecut yang merasa takut terhadap para pemberontak itu dan mengundurkan diri? Ah, Bun-ko, pikirlah baik-baik."

   "Adikku, bukan sekali-kali aku pengkhianat atau pengecut. Kau cukup tahu o-rang macam apa kakakmu ini. Hanya saja, aku telah merasa yakin bahwa tindakan kita ini keliru. Kita tidak boleh memusuhi para pejuang rakyat itu, bahkan seharusnya kita membantu. Kalau kau suka menurut kakakmu dan masih percaya akan bimbinganku, mari kita pergi dan kau kelak akan melihat sendiri bahwa pendapatku ini benar semata-mata."

   "Tak mungkin."

   Adiknya menjawab sambil menggelengkan kepala. Ouwyang Bun memegang. pundaknya.

   "Bu-te, kau cinta pada sumoi, bukan?"

   Pundak yang dipegang itu sesaat menggigil sedikit. Akhirnya Ouwyang Bu mengangguk perlahan lalu menundukkan mukanya. Ouwyang Bun menepuk-nepuk pundak adiknya.

   "Aku tahu, adikku. Dan aku girang, karena Lie Eng memang seorang gadis yang tepat sekali untuk menjadi isteri-mu. Tentang tunanganmu pilihan ibu, ah, aku sendiripun kurang begitu cocok dengan pendapat orang-orang tua yang secara sembrono telah memilihkan calon isteri untuk anak-anak mereka. Berbahagialah kau dengan Lie Eng, adikku."

   Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ouwyang Bu terkejut dan memandang muka kakaknya.

   "Kau...kau hendak pergi ke mana, Bun-ko?"

   Ouwyang Bun menggeleng-gelengkan kepala.

   "Kau tak perlu tahu, Bu-te."

   "Bun-ko, kau tahu, kalau... kalau di sini tidak ada sumoi, tentu aku akan ikut padamu."

   Kakak itu menepuk-nepuk pundak adiknya.

   "Aku tahu... aku tahu..."

   Pada saat itu, dari luar terdengar bentakan keras,

   "Orang-orang kurang ajar dari manakah berani merintangi kehendak Lai-loya?"

   Sementara itu, Lie Eng menolak daun pintu kamar Ouwyang-hengte sambil berkata perlahan,

   "Ji-wi suheng, mari kita makan dulu. Perutku sudah lapar sekali."

   Ouwyang-hengte lalu turun dari pembaringan dan melangkah keluar. Mereka melihat seorang laki-laki tinggi besar berdiri sambil bertolak pinggang dengan lagak sombong sekali.

   Laki-laki tinggi besar itu memaki-maki pengurus rumah penginapan dan beberapa kali melirik ke arah Ouwyang-hengte dan Lie Eng, tapi ketiga anak muda ini tidak memperdulikannya, bahkan dengan tenang lalu duduk mengelilingi meja makan yang sudah disiapkan oleh Lie Eng. Gadis ini tadi mendengar suara kedua suhengnya bercakap-cakap di dalam kamar, ia segera menyediakan makanan dan mengajak suheng-suhengnya makan, dan sedikitpun tidak memperdulikari rbentakan orang kasar di luar itu. Begitulah, dengan enak ketiganya makan. Lie Eng yang bermata tajam maklum bahwa ada terjadj sesuatu antara kedua suheng itu, karena sebentar-sebentar Ouwyang Bu memandang kakaknya sedangkan Ouwyang Bun menjadi pendiam sekali, tapi pandangan matanya tenang dan tidak liar seperti tadi ketika marah.

   Sementara itu, laki-laki tinggi besar itu setelah mendengar keterangan pengurus penginapan, menjadi marah sekali. Ia adalah kepala dari para tukang pukul atau kaki tangan Lai-loya. Namanya Cu Houw dan ia terkenal kejam serta ditakuti karena bertenaga besar dan berkepandaian tinggi. Ia hendak mengajar adat kepada orang-orang yang kurang ajar itu, tapi melihat bahwa mereka membawa pedang yang tergantung di pinggang ia dapat menduga bahwa mereka ini tentu mengerti silat dan karenanya hatinya menjadi agak ragu. Untuk menambah semangat, ia segera menggerakkan tangan ke belakang dan dari luar rumah penginapan, lima orang kawannya yang tinggi besar dan bersikap angkuh segera maju. Karena kini berenam, Cu Houw menjadi berani dan tabah.

   "Mana tiga orang rendah yang berani mati dan kurang ajar itu?"

   Bentaknya. Ouwyang Bu tidak setenang dan sesabar. Ouwyang Bun atau Lie Eng. Dadanya telah terasa panas bagaikan terbakar dan mukanya perlahan-lahan berubah merah. Ia lalu berkata kepada kedua kawannya cukup keras untuk didengar oleh Cu Houw,

   "Sungguh menyebalkan anjing kuning itu, sejak tadi menggonggong dan menyalak-nyalak."

   Lie Eng tertawa dan berkata,

   "Mungkin ia lapar."

   Ouwyang Bun menyambung,

   "Ia mencium bau tulang, tentu saja ia menyalak-nyalak."

   Kedua mata Cu Houw terputar-putar karena marahnya mendengar sindiran-sindiran yang diucapkan oleh ketiga anak muda itu. Lebih-lebih kepada Ouwyang Bu yang memulai mengeluarkan sindiran itu. Ia memandang dengan mata melotot dan seakan-akan hendak menelan bulat-bulat pemuda itu. Dengan gerakan mengerikan ia mencabut sebilah pisau belati yang kecil dan tajam dari pinggangnya, lalu berkata,

   "Kawan-kawan, biarlah aku binasakan binatang rendah ini dulu. Kalian lihatlah."

   Tiba-tiba tangannya yang memegang pisau itu diayun dan senjata tajam yang kecil itu melayang cepat sekali ke arah tenggorokan Ouwyang Bu. Lie Eng dan Ouwyang Bun melihat ini, tapi mereka tetap saja makan seakan-akan tidak melihat serangan berbahaya ini, sedangkan pada saat itu Ouwyang Bu sedang menggunakan sumpitnya untuk mengambil sepotong daging. Melihat berkilatnya pisau yang menyambar ke arah lehernya, ia lepaskan daging itu dan menggerakkan sepasang sumpitnya ke atas dan tahu-tahu pisau itu telah terjepit oleh sepasang sumpitnya.

   "Ha, kebetulan, ada yang memberi pisau untuk memotong daging yang alot dan keras ini,"

   Katanya sambil tertawa menyindir.

   "Ah, anjing itu tidak hanya menggonggong, tapi juga memperlihatkan giginya yang sudah ompong. Menjemukan benar."

   Kata Ouwyang Bun. Biarpun Cu Houw terkejut sekali melihat demonstrasi kepandaian Ouwyang Bu ini, namun ia merasa malu untuk mengundurkan diri. Ia adalah kepala barisan pengawal Lai-loya yang telah terkenal dan disegani, apakah ia harus mundur menghadapi tiga orang anak muda saja? Pula, di dekatnya ada lima orang kawannya yang kesemuanya berkepandaian, dan masih berpuluh-puluh lagi anak buahnya yang akan segera datang membantunya atas perintahnya. Maka ia lalu memaki,

   

Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Nona Berbaju Hijau Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini