Sepasang Pendekar Kembar 7
Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo Bagian 7
Ia maklum bahwa kalau selalu menghindari pukulan Lie Eng, maka pertempuran ini takkan ada habisnya, apalagi ia telah merasa lelah sekali. Kini melihat datangnya serangan ia maklum bahwa Lie Eng telah berlaku nekat. Maka cepat sekali ia merendahkan tubuhnya hingga serangan tangan kiri lawan yang menusuk matanya itu lewat di atas kepalanya sedangkan tangan kanan Lie Eng yang memukul dadanya, kini tepat menghantam pundaknya. Tapi pada saat itu juga, dari bawah ia melayangkan pukulan ke arah lambung Lie Eng. Keduanya menjerit ngeri dan keduanya terhuyung mundur lalu roboh pingsan. Para pemberontak segera maju hendak menghabiskan jiwa Lie Eng, tapi terdengar bentakan keras dari Siauw Leng.
"Mundur semua. Siapa berani menyentuh dia akan berkenalan dengan tanganku."
Maka semua kawannya yang tadinya telah marah sekali kepada Lie Eng itu tiba-tiba teringat akan pesan Cui Sian. Sementara itu, Siauw Leng lalu membebaskan totokah yang mempengaruhi Ouwyang Bun hingga pemuda itu dapat bergerak. Ia maju menubruk Cui Sian yang rebah dengan wajah pucat seperti mayat. Tapi hatinya menjadi lega ketika mengetahui bahwa gadis itu hanya menderita luka yang tak berapa berat di pundaknya dan jatuh pingsan hanya karena terlalu lemah dan lelah.
Kemudian ia teringat kepada Lie Eng dan segera memeriksa keadaan gadis itu. Diam-diam Ouwyang Bun terkejut sekali karena di bibir gadis ini tampak darah mengalir. Siauw Leng yang juga mempelajari ilmu pengobatan dari suhunya, mengerutkan jidat ketika memeriksa lambung Lie Eng yang terpukul karena ternyata gadis ini menderita luka dalam yang mengkhawatirkan keadaannya. Ouwyang Bun lalu mendukung tubuh Cui Sian masuk ke tenda, sedangkan Siauw Leng mengangkat tubuh Lie Eng masuk ke tendanya sendiri. Tenda Siauw Leng ini berdekatan dengan tenda Cui Sian. Lie Eng masih pingsan ketika dibawa masuk, sedangkan Cui Sian telah sadar. Gadis ini sadar dalam dukungan Ouwyang Bun dan ia berbisik,
"Koko, maafkan aku tadi telah menotokmu."
Ouwyang Bun menggeleng-gelengkan kepala.
"Ah, kaliangadis-gadis kepala batu. Gila sekali untuk bertempur mati-matian hanya karena seorang tak berharga seperti diriku."
"Untuk menjaga nama dan kehormatan, koko...,"
Cui Sian berbisik lemah. Ketika ia telah dibaringkan di atas dipannya, ia bertanya,
"Koko, bagaimana dengan dia?"
"Siapa? Lie Eng? Ah, pukulanmu terlalu hebat."
Cui Sian diam saja dan memejamkan mata.
"Kasihan Lie Eng yang malang..."
Sambil memejamkan mata ia berkata lirih. Ouwyang Bun memandang wajah kekasihnya dengan heran. Sungguh ia tak dapat mengerti sikap ini. Tadi berkelahi mati-matian dan kini mengucapkan kata-kata menyatakan iba hati kepada bekas lawannya itu. Sementara itu, dengan napas terengah-engah, Lie Eng sadar dari pingsannya. Ia membuka mata perlahan-lahan dan melihat betapa Siauw Leng sedang merawat dia. Maka ia menutup matanya lagi. Rasa dendam dan gemas membuat lukanya makin terasa sakit. Gadis ini memang mempunyai watak tidak mau kalah, maka tentu saja kekalahan ini menyakitkan hatinya benar. Ia mencoba untuk mengerahkan Iweekangnya menahan rasa sakit itu dan tahulah ia bahwa lukanya memang berat dan berbahaya.
Ia diam-diam kagum akan kehebatan Cui Sian dan diam-diam ia harus mengakui bahwa gadis itu memang pantas menjadi isteri Ouwyang Bun. Pada saat itu, telinganya yang tajam mendengar suara Ouwyang Bun di tenda sebelah, dan ia mendengar pula suara Cui Sian. Hatinya terasa perih karena ia tahu bahwa pemuda itu tentu sedang merawat Cui Sian. Ia teringat bahwa Cui Sian juga kena pukulannya, tapi hanya di pundak dan tehtu saja tidak berbahaya. Kembali ia memejamkan mata dengan hati sakit. Mengapa ia tidak mati saja? Ah, ia malu dan apa artinya hidup menanggung malu dan patah hati? Melihat wajah yang cantik itu nampak sedih, Siauw Leng merasa terharu. Iapun merasa suka kepada gadis yang gagah dan jujur serta keras hati ini, sifat yang juga menjadi sifatnya. Maka katanya perlahan,
"Lihiap, enciku itu telah ditunangkan dengan Ouwyang Bun semenjak mereka masih kecil oleh orang tua kami. Ouwyang Bun dengan enciku, dan Ouwyang Bu dengan aku."
Ucapan Siauw Leng ini sebetulnya dimaksudkan untuk memberi penjelasan agar dapat menghibur hati gadis itu, tapi tidak mengira bahwa penjelasan ini bahkan lebih menyakiti hati Lie Eng. Tiba-tiba ia menangis tersedu-sedu dan membentak.
"Pergi kau. Jangan rawat aku, pergi..."
Dengan mengangkat pundak dan muka menyatakan kasihan, Siauw Leng keluar dari tenda itu. Lie Eng menangis sedih tapi ia kuatkan hatinya untuk menahan suara tangisnya agar jangan sampai terdengar oleh o-rang lain. Hatinya makin terasa sakit. Ia malu sekali, karena ternyata bahwa Ouwyang Bun adalah tunangan Cui Sian yang sah hingga dialah yang sesungguhnya bersikap rendah, hendak merampas tunangan orang.
Dan lebih-lebih lagi, dia telah menjadi sebab hingga Ouwyang Bu terpisah dari kakaknya, bahkan kini menjadi musuh Siauw Leng, tunangan pemuda itu sendiri. Ah, kalau saja tidak ada dia, tentu kedua pemuda itu akan berkumpul dengan kedua tunangan mereka dan semuanya akan beres dan lancar. Semua akan berbahagia. Tapi sekarang dengan adanya dia, segalanya menjadi kacau. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, semua orang di situ mendengar jerit tangis Siauw Leng yang memilukan, karena ketika gadis ini memasuki tendanya hendak menjenguk Lie Eng, ternyata ia mendapatkan gadis ini telah menjadi mayat. Lie Eng telah menggunakan sebilah pisau yang terdapat di tenda itu untuk bunuh diri. Pisau itu menancap di dada kirinya dan ia mati telentang di atas dipan. Tangan kirinya memegang sehelai kertas yang ternoda darah yang memercik keluar dari dadanya.
Melihat keadaan Lie Engr-Oywyang Bun tak dapat menahan keharuan hatinya. Ia maju dan berlutut di dekat tubuh itu sambil menundukkan kepala. Diam-diam merasa bertanggung jawab akan peristiwa ini dan tahu pula bahwa kematian gadis ini adalah karena dia. Sementara itu, Cui Sian yang juga sudah dapat turun dan berada pula di situ, hanya berdiri sambil menghela napas berulang-ulang. Ketika Ouwyang Bun mengangkat muka, ternyata wajah pemuda ini pucat dan kedua matanya basah, sedangkan pada wajah, itu terbayang kedukaan besar hingga membuat ia tampak lebih tua. Ia tidak saja menyedihi kematian sumoinya ini, tapi juga bersedih karena Ouwyang Bu. Ia maklum bahwa kematian Lie Eng ini akan menghancurkan kebahagiaan hidup Ouwyang Bu. Dengan perlanan ia ambil surat di tangan gadis itu. Ternyata surat itu ditujukan kepadanya.
Bun-ko, Sudah Sepantasnya aku tewas di tangan Cui Sian yang gagah, tapi sayang ia memukul kepalang tanggung hingga terpaksa aku sendiri yang menamatkan hidupku, Tapi agaknya arwahku takkan tenang sebelum mendapat ampun dari engkau dan dari Bu-ko. Aku adalah seorang gadis yang tak tahu diri dan hanya, mengacaukan kebahagiaan orang. Dengan membabi-buta dan tak tahu malu aku telah berani mencintaimu, Bun-ko, mencintai seorang pemuda yang telah mempunyai tunangan secantik dan segagah Cui Sian.
Oleh karena akulah maka Bu-ko terpisah darimu. Karena aku pula Bu-ko menjadi pembantu ayah dan karenanya tak dapat berkumpul dengan Siauw Leng, tunangannya. Aku tak mungkin menjadi isterimu, dan tak mungkin pula menjadi isteri Bu-ko, hingga akibatnya aku hanya akan hidup menderita dan merusak hati Bu-ko yang mencintaiku. Karena inilah lebih baik aku mati.
Bun-ko, aku percaya bahwa kau tentu suka memaafkan daku karena aku tahu betapa mulia hatimu. Tapi aku masih ragu-ragu apakah Bu-ko dapat mengampuni dan melupakan aku. Sukakah kau mintakan ampun padanya? Selamat tinggal dan tolong sampaikan permohonan ampun kepada ayah untuk anaknya yang tidak berbakti.
Cin Lie Eng
Semakin keraslah sedu-sedan dari dada Ouwyang Bun ketika ia baca isi surat ini dan tanpa berkata apa-apa ia berikan surat itu kepada Cui Sian untuk dibaca. Gadis itupun menjadi merah mukanya karena terharu sedangkan Siauw Leng yang juga membaca surat itu menangis keras. Ouwyang Bun lalu menyimpan surat itu dalam saku bajunya. Ouwyang Bu merasa heran, khawatir, dan bingung ketika tidak melihat Lie Eng dalam benteng. Ia mencari ke sana-sini dan bertanya kepada anak buahnya yang berjaga di sepanjang daerah penjagaannya, tapi tak seorangpun melihat gadis itu. Ketika matahari telah naik tinggi, tiba-tiba ia diberi tahu oleh penjaga bahwa di luar benteng ada seorang pemuda berpakaian putih datang dengan sebuah kereta hendak bertemu dengannya. Hati Ouwyang Bu berdebar aneh dan segera ia lari keluar.
"Bun-ko..."
Ia berseru keras sambil lari keluar menyambut kakaknya itu. Tapi ia heran sekali melihat betapa kakaknya itu berpakaian putih dan wajahnya nampak sedih sekali.
"Bun-ko, kau dari mana dan hendak ke mana? Mari, mari masuk, kita bicara di dalam,"
Kata Ouwyang Bu setelah berpelukan dengan kakaknya. Tapi Ouwyang Bun tidak menjawab, bahkan tiba-tiba saja matanya menjadi merah dan ia pandang wajah adiknya yang gagah dan kini berpakaian perwira itu. Pandangan mata Ouwyang Bun membuat Ouwyang Bu terkejut sekali.
"Bun-ko."
Teriaknya dengan hati tidak karuan.
"Ada kabar apa?"
Ouwyang Bun hanya menunjuk ke arah kereta yang tertutup kain putih yang ditarik oleh seekor kuda. Ouwyang Bu masih tidak mengerti walaupun hatinya berdebar-debar cemas. Ia lalu menghampiri kereta itu dan membuka kain putih yang menutupi kendaraan itu. Di dalam kereta terdapat sebuah peti mati. Dengan terkejut Ouwyang Bu melangkah mundur, Mukanya menjadi pucat.
"Bun-ko, apa artinya ini? Peti mati siapa ini dan apa maksudmu?"
"Bu-te... sumoi..."
Tiba-tiba saja Ouwyang Bu menggigil dan mukanya semakin pucat ketika ia berteriak,
"Lie Eng...?."
Dan cepat sekali ia meloncat ke arah peti mati itu. Dengan tangannya yang kuat ia buka peti itu hingga peti mati yang telah dipaku itu terbongkar seketika itu juga. Ia buka kain penutup muka mayat itu.
"Lie Eng... kau..."
Dan pemuda itu tak dapat melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu juga ia roboh pingsan.
"Bu-te... ah, Bu-te... kasihan kau... adikku..."
Ouwyang Bun-lalu menubruk dan memeluk tubuh adiknya. Ia angkat kepala Ouwyang Bu dan dipangkunya serta diciuminya dengan penuh kasih sayang. Para penjaga yang melihat peristiwa ini berdiri bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Mereka belum tahu siapakah yang berada di peti mati itu dan mereka tidak berani melakukan apa-apa karena tidak mendapat perintah. Ketika Ouwyang Bu sadar sambil merintih memanggil-manggil nama Lie Eng, ia dapatkan dirinya sedang dipeluk dan dipangku oleh kakaknya. Tiba-tiba ia meloncat berdiri dan mencabut pedangnya.
"Bun-ko... siapa... siapa yang membunuh dia? Kau kah...?"
Ia menghampiri kakaknya dengan sikap mengancam.
"Ya, tentu kau. Siapa lagi yang dapat membunuh dia? Dan kau sekarang sudah menjadi pemberontak? Hayo, mengakulah kau."
Ouwyang Bun hanya menggeleng-gelengkan kepala lalu ia mengeluarkan surat Lie Eng. Ouwyang Bu menerima surat itu dengan kedua tangan menggigil. Ketika ia membaca isinya surat itu, mukanya menjadi sebentar pucat sebentar merah. Ia lalu memukul-mukul kepala sendiri dengan tangan hingga topi besi yang dipakainya berbunyi tang-tung dengan keras. Setelah habis membaca surat itu, ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakaknya dan berkata,
"Bun-ko... kau bunuhlah aku, Bun-ko... aku hendak menyusul Lie Eng..."
Tapi Ouwyang Bun memegang kedua pundak adiknya dan ditariknya Ouwyang Bu berdiri.
"Bu-te. Bukankah kau seorang laki-laki dan seorang jantan pula. Janganlah bersikap lemah."
Tiba-tiba katakata ini bagaikan cahaya kilat yang memasuki tubuh Ouwyang Bu. Ia berdiri tegak dan kedua matanya memandang kepada kakaknya sedemikian rupa hingga Ouwyang Bun mundur dua langkah. Mata itu bagaikan mata seorang buta melek.
"Baik, Bun-ko. Aku tetap seorang laki-laki dan sudah menjadi tugasku untuk membalas dendam ini. Jangan kau menyesal kalau kelak aku pasti membunuh Cui Sian, Siauw Leng, dan... engkau juga."
Biarpun hatinya merasa sakit dan pilu, tapi Ouwyang Bun tahu bahwa inilah sikap terbaik bagi seorang perajurit seperti Ouw yang Bu.
"Bu-te, aku tahu bahwa surat ini telah menyakiti hatimu dan kau tentu marah kepadaku. Kalau kau sakit hati dan hendak membunuh aku, lakukanlah itu sekarang juga adikku."
"Tidak membunuh pemberontak ini sekarang, mau tunggu kapan lagi?"
Tiba-tiba terdengar orang berseru keras dan Gui Li Sun yang mengeluarkan katakata ini lalu menyerbu dan menyerang Ouwyang Bun, diikuti oleh beberapa orang perwira lain.
"Tahan."
Ouwyang Bu membentak hingga semua penyerang itu mengundurkan diri.
"Jangan serang dia."
"Ciangkun, dalam menghadapi musuh, perajurit sejati tidak kenal saudara."
Gui Li Sun memperingatkan.
"Tutup mulut."
Ouwyang Bu membentak marah.
"Kau kira aku tidak tahu aturan seorang perajurit sejati? Aku larang kau serang dia bukan karena ia saudaraku, tapi karena kedatangannya adalah sebagai seorang utusan yang membawa jenasah Cin-lihiap. Pantaskah kalau kita serang dia? Perbuatan ini akan dipandang rendah dan aku melarang siapa saja menyerang dia pada waktu sekarang ini."
Semua orang terpaksa mengakui kebenaran katakata ini.
"Sekarang kau pergilah."
Kata Ouwyang Bu dengan suara dingin.
(Lanjut ke Jilid 06 - Tamat)
Sepasang Pendekar Kembar/Ouw Yang Heng Te (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 06 (Tamat)
"Bu-te... marilah kita pergi saja, pergi dari segala peperangan ini..."
Untuk sesaat Ouwyang Bu ragu-ragu, tapi ia segera menetapkan hatinya dan berkata,
"Sudahlah, jangan banyak ribut. Bujuk-anmu tidak ada artinya bagiku...Aku seorang perajurit sejati dan harus tetap menu naikan tugasku sebagai seorang perwira. Dan kau... kau pergilah kembali kepada tunanganmu."
Kemudian Ouwyang Bu memerintahkan anak buahnya untuk mendorong kereta berisi peti mati itu ke dalam benteng dan ia sendiri lalu masuk ke dalam benteng tanpa menoleh lagi kepada kakaknya. Ouwyang Bun menghela napas berkali-kali dan terpaksa ia lalu kembali ke dalam hutan. Setelah berada dalam benteng, barulah Ouwyang Bu menangisi jenasah Lie Eng, sedangkan Gui Li Sun berkata dengan suara gemas.
"Ciangkun, marilah kita kerahkan tenaga dan menyerbu ke dalam hutan. Kalau belum dapat membasmi habis pemberontak-pemberontak hinadina itu, belum puas rasa hatiku."
Ouwyang Bu tidak menjawab tapi diam-diam ia mengatur siasat untuk membalas kematian Lie Eng kepada para pemberontak itu.
Benar saja, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ouwyang Bu bersama Gui Li Sun dengan tiga ratus orang tentara telah menyerbu ke dalam hutan. Pertempuran hebat terjadi dan Ouwyang Bun melihat betapa Cui Sian dan kawan-kawannya terkurung, terpaksa turun tangan hingga di pihak tentara negeri menjadi kacau. Amukan Ouwyang Bun dihadapi oleh beberapa orang perwira yang cukup tinggi kepandaiannya. Karena para pemberontak itu menggunakan taktik berpencar, maka pertempuran menjadi berkelompok-kelompok. Yang mengherankan ialah bahwa Ouwyang Bu tidak tampak dalam pertempuran itu. Karena pihak tentara sangat banyak, maka banyak sekali jatuh korban dan akhirnya pihak pemberontak terpaksa meng undurkan diri. Tapi pada saat itu muncul tiga orang tosu tua yang datang membantu pihak pemberontak.
Tiga orang tosu ini berkepandaian tinggi sekali hingga para tentara kocar-kacir tidak kuat menghadapi mereka bertiga yang bersenjata pedang. Ke manakah perginya Ouwyang Bu? Sebetulnya tadinya pemuda ini memang memimpin sendiri penyerbuan ke dalam hutan, tapi setelah pertempuran terjadi, ia memisahkan diri karena bermaksud hendak menawan hidup, seorang di antara tiga pemimpin pemberontak itu. Ia melihat betapa Ouwyang Bun bertempur di samping Cui Sian merupakan sepasang anak muda gagah perkasa hingga sukar sekali didekati. Maka ia lalu mencari ke kelompok lain dan melihat Siauw Leng sedang mengamuk dikeroyok beberapa orang anak buahnya. Ouwyang Bu segera meloncat membantu karena anak buahnya yang dipimpin Gui Li Sun ternyata sangat terdesak oleh gadis lincah itu.
"Bun-ko, bantulah aku membereskan beberapa ekor tikus ini."
Siauw Leng berkata tanpa menengok. Ouwyang Bu heran, tapi ia segera tahu bahwa gadis itu salah sangka. Ia memang berpakaian putih untuk menyatakan kesedihannya atas kematian Lie Eng, dan gadis itu tentu menyangka, bahwa ia adalah Ouwyang Bun. Karena inilah maka ketika Ouwyang Bu meloncat di dekatnya dan mengulurkan tangan menotok, Siauw Leng tidak menyang ka sama sekali bahwa ia bukan Ouwyang Bun dan mudah saja ia kena ditotok roboh. Seorang pengeroyok mengayun senjata hendak membunuh gadis itu, tapi Gui Li Sun mendahuluinya dengan memegang dan mendukung tubuh Siauw Leng. Karena tidak ingin melihat gadis itu dibunuh, Ouwyang Bu lalu mengangguk kepada Gui-ciangkun dan berkata,
"Bawa tawanan ini dan jaga baik-baik,"
Kemudian ia sendiri lalu pergi menghadapi tiga orang tosu yang sedang mengamuk itu. Ternyata tiga orang tosu itu benar-benar gagah perkasa dan kini semua pemberontak yang tadi melarikan diri mendapat tambahan semangat dan melawan lagi. Ouwyang Bu melihat gerakan-gerakan ketiga orang itu, maklum bahwa pihaknya takkan menang, maka ia segera memberi aba-aba dan menarik mundur semua orangnya, lalu kembali ke dalam benteng.
Ouwyang Bu langsung menuju ke tempat tahanan untuk menemui Siauw Leng yang ditawannya tadi. Tapi alangkah herannya ketika ia tidak mendapatkan gadis itu di antara tawanan-tawanan lain. Ia lalu bertanya kepada penjaga yang segera dijawab bahwa tawanan wanita itu dibawa pergi oleh Gui-ciangkun. Ouwyang Bu marah sekali. Sambil berlari ia menuju ke tempat tinggal Gui Li Sun di sebelah utara dalam benteng itu. Ketika ia tiba di depan kamar Gui-ciangkun, ia mendengar suara wanita memaki-maki dan suara Gui Li Sun tertawa-tawa. Ouwyang Bu tak dapat mengendalikan kesabarannya lagi. Ia mendorong daun pintu dan apa yang terlihat olehnya membuat ia mencabut pedangnya karena marah. Gui Li Sun yang agaknya sudah mabok, berdiri dengan sikap menantang.
"Gui-ciangkun, apakah yang sedang, kau lakukan ini?"
"Ha-ha ciangkun, apakah kau tidak melihat? Aku sedang memeriksa seorang tawanan"
"Lepaskan dia dan kembalikan ke dalam kamar tahanan"
Ouwyang Bu memerintah dengan mata terbelalak marah. Gui Li Sun menggeleng-gelengkan kepala.
"Ouwyang-ciangkun, kau selalu mau menang dan mau enak sendiri saja. Kau datang-datang telah, merampas nona Lie Eng dari tanganku merampas pula kedudukanku. Semarang aku dapat menangkap tawanan pemberontak wanita ini, apakah kau juga hendak merampasnya pula? Ha-ha, ia memang cantik, lebih cantik daripa da nona Lie Eng. Tapi dia adalah bagianku dan kau tidak boleh merampasnya."
"Gui Li Sun, tutup mulutmu yang kotor. Apakah kau hendak membantah perintahku?"
"Perintah apakah ini? Ouwyang-ciangkun, apakah kau lebih memberatkan dan membela tawanan seorang pemberontak daripada seorang perwira pembantumu sendiri?"
"Selama aku masin berada di sini, kau tidak boleh memperlakukan tawanan kita secara sewenang-wenang"
Kata Ouwyang Bu tidak sabar.
"Siapa yang sewenang-wenang? Kau atau aku? Aku takkan menyakiti atau menyiksa nona ini. Aku bahkan hendak mengambil dia sebagai isteriku"
"Bangsat rendah"
Ouwyang Bu marah sekali dan menggerak-gerakkan pedangnya. Tiba-tiba Gui Li Sun juga mencabut pedangnya dan menghadapi Ouwyang Bu dengan mata merah.
"Orang she Ouwyang. Kali ini aku terpaksa tak mentaati perintahmu yang gila. Aku hendak mengambil nona ini, kau mau apa?"
"Kalau begitu aku akan menggunakan kekerasan"
Kata Ouwyang Bu.
"Bagus"
Dan sambil berseru keras Gui Li Sun loncat menyerang dengan pedangnya yang dapat ditangkis dengan mudah oleh Ouwyang Bu. Tak lama kemudian Gui Li Sun menyerang mati-matian dan Ouwyang Bu bertahan dengan tenang.
Sementara itu, Siauw Leng yang terikat kaki tangannya dan tidak berdaya, melihat pertempuran itu dengan mata terbelalak. Tiba-tiba ia menitikkan air mata dari sepasang matanya karena keadaan itu mendatangkan berbagai perasaan kepadanya. Ia tahu bahwa Ouwyang Bu adalah tunangannya dan karena ia telah tahu pula bahwa anak muda ini mencintai Lie Eng, maka ia tidak banyak mengharapkan dari padanya. Pula karena Ouwyang Bu ternyata telah menjadi kaki tangan kaisar, ia lebih benci dan menganggap bahwa pemuda itu memang berwatak jahat dan buruk, berbeda jauh dengan Ouwyang Bun tunangan encinya. Tapi kini melihat betapa pemuda itu ternyata cukup memiliki sifat ksatria dan bahkan membelanya dari gangguan panglima kasar she Gui itu, ia tak dapat menahan keharuan hatinya lagi.
Ia merasa girang karena ternyata bahwa betapapun juga pemuda pilihan orang tuanya itu tidak sejahat yang ia sangka, dan ia merasa sedih karena pemuda itu mau menjadi kaki tangan kaisar lalim. Karena kepandaian Gui Li Sun memang kalah jauh jika dibandingkan dengan Ouwyang Bu dan karena perwira she Gui ini memang hanya mengandalkan tenaganya yang besar belaka, maka tak lama kemudian ia hanya mampu menangkis saja dan napasnya terengah-engah menghadapi serangan-serangan Ouwyang Bu yang hebat. Pada saat yang tepat sekali, akhirnya Ouwyang Bu berhasil menendang tangan lawannya itu dan Gui Li Sun menjerit kesakitan. Pedangnya terlempar dan jatuh di atas lantai.
"Pungut pedangmu dan pergi dari sini"
Ouwyang Bu memerintah sambil memasukkan pedangnya sendiri ke dalam sarung pedang.
Bagaikan seekor anjing kena pukul, Gui Li Sun membungkuk dan memungut pedangnya yang terlempar ke dekat pembaringan. Karena pergelangan tangan kanannya patah oleh tendangan Ouwyang Bu, ia menggunakan tangan kiri untuk memungut pedang itu, tapi tiba-tiba bagaikan orang kemasukan iblis ia menyeringai dan cepat sekali ia gerakkan pedang, di tangannya itu untuk menusuk dada Siauw Leng yang rebah telentang. Dara itu memekik lirih dan berkelojotan dalam ikatannya, lalu menghembuskan napas terakhir. Darah merah menyembur keluar dari dadanya, membasahi pakaiannya. Ouwyang Bu tiba-tiba merasa kepalanya pening dan matanya kabur. Ia tak percaya kepada pandangan matanya dan menggunakan tangannya untuk menggosok-gosok kedua matanya.
"Kau halang-halangi maksudku dan kau hendak merampas dia, maka lebih baik dia mati dan habis perkara"
Mendengar kata-kata Gui Li Sun, barulah Ouwyang Bu sadar dan maklum bahwa ia bukan sedang mimpi dan bahwa benar-benar perwira itu telah membunuh Siauw Leng dengan kejam. Suaranya gemetar ketika ia berteriak.
"Bangsat rendah. Kau... kau binatang kejam"
Ouwyang Bu melangkah perlahan menghampiri Gui Li Sun dengan mata mengancam dan wajah menyeramkan. Melihat keadaan pemimpinnya ini, Gui Li Sun terkejut sekali. Biarpun ia seorang yang tabah, namun melihat wajah Ouwyang Bu pada saat itu, ia menjadi ngeri dan takut.
"Ciangkun... ciangkun". maaf... yang kubunuh hanyalah seorang pemberontak..."
Tapi Ouwyang Bu tetap melangkah maju, perlahan-lahan, bagaikan seekor harimau menghampiri korbannya, bibirnya tetap bergerak-gerak dan berbisik dengan napas mendesis-desis,
"Bangsat rendah, binatang kejam"
Gui Li Sun makin takut. Tubuhnya menggigil dan untuk penghabisan kali ia berusaha membela diri.
"Ouwyang-ciangkun... ampunkan aku... ingat... ia... ia hanyalah seorang perempuan pemberontak"
Ketika Ouwyang Bu telah cukup dekat Gui Li Sun lalu menggunakan pedang di tangan kirinya untuk menyerang, tapi satu tangkisan keras membuat pedangnya terlempar dan ia terhuyung ke samping. Ouwyang Bu bergerak cepat dan tangan kanannya menghantam dada sedangkan kaki kirinya menyusul menendang lambung. Gui Li Sun memekik ngeri dan roboh tak bernapas lagi. Ouwyang Bu berdiri memandang kedua mayat itu dengan tak bergerak bagaikan patung batu. Pikirannya kacau-balau. Pada saat itu terdengar suara orang menegur di belakangnya,
"Ouwyang Bu, perbuatan apakah yang kau lakukan ini?"
Ouwyang Bu terkejut sekali karena suara itu adalah suara Cin CUn Ong. Ia mem balikkan tubuh dan benar saja, Cin-ciang-kun telah berdiri di depannya. Ouwyang Bu segera menjatuhkan diri berlutut di depan susioknya. Ia teringat akan kematian Lie Eng dan tak tertahan pula ia menangis sambil berkata,
"Susiok... adik Lie Eng..."
"Sudahlah, aku telah tahu semua. Aku tidak menyalahkan kau, dan kejadian sekarang ini sungguh kusesalkan sekali. Beginilah akibatnya kalau orang mencampuradukkan tugas kewajiban dengan perasaan-perasaan perseorangan."
"Susiok, Gui Li Sun bertindak di luar batas perikemanusiaan dan teecu sebagai seorang yang menghargai kejujuran tak kuat melihat dan..."
"Saya tahu Gui-ciangkun bersalah"
Cin Cun Ong membentak.
"Tapi betapapun besar kesalahannya, kau tak berhak membunuhnya. Untuk mengadili dia, ada pengadilan tertentu, kau tidak boleh bertindak sendiri"
Ouwyang Bu menundukkan kepala dan mengakui kesalahannya.
"Lie Eng mati karena terlalu menurutkan nafsu hatinya, tapi sudahlah, kematian bagi orang-orang dalam peperangan seperti kita tidak berarti apa-apa."
Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sungguhpun mulutnya berkata begitu, namun wajah panglima tua ini tampak bersedih juga, tanda bahwa kematian Lie Eng sangat mendukakannya hingga Cin Cun Ong kini nampak lebih tua.
"Kita harus memperkuat benteng di sini karena akan ada barisan pemberontak besar dan kuat melalui daerah ini. Karena ini pula aku membawa seribu orang tentara ke. benteng ini dan ada pula beberapa orang kawan-kawan yang membantu kita. Mari kuperkenalkan kau kepada mereka."
Ouwyang Bu mengikuti susioknya keluar dari kamar itu dan memerintahkan orang-orangnya mengurus jenasah Gui Li Sun dan Can Siauw Leng,
Dengan pesan bahwa jenasah nona itu harus diurus baik-baik dan jangan dianggap sebagai mayat musuh biasa. Setelah tiba di luar, ia diperkenalkan kepada beberapa orang tokoh persilatan yang terkenal di kalangan kang-ouw. Ia melihat Hoa-gu-ji Lee Un si Kerbau Belang, Bi Kok Hosiang si hwesio gendut yang bersenjata tasbeh, Khu Ci Lok si Huncwe Maut yang hebat. Mereka ini adalah tiga tokoh yang dulu pernah membantu Cin Cun Ong di benteng tembok besar di utara. Juga tampak Kin Keng Tojin tokoh Go-bi-san yang bongkok kurus dan di antara seribu orang anggauta tentara yang baru datang, terdapat sepasukan tentara istimewa sebagaimana dapat dilihat dari topi mereka, yakni Barisan Sayap Garuda, pahlawan-pahlawan istana kaisar yang terkenal kekejaman dan keberaniannya.
Pasukan ini terdiri dari seratus dua puluh orang. Melihat rombongan yang kuat ini, diam-diam Ouwyang Bu merasa kagum, dan ia merasa yakin bahwa kali ini barisan pemberontak pasti akan dapat dihancurkan. Semua perwira dan para ksatria itu lalu dijamu oleh Cin Cun Ong dan semua orang, kecuali Ouwyang Bu, merasa gembira. Pemuda ini tidak dapat bergembira karena hatinya masih sedih mengingat kematian Lie Eng dan ditambah pula ia menyesal sekali telah menangkap Siauw Leng hingga gadis itu menjadi binasa. Kalau saja ia binasakan gadis itu di dalam pertempuran, maka ia takkan demikian menyesal. Tapi, biarpun ia tidak membunuh gadis itu, namun tetap saja ia merasa menyesal dan merasa seakan-akan ia sendiri yang menyebabkan kematian gadis Itu. Hanya sedikit pikiran yang menghiburnya, yakni bahwa ia telah membunuh Gui Li Sun,
"Cuwi,"
Kata Cin Cun Ong.
"menurut laporan para penyelidik kita, musuh yang akan menyeberang daerah ini jumlahnya besar sekali dan mungkin lebih besar daripada jumlah anak buah kita. Akan tetapi, dengan adanya kawan-kawan di sini, kurasa kita takkan kalah. Menurut perhitunganku, malam ini tentu mereka telah tiba di sini dan kalau tidak malam ini, tentu besok pagi-pagi mereka melakukan serangan. Maka kuharap cuwi sukalah berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan. Ketahuilah bahwa tempat ini sangat penting artinya dan penyerbuan ke kota raja oleh para pemberontak itu tergantung kepada berhasil atau tidaknya mereka menyeberang daerah ini."
"Cin-eiangkun"
Tiba-tiba Khu Ci Lok si Huncwe Maut berkata setelah melepaskan huncwenya dari mulut.
"Perlukah kita takuti segala pemberontak itu? Biarpun jumlah mereka besar, tapi mereka itu terdiri dari petani-petani dan pengemis-pengemis miskin yang kelaparan. Kurasa biarpun jumlah mereka lima kali lebih banyak daripada jumlah kita, dengan satu lawan lima pun kita takkan kalah. Maka kuharap Cin-ciangkun tidak berkecil hati."
Semua orang membenarkan kata-kata ini, tapi Ouwyang Bu diam-diam khawatir melihat kesombongan mereka. Juga Cin Cun Ong berkata,
"Betapapun juga, harap cuwi berhati-hati, karena terus terang saja kukatakan bahwa di antara mereka ada juga orang pandai."
Akan tetapi, tentu saja panglima yang cerdik itu tidak mau mengecilkan hati dan semangat mereka yang membantunya ini, dan untuk menggembirakan suasana,
Ia minta kepada mereka untuk mendemonstrasikan kepandaian silat guna menyegarkan semangat. Lok Wi Beng, seorang komandan Barisan Sayap Garuda, yang masih muda dan bersikap galak, mulai dengan demonstrasi kepandaiannya. Ia adalah murid dari Him Kok Hwesio seorang tokoh dari Thai-san, maka kepandaian silatnya cukup hebat. Dengan senjata sebatang tombak panjang, perwira Sayap Garuda ini main silat tombak yang mendapat sambutan dan pujian riuh rendah. Ujung tombaknya bergetar-getar dan menjadi belasan banyaknya, mengelilingi seluruh tubuh dengan suara angin yang cukup kuat. Diam-diam Ouwyang Bu kagum juga dan merasa bahwa kepandaian komandan she Lok tidak berada di bawah kepandaiannya sendiri.
Selesai Lok Wi Beng berdemonstrasi, majulah dua perwira lain yang dijuluki Tiat-tho-siang-houw atau Sepasang Harimau Kepala Besi. Dua perwira ini adalah saudara seperguruan dan mereka ini murid-murid Siauw-lim-si yang berpihak pada pembesar seperguruan dan mereka ini murid-murid Siauw-Iim yang berpihak pada pembesar pemeras dan diperbantukan kepada Cin Cun Ong. Kepandaian kedua murid Siauw-lim si inipun cukup hebat. Mereka memperlihatkan kemahiran bersilat dengan toya dan tentu tingkat kepandaian merekapun berimbang dengan tingkat Lok Wi Beng hingga Ouwyang Bu makin berbesar hati saja. Dengan bergiliran, mereka saling memperlihatkan kehebatan mereka. Ouwyang Bu teringat akan gurunya, maka ia lalu mendekati susioknya dan dengan suara perlahan bertanya mengapa suhunya tidak datang membantu.
"Gurumu orang aneh"
Kata Cin Cun Ong.
"Aku sudah minta bantuannya tetapi ia berkata bahwa ia tidak mau mengotorkan tangannya dengan segala urusan perang. Ia telah tua dan telah menjadi lemah, sayang..."
Cin Cun Ong tertawa dan Ouwyang Bu merasa heran, diam-diam ia merasa menyesal mengapa suhunya bersikap demikian. Suhunya telah menyuruh ia dan kakaknya turun gunung untuk membantu Cin Cun Ong, tapi ia sendiri tidak mau membantu. Sungguh aneh. Pada saat itu, Khu Ci Lok si Huncwe Maut, Bi Kok Hosiang, dan Hoa-gu-ji Lee Un sudah memperlihatkan kemahiran mereka. Ketika tiba giliran Kin Keng Tojin memainkan pedangnya, maka Ouwyang Bu kagum sekali karena tosu ini memiliki kepandaian yang tinggi pula. Pada saat itu, tiba-tiba dari luar berkelebat bajingan putih dan terdengar suara orang berkata,
"Cin Cun Ong, maafkan aku mengganggu pestamu. Aku perlu dengan pemuda she Ouwyang ini"
Semua orang terkejut ketika melihat betapa tiba-tiba saja di tengah ruangan itu berdiri seorang tua berpakaian sebagai petani dengan baju warna putih dengan sikap-tenang sekali.
"Sin-liong Ciu Pek In"
Cin Cun Ong berkata terkejut. Mendengar nama ini, Hoa-gu-ji Lee Un tahu bahwa kakek yang datang ini adalah seorang tokoh pemberontak yang terkenal sekali, maka diam-diam ia mengeluarkan tiga batang piauw dan melemparkan senjata rahasia itu dari jurusan belakang, mengarah tiga jalan darah yang paling berbahaya dari kakek itu. Semua orang terkejut melihat hal ini dan terutama Cin Cun Ong merasa tak senang karena tindakan Lee Un itu dianggap gegabah dan sembrono sekali. Ciu Pek In seperti tidak tahu akan datangnya tiga batang piauw yang menyambut dan tiga buah senjata rahasia itu tepat mengenai tubuhnya. Tapi sungguh aneh. Bagaikan mengenai karet saja, tiga buah senjata itu mental kembali dan jatuh di atas tanah tanpa melukai kulit kakek itu sedikitpun.
"Cin Cun Ong, tidak malukah kau menyambut tamu dengan cara gelap?"
Tanyanya kepada Cin Cun Ong. Cin-ciangkun dengan muka merah berkata,
"Pemberontak tua. Apakah kehendakmu datang ke sini?"
"Ada dua macam keperluan. Pertama, aku hendak membawa pemuda she Ouwyang ini karena ada sesuatu urusan penting. Kedua, aku memimpin barisanku hendak menyerang bentengmu ini dan kini mereka telah mulai menyerbu masuk"
Dan pada saat itu terdengar sorak-sorai yang hebat dan gegap-gempita dari luar benteng. Terkejutlah semua orang yang berada di situ.
"Ciu Pek In, kau mencari mati"
Kata Cin Cun Ong sambil mencabut pedangnya. Tapi pada saat itu, dari luar berloncatan masuk beberapa orang, di antaranya tampak Ouwyang Bun, Can Cui Sian si Bunga Bwee, tampak juga tiga orang tosu ulung yang sebenarnya adalah Cun-san Sam-lo-hiap (Tiga Pendekar Tua Dari Cun-san), tampak pula Bhok Sun Ki si Raja Pengemis, Cin Kong Hwesio ketua kelenteng Hok-po-tong yang gemuk pendek, dan tidak ketinggalan Kilok Ngo-koai (Lima Setan Dari Kilok).
Ternyata para pemimpin pemberontak ini dengan gagah berani menyerbu masuk pada saat para pemimpin barisan negeri sedang berkumpul. Sedangkan anak buah mereka telah bertempur di luar tembok benteng dengan hebat melawan penjaga-penjaga benteng. Di ruangan yang lebar itu segera terjadi pertempuran yang. luar biasa hebatnya. Ciu Pek In yang mempunyai gerakan bagaikan seekor naga sakti, sekali menggerakkan tubuh sudah menyambar ke arah Ouwyang Bu dan sebelum anak muda itu dapat melawan, ia telah kena ditotok hingga tak dapat bergerak. Cin Pek In lalu mengempit pemuda itu dan dibawa meloncat keluar dari ruangan. Ia turunkan Ouwyang Bu di atas tanah. Ia bertanya dengan suara tetap dan berat,
"Anak muda yang sesat, kau apakan muridku si Siauw Leng?"
Pada saat itu Cui Sian juga memburu kesitu dan melihat pemuda itu ia memaki gemas,
"Manusia keji. Kau telah menculik dan menganiaya tunanganmu sendiri, sungguh kejam dan rendah"
Biarpun Ouwyang Bu telah ditotok tai-twi-hiat yakni jalan darah yang membuat ia lemah tak berdaya, namun ia masih dapat berbicara dan semangatnya tidak padam. Dengan berani dan tabah ia berkata,
"Aku sudah tertangkap, mengapa tidak lekas kau bunuh, mau tunggu apalagi?"
"Akuilah dulu bagaimana kau membunuh muridku"
Kata Ciu Pek In. Tapi Ouw yang Bu hanya memandang dengan mata bersinar dan tidak mau menjawab. Betapapun juga, ia telah merasa bertanggung jawab atas kematian Siauw Leng, untuk apa ia harus menceritakan segala peristiwa itu hingga seakan-akan ia membela diri? Ia tidak takut mati dan ia tak perlu minta dikasihani. Melihat kekerasan hati Ouwyang Bu, Cui Sian menjadi tak sabar dan tak dapat menahan kemarahan hatinya, ia mengangkat tangannya yang memegang pedang. Tapi pada saat itu terdengar teriakan,
"Moi-moi. Ciu-locianpwe. Tahan dulu... dengarlah keterangan orang ini"
Ternyata yang datang adalah Ouwyang Bun yang menyeret-nyeret seorang anggauta tentara. Anak muda ini sengaja menangkap dan memaksa tentara ini mengaku dan menceritakan peristiwa yang terjadi antara Gui Li Sun, Siauw Leng, dan Oouyang Bu. Dengan paksaannya, tentara itu terpaksa menceritakan kembali di depan Ciu Pek In dan Can Cui Sian tentang peristiwa itu, betapa Gui-ciangkun menawan Siauw Leng dan betapa ia membawa gadis itu ke tendanya dengan maksud jahat. Kemudian datang Ouwyang Bu yang menghalangi maksudnya hingga terjadi pertempuran. Dan ia ceritakan pula bahwa yang membunuh Siauw Leng adalah Gui Li Sun dan bahwa karena itulah Ouwyang Bu sampai membunuh orang she Gui itu. Mendengar keterangan ini, tiba-tiba Cui Sian menjerit lirih dan ia pegang tangan Ouwyang Bu sambil berkata,
"Ah... kau... telah membalaskan sakit hati Siauw Leng... dan... dan aku yang membunuh kekasihmu... sekarang mendakwamu lagi..."
Tapi Ouwyang Bu tidak memperlihatkan muka girang, dan setelah Ciu Pek In dengan wajah kagum melepaskan totokannya, Ouwyang.Bu berdiri lalu berkata keras,
"Aku adalah seorang perajurit yang telah bersumpah setia kepada negara. Segala urusan pribadi ini bukanlah urusanku. Nona Siauw Leng terbunuh karena ia seorang anggauta pemberontak yang tertawan. Ini sudah sewajarnya. Gui-ciangkun kubunuh karena ia melanggar peraturan kami. Ini-pun sewajarnya"
Kemudian ia menghunus pedangnya dan dengan gagah berkata,
"Dan kalian semua adalah anggauta-anggauta pemberontak yang melanggar tempat penjagaanku, maka sudah sewajarnya pula kalau menjadi musuh-musuhku yang harus kubasmi"
Ia lalu menggerakkan pedangnya mengamuk.
"Ouwyang-hiante, kau layani dia"
Kata Ciu Pek In kepada Ouwyang Bun. Pemuda ini dengan hati perih terpaksa menurut dan dengan pedangnya ia menangkis serangan Ouwyang Bu yang kalap.
"Bu-te, jangan kau gunakan pedangmu terhadap aku. Mari kita berdua pergi saja jauh-jauh, Bu-te."
"Jangan banyak cerewet. Kau pemberontak dan aku perajurit negara"
Adik yang telah kalap ini menyerang lagi lebih hebat hingga terpaksa Ouwyang Bun menangkis dengan hati-hati. Berkali-kali Ouwyang Bun menyebut nama adiknya dengan hati hancur. Ia tidak mau balas menyerang, hanya menangkis saja. Melihat keadaan Ouwyang Bun demikian itu, Cui Sian tahu bahwa kalau dilanjutkan, kekasihnya itu tentu akan kena celaka di ujung pedang Ouwyang Bu, maka ia meloncat untuk membantu. Tapi pada saat itu, datanglah Cin Cun Ong yang sengaja mencari-cari Ouwyang Bu. Melihat Ouwyang Bun sedang bertempur melawan adiknya, panglima tua ini marah sekali dan membentak,
"Ouwyang Bun, kau pemuda pengkhianat"
Tapi terdengar jawaban Ciu Pek In dengan suara halus,
"Cin Cun Ong, seseorang bebas memilih pendapatnya sendiri-sendiri tak dapat dipaksa untuk hanya ikut-ikutan saja. Ouw yang Bun telah memilih perjuangan kami."
"Kau tua bangka yang menjadi biang keladi semua ini"
Bentak Cin Cun Ong dengan marah sekali lalu menyerang Ciu Pek In.
Kedua jago tua ini lalu bertempur dengan luar biasa hebatnya. Cui Sian tetap membantu Ouwyang Bun dan melihat betapa Ouwyang Bun benar-benar tidak sanggup mengangkat senjata terhadap adiknya yang dikasihi, gadis ini lalu menyuruh ia membantu saja kawan yang lain. Pertempuran di dalam benteng yang berjalan hampir setengah hari itu ternyata dimenangkan oleh pihak pemberontak, karena tidak saja jumlah mereka jauh lebih besar, tapi juga datang barisan baru di bawah pimpinan Thio Sian Tiong sendiri, pemimpin besar pemberontak yang sangat terkenal itu. Tentu saja pihak tentara negeri tak sanggup menahan serangan gelombang besar dari barisan pemberontak ini dan mereka segera mundur sambil meninggalkan ratusan korban.
Dan pertempuran yang berlangsung antara para pemimpin di dalam tenda besar juga hebat sekali. Ternyata keadaan mereka seimbang, tapi melihat bahwa anak buah mereka telah kalah dan kabur, banyak pula di antara mereka, termasuk Khu Ci Lok si Hun-cwe Maut dan Kin Keng Tojin, segera meninggalkan lawan dan lari. Yang lain-lain telah roboh menjadi korban senjata. Di pihak pimpinan pemberontak, Kilok Ngo-koai yang berjumlah lima orang itu tetah roboh tiga dan tinggal dua orang lagi saja, juga Bhok Sun Ki si Raja Pengemis telah tewas. Cin Kong Hwesio mendapat luka bacokan dan masih banyak pula pemimpin dan pembantu lain yang menderita luka. Setelah sisa dari mereka yang bertarung di dalam tenda itu pada lari, kini masih bertempur ramai hanyalah Cin Ong melawan Ciu Pek In dan Ouw-Bu melawan Cui Sian.
Sebenarnya, beberapa kali Ciu Pek In tadi berseru bahwa kalau Cin Cun Ong hendak lari, ia takkan mengejar. Tapi ucapan ini hanya menimbulkan kemarahan Cin Cun Ong dan Ouwyang Bu saja. Kedua ksatria tua dan muda ini ingin berkelahi terus sampai napas terakhir. Mereka lebih baik mati daripada harus meninggalkan benteng itu. Ciu Pek In adalah seorang ahli pedang yang istimewa dan berkepandaian tinggi, namun menghadapi Cin Cun Ong ia tidak berdaya dan bukan perkara mudah untuk mengalahkan panglima tua itu. Dan biarpun Cui Sian hebat juga, namun kepandaian Ouwyang Bu dapat mengimbanginya. Kini semua kawanan pemberontak yang ditinggal lari musuh, mengurung tenda itu dan beberapa orang pemimpin hendak membantu Ciu Pek In dan Cui Sian tapi Ciu Pek In berteriak,
"Jangan. Jangan main keroyokan terhadap dua orang pahlawan gagah ini. Aku dan muridku masih belum kalah"
Pertempuran berlangsung terus dengan hebatnya. Tiba-tiba dari luar masuk seorang laki-laki berusia kira-kira empat puluh lima tahun, berpakaian seperti orang tani dan bertopi lebar. Kumis dan jenggotnya yang hitam panjang itu terpelihara matanya yang tajam. Semua seorang segera memberi jalan padanya dengan sikap hormat. Ia lalu melihat empat orang yang sedang bertempur itu dengan kagum dan akhirnya mengeluarkan sebuah gendewa dan beberapa batang anak panah. Lalu ia berseru dengan suara menggeledek,
"Ciu-lopeh dan Can-siocia. Kalian mundurlah"
Mendengar suara yang sangat berpengaruh dan telah mereka kenal baik ini, Ciu Pek In dan Cui Sian segera meloncat mundur meninggalkan lawan mereka dari pada saat itu enam batang anak panah meluncur bagai kilat.
Tiga menuju ke arah Ouwyang Bu dan tiga lagi menuju ke arah Cin Cun Ong. Biarpun sudah lelah sekali, namun Cin Cun Ong masih berhasil mengelakkan dua di antara tiga anak panah itu tapi yang ketiga tepat menancap di dada kirinya hingga ia terhuyung mundur lalu roboh tak berkutik lagi. Anak panah itu menembus jantungnya hingga ia binasa seketika itu juga. Ouwyang Bu yang gagah, hanya dapat menangkis sebatang anak panah, yang dua batang tepat menancap di dada hingga pemuda inipun rebah dan mati seketika itu juga tanpa mengeluarkan suara sedikitpun sama halnya dengan Cin Cun Ong, itu mati dengan pedang masih erat tergenggam dalam tangan. Semua orang maju melihat kedua orang yang gagah perkasa ini. Ouwyang Bun mau menubruk adiknya yang telah mati sambil mengeluarkan keluhan sedih.
"Anak muda, mundur kau"
Petani bertopi lebar tadi berkata lagi dengan suaranya yang menggeledek.
"Ini bukan waktunya untuk menangis. Mundurlah"
Tapi pada saat Ouwyang Bun mundur, ia melihat persamaan muka di antara Ouwyang Bun dan pemuda yang rebah itu, maka ia segera bertanya,
"Ah, kalian ini bersaudarakah?"
Cui Stan yang mewakili kekasihnya menjawab,
"Mereka adalah saudara kembar yang berselisih pendapat, taihiap."
Mata orang itu bersinar ganjil.
"Hm, anak muda. Kau beruntung mempunyai saudara seperti ini. Tak perlu kau bersedih, bahkan kau boleh merasa bangga. Kalau saja kita mempunyai orang-orang seperti Cin Cun Ong dan anak muda ini. Lihat, semua kawan-kawan, lihatlah. Dua orang ini barulah patut disebut orang-orang gagah, perajurit-perajurit sejati, yang patut dicontoh oleh semua orang yang menganggap dirinya sebagai ksatria. Mereka berdua ini dengan pedang di tangan membela benteng ini sampai titik darah terakhir. Biarpun kawan-kawan mereka telah lari, namun mereka tetap membela tempat pertahanan yang menjadi tanggung jawab mereka, tetap memenuhi tugas kewajiban sebagaimana layaknya seorang pahlawan sejati. Inilah orang-orang gagah perkasa, perwira-perwira yang patut kita hormati"
Siapakah orang bertopi lebar yang mempunyai suara menggeledek dan mempunyai ilmu memanah yang luar biasa hebatnya ini? Tidak lain ialah Thio Sian Tiong sendiri, pemimpin pemberontak yang terkenal itu, yang bersama-sama seorang pemberontak lain yang lebih terkenal lagi, yakni Lie Cu Seng, telah berhasil menggerakkan rakyat tertindas untuk menggulingkan pemerintahan kaisar lalim. Setelah itu, semua barisan pemberontak lalu maju bergerak menuju ke kota raja. Kemudian mereka menggabungkan diri dengan barisan Lie Cu Seng dan langsung menyerbu kota raja hingga berhasil menghalau semua pembesar. Kaisar lalim berhasil lolos dari istana, tapi karena terus dikejar-kejar akhirnya ia menjadi putus asa dan menggantung diri di sebuah gunung hingga binasa.
Pada saat terakhir itu, barulah kaisar insyaf akan kesalahannya, insyaf bahwa ia sebagai seorang pemimpin telah lupa akan kewajibannya, hanya ingat akan kesenangan diri sendiri saja, berfoya-foya dan bersenang-senang dan sama sekali tidak memperdulikan nasib rakyatnya hingga seakan-akan buta terhadap segala kejahatan dan kecurangan para pegawainya hingga rakyat kecil hidup tertindas dan sengsara. Setelah pepterangan padam dan semua menjadi aman kembali, Ouwyang Bun dan Cui Sian kembali ke Tung-han, ke rumah orang tua Cui Sian. Can Lim Co. suami isteri girang sekali melihat Cui Sian pulang dan bahkan telah bertemu dengan tunangannya, tapi mereka berduka mendengar tentang kematian Siauw Leng. Dengan singkat Cui Sian menceritakan segala pengalamannya kepada ayah ibunya. Setelah tinggal untuk tiga hari di rumah calon mertuanya, Ouwyang Bun lalu pulang ke Nam-tin, ke kampung orang tua nya.
Alangkah sedih hati ayah ibunya ketika mendengar tentang gugurnya Ouwyang Bu, tapi Ouwyang Bun dapat menghibur mereka dan menceritakan betapa Ouwyang Bu gugur sebagai seorang ksatria dan mendapat penghormatan besar baik dari kawan maupun dari lawan. Ketika Ouwyang Bun menceritakan betapa ia sendiri menggabungkan diri dengan para pemberontak, ayahnya agak kurang senang, tapi melihat kenyataan bahwa akhirnya Lie Cu Seng yang menang, ia tidak berkata apa-apa. Melihat sikap ayahnya, Ouwyang Bun yang sudah mendapat pengalaman itu lalu menceritakan tentang keadaan rakyat kecil yang penuh derita dan menceritakan pula bahwa sudah menjadi kewajiban tiap orang yang menyebut dirinya sebagai hohan (orang budiman) untuk menolong mereka ini, baik dengan tenaga, harta, maupun pikiran membantu mereka terlepas dari kesengsaraan.
Akhirnya terbukalah pikiran ayahnya dan lambat-laun Ouwyang Heng Sun menjadi seorang hartawan yang dermawan di kotanya. Tiga bulan kemudian, dilangsungkanlah perkawinan antara Ouwyang Bun dan Cui Sian yang dirayakan dengan ramai sekali. Banyak sekali orang-orang besar yang mereka kenal menghadiri pesta perkawinan itu, di antaranya tampak pula. Pat-jiu Lo-mo Ang In Liang, guru Ouwyang-heng-te. Dan adalah satu hal yang sama sekali diluar dugaan Ouwyang Bun ketika ia mendengar dari suhunya bahwa orang tua itupun ternyata... membantu pergerakan pemberontak, tapi di rombongan lain yakni ia membantu barisan di bawah pimpinan orang besar Lie Cu Seng sendiri. Tentu saja, selain girang mendengar ini, Ouwyang Bun juga merasa heran sekali dan mengajukan pertanyaan kepada suhunya itu.
Sambil mengelus-elus jenggotnya yang panjang dan putih Pat-jiu Lo-mo Ang In Liang lalu menuturkan betapa tadinya iapun anti kepada pemberontak hingga ia sendiri menyuruh kedua muridnya membantu sutenya Cin Cun Ong. Bahkan ia sendiri ketika mendengar bahwa barisan pemberontak hendak lewat di daerah Hong-san, lalu turun gunung mencegat dan hendak melawan. Tapi ia heran sekali melihat betapa semua rakyat miskin menyambut kedatangan pemberontak dengan suka ria. Ia lalu menggunakan kepandaiannya untuk memasuki tenda besar dengan maksud mengacau pemimpin barisan. Tak tahunya ia bertemu dengan Lie Cu Seng sendiri. Di dalam tenda itulah ia menerima keterangan-keterangan. dan petuah-petuah hingga terbuka matanya dan ia menjadi insyaf akan sucinya tugas barisan rakyat itu. Dengan suka rela ia lalu menggabungkan diri.
Mendengar ini, tentu saja Ouwyang Bun suami isteri menjadi girang sekali. Demikianlah, sepasang orang muda ini hidup berbahagia, saling mencintai dan menghormati sampai di hari tua.
TAMAT
Djvu : Teppai
Editor : Teppai & Dewi KZ
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com
Pedang Pusaka Thian Hong Karya Kho Ping Hoo Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo