Ceritasilat Novel Online

Sepasang Rajah Naga 1


Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 1




   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 01

   Perahu itu berbentuk naga. Perahu yang sedang saja dan layarnya yang terkembang itu sudah penuh tambalan. Akan tetapi perahu itu melaju dengan tenangnya. Layarnya mengembung terdorong angin lembut yang cukup kuat. Perahu meluncur lembut seolah tidak terasa ada ombak yang mengganggu. Air laut amat biru dan tenang. Langit pun biru dan banyak awan putih mEnciptakan berbagai bentuk yang aneh-aneh di angkasa. Matahari pagi itu memancar dengan cerah. Tukang perahu yang berusia kurang lebih lima puluh tahun itu, duduk mengemudikan perahu dengan wajah berseri. Tidak ada kesenangan yang lebih menggembirakan bagi seorang tukang perahu dari pada keadaan laut tenang dan lembut seperti itu.

   Di bagian perahu yang terlindung atap, duduk dua orang wanita berusia kurang lebih dua puluh lima tahun. Mereka bercakap-cakap sambil memangku anak mereka masing masing. Dua orang anak laki-laki yang usianya sekitar tiga tahun. Melihat pakaian wanita-wanita dan anak mereka itu, dapat diduga bahwa mereka adalah orang-orang kota, bukan orang-orang dusun yang miskin. Pakaian mereka terbuat dari Sutera halus. Wajah merekapun cantik dan terpelihara. Anak-anak merekapun tampan dan sehat, kemerahan warna pipi kedua anak itu. Terdengar suara orang bercakap-cakap dan tertawa di bagian depan perahu. Dua orang laki-laki, berusia kurang lebih tiga puluh tahun, duduk berhadapan di papan perahu. Seguci arak berada di antara mereka berikut dua buah cawan arak.

   "Wong Siauw-te (Adik Wong), coba lihat itu. Engkau melihat bentuk-bentuk yang aneh di sebelah sana itu?"

   Kata seorang antara mereka yang bertubuh tinggi besar berkumis tipis dan berjenggot pendek sambil menuding ke atas, ke arah langit sebelah barat. Orang kedua yang bertubuh sedang berwajah tampan dan mempunyai sebuah tahi lalat di dagunya, menengadah dan memandang ke arah langit yang ditunjuk oleh kawannya. Setelah memandang sejenak, dia berseru,

   "Tan Twa-ko (Kakak Tan)! Engkau juga melihat apa yang kulihat? Awan-awan itu membentuk dua ekor naga, hitam dan putih!"

   "Benar! Dua ekor naga, seekor putih dan seekor hitam, melayang-layang di angkasa. Kupikir, keadaan kita berdua ini mirip dengan sepasang naga itu, Wong Siauw-te. Terpaksa terbang, dikejar-kejar, melayang-layang tidak tentu arah tujuan, harus melarikan diri. Ah, betapa hal itu membuat hatiku merasa penasaran sekali!"

   Orang tinggi besar bermarga Tan itu menghela napas panjang.

   "Betul sekali, Tan Twa-ko. Betapa amat kebetulan sekali. Bukankah kita berdua inipun Shio Liong Bertahun kelahiran Naga)? Dan lihat perahu yang kita tumpangi ini. Berbentuk naga pula! Anehnya, dua orang anak kita juga shio Liong! Mereka berselisih tepat dua puluh empat tahun dengan kita."

   Wong Cin, pria yang bertubuh sedang dan berwajah tampan itu, mengangguk-angguk.

   "Memang sungguh kebetulan sekali. Agaknya para dewa hendak menunjukkan sepasang naga di angkasa yang terbentuk dari pada awan-awan hitam putih itu sebagai pertanda akan keadaan kita berdua."

   "Mari kita mengangkat cawan dan minum arak.untuk memperingati peristiwa ini, Wong Siauw-te!"

   Kata Tan Hok, pria yang tinggi besar itu sambil mengisi cawan mereka dengan arak yang dituangkannya dari dalam guci.

   "Mari, Tan-Twako!"

   Kata Wong Cin sambil mengangkat cawannya. Keduanya minum habis arak dalam cawan dengan sekali tenggak dan Wong Cin berkata.

   "Kalau saja di sini terdapat seorang tukang rajah (pembuat lukisan di atas kulit) yang pandai, alangkah baiknya kalau kita menyuruh dia membuatkan rajah gambar naga kepada tubuh anak kita masing-masing untuk menandai peristiwa munculnya sepasang naga awan di angkasa itu!"

   Ucapannya terdengar ringan dan gembira, pertanda bahwa hawa arak mulai mempengaruhi lidahnya.

   "Pikiran yang baik sekali!"

   Kata Tan Hok.

   "Akan tetapi di atas lautan ini, di mana kita bisa menemukan seorang tukung rajah? Apa lagi tukang rajah yang pandai, yang dapat membuat rajah di tubuh anak anak kita tanpa mendatangkan rasa nyeri."

   "Saya adalah seorang tukang rajah!"

   Tiba-tiba terdengar suara yang dalam dan agak parau. Dua orang bersahabat itu menengok dan ternyata yang bicara adalah tukang perahu yang usianya sudah lima puluh tahun itu.

   Dengan perasaan heran keduanya tanpa dikomando lalu bangkit berdiri, Tan hok membawa guci arak dan Wong Cin membawa dua cawan arak, lalu mereka menghampiri tukang perahu yang duduk di buritan memegang kemudi. Mereka berdua lalu duduk di depan tukang perahu itu dan mendengar pengakuan tukang perahu bahwa dia adalah seorang tukang rajah, kedua orang sahabat itu mengamati si tukang perahu yang sebelumnya tidak mereka perhatikan. Dia seorang pria berusia lima puluh taun lebih. Kulit muka dan tangannya yang tidak terlindung tampak coklat kehitaman karna dibakar terik matahari setiap hari. Wajahnya penuh keriput yang merupakan garis mendalam, akan tetapi sepasang matanya membayangkan kecerdikan dan kaya akan pengalaman hidup. Kedua tangan yang memegang kemudi itu tampak tegap dan kuat, walaupun tubuhnya agak kurus dan jangkung.

   "Paman, benarkah engkau pandai merajah?"

   Tanya Tan Hok setelah dia duduk di depan tukang perahu itu. Tukang perahu itu mengangguk. Muka yang menunjukkan penuh garis-garis kepahitan hidup itu selalu tampak muram, tidak pernah ada senyum muncul di sana.

   "Banyak pelaut minta kepada saya untuk membuatkan rajah di tubuh mereka. Akan tetapi saya belum pernah merajah di tubuh bangsawan seperti tuan berdua."

   Wong Cin mengerutkan alisnya.

   "Paman, bagaimana Paman menduga bahwa kami berdua adalah orang-orang bangsawan.?"

   "Mudah saja, tuan. Dari bahasa percakapan, dari gerak dan gaya jiwi (anda berdua), juga melihat keadaan kedua Hujin (nyonya) dan kedua Kongcu (tuan muda), mudah diduga bahwa jiwi tentulah keluarga bangsawan."

   "Paman, engkau seorang tukang perahu yang aneh. Siapakah namamu"

   Tanya Tan Hok.

   "Orang-orang memanggil saya A-ming. Itulah nama saya,"

   Jawab tukang perahu itu dengan sederhana.

   "Benarkah engkau pandai merajah kulit tubuh, Paman A-ming?"

   Tanya Wong Cin.

   "Sudah bertahun-tahun saya merajah, sudai ratusan orang saya rajah kulitnya dan saya dapat membuat gambar rajah apa saja dari segala macamn bunga sarmpai segala macam binatang,"

   Kata tukang perahu tanpa nada bangga. Suaranya dalam agak parau dan datar saja, seolah-olah yang dia bicarakan itu adalah soal yang biasa saja.

   "Dan dapatkah engkau merajah kulit tubuh anak kami tanpa membuat mereka menderita nyeri?"

   Tanya Tan Hok.

   "Saya mempunyai obat khusus untuk menghilangkan rasa nyeri ketika kulit tubuh saya tusuk-tusuk dengan jarum untuk merajah."

   "Bagus! Kalau begitu buatkanlah rajah gambar naga kepada anak kami,"

   Kata WongCin.

   "Sebaiknya di manakah rajah itu dIbuat Tan-Twako? Di lengan atau jangan di lengan. Sebaiknya di dada saja agar jangan terlihat orang, akan tetapi menjadi kenangan atas peristiwa hari ini. Paman A-ming, aku ingin engkau merajah dada anakku Tan Song Bu dengan sebuah gambar naga hitam. Dapatkah?"

   "Tentu saja dapat, tuan."

   "Dan aku ingin engkau merajah dada anakku Wong Sin Cu dengan sebuah gambar naga putih!"

   Kata pula Wong Cin dengan nada gembira.

   "Aku ingin naga itu berbentuk seperti itu...! Tan Hok berdongak dan menuding ke atas, akan tetapi wajahnya tempak kecewa ketika dia melihat bahwa bentuk dua ekor naga di angkasa itu telah membuyar.

   "Ah, awan berbentuk sepasang naga di angkasa itu telah hilang"

   Katanya.

   "Paman A-ming, engkau dapat merajah gambar naga tanpa melihat contoh, bukan?

   "Gambar naga? Mudah saja!"

   Jawab A-ming. Wong Cin dan Tan Hok segera memasuki bilik perahu dan memberitahu isteri mereka akan maksud mereka membuatkan rajah pada dada anak mereka.

   "Hari ini adalah hari istimewa. Kami berdua tadi melihat awan di angkasa berbentuk gambar sepasang naga. Bukankah anak kita juga shio Liong?"

   "Akan tetapi, kalau dada anak kita dirajah, tentu dia akan kesakitan!"

   Protes Liu Hong atau Nyonya Tan Hok yang berwajah cantik manis.

   "Kalau perajahan itu menyakitkan, aku tidak membolehkan Sin Cu dirajah"

   Berkata pula Su Leng Ci atau Nyonya Wong Cin yang juga cantik dan berkulit putih mulus.

   "Tidak nyeri, jiwi Hujin (kedua nyonya), saya tanggung anak-anak itu tidak mengalami nyeri. Obat penghilang rasa nyeri saya amat ampuh. membuat kulit menjadi kebal rasa,"

   Kata A-ming si tukang perahu yang mendengar percakapan itu, dari buritan. Dua pasang suami isteri itu lalu membawa anak mereka mendekati tukang perahu yang sudah mengeluarkan sebuah buntalan kain kuning yang tadi dia le takkan di dekatnya.

   "Biar Song Bu yang lebih dulu dirajahi kata Tan hok dengan gembira sambil membuka baju anak itu sehingga tampak dadanya. Biarpun baru berusia tiga tahun, sudah tampak bahwa Tan Song Bu memiliki perawakan besar dengan tulang-tulang yang Kokoh jangan lupa Paman A-ming, rajah gambar naga hitam untuk anakku!"

   "Harap tuan suka menggantikan saya memegang kemudi ini, Untuk saat ini air laut tenung sehingga mudah memegang kemudi dan saya dapat melakukan perajahan dengan baik."

   Tan Hok lalu mengambil alih kemudi perahu.

   Pekerjaan ini mudah saja karena air laut tenang dan angin berembus lembut namun kuat, Paman A-Ming lalu membuka buntalan kuning dan mengeluarkan alat rajah yang terdiri dari beberapa batang jarum, obat yang membuat kulit kebal dan semacam tinta hitam. Mula-mula dia meiumuri dada Tan Song Bu dengan obat penghilang rasa nyeri itu, membiarkan obat itu meresap ke dalam kulit untuk beberapa lamanya dan mulailah dia mengerjakan perajahan, menggunakan jarum-jarum untuk menusuki kulit dada anak itu. Ujung jarum itu telah dicelupkan ke dalam tinta hitam sehingga ketika ditusukkan, tinta hitam memasuki kulit yang terluka. Ternyata obat kebal kulit itu ampuh sekali. Buktinya Tan Song Bu yang ditusuki kulitnya sama sekali tidak menunjukkan rasa nyeri. Sambil bekerja menusukkan ujung jarum itu dengan teliti sekali, A-ming bercerita.

   "Rajah Naga mengingatkan aku akan dongeng tentang Naga Putih dan Naga Hitam gumumnya lirih seperti bicara kepada diri sendiri. Mendengar ini, dua pasang suami isteri itu tertarik.

   "Paman, ceritakanlah dongeng itu kepada kami!"

   Pinta Liu Hong atau Nyonya Tan.

   "Ya, ceritakanlah, Paman,"

   Desak Su Leng Ci atau Nyonya Wong. A-ming mengangguk, mencelupkan ujung jarumnya ke dalam tinta hitam dan asyik bekerja lagi.

   "Baik, akan kuceritakan. Dahulu kala, Raja Siang Sang Matahari dan Ratu Malam Sang Rembulan bersaing untuk menonjolkan kekuasaan mereka. Disaksikan para dewa, mereka ber tanding mengadu kesaktian untuk saling mengalahkan. Dalam pertarungan itu, Ratu Malam Sang Rembulan mEnciptakan seekor naga hitam yang mengumuk di angkasa. Raja Siang Sang Matahari tidak mau kalah dan dia mEnciptakan seekor naga putih untuk mengimbangi sepak terjang sang naga hitam. Terjadilah pertempuran dahsyat di angkasa. Kedua naga itu sama saktinya dan berimbang kekuatannya hingga terus terjadi perang di antara mereka sampai saat ini. Kalau mereka bertanding, mereka mengeluarkan halilintar. Guntur, geledek dan kilat menyambar-nyambar. Mereka meniupkan angin taufan, membuat air laut bergelombang menimbulkan badai, menurunkan hujan lebat. Kadang naga hitam unggul dan menutupi matahari dengan awan-awan hitam yang gelap namun kadang naga putih unggul mengusir awan awan gelap. Pertempuran itu terus menerus terjadi dan sampai kini tidak diketahui siapa yang kalah dan siapa yang menang."

   A-ming berhenti bercerita dan rajah naga hitam yang dIbuatnya di dada Tan Song Bu sudah selesai. Di dada anak itu terlukis sebuah gambar seekor naga hitam yang indah. Demikian indahnya gambar rajah itu sehingga seolah-olah naga kecil hitam itu hidup. di kala anak itu bernapas dan dadanya bergerak turun naik. Gambar naga itu ikut bergerak seperti terbang melayang! setelah selesai merajah dada Tan Song Bu dengan gambar naga hitam, A-ming mulai mengerjakan rajah gambar naga putih didada Wong Sin Cu.

   "Dongeng itu sederhana sekali,"

   Kata Tan Hok setelah A-ming selesai bercerita tentang naga putih dan naga hitam.

   "Tidak begitu sederhana seperti tampaknya, Tan-Twako,"

   Kata Wong Cin. Wong Cin adalah seorang terpelajar, mengerti tentang sastra, filsafat dan sejarah yang tadinya memegang jabatan sebagai seorang jaksa di Kotaraja.

   "Tidak sederhana? Apa maksudmu, Wong-siauwte?"

   Tanya Tan Hok yang tadinya menjabat sebagai seorang perwira, juga bertugas di Kotaraja. Dongeng itu mengandung arti yang mendalam. Ratu Malam Sang Rembulan dan Raja Siang Sang Matahari, naga hitam dan naga putih, itu melambangkan kekuatan Im dan Yang (Positif dan Negatif). Kedua unsur ini selalu bertentangan, saling tarik menarik, saling dorong mendorong, saling menguasai, seolah selalu saling bertandig, tidak henti-hentinya. Tidak ada yang kalah atau menang. Justeru karena dua sifat yang bertentangan inilah yang membuat seluru alam semesta bergerak, dunia berputar, saling isi tmengisi. Yang satu melengkapi yang lain, tanpa yang satu tidak akan ada yang lain. Yang satu jantan yang lain betina."

   "Wah, demikian dalamkah arti dongeng itu, Wong-siauwte? Lalu apa artinya tanpa yang satu tidak akan ada yangain itu?"

   Tanya Tan Hok. Diapun seorang terpelajar, akan tetapi yang dipelajari secara mendalam hanyalah ilmu perang dan ilmu silat.

   "Im dan Yang sifatnya berlawanan, yang satu menjadi kebalikan yang lain. Seperti siang dan malam, terang dan gelap, baik dan jahat, senang dan susah. Tanpa yang satu, apakah yang lain itu akan ada? Tanpa adanya gelap, dapatkah kita mengenal terang? Tanpa adanya yang jahat, dapatkah kita mengenal yang baik? Karena itu, yang satu harus ada untuk melengkapi yang lain agar menjadi utuh. kenyataan seperti inilah yang, tidak dikehendaki oleh Thian, karena tanpa kehendakNya hal itu tidak akan terjadi.

   "Akan tetapi mengapa Thian mengadakan iblis yang menjadi sumber terjadinya kejahatan di dunia ini?"

   Tan Hok mengejar, suaranya pahit karena dia teringat akan keadaan dirinya sendiri bersama keluarga sahabatnya itu, yang menjadi korban dari perbuatan jahat.

   "Hal ini sudah sewajarnya, twa-ko. Deagan adanya kebaikan dan kejahatan, manu-sia berwenang untuk memilih jalan mana yang akan diambilnya, jalan yang ditunjukkan Thian ataukah jalan yang ditunjukkan oleh iblis. Seperti yang telah disodorkan kepada kita berdua. Kalau kita mengambil jalan iblis tentu kita akan menjadi antek para pembesar korup itu dan hidup bermewah-mewahan di Kotaraja. Akan tetapi kita tidak sudi mengambil jalan itu yang menindas rakyat, maka kita memilih jalan Thian, menjauhi perbuatan maksiat dan jahat itu.

   "Dan akibatnya kita dikejar-kejar dan selalu berada dalam ancaman bahaya sebagai orang-orang pelarian."

   "Itu sudah merupakan akibat yang harus kita hadapi dengan tabah, Tan-Twako. Mengambil jalan Thian, mempertahankan kebenaran dan keadilan, memang mengandung banyak resiko yang mungkin membawakita kepada kesengsaraan duniawi. Akan tetapi, kesenangan duniawi bukan hal yang mutlak penting dalam kehidupan ini. Kesenangan duniawi bukanlah segalanya! Bahkan seorang kun-cu (orang bijaksana) siap mengorbankan nyawanya demi mempertahkan kebenaran dan keadilan!"

   "Ah, tuan sungguh seorang yang amat bijaksana!"

   Tiba-tiba A-ming membungkuk dengan hormat kepada Wong Cin.

   "Sekarang saya mengetahui bahwa jiwi (anda berdua) adalah dua orang bangsawan pembela kebenaran dan keadilan yang menentang kelaliman dan karenanya menjadi buronan. Senang sekali hati saya telah dapat merajah putera putera jiwi!"

   Rajahan pada dada Wong Sin Cu sudah selesai. Pada dada anak itu terdapat sebuah lukisan naga berwarna putih. Juga lukisan itu amat indah seolah naga putih kecil itu hidup ketika dada itu bergerak naik turun seirama dengan pernapasan Sin Cu. lbunya lalu mengenakan baju anak itu kembali. A-ming mengambil alih kembali kemudi perahu yang meluncur ke arah selatan Dia memandang kepada dua orang pria yang dikaguminya itu dan berkata,

   "Saya akan merasa terhormat sekali kalau jiwi suka memperkenalkan diri kepada saya, siapa sebenarnya jiwi dan mengapa jiwi sampai menjadi buronan pemerintah. Siapa tahu, saya akan dapat menolong jiwi sekeluarga."

   Tan Hok saling pandang dengan Won Ci. Dua orang yang bersahabat akrab ini baiknya sudah saling mengenal watak dan pribadi masing masing. Melalui pandang mata mereka, kedua orang sahabat itu mengetahui bahwa mereka tidak keberatan untuk menceritakan keadaan mereka kepada tukang perahu yang mendatangkan kesan baik dalam hati nereka itu. Wajah Wong Cin yang tampan itu tersenyum ramah.

   "Paman A-ming, namaku adalah Wong Cin, ini isteriku Nyonya Wong dan anak kami yang tunggal bernama Won Si Cu. Tadinya kami sekeluarga tinggal diKotaraja dan aku menjabat sebagai seorang jaksa di Kotaraja."

   Tan Hong berkata dengan suaranya yang mantap,

   "Dan aku adalah sahabat baiknya, Paman A-ming. Namaku Tan lok dan ini isteriku Nyonya Tan. Yang ini adalah putera kami, anak tunggal bernama Tan Song Bu. Seperti juga adik Wong Cin, kami tinggal di Kotaraja di mana tadinya aku menjabat sebagai seorang perwira dalam pasukan keamanan di Kotaraja."

   A-ming segera mengangkat kedua tangan depan dada sambil membungkuk dan berkata,

   "Tepat seperti yang saya duga, kiranya Tan-Ciangkun dan Wong- Taijin (pembesar Wong) beserta keluarganya yang menumpang perahu saya. Harap Ciangkun (Panglima) dan Taijin suka memaafkan saya kalau saya bersikap kurang hormat."

   "Aih, Paman A-ming, harap jangan menyebut kami seperti itu. Kini kami bukan lagi pejabat-pejabat pemerintah, melainkan pelarian, menjadi orang-orang buruan. Akan tetapi Paman sendiri kami lihat seperti bukan seorang nelayan biasa. Paman pandai merajah, dan sikap Paman mencerminkan seorang yang mengenal peraturan dan sopan santun. siapakah sebenarnya Paman A-Ming ini? tanya Wong Cin, Orang setengah tua itu menghela nafas panjang.

   "Saya, sudah hampir melupakan kehidupan saya yang lalu. Belasan tahun yang lalu saya juga tinggal di Kotaraja sebagai seorang, Guru silat. Akan tetapl, gara-gara bentrok dengan seorang pejabat yang sewenang-wenang, dalam bentrokan itu saya membunuh satu pejabat dan terpaksa saya melarikan diri dan berkelana di sepanjang pantai timur sampai sekarang."

   "Ah, Paman A-ming, kalau begitu nasib kita sama!"

   Seru Tan Hok. orang tua itu mengangguk.

   "Akan tetapi saya hanya seorang Guru silat biasa, sedankan jiwi adalah seorang perwira dan seorang jaksa yang memiliki kedudukan tinggi. Bagaimana jiwi bisa seperti saya menjadi pelarian?"

   Kedua orang bekas pejabat itu saling pandang dan menghela napas panjang. Mereka berhadapan dengah seorang yang nasibnya sama dengan mereka, maka mereka kemudian tidak ragu-ragu lagi untuk menceritakan riwayat mereka.

   "Ceritanya panjang,"

   Paman A-Ming kata Wong Cin.

   "Akan tetapi akan kuceritakan singkat saja, mungkin sudah Paman ketahui bahwa banyak pejabat, bahkan hampir semua dari pejabat kecil sampai yang besar, tidak jujur dalam menjalankan jabatan mereka. Mereka itu sebetulnya tidak setia kepada Kaisar, dan tidak memperdulikan nasib rayat, hanya mementingkan diri sendiri belaka dan bahkan berlumba untuk memupuk harta bagi diri mereka sendiri. Semua pejabat, hampir semua, mclakukan kejahatan yang sama. Yang bawah menjilat yang atas, sogok menyogok terjadi di mana-mana, hukum keadilan diinjak-injak, yang benar dikalahkan dan yang salah dimenangkan karena pengaruh uang sogokan. Apa saja mampu dibeli oleh uang. Uang mendatangkan kebenaran, kemenangan, kekuasaan. Semua pejabat melakukan tindak korupsi tanpa ada yang mengawasinya maupun melarangnya. Bagaimana yang bawah dapat dicegah melakukan pencurian uang negara kalau yang di atas juga mencuri bahkan lebih banyak lagi"

   A-ming mengangguk-angguk.

   "Saya mengenal juga keadaan seperti itu ketika saya berada di Kotaraja. Kaisar sendiri tidak berdaya karena kekuasaannya telah diambil alih secara halus oleh para Thaikam (kasim atau sida-sida)."

   "Benar sekali, Paman A-ming. Kami berdua juga bentrok dengan kepala Thaikam yang bernama Liu Cin,"

   Kata Tan Hok.

   "Pada hal, dia itu masih terhitung Paman sendiri dari isteriku ini yang bernana Liu Hong, sungguhpun hubungan kekeluargaan itu sudah agak jauh. Pada mulanya aku melihat atasanku, seorang Panglima, melakukan korupsi besar-besaran dan memeras rakyat kecil, bahkan panglinma itu membela puteranya yang melakukan perampasan kepada seorang gadis dengan kekerasan. Aku menentangnya dan sahabatku Wong Cin ini sebagai jaksa lalu menuntut Panglima itu. Melalui pengadilan, kami berhasil menjatuhkan Panglima itu sehingga dia dihukum dan dipecat dari kedudukannya. Akan tetapi kemudian ternyata pariglima itu minta bantuan Kepala Thaikam Liu Cin. Liu Cin ini besar sekali kekuasaannya, bahkan dia seolah menjadi wakil Kaisar! Kami berdua lalu dituduh sebagai pemberontak dan akan ditangkap. Karena itulah kami berdua sekeluarga melarikan diri, dikejar-kejar sebagai buronan. Untung kami mempunyai banyak sahabat yang menolong kami melarikan diri sehingga akhirnya kami tiba di pantai laut Timur dan dapat menumpang perahu Paman untuk melarikan diri ke selatan lewat laut."

   Tan Hok menghentikan ceritanya.

   "Sebetulnya, Liu Cin bertindak demikian kepada kami bukan hanya karena urusan Panglima itu, Paman A-ming,"

   Kata Wong Cin.

   "Akan tetapi terutama sekali karena kami berdua selalu menentang tindakan sewenang-wenang para pemibesar. Sikap kami ini terdengar oleh Liu Cin dan tentu saja dia merasa tidak suka kepada kami. Tan-Twako dan aku sudah bersahabat seperti saudara sendiri, kami berjuang bersamA-Sama karena memiliki pendirian yang sama. Akan tetapi apa daya kami menentang arus yang demikian kuatnya? Hampir semua pembesar merupakan bawahan dan anak buah Kepala Thaikam Liu Cin."

   A-ming menghela napas panjang.

   "Sepanjang catatan sejarah, dari jaman dahulu sampai sekarang sama saja. Orang-orang sama saja saling memperebutkan kekuasaan dan siapa yang berkuasa dialah yang benar dan menang. Semua kemrkaan itu didorong oleh napsu hendak menyenangkan diri sendiri. Demi mengejar kesenangan, segala cara dilakukan orang, kalau perlu mereka itu akan bersenang-senang di atas mayat orang-orang lain. Betapa keruhnya dunia, betapa iblis-iblis bersuka ria karena mereka merasa mendapatkan kemenangan atas diri manusia."

   Tiba-tiba terasa ada guncangan keras pada perahu itu. Semua orang terkejut sekali. Liu Hong cepat merangkul Tan Song Bu dan Su Ling Ci mendekap puteranya, Wong Sin Cu. Tubuh mereka bergoyang-goyang.

   "Cepat memasuki bilik perahu"

   Kata Tan Hok dan bersama Wong Cin dia membawa isteri dan anaknya ke dalam bilik perahu. Setelah anak isteri mereka berada dalam bilik, Tan Hok dan Wong Cin kembali ke buritan di mana A-ming sedang memegangi kemudi perahu dengan kuat-kuat. Angin datang bertiup sernakin kuat, bahkan berbolak balik dan berputar.

   "Angin puting beliung!"

   Seru A-ming.

   "Cepat bantu turunkan layar!"

   Tan hok dan Wong Cin cepat bergerak dan bekerja keras. Perahu oleng ke kanan-kiri dan mereka berdua tahu bahwa bahaya besar mengancam mereka. Angin puting beliung adalah angin topin yang dahsyat. Biarpun selama hidup mereka belum pernah mengalaminya sendiri, narmun sudah banyak mereka mendengar tentang angin topan.

   "Bantu dengan dayung!"

   Kermbali terdengar A-ming memerintah. Bagaikan kesetanan Tan Hok dan Wong Cin mengambil dayung yang tersedia di perahu itu dan merekapun menggunakan dayung untuk menahan perahu agar tidak sampai terbalik. Angin bertiup keras, berbolak balik dan air laut mulai menggila. Mengalun tinggi melempar perahu ke atas, kemudian menghunjam ke bawah dan perahu seperti dihempaskan, kemudian diangkat lagi tinggi-tinggi. Semua itu ditambah dengan gemuruh suara angin dan air laut yang seolah menggulung mereka. Angin 'menggebu, berteriak, melolong, mendidih, menggereng dan serIbu satu macam suara yang mengerikan menyelimuti sekeliling mereka. Teriakan-teriakan A-ming yang memberi komando sudah tidak dapat terdengar lagi, ditelan hilang oleh gemuruh suara air dan angin.

   "Cepat! lkat mereka! Ikat mereka de ngan perahu!!"

   Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Berulang-ulang A-ming berteriak dan akhirnya dapat juga terdengar oleh Tan Hok dan Wong Cin. Mereka merangkak, terpelanting, bangun lagi dan merangkak menuju bilik perahu. Dua orang Ibu muda itu saling rangkul dengan dua orang anak mereka, bergulung menjadi satu sehingga mereka bersamA-Sama terpelanting ke kanan atau ke kiri. Mereka tidak merasakan lagi lecet-lecet pada tubuh mereka. Mereka menjerit-jerit setiap kali perahu oleng dan mereka terbanting ke kanan atau ke kiri. mata mereka terbelalak, muka mereka pucat rasa takut dan ngeri hampir membuat mereka gila. dengan terhuyung-huyung Tan Hok dan Won Cin memasuki bilik perahu. Hati mereka trenyuh sekali menyaksikan keadaan isteri dan anak mereka. Pakaian anak dan isteri mereka basah kuyup, awut-awutan, dan wajah mereka membayangkan kengerian dan ketakutan yang amat sangat.

   "Ayah, Ayah...!!"

   Teriak Tan Son Bu dan Wong Sin Cu ketika dua orang anak itu melihat Ayah mereka. Mereka melepaskan rangkulan pada Ibu mereka dan menubruk Ayah mereka, merangkul dengan kedua tangan mereka yang kecil sedemikian kuatnya terdorong rasa takut. Dengan hati yang seperti diremas-remas rasanya, Tan Hok dan Wong Cin lalu menggunakan tali yang terdapat di dalam bilik itu untuk mengikat anak isterinya kebadan perahu untuk menjaga agar mereka tidak sampai terlontar keluar dari dalam perahu.

   "Apa artinya ini?"

   Jerit Liu Hong.

   "Kenapa kami. harus diikat?"

   Jerit Su Leng Ci.

   "Tenanglah, kalian dikat agar tidak sampai terlempar keluar dari dalam perahu."

   Tan Hok dan Wong Cin menjelaskan dan mereka harus berteriak beberapa kali sampai arti kata-kata mereka yang suaranya tertelan gemuruh itu dapat tertangkap. Setelah selesai mengikat anak dan isteri mereka ke badan perahu, kedua orang itu kembali terhuyung huyung dan merangkak-rangkak menuju ke tempat mereka tadi membantu A-ming yang mengemudikan perahu dengan dayung mereka,

   Angin topan mengamuk terus, kalau tadinya ada kepusingan mengganggu kepala Tan Hok dan Wong Cin, sekarang kepeningan itu lenyap. Amukan topan sudah melampaui batas yang membuat mereka mabok sehingga tidak terasa lagi kemabok itu. Telinga rasanya tuli dan pandang mata rasanya sudah hampir buta karena yang tampak hanya air belaka. Air yang memercik mercik, air yang bergelombang dan yang menimpa mereka sebagai air hujan. Yang mebuat hati mereka semakin ciut adalah cuaca yang menjadi semakin gelap. Entah dari mana datangnya, cuaca yang tadinya cerah itu kini tertutup mendung yang agaknya sedemikian rendahnya sehingga hampir menyentuh perahu mereka. Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba saja Tan Hok dan Wong Cing teringat akan bentuk sepasang naga yang tadi mereka lihat di angkasa, diciptakan oleh awan yang melayang-layang.

   Agaknya sepasang naga itu yang kini mengamuk! Arah perahu sudah tidak menentu Mereka tidak tahu ke mana perahu dibawa oleh dorongan alun yang menggila. Perahu mereka bagaikan sebuah mainan kecil, dilanbungkan ke atas, dihempaskan ke bawah dan diguncang. Kemudian hujan rmulai turun Keadaan mereka semakin pAyah, A-ming berteriak minta kepada mereka berdua untuk menguras air yang mulai memenuhi perahu, menggunakan dua buali ember yang tersedia di perahu. Tan Hok dan Wong Cin bekerja keras, berlumba dengan hujan yang berusaha memenuhi perahu sehingga akan membuat perahu tenggelam. Mereka bekerja keras menguras, mengeluarkan air dari perahu. Tiba-tiba A-ming berteriak nyaring.

   "Daratan! Cepat bantu mendayung perahu ke darat!"

   Teriakan ini bernada gembira karena tukang perahu itu melihat titik terang yang mendatangkan harapan bahwa mereka akan dapat diselamatkan. Tan Hok dan Wong Cin mengangkat muka dan merekapun melihat bayang-bayang hitam memanjang di depan. Cepat mereka menyambar dayung dan mendayung sekuat tenaga ke arah bayang-bayang hitam itu. Tiba-tiba ada dorongan yang amat kuat, seolah ada tangan raksasa yang mengangkat perahu ke atas dan mendorong perahu ke depan.

   "Awas! Berpegang pada perahu...!!"

   A-ming masih sempat berteriak kepada dua orang penumpang itu. Tan Hok dan Wong Cin melepaskan dayung dan berpegang pada Bibir perahu sekuat tenaga. Mereka merasa diri mereka melayang layang kemudian dihermpaskan dengan amat kuatnya ke atas benda keras.

   "Bressss...!!! Perahu mereka pecah beratakan. Tan Hok dan Wong Cin terpental kekanan-kiri. Mereka masih melihat betapa buritan perahu itu pecah terpisah dan terseret air laut yang bergelombang, membawa A-ming yang masih duduk di atas bagian buritan itu.

   Tan Hok yang terlempar tak jauh dari A-ming, berhasil meraih sepotong papan pecahan perahu. Dia melihat A-ming hanyut ditelan ombak dan hilang Wong Cin yang terlempar ke sebelah kiri perahu juga berhasil menangkap sepotong papan pecahan perahu. Seperti juga yang dilakukan Tan Hok, dia menggunakan papan itu sebagai pengapung dan menggerakkan kaki tangannya untuk berenang melawan ombak ke pantai Pulau itu. Hatinya gelisah sekali memikirkan anak isterinya yang masih berada di dalarn bilik perahu itu yang telah pecah. Dalam perjuangan dan pergulatannya melawan maut ditelan ombak, dia tidak dapat melihat lagi bagaimana nasib anak isterinya, juga bagamana nasib sahabatnya Tan Hok.

   "Ibuuu... Ibu...!"

   Tangis dan jerit Tan Song Bu dan Wong Sin Cu bercampur dengan jerit tangis kedua orang Ibu masing-masing yang mendekap puteranya sambil menangis dan memanggil-manggil nama suami mereka. Mereka menanti datangnya maut yang ganas, menanti datangnya gelombang yang akan menelan mereka yang masih berada didalam bilik perahu yang miring. Akan tetapi tidak ada gelombang yang menerkam mereka. Bilik perahu itu miring, akan tetapi diam tak bergerak, seolah dicengkeram tangan raksasa yang Kokoh kuat. Hanya terdengar suara gemuruh angin dan air yang memecah di batu-batu karang di sepanjang pantai Pulau itu.

   "Hok-ko (Kanda Hok)... berulang kali Liu Hong memanggil suaminya Tan Hok dengan suara mengandung jerit tangis penuh rasa gelisah dan kengerian.

   "Cin-ko (Kanda Cin)...!"

   Berulang kali pula Su Leng Ci atau Nyonya Wong Cin memanggil suaminya, bercampur dengan tangis anaknya. Wong Sin Cu menjerit-jerit sambil merangkul Ibunya.

   "Ayah...Ayah!!"

   "lbuuu...! Ayah di mana? Aku mau ikut Ayah. Ayaaaahhh...!"

   Tan Song Bu juga menjerit-jerit. Mendadak kedua orang Ibu muda itu baru menyadari betapa jerit anak-anak mereka terdengar amat jelas, pada hal tadinya semua jerit tangis mereka tertelan suara gemuruh di luar bilik.

   Juga mereka mendapat kenyataan betapa bilik perahu itu sama sekali tidak bergerak lagi. Walaupun letaknya miring namun Kokoh dan tidak bergoyang sama sekali seolah tidak berada di atas air lagi. Sambil menggendong anak mereka, kedua orang Ibu muda itu perlahan-lahan merangkak keluar dari dalam bilik. Yangmereka lihat pertama kali adalah tubuh perahu itu yang telah terpotong, tinggal bagian yang ada biliknya itu saja, dan bagian tengah perahu itu terdampar di atas batu-batu karang di tepi pantai sebuah Pulau. Mereka selamat! Hanya mereka berempat yang selamat. Mereka tidak tahu bagaimana nasib suami mereka dan A-ming, tukang perahu itu. Sambil menahan tangis dan rasa takut, Liu Hong berkata kepada Su Leng Ci.

   "Ci-moi, mari kita keluar dari sini dan naik ke daratan!"

   Su Leng Ci juga menggendong anaknya dan melihat letak bagian perahu itu yang miring di atas batu karang dan untuk mendarat harus mendaki batu karang yang besar dan permukaannya tajam dan runcing itu, ia merasa ngeri.

   "Hong-ci (Kakak Hong). Aku, aku takut terjatuh..."

   "Gi-moi (adik Ci), apakah engkau lebih suka tinggal di sini dan sewaktu-waktu datang gelombang menyeret perahu ini? Lihat, sekarang laut telah tenang kembali udara menjadi terang. Inilah kesempatan kita untuk menyelamatkan diri, mendarat di Pulau ini. ayolah, siapa tahu suami suami kita juga sudah berhasil mendarat."

   "Cin-ko..."

   Su Leng Ci menyebut lirih ketika teringat akan suaminya dan mendengar bahwa mungkin suaminya sudah mendarat, timbul keberaniannya untuk keluar dari bilik perahu yang miring di atas batu karang itu. Mereka berdua merangkak di atas batu karang yang besar. Kaki mereka terlindung sepatu, akan tetapi kedua telapak tangan mereka yang tidak terlindung, ketika dipakai merangkak di permukaan batu karang yang kasar dan tajam meruncing itu, penuh dengan goresan yang merobek kulit dan mengeluarkan darah. Akhirnya, setelah dengan susah pAyah mereka merangkak menuruni batu karang yang besar itu, mereka turun dan berada atas pantai berpasir. Dari situ mereka dapat melihat bahwa perahu yang mereka tumpangi tadi tinggal bagian tengahnya yang ada biliknya itu saja yang tinggal, terdampar di atas batu karang yang besar itu, bagian depan dan belakangnya pecah terpotong.

   Agaknya hagian tengah yang ada biliknya itu, di mana mereka berempat duduk terikat pinggang mereka dengan badan perahu, dilontarkan ombak dan terdampar di atas batu karang itu. Cuaca terang. Matahari yang sudah naik tinggi memancarkan sinarnya yang terik, cahayanya terpantul di atas pasir sehingga menyilaukan. Air laut tenang sekali, sama sekali tidak ada bekasnya ketika mengamuk dahsyat tadi, begitu tenang dan penuh damai! Tidak tampak ada pecahan perahu di atas lautan dan betapap?n kedua orang wanita itu mencari-cari dengan pandang mata mereka, mereka tidak menemukan sesuatu... Suami-suami mereka seperti lenyap ditelan lautan. Cin-ko. Su Leng Ci menjatuhkan diri berlutut sambil menggendong Wong Sin Cu dan menangis, meratapi suaminya. Liu Hong yang memiliki hati yang tabah, menghampiri dan memegang pundaknya.

   "Sudahlah, Ci-moi, jangan menangis dan jangan putus harapan. Aku masih tidak percaya kalau suami kita tewas, karena kalau demikian halnya, tentu mayat mereka akan terdampar di pantai."

   Su Leng Ci menyusut air matanya dan memandang kepada Liu Hong dengan kedua mata merah.

   "Engkau pikir begitukah, Hong ci? Apakah suamiku masih hidup?"

   "Mudah-mudahan begitu. Kita hanya dapat berdoa semoga mereka juga tertolong seperti kita."

   Mereka lalu membalikkan tubuh memandang ke arah daratan. Tampak sebuah bukit memanjang, akan tetapi bukit itu gersang, hanya ditumbuhi sedikit pohon yang biasa dapat bertahan hidup, di tempat gersang seperti itu. Tidak tampak ada pedusunan. Sunyi sekali di sini, Enci Hong, tidak tampak seorangpun manusia,"

   Kata Su Leng Ci dengan nada suara khawatir.

   "Kita harus mencari, kalau perlu ke balik bukit itu, sampai kita dapat menemukan sebuah dusun di mana kita dapat minta tolong,"

   Kata Liu Hong.

   "Eh, Enci Hong, itulah mereka! Suami suami kita..."

   Su Leng Ci yang kebetulan menengok ke kanan melihat dua orang laki-laki berlari-larian menuju ke tempat itu. Mereka itu masih jauh sehingga tidak dapat tampak jelas. Liu Hong cepat membalikkn tubuh menengok ke arah yang ditunjuk oleh Su Leng Ci dan iapun melihat dua orang laki-laki yang datang berlarian itu. Sesaat Liu Hong juga berseri wajahnya karena ia juga merasa yakin bahwa mereka itu tentulah suaminya, Tan Hok dan suami Su Leng Ci, Wong Cin. Siapa lagi adanya dua orang itu kalau bukan suami-suami mereka? Akan tetapi setelah dua orang laki-laki itu datang lebih dekat sehingga dua orang Ibu muda itu dapat mengenali wajah mereka, keduanya terbelalak dan wajah mereka berubah kecewa.

   Dua orang laki-laki itu sama sekali bukan suami suami mereka, melainkan dua orang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun yang berpakaian kotor dan kumal dan berwajah keras. Akan tetapi, betapapun juga mereka merasa agak terhIbur karena dapat bertemu dengan manusia di tempat sesunyi itu. Kini dua orang laki-laki itu telah berada di depan mereka. Dua orang laki-laki itu juga terbelalak memandang mereka dan mulut mereka menyeringai, sepasang mata mereka memandang seperti hendak menelan bulat-bulat tubuh kedua orang Ibu muda ya cantik jelita itu, Mata dan mulut dua orang pria itu mendatangkan rasa ngeri dalam hati Liu Hong dan Su Leng Ci. Naluri kewanitaan mereka merasa bahwa mereka berhadapan dengan dua orang laki-laki kasar yang sama sekali tidak dapat dipercaya! Akan tetapi karena mereka sudah bertemu dan berhadapan, Liu Hong lalu berkata kepada mereka.

   "Kebetulan sekali kami bertemu dengan kalian berdua. Kami mendapat kecelakaan, perahu kami diserang badai dan kami terdampar di sini. Akan tetapi dua orang suami kami telah hilang entah ke mana maukah kalian berdua berbaik hati dan menolong kami mencarikan suami kami yang hilang itu? Mungkin saja mereka terdampar di lain bagian Pulau ini."

   Dua orang laki-laki itu menoleh dan memandang ke arah ba?ian perahu yang terdampar di atas batu karang itu. Kemudian merea kembali memandang kepada dua orang wanita cantik itu dan keduanya saling pandang lalu menyeringai sermakin lebar. Seorang dari mereka, yang berkumis panjang berkata,

   "Jarang ada orang dapat keluar dengan selamat dari badai yang dahsyat seperti yang terjadi tadi. Para dewa agaknya sengaja menyelamatkan kalian berdua dan menuntun kalian ke sini untuk bertemu dengan kami! Kami adalah Kakak beradik yang belum mempunyai isteri. Kalian tidak perlu mencari suami yang telah hilang. Biarlah kami berdua menjadi penggantinya, menjadi suami kalian!"

   Dua orang nyonya muda itu menjadi pucat wajahnya mendengar ucapan itu. Su Leng Ci berseru lirih dengan tubuh gemetar.

   "Saudara-saudara berdua, harap mengasihani kami, Kami adalah orang-orang yang ditimpa bencana dan membutuhkan pertolongan. Kami telah bersuami dan kami telah mempunyai anak. Kalau kalian berdua tidak mau menolong kami, sudahlah, harap tingalkan Kami dan harap jangan mengganggu kami,"

   Kata Liu Hong yang lebih tabah, walaupun ia sendiri juga sangat gelisah menghadapi dua orang laki-laki kasar yang mempunyai niat buruk terhadap mereka itu. Orang kedua, yang bertubuh tinggi besar dan mukanya kehitaman, tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, Dewa Laut telah menyerahkan kalian kepada kami untuk menjadi isteri-isteri kami. Kita sudah dijodohkan olepara dewa. Kalian tidak boleh menolak lagi. Twa-ko, engkau pilihlah yang mana, nanti yang lain untukku. Bagiku mendapatkan yang manapun sama saja, mereka itu sama sama cantik jelita dan denok menggairahkan. Ha-ha-ha!"

   "Ha-ha, aku memilih yang ini. Wanita ini pemberani dan penuh semangat! Mari manis, mari ikut denganku dan menjadi?steriku,"

   Kata si kumis sambil mendekati Liu Hong.

   "Kebetulan, akupun senang kepada yang ini. Alangkah putih mulus kulitnya"

   Kata si muka hitam sambil mendekati Leng Ci. Kedua orang wanita itu melangkah mundur dan keduanya saling gandeng sambil memondong anak mereka, mundur-mundur ketakutan. Melihat ini, si kumis panjang agaknya merasa jengkel juga.

   "Hei, kalian berdua dengarlah baik-baik! Sekarang kalian berdua boleh pilih. Kalian menyerah kepada kami dengan suka rela dan kalian menjadi isteri kami yang penurut dan anak itupun menjadi anak kami. Kalian akan hidup senang bersama kami. Ketahuilah, kami berdua adalah pimpinan gerombolan bajak yang berpengaruh, Kalau kalian menolak, kami akan membunuh anak kalian! Nah, boleh pilih sekarang!"

   Mendengar ancaman bahwa anak mereka akan dIbunuh, lemaslah seluruh tubuh kedua orang wanita itu dan mereka terkulai jatuh berlutut sambil menangis. Dua orang laki-laki itu menghampiri mereka.

   "Sudahlah, jangan menangis. Kalau kalian sayang kepada anak dan tidak ingin kami perkosa dengan kekerasan, marilah ikuti kami. Laut telah tenang. Kita naik perahu menuju ke daratan,"

   Kata si muka hitam sambil menyentuh pundak Su Len Ci. Disentuh tangan kasar itu, Su Leng tersentak kaget seperti dipagut ular dan menarik tubuhnya ke belakang. Liu Hong juga bergerak mundur ketika si kumis panjang mendekatinya. Si kumis panjang mengerutkan alisnya.

   "Hemm, manis. Apakah engkau ingin aku membunuh anakmu lebih dulu?"

   Tangannya meraih untuk mengambil Tan Song Bu dari pondongannya.

   "Jangan...! Tidak... jangan bunuh Anakku,"

   Teriak Liu Hong sambil mendekap anaknya.

   "Kalau begitu, engkau harus menurut semua kehendakku. Kalau tidak mau berjalan sendiri mengikuti aku, mari kupondong engkau!"

   Si kumis panjang lalu menubruk dan menangkap tubuh Liu Hong, dengan mudah dan ringan dipondongnya nyonya muda itu bersama puteranya.

   Liu Ho tidak berani meronta, takut kalau anaknya dIbunuh. Melihat ini, si muka hitam tertawa lalu diapun menangkap Su Leng Ci dan dipondongnya nyonya muda itu. Su Leng Ci juga tidak berani berkutik, apalagi melihat betapa Liu Hong juga sudah menyerah. la hanya dapat mendekap anaknya sambil menangis ketakutan. la merasa menghadapi ancaman bahaya yang lebih mengerikan dari pada ancaman badai di perahu tadi! Dua orang laki-laki itu dengan gembira memondong wanita pilihan masing-masing, melangkah lebar dan di sepanjang jalan mereka mencoba untuk menggerayangi tubuh dan mEnciumi muka wanita tawanan mereka. Liu Hong dan Su Leng Ci mulai meronta dan sedapat mungkin menghindarkan muka mereka dari ciuman kasar dua orang laki-laki itu.

   "Turunkan aku, biar aku berjalan kaki saja mengikutimu!"

   Teriak Liu Hong sambil meronta. Si kumis panjang tertawa dan menurun kan Liu Hong.

   "Lebih baik engkau berjalan agar aku tidak repot memondongmu. Mari jalan!"

   Melihat Liu Hong sudah terbebas dari perbuatan kasar dan tidak sopan penawannya, Su Leng Ci juga berseru,

   "Aku juga mau berjalan kaki saja!"

   Si muka hitam juga menurunkannya dan kedua orang Ibu muda itu lalu berjalan kaki tersaruk-saruk, menggendong anak mereka sambil menahan tangis, dikuti oleh dua orang laki-laki itu Mereka berjalan menyusuri tepi laut tanpa mengeluarkan suara. Su Leng Ci berjalan mendekati Liu Hong. dalam keadaan seperti itu ia tidak mau berjauhan dengan sahabatnya itu seperti hendak minta perlindung walaupun Liu Hong sendiri tidak berdaya. Ketika mereka tiba di pantai yang penuh dengan pasir berwarna putih dan lembut, dan di situ tumbuh beberapa batang pohon pantai yang cukup lebat daunnya, si kurmis panjang berseru,

   "Kita berhenti mengaso dulu di sini!"

   Liu Hong dan Su Leng Ci yang memang sudah merasa lelah sekali, menjatuhkan diri di atas pasir yang lembut di bawah pohon.

   Akan tetapi pada saat itu, si kumis panjang sudah menyambar tubuhnya dan berusaha untuk memangku Liu Hong. Demikian pula muka hitam meringkus Su Leng Ci dan memangkunya. Kedua orang wanita itu meronta hendak melepaskan diri. Si kumis panjang merenggut Tan Song Bu dari dekapan Liu Hong dan mendorong anak itu sehingga terpental jauh dan bergulingan. Anak itu tentu saja menangis karena nyeri dan takut. Liu Hong tetap meronta-ronta dalam rangkulan si kumis panjang yang berusaha untuk membelai dan mEnciumnya. Su Leng Ci mengalami hal yang sama. Anaknya, Wong Sin Cu, direnggut lepas dari pondongannya dan dilemparkan oleh si muka hitam ke atas pasir sehingga anak berusia tiga tahun itu berguling-guling dan menangis keras. Su Leng Ci meronta sekuat tenaga ketika hendak dibelai.

   "Tolong... Tolooooooonggg...!"

   Dua orang wanita itu menjerit-jerit, suara mereka bercampur dengan tangis dan lolong dua orang anak itu yang duduk di atas pasir dan memandang ke arah Ibu mereka yang bergumul dengan dua orang laki-laki kasar itu.

   "Ha-ha-ha, biar engkau menjerit setinggi langit, siapa yang akan menolongmu di tempat yang sunyi ini? Pulau ini adalah sebuh Pulau kosong yang terkenal dengan namanya Pulau Ular. Di bukit sana itu penuh dengan ular. Apakah engkau lebih senang kalau kubuang di bukit itu agar dikeroyok ular?"

   Si kumis panjang tertawa dan mengancam, Selagi dua orang wanita itu bergelut dan meronta mempertahankan kehormatan mereka, tiba-tiba muncul dua orang yang pakaiannya cabik-cabik dan terdengar mereka membentak marah.

   "Keparat jahanam! lepaskan isteriku!"

   Mendengar suara itu, Liu Hong dan Leng Ci yang sedang bergelut mempertahkan diri itu menengok dan alangkah girang rasa hati rnereka ketika melihat bahwa yang muncul ada?ah suami-suami mereka! Ternyata Tan Hok dan Wong Cin juga selamat. Papan di mana mereka bergantung dalam air itu dilontarkan ombak menuju ke tepi pantai. Mereka terdampar di tempat yang berbeda akan tetapi ketika keduanya menyusuri pantai mereka saling bertemu dan duanya lalu terus menyusuri pantai mencari isteri dan anak mereka dengan hati gelisah karena sedikit sekali kemungkinan mereka akan menemukan isteri dan anak mereka dalam keadaan hidup.

   Badai di lautan itu sungguh dahsyat dan perahu yang mereka tumpangi telah hancur. Tiba-tiba mereka mendengar teriakan suara wanita-wanita minta tolong. Cepat mereka berlari menuju ke arah suara itu dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka melihat bahwa isteri-isteri mereka sedang bergumul mempertahankan diri dari cengkeraman dua orang laki-laki, sedangkan anak-anak mereka duduk di atas pasir sambil menangis. Tentu saja mereka menjadi marah, membentak lalu menerjang dua orang laki-laki yang sedang berusaha untuk memperkosa kedua orang wanita itu. Tan Hok menubruk si kurnis panjang, menjambak rambutnya dan menariknya dengan sentakan kuat sehingga si kumis panjang terpaksa melepaskan dekapannya atas diri Liu Hong. Tan Hok yang sudah marah sekali mengayun kepalan tangan kanannya, menghantam muka si kumis panjang.

   "Desss..."

   Tubuh si kurnis panjang terjengkang keras. Akan tetapi rupanya dia memiliki kekebalan karena pukulan yang keras itu hanya membuat dia nanar sejenak. Dia lalu melompat bangun dan mencabut goloknya, kemudian menerjang dan mengayun goloknya membacok ke arah kepala Tan Hok. Bekas perwira ini memiliki ilmu silat yang memadai, cepat dia mengelak ke kiri dan dari kiri kaki kanannya mencuat dalam tendangan.

   "Bukk!"

   Kembali serangannya mengenai. Dada si kumis panjang tertendang sehingga untuk kedua kalinya dia terjengkang roboh. Akan tetapi dia sudah bangkit kembali dan menyerang secara membabi buta kepada Tan Hok. Terjadilah perkelahian yang seru antara si kumis panjang dan Tan Hok. Sementara itu, Wong Cin menyambar tangani si muka hitam dan menarik sekuat teaga sehingga si muka hitam terbetot lepas dari rangkulannya kepada Su Leng Ci dan terhuyung-huyung. Selagi dia terhuyung, Wong Cin sudah mengejarnya dan mengayun kepalan tangan kanannya ke arah dada si muka hitam.

   "Bukk!"

   Dada itu terpukul dan si muka hitam terhuyung ke belakang. Akan tetapi, agaknya diapun memiliki kekebalan dan pukulan Wong Cin itu tidak terasa menyakitkan benar. Dia sudah dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dan cepat mencabut golok- nya yang berkilauan saking tajarmnya. Wong Cin memasang kuda-kuda. Bekas jaksa ini pernah juga mernpelajari ilmu silat, akan tetapi dibandingkan dengan Tan Hok, dia kalah jauh. Maka, ketika si muka hitam mengamuk dan menyerangnya secara bertubi-tubi, Wong Cin menjadi kelabakan dan megelak kesana sini, melompat dan menyelinap untuk menghindarkan diri dari sambaran golok. Akan tetapi dia cukup cerdik. Ketika dia mengelak, dia merendahkan tubuh dan kedua tangannya sudah mencengkeram pasir sehingga berhasil menggenggam pasir dalam kedua tangannya.

   Golok menyambar lagi. Dia mengelak ke kiri dan tiba-tiba dua tangannya secara susul menyusul meleparkan pasir ke arah muka si rnuka hitam dan mengenai muka dan si muka hitam berseru kaget, Matanya yang sebelah kanan kemasukan pasir, terasa pedih dan nyeri. Pada saat itu Wong Cin sudah mengayunkan kakinya menedang sekuat tenaga, mengenai tangan kanan si muka hitam yang memegangi, golok itu terlepas dan terlempar jauh, sempatan ini dipergunakan Wong Cin untuk menyerang dengan pukulan bertubi-tubi, akan tetapi si muka hitam itu bertubuh kuat dan kebal. Pukulan-pukulan Wong Cin hanya membuat dia terhuyung dan dia sudah menggosok mata kanannya dan membebaskan mata itu dari pasir. Kini tinggal terasa pedih sedikit akan tetapi dia sudah dapat membuka mata kanannya.

   Si muka hitarn yang kini tidak memegang senjata lagi itu mengamuk. Terjadi perkelahian yang seru antara Wong Cin dan si muka hitam. Akan tetapi Wong Cin segera terdesak dan sudah beberapa kali terkena pukulan si muka hitam. Berbeda dengan keadaan Wong Cin, Tan Hok menghadapi si kumis panjang dengan tenang. Semua sambaran golok si kumis panjang dapat dielakkan dan ketika golok itu menyambar lagi, dia mengelak. Golok lewat disisi tubuhnya dan secepat kilat Tan Hok menyambar pergelangan tangan kanan lawan. Terjadi adu tenaga, saling betot dan saling dorong, bersitegang memperebutkan golok. Tan Hok mengayun kakinya menendang dada si kumis panjang, melepas pegangannya pada pergelangan tangan lalu memukul ke arah pergelangan tangan kanan lawan itu dengan tangan dimiringkan dan mengerahkan seluruh tenaganya.

   "Desss...!"

   Si kumis panjang berseru sakitan dan goloknya terlepas dari pegangan, ditendang sampai terlempar jauh oleh Tan Hok dan bekas perwira yang tinggi besar ini lalu mengamuk, menghujani lawannya dengan pukulan-pukulan yang cukup keras Si kumis panjang terdesak terus dia tiba-tiba melompat jauh ke belakang meneriaki kawannya,

   "Siauw-Ong (Raja Kecil), kita lari!"

   Si muka hitam yang disebut Siauw-Ong itu mengerti bahwa kawannya terdesak, maka diapun melompat dan melarikan diri bersama kawannya itu. Sementara itu, Liu Hok dan Su Leng Ci yang tadi dilepaskan oleh dua orang penjahat itu, telah memondong dan mendekap anak mereka dan menonton perkelahian antara suami mereka dan dua orang penjahat itu dengan khawatir sekali. Setelah dua orang penjahat itu melarikan diri, Tan Hok menghampiri Liu Hong, Wong Cin menghampiri Su Leng Ci. Dua pasang suami isteri itu lalu berangkulan.dua orang nyonya muda itu menangis, juga dua orang anak mereka yang tadi ketakutan dan juga kesakitan karena dilempar keatas pasir, ikut menangis.

   "Sudahlah, kalian sudah dapat diselamatkan, terbebas dari bahaya. Kita semua akhirnya selamat dari badai dan dapat berkumpul kembali. Jangan menangis, kita sudah terlepas dari ancaman bahaya."

   Wong Cin menghIbur.

   "Aku tidak percaya kalau dua orang jahanam busuk tadi mau sudah begitu saja. Kita terlepas dari ancaman bahaya untuk sementara saja. Aku khawatir mereka akan datang lagi, mungkin membawa teman."

   "Ah, apa yang harus kita lakukan, Tan-Twako?"

   Tanya Wong Cin sambil mengerutkan alisnya dengan hati khawatir.

   "Tidak menguntungkan kalau kita berada di tempat terbuka begini,"

   Kata Tan Hok. Sebagai bekas perwira tentu saja dia lebih tahu tentang siasat pertempuran dan pengetahuan itu kini dapat dia pergunakan untuk membela diri sekeluarga mereka.

   "Kita harus mencari tempat perlindungan, tempat dimana kita dapat melawan musuh apa bila mereka menyerang dan anak isteri kita dalam keadaan terlindung. Mari, kalian ikut aku."

   Tan Hok lalu melangkah, menuju ke kumpulan batu-batu karang besar yang berada di kaki bukit, diikuti oleh Wong Cin dan dua orang isteri mereka yang menggendong anak masing-masing. Matahari sudah mulai condong ke barat dan perut mereka mulai terasa lapar, seluruh tubuh terasa nyeri-nyeri dan lelah sekali. Pergulatan antara mati dan hidup di dalam perahu tadi telah menghabiskan tenaga mereka. Apa lagi Tan Hok dan Wong Cin yang tadi harus berjuang melawan gelombang, kemudian malah berkehi melawan dua orang penjahat tadi.

   "Hok-ko, penjahat tadi mengatakan bahwa Pulau ini bernama, Pulau Ular dan bukit itu terdapat banyak ular!"

   Kata liu Hong kepada suaminya.

   "Hemm, begitukah?"

   Kata Tan Hok.

   "Biarlah, kalau ada ular terpaksa kita harus menghadapinya, karena tempat berlindung yang ada hanya di kaki bukit ini."

   Tan Hok meneliti dan mencari dan akhirnya dia menemukan sebuah guha yang cukup luas. Lebarnya tidak kurang dari satu meter, dalamnya tiga meter dan tingginya tiga meter. Di depan guha itu terdapat seongkah batu karang yang besar-besar sehingga tempat itu merupakan tempat persembunyian sekaligus perlindungan yang baik. Akan tetapi karena matahari sudah mulai condong ke barat, ruangan dalam guha itu tidak mendapat sinarnya dan menjadi agak gelap. Teringat akan cerita isterinya tadi, Tan Hok berhenti di depan guha dan memberi isyarat kepada tiga orang itu untuk berhenti pula.

   "Kita harus membuat api lebih dulu. Kalau ada ular di dalamnya, kita dapat mengusirnya dengan menggunakan api,"

   Katanya. Berdua dengan Wong Cin, Tan Hok lalu mengumpulkan kayu dan daun kering dan membuat api unggun di depan guha, kemudian dia dan Wong Cin dengan bersenjatakan obor memasuki guha untuk melihat apakah di sana ada ularnya. Akan tetapi ternyata guha itu tidak ada ularnya. Mereka semua lalu memasuki guha dan duduk di lantai guha yang cukup kering.

   "Hari tak lama lagi akan menjadi malam. Kita perlu beristirahat dan memulihkan tenaga semalam di sini agar besok pagi kita dapat memeriksa keadaan di Pulau ini, Mudah-mudahan saja kedua orang jahanam itu tidak akan mengganggu kita malam ini."

   Liu Hong dan Su Leng Ci yang merasa lelah lahir batin, segera merebahkan diri diatas lantai guha dan memeluk anak mereka. Segera mereka dapat tertidur. Tan Hok dan Wong Cin berjaga di mulut guha sambi menjaga agar api unggun tidak menjadi padam. Api unggun itu amat penting bagi mereka. Pertama, untuk mengusir hawa dingin yang tentu akan datang menyerang mereka malam itu dan kedua untuk mengusir nyamuk.

   "Siauw-te (adik), engkau mengaso dan tidur lah lebih dulu biar aku yang berjaga disini,"

   Kata Tan Hok kepada Wong Cin.

   "Aih, Tan-Twako, dalam keadaan seperti ini, bagaimana mungkin engkau menyuruh aku tidur sedangkan engkau sendiri melakukan penjagaan? Tidak, aku akan ikut menjaga bersamanu. Dalam keadaan seperti ini kita harus selalu bersama, mati hidup bersama!"

   "Tentu saja kita harus bersamA-Sama siauw-te. Akan tetapi tidak untuk mati bersama, melainkan untuk hidup bersama. Kalau engkau tidak mau tidur dan beristirahat lebih dulu, kita sama-sarna melakukan penjagaan kemudian kita berdua kehabisan tenaga dan kelelahan lalu datang musuh menyerbu, bagaimana kita akan dapat melawan mereka? Kita harus bergantian, yang seorang tidur, seorang lagi berjaga. Dengan demikian kita berdua akan dapat beristirahat dan mengumpulkan tenaga. Tidur lah lebih dulu, nanti malarn Kau kubangunkan untuk menggantikan aku berjaga dan aku yang tidur."

   

Pembakaran Kuil Thian Loksi Karya Kho Ping Hoo Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini