Ceritasilat Novel Online

Sepasang Rajah Naga 10


Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 10



"Nona, engkau mencari penyakit sendiri. Terpaksa aku menggunakan kekerasan Lihat seranganku!"

   Setelah berkata demikian. Thio Sam menerjang ke depan, kedua tangannya bergerak cepat, yang kiri mencengkeram ke arah pundak kanan gadis itu, yang kanan bergerak hendak menangkap lengan kiri Ouw Yang Lan. Akan tetapi terkaman dan sambaran tangannya itu hanya mengenai tempat kosong belaka karena dengan gerakan ringan dan cepat sekali tubuh Ouw Yang Lan telah mundur dua langkah. Thio Sam menjadi penasaran sekali betapa serangan pertamanya gagal sama sekali. Dia menubruk lagi. Akan tetapi luput lagi. Setelah mencoba untuk menangkap gadis itu sebanyak lima kali selalu tubrukannya luput, tahulah Thio Sam bahwa gadis itu memiliki gerakan lincah dan tentu memiliki ilmu silat yang cukup kuat. Maka dengan perasaan malu dan marah akan kegagalannya, kini ia mulai menyerang untuk merobohkan gadis itu, bukan untuk menangkap lagi.

   "Lihat pukulanku!"

   Bentaknya dan kini tangannya menyambar untuk memukul! Ketika Ouw Yang Lan mengelak, diapun menggerakkan kaki kanannya untuk menendang. Kembali gadis itu mengelak. Kegagalan serangan ini membuat Thio Sam menjadi semakin penasaran dan diapun menyerang bertubi-tubi, makin lama semakin ganas serangannya. Tiba-tiba tubuh Ouw Yang Lan berkelebat lenyap dan selagi Thio Sam kebingungan, gadis itu yang telah berada di belakangnya sudah menggerakkan kakinya, dua kali berturut-turut ujung sepatu gadis itu menendang tekukan lutut kaki Thio Sam. Tak dapat dihindarkan lagi kedua kaki Thio Sam bertekuk lutut dan sejenak dia tidak mampu berdiri lagi karena kedua kakinya terasa lumpuh! Hal ini membuat para anak buah Pulau Naga menjadi terkejut dan marah, menganggap bahwa gadis itu tentu datang untuk membikin rIbut.

   Maka tanpa dikomando lagi mereka lalu maju mengeroyok, bahkan mempergunakan senjata. Ouw Yang Lun kini memperlihatkan kelihaiannya. Tubuhnya berkelebatan dan kaki tangannya bergerak. Tampak golok pedang terlempar dan tubuh-tubuh berpelantingan terkena tamparan atau tendangannya. Dalam waktu pendek saja belasan orang itu telah roboh semua, akan tetapi tidak sampai terluka berat karena memang Ouw Yang Lan tidak bermaksud untuk mencederai atau membunuh anak buah Ayah kandungnya sendiri. Para pengeroyok itu merangkak untuk bangkit kembali sambil memandang kepada gadis yang berdiri tegak sambil bertolak pinggang itu dengan sinar mata gentar. pada saat itu, seorang wanita berusia lima puluhan tahun melangkah maju menghampiri Ouw Yang Lan. Setelah tiba di depan gadis itu, Nenek itu menudingkan telunjuknya.

   "Kau... Kau... bukankah engkau nona Ouw Yang Lan? Kawan-kawan, apa kalian telah buta dan tidak mengenal nona Ouw Yang Lan? Lihat tahi lalat di dagunya Itu adalah Lan Siocia (Nona Lan)"

   Ouw Yang Lan segera mengenal wanita yang dahulu pernah menjad, inang pengasuhnya.

   "Bagus, engkau masih ingat kepada Bibi Chin"

   Katanya sambil tersenyum. Thio Sam dan semua anak buah yang tadi mengeroyok Ouw Yang Lan dan dirobohkan, memandang dengan terkejut bukan main. Dan sekarang merekapun teringat kepada Ouw Yang Lan dan meagertilah mereka bahwa gadis itu telah bermurah hati kepada mereka. Kalau tidak, tentu mereka telah menderita luka atau bahkan mungkin tidak akan bangun kembali. Thio Sam yang telah mampu menggerakkan kedua kakinya lalu maju ke depan Ouw Yang Lan dan menjatuhkan dirinya berlutut.

   "Lan Siocia,maafjan saya dan maafkan semua yang tidak mengenal nona dan telah bersikap kirang ajar..."

   Katanya ketakutan. Ouw Yang Lan tersenyum melihat betapa semua anak buah itu ikut-ikutan berlutut dibelakang Thio Sam.

   "Sudahlah, Paman Sam dan kalian semua Paman dan saudara. Bangkitlah dan lupakanlah kejadian tadi. Aku memang sengaja hendak menguji ke setiaan kalian kepada Pulau Naga. Sekarang laporkan kepada Ayah bahwa aku datang."

   Thio Sam dan para anak buah itu bangkit berdiri dan Thio Sam berdiri dengan sikap hormat membungkuk di depan Ouw Yang Lan.

   "Akan tetapi, Lan Siocia, Tocu (Majikan Pulau) tidak berada di Pulau. Sudah dua bulan ini Tocu pergi dari sini."

   "Hemm, ke mana Ayah pergi?"

   "Menurut keterangan, Tocu pergi ke Kotaraja untuk mencari kedudukan di Istana Kaisar,"

   Kata Thio Sam.

   "Ah, sayang sekali dia tidak berada di Pulau,"

   Kata Ouw Yang Lan kecewa sekali.

   "Kalau begitu, tolong beri tahukan kepada Suheng Tan Song Bu. Aku ingin bertemu dengan dia."

   "Nona tentu maksudkan Ouw Yang Kongcu"

   Kata Thio Sam.

   "Ouw Yang Kongcu? Siapa itu? Ayah tidak mempunyai anak laki-laki!"

   Bantah Ouw Yang Lan.

   "Kongcu (tuan muda) Tan Song Bu itu kini telah menjadi Kongcu Ouw Yang Son Bu. Sejak nona pergi dari Pulau, dia telah diangkat menjadi putera oleh Tocu.

   "Hemm, begitukah? Di mana dia sekarang? Aku ingin bertemu dengannya."

   "Sayang sekali, nona. Ouw Yang Kongcu juga pergi bersama Tocu. Memang mereka pergi berdua dan beberapa hari yang lalu Tocu mengirim utusan memberi tahu kepada kami bahwa untuk sementara Tocu dan Ouw Yang Kongcu tinggal dulu di Kotaraja."

   Mendengar keterangan ini, Ouw Yang Lan membanting-banting kaki kanannya dengan hati kesal.

   "Sialan! Lalu siapa saja yang kini berada di rumah?"

   "Yang berada di rumah tinggal kedua hujin (nyonya)."

   "Kedua hujin? Siapa maksudmu, Paman Thio Sam? Apakah Ibu Sim Kui Hwa dan adik Ouw Yang Hui sudah pulang?"

   Thio Sam menggeleng kepala lalu menengok ke kanan-kiri. Melihat bahwa para anak buah masih berada di sekitar situ dan ikut mendengarkan, dia lalu membentak mereka.

   "Mengapa kalian masih berada di sini? Hayo lanjutkan pekerjaan kalian dan biarkan aku bicara berdua saja dengan Lan Siocia! Engkau juga, Bibi Cin, tinggalkan kami berdua!"

   Mendengar perintah Thio Sam ini, semua orang lalu pergi dan menjauhkan diri sehingga Thio Sam dapat bicara leluasa dengan Ouw Yang Lan.

   "Nah, sekarang ceritakan semuanya kepadaku, Paman Thio Sam. Siapakah kedua orang hujin yang Kau maksudkan itu?"

   "Tidak lama setelah kedua nyonya meninggalkan Pulau naga, Tocu telah mengambil dua orang gadis untuk menjadi isterinya dan sekarang kedua orang wanita itulah yang menjadi hujin di sini. Sampai sekarang mereka berdua tidak mempunyai anak."

   "Dan di mana adanya Ibu Sim Kui Hwa dan adik Ouw Yang Hui? Apakah mereka tidak pernah kembali ke Pulau Naga?"

   Sebelum menjawab, Thio Sam menoleh ke kanan-kiri lalu menjawab dengan suara direndahkan,

   "Tak lama setelah kedua hujin dan kedua Siocia pergi dari sini, Ji-hujin (Nyonya Ke Dua) pulang ke Pulau ini..."

   "Ibu Sim Kut Hwa pulang bersama adik Ouw Yang Hui?"

   Tanya Ouw Yang-Lan dengan girang.

   "Tidak, nona. la pulang seorang diri, diantar oleh seorang pendekar bernarna Gan Hok San, seorang pendekar Siauw-Lim-Pai, begitu saya mendengar. Akan tetapi, Tocu marah-marah dan hendak membunuh Ji-hujin yang dituduhnya berjina dengan pendekar yang mengantarnya pulang itu."

   "Ah, kenapa Ayah begitu? Bukankah pendekar Gan Hok San itu telah menolong menyelamatkan Ibu Sim Kui Hwa dan mengantarnya pulang? Lalu bagaimana, Paman Thio Sam?"

   "Ketika Tocu memukul dan hendak membunuh Ji-hujin, pukulan itu ditangkis oleh Pendekar Gan sehingga mereka lalu berkelahi. Akan tetapi ternyata Pendekar Gan itu terlalu tangguh bagi Tocu. Pendekar Gan menang dan dia mengajak Ji-hujin pergi dari Pulau karena Tocu sudah tidak mau menerimanya kembali."

   "Ahhh!"

   Ouw Yang Lan merasa penasaran sekali kepada Ayahnya yang bersikap tidak adil dan kejam terhadap isteri sendiri.

   "Dan bagaimana dengan adik Ouw Yang Hui?"

   "Saya tidak tahu, nona. Ketika hujin pulang, ia tidak membawa Hui-Siocia (Nona Hui)."

   "Jadi Ibu Sim Kui Hwa pergi meninggalkan Pulau Naga bersama Gan Hok San dan sampai sekarang tidak pernah kembali ke sini?"

   "Benar, nona."

   "Juga Nona Ouw Yang Hui tidak pernah datang ke sini?"

   "Tidak, nona."

   "Sudahlah, kalau mereka semua tidak berada di sini, untuk apa aku lebih lama tinggal di sini? Aku mau pergi saja, Paman Thio Sam!"

   "Akan tetapi, apakah nona tidak ingin berjumpa dulu dengan kedua orang Hujin (nyonya) yang baru?"

   "Tidak! Aku tidak mengenal mereka Untuk apa aku bertemu dengan mereka? Sudah, aku hendak pergi, Paman Thio Sam!"

   Setelah berkata demikian, Ouw Yang Lan menyeret perahunya sampai ke air, kemudian ia mendorong perahunya dan melompat dalam perahu yang segera didayungnya pergi dengan cepat sekali meninggalkan Pulau itu. Perahu meluncur dengan amat cepatnya, diikuti pandang mata Thio Sam yang merasa kagum bukan main. Tak disangkanya bahwa Lan Siocia kini telah menjadi seorang gadis yang demikian lihainya, dan juga sikapnya demikian tegas dan keras! Segera kemunculan gadis yang telah merobohkan hampir dua puluh orang anak buah Pulau Naga itu menjadi bahan percakapan semua anak buah Pulau Naga.

   Taman di belakang rumah itu tidak begitu luas, namun indah sekali. Bermacam bunga tumbuh dengan suburnya karena terawat dengan baik dan teratur rapi. Di bagian tengah taman itu terdapat sebuah kolam ikan kecil namun airnya amat jernih dan ikan ikan emas berbagai warna berenang hilir mudik dengan indahnya. Sore hari itu cerah dan indah sekali. Angin semilir lembut, membuat bunga-bunga itu bergoyang seperti menari-nari perlahan, seperti hidup. Gadis yang duduk di atas bangku tepi kolam itu berusia kurang lebih tujuh belas tahun. Cantik jelita bagaikan sekuntum bunga yang semerbak harum dan sedang mulai mekar.

   Rambutnya yang hitam panjang itu agak berombak, digelung ke atas model gelung rambut para gadis bangsawan, dihias tusuk sanggul dari emas permata yang indah berbentuk burung Hong sedang membuka sayapnya. Anting-anting yang tergantung di telinganya dan kalung yang tergantung di lehernya terbuat dari emas permata pula, tidak terlalu mewah akan tetapi membuatnya tampak lebih anggun. Dahinya begitu halus, sehingga sepasang alis itu tampak mencolok sekali karena hitamnya. Bentuk alis yang kecil melengkung seperti dilukis walaupun sebetulnya alis itu tumbuh dengan sewajarnya. Sepasang alis itu tampak lebih manis dan hidup lagi karena sepasang mata di bawahnya amatlah indahnya. Sepasang mata yang jeli, bening, dengan pandang mata yang tajarn namun lembut dan ramah, mata yang kerlingnya amat tajam dan memikat.

   Sepasang mata yang akan selalu terbayang oleh pria yang pernah bertemu pandang. Kedua ujung mata di kanan-kiri seperti di lukis, meruncing dan daya tarik keindahan mata itu semakin kuat dengan adanya bulu mata yang lentik dan lebat. Hidungnya kecil mancung, ujungnya agak menjungat Ke atas itu seperti menantang dan membuat wajahnya nampak lucu dan menggemaskan saking manisnya. Kemudian mulutnya! Entah mana yang lebih kuat daya pikatnya antara mata dan mulut itu. Mulut dengan sepasang Bibir yang merah membasah tanpa pemerah Bibir, bentuknya seperti gendewa terpentang, dengan kulit Bibir yang tipis dan Bibir itu penuh seperti buah anggur yang masak, menjanjikan kemanisan madu yang menggairahkan. Bila sepasang Bibir itu terbuka sedikit,nampak kilatan gigi seputih mutiara yang berderet rapi.

   Mulutnya teramat manisnya, apa lagi kalau menyungging senyuman karena muncul lesung pipit di sepasang pipi yang putih kemerahan seperti kulit bayi itu. Dagunya runcing sehingga membuat wajah yang cantik jelita itu berbentuk bulat telur. Gadis yang cantik jelita itu bernama atau berjuluk Siang-bi-hwa (Bunga Cantik Harum) dan ia dikenal dengan nama julukan itu. Nama sesungguhnya yang jarang dikenal orang adalah Ouw Yang Hui! Benar, ia adalah Ouw Yang Hui, puteri Ouw Yang Lee dan Sim Kui Hwa yang terjatuh ke dalam tangan seorang mucikari yang biasa disebut Cia-Ma. Cia-Ma adalah mucikari yang terkenal di kota Nam-Po, seorang mucikari yang anak buahnya merupakan pelacur-pelacur pilihan. Pelacur yang menjadi anak buah Cia-Ma rata-rata cantik manis dan bersikap lembut seperti wanita-wanita terpelajar Karena itu,

   Biarpun pada umumnya orang harus mengeluarkan uang yang cukup banyak, rumah pelesir milik Cia-Ma selalu ramai dan langganan-langganannya terdiri dari para pria dan pemuda bangsawan dan hartawan. Akan tetapi sikap Cia-Ma terhadap Ouw Yang Hui sungguh luar biasa. Berbeda sekali dengan sikap terhadap "Anak-anak"

   Atau anak buahnya, walaupun terhadap mereka ia juga selalu ramah dan halus budi. Cia-Ma ternyata mengasihi Ouw Yang Hui seperti kepada anak kandungnya sendiri! la demikian sayang kepada Ouw Yang Hui sehingga ia mendidik Ouw Yang Hui menjadi seorang gadis yang terpelajar, sopan, halus budi, bahkan ia mengundang seorang Siucai (sastrawan) untuk mengajar Ouw Yang Hui dalam hal kesusastraan dan keagamaan! Gadis itu tumbuh besar dan mengerti akan filsafat dan budi pekerti.

   Bukan itu saja, Cia-Ma juga mengajarkan bermacam kesenian kepada Ouw Yang Hui sehingga kini dalam usia tujuh belas tahun, Ouw Yang Hui pandai membuat sajak, pandai memainkan Yang-kim (Siter), meniup suling, bahkan pandai menyanyi dengan suara merdu. Pada tahun akhir-akhir ini Ouw Yang Hui bahkan belajar menari. la benar-benar menjadi seorang gadis yang luar biasa, tidak saja cantik jelita, namun menjadi seorang seniwati dan ahli sastra, di samping budi pekertinya yang halus dan penuh susila. Cia-Ma tidak menghendaki anak angkatnya teringat masa lalunya itu, maka ia memberi nama baru kepada Ouw Yang Hui, yaitu Siang Bi Hwa yang juga merupakan julukan yang berarti Bunga Cantik Harum. Cia-Ma mempunyai cita-cita yang tinggi untuk anak angkatnya itu. la bahkan menjauhkan Bi Hwa dari kehidupan para pelacur. karena ia sama sekali tidak ingin anaknya itu menjadi seorang pelacur.

   la ingin agar kelak Bi Hwa menikah secara resmi dengan seorang pemuda bangsawan tinggi agar menjadi seorang nyonya bangsawan yang kaya raya dan terhormat. Tentu saja cita-cita ini bukan semata terdorong untuk membahagia kan Bi Hwa, melainkan terutama sekali untuk membahagiakan dirinya sendiri. Kalau anak angkatnya itu menjadi seorang nyonya bangsawan yang mulia, tentu ia sebagai Ibu mertua bangsawan akan hidup terhormat dan dimuliakan orang. la akan berhenti menjadi mucikari dan tak seorangpun akan teringat bahwa ia bekas mucikari! Betapapun juga, harus diakui bahwa hatinya merasa amat amat sayang kepada Bi Hwa. Untuk menjaga agar Bi Hwa tidak terpengaruh kehidupan para pelacur, Cia-Ma melarang B Hwa pergi ke ruangan depan dan tengah apa bila ada tamu pria datang berkunjung untuk pelesir.

   la diharuskan bersembunyi saja di ruangan belakang yang cukup luas, atau memasuki taman bunga yang hanya diperuntukkan anak kesayangan itu. Karena itu, perkenalan Bi Hwa dengan para pelacur hanya selewat saja, yaitu kalau ada pelacur yang berkunjung ke ruangan belakang dan bercakap cakap dengannya. Akan tetapi, karena maklum bahwa gadis itu adalah anak tersayang Cia-Ma, juga melihat kenyataan bahwa Bi Hwa adalah seorang gadis yang amat pandai, dan juga bersikap ramah dan lembut, para pelacur itu bersikap hormat kepadanya dan tidak ada yang berani mengganggunya. Pelajarannya membaca kitab-kitab agama membuat Bi Hwa mengerti benar bahwa pekerjaan Ibu angkatnya itu amat tidak baik, bahkan hina. Akan tetapi karena ia merasakan benar kasih sayang Cia-Ma kepadanya, iapun hanya dapat membujuk Ibu angkathya dengan kata-kata halus mengingatkan dan menyadarkan.

   "Ibu,"

   Katanya lembut dan menyebut Ibu, sebutan yang dikehendaki Cia-Ma sejak ia tinggal di situ,

   "Maafkan kalau pendapat dan ucapanku ini akan menyinggung perasaanmu."

   Cia-Ma memandang wajah anak angkat yang cantik manis itu sambil tersenyurm,

   "Katakanlah, Bi Hwa. Semua ucapanmu tidak tidak akan menyinggung hatiku karena aku sudah yakin bahwa engkau seorang anak yang amat baik dan berbakti kepadaku sehingga tidak mungkin engkau bermaksud buruk."

   Bi Hwa menjadi semakin berhati hati mendengar ucapan yang penuh kepercayaan dan kasih sayang itu.

   "Begini, Ibu. Dalam kitab-kitab yang kubaca, disebutkan bahwa pekerjaan seperti yang Ibu lakukan, sekarang ini merupakan pekerjaan yang tidak baik dan dipandang sebagai pekerjaan hina oleh umum. Oleh karena itu, Ibu. Apakah sekiranya Ibu tidak dapat berganti pekerjaan, memilih pekerjaan yang lebih terhormat walaupun hasilnya tidak dapat membuat kita menjadi kaya? Pula, kalau Ibu berganti pekerjaan, tentu aku dapat membantumu, tidak seperti sekarang ini."

   Ucapan itu tenang dan lembut, sama sekali tidak mengandung teguran atau penyesalan. Cia-Ma tersenyum. Ucapan anak angkatnya itu bahkan membesarkan hatinya.

   Anaknya tidak suka melihat pekerjaannya, berarti bahwa kehidupan para pelacur itu sama sekali tidak mempengaruhi atau menarik hati Bi Hwa! Ini baik sekali, karena sebagai calon isteri bangsawan tinggi ia harus merupakan seorang wanita terhormat yang bermartabat tinggi! Akan tetapi bagaimana ia dapat melepaskan pekerjaannya ini? Justeru pekejaannya ini yang membuat ia dikunjungi dan berkenalan dengan pemuda-pemuda bangsawan yang kaya raya sehingga setelah tiba saatnya kelak, ia akan memilih seorang di antara mereka untuk dijodohkan dengan Bi Hwa. Adapun hal ini dapat terjadi dengan mudah saja. Kalau pemuda bangsawan yang dipilihnya itu pada suatu hari ia perkenalkan dengan Bi Hwa, mustahil kalau dia tidak jatuh cinta dan bertekuk lutut di depan anak angkatnya yang cantik seperti seorang dewi kahyangan itu!

   "Aku mengerti apa yang Kau maksudkan itu, anakku. Akan tetapi dalam kitab-kitab suci yang Kau baca itu mungkin engkau tidak mendapatkan kenyataan hidup yang bukan hanya untuk dipikir dan direnungkan, melainkan hanya dapat dirasakan kebenarannya melalui pengalaman."

   "Kebenaran apa yang Ibu maksudkan?"

   Tanya Bi Hwa yang merasa heran dan ingin tahu sekali.

   "Kenyataan yang bagaimana itu, Ibu?"

   "Kenyataan bahwa pekerjaan para pelacur itu walaupun tampaknya hina dan kotor, namun sesungguhnya mengandung jasa- jasa yang mengandung nilai prikemanusiaan."

   "Ahh...?? Apa maksud Ibu?"

   Tanya Bi Hwa dengan heran sehingga sepasang matanya yang indah dan jeli bening itu terbelalak.

   "Pertama, para pelacur itu telah dapat menghIbur para pria yang sedang kesepian. Ke dua, mereka menjadi tempat para pria yang tidak beristeri menyalurkan gairah berahi mereka sehingga mencegah terjadinya pemaksaan atau perkosaan. Ke tiga, betapa pun rendah tampaknya, mereka itu bekerja, bukan sekedar mencari kesenangan melainkan mencari uang yang dapat mereka pergunakan untuk membantu orang tua yang miskin. Engkau tahu bagaimana keadaan para wanita, terutama yang berada di dusun-dusun. Wanita tidak dihargai seperti pria dan selalu dipandang rendah, bahkan kalau menjadi isteri seorang petani wanita akan disuruh bekerja keras di sawah ladang tiada ubahnya seorang pelayan atau pembantu. Wanita juga sulit sekali mencari pekerjaan yang dapat memberi hasil yang cukup untuk dimakan, apa lagi untuk keperluan lain. ah, apa hinanya bekerja sebagai wanita penghIbur selama masih banyak pria berkeliaran mencari hIburan dari wanita? Bayangkan kalau tidak ada wanita penghIbur, tentu banyak di antara para pria yang terdorong berahinya lalu melakukan paksaan atau perkosaan terhadap wanita yang lemah. Dan tentu terjadi banyak pula perjinaan yang akan menghancurkan rumah tangga. Setidaknya, para pelacur melakukan pekerjaan mereka itu demi tuntutan kebuTuhan hidup, sedangkan sebalikaya pria yang melacur itu semata-mata untuk mencari kesenangan dan tidak segan-segan mengkhianati kesetiaan mereka kepada isteri mereka. pelacur tidak mengkhianati siapa-siapa."

   Bi Hwa tertegun dan termangu-mangu mendengar pembelaan Cia-Ma terhadap pekerjaan para pelacur itu. Akan tetapi betapapun juga, pembelaan Cia-Ma itu mengubah pandangannya terhadap para pelacur.

   "Kalau begitu, Ibu menganggap pekerjaan mereka itu baik?"

   "Sama sekali tidak, anakku. Aku menganggap pekerjaan mereka itu tidak baik dan aku tidak akan membiarkan engkau terjerumus seperti mereka! Sampai matipun aku tidak akan membiarkan engkau seperti mereka. Aku hanya ingin membuka kenyataan agar orang dapat melihat bahwa di dalam pekerjaan mereka yang tampak hina itu terdapat jasa-jasa prikemanusiaan yang patut dihargai dan bahwa mereka itu terpaksa melakukan pekerjaan seperti itu. Coba engkau dengarkan dengan telinga hatimu, Bi Hwa, dan engkau akan menangkap bahwa dalam suara tawa mereka yang tampaknya riang gembira itu tersembunyi sedu-sedan dari kehancuran hati mereka."

   Demikianlah percakapan antara Bi Hwa dan Cia-Ma. Percakapan itu mendatangkan kesan mendalam di hati Bi Hwa, sehingga mulai saat itu ia memandang para pelacur itu dengan hati terharu dan mengandung iba. Bagaimanapun juga, seorang pelacur jauh lebih terhormat dari pada seorang isteri yang melakukannyelewengan dengan pria lain, karena pelacur tidak mengkhianati siapapun dalam perbuatannya, melainkan semata-mata untuk mencari uang guna mencukupi kebuTuhan hidupnya, juga mungkin kebuTuhan hidup orang tua dan saudara-saudaranya. Teringat akan semua itu, Bi Hwa ulang kali menghela napas panjang. teringatlah ia akan kata-kata Cia-Ma ketika menyinggung soal perjodohannya sehingga memancing perbantahan dengannya.

   "Bi Hwa, dalam pekerjaanku ini aku mempunyai suatu maksud tertentu. Engkau tahu, sebagian besar langganan yang pelesir di sini terdiri dari para pemuda bangsawan dan hartawan. Kalau sudah tiba saatnya, aku tinggal memilih di antara mereka, memilih seorang pemuda bangsawan tinggi yang memiliki kedudukan,kekuasaan dan harta benda untuk menjadi suamimu!"

   "Ahhh, Ibu!"

   Bi Hwa berseru kaget sekali dan kedua pipinya yang sudah putih kemerahan itu menjadi semakin merah.

   "Mengapa engkau terkejut? Usiamu kini sudah tujuh belas tahun dan engkau sudah sepantasnya menjadi seorang nyonya bangsawan yang hidup mulia dan kaya raya, dihormati semua orang, tinggal di sebuah Istana dan kalau bepergian menunggang kereta indah ditarik empat ekor kuda."

   "Akan tetapi aku tidak suka, Ibu! Aku tidak suka kepada para pria yang suka pelesiran di tempat ini! Mereka itu bukan pria pria terhormat."

   "Eh, Bi Hwa, hati-hati dan pikirkan dulu kalau engkau bicara! Para Kongcu (tuan muda) yang datang ke sini itu adalah putera putera pembesar yang berpangkat tinggi, bahkan banyak yang datang dari Kotaraja. Ayah mereka adalah para pejabat tinggi, bahkan ada putera menteri-menteri yang berkuasa dan kaya raya. Bagi seorang gadis, apa lagi kekurangannya kalau mendapatkan suami seorang pemuda yang berkedudukan, berkuasa dan memiliki banyak harta benda?"

   "Semua itu tidaklah amat penting, Ibu. Yang terpenting dalam sebuah perjodohan adalah cinta kasih."

   "Huh! Cinta? Cinta akan datang dengan sendirinya kalau engkau sudah menjadi seorang isteri, apa lagi kalau suamimu itu tampan, muda, berkuasa, kaya raya. Apakah dengan cinta saja engkau akan mampu hidup. Apakah engkau akan kenyang kalau hanya diberi makan cinta, bukan nasi? Apa kah hidupmu tidak akan melarat dan kekurangan kalau engkau menjatuhkan cintamu kepada seorang pemuda petani yang miskin?"

   "lbu, hidup tanpa cinta akan membuat semua kemuliaan dan kekayaan tidak ada artinya. Sebaliknya kalau ada cinta kasih, maka kehidupan yang melarat sekalipun akan dialaminya dengan hati berbahagia di samping orang yang dicintanya."

   "Hemm, itukah yang Kau pelajari dari kitab-kitabmu, Bi Hwa? Aku tidak pernah mempelajari dari kitab walaupun aku juga pandai membaca. Akan tetapi aku mempelajari tentang hidup dari pengalaman! Aku memang pernah menikah tanpa cinta dan berakhir menyedihkan. Keluarga kami memang miskin. Akan tetapi aku pernah mempunyai adik perempuan. la menikah karena saling mencinta dengan seorang pemuda petani miskin pula. la menentang pendapat orang tua kami dan nekat menikah dengan petani itu. Apa jadinya? Belum cukup setahun menikah, mulailah ia cekcok dengan suaminya, karena keadaan mereka amat miskin, Cinta mereka seperti tumbuh di tanah gersang, mudah menjadi layu dan mati. Kemiskinan mengubah senyum bahagia mereka menjadi kemarahan dan tangis, mengubah cinta menjadi kebEncian. Dengan kemiskinan, begitu pernikahan masuk lewat lubang pintu, cintapun terbang keluar melalui jedela! Sandang pangan papan tidak bisa dipenuhi dengan cinta belaka. Belum sampai adikku mempunyai anak, suaminya sudah meninggalkannya dan tidak pernah kembali lagi. Adikkupun, seperti aku, terjerumus menjadi pelacur dan kemudian meninggal karena penyakit. Ini bukan pelajaran dari kitab, Bi Hwa, melainkan dari pengalaman,"

   Mendengar ucapan panjang lebar yang dikeluarkan penuh emosi ini, Bi Hwa yang juga amat menyayang Ibu angkatnya, lalu merangkul Ibunya dan berkata lembut,

   "Sudahlah Ibu, maafkan aku. Bagaimanapun, sekarang ini aku sama sekali masih belum mempunyai keinginan untuk menikah dan berpisah darimu."

   Ketika ia duduk melamun di tepi kolam ikan dalam taman kecil yang indah itu, Bi Hwa mengenang semua ini. la menghela napas dan mulut yang mungil itu lalu bersajak dengan suara lirih.

   "Wahai perempuan di seluruh dunia apakah hidupmu hanya untuk menderita sengsara? selagi mekar semerbak harum engkau dibanggakan dan dipuja pria setelah engkau layu terkulai engkau dicampakkan dan disia-siakan!"

   Setelah mengucapkan sajak dengan suara lirih, Bi Hwa lalu mengambil sebatang suling bambu yang terletak di atas bangku disebelahnya, dekat dengan sebuah Siter yang tadi dibawanya ke taman itu karena memang ia sering memainkan dua alat itu kalau sedang berada dalam taman.

   la menempelkan lubang suling itu pada Bibirnya yang merah basah, kemudian meniup suling itu. Terdengar suara suling melengking-lengking merdu, dan suara suling agak tergetar menandakan bahwa peniupnya seorang ahli. Pada senja hari itu terngarlah suara suling mengalun turun naik dalam rangkaian nada-nada yang amat merdu dengan irama yang lembut dan menyentuh perasaan. Hanya suling yang ditiup dengan penuh perasaan dan keahlian saja yang dapat mengeluarkan suara seperti itu. Bi Hwa tidak tahu bahwa pada saat itu di ruangan depan rumah Cia-Ma sedang ramai karena datangnya lima orang tamu. Mereka adalah lima orang pemuda bangsawan, empat orang dari mereka adalah putera putera pejabat tinggi yang datang dari Kotaraja, yang dijamu oleh seorang putera kepala daerah di Nam-Po.

   Untuk menyenangkan empat orang kawan dari Kotaraja itu, Yap Ki atau biasa dipanggil Yap Kongcu (Tuan Muda Yap), putera dari kepala daerah Yap Taijin (Pembesar Yap) di Nam-Po, sengaja mengajak empat orang tamunya itu untuk pelesir di rumah Cia-Ma. Mereka berlima makan minum, dilayani oleh lima orang gadis penghIbur yang cantik-cantik sehingga suasananya amat gembira. Apa lagi setelah seorang pemuda itu minum beberapa cawan arak yang menghangatkan hati, suasana menjadi semakin meriah. Kalau saja Bi Hwa tahu bahwa ketika itu sedang ada tamu, tentu ia tidak akan meniup serulingnya senyaring itu. Suara suling memasuki ruangan depan dengan amat merdunya. Lima orang itu menghentikan suara mereka dan diam sejenak mendengarkan, Yap Kongcu lalu berkata dengan heran sekali memandang kepada gadis yang duduk di sebelah kirinya.

   "Belum pernah aku mendengar permainan suling sedemikian indahnya ditiup orang di sini siapakah pemain suling itu?"

   Gadis pelacur yang duduk di sebelahnya berkata,

   "Itu adalah tiupan suling Nona Bi Hwa, ia memang pandai sekali bermain suling."

   "Siapa? Bunga Cantik Harum? Belum pernah aku mendengar nama itu! Kenapa ia tidak disuruh menemani kami makan minum?"

   "la tidak pernah menemani tamu, Yap-Kongcu,!"

   Kata pelacur itu.

   "Akan tetapi sekarang ia harus menemani aku dan teman-temanku! Berapapun taripnya akan kami bayar, jangan khawatir!"

   Kata Yap-Kongcu sambil tertawa.

   "Akupun ingin sekali melihat bagaimana cantiknya Nona Bunga Cantik Harum itu!"

   Kata seorang kawannya, pemuda bangsawan Kotaraja.

   "Maaf, Kongcu, harap ngo-wi Kongcu (kelima tuan muda) tidak marah. Nona Siang Bi Hwa adalah anak perempuan Cia-Ma sendiri dan ia tidak pernah melayani tamu,"

   Kata pelacur itu, menyesal mengapa tadi ia mengaku bahwa peniup suling itu adalah Bi Hwa.

   "Aha, kalau begitu ia seorang perawan remaja? Berapa usianya?"

   Sekitar tujuh belas tahun, Kongcu.

   "Bagus! Biar ia anak perempuan Cia-Ma, cepat panggil ia ke sini, nanti engkau kuberi hadiah!"

   Kata Yap Kongcu dengan gembira.

   "Saya... saya tidak berani, Kongcu. Cia-Ma tentu akan memarahi kami."

   "Hemm, siapa berani marah kalau kami yang memanggil? Sudahlah, hayo ce-pat panggil Cia-Ma ke sini, aku mau bicara sendiri dengannya!"

   Pelacur yang ketakutan itu lalu bangkit berdiri dan masuk ke dalam untuk mengundang Cia-Ma keluar. Mendengar dia dipanggil Yap Kongcu, Cia-Ma bergegas keluar dengan senyumnya yang ramah.

   "Yap Kongcu memanggil saya? Apa yang dapat saya bantu untuk Kongcu?"

   "Cia-Ma, aku minta agar engkau memanggil Siang Bi Hwa ke sini untuk melayani kami!"

   Cia-Ma membelalakkan matanya, terkejut sekali mendengar ini. Akan tetapi ia mendengar suara suling yang melengking lengking itu dan mengertilah ia bahwa tentu Yap Kongcu menanyakan siapa peniup suling itu dan mendengar tentang anak angkatnya dari para pelacur.

   "Siang Bi Hwa...?"

   
Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Katanya gagap.

   "Ya, anak perempuanmu itu. Panggil ia ke sini untuk ikut melayani kami. Soal pembayarannya jangan khawatir, berapapun taripnya akan kami bayar!"

   Kata Yap Kongcu.

   "Anak perempuan saya itu masih belum dewasa, belum waktunya melayani tamu..."

   "Akan tetapi, kami hanya ingin melihat dan mendengarkan ia bermain suling,"

   Desak Yap Ki.

   "la belum dewasa dan tidak biasa bertemu dengan pria. Tentu ia menolak kalau diharuskan bermain suling atau Yang-kim didepan para tamu. la pemalu dan saya tidak dapat memaksanya. Maafkan saya, Kongcu."

   Yap Ki menjadi penasaran.

   "Hemm, seperti apakah anakmu itu, Cia-Ma? Apakah seperti dewi kahyangan sehingga engkau menjual mahal seperti ini?"

   Tiba-tiba Cia-Ma mendapatkan sebuah pikiran yang dianggapnya cemerlang. Sudah tiba waktunya bagi Bi Hwa untuk diperkenalkan kepada para Kongcu agar namanya terkenal dan menarik perhatian semua pemuda bangsawan dari Kotaraja. Sehingga dengan demikian, akan mudah baginya untuk menentukan pilihan siapa yang dipandangnya cukup berharga untuk memetik Bunga Cantik Harum yang ia banggakan dan dianggap sebagai sumber kemuliaan baginya itu.

   "Kalau ngo-wi Kongcu (tuan muda berlima) ingin menyaksikannya, hal itu mudah diatur. Biarlah anak saya itu tetap bermain di dalam taman dan ngo-wi (kalian berlima) dapat menyaksikannya dari pintu belakang. Akan tetapi harap jangan ada yang mendekat, karena kalau ia didekati, tentu ia akan merasa takut, menghentikan permainannya dan lari bersembunyi dalam kamarnya.

   "Baik, baik, kami cukup puas asalkan boleh melihatnya, biarpun tidak mendekati,"

   Jawab Yap Ki dan juga empat orang kawannya menyatakan ingin sekali melihat perawan yang agaknya dipingit oleh Cia-Ma itu.

   "Kalau begitu, biar saya akan menemuinya dulu dan minta agar ia suka memainkan beberapa lagu dengan suling dan Yang-kimnya dan tidak keberatan ditonton dari pintu belakang."

   Setelah berkata demikian, Cia-Ma lalu bergegas pergi ke taman belakang. Bi Hwa menghentikan tiupan sulingnya ketika mendengar langkah kaki Cia-Ma menghampirinya.

   "Bi Hwa, engkau lanjutkanlah bermain suling dan juga Yang-kim. Ada lima orang Kongcu dari golongan bangsawan, yang seorang putera Yap-Taijin kepala daerah Nam-Po dan yang empat orang pemuda bangsawan dari Kotaraja yang menjadi tamu. Tadi mereka mendengar suara sulingmu dan Yang-kim. mereka memaksa hendak melihatmu bermain suling."

   "Ah, aku tidak mau, Ibu."

   "Dengarkan dulu, Bi Hwa. Aku sudah mengatakan bahwa engkau tidak pernah bermain di depan tamu, akan tetapi mereka marah dan hendak memaksa. Akhirnya aku mengatakan bahwa mereka boleh melihatmu bermain di sini sedangkan mereka hanya menonton dari pintu belakang. Engkau boleh pura-pura tidak melihat mereka dan terus saja bermain suling dan Yang-kim. Engkau tidak boleh menolaknya, Bi Hwa, karena aku sudah berjanji kepada mereka. Kalau engkau memaksa menolak, tentu aku akan mendapat celaka. Kalau Yap Kongcu melapor kepada Ayahnya, Yap-Taijin bisa saja menyuruh pasukan menangkap aku dan menutup rumah pelesir kita."

   

   Bi Hwa tidak dapat menolak lagi. Tentu saja ia tidak suka melihat Ibunya mendapatkan malapetaka itu. Apa lagi, ia tidak harus bermain di depan para tamu, hanya bermain di taman dan mereka itu meronton dari pintu belakang yang cukup jauh. la boleh berpura-pura tidak melihat mereka saja dan tidak memperdulikan pandang mata mereka yang ditujukan kepadanya.

   "Bagaimana, Bi Hwa? Engkau mau, bukan? Engkau mau menolong Ibumu?"

   Terpaksa Bi Hwa mengangguk dan menjawab lirih.

   "Baiklah, Ibu. Aku akan bermain suling dan Yang-kim di sini tanpa memperdulikan mereka."

   "Ah, anakku sayang, engkau memang seorang anak yang baik!"

   Kata Cia-Ma sambil merangkul dan mEncium pipi gadis itu. Kemudian ia meninggalkan taman untuk kembali ke ruangan depan dan melaporkan hasil bujukannya kepada lima orang tamunya. Sementara itu, seperti tidak pernah terjadi sesuatu, Bi Hwa sudah meniup lagi sulingnya. la tidak ingin bersikap kurang ajar membelakangi para penontonnya, akan tetapi ia juga tidak mau menghadapi mereka secara langsung.

   Oleh karena itu, ia duduk memutar tubuhnya sehingga pintu belakang itu berada di sebelah kanannya. Orang hanya akan dapat melihatnya dari samping saja. Lima orang pemuda itu menjadi girang bukan main ketika Cia-Ma memberitakan bahwa Bi Hwa sudah menyetujui ditonton dari pintu belakang. Mereka bergegas menuju ke pintu belakang dan lima orang gadis penghIbur itu membawakan bangku-bangku untuk mereka. Bangku-bangku dijajar di pintu belakang dan lima orang itu duduk berderet di situ. Begitu duduk dan memandang ke depan, mereka terbelalak kagum! Suasana taman kecil itu sudah indah menyenangkan sekali dan di dekat kolam, cukup jelas tampak dari situ, duduk seorang gadis yang luar biasa cantiknya! Walaupun hanya tampak dari samping, dan itupun tidak tampak sepenuhnya wajah itu karena sedikit tertutup jari jari tangan yang memegang suling,

   namun bentuk dahi itu, rambut itu, hidung dan pipi itu, mata dan mulut itu! Bahkan di kota sekalipun jarang terdapat gadis secantik itu! Tubuhnya yang baru mekar itu ramping padat. Pakaiannya yang indah dari Sutera halus tidak dapat menyembunyikan sepenuhnya lekuk lengkung tubuh yang lemah gemulai. Setiap gerakan tubuh itu seolah gerakan seorang penari yang pandai. Dan bunyi suling itu kini terdengar jelas sekali, meliuk-liuk tinggi rendah seakan membawa sukma lima orang pemuda itu melayang-layang! Tiba-tiba suara suling menurun dan melemah, lalu berhenti dengan lembutnya sehingga seolah tidak terasa berhenti dan gemanya masih terngiang di telinga para pendengarnya. Tiba-tiba dara itu telah mengganti alat musiknya dan kini jari-jari tangannya yang lentik dan mungil itu telah menari-nari di atas Yang-kim.

   Dan terdengarlah suara kencrang-kencring dan tang-ting tang-ting dengan irama lembut dan nadanya naik turun dengan indah dan merdu sekali! Lima orang Kongcu itu kembali terpesona. Begitu banyak penglihatan dan pendengaran yang membuat mereka seolah berhenti bernapas. Taman indah yang tampak kemerahan oleh cahaya matahari mulai turun ke ufuk barat, gadis yang begitu cantik jelitanya bagaikan seorang bidadari, kemudian bunga-bunga yang mekar indah di sekelilingnya, keharumannya tercium karena terbawa angin semilir, lalu suara Yang-kIm Yang demikian indahnya. Benar-benar membuat semangat lima orang Kongcu itu melayang-layang. Setelah suara Yang-kim berhenti, mereka bertepuk tangan riuh rendah dan mulut mereka berlumba mengucapkan pujian dengan suara nyaring dengan maksud agar terdengar oleh orang yang dipujinya.

   "Demi para dewatal Belum pernah selamanya aku menyaksikan yang seindah dan secantik ini!"

   "Bagaikan seorang bidadari dari kahyangan yang turun ke taman ini!"

   "Tiupan sulingnya membuat semangatku melayang-layang!"

   "Permainan Yang-kimnya demikian indah seperti bunyi-bunyian dari sorga!"

   "Mau aku dikurangi usiaku sebanyak sepuluh tahun asalkan aku dapat bersanding dengan dewi itu!"

   Mendengar sorak sorai tepuk tangan lalu ucapan-ucapan yang memujinya bernada nakal seperti itu, Bi Hwa menjadi marah dan ia lalu bangkit berdiri dan melangkah kebalik rumpun bunga yang lebat sehingga tubuhnya tidak dapat tampak lagi dari pintu belakang rumah itu. Apa lagi cuaca sudah mulai gelap sehingga menjadi remang-remang.

   "Aih, ngo-wi Kongcu telah membuat ia terkejut dan ketakutan!"

   Tegur Cia-Ma kepada lima orang Kongcu itu.

   "Cia-Ma, berikan bunga cantik itu kepadaku untuk semalam ini dan aku akan memberi seratus tail perak kepadamu!"

   Kata Yap Kongcu Seratus tail perak merupakan jumlah yang cukup besar pada waktu itu. seratus tail! kata seorang Kongcu ke dua

   "Aku berani membayar seratus lima puluh tail"

   "Aku berani membayar dua ratus lima puluh tail perak."

   "Dan aku berani membayar tiga ratus tail, asal ia mau melayaniku semalam"

   Kata Kongcu ke lima tidak mau kalah.

   "Ngo-wi Kongcu, saya membesarkan dan mendidik Bi Hwa bukan untuk menjadi gadis penghIbur yang melayani tamu. Biar saya diberi selaksa tail perak sekalipun,"

   "Tidak"

   Saya tidak akan saya berikan untuk melayani pria. la harus menjadi isteri sah dan pertama dari seorang Kongcu bangsawan hartawan yang kami pilih. Mari, ngo-wi Kongcu, silakan masuk lagi ke ruangan dalam!"

   Ajak Cia-Ma.

   Lima orang pemuda itu merasa kecewa, akan tetapi tentu saja mereka tidak dapat memaksa. Mereka seolah melihat bayangan seorang dewi yang melayang tinggi di angkasa, hanya dapat dipandang namun sulit untuk dijamah, apa lagi dimiliki. Karena itu, mereka menghIbur kekecewaan mereka dengan berpelesir sepuas hati mereka dengan gadis-gadis pelacur yang berada di situ, yang siap melayani mereka dengan wajah penuh senyum tanpa harus dibayar sampai seratus tail perak! Tepat seperti yang diperhitungkan dan diharapkan Cia-Ma, sejak lima orang pemuda bangsawan itu melihat dan mendengar Bi Hwa memainkan suling dan Yang-kim, tersiar berita di kalangan para pemuda bangsawan bahwa Cia-Ma diam-diam mempunyai seorang anak perawan yang cantik jelita seperti seorang bidadari dan pandai sekali bermain suling dan Yang-kim,

   Seorang anak perawan yang suci dan biarpun anak perempuan seorang mucikari, namun hidupnya bersih, angkuh, bahkan harga dirinya mahal luar biasa sehingga Cia-Ma tidak akan mau menerima uang selaksa tail sekalipun untuk membeli perawan itu untuk satu malam saja! Hal ini tentu saja membuat para pemuda bangsawan, terutama yang tinggal di Kotaraja, merasa penasaran bukan main. Mana ada perawan yang menolak uang selaksa tail perak untuk melayani seorang pria hanya satu malam saja? Uang sebanyak itu cukup untuk membeli perawan sebanyak seratus orang! Berita burung dari mulut ke mulut selalu dilebih-lebihkan sehingga beberapa bulan kemudian muncul sajak yang dikenal oleh semua pemuda, terutama para pemuda bangsawan yang suka pelesir.

   "Bunga Cantik Harum di Nam-Po kota amatlah berharga tiada terkira selaksa tail perakpun ditolaknya Kongcu manakah yang mampu mempersuntingnya?"

   Semakin banyaklah para pemuda bangsawan yang kaya raya datang bertamu di rumah pelesir milik Cia-Ma, ada yang datang untuk bersenang-senang dengan gadis-gadis pelacur. Akan tetapi banyak pula yang datang khusus untuk melihat dan mendengar sendiri Siang Bi Hwa bermain suling dan Yang-kim!

   Bi Hwa tidak dapat menolak permintaan Ibu angkatnya untuk bermain suling dan Yang-kim di taman itu, ditonton dari pintu belakang oleh para pemuda banngsawan. Akan tetapi para pemuda itu sudah berjanji untuk hanya menonton saja tanpa mendekat dan tanpa mengeluarkan kata kata yang tidak sopan. Makin banyak yang menonton, semakin terkenallah nama Siang Bi Hwa dan semakin muluk-muluk orang memuji kecantikan dan kepandaiannya bermain musik. Membanjirnya para bangsawan, juga ang sudah tua-tua, ke rumah pelesir milik Cia-Ma itu berarti pula membanjirnya uang yang memasuki peti uang Cia-Ma. Tentu saja para tamu itu tidak hanya sekedar menonton Siang Bi Hwa, kalau tidak berpelesir dengan para gadis pelacur, setidaknya mereka akan makan minum di tempat itu.

   Dan makan minum di situ berarti harus membayar beberapa kali lipat dari harga umum makan dan minumannya. Setiap malam Cia-Ma tinggal menghitung uang yang masuk. Dalam beberapa bulan saja ia sudah dapat membangun bangunan yang lebih besar dan bertingkat di sebelah rumahnya yang tadinya ditempati seorang tetangga kemmudian dibelinya dengan harga tinggi. Dan rumah pelesir itu menjadi semakin terkenal. Nama Siang Bi Hwa menjadi buah Bibir para pemuda bangsawan di Kotaraja, bahkan mulai menjalar dan diketahui oleh para bangsawan tua yang suka berpelesir. Banyak sekali orang berdatangan dan menawarkan uang dalam jumlah besar kepada Cia-Ma, bahkan ada yang menawarkan selaksa tail! Akan tetapi Cia-Ma tetap menolak dengan halus dan mengatakan bahwa anak perempuannya sudah bertekad untuk membunuh diri kalau dipaksa melayani pria.

   la hanya mau melayani pria yang menjadi suaminya, pilihan mereka kalau saatnya sudah tiba kelak!

   Melihat betapa berbondong-bondong pria datang untuk melihatnya dan seakan berlumba untuk membelinya, diam-diam Bi Hwa merasa penasaran dan marah sekali. la merasa diperhina, disamakan dengan benda yang dapat dibeli dengan uang! Perasaan marah dan penasaran inilah yang akhirnya mendorongnya untuk membalas, yaitu dengan jalan membuat para pria itu semakin tergila gila agar mereka tersiksa karena tidak dapat memenuhi hasrat hatinya, la menggunakan kepandaiannya untuk menarik hati mereka sekuat mungkin. Kini ia tidak hanya bermain suling dan Yang-kim,akan tetapi juga mulai bernyanyi diiringi suara Yang-kimnya. Dan begitu Bunga Cantik Harum ini membuka suara bernyanyi, jantung para pemuda bangsawan itu jungkir balik.

   Bukan hanya suara nyanyian Bi Hwa yang merdu merayu, akan tetapi juga kata-kata yang mengejek dan menyindir kelakukan para pemuda itu. Akan tetapi anehnya, mereka yang disindir ini tidak menjadi marah, bahkan tertawa-tawa senang karena merasa lucu! Hampir setiap hari para pemuda bangsawan dan hartawan datang bertamu, kebanyakan khusus untuk melihat dan mendengarkan Bi Hwa bermain musik dan bernyanyi. Melihat keadaan usahanya semakin ramai, untuk menjaga keselamatan, terutama sekali keselamatan Bi Hwa dari gangguan pria, Cia-Ma lalu membayar lima orang jagoan untuk menjadi penjaga keamanan di rumah pelesir itu. Pada suatu hari, selagi Bi Hwa bermain Yang-kim sambil bernyanyi di atas bangku didekat kolam ikan, ditonton belasan orang Kongcu yang bergerombol di pintu belakang, seorang di antara para Kongcu itu melangkah maju memasuki taman!

   "Heii, tidak boleh mendekat kesana!"

   Teriak beberapa orang pemuda, akan tetapi agaknya pemuda bangsawan yang mulutnya besar dan matanya agak juling itu tidak mempedulikan teguran para rekannya. Agaknya sudah mabok karena jalannya terhuyung huyung ketika dia terus melangkah maju memasuki taman dan menghampiri kolam ikan dekat dimana Bi Hwa sedang bernyanyi diiringi petikan Yang-kim. Tiba-tiba nyanyian dan suara Yang-kim itu berhenti karena Bi Hwa sudah mendengar suara pemuda yang datang menghampirinya. la bangkit dan alisnya berkerut, matanya memandang marah kepada pemuda yang menghampirinya sambil tertawa-tawa itu.

   "Mau apa engkau? Pergi! Tak seorangpun boleh datang mendekat ke sini!"

   Bi Hwa membentak sambil menuding dengan telunjuknya ke arah pintu belakang dari mana pemuda itu datang. Pemuda itu menyeringai. Mulutnya yang lebar tampak menakutkan dan matanya menjadi semakin juling.

   "Ha-ha-ha, engkau sungguh luar biasa cantik jelita, bidadariku. Siang Bi Hwa, marilah engkau datang dalam pelukanku, sayang."

   Berkata demikian, pemuda yang sudah tergila-gila dan nekat ini lalu menubruk maju sambil mengermbangkan kedua lengannya untuk merangkul. Siang Bi Hwa adalah Ouw Yang Hui puteri Ouw Yang Lee. Biarpun ketika meninggalkan Pulau Naga usianya baru tujuh tahun, akan tetapi selama kurang lebih dua tahun ia sudah pernah digembleng dasar-dasar ilmu silat oleh Ayahnya yang berkepandaian tinggi.

   Biarpun selama berada dirumah Cia-Ma ia tidak pernah lagi berlatih silat, namun menghadapi bahaya dipeluk orang itu, secara otomatis ia menggeser kakinya mengelak dan ketika tubuh pemuda itu terdorong ke depan karena tubrukannya luput dan terhuyung karena mabok, Bi Hwa cepat menggerakkan kakinya menendang dari belakang. Tendangannya mengenai pinggul pemuda itu sehingga tubuh yang sudah terhuyung itu terdorong ke depan dan tak dapat dihindarkan lagi tubuh pemuda itu terjatuh ke dalam kolam ikan. pemuda itu gelagapan, minum air kolam. Untung baginya bahwa kolam itu tidak terlalu dalam dan ketika dia berhasil bangkit berdiri, airnya hanya sampai di dadanya. Air kolam yang dingin dan membasahi semua tubuhnya membuat maboknya agak berkurang dan dia bergidik geli ketika tubuh ikan-ikan menggelitik kakinya.

   "Tolooonnggg."

   Dia berteriak-teriak. Para pemuda yang menonton dari pintu belakang tertawa bergelak melihat pemandangan yang lucu itu. Bi Hwa sudah menjauhi kolam dan berdiri di belakang sebatang pohon membelakangi semua orang ketika Cia-Ma datang berlari-lari diikuti lima orang jagoannya. Wanita ini marah sekali, akan tetapi karena yang mengganggu Bi Hwa itu adalah putera seorang jaksa di Kotaraja, ia tidak berani memperlihatkan kemarahannya. la hanya memerintahkan lima orang jagoann"a untuk menolong pemuda itu keluar dari kolam dan sambil menahan kemarahannya ia berkata.

   "Su-Kongcu (Tuan Muda Su), sudah saya pesan kepada semua tamu bahwa mereka hanya boleh menonton dari pintu belakang dan tidak boleh mengganggu anaku Siang Bi Hwa, kenapa Kongcu memasuki taman ini, Saya menyesal sekali atas kejadian yang di timbulkan oleh Kongcu sendiri. Maafkan kami, Su-Kongcu. Mari masuk ke dalam. Kongcu harus berganti pakaian Kongcu yang menjadi basah dan kotor semua. Saya ada menyimpan beberapa potong pakaian yang masih baru dan cocok untuk Kongcu pakai."

   Su Kan Lok, pemuda bermulut lebar bermata juling itu, adalah putera Jaksa Su di Kotaraja, seorang jaksa yang besar kekuasaannya karena dia adalah orang bawahan Thaikam Liu Cin. Su Kan Lok berusia dua puluh tiga tahun itu masih bujangan, belum menikah dan dia adalah seorang di antara para pemuda bangsawan tukang pelesir yang pandainya hanya menghambur-hamburkan uang yang didapatkan oleh Ayahnya secara tidak halal, melalui pemerasan dan sogokan. Kini Su Kan Lok sudah dIbujuk Cia-Ma, tetap saja dia tidak dapat menahan kemarahannya dan sebelum mengikuti Cia-Ma masuk ke dalam untuk berganti pakaian, dia menoleh ke arah Bi Hwa yang berdiri di balik batang pohon.

   "Gadis sombong!"

   Geramnya.

   "Lihat saja nanti. Kalau aku tidak mampu mendapatkan engkau, jangan sebut aku Su-Kongcu putera Jaksa Su di Kotaraja. Setelah mengeluarkan ancaman ini, dia lalu masuk ke dalam rumah bersama Cia-Ma.

   Para pemuda lainnya juga meninggalkan taman itu karena Bi Hwa tidak mau lagi bermain musik dan bernyanyi setelah terjadi peristiwa itu. Kini para pemuda itu mengabarkan bahwa Siang Bi Hwa yang cantik jelita dan pandai bermain musik dan bernyanyi itu ternyata juga pandai bermain silat. Berita ini tentu saja makin lama menjadi semakin besar sehingga akhirnya dikabarkan orang bahwa Siang Bi Hwa yang cantik jelita itu adalah seorang yang memiliki ilmu silat yang tinggi dan lihai sekali! Akan tetapi diam-diam Cia-Ma menjadi khawatir sekali atas kejadian dalam taman itu. Ancaman Su Kan Lok selalu terngiang dalam telinganya. Pemuda itu adalah putera seorang jaksa yang berkuasa di Kotaraja. Bagaimana kalau pemuda itu melaksanakan ancamannya? Apa yang akan terjadi? Melihat kegelisahan Cia-Ma, Bi Hwa menghIburnya.

   "Ibu, harap jangan terlalu cemas. Kurasa ancaman pemuda tolol itu hanya gertak sambal belaka. Andaikata dia benar-benar hendak mempergunakan kekerasan, perlu apa kita takut? Bukankah Ibu mempunyai banyak kenalan para pemuda bangsawan yang Ayahnya memiliki kedudukan yang

   tinggi? Ibu dapat minta pertolongan mereka agar melindungi kita dari ancaman siapa saja."

   DihIbur demikian oleh Bi Hwa, akhirnya Cia-Ma menjadi tenang kembali dan behar saja. Banyak pemuda bangsawan menyatakan kesediaan mereka untuk melindungi Cia-Ma dan Siang Bi Hwa dari ancaman Su Kan Lok.

   "Sin Cu, kini sudah tiba waktunya bagimu untuk pergi merantau dan mencari orang tuamu. Semua ilmu yang kukuasai telah kuajarkan kepadamu, juga engkau telah mendapatkan ilmu bermain dalam air dari Gurumu Can Kui. Karena itu, engkau telah memperoleh bekal ilmu kepandaian yang cukup untuk membela dirimu sendiri. Sekarang tiba saatnya bagimu untuk mempergunakan semua ilmu yang telah Kau pelajari dengan susah pAyah itu untuk menolong orang orang yang lemah tertindas dan menentang orang-orang yang bertindak sewenang wenang mengandalkan kekuasaan dan kekuatannya. Juga engkau harus mencari keterangan tentang orang tuamu."

   "Suhu (Guru), Teecu (Murid) akan selalu menaati semua perintah dan petunjuk Suhu. Akan tetapi bagaimana Teecu dapat meninggalkan Suhu dengan hati tenang? Suhu kini telah berusia lanjut, Suhu memerlukan pelayanan Teecu. Kalau Teecu pergi meninggalkan Suhu, lalu siapa yang akan melayani Suhu? Teecu tidak tega meninggalkan Suhu hidup seorang diri."

   "Ha-ha-ha, senang hatiku mendengar suara hatimu itu, Sin Cu. Itu tandanya bahwa engkau memiliki perasaan kasih terhadap diriku yang sudah tua ini dan perasaanmu itu sudah cukup membahagiakan hatiku. akan tetapi jangan engkau khawatir tentang diriku, Sin Cu. Sudah sejak puluhan tahun yang lalu aku hidup seorang diri, merantau ke mana saja hati dan kakiku membawaku.Jangan memusingkanku, yang penting engkau harus mencari kedua orang tuamu.

   "Baik, Suhu. Teecu akan melaksanakan semua perintah Suhu. Akan tetapi, dapatkah Suhu menceritakan lebih jelas tentang orang tuaku itu?"

   Bu Beng Siauwjin menggeleng kepalanya.

   "Ketika aku menemukannu, engkau baru berusia sekitar tiga tahun dan dari mulutmu aku hanya mendapat keterangan bahwa Ayahmu bernama Wong Cin dan ketika itu dengan ketakutan engkau menyebut-nyebut tentang perahu, lautan dan orang jahat. Engkau belum dapat menceritakan apa yang telah terjadi menimpa dirimu dan orang tuamu. Aku sudah berusaha mencari di sekitar tempat aku menemukanmu, untuk mencari orang bernama Wong Cin. Tiga bulan lamanya aku mencari, namun sia-sia belaka. Tidak ada orang yang mengenal nama Wong Cin sehingga aku lalu menghentikan pencarianku dan membawamu pergi merantau, Nah, sekarang engkau lah yang harus mencari Ayahmu itu."

   "Akan tetapi, ke mana Teecu harus mencari, Suhu?"

   Tanya Sin Cu dengan sedih dan bingung.

   (Lanjut ke Jilid 10)

   Sepasang Rajah Naga (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 10

   "Engkau merantaulah dan cari di mana saja. Kalau Thian (Tuhan) menghendaki, tentu engkau akan dapat bertemu dengan orang tuamu. Dan jangan lupa, engkau telah mewarisi Pek-Liong-Kiam (Pedang Naga Putih) dari mendiang Kwee-Ciangkun (Panglima Kwee). Karena'itu, pergilah engkau ke Kotaraja dan teruskan perjuangan Kwee-Ciangkun, yaitu melindungi Kaisar dan menentang kekuasaan Thaikam Liu Cin yang murtad dan sewenang-wenang. Selain itu, engkau pun harus bersikap dan bertindak seperti seorang pendekar sejati agar tidak percuma selama belasan tahun aku mendidikmu."

   "Teecu mengerti dan akan mengingat semua petuah yang telah teecu terima dari Suhu."

   Demikianlah, walaupun hatinya merasa kasihan kepada Suhunya yang sudah tua, dengan hati terharu Sin Cu meninggalkan Bu Beng Siauwjin untuk melakukan perjalanan merantau.

   Gurunya yang amat mencintainya seperti kepada anak kandung sendiri telah menyerahkan simpanannya, yaitu sekantung berisi emas dan perak untuk bekal dalam perjalanan. Dengan menggendong buntalan pakaian dari kain berwarna kuning dimana di dalamnya tersimpan pula Pek-Liong-Kiam dan kantung uang, dia berjalan dengan cepat meninggalkan pantai laut timur menuju ke barat. Wong Sin Cu kini telah berusia sekitar dua puluh tahun. Tubuhnya sedang saja dan sama sekali tidak membayangkan bahwa tubuh itu mengandung kekuatan dan tenaga yang dahsyat. Wajahnya berbentuk bulat telur, rambutnya hitam gemuk, digelung dan diikat ke atas dengan tali Sutera putih. Alisnya hitam tebal berbentuk golok dan sepasang matanya mencorong tajam namun sinar mata itu lembut.

   Hidungnya mancung dan mulutnya kecil selalu terhias senyum penuh kesabaran dan keramahan. Kulitnya putih dan wajahnya mengandung warna kemerahan menandakan bahwa kesehatannya memang baik sekali. Ketika dia sudah jauh meninggalkan pantai laut dan memasuki daerah yang berhutan dan berbukit, Sin Cu mulai mempergunakan ilmu berlari cepat dan tubuhnya melesat dengan amat cepatnya seperti terbang. Begitu meninggalkan pantai laut timur, Sin Cu sudah mengambil keputusan untuk melakukan perjalanan menuju ke Kotaraja karena dia tidak tahu tempat lain mana yang harus dikunjunginya untuk mencari Ayah Ibunya. Dia tidak tahu dari mana Ayah Ibunya berasal. Dia akan pergi ke Kotaraja untuk langsung menghambakan diri kepada Kaisar dan menentang kekuasaan Thaikam Liu Cin yang lalim.

   Dan dalam perjalanan menuju Kotaraja itu, di sepanjang perjalanan dia akan bertanya-tanya mencari keterangan tentang seorang bernama Wong Cin. Di setiap dusun dan kota yang dilaluihya, Sin Cu tentu berhenti dan bermalam satu dua hari. Kesempatan itu dia pergunakan untuk mencari keterangan tentang Ayahnya yang bernama Wong Cin. Akan tetapi agaknya tidak ada yang mengenal orang bernama Wong Cin. Pada suatu hari dia tiba di sebuah dusun bernama Tong-Sin-Bun. Seperti biasa, dia memasuki dusun itu dan tinggal mondok dalam rumah seorang petani tua yang hanya tinggal berdua dengan isterinya. Mereka adalah keluarga miskin dan mereka girang dapat menerima Sin Cu sebagai tamunya karena Sin Cu sanggup membayar sewa kamarnya untuk semalam. Dan di tempat ini Sin Cu akhirnya mendapat keterangan tentang Ayahnya!

   

Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Pedang Pusaka Thian Hong Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini