Ceritasilat Novel Online

Sepasang Rajah Naga 12


Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 12



"Apakah tuan hendak mencucikan pakaian kotor? Kami menerima juga cucian dengan bayaran murah."

   Sin Cu menjadi girang. Sudah dua stel pakaiannya yang kotor dan perlu dicuci, maka dia menyerahkan cucian itu kepada si pelayan. Pelayan itu ternyata ramah sekali.

   "Besok siang cucian ini sudah akan bersih dan kering, tuan. Agaknya tuan bukan penduduk Nam-Po.?"

   "Memang bukan, aku seorang pendatang..."

   Jawab Sin Cu.

   "Tuan belum pernah berkunjung ke sini?"

   "Belum, baru sekali ini."

   "Ah, kalau begitu tuan tentu belum mendengar akan berita yang menggemparkan dari kota Nam-Po ini, bahkan mungkin tuan belum pernah mendengar akan nama Siang Bi Hwa (Bunga Cantik Harum)!"

   "Siapa itu Siang Bi Hwa? Aku belum pernah mendengar nama itu,"

   Kata Sin Cu, sambil lalu karena dia tidak begitu tertarik untuk membicarakan orang lain, apa lagi yang dibicarakan itu agaknya seorang wanita, melihat namanya itu.

   "Aduh, kalau begitu tuan rugi besar! Datang ke Nam-Po belum melihat Siang Bi Hwa, sama saja dengan belum berkunjung ke Nam-Po! Bahkan para pemuda bangsawan dari Kotaraja saja berebut untuk melihat Siang Bi Hwa, dan untuk sekadar melihatnya dan mendengarkan ia bernyanyi saja, para pemuda dari Kotaraja itu berani membayar mahal sekali!"

   (Lanjut ke Jilid 11)

   Sepasang Rajah Naga (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 11

   Tertarik juga hati Sin Cu mendengar bahwa para pemuda bangsawan Kotaraja berebut untuk melihat Siang Bi Hwa, membuat dia ingin tahu siapa sebetulnya Siang Bi Hwa dan orang macam apa.

   "Hemm, apakah Siang Bi Hwa itu orang aneh? Orang macam apakah ia itu?"

   "Wah, tuan! Kalau ada orang lain mendengar pertanyaan ini, tentu tuan akan ditertawakan. Siang Bi Hwa itu lebih terkenal dari pada puteri Istana yang manapun! Kecantikannya tiada bandingnya! Seperti Kwan Im Pauwsat turun menjelma menjadi seorang gadis yang cantik jelita!"

   Sin Cu tertawa.

   "Ah, kukira orang macam apa! Tidak tahunya hanya seorang gadis cantik! Apa anehnya itu? Engkau berlebihan, Twako!"

   "Ehh? Berlebihan? Tuan, saya belum menceritakan seluruhnya! Siang Bi Hwa itu bagaikan bidadari, bukan hanya kecantikannya, akan tetapi juga kepandaiannya. Dengar tuan, ia ahli membuat sajak, ia pandai meniup suling, pandai memainkan Yang-kim, mengarang lagu sendiri, dan suaranya! Seperti nyanyian dewi! Dan tuan tahu, apa yang baru-baru ini dibicarakan orang? Di samping semua kepandaian itu, Siang Bi Hwa juga pandai sekali dalam ilmu silat. Ah, dara itu tentu penjelmaan Kwan Im Pauwsat sendiri. Ilmu silatnya tinggi, bahkan kabarnya ia pandai terbang! Dan siapa yang tidak hafal akan pantun ini?"

   Pelayan itu lalu berpantun.

   "Bunga Cantik Harum, di Nam-Po kota,

   amatlah berharga tiada terkira,

   selaksa tail perakpun ditolaknya,

   Kongcu manakah yang mampu mempersuntingnya?"

   Mendengar ini, Sin Cu mengerutkan alisnya yang hitam tebal.

   "Hemm, ternyata ia hanya seorang pelacur?"

   "Aih, tuan! Jangan berkata sembarangan. Orang-orang akan marah kalau mendengar ucapanmu itu. Siang Bi Hwa memang anak perempuar? Cia-Ma, seorang mucikari yang mempunyai rumah pelesir terbesar di kota Nam-Po ini, akan tetapi anak perempuannya itu, Siang Bi Hwa seorang gadis yang mulai mekar dewasa, sama sekali bukan pelacur! Bahkan menemui seorang priapun ia tidak sudi. Mereka hanya diperbolehkan melihatnya dari jarak jauh. Bahkan dibayar selaksa tail perakpun untuk melayani pria, ia tidak sudi!"

   Sin Cu merasa heran juga mendengar keterangan ini. Benar-benar luar biasa kalau seorang gadis, anak seorang mucikari, menolak uang selaksa tail perak untuk melayani seorang pria! Wanita macam apakah itu? Agaknya berdarah seniwati, akan tetapi juga pandai silat, bahkan dikabarkan pandai terbang! Tentu saja ia merasa tertarik, bukan tertarik oleh kecantikan gadis itu, melainkan tertarik oleh keadaannya yang aneh. Benarkah ia pandai silat dan pandai terbang? Inilah yang paling menarik hatinya dan menimbulkan keinginan hatinya untuk tahu dan melihat keadaan gadis itu, membuktikan sendiri kebenaran cerita yang dianggapnya terlalu muluk dan berlebihan itu.

   "Hemm, agaknya aneh juga nona itu"

   "Ha, tuan juga tertarik, bukan? Semua orang, terutama Kau m mudanya, akan rugi kalau berkunjung ke Nam-Po tidak menyaksikannya."

   "Di mana tempat tinggalnya, bung?"

   "Rumahnya paling mudah ditemukan. Dari jalan raya di depan rumah makan kami ini, tuan berjalan ke arah timur. Paling jauh hanya satu li (mil) dari sini. Rumahnya besar bercat merah dan di depan rumah itu penuh dengan tanaman bunga yang terawat baik. Juga di depan pintu pekarangan tergantung sebuah lampu berwarna merah. Apakah tuan hendak pergi kesana?"

   "Ah, aku hanya bertanya saja, belum tentu aku hendak melihatnya. Aku hanya ingin berjalan-jalan."

   "Apakah tuan tidak ingin makan malam?"

   "Sekarang masih sore, nanti saja sepulangku berjalan-jalan, aku makan malam."

   "Baiklah, tuan. Selamat menikmat dulu? kota Nam-Po kami."

   Pelayan yang suka bicara itu lalu meninggalkan Sin Cu.

   Pemuda itu mengambil pedangnya, digantungkan di pinggang, akan tetapi tertutup oleh baja luarnya yang panjang sehingga tidak tampak dari luar. Diapun membawa kantung uangnya. Yang ditinggalkan di atas meja dalam kamarnya hanya pakaian. Tentu tidak akan ada orang mau mencuri pakaian bekas. Setelah itu dia menutupkan daun jendela, mengunci daun pintu dan pergi meninggalkan rumah penginapan merangkap rumah makan itu. Ketika dia berjalan melewati rumah pelesir yang bercat merah, dia melihat beberapa orang pemuda berpakajan mewah seperti pemuda bangsawan atau hartawan memasuki rumah itu. Dia tidak ingin masuk karena dengan pakaian yang sederhana, orang tentu akan memandang rendah kepadanya. Apa lagi, diapun merasa segan memasuki sebuah rumah pelesir. Selama hidupnya belum pernah dia memasuki rumah seperti itu.

   Akan tetapi lapat-lapat pendengarannya dapat menangkap suara suling yang mengalun merdu, yang datangnya dari dalam atau belakang bangunan besar itu. Hari masih sore dan udara masih terang. Sin Cu lalu berjalan terus. Setibanya di ujung pekarangan rumah itu, dia melihat sebuah taman yang dikelilingi pagar yang cukup tinggi. Agaknya taman itu menembus ke belakang rumah. Dia melihat ke sekelilingnya. Setelah yakin bahwa pada saat itu tidak ada orang melihatnya, dia lalu mempergunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh), mengenjot kakinya dan tubuhnya melayang naik melewati pagar bambu yang mengelilingi taman itu.Dia tiba di sebuah taman yang indah dan tepat seperti dugaannya, taman itu menembus ke belakang. Di belakang bangunan itu terdapat sebuah taman yang tidak berapa besar, namun terawat rapi dan indah dan dari taman di belakang rumah itulah suara suling tadi terdengar.

   Kini masih terdengar suara suling itu. Karena cuaca masih terang di sore hari itu dan dia tidak ingin terlihat orang dan dianggap sebagai seorang pencuri yang memasuki taman orang, Sin Cu lalu menyelinap di balik rumpun bunga. Kemudian berindap-indap dia menuju ke taman belakang, menyusup dari balik rumpun ke balik batang pohon dan tumbuh-tumbuhan yang memenuhi taman. Akhirnya tibalah dia di taman belakang dan dari balik serumpun bambu kuning yang indah dia mengintai. Suara suling terhenti dan dia melihat seorang gadis yang luar biasa cantiknya duduk di atas bangku tepi sebuah kolam ikan. Gadis itu baru saja menghentikan tiupan sulingnya, meletakkan suling itu di atas bangku lalu mengambil sebuah Yang-kim kecil dari atas bangku itu. Dipangkunya Yang-kim itu lalu jari-jari tangannya yang kecil mungil meruncing itu mulai memainkan. dawai-dawai Yang-kim.

   Terdengar suara Yang-kim berkencrang-kencring merdu sekali. Kemudian, Sin Cu sendiri sampai terbengong terpesona ketika dara jelita itu mulai bernyanyi diringi suara petikan Yang-kim. Suaranya lembut dan merdu sekali. Sin Cu mendengar suara orang-orang di sebelah kiri dan ketika dia menoleh, dia melihat bahwa di sebelah kiri itu terdapat sebuah pintu yang menembus ke bagian belakang bangunan. Di situ berkumpul tujuh orang muda berpakaian mewah seperti pemuda bangsawan. Mereka duduk di atas bangku-bangku dan dalam jarak kurang lebih dua puluh lima meter mereka menonton dan mendengarkan gadis itu bermain Yang-kim dan bernyanyi. Sin Cu yang sudah mendengar cerita tentang Siang Bi Hwa dari pelayan rumah penginapan, dengan mudah dapat menduga bahwa gadis itulah tentu yang dimaksudkan.

   Dara yang menolak pemberian uang selaksa tail perak! Dara yang selain cantik jelita dan pandai bernyanyi dan bermain musik, juga kabarnya pandai sekali ilmu silat, bahkan pandai terbang! Kalau benar gadis itu sedemikian saktinya, ada kemungkinan kehadirannya akan diketahui olehnya! Teringat akan hal ini Sin Cu berhati-hati sekali, tidak membuat gerakan yang dapat membuat kehadirannya ketahuan karena kalau hal itu terjadi, dia tentu akan merasa malu sekali dan disangka pencuri! Akan tetapi perhatiannya segera terikat oleh pemandangan dan pendengaran yang amat mempesona itu. Gerakan jari-jari lentik di atas Yang-kim itu begitu manis dan serasi dengan gerakan mulut yang bernyanyi. Bibir merah basah yang bergerak, terbuka dan tertutup itu sedemikian manisnya. Selama hidupnya belum pernah Sin Cu memperhatikan wajah seorang wanita dan sekali ini dia terpesona.

   "Matahari senja,

   engkau begitu indah mempesona,

   nun di ufuk barat engkau bertahta,

   mEncipta Istana awan beraneka warna,

   tampak begitu dekat dan mudah tercapai,

   betapa hati ini ingin menggapai,

   apa daya tangan tak dapat menjangKau,

   engkau adalah kebahagiaan,

   yang hanya tampak membayang,

   kemudian tanpa bekas engkau menghilang,

   tinggalkan aku melamun terkenang"

   Begitu dara itu berhenti bernyanyi, para pemuda yang bergerombol di luar pintu tembusan itu bertepuk tangan memuji.

   Akan tetapi pada saat itu tiba-tiba muncul seorang pemuda bertubuh kurus, bermulut,lebar dan bermata juling berusia dua puluh tiga tahun. Dia diikuti oleh dua orang laki-laki berusia empat puluh tahunan yang bertubuh tinggi besar dan tampak bengis menyeramkan. Pemuda itu bukan lain adalah Su Kan Lok, putera Jaksa Su dari Kotaraja yang tempo hari pernah tercebur ke dalam kolam ikan ketika dia dalam keadaan mabok hendak mengganggu Siang Bi Hwa. Kini pemuda itu datang bersama dua orang jagoannya dan dengan langkah lebar dia memasuki taman, diikuti dua orang tukang pukulnya. Para pemuda yang melihat ini menjadi khawatir sekali akan keselamatan Siang Bi Hwa. Pada saat itu, tampak seorang wanita berusia lima puluh tahun lebih, bertubuh gemuk dan berpakaian mewah, muncul berlari larian dari pintu tembusan, diikuti oleh lima orang laki-laki.

   la adalah Cia-Ma yang mendengar bahwa putera Jaksa Su datang membawa tukang pukul dan langsung memasuki taman. Dengan hati penuh kekhawatiran Cia-Ma lalu memanggil lima orang tukang pukulnya dan cepat melakukan pengejaran ke dalam taman. Para pemuda bangsawa yang berada di situ menonton dengan hati tegang Cia-Ma berteriak ketika ia melihat pemuda kurus bermulut lebar bermata juling itu telah berada dalam taman bersama dua orang tukang pukulnya yang menyeramkan. Mendengar teriakan itu, Su Kan Lok berhenti melangkah dan dua orang jagoannya juga berhenti dan mereka memutar tubuh menghadapi Cia-Ma yang berlarian datang bersama lima orang jagoannya. Sementara itu, Siang Bi Hwa juga sudah mendengar kerIbutan itu dan ia sudah bangkit berdiri, memandang dengan alis berkerut ketika mengenal pemuda kurus yang pernah mengganggunya dahulu.

   "Su-Kongcu, tidak ada orang yang boleh memasuki taman ini dan mendekati Siang Bi Hwa. Kenapa Kongcu masuk ke sini dan membawa dua orang ini? Harap Kongcu suka keluar dan menonton saja dari pintu seperti para Kongcu yang lain!"

   Kata Cia-Ma. Su Kan Lok memandang kepada Cia-Ma dengan matanya yang juling dan mulutnya yang lebar tersenyum mengejek.

   "Cia-Ma, aku minta dengan baik-baik agar Siang Bi Hwa dapat diberikan kepadaku untuk menjadi isteriku, engkau menolaknya. Bahkan Bi Hwa berani menghina aku sehingga aku terjatuh ke dalam kolam. Sekarang aku datang untuk mengambil Siang Bi Hwa, mau atau tidak mau, boleh atau tidak boleh, hari ini ia harus ikut denganku dan menjadi isteriku. Engkau mau apa?"

   Dia memandang dengan sikap menantang.

   "Kalau engkau butuh uang, datang saja ke gedung kami di Kotaraja, berapapun engkau minta untuk uang tebusan Siang Bi Hwa tentu akan diberi oleh Ayahku."

   "Tidak, Su-Kongcu! Anakku tidak akan kuserahkan secara begini! la harus mendapat pinangan secara terhormat dan berwenang memilih calon jodohnya. Kongcu tidak boleh memaksa!"

   Bantah Cia-Ma dengan berani. Wanita ini menjadi berani karena ia merasa bahwa ia mempunyai banyak kenalan orang-orang berkedudukan tinggi di Kotaraja.

   "Cia-Ma, kalau aku menggunakan paksaan, Kau mau apa? Kalau Siang Bi Hwa mau ikut denganku secara sukarela, sukurlah. Akan tetapi kalau ia tetap menolak, terpaksa aku akan memaksanya ikut denganku dan tak seorangpun boleh mencegahku!"

   "Kalau Su-Kongcu memaksa, saya akan menghalangi! Orang-orangku akan mencegah Kongcu melakukan paksaan!"

   Kata Cia-Ma sambil memberi isyarat kepada lima orang tukang pukulnya. la lalu mundur dan lima orang jagoannya melangkah maju menghadapi Su Kan Lok dengan sikap menantang. Melihat ini, Su Kan Lok lalu berkata kepada dua orang jagoan yang sengaja dibawanya dari Kotaraja.

   "Hajar mereka!"

   Katanya sambil melangkah mundur. Dua orang jagoannya, dua orang yang bertubuh tinggi besar dan berwajah dingin, kaku dan bengis, melangkah maju menghadapi lima orang tukang pukul anak buah Cia-Ma.

   "Kalian berlima mau apa?"

   Bentak seorang di antara dua orang tinggi besar itu.

   "Pergilah kalian dari sini dan jangan membuat kerIbutan!"

   Kata kepala jagoan rumah pelesir itu, dengan suara membujuk karena mereka berlima sebagai jagoan-jagoan kota Nam-Po masih merasa segan juga terhadap jagoan yang datangnya dari Kotaraja!

   "Kalian berlima yang cepat pergi, dan jangan mencampuri urusan Su-Kongcu, atau kalian terpaksa akan kami hajar!"

   Jawab seorang di antara dua jagoan Kotaraja yang pipinya codet bekas luka bacokan, sambil melangkah maju. Tantangan itu membuat lima orang jagoan menjadi marah. Pemimpin mereka memberi aba-aba dan lima orang itu bergerak secara serentak maju menerjang ke arah dua orang tukang pukul dari Kotaraja itu, Akan tetapi, dua orang jagoan bawaan Su Kan Lok itu sama sekali tidak mundur. Mereka menggerakkan kedua tangan, menangkis dan membalas, Gerakan mereka selain cepat dan tangkas, juga mengandung tenaga besar.

   Tangkisan kedua orang itu membuat para penyerang menjadi terhuyung dan dua orang itu segera menyusulkan tampararn dan tendangan. Lima orang tukang pukul anak buah Cia-Ma berteriak mengaduh dan mereka berpelantingan. Dalam segebrakan saja lima orang itu telah dirobohkan oleh dua orang jagoan dari Kotaraja. Hal ini menunjukkan betapa lihai dan kuatnya dua orang jagoan yang dibawa Su Kan Lok! Lima orang itu adalah tukang-tukang pukul bayaran yang biasa memaksakan kehendak mengandalkan tenaga dan kekerasan. Maka, ketika mereka dirobohkan, mereka menjadi marah sekali dan mereka telah berlompatan bangun sambil mencabut golok dari punggung mereka! Dengan sikap beringas dan mengancam,mereka melangkah maju menghampiri dua orang jagoan Kotaraja itu. Dua orang ini berdiri tenang dan tersenyum mengejek.

   "Hemm, masih berani berlagak? Majulah kalian!"

   Kata si pipi codet. Lima orang, jagoan Cia-Ma itu menjadi semakin marah.

   Dan mereka lalu menerjang sambil berteriak, membacokkan golok mereka kepada dua orang tinggi besar yang masih tenang dan sama sekali tidak menyentuh pedang yang tergantung di punggung mereka. Dengan tangan kosong saja dua orang itu menghadapi penyerangan lima orang lawannya. Akan tetapi mereka berdua memiliki gerakan yang amat cekatan. Semua bacokan golok itu dapat mereka hindarkan dengan mudah. Mereka mengelak dan berloncatan ke kanan-kiri. Semua sambaran golok itu mengenai tempat kosong dan ketika dua orang itu membalas dan menyerang ke depan, berturut-turut lima orang itu terjungkal keras dan berteriak kesakitan. Kini mereka roboh dan tidak dapat segera bangkit kembali karena tamparan dan tendangan yang mereka terima dari dua orang itu sekali ini sungguh kuat sekali sehingga mereka menderita patah tulang dan isi perut terguncang!

   "Dan engkau, Cia-Ma, aku sendiri yang akan menghajarmu!"

   Bentak Su Kan Lok sambil menghampiri Cia-Ma. Melihat ancaman pemuda ini, Cia-Ma lalu melarikan diri masuk ke dalam rumah. Para Kongcu hanya menonton dengan hati tegang, hendak melihat apa yang akan dilakukan Su Kan Lok terhadap Siang Bi Hwa yang masih berdiri di tepi kolam. Dara ini berd?ri tegak dan sama sekali tidak tampak ketakutan ketika Su Kan Lok menghampirinya bersama dua orang jagoannya yang tangguh.

   "Su-Kongcu,"

   Kata Siang Bi Hwa dengan suara lembut namun tegas.

   "Aku mendengar bahwa engkau adalah putera seorang jaksa di Kotaraja, tentu engkau mengerti tentang hukum dan peraturan! Akan tetapi mengapa engkau sekarang melakukan kesewenang-wenangan yang melanggar hukum, memasuki tempat tinggal orang dan menyuruh orang orangmu memukul orang lain?"

   Su Kan Lok tersenyum dan mulutnya tampak semakin lebar, sepasang matanya yang memandang kepada Siang Bi Hwa itu seolah sedang memandang ke arah lain sehingga tampak lucu menggelikan.

   "Siang Bi Hwa, hukum berada di tanganku. Sekarang engkau tinggal pilih. Engkau ikut bersamaku dengan suka rela dan hidup mulia di sampingku atau aku akan menyeret dan memaksamu untuk ikut denganku!"

   "Aku tidak sudi ikut bersamamu!"

   Jawab Siang Bi Hwa dengan nekat dan tegas walaupun ia sendiri bingung apa yang harus ia lakukan menghadapi pemuda yang tersesat dan yang ia tahu pasti tidak akan ragu menggunakan kekerasan terhadap dirinya.

   "Hemm, kalau begitu terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!"

   Setelah berkata demikian, Su Kan Lok yang kini menjadi besar hati karena didampingi dua orang jagoannya, melangkah maju dengan kedua lengan dikembangkan seolah hendak memeluk dara yang membuatnya tergila-gila itu. Karena pernah mendengar bahwa dara cantik jelita itu pandai ilmu silat, dua orang jagoan menjaga di belakang Su Kan Lok untuk melindunginya kalau-kalau Siang Bi Hwa akan menyerangnya. Siang Bi Hwa sudah bersiap-siap untuk mengelak apa bila dirinya disergap, akan tetapi tiba-tiba saja pada saat itu, Su Kan Lok yang sudah bergerak ke depan untuk menubruk, berteriak kaget dan tubuhnya terpelanting ke kiri dan tanpa dapat dihindarkan lagi tubuhnya tercebur ke dalam kolam ikan!

   "Byuurrr...!"

   Air muncrat tinggi dan ikan-ikan berenang menjauh ketakutan. Dua orang tukang pukul itu terkejut bukan main. Mereka tadi sama sekali tidak menyangka bahwa majikan muda mereka akan terpelanting dan jatuh ke dalam kolam, maka mereka tidak sempat mencegah. Setelah pemuda itu tercebur dan berteriak minta tolong, barulah mereka berdua cepat menolong dan menariknya keluar dari kolam. Su Kan Lok berdiri di tepi kolam dengan tubuh dan pakaian basah kuyup. Dia marah sekali walau tidak tahu mengapa tiba-tiba dia terpelanting ke dalam kolam. Dia hanya merasakan betapa tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas dan tidak mampu berdiri lagi sehingga terkulai dan terjatuh. Dia mendengar suara tawa di belakangkangnya, suara tawa para pemuda bangsawan yang menonton semua itu dengan merasa geli.

   "Tangkap Dia,"

   Bentaknya sambil menudingkan telunjuknya ke arah Siang Bi Hwa yang sudah mundur beberapa langkah. Gadis inipun merasa heran mengapa Su Kan Lok tiba-tiba terpelanting jatuh ke dalam kolam. Padahal ia sama sekali tidak berbuat sesuatu, kecuali melangkah mundur empat tindak. Kini dua orang jagoan itu melangkah maju menghampiri Siang Bi Hwa. Mereka bersikap hati-hati karena biarpun mereka tidak melihat gadis itu melakukan sesuatu, akan tetapi jatuhnya Su-Kongcu membuat mereka curiga dan mengira bahwa tentu gadis itu yang membuat pemuda itu roboh. Kini mereka melangkah maju perlahan-lahan dan membuat langkah menghampiri gadis itu dari arah kanan dan kiri. Mereka, tanpa bicara, sudah mengatur siasat untuk menyergap gadis itu dari kanan-kiri, tidak memberi tempat untuk menghindarkan diri.

   Kedua lengan mereka tergantung di kanan-kiri tubuh, akan tetapi semua urat syaraf mereka menegang dan siap untuk menubruk dengan gerakan mendadak dan meringkus gadis jelita itu dari kanan-kiri. Melihat ancaman ini, Siang Bi Hwa mundur-mundur sampai punggungnya menyentuh rumpun bunga dan ia tidak dapat mundur lagi. Dua orang itu terus melangkah maju sampai mereka tiba dekat dengan gadis itu, tinggal dua meter lagi jaraknya dan mereka sudah siap untuk menubruknya, seperti dua ekor harimau akan menubruk seekor domba yang tidak berdaya. Pada saat itu, dua orang jagoan sudah mengangkat kedua lengan ke atas dan siap menerkam. Akan tetapi, tiba-tiba mereka berdiri seperti kejang, mulut mereka mengeluarkan seruan kaget dan tiba-tiba saja mereka berdua jatuh bertekuk lutut seperti memberi hormat kepada Siang Bi Hwa!

   Para pemuda bangsawan yang menonton peristiwa itu tentu saja menjadi terkejut dan heran bukan main. Tadipun mereka sudah merasa kagum melihat Su Kan Lok terpelanting lagi ke dalam kolam dan mereka merasa yakin bahwa Siang Bi Hwa memang sakti dan menggunakan kesaktiannya untuk merobohkan pemuda bangsawan yang nekat itu. Akan tetapi kini melihat betapa dua orang jagoan yang tadi memperlihatkan kelihaian mereka ketika mengalahkan lima orang tukang pukul itu secara tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut, hal ini sungguh amat mengejutkan dan mengherankan! Seolah-olah Siang Bi Hwa melakukan sihir saja! Dua orang jagoan itu terkejut setengah mati. Sebagai orang-orang yang ahli dalam ilmu silat mereka tentu saja mengerti apa yang menyebabkan mereka kejang kemudian jatuh berlutut itu.

   Ada sesuatu yang menyerang mereka. Entah apa yang menyerang mereka mengenai pundak, membuat tubuh atas mereka seketika menjadi kaku, kemudian ada pula yang menyentuh kedua lutut mereka. Sedemikian kuatnya lutut mereka terpukul sehingga mereka tak dapat menahan diri lagi untuk jatuh berlutut! Entah apa yang menyerang tubuh mereka. Mereka tidak dapat melihatnya, hanya tampak sinar berkelebat dan tahu-tahu mereka telah tertotok. Tentu saja mereka menduga bahwa gadis itu yang menyerang mereka! Sementara itu, melihat dua orang jagoannya tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan Siang Bi Hwa, Su Kan Lok mengerutkan alisnya dan menjadi marah sekali. Dia tidak mengerti mengapa dua orang jagoan yang dia andalkan itu tiba-tiba malah berlutut di depan Siang Bi Hwa.

   "He! Apa yang kalian lakukan itu? Cepat tangkap gadis itu, kalau melawan ancam dengan pedang!"

   Dua orang jagoan yang merasa yakin bahwa gadis itu memang lihai sekali, cepat melompat bangun dan mendengar ucapan majikan muda mereka tadi, mereka berdua sudah mencabut pedang dan menodongkan pedang mereka ke arah Siang Bi Hwa. Tiba-tiba mereka berdua melihat lagi sinar-sinar kecil menyambar. Mereka tidak dapat menghindarkan diri karena sinar itu menyambar bagaikan kilat cepatnya dan tahu-tahu tangan kanan mereka menjadi lumpuh sehingga pedang mereka tak dapat dicegah lagi terlepas dari pegangan mereka dan pada detik berikutnya, kembali kedua kaki mereka tertotok dan nerekapun sekali lagi jatuh berlutut di depan kaki Siang Bi Hwa!

   "Hei! Keparat, kenapa kalian malah berlutut?"

   Su Kan Lok berteriak, akan tetapi tiba-tiba diapun jatuh berlutut, bahkan tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas sehingga dia terkulai dan roboh menelungkup di atas tanah menghadap Siang Bi Hwa. Siang Bi Hwa adalah seorang gadis yang amat cerdik. Biarpun ia bukan seorang ahli silat, namun ia adalah puteri Ouw Yang Lee, seorang datuk persilatan yang berilmu tinggi dan ia tahu bahwa di dunia ini terdapat banyak orang yang berkepandaian tinggi. Tadi ia sempat melihat sinar-sinar menyambar dari arah belakangnya dan akibatnya, dua orang jagoan itu jatuh berlutut secara aneh di depannya. la dapat menduga bahwa tentu ada orang yang telah menolongnya dan yang diam-diam melakukan penyerangan terhadap orang-orang itu sehingga Su Kan Lok dan dua orang jagoannya kini berlutut di depannya.

   "Hemm, kalau kalian menyesali sikap kalian yang kurang ajar, sudahlah pergi cepat dari sini, tidak perlu berlutut minta-minta ampun segala!"

   Katanya. Kini dua orang jagoan itu yakin bahwa gadis jelita itu benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, mungkin juga pandai ilmu sihir seperti yang dikabarkan orang. Mereka tidak berani melawan lagi, lalu bangkit, memungut pedang masing-masing, lalu melangkah terhuyung karena masih terasa lemas kedua kaki mereka, membantu Su Kan Lok untuk bangkit, dan mereka menarik pemuda itu cepat-cepat keluar dari taman. Mereka melewati lima orang tukang pukul Cia-Ma yang sudah berkumpul dan menonton pula di pintu tembusan, dan juga melewati tujuh orang pemuda bangsawan yang tertawa-tawa menyaksikan adegan yang mereka anggap lucu tadi. Setelah tiga orang itu pergi, para Kongcu bangsawan tad? masih tertawa-tawa.

   "Apa yang kalian tertawakan? Hayo semua pergi, jangan ada seorangpun yang tinggal di sini! Pergi!"

   Ucapan Siang Bi Hwa itu merdu akan tetapi lantang dan amat berwibawa. Buktinya para tuan muda bangsawan dan lima orang tukang pukul itu cepat pergi meninggalkan pintu dengan sikap gentar.

   Apa yang baru saja mereka saksikan itu meyakinkan hati mereka bahwa Siang Bi Hwa benar-benar seorang gadis yang memiliki kesaktian dan mungkin benar dugaan sementara orang bahwa ia adalah penjelmaan Dewi Kwan Im Pauwsat yang berbudi mulia dan amat sakti! Setelah semua orang pergi, muncullah Cia-Ma yang datang berlari-lari menghampiri Siang Bi Hwa.

   "Ah, engkau selamat, anakku? Engkau dapat mengusir mereka?"

   Kata wanita gemuk itu sambil merangkul Siang Bi Hwa dan menangis, menangis karena girang dan lega hatinya.

   "Sudahlah, Ibu. Mereka sudah pergi dan tidak ada yang mengganggu lagi sekarang. Aku minta dengan sangat agar Ibu suka meninggalkan aku sendiri di sini. Aku ingin sekali berada seorang diri di sini. Tunggulah aku di ruangan belakang, sebentar lagi aku masuk. Tinggalkan aku, Ibu."

   Dalam suara Siang Bi Hwa terkandung permintaan yang sangat mendesak. Cia-Ma yang tidak merasa heran akan sikap anak angkatnya yang kadang-kadang memang ingin dan suka menyendiri, mengangguk-angguk sambil menghapus air matanya, lalu pergi meninggalkan dara itu dan memasuki pintu belakang yang ia tutup dari dalam agar jangan ada yang mengganggu lagi kepada anaknya yang ia sayang itu. Setelah merasa yakin bahwa ia berada seorang diri, Siang Bi Hwa lalu menghadap ke arah semak-semak rumpun kembang itu dan berkata,

   "Sobat, engkau telah bersikap sebagai seorang sahabat baik dan menolongku. Mengapa tidak muncul sebagai seorang sahabat baik dan berkenalan denganku?"

   Sin Cu yang masih berada di balik semak-semak itu, terkejut bukan main. Gadis itu mengetahui bahwa dia berada di situ dan telah membantunya! Ah, benarkah cerita bahwa gadis itu sesungguhnya memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi? Akan tetapi karena sudah ketahuan, dia tidak dapat bersembunyi lagi dan pula, di situ tidak ada orang lain. Maka diapun segera keluar dari balik semak-semak dan berdiri di depan gadis itu. Mereka berdiri berhadapan dalam jarak lima meter dan keduanya berdiri diam tak bergerak saling memandang seperti terkena pesona! Setelah berdiri berhadapan, barulah Sin Cu dapat melihat dengan jelas sekali dan dia terpesona. Alangkah cantik jelitanya gadis ini, pikirnya.

   "Maafkan aku... aku telah lancang memasuki taman ini tanpa ijin. Aku telah bertindak seperti seorang pencuri, maafkan aku..."

   Akhirnya Sin Cu dapat berkata dengan rikuh dan gagap setelah dia dapat menenteramkan hatinya yang terguncang. ucapan itu seolah menyeret Siang Bi Hwa kembali ke alam sadar. Tadipun ia terpesona. Tak disangkanya bahwa yang menolongnya adalah seorang pemuda yang berpakaian sederhana yang demikian tampan. Banyak sudah ia melihat laki-laki muda yang tampan. Akan tetapi ada sesuatu pada diri pemuda ini yang membuat ia tadi bengong terpesona. Setelah Sin Cu mengeluarkan kata-kata, yang demikian lembut, rendah hati dan sopan, ia menjadi semakin tertarik.

   "Mengapa minta maaf? Aku bahkan amat berterimakasih kepadamu, sobat. Engkau telah menolong dan menyelamatkan aku dari ancaman bahaya besar,"

   Kata Siang Bi Hwa dan ia tersenyum, senyum yang membuat jantung Sin Cu berloncatan dan berjungkir balik! Senyum yang hanya sekali dan pertama kali itu sudah cukup untuk tercetak dan meninggalkan kesan yang takkan dapat terlupakan oleh Sin Cu.

   "Nona terlalu merendah. Tanpa ada bantuan sekalipun orang-orang jahat itu tentu tidak akan mampu mengganggu sehelaipun rambutmu. Nona terlampau lihai untuk dapat diganggu orang-orang macam mereka,"

   Kata Sin Cu yang juga tersenyum maklum, seolah dia sudah yakin akan kemampuan Siang Bi Hwa. Sepasang mata yang indah laksana bintang kembar itu terbelalak dan kembali Sin Cu terpesona dan menelan ludahnya sendiri. Sepasang mata itu demikian indahnya dan sinarnya sedemikian tajam dan terangnya sehingga dia merasa seolah gadis itu dapat menjenguk dan melihat isi hatinya.

   "Sobat, apakah artinya ucapanmu itu. Aku sama sekali tidak lihai. Apa engkau juga percaya akan berita desas-desus yang mengatakan bahwa aku pandai terbang dan segala macam kesaktian? Ah, itu hanyalah gunjingan orang-orang bodoh. Aku adalah seorang yang lemah dan tidak pandai ilmu silat, hanya pernah mengenal dasar-dasarnya saja."

   "Akan tetapi bagaimana nona dapat mengetahui bahwa aku telah membantumu padahal nona tidak melihatku? Tentu nona memiliki pendengaran yang amat tajam, pendengaran seorang pendekar yang lihai,"

   Bantah Sin Cu. Kembali Siang Bi Hwa tersenyum lebar dan terpaksa Sin Cu harus menekan batinnya kuat-kuat karena daya tarik senyuman itu terlampau kuat.

   "Ah, hal itu mudah, sobat! Aku melihat sinar-sinar kecil berkelebat yang akibatnya membuat orang-orang itu jatuh berlutut, padahal aku tidak berbuat apa-apa. Dengan mudah aku dapat menduga bahwa tentu ada orang berilmu yang telah membantuku, entah dengan cara bagaimana dan karena datangnya sinar-sinar itu dari arah belakangku sedangkan di belakangku terdapat semak semak itu, maka mudah sekali bagiku menduga bahwa penolongku tentu bersembunyi di belakang semak-semak itu. Nah, mudah sekali, bukan? Sekali lagi aku tegaskan bahwa aku sama sekali tidak pandai ilmu silat, walaupun dahulu ketika aku masih kecil aku pernah mempelajari pasangan kuda-kuda dan langkah-langkah dasarnya."

   Sin Cu menjadi kagum bukan main. Kalau gadis ini pandai ilmu silat seperti yang disangkanya tadi, maka ketenangannya menghadapi para penjahat itu tidaklah mengherankan.

   "Akan tetapi, kalau nona memang seorang gadis lemah yang tidak pandai ilmu bela diri yang tangguh, bagaimana nona dapat bersikap demikian tenang menghadapi orang-orang kasar dan jahat tadi?"

   "Aku pernah membaca dalam kitab agama bahwa orang yang tidak melakukan kesalahan apapun tidak perlu takut menghadapi bahaya apapun juga karena tidak ada yang lebih kuat dari pada kebenaran. Buktinya secara tidak terduga-duga, dalam ancaman bahaya dari orang-orang jahat itu tiba-tiba muncul engkau yang telah menyelamatkan aku."

   
Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sin Cu menjadi semakin kagum. Gadis ini bukan hanya memiliki kecantikan luar biasa dan juga merupakan seniwati yang pandai, akan tetapi juga agaknya seorang gadis terpelajar yang suka membaca kitab-kitab agama dan mengerti akan filsafat hidup dan pendidikan moral!

   "Sungguh aneh sekali"

   Tiba-tiba Sin Cu berkata di luar kesadarannya karena kata-kata itu merupakan suara hatinya yang begitu saja mencuat keluar melalui mulutnya.

   "Apanya yang aneh, sobat?"

   Ditanya begitu, baru Sin Cu menyadari bahwa dia tadi bicara tanpa disengaja. Karena ucapan itu sudah terlanjur keluar, maka diapun harus menCaku apa yang berkecamuk dalam benaknya.

   "Sungguh aneh dan mengherankan sekali melihat seorang bijaksana seperti nona dapat berada di tempat seperti ini!"

   Mendengar ucapan itu, Siang Bi Hwa mengerutkan alisnya yang hitam melengkung dan sepasang matanya menatap wajah Sin Cu dengan sinar mata tajarn penuh selidik.

   "Apa anehnya? Aku adalah puteri pemlik rumah ini, tentu saja aku berada di rumah ini! Hemm, agaknya engkau termasuk di antara orang-orang munafik yang memandang rumah ini dan Enci-Enci yang bekerja di sini dengan hati jijik dan bEnci?"

   Wajah Sin Cu menjadi kemerahan dan dia menundukkan pandang matanya, tidak kuat menentang pandang mata yang demikian lembut namun sinarnya demikian terang dan tajam seperti mengandung sinar berapi.

   "Nona, bukankah sudah menjadi sikap umum untuk memandang rumah pelesir dan para pekerjanya dengan pandangan jijik dan bEnci?"

   "Pandangan umum yang munafik dan sesat! Sepantasnya pandangan itu penuh rasa iba, bukan penuh rasa bEnci! Para wanita itu menjadi korban keadaan, bahkan sebagian besar menjadi korban kekejaman Kau m pria yang menjerumuskan mereka kepada pekerjaan seperti itu. Coba lihat saja aku! Aku tidak sudi melayani mereka, akan tetapi apa yang dilakukan para pria? Mereka membujukku dengan rayuan, dengan uang, dengan kedudukan dan kuasa, bahkan dengan kekerasan! Kalau aku lemah dan terseret oleh mereka, apakah kesalahannya hanya di jatuhkan kepadaku seorang? Dipandang hina? Sedangkan para pria yang berdatangan ke tempat ini, yang menghamburkan uang, mengkhianati isteri dan tunangannya, hanya untuk mengejar kesenangan, sama sekali tidak pernah dipersalahkan! Apakah engkau pernah merasa jijik dan bEnci kepada para pemuda bangsawan dan hartawan yang berdatangan ke rumah-rumah pelesir seperti ini? Pernahkah? Kalau tidak pernah, maka kebEncianmu terhadap para pelacur itu membuatmu menjadi munafik besar yang sama sekali tidak adil."

   Wajah yang putih kemerahan itu kini menjadi semakin merah, sepasang matanya bersinar-sinar dan dalam kemarahannya, gadis itu tampak anggun dan agung dalam pandangan Sin Cu. Ucapan yang mengandung pembelaan terhadap para pelacur itu seolah menikam hati Sin Cu dan membuka hatinya. Dia dapat menyelami ucapan itu dan dapat melihat kenyataan yang terkandung di dalamnya. Sin Cu memberi hormat dan mengangkat kedua tangan depan dada.

   "Nona, maafkanlah aku. Ucapanmu itu benar-benar menyadarkan dan membuka mataku. Mulai saat ini aku berjanji tidak akan lagi memandang rendah dan jijik, apa lagi bEnci terhadap para wanita yang sengsara itu. Maafkan aku dan aku mohon diri"

   Sin Cu memutar tubuhnya dan hendak meninggalkan taman yang mulai diliputi kegelapan senja itu.

   "Sobat, tunggu dulu!"

   Suara merdu itu menahannya dan Sin Cu menahan langkahnya lalu membalikkan tubuhnya menghadapi gadis itu.

   "Ada apakah, nona?"

   Siang Bi Hwa tersenyum, manis sekali.

   "Ah, aku yang minta maaf kepadamu, sobat, Engkau telah menyelamatkan aku dari malapetaka dan apa yang Kau dapat dariku sebagai balasan? Ucapan yang keras dan kasar! Maafkan aku dengan ucapanku tadi."

   "Tidak ada yang perlu dimaafkan, nona. Ucapanmu tadi memang benar sekali, bahkan aku berterimakasih karena kata-katamu itu menyadarkan aku bahwa selama ini aku bersikap dan berpemandangan tidak adil."

   "Nanti dulu sebentar! Agaknya tidak pantaslah kalau engkau yang sudah menyelamatkan aku, kemudian kita sudah begini panjang lebar bercakap-cakap, tidak saling berkenalan. Bolehkah aku mengetahui namamu, in-kong (tuan penolong)?"

   "Ah, harap jangan sebut aku in-kong, nona. Aku hanyalah seorang perantau biasa yang miskin dan bodoh. Sudah tentu engkau boleh mengetahui namaku, nona. Aku bernama Wong Sin Cu, seorang perantau yang hidup sebatangkara dan tidak memiliki tempat tinggal tertentu."

   "Ah, Wong-Twako (Kakak Wong), apakah... apakah engkau sudah tidak mempunyai orang tua lagi?"

   Tanya Siang Bi Hwa dengan suara mengandung iba dan haru. Sin Cu menggeleng kepalanya.

   "Aku tidak tahu, nona. Sejak berusia tiga tahun aku telah berpisah dari Ayah Ibuku dan sejak kecil aku sudah ikut dengan Guruku. Aku sekarang sedang dalam perjalanan untuk menyelidiki dan mencari orang tuaku."

   "Aih, mudah-mudahan saja engkau akan dapat bertemu dengan mereka, Wong Twako. Engkau sudah memperkenalkan diri Twako, sekarang aku akan memperkenalkan namaku."

   "Namamu sudah amat terkenal di kota ini, nona. Aku sudah mendengar bahwa namamu adalah Siang Bi Hwa, dikenal oleh semua orang tua muda pria wanita. Namamu terkenal sekali"

   "Engkau keliru, Twako, Siang Bi Hwa itu hanya nama julukanku saja. Nama aseliku memang tidak banyak orang yang tahu, akan tetapi engkau boleh mengetahuinya. Nama aseliku adalah Ouw Yang Hui dan aku hanyalah anak angkat seorang mucikari yang Kau pandang rendah dan hina pekerjaannya.

   "Hanya anak angkat? Lalu, siapa dan ke mana orang tuamu, nona?"

   "Harap jangan panggil nona kepadaku, Twako. Aku sudah memanggilmu Kakak, apakah engkau tidak mau memanggil adik?"

   "Baiklah, Hui-moi (adik Hui), namamu indah sekali. Lalu ke mana orang tua kandungmu?"

   Siang Bi Hwa atau Ouw Yang Hui tidak ingin memperkenalkan Ayahnya yang menjadi datuk dan majikan Pulau Naga. lapun malu untuk bertemu Ayah dan Ibu kandungnya, merasa malu karena sekarang ia menjadi anak seorang mucikari yang hina! Alisnya berkerut ketika ia ditanya tentang Ayah Ibunya dan menjawab lirih.

   "Nasib kita sama, Cu-Ko (Kakak Cu) Akupun sejak kecil sudah berpisah dari kedua orang tuaku. Akan tetapi engkau lebih beruntung. Engkau dipelihara dan dididik Gurumu menjadi seorang pendekar yang lihai dan budiman. Sebaliknya aku aku dipelihara dan dididik oleh seorang mucikari sehingga menjadi... seperti ini."

   "Akan tetapi, engkau telah menjadi seorang gadis yang luar biasa! Engkau dikagumi dan dihormati orang, terutama para pemudanya!"

   Siang Bi Hwa menghela napas dan menggeleng kepalanya.

   "Mungkin saja mereka itu kagum kepadaku, akan tetapi menghormatiku? Hanya pada lahirnya saja mereka menghormatiku, akan tetapi di dalam hatinya, mereka itu memandang rendah kepadaku, menganggap aku sama rendahnya dengan para gadis penghIbur anak buah Ibu."

   Kata gadis itu dan suaranya terdengar lirih dan sedih. Pada saat itu terdengar teriakan Cia-Ma dari pintu belakang.

   "Bi Hwa! Hari sudah mulai gelap! Masuklah, di taman banyak nyamuk!"

   Mendengar ini, Sin Cu lalu menyelinap ke balik semak-semak dan berkata,

   "Sudahlah, Hui-moi. Aku harus pergi. Tidak baik kalau sampai aku terlihat orang lain berada di sini!"

   "Cu-Ko... kapankah kita dapat saling bertemu kembali...?"

   "Entahlah, Hui-moi. Kalau Thian menghendaki, tentu kelak kita akan berjumpa kembali. Engkau jaga dirimu baik-baik, Hui-moi."

   "Aku juga tidak akan melupakanmu, Hui-moi. Selamat tinggal."

   "Selamat Jalan Cu-Ko,"

   Suara gadis itu mengandung kekecewaan dan kedukaan karena ia merasa kehilangan. Biarpun baru saja berjumpa dan berkenalan dengan pemuda itu, rasanya seperti mereka sudah berkenalan lama dan menjadi sahabat baik.

   "Bi Hwa...!"

   Daun pintu belakang terbuka dan tubuh gemuk Cia-Ma masuk ke dalam taman.

   "Aku disini Ibu...! Seru Bi Hwa yang melihat bayangan Sin Cu berkelebat lenyap dari situ.

   "Aihh, malam sudah mulai tiba dan Kau belum masuk?"

   Cia-Ma menghampiri gadis itu.

   "Mari masuk, anakku, engkau nanti bisa masuk angin."

   La menggandeng dan membimbing tangan gadis itu dan mereka berjalan ke arah pintu belakang.

   "Bi Hwa, aku sudah mendengar dari para Kongcu betapa engkau mengalahkan dan mengusir Su-Kongcu dan dua orang jagoannya. Ya Tuhan, bagaimana engkau dapat melakukannya, Bi Hwa? Menurut cerita mereka, engkau menalukkan orang-orang jahat itu dengan menggunakan sihir! Benarkah itu?"

   "Ah, Ibu. Dari mana aku dapat mempelajari ilmu sihir? Aku hanya percaya sepenuhnya bahwa orang yang tidak bersalah pasti mendapatkan perlindungan dari Tuhan. Tuhan tentu mengutus seseorang dewa penolong untuk menyelamatkan orang yang tidak bersalah dan menentang mereka yang

   jahat."

   "Wah, jadi engkau telah ditolong oleh seorang dewa, Bi Hwa?"

   Tanya Cia-Ma dengan mata terbelalak kagum Siang Bi Hwa tersenyum. la tahu bahwa Ibu angkatnya ini seorang yang percaya akan tahyul dan seringkali ke Kuil-Kuil untuk mohon berkah pertolongan para dewa. la pikir tidak perlu ia menceritakan tentang Wong Sin Cu karena belum tentu Ibunya percaya akan ceritanya itu. Bi Hwa mengangguk.

   "Benar, Ibu. Seorang dewa telah menolongku dan menyelamatkan aku dari gangguan Su-kongou dan dua orang tukang pukulnya."

   "Hemm, kalau begitu aku harus membuat sembahyangan untuk menghaturkan terimakasih kepada dewa penolongmu. Siapakah dewa penolong itu, Bi Hwa?"

   "Aku... aku tidak tahu siapa dia, Ibu."

   "Bagaimana rupanya, Bi Hwa? Apakah dia tinggi besar, berkumis berjenggot dan mukanya hitam?"

   Hampir saja Bi Hwa tertawa mendengar gambaran itu. Wong Sin Cu sama sekali tidak seperti gambaran itu, melainkan seorang pemuda yang tampan dan tampak lemah lembut. Akan tetapi agar tidak berkepanjangan, iapun mengangguk.

   "Ah, kalau begitu, tentu beliau itu Dewa Penjaga Bumi yang Kuilnya berada didusun sebelah timur kota. Aku akan segera melakukan sembahyangan di Kuil itu, Bi Hwa!"

   Kata Cia-Ma dengan girang. Mereka masuk ke kamar Bi Hwa dan duduk berhadapan di dalam kamar itu, di atas kursi menghadapi meja kecil.

   "Ibu, melihat kejadian tadi, aku sekarang merasa tidak suka untuk bermain musik dan bernyanyi di taman untuk ditonton para Kongcu itu,"

   Kata Bi Hwa sambil mengerutkan alisnya. Cia-Ma terkejut.

   "Aih, jangan begitu, Bi Hwa! Para Kongcu itu hanya sekedar hendak menonton dan mendengarkanmu. Kalau hal ini ditolak, tentu mereka akan menjadi marah sekali dan tidak sudi lagi datang berkunjung ke rumah kita. Ini berarti kita akan bangkrut dan pula, kita tidak dapat melakukan pilihan di antara para pemuda bangsawan itu untuk menjadi calon suamimu."

   Siang Bi Hwa menghela napas panjang.

   "Hemm, baiklah, Ibu. Aku akan bernyanyi untuk mereka, akan tetapi Ibu harus menjaga benar-benar agar peristiwa seperti tadi jangan sampai terulang lagi. Dan pula, Ibu lalu bicara tentang perjodohan. Terus terang saja, Ibu, aku tidak suka menjadi isteri dari seorang di antara para Kongcu bangsawan itu. Mereka itu hanya pandai berpelesir memamerkan kekayaan dan mengandalkan kedudukan Ayah mereka untuk bersikap sewenang-wenang. Pemuda-pemuda seperti itu tidak dapat diharapkan untuk menjadi seorang suami yang baik."

   "Ahh, soalnya karena belum saatnya engkau bertemu jodohmu. Suatu hari pasti akan muncul seorang pemuda bangsawan yang baik dan cocok untukmu. Kita tunggu saja. Sudahlah, cepat engkau mandi, bertukar pakaian lalu kita makan malam."

   Setelah Ibu angkatnya pergi meninggalkannya, Siang Bi Hwa mandi dan bertukar pakaian. Akan tetapi ia tidak pernah dapat mengusir bayangan Wong Sin Cu yang selalu terkenang olehnya. Bahkan malam itu ia tidur dengan gelisah, mengenang Sin Cu dan bertanya-tanya dalam hatinya di mana pemuda itu kini berada. la merasa sedih karena kecil sekali kemungkinan baginya untuk dapat bertemu lagi dengan pernuda penolongnya itu. la tidak mungkin pergi mencarinya dan pemuda itu mustahil akan berkunjung ke rumah pelesir!

   Kabar tentang Siang Bi Hwa tersiar sampai ke Kotaraja. Bukan hanya para pemuda bangsawan yang mendengar akan nama besar gadis itu, akan tetapi juga para pembesar yang masih suka pergi ke rumah rumah pelesir. Berita ini yang membuat mereka berbondong-bondong mengunjungi rumah pelesir milik Cia-Ma. Bahkan akhirnya berita itu tertangkap juga oleh telinga Kaisar Ceng Tek! Kaisar yang nasih muda dan gemar pelesir ini tentu saja tertarik sekali. Biarpun dia sudah mempunyai banyak isteri dan selir, namun Kaisar Ceng Tek masih suka pergi berkeliaran, menyamar sebagai seorang pemuda bangsawan biasa dan keluar masuk rumah pelesir. Kaisar muda ini menjadi hamba nafsunya sendiri, setiap hari hanya sIbuk mengejar kesenangan untuk memuaskan nafsu-nafsunya sehingga tidak memperhatikan tugasnya sebagai pemimpin Kerajaan.

   Urusan pemerintahan dia serahkan kepada para menterinya, terutama sekali kepada Thaikam Liu Cin. Tugas pekerjaannya hanya mendengarkan laporan dari para pembesar itu dan tentu saja semua laporan itu hanya dimaksudkan untuk menyenang kan hati sang Kaisar seolah-olah segala sesuatunya berlangsung dengan beres. Setelah Ouw Yang Song Bu mengikuti Ayah angkatnya ke Kotaraja menghambakan diri kepada Thaikam Liu Cin, dia bergaul dengan para pemuda bangsawan dan dia bahkan menjadi andalan mereka karena pemuda itu memiliki ilmu silat yang tinggi. Akhirnya, Song Bu dapat berdekatan dengan Kaisar Ceng Tek dan setelah mengetahui bahwa Song Bu merupakan seorang jagoan muda kepercayaan Thaikam Liu Cin, Kaisar yang doyan pelesir itu mulai mempergunakan Song Bu sebagai pengawal pribadinya kalau dia berkeliaran di luar Istana.

   Pada pagi hari itu, setelah mendengar berita tentang Siang Bi Hwa sebagai gadis pujaan semua pemuda bangsawan, kembang kota Nam-Po, Kaisar muda itu tertarik sekali dan dia memanggil Song Bu menghadap dalam ruangan pribadinya. Song Bu yang dipanggil melalui seorang pengawal Istana, cepat datang menghadap dan ketika dia memasuki ruangan pribadi milik Kaisar Ceng Tek, dia melihat sang Kaisar yang mengenakan pakaian pemuda bangsawan biasa, duduk termenung seorang diri di situ. Dia cepat maju dan menjatuhkan diri berlutut memberi hormat kepada junjungannya. Kaisar Ceng Tek tersenyum ketika melihat Song Bu dan dengan tangannya dia memberi isyarat kepada lima orang pengawal Istana yang berada di sekitar situ untuk pergi meninggalkan dia berdua saja dengan Song Bu. Setelah para pengawal pergi, Kaisar Ceng Tek berkata,

   "Song Bu, tidak ada orang lain di sini. Bangkit dan duduklah disini dan jangan pakai banyak peradatan seperti dalam pertemuan menghadap Kaisar secara resmi. Bangkit dan duduklah, Song Bu memberi hormat.

   "Terimakasih, Yang Mulia."

   Dia lalu bangkit dan memberi hormat lagi sebelum duduk di atas kursi berhadapan dengan Kaisar Ceng Tek. Mereka duduk berhadapan dan karena sudah terbiasa menghadapi sang Kaisar dalam penyamaran, maka Song Bu tidak merasa canggung duduk berhadapan dan mengangkat muka memandang wajah Kaisar itu. Mereka saling pandang dan Kaisar itu tersenyum. Kaisar Ceng Tek berusia kurang lebih tiga puluh tiga tahun. Wajahnya tampan akan tetapi sinar matanya menunjukkan kelemahannya. Sinar mata itu tidak acuh dan kehilangan daya kewibawaannya. Sejenak dia memandang kepada wajah Song Bu yang gagah. Pemuda yang duduk di depannya itu memang gagah. Bertubuh tinggi dan tampak Kokoh kuat.

   Walaupun usianya baru dua puluh tahun, akan tetapi sinar matanya membayangkan pengetahuan yang luas. Mukanya berbentuk bulat dan matanya lebar bersinar tajam, kadang mencorong membayangkan kekuatan yang dahsyat. Hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum sinis seperti menertawakan segala sesuatu yang tampak olehnya. Pakaiannya rapi dan cukup mewah. Rambut yang hitam panjang itu digelung ke atas dan diikat pita Sutera kuning, dihias tusuk sanggul berbentuk merak terbuat dari pada emas. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Dia telah memperoleh kepercayan Kaisar sehingga diperbolehkan menghadap dengan membawa pedang di punggung. Song Bu memandang kepada junjungannya. Kaisar Ceng Tek bertubuh jangkung dan agak kurus. Wajahnya cukup tampan namun agak kewanitaan.

   "Paduka memanggil hamba, apakah yang hendak Paduka perintahkan kepada hamba?"

   Tanya Song Bu, biarpun sikapnya sederhana namun ucapannya mengandung penuh hormat.

   "Song Bu, apakah engkau sudah mendengar tentang seorang gadis bernama Siang Bi Hwa dari kota Nam-Po seperti yang disohorkan orang? Semua pria bangsawan Kotaraja agaknya tergila-gila kepadanya. Pernahkah engkau mendengar tentang gadis itu?"

   Tentu saja Song Bu pernah mendengarnya akan tetapi hatinya tidak tertarik Harus diakui bahwa Song Bu banyak bergaul dengan para pemuda bangsawan dan ikut pula dengan mereka hidup berfoya-foya. Akan tetapi dia hanya ikut dalam pesta perburuan binatang hutan dan pesta makan minum, juga bermain judi. Dia tidak pernah mau ikut dengan mereka untuk berpelesir dengan pelacur. Karena itu, biarpun dia sudah banyak mendengar tentang Siang Bi Hwa, hatinya tidak tertarik dan belum pernah dia melihatnya.

   "Hamba pernah mendengar tentang Siang Bi Hwa, Yang Mulia. la seorang pelacur yang terkenal sekali di Nam-Po."

   "Hemm, apa yang pernah Kau dengar tentang gadis itu?"

   "Kabarnya ia cantik sekali, pandai bernyanyi dan bermain musik, dan ada pula kabar bahwa ia juga pandai ilmu silat, bahkan ada yang mengabarkan bahwa ia dapat terbang. Tentu saja hamba tidak percaya akan berita terakhir tentang terbang itu!"

   "Dan pernahkah engkau mendengar bahwa ia bukan pelacur biasa, melainkan seorang dara yang tidak mau melayani para pemuda bangsawan, bahkan menolak selaksa tail perak.?"

   "Hamba pernah mendengar nyanyian itu, akan tetapi hamba tidak percaya. Bagaimana mungkin seorang gadis pelacur menolak uang selaksa tail perak? Bagaimanapun juga, ia hanya seorang gadis pelacur yang hina."

   "Hemm, Song Bu, jangan engkau bilang begitu!"

   Cela Kaisar Ceng Tek.

   "Kalau ia hanya seorang gadis pelacur biasa, bagaimana mungkin namanya begitu terkenal? Dan kabarnya tidak pernah ada seorang pemuda bangsawan manapun yang berhasil mendekatinya! Aku jadi tertarik sekali, Song Bu, Aku ingin menyaksikan sendiri gadis itu. Akan tetapi perjalanan kita ini harus menyamar. Aku tidak ingin diketahui orang lain berkunjung dan melihat Siang Bi Hwa. Karena itu, aku ingin mengajak engkau seorang untuk menemani dan mengawalku."

   Biarpun hatinya merasa tidak senang diajak ke rumah pelesir, akan tetapi tentu saja Song Bu tidak berani menolak perintah Kaisar!

   Dia hanya dapat mengangguk dan menyatakan kesediaannya mengawal junjungannya. Setelah berganti pakaian menyamar sebagai seorang Kongcu (tuan muda) biasa yang kaya raya, Kaisar Ceng Tek pergi meninggalkan Istana melalui sebuah pintu tembusan rahasia yang berada di taman bunga, diikuti oleh Song Bu. Para penjaga taman mengenal Kaisar dalam penyamaran itu dan mereka hanya memberi hormat secara biasa. Mereka tahu bahwa kalau sedang dalam penyamaran, Kaisar tidak suka menerima penghormatan resmi seperti kalau dia berpakaian Kaisar. Kaisar Ceng Tek bersama Song Bu pergi menuju ke istal kuda. Penjaga istal tergopoh-gopoh menyediakan dua ekor kuda yang diminta, kemudian dua orang itu menunggang kuda dan keluar dari lingkungan Istana, lalu terus menuju ke pintu gerbang. Para petugas yang menjaga pintu gerbang tidak mengenal Kaisar mereka,

   Akan tetapi mereka mengenal baik Song Bu yang menjadi jagoan pengawal di antara para jagoan Thaikam Liu Cin. Maka mereka tidak menghalangi ketika dua orang pemuda itu melarikan kuda mereka keluar dari Kotaraja menuju ke kota Nam-Po. Matahari telah naik tinggi, tengah hari telah lewat ketika dua orang penunggang kuda itu memasuki kota Nam-Po. Biarpun Kaisar Ceng Tek dan Song Bu belum pernah datang ke kota ini, namun tidak sukar bagi mereka untuk mencari di mana tempat tinggal Siang Bi Hwa. Semua penduduk Nam-Po, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, tahu belaka mana tempat tinggal Bunga Cantik Harum yang amat terkenal, bahkan menjadi kebanggaan seluruh warga kota Nam-Po itu. Tentu saja mereka bangga karena adanya gadis itu membuat kota Nam-Po menjadi terkenal dan dikunjungi banyak pemuda hartawan dan bangsawan dari empat penjuru, bahkan dari Kotaraja.

   "Tempat tinggal Siang Bi Hwa?"

   Kata mereka.

   "Gadis penjelmaan Dewi Kwan Im itu tinggal di rumah pelesir Pintu Merah milik Cia-Ma, di dekat perempatan jalan itu,"

   Mereka memberitahu, Kaisar Ceng Tek dan Song Bu lalu datang ke rumah besar berpintu merah itu. Mereka menambatkan kuda mereka di halaman depan, di mana memang terdapat tempat penambatan kuda.

   Karena melakukan perjalanan yang cukup jauh di siang hari, maka pakaian mereka terkena debu dan mereka membersihkan pakaian mereka dengan mengebut-ngebutkannya. Song Bu yang berpenglihatan tajam itu segera dapat melihat bahwa ada belasan orang laki-laki yang melihat sikap dan bentuk tubuhnya tentu merupakan orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan. Mereka tentu para tukang pukul, pikir Song Bu. Akan tetapi dia tidak memperdulikan mereka, hanya memandang kepada seorang wanita berusia lima puluh tahunan yang keluar dari pintu depan. Pakaian wanita ini mewah, bahkan setua itu ia masih memakai perhiasan di leher, telinga, sanggul, tangan dan jari-jari tangannya. Seperti toko perhiasan berjalan. Wajahnya ramah sekali dan penuh dengan senyum ketika wanita itu menghadapi Kaisar Ceng Tek dan Song Bu.

   "Selamat siang, jiwi Kongcu (tuan muda berdua), selamat siang dan selamat datang di pondok kami yang sederhana. Mari silakan masuk dan bicara di dalam, Silakan, jiwi Kongcu!"

   Setelah berkata demikian, wanita yang bukan lain adalah Cia-Ma itu masuk ke dalam rumah melalui pintu sambil membungkuk-bungkuk dengan sikap ramah dan hormat sekali. Kaisar Ceng Tek memberi isyarat dengan pandang matanya kepada Song Bu keduanya masuk mengikuti Cia-Ma. Ternyata ruang tamu di bagian depan itu lengkap dan terdapat meja kursi yang serba mewah dan enak diduduki. Juga ruangan itu diatasnya rapi, dihias kain-kain Sutera beraneka warna. Pot-pot bunga indah menghiasi ruangan itu dan di dinding tergantung banyak lukisan indah dan tulisan-tulisan hias yang amat bagus, dengan kata-kata mutiara.

   "Silakan, silakan duduk, jiwi Kongcu."

   Cia-Ma mempersilakan mereka duduk. Kaisar Ceng Tek duduk di atas kursi dan dia tersenyum. Keadaan santai dan enak, tanpa dIbuat kaku oleh segala peradatan dan peraturan seperti di Istana inilah yang membuat dia lebih suka berkeluyuran. Dia merasa bebas, tidak terikat dan boleh melakukan apa saja yang disukai dan dikehendakinya. menghela napas panjang dengan hati senang dan memandang ke sekelilingnya. Tentu saja dibandingkan dengan ruangan di Istananya, ruangan itu bukan apa-apa. Akan tetapi ruangan ini memiliki sesuatu yang tidak dimiliki ruangan-ruangan megah dalam Istana, yaitu kebebasan dari segala macam peraturan.

   

Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini