Ceritasilat Novel Online

Sepasang Rajah Naga 16


Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 16



Juga bahwa Pangeran Ceng Sin, sekeluarganya lolos dari Kotaraja dan entah ke mana tidak ada orang mengetahuinya, Para pimpinan Im Yang Kauw ini tahu bahwa Pangeran Ceng Sin adalah seorang Pangeran muda yang menentang Thaikam Liu Cin. Juga mereka mendengar tentang tewasnya Panglima Kwee Liang sekeluarga yang dibantai penjahat ketika mereka melarikan diri dengan perahu untuk menghindarkan diri dari kekejaman Thaikam Liu Cin yang memang berrmusuhan dengan Kwee-Ciangkun. Dari seorang anak buah perahu yang berhasil berenang menyelamatkan diri, berita tentang terbunuhnya Panglima Kwee sekeluarga ini tersiar luas, Akan tetapi anak buah perahu itu tidak mengenal siapa dua orang pembunuh yang kejam itu.

   "Suasana di Kotaraja semakin kacau. para pembesar dan bangsawan yang setia kepada Kaisar dan memusuhi Thaikam Liu Cin. satu demi satu menjadi korban pembunuhan. Kita tidak dapat mendiamkan Thaikam yang jahat itu merajalela. Kerajaan akan menjadi lemah, para pejabat yang korup dan lalim akan semakin berkuasa dan rakyat yang akan menderita sebagai akibatnya, kata Thian Im Cu yang terkenal berwatak keras. Tenang dan sabarlah, Suheng,"

   Kata Thian Yang Cu yang lebih sabar.

   "Apakah yang dapat kita lakukan terhadap mereka? Thaikam Liu Cin memiliki kekuasaan besar sekali, bahkan seolah kemudi pemerintahan berada di tangannya. Para pejabat yang menjadi kaki tangan juga memiliki kedudukan tinggi. Kalau kita bergerak menentang mereka, mungkin saja kita di fitnah dan dianggap akan memberontak terhadap Kerajaan."

   "Habis, apakah kita harus tinggal diam saja melihat rakyat jelata menjadi korban dan uang negara dihambur-hamburkan mereka yang memegang kekuasaan?"

   Bantah Thian Im Cu.

   "Sute Thian Yang Cu, kesabaran ada batasnya. Rakyat jelata yang lemah sekalipun kalau terlalu ditekan terus sekali waktu tentu akan bangkit melawan"

   "Sian-cai...! Harap kalian tidak bertengkar. Sute Thian Im Cu benar bahwa kita tidak harus tinggal diam melihat para Kan-Sin (Menteri Pengkhianat) merajalela. Memang kita harus membantu para Tiong-Sin (Menteri Setia) dan menentang para pejabat yang korup dan sewenang-wenang, tetapi Sute Thian Yang Cu juga benar bahwa kita harus berhati-hati karena kekuasaan para pengkhianat itu besar sekali dan bisa saja kita akan dianggap pemberontak sehingga harus berhadapan dengan pasukan Kerajaan."

   "Habis, kita harus berbuat bagaimana Toa-Suheng?"

   Tanya dua orang Tosu itu berbareng dan semua orang memandang kepada ketua mereka.

   "Sebaiknya kita harus bertindak, akan tetapi secara rahasia. Kita secara berpencar datang ke Kotaraja dan kita menghambakan diri kepada para pembesar yang setia kepada Kaisar dan kita membantu gerakan mereka yang membela Kaisar dan menentang para pejabat yang menjadi kaki tangan Thaikam Liu Cin. Dengan cara demikian kita dapat melemahkan kekuasaan Thaikam itu dan berusaha menyadarkan Kaisar akan bahaya besar yang mengancam Kerajaan kalau Kaisar percaya dan menyerahkan segala urusan kepada Thaikam Liu Cin."

   Pada saat itu, tiba-tiba tiga orang murid Im Yang Kauw berserabutan masuk. Wajah mereka pucat dan mata mereka terbelalak.

   "Hemm, apa yang terjadi? Kalian tampak begitu ketakutan"

   Tegur Im Yang Siansu kepada tiga orang murid itu.

   "Ampunkan kami, Toa-Suhu (Guru Tertua),"

   Kata seorang di antara mereka. kami hendak melapor bahwa ada sepasukan Kerajaan yang datang ke arah perkampungan kita."

   Dua belas orang Tosu itu bangkit berdiri dengan terkejut.

   "Di mana mereka sekarang dan berapa banyak jumlah mereka?"

   Tanya Im Yang Siansu dengan suara masih tenang.

   "Mereka sudah tampak berada di lereng pertama dan jumlah mereka sedikitnya ada dua ratus orang. Kebetulan kami tadi berada di sana dan melihat kemunculan mereka, maka kami segera datang memberi kabar."

   "Mari kita lihat"

   Kata Im Yang Siansu dan mereka semua keluar dari ruangan itu dan langsung keluar untuk melihat dari sebuah tempat terbuka. sehingga mereka dapat memandang jauh ke bawah sampai ke kaki bukit. Dan benar saja. Mereka melihat serombongan pasukan berkuda sedang mendaki lereng pertama dan karena jalan mendaki itu tidak menuju ke lain tempat penting kecuali ke perpungan Im Yang Kauw, maka mudah diduga bahwa pasukan itu tentu sedang menuju ke perkampungan mereka. Im Yang Siansu menoleh kepada Thian Im Cu dan, berkata,

   "Sute (adik seperguruan), engka"

   Siapkanlah semua murid untuk berkumpul di pintu gerbang perkampungan, akan tetapi pesan agar jangan mereka lancang bergerak sebelum ada perintah dariku."

   "Baik, Suheng,"

   Kata Thian Im Cu yang segera berlari memasuki perkampungan.

   "Dan engkau, Ji-Sute (adik seperguruan ke dua). Engkau persiapkan para Sute ini untuk sewaktu-waktu membentuk Im Yang Ngo Kiam-Tin dan menghadapi segala kemungkinan,"

   Kata ketua itu kepada Thian Yang Cu.

   "Baik, Suheng."

   Thian Yang Cu berkata dan diapun memberi isyarat kepada sembilan orang Sutenya dan mereka semua memasuki perkampungan untuk membuat persiapan. Im Yang Siansu sendiri juga masuk perkampungan untuk mengambil senjata pedangnya. Ketua Im Yang Kauw ini jarang membawa pedang, akan tetapi dalam keadaan darurat itu dia harus berjaga-jaga, maka ketika dia keluar kembali, sebatang pedang telah tergantung di punggungnya dan pinggangnyapun memakai tali pengikat pinggang. Para tokoh lain juga sudah mengadakan persiapan sehingga ketika pasukan Kerajaan yang berkuda itu tiba di depan pintu perkampungan, semua anggauta Im Yang Kauw yang berjumlah seratus orang lebih itu telah berkumpul di situ. Dua belas orang Tosu pimpinan Im Yang Kauw berdiri di luar pintu gerbang dengan sikap tenang dan waspada.

   Im Yang Siansu mengerutkan alisnya dan memandang ke arah Im Yang Tojin yang tampak di antara enam orang berpakaian preman yang berada di samping perwira yang memimpin pasukan itu. Im Yang Tojin memandang kepada para pimpinan Im Yang Kauw itu dengan sikap tak acuh dan mulutnya bahkan tersenyum mengejek Im Yang Siansu tidak mengenal teman-teman Im Yang Tojin yang berpakaian preman, maka dia lalu menghadapi Giam Tit Ciangkun (Perwira Giam) yang sudah turun dari atas kudanya, diturut oleh semua jagoan yang menyertainya. Para perwira pembantu juga sudah memberi aba-aba dan para prajurit berloncatan turun dar? atas kuda mereka dan sIbuklah mereka menambatkan kuda mereka di batang batang pohon yang berada di depan perkampungan. Im Yang Siansu mengangkat kedua tangan di depan dada, dengan, sikap tenang dan hormat diapun berkata,

   "Ciangkun, Pinto adalah Im Yang Siansu, ketua Im Yang Kauw. Kalau boleh Pinto bertanya, apakah maksud kunjungan Ciangkun yang membawa pasukan Kerajaan ke tempat kami ini?"

   Giam-Ciangkun yang sudah mendapat pesan khusus dari Thaikam Liu Cin berkata dengan suara lantang.

   "Im Yang Siansu, aku adalah Panglima Giam Tit yang mendapat tugas dari atasan kami untuk menangkap kalian semua anggauta Im Yang Kauw, Karena itu, menyerahlah kalian dari pada kami harus mempergunakan kekerasan untuk membasmi kalian!"

   Im Yang Siansu mengerutkan alisnya dan dengan tegas dia menjawab,

   "Giam-Ciangkun, siapa yang berkata bahwa kami harus ditangkap? Apa alasan dan sebabnya? Apa kesalahan kami?"

   "Hemm, Im Yang Siansu, masihkah engkau menanyakan hal itu? Kami diutus menangkap kalian semua karena kalian telah memberontak terhadap Kerajaan! Sri Baginda Kaisar sendiri yang mengutus kami!"

   "Tidak mungkin! Kami tidak pernah memberontak terhadap Kerajaan. Kalau benar Sri Baginda Kaisar yang mengutusmu, perlihatkan surat perintah dan surat kekuasaan yang diberikan kepada Sri Baginda Kaisar kepadamu!"

   "Perintah Sri Baginda Kaisar diberikan melalui Yang Mulia Liu Taijin. Inilah surat perintah dari Liu Taijin!"

   Giam Tit mengeluarkan segulung surat perintah, lalu membacanya dengan suara lantang.

   "Dengan ini kami, Kepala Urusan Istana Thaikam Liu Cin, atas nama Sri Baginda Kaisar, memerintahkan Panglima Giam Tit untuk melakukan penangkapan atau pembasmian terhadap anggauta Im Yang Kauw yang berada di Kim-San dengan tuduhan bahwa perkumpulan itu bermaksud memberontak terhadap Kerajaan."

   Tertanda: Thaikam Liu Cin.

   "Nah, engkau sudah mendengar sendiri Im Yang Siansu. Maka kami anjurkan engkau dan semua anggauta Im Yang Kauw menakluk dan menyerah saja dari pada dibasmi habis."

   "Tidak! Kami hanya tunduk kepada Sri Baginda Kaisar, tidak kepada Thaikam Liu Cin! Kami sama sekali tidak memusuhi Sri Baginda Kaisar, akan tetapi kami menentang semua pembesar yang lalim dan korup. Apa buktinya kalau kami memberontak terhadap Kerajaan?"

   Tiba-tiba Tho-Te-Kong melangkah maju menghadapi ketua Im Yang Kauw.

   "Im Yang Siansu, semua orang di seluruh negeri tahu siapa Liu Taijin! Beliau adalah orang ke dua setelah Kaisar di Istana dan menentang beliau sama saja dengan menentang Kaisar, Kalau engkau dan para pimpinan Im Yang Kauw hendak melawan mengandalkan ilmu kepandaian silat, kami berenam sudah mendapat tugas untuk menandingi kalian! Nah, apakah engkau nekat hendak melawan?"

   "Kami tidak akan bermusuhan dengan siapapun, akan tetapi kami menolak untuk menyerah dan ditawan. Kalau kalian hendak menggunakan kekerasan, tentu saja kami akan membela diri!"

   Kata Im Yang Sian su sambil memandang tajam Kakek tinggi kurus yang tidak dikenalnya itu.

   "Ha-ha-ha, Im Yang Siansu, agaknya engkau hendak mengandalkan Im Yang Ngo Kiam-Tin yang kalian agulkan dan banggakan itu! Ha-ha, barisan pedang kalian itu tidak ada artinya bagi aku dan lima orang temanku ini!"

   "Hemm, jadi kalian ini jagoan-jagoan yang dikirim oleh Thaikam Liu Cin untuk membasmi kami? Sobat, siapakah kalian? Kami hanya mengenal seorang di antara kalian berenam, yaitu pengikhianat yang telah kami usir dari Im Yang Kauw itu!"

   Im Yang Siansu menuding ke arah Im Yang Tojin yang memandang dengan mata melotot kepada bekas Toa-Suhengnya.

   "Kalian ingin tahu siapa kami? Nah, buka telinga kalian baik-baik! Aku dikenal sebagai Tho-Te-Kong."

   Kakek itu tersenyum lebar ketika melihat wajah-wajah yang tampak kaget dari para Tosu di depannya.

   "Dan kalian tahu siapa Nenek ini? la adalah Cui-Beng Kui-Bo! Yang tinggi besar ini adalah Tung-Hai-Tok, majikan Pulau Naga dan dan orang yang pakaian dan mukanya berwarna hitam dan putih itu adalah Hek Pek Moko."

   Im Yang Siansu dan para Sutenya benar benar terkejut karena nama-nama yang disebut Kakek itu merupakan nama-nama yang sudah amat terkenal di dunia kang-ouw. Akan tetapi Im Yang Siansu dapat menenangkan hatinya.

   "Hemm, kiranya cuwi berlima adalah orang-orang yang terkenal di dunia kang-ouw dan sungguh mengherankan mendengar bahwa orang-orang berilmu tinggi seperti cuwi sekalian ini mau menghambakan diri pada seorang pejabat lalim seperti Thaikam Liu Cin. Kami tetap pada pendirian kami... Kami tidak merasa bersalah dan kalau kami hendak ditangkap, kami akan melawan."

   "Bagus! Agaknya engkau hendak mengandalkan Im Yang Ngo Kiam-Tin itu! Keluarkanlah barisan itu, aku yang akan menghancurkannyal"

   Kata Tho-Te-Kong sambil mengacungkan tongkat bambunya.

   Memang sesungguhnyalah bahwa Im Yang Siansu mengandalkan barisan lima pedang itu. Selama beberapa tahun akhir-akhir ini dia bahkan menurunkan ilmu barisan pedang ini kepada semua murid sehingga ratusan orang lebih murid Im Yang Kauw itu kini mampu membentuk barisan-barisan terdiri dari lima orang berpedang! Sehingga semua barisan yang ada berjumlah dua puluh barisan lebih. Dan setiap barisan lima pedang ini memang lihai bukan main, sanggup menghadapi pengeroyokan lawan yang lebih besar jumlahnya. Akan tetapi tentu saja kelihaian para murid itu tidak menang jika dibandingkan dengan dua barisan Im Yang Ngo Kiam-Tin yang dipimpin oleh Thian Im su dan Thian Yang Cu.

   Mendengar tantangan Tho-Te-Kong itu, Im Yang Siansu memberi isyarat kepada Thian Im Cu dan orang ke dua dari Im Yang Kauw ini lalu melompat ke depan diiringi empat orang Sutenya. Mereka berlima mencabut pedang masing-masing dan berjajar menjadi sebuah barisan yang yang bersikap gagah sekali. Kaki kiri berlutut, tangan kiri menuding ke bawah dan dua jari telunjuk dan jari tengah menyentuh bumi, sedangkan pedang di tangan kanan diangkat tinggi ke atas kepala dan menunjuk ke langit. Inilah jurus pembukaan dari ilmu pedang Im Yang Sin-Kiam (Pedang Sakti Im Yang)! Dan barisan pedang ini merupakan yang pertama dan yang terkuat di perkumpulan itu, yang dipimpin oleh Thian Im Cu. Tho-Te-Kong memandang barisan itu dan tertawa.

   "Ha-ha-ha, apa sih anehnya barisan lima pedang macam ini? Tidak ada artinya bagiku!"

   Dia melangkah maju menghampiri. Akan tetapi baru selangkah dia maju, Cui-Beng Kui-Bo sudah berseru sambil terkekeh genit.

   "Heh-heh-heh, tunggu dulu, Tho-Te-Kong! Sudah lama aku mendengar tentang kehebatan Im Yang Ngo Kiam-Tin dan aku ingin sekali mencobanya! Biarlah yang ini kau berikan kepadaku!"

   Nenek itu dengan gerakan yang amat ringan melayang dan berhadapan dengan barisan lima pedang itu. Thian Im Cu yang memimpin Im Yang Ngo Kiam-Tin itu terkejut sekali menyaksikan tubuh Nenek itu yang melayang seperti dapat terbang saja. Maklumlah dia bahwa Nenek itu memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa. Setelah berdiri di depan lima orang itu, Cui-Beng Kui-Bo lalu menggerakkan kedua tangannya ke punggung dan tiba-tiba saja tampak dua sinar berkilat dan kedua tangannya sudah memegang pedang yang mengkilat. Thian Im Cu memberi isyarat dengan gerakan pedangnya dan barisan itu lalu membuat gerakan mengepung dari lima penjuru. Cui-Beng Kui-Bo tersenyum, berdiri diam tak bergerak, akan tetapi telinga dan matanya dengan waspada memperhatikan gerakan lima orang lawannya.

   "Langit Bumi"

   Tiba-tiba Thian Im Cu berseru dan lima orang itu lalu membuat gerakan menyerang dengan berselang-seling. kalau yang seorang menyerang ke bagian bawah tubuh lawan, maka orang di"ebelahnya menyerang bagian atas sehingga tubuh mereka tampak naik turun seperti ombak bergerak.

   "Hemm...!"

   Cui-Beng Kui-Bo memutar kedua pedangnya sehingga tampak dua gulungan sinar menjadi perisai yang melindungi seluruh tubuhnya.

   Terdengar suara nyaring berdentingan ketika pedang-pedang dari barisan itu tertangkis oleh sepasang pedang Nenek itu. Im Yang Ngo Kiam-Tin itu memang hebat sekali. Mereka menyerang terus silih berganti dan sambung menyambung sehingga Nenek itu hanya sIbuk menangkis dan tidak memperoleh kesempatan sedikitpun untuk membalas. Akan tetapi Thian Im Cu juga maklum bahwa serangan bergelombang ini ternyata tidak mampu menembus perisai yang dibentuk oleh dua gulungan sinar. itu, bahkan tangan mereka berlima terasa panas dan nyeri kalau pedang mereka bertemu dengan pedang Cui-Beng Kui-Bo. Setelah lewat belasan jurus penyerangan yang memakai nama Langit Bumi itu tidak mampu menembus pertahanan lawan, Thian im Cu lalu berseru lagi memberi aba-aba kepada teman-temannya.

   "Api Air!"

   Lima orang itu mengubah gerakan. Kalau yang satu berguling ke atas tanah dan menyerang kaki Nenek itu, yang berada di sebelahnya melompat tinggi dan menyerang kepala Nenek itu dari atas. Terkejut juga Cui-Beng Kui-Bo mendapatkan penyerangan seperti itu. Akan tetapi iapun menggunakan ginkangnya yang hebat untuk berloncatan ke sana sini dan memutar pedang melindungi tubuhnya. Dengan cara menggerakkan tubuh dengan cepat sekali, jauh lebih cepat dari gerakan para pengeroyoknya, Nenek itu dapat menghindarkan diri dari semua serangan. Kembali belasan jurus terlewat tanpa ada pedang para pengeroyok yang mampu menyentuh tubuh Nenek itu.

   

   "Keras Lunak!"

   Kembali Thian Im Cu memberi aba-aba dan gerakan barisan itu berubah lagi.

   Kalau yang satu menyerang dengan pengerahan tenaga kasar, yang lain mengerahkan tenaga sakti yang lembut namun berbahaya sekali.

   "Kosong Berisi"

   Kembali ada aba aba dari Thian Im Cu dan kini kelima orang itu membantu serangan pedang dengan tangan kosong yang memukul dengan pukulan Im Yang Sin-Ciang (Tangan Sakti Im Yang). Pukulan tangan kosong ini merupakan pukulan jarak jauh yang mengandalkan tenaga sakti untuk merobohkan lawan. Tiba-tiba Cui-Beng Kui-Bo yang menjadi agak terdesak oleh perubahan.perubahan gerakan barisan lima pedang itu mengeluarkan teriakan melengking dan tubuhnya berkelebat cepat sekali. Hanya tampak bayangannya yang berkelebatan disusul dua sinar pedangnya yang menyambar-nyambar. Lima orang pengeroyok itu seolah berhadapan dengan banyak orang menjadi terkejut sekali karena merasa bukan hanya seorang lawan.

   Mereka seperti bukan mengeroyok lagi, melainkan dikeroyok karena dimana-mana tampak bayangan Nenek itu yang menyerang dengan pedangnya. Ramai dan seru bukan main pertandingan itu sehingga mereka yang menontonnya menjadi kagum bukan main. Im Yang Siansu menonton dengan alis berkerut. Dia maklum bahwa Yang Ngo Kiam-Tin bertemu lawan yang luar biasa tangguhnya. Dari gerakan Nenek itu maklumlah dia bahwa Nenek itu akan sukar dikalahkan oleh Kiam-Tin (Barisan Pedang) yang dipimpin Sutenya Thian Im Cu. Kalau dia sendiri yang memimpin barisan pedang itu, barulah mungkin akan mengalahkan Nenek itu. Akan tetapi sebelum dia maju, baru melangkah, Tho-Te-Kong sudah menghampiri dan menghadangnya. Agakn"a Kakek ini dapat membaca niat ketua Im Yang Kauw itu. Dia tertawa dan mengetukkan tongkat bambu kuning di tangan kanannya ke atas tanah.

   "Im Yang Siansu, aku pernah mendengar bahwa engkaulah satu-satunya murid Im Yang Kauw yang sudah mewarisi semua ilmu dari para pendiri Im Yang Kauw. Karena itu agaknya hanya aku yang pantas menjadi lawanmu. Nah, kalau engkau tidak mau menyerah dan hendak melawan, majulah. Akulah tandingmu!"

   Im Yang Siansu tentu saja tidak dapat mengelak lagi. Dia terpaksa harus mengeraskan hatinya dan membiarkan barisan pedang pertama dari Im Yang Kauw itu menghadapi Cui-Beng Kui-Bo dan dia mengalihkan perhatiannya kepada Kakek didepannya. Biarpun dia sudah mendengar bahwa Tho-Te-Kong adalah seorang yang memiliki kesaktian, namun dia tidak merasa gentar. Apa yang dikatakan Tho-Te-Kong tadi mermang ada benarnya. Di antara semua saudara seperguruannya, hanya dialah yang telah menguasai ilmu-ilmu dari Im Yang Kauw sehingga tingkatnya paling tinggi dibandingkan tingkat para saudara seperguruannya. Bahkan jauh lebih tinggi.

   Biarpun dia tidak berani memandang rendah kepada Tho-Te-Kong, namun setidaknya dia tidak merasa gentar. Dia melihat betapa calon lawannya itu sudah memegang sebatang tongkat bambu kuning yang dia duga tentu merupakan senjatanya dan dia tahu bahwa senjata yang tampaknya amat sederhana itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Bagi orang yang tingkat ilmu silatnya sudah tinggi, makin sederhana senjata yang dipergunakannya, berarti semakin tinggilah tingkat ilmunya. Maka diapun meraba punggungnya dan melolos sebatang pedang. Pedang itu bukan pedang biasa, melainkan sebatang pedang pusaka yang sudah turun temurun dipegang oleh ketua Im Yang Kauw. Begitu tercabut, tampak sinar gemilang menyilaukan mata, sesuai dengan nama pedang itu, Jit-Kong-Kiam (Pedang Sinar Matahari)!

   "Po-Kiam (Pedang Pusaka) yang bagus!"

   Tho-Te-Kong memuji.

   "Akan tetapi tidak ada senjata yang terlalu bagus untuk tongkatku ini! Maju dan mulailah, Im Yang sansu. Hendak kulihat sampai di mana kelihaianmu!"

   Karena dia merasa sebagai pihak yang desak dan diserbu, maka Im Yang Siansu tidak merasa sungkan lagi.

   Diapun menekuk kaki kirinya, menuding dengan dua jari menyentuh tanah sedangkan pedangnya diacungkan ke arah langit. Kemudian. perlahan-lahan tangan kirinya diangkat, jarinya menuding ke arah tubuh Tho-Te-Kong. Ketika tangan kiri itu digetarkan, penuh dengan tenaga sakti, ada hawa meluncur ke depan, kearah Tho-Te-Kong! Itulah serangan tenaga sakti yang amat dahsyat dan dengan hawa itu saja Im Yang Siansu mampu merobohkan lawan yang tidak sangat kuat! Namun lawannya adalah seorang datuk besar yang puluhan tahun lalu pernah malang melintang di dunia kang-ouw. Getaran pada tangan kiri lawan itu dapat dikenalnya dan diapun membuat gerakan mengebut dengan tangan kanan setelah memindahkan tongkat ke tangan kirinya. Dengan kebutan tangan itu dia telah menangkis hawa yang menyambar ke arahnya itu.

   (Lanjut ke Jilid 15)

   Sepasang Rajah Naga (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 15

   Im Yang Siansu bangkit berdiri dan berseru,

   "Sambut pedangku!"

   Dia menyerang dengan tusukan pedangnya ke arah dada. Gerakannya tampak lambat saja, namun serangan itu mengandung tenaga yang dahsyat dan pedang itu mampu menembus sebuah perisai baja yang kuat Tho-Te-Kong tidak berani memandang ringan serangan ini. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan lawan yang tangguh juga dan dia tahu bahwa memandang rendah berarti telah mengundang kelengahan dan bahaya. Maka, diapun menggerakkan kaki ke kiri sehingga tubuhnya miring dan tongkatnya menyambut pedang lawan dari samping untuk menangkisnya.

   "Tranggg...!"

   Pedang itu terpental ketika tertangkis dari samping. Im Yang Siansu merasa betapa tangannya yang memegang pedang terguncang. Maklumlah dia bahwa lawannya adalah seorang ahli sinkang yang amat kuat. Pedang yang terpental itu membuat gerakan berputar dan membalik, merupakan bacokan ke arah leher Tho-Te-Kong. Gerakan ini amat indah dan juga berbahaya sekali bagi lawan. Namun Kakek itu merendahkan diri untuk mengelakkan serangan dan mengangkat tongkatnya ke atas. Kembali pedang itu tertangkis dan dengan putaran cepat ujung tongkat itu menotok ke arah ulu hati lm Yang Siansu. Ketua Im Yang Kauw ini miringkan tubuh mengelak. Ketika tongkat itu menyambur ke arah kakinya, diapun melompat ke atas dan dari atas pedangnya menyambar, membacok kepala lawan. Tho-Te-Kong juga dapat mengelak dengan loncatan kecil ke kanan.

   Demikianlah, kedua orang sakti ini sudah saling serang dengan dahsyatnya. Biarpun gerakan mereka tampak tidak secepat gerakan Cui-Beng Kui-Bo yang dikeroyok barisan lima pedang, namun baik gerakan tongkat bambu kuning maupun gerakan pedang di tangan Im Yang Siansu mengandung tenaga sinkang kuat sekali sehingga kedua senjata itu mengeluarkan bunyi bercuitan ketika menyambar. Beberapa kali Im Yang Siansu menggerak-gerakkan pedangnya. Pedang itu memang dapat memantulkan sinar matahari seperti sebuah cermin. Pantulan sinar itu menyambar ke arah muka Tho-Te-Kong sehingga Kakek ini menjadi silau dan dalam keadaan silau itu tiba-tiba Im Yang Siansu menyerang. Karena menggunakan kelebihan Jit-Kong-Kiam ini, Im Yang Siansu masih dapat mengimbangi desakan Tho-Te-Kong sehingga mereka bertanding dengan seru sekali.

   Sebentar saja lima puluh jurus lewat dan keduanya saling desak dengan hebat. Sementara itu, Cui-Beng Kui-Bo yang dikeroyok lima semakin mendesak barisan lima pedang itu dan suatu saat, pedang kirinya dapat melukai pundak seorang pengeroyok. Sute dari Thian Im Cu ini mengeluh dan terpaksa dia melompat keluar dari barisan. Akan tetapi seorang Sute lain telah melompat masuk ke dalam barisan untuk menggantikannya! Hal ini membuat Cui-Beng Kui-Bo menjadi marah dan sebuah gerakan yang luar biasa cepatnya kembali melukai paha seorang Sute. Terpaksa yang terluka pahanya ini melompat keluar dan digantikan oleh seorang Sute lainnya. Biarpun demikian, kecepatan gerakan Cui-Beng Kui-Bo membuat barisan lima pedang itu kewalahan dan mereka terdesak hebat dan barisan itupun mulai menjadi kacau gerakannya.

   Awan yang besar dan tebal menutupi matahari sehingga Im Yang Siansu tidak lagi dapat mempergunakan pedangnya untuk mernantulkan sinar matahari dan dalam keadaan demikian maka mulailah dia terdesak hebat oleh tongkat bambu kuning di tangan lawannya. Tho-Te-Kong memang sakti dan ilmu silatnya hebat bukan main. Tongkatnya itu walaupun hanya terbuat dari bambu kuning, namun karena dimainkan dengan pengerahan sinkang sehingga tenaga sakti itu tersalur lewat tongkat bambu, menjadi sebuah senjata yang ampuh sekali. Tongkat bambu itu berani beradu dengan pedang pusaka Jit-Kong-Kiam tanpa menjadi patah atau rusak. Kini sinar kuning dari tongkat itu semakin luas, bergulung-gulung mendesak sinar pedang bahkan beberapa kali nyaris melukai tubuh Im Ya Siansu.

   "Hossshhh..."

   Tiba-tiba Tho-Te-Kong mendengus dan sinar kuning tongkatnya menyambar dahsyat sekali, amat cepat dan kuat ke arah kepala Im Yang Siansu, Ketua Im Yang Kauw ini terkejut melihat datangnya serangan yang amat hebat itu, Dia tidak sempat lagi mengelak. Terpaksa dia menggerakkan pedangnya ke atas untuk menangkis.

   "Trangggg..."

   Demikian kuat dan berat datangnya pukulan itu sehingga biarpun Im Yang Siansu berhasil menangkis, tetap saja dia terhuyung. Dalam keadaan terhuyung ini, Tho-Te-Kong mengejar dengan tendangan berantai.

   "Wuuuttt... Dukkk..!"

   Tendangan pertama dapat dielakkan Im Yang Siansu, tendangan ke dua dapat ditangkis lengan kirinya, akan tetapi tendangan ke tiga datang menyusul dengan kuatnya.

   "Desss...!!"

   Ketua Im Yang Kauw itu terkena tendangan. Biarpun telah mengerahkan sinkangnya melindungi dada sehingga tubuhnya tidak sampai mengalami luka dalam yang parah, namun tetap saja tubuhnya terjengkang dan roboh bergulingan. Tho-Te-Kong mengejar dan melompat ke depan, tongkat bambu kuningnya diangkat menghantam ke arah kepala Im Yang Siansu yang masih bergulingan.

   "Wuuutt...!"

   Tongkat itu menyambar dahsyat ke arah kepala ketua Im Yang Kauw itu dan dia tidak akan mampu menghindarkan diri lagi.

   "Plakkk...!"

   Tongkat itu terpental bertemu dengan benda lunak yang amat lembut. Tho-Te-Kong terkejut dan melompat ke belakang. Di depannya telah berdiri orang yang tadi menangkis tongkatnya dengan telapak tangan. Seorang Kakek yang usianya hampir tujuh puluh tahun, berpakaian kain kuning yang hanya dilibat-libatkan ditubuhnya seperti seorang pertapa. Rambutnya panjang berwarna putih digelung ke atas dan diikat dengan kain kepala berwarna putih. Wajah itu masih tampak muda dan segar sehat, selalu dihiasi senyum sehingga wajah itu tampak cerah dan membayangkan kesabaran yang mendalam. Namun sepasang matanya yang sudah dihias alis berwarna putih itu mencorong penuh daya yang amat kuat. Melihat Kakek yang amat sederhana ini, Tho-Te-Kong terbelalak dan dia mengetukkan tongkatnya ke atas tanah.

   "Demi segala iblis di neraka! Bukankah engkau Bu Beng Siauwjin si manusia hina? Dunia kang-ouw mengabarkan bahwa engkau telah mampus!"

   Kakek itu memang benar Bu Beng Siauwjin. Perlu diketahui bahwa Bu Beng Siauwjin adalah seorang tokoh besar dari Im Yang Kauw. Dia masih terhitung Paman seperguruan dari Im Yang Siansu yang kini menjadi ketua Im Yang Kauw. Akan tetapi Bu Beng Siauwjin adalah seorang yang suka merantau, bertapa di pegunungan dan meluaskan pengetahuan dan memperdalam ilmu dalam perantauannya sehingga tidaklah aktip dalam perkumpulan agama Im Yang Kauw.

   "Tho-Te-Kong!"

   Kata Bu Beng Siauwjin sambil tersenyum.

   "Andaikata aku sudah mati sekalipun, agaknya kalau melihat engkau bertindak sewenang-wenang di Im Yang Kauw, tentu aku akan bangkit dari kuburan untuk mencegah kejahatanmu."

   "Sombong! Apa kau kira aku takut padamu?"

   Bentak Tho-Te-Kong sambil melintangkan tongkat bambu kuningnya.

   "Heh-heh-heh, memang tidak semestinya orang takut kepada orang lain, akan tetapi dia harus takut kepada Yang Maha Kuasa dan selalu waspada terhadap sepak terjangnya sendiri dalam kehidupan ini. Sampai sekarang aku melihat engkau masih menjadi hamba dari pada nafsu-nafsumu sendiri, Tho-Te-Kong. Usia kita sudah lanjut. Tak lama lagi kita hidup di dunia ini. Apakah engkau masih juga belum insaf dan menyadari bahwa jalan yang kau tempuh adalah jalan sesat?"

   "Bu Beng Siauwjin, aku tidak butuh khotbahmu!"

   Setelah berkata demikian, Tho-Te-Kong lalu menggerakkan tongkatnya dan menyerang dengan dahsyat. Dengan tenang Bu Beng Siauwjin mengelak dan ketika tangan kirinya bergerak, ujung kain yang melibat tubuhnya menyambar ke depan, menotok ke arah pundak lawan,

   Tho-Te-Kong juga cepat mengelak dan balas menyerang. Kedua orang tua itu sudah saling serang dengan dahsyatnya. Biarpun Bu Beng Siauwjin menghadapi tongkat Tho-Te-Kong hanya dengan tangan kosong, namun Kakek ini sama sekali tidak terdesak. Sementara itu, hati Im Yang Siansu merasa lega melihat munculnya Paman Gurunya yang tidak disangka sangkanya itu. Dia merasa yakin bahwa Paman Gurunya yang dia tahu amat sakti itu pasti akan mampu menandingi Tho-Te-Kong yang lihai. Dia sendiri lalu melihat ke arah Barisan Lima Pedang yang dipimpin Thian Im Cu. Sudah ada dua orang Sutenya yang terluka dan digantikan orang lain. Sekarangpun lima orang Sutenya itu terdesak oleh sepasang pedang di tangan Cui-Beng Kui-Bo yang memiliki gerakan cepat itu.

   Dia lalu melompat masuk ke dalam barisan itu menyerukan seorang Sutenya yang muda untuk keluar dari barisan. Kini barisan itu dipimpin sendiri oleh Im Yang Siansu, dibantu oleh Thian Im Cu. Tentu saja barisan itu menjadi lain sama sekali. Kini menjadi kuat bukan main, dan segera Cui-Beng Kui-Bo terdesak hebat. Melihat betapa dua orang andalannya, yaitu Tho-Te-Kong dan Cui-Beng Kui-Bo telah bertemu dengan lawan yang amat tangguh, Ouw Yang Lee memberi aba-aba kepada kawan-kawannya untuk menyerbu. Ouw Yang Lee mencabut pedangnya, diikuti Im Yang Tojin yang juga mencabut pedangnya dan Hek Moko bersama Pek Moko yang juga masing-masing menggunakan sebatang pedang. Juga Giam-Ciangkun mencabut pedangnya dan berseru kepada pasukannya. untuk bergerak maju.

   "Maju... Serbuuuuu...!"

   Pasukan itupun bergerak maju. Melihat ini, Thian Yang Cu juga memberi isyarat kepada para Sutenya.

   Terdengar teriakan-teriakan memberi aba-aba dan seluruh murid Im Yang Kauw yang sejak tadi memang sudah siap, otomatis membentuk barisan-barisan Im Yang Ngo Kiam-Tin sehingga terbentuklah seluruhnya dua puluh empat barisan Lima Pedang yang menyambut serbuan Ouw Yang Lee, kawan-kawannya dan pasukan Kerajaan! Terjadilah pertepuran yang hebat didepan perkampungan Im Yang Kauw. akan tetapi ternyata bahwa barisan-barisan lima pedang itu memang tangguh sekali. Biarpun masing-masing barisan yang hanya terdiri dari lima orang ini harus menghadapi pengeroyokan sepuluh orang perajurit, namun kerja-sama mereka begitu rapi dan kompak sehirngga para prajurit menjadi kewalahan. Bahkan Ouw Yang Lee, Im Yang Tojin, Hek Moko dan Pek Moko yang dihadapi oleh sembilan orang Sute dari Im Yang Siansu merasa kewalahan sekali.

   Pertandingan antara Tho-Te-Kong melawan Bu Beng Siauwjin berlangsung dengan serunya. Namun setelah lewat lima puluh jurus, Tho-Te-Kong mulai terdesak hebat. Tamparan-tamparan telapak tangan Bu Beng Siauwjin yang bermain silat Thai-Yang Sin-Ciang membuat Tho-Te-Kong terpaksa main mundur. Pada suatu saat Tho-Te-Kong mendapatkan kesempatan dan dia menggerakkan tongkat bambu kuningnya menusuk sekuat tenaga ke arah ulu hati Bu Beng Siauwjin. Kakek ini tidak lagi mengelak melainkan menyambut tusukan tongkat itu dengan kekerasan pula. Dia menyambut dengan telapak tangan terbuka mempergunakan dan mendorong ke depan dengan pengerahan sinkang sekuatnya karena dia maklum bahwa serangan lawannya itu kuat sekall.

   
Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Wuuuuttt.. blaarr...!"

   Tongkat bambu kuning yang dipenuhi penyaluran tenaga sinkang itu patah-patah menjadi empat potong dan tubuh Tho-Te-Kong terdorong ke belakang sampai tujuh langkah.

   Biarpun dia tidak roboh, namun ternyata dia telah terluka di bagian dalam dadanya karena benturan tenaga sakti tadi membuat tangannya sendiri terpental membalik dan melukai tubuhnya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari mukanya yang berubah pucat sekali dan dia mengusap ujung Bibirnya yang mengeluarkan darah. Pada saat itu tampak sesosok bayangan berkelebat dan Cui-Beng Kui-Bo telah berada di dekat Tho-Te-Kong dalam keadaan agak terhuyung dan baju di pundaknya terobek dan berlepotan darah yang keluar dari luka di pundaknya. Nenek ini ternyata telah terluka oleh pedang di tangan Im Yang Siansu dan ia terpaksa meninggalkan Im Yang Ngo Kiam-Tin yang amat tangguh itu dengan melompat jauh dan tiba di depan Tho-Te-Kong. Melihat keadaan masing-masing, tahulah mereka bahwa mereka berdua telah menderita kekalahan.

   "Kawan-kawan, kita pergi!"

   Tho-Te-Kong berseru dengan pengerahan khikang sehingga terdengar oleh semua orang karena suaranya mengandung getaran kuat.

   Seruan ini terdengar oleh Ouw Yang Lee, Im Yang Tojin dan Hek Pek Moko. Karena mereka berempat itu juga sedang terdesak hebat, maka seruan itu tentu saja mereka terima dengan hati lega. Mereka lalu melompat jauh ke belakang dan mengejar Tho-Te-Kong dan Cui-Beng Kui-Bo yang sudah melarikan diri terlebih dulu. Ditinggalkan enam orang jagoan yang diandalkan itu, tentu saja Giam Ciangkun menjadi gentar untuk menghadapi sendiri bersama pasukannya yang kewalahan menghadapi para barisan Lima Pedang yang tangguh itu. Maka diapun mengeluarkan aba-aba dengan nyaring memerintahkan pasukannya untuk mundur. Mendengar perintah ini pasukannya lalu keluar dari medan pertempuran sambil membawa teman-teman terluka dan yang tewas dalam pertempura itu.

   "Biarkan mereka pergi! Jangan kejar dan jangan serang"

   Teriak Im Yang Siansu kepada para muridnya. Mendengar perintah ini, para anggauta Im Yang Kauw itupun tidak ada yang bergerak dan membiarkan saja pasukan Kerajaan itu melarikan diri dengan menunggang kuda dan ada pula yang, berlari karena ada sebagian kuda yang kabur ketika terjadi kerIbutan pertempuran tadi. Para anggauta Im Yang Kauw segera menolong saudara-saudara mereka yang terluka dan ada lima orang di antara mereka yang tewas. Im Yang Siansu dan sebelas orang Sutenya yang tidak cedera, di antara mereka hanya ada ermpat orang yang cedera ringan, maju menghampiri Bu Beng Siauwjin dan mereka memberi hormat dengan membungkuk dan mengangkat kedua tangan depan dada.

   "Supek, teecu (murid) bersama para Sute menghaturkan selamat datang dan terima kasih kepada Supek karena tanpa bantuan Supek teecu sekalian tentu akan tewas di tangan mereka."

   "Siancai(damai)..."! Kalau yang maha kuasa belum menghendaki kalian mati, siapa yang akan sanggup

   membunuh kalian.? Mari kita bicara di dalam saja,"

   Kata Bu Beng Siauwjin dan setelah memesan para murid agar mengurus mereka yang terluka dan yang tewas, Im Yang Siansu dan para Sutenya lalu mengikuti Bu Beng Siauwjin memasuki perkampungan dan Im Yang Siansu lalu mempersilakan Paman Gurunya untuk masuk ke rumah induk perkumpulan Im Yang Kauw. Setelah semua orang duduk mengelilingi meja besar, Bu Beng Siauwjin menyapu kedua belas orang murid keponakan itu dengan pandang matanya dan diapun bertanya.

   "Sudah belasan tahun aku tidak pernah berkunjung ke perkampungan ini, akan tetapi aku mendengar dari luaran bahwa selama ini Im Yang Kauw dapat menjaga nama baiknya. Bagaimana asal mulanya sehingga hari ini Im Yang Kauw diserbu oleh pasukan Kerajaan?"

   Im Yang Siansu menghela napas panjang.

   "Semua ini timbul karena ulah orang dalam kami sendiri, Supek. Beberapa tahun yang lalu, seorang dari kami melakukan penyelewengan, menjinai seorang wanita isteri penduduk dusun di bawah bukit. Teecu mengusirnya. Orang itu agaknya lari ke Kotaraja dan entah bagaimana dia dapat menjadi seorang pembantu Thaikam Liu Cin. Agaknya dialah yang menghasut dan melapor bahwa Im Yang Kauw bermaksud memberontak terhadap Kerajaan. Tahu-tahu hari ini datang pasukan Kerajaan itu yang dipimpin oleh enam orang jagoan pembantu Thaikam Liu Cin, dan di antara mereka adalah Im Yang Tojin, murid yang telah teecu usir itu."

   Bu Beng Siauwjin mengangguk-angguk.

   "Tidak aneh. Hal seperti itu memang sudah sewajarnya, dapat menimpa siapapun juga."

   "Akan tetapi, Supek. Mengapa hal itu dapat terjadi menimpa kita? Mereka itu adalah orang-orang kang-Ouw Yang berilmu tinggi. Mereka itu menjadi kaki tangan Thaikam Liu Cin dan menjadi jahat. Mengapa mereka mau saja diperalat Thaikam Liu Cin yang lalim?"

   "Siancai...! Apakah kalian lupa akan kebenaran dalam pelajaran Im Yang Kauw.? Di dalam dunia ini, bahkan di alam semesta, unsur dua kekuatan mujijat yang saling berlawanan itu, Im dan Yang, selalu bekerja tiada hentinya. Tanpa ada yang satu, bagaimana dapat muncul yang lain? Tanpa adanya yang jahat, bagaimana kita dapat mengenal yang baik? Ahli-ahli pengobatan dapat mEnciptakan obat-obat yang manjur karena adanya penyakit-penyakit berat yang bermunculan. Agama-agama berkembang biak karena adanya dosa-dosa yang makin banyak dilakukan manusia. Bagaimana para pendekar dan patriot dapat bermunculan tanpa adanya para penjahat dan pejabat korup yang lalim? Di dunia ini ada dua unsur kekuatan yang saling bertentangan dan saling mengimbangi. Semua itu sudah wajar dan sudah dikehendaki Yang Maha Kuasa Hanya tinggal kita manusia yang dikaruniai akal budi untuk memilih, hendak menghamba kepada unsur kekuatan yang baik atau kepada unsur kekuatan yang jahat.! Mengabdi kepada unsur yang baik berarti mengabdi kepada Kekuasaan Tuhan, sebaliknya mengabdi kepada unsur yang jahat berarti mengabdi kepada kekuasaan Iblis!"

   "Supek, tentu saja kita akan mengabdi kepada yang baik dan menumpas kepada yang jahat!"

   Kata Thian Im Cu.

   "Akan tetapi ingat, setiap tindakan kita tidak boleh sekali-kali didasari dendam atau kebEncian. Semua perbuatan baik orang lain harus kita sambut dengan kebaikan pula, sedangkan perbuatan jahat orang lain tidak boleh kita sambut dengan kejahatan pula, melainkan kita sambut dengan rasa keadilan dan siap untuk memaafkan."

   "Bagaimana kita dapat memaafkan perbuatan jahat, Supek?"

   Tanya Thian Yang Cu.

   "Siapakah di antara kita yang tidak pernah melakukan dosa dan kesalahan? Melakukan kejahatan adalah suatu penyakit dan penyakit itu dapat sembuh, sedangkan yang sehat saja sewaktu-waktu jatuh sakit.

   Karena kita semua tidak dapat terbebas dari pada dosa, maka inilah yang menjadi bekal kita untuk mudah memaafkan dosa orang lain. Ingat akan peran Im Yang dalam diri kita. Dua unsur yang berlawanan, kebaikan dan kejahatan, berlumba untuk menguasai kita. Manusia dipengaruhi kedua unsur baik dan jahat ini. Justeru karena kita mengandung unsur baik dan jahat inilah maka kita disebut manusia. Kalau hanya ada baik saja dalam diri kita, maka kita ini bukan manusia, melainkan malaikat. Sebaliknya kalau yang ada pada kita hanya jahat saja, maka kitapun bukan manusia melainkan iblis. Terserah kepada kita untuk memilih karena kita sudah dianugerahi akal budi sehingga dapat melakukan pilihan, tinggal memilih untuk menurut yang baik atau yang jahat. Terserah kepada kita untuk menanam benih pohon buah anggur atau pohon buah beracun. Karena tidak dapat dihindarkan lagi, kita sendirilah yang kelak akan memetik dan memakan buah hasil tanaman kita sendiri."

   Suasana menjadi hening setelah semua tokoh Im Yang Kauw mendengarkan ucapan sesepuh Im Yang Kauw yang sudah tidak aktip lagi itu. Semua yang diucapkan Kakek itu adalah inti pelajaran agama mereka, dan ucapan itu hanya mengingatkan mereka saja agar semua pelajaran dalam agama bukan hanya merupakan teori belaka, melainkan dihayati dalam kehidupan sehari-hari.

   Semua pelajaran agama merupakan anugerah dari Tuhan. Tuhan menurunkan wahyu berupa ajaran-ajaran agama untuk mengingatkan manusia, untuk membimbing manusia ke arah jalan kebenaran dan menjauhi kejahatan. Akan tetapi kalau semua ajaran itu menjadi teori belaka untuk dihafalkan dan tidak dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, maka ajaran itu akan membuat kita menjadi munafik. Ajaran-ajaran itu hanya akan kita jadikan topeng belaka. Kita kenakan sebagai pakaian yang indah dan bersih untuk menutupi badan kita yang kotor. Jauh lebih baik mengenal hanya satu saja namun dihayati dalam kehidupan sehari-hari, misalnya "Kasihilah sesamamu!"

   Dari pada mengenal rIbuan ayat akan tetapi sama sekali tidak dilaksanakan dalam kehidupan.

   "Supek, teecu mohon petunjuk. Apa yang harus teecu sekalian lakukan setelah terjadi penyerbuan pasukan Kerajaan tadi?"

   Tanya Im Yang Siansu dan semua Sutenya mengangguk setuju dengan pertanyaan Itu. Semua mata ditujukan kepada Bu Beng Siauwjin dengan penuh perhatian.

   "Semua tindakan pasti berakibat. Tindakan kita yang keras tadipun pasti berakibat dan akibat itu tidak jauh berbeda sifatnya dengan sebab yang kita timbulkan. Andaikata kalian tadi tidak melakukan perlawanan dengan kekerasan, andaikata kalian melarikan diri saja dan tidak melayani mereka bertempur, tentu akan lain akibatnya, Akan tetapi hal itu sudah kita lakukan. Mereka pasti tidak akan mau sudah begitu saja. Apa lagi Thaikam Liu Cin yang mengirim pasukan itu. Dia tentu akan mengirim pasukan yang jauh lebih besar jumlahnya dan menumpas Im Yang Kauw dengan tuduhan pemberontakan."

   Kakek tua renta itu menghela napas panjang.

   "Maafkan kami yang telah melibatkan Supek dalam pertempuran tadi. Akan tetapi, apakah yang harus kami lakukan sekarang,Supek?"

   Tanya Im Yang Siansu.

   "Tidak ada jalan lain, Kalian harus membubarkan diri, meninggalkan perkampungan ini karena tidak lama lagi pasukan besar tentu akan datang menyerang. Kalian tidak mungkin dapat hidup aman lagi sebagai anggota Im Yang Kauw yahg tentu menjadi buronan pemerintah. Akan tetapi bagaimana teecu sekalian dapat bertugas sebagai pendekar pembela kebenaran dan keadilan kalau tidak menjadi anggauta Im Yang Kauw?"

   Bantah Thian Im Cu.

   "Untuk berjuang tidak hanya menjadi anggauta Im Yang Kauw secara terang-terangan,"

   Kata Bu Beng Siauwjin.

   "Kalian dapat menyamar sebagai penduduk biasa dan di mana Kalian dapat membela kebenaran dan keadilan, Bahkan kalau ada yang mau, kalian dapat menyamar dan memasuki Kotaraja. Di sana kalian dapat bersiap menanti kesempatan untuk membantu Kaisar dan menentang kekuasaan Thaikam Liu Cin dan kawan-kawannya."

   Tentu saja hati para murid kepala yang menjadi pimpinan Im Yang Kauw itu merasa sedih sekali. Akan tetapi merekapun maklum bahwa apa yang dikemukakan Siauwjin itu memang merupakan satu-satunya jalan bagi mereka untuk menyelamatkan diri. Kalau mereka bersikukuh mempertahankan Im Yang Kauw, sudah dapat dipastikan bahwa mereka semua pasti akan binasa. Bagaimana mungkin mereka dapat melawan pasukan Kerajaan yang rIbuan, bahkan laksaan orang jumlahnya.

   "Apa yang Supek katakan memang benar sekali dan itu merupakan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri. Baiklah Supek, teecu, sekalian akan menaati nasihat Supek dan hari ini juga kami semua akan meninggalkan perkampungan ini."

   Kata Im Yang Siansu. Bu Beng Siauwjin menghela napas panjang.

   "Melihat keadaan dan tahu akan bahaya lalu menyelamatkan diri merupakan sebuah kebijaksanaan, Sebaliknya kalau nekat tanpa perhitungan, sehingga mati konyol merupakan kebodohan. Baiklah, sekarang aku harus pergi. Mudah-mudahan kebenaran akan selalu menerangi jalan hidup kalian."

   Bu Beng Siauwjin lalu bangkit berdiri dan melangkah keluar dari perkampungan diikuti dan diantar oleh para pimpinan Im Yang Kauw sampai diluar pintu gerbang. Setelah Kakek itu pergi, Im Yang Siansu dan para Sutenya lalu memanggil dan mengumpulkan anggota Im Yang Kauw dan mengumumkan bahwa hari itu juga mereka semua harus pergi dan mengosongkan perkampungan Im Yang Kauw. Mereka diperkenankan mengambil jalan sendiri-sendiri dan dianjurkan untuk tidak mengenakan pakaian yang ada tanda anggauta Im Yang Kauw demi keselamatan mereka sendiri.

   "Sebagai anggauta perkumpulan yang dimusuhi pasukan Kerajaan kita harus menyamar, namun kita tetap berjuang untuk membela rakyat dan Sribaginda Kaisar, menentang para pembesar lalIm Yang dipimpin oleh Thaikam Liu Cin. Kita tidak akan berhenti berjuang sampai Sribaginda Kaisar menyadari bahwa beliau dipermainkan oleh Thaikam Liu Cin dan sampai pembesar laknat itu jatuh!"

   Demikian pesan Im Yang Siansu. Biarpun dengan hati sedih, semua anggauta Im Yang Kauw itu menaati perintah ketua mereka karena merekapun maklum bahwa setelah terjadi pertempuran hari itu, tentu Im Yang Kauw tidak aman lagi dan tempat itu pasti akan diserbu lagi oleh pasukan yang lebih besar jumlahnya. Im Yang Siansu Juga Menyamar dan berpisah dari para Sutenya. Mereka mengambil jalan sendiri-sendiri dan menyembunyikan tanda Im Yang Kauw di balik baju penduduk biasa.

   Anak perempuan itu memiliki gerakan lincah sekali ketika ia bermain silat dibawah pohon Siong yang besar itu Mula-mula ia bersilat tangan kosong dengan jurus-jurus dari ilmu silat Bi-Jin Kun-Hoat (Ilmu Silat Wanita Cantik) yang memiliki gerakan lemah gemulai dan indah. Sehingga bagi yang tidak mengerti ilmu silat, gerakan-gerakan itu seperti sebuah tarian yang indah. Padahal dalam gerakan-gerakan indah itu tersembunyi daya serangan yang amat berbahaya. Gerakan anak perempuan berusia kurang lebih sembilan tahun itu memang lincah sekali. Kedua kakinya bergerak dalam langkah atau geseran yang Kokoh kuat la seorang anak perempuan yang biarpun baru berusia sembilan tahun sudah tampak cantik mungil. Rambutnya, yang hitam panjang dikepang dua, ujungnya diikat pita Sutera merah dan ketika ia bersilat, kedua kepangan rambut itupun bergerak ke kanan-kiri dengan lucunya, Wajahnya berbentuk bulat telur,

   Sepasang matanya dengan kedua ujung di kanan-kiri agak menjungat ke atas Hidungnya kecil mancung dan mulutnya manis sekali. Dagunya meruncing dan biarpun tubuhnya masih kekanakan, namun sudah membayangkan bahwa setelah dewasa ia akan menjadi seorang gadis yang bertubuh ramping dengan pinggang yang kecil dan berkulit putih kuning. Setelah selesai memainkan ilmu silat tangan kosong Bi-Jin Kun-Hoat, Ia lalu mengambil sebatang pedang yang tadi diletakkannya di atas bangku yang berada di bawah pohon dan mulailah ia bersilat pedang. Seperti juga permainan silat tangan kosong tadi, silat pedangnya juga indah seperti menari-nari akan tetapi mengandung dasar yang Kokoh kuat. Tak jauh dari tempat di mana anak perempuan itu berlatih silat, yaitu dalam sebuah kebun di mana tumbuh banyak pohon buah dan tanaman bunga, terdapat sebuah rumah yang cukup besar.

   Anak perempuan itu demikian asyiknya berlatih silat pedang sehingga ia tidak tahu bahwa ada seorang laki-laki berusia kurang lima puluh tahun keluar dari pintu belakang rumah itu yang menembus ke kebun. Laki-laki itu tampak gagah dan tampan, dengan jenggot pendek yang terpelihara rapi, tubuhnya sedang namun tinggi tegap dan sepasang matanya bersinar tajam. Laki-laki itu menghampiri anak perempuan yang sedang bersilat pedang dan berdiri di bawah pohon sambil menonton dengan penuh perhatian. Akhirnya anak perempuan itu berhenti bersilat. Napasnya agak memburu dan ia menyeka keringat di leher dan mukanya dengan sehelai saputangan dan ia meletakkan pedangnya di atas bangku. Pada saat itulah ia melihat laki-laki yang berdiri di situ dan wajahnya cerah oleh senyum manisnya.

   "lh, Ayah berada di sini? Sudah lamakah, Ayah?"

   "Sudah sejak tadi aku menonton gerakan silat pedangmu."

   "Bagaimana, Ayah? apanya yang kurang?"

   "Sudah cukup baik, hanya saja pedangmu itu belum menyatu dengan tangan kananmu itu. Ingat, Li Hong, kalau engkau bersilat pedang, yang kau gerakkan itu bukanlah pedang lagi, melainkan anggaplah sebagai sebagian dari pada lenganmu seolah pedang itu bukan merupakan benda di luar tubuhmu melainkan menyatu dengan tanganmu. Mengerti?"

   Anak perempuan itu mengangguk.

   "Mengerti, Ayah. Pria yang gagah perkasa itu adalah Gan Hok San, seorang pendekar besar Siauw-Lim-Pai yang tinggal di dusun Sia-Bun dilereng pegunungan Beng-San. Seperti telah diceritakan di bagian depan, pendekar Gan Hok San inilah yang telah menolong Sim Kui Hwa, istri ke dua dari Ouw Yang Lee atau Ibu Ouw Yang Hui dari tangan penculiknya.

   Setelah Gan Hok San mengalahkan Tok-Gan-Houw Lo Cit si penculik, dia lalu mengantar Sim Kui Hwa kembali ke Pulau Naga. Pendekar itu bermaksud untuk mengantar Sim Kui Hwa pulang. Akan tetapi Ouw

   Yang Lee tidak mau menerima kembali istri ke duanya, bahkan karena cemburu hendak membunuh Sim Kui Hwa. Gan Hok San mencegahnya sehingga timbul perkelahian di antara dia dan Ouw Yang Lee. Dalam sebuah perkelahian yang seru, akhirnya Gan Hok San dapat mengalahkan Ouw Yang Lee. Majikan Pulau Naga ini lalu mengusir isterinya dan terpaksa Sim Kui Hwa pergi dari Pulau Naga, ditemani Gan Hok San. Pendekar ini merasa kasihan kepada Sim Kui Hwa bahkan jatuh cinta. setelah mengantar Sim Kui Hwa mencari Ouw Yang Hui tanpa hasil, akhirnya Gan Hok San mengajak wanita itu pulang ke rumahnya di lereng Beng-San.

   Akhirnya Sim Kui Hwa yang sudah tidak memiliki siapa siapa lagi di dunia ini menyerahkan diri kepada penolongnya dan mereka menjadi suami isteri. Setahun setelah menikah, mereka dikaruniai seorang anak perempuan yang mereka beri nama Gan Li Hong. Sekarang anak itu sudah berusia sembilan tahun dan sejak berusia lima tahun, Li Hong telah digembleng ilmu silat oleh Ayahnya. Pada pagi hari itu, Li Hong yang suka akan ilmu silat dan selalu tekun berlatih sudah berlatih silat seorang diri di kebun belakang rumahhya. Ketika Ayahnya datang dan memberi petunjuk, iapun mendengarkan, dengan penuh perhatian. Ayah dan anak itu duduk di atas bangku panjang di bawah pohon Siong dan bercakap cakap. Hubungan mereka akrab penuh kasih sayang. Dapat dimaklumi bahwa Gan Hok San amat menyayang puteri tunggalnya ini.

   Dia baru menikah setelah berusia empat puluh tahun dan setahun kemudian isterinya melahirkan Li Hong. Tentu saja dia amat menyayang anak yang semata wayang ini. Li Hong juga amat sayang kepada Ayahnya yang selalu bersikap penuh kasih kepadanya. Selagi Ayah dan anak ini bercakap-cakap tentang pelajaran ilmu silat, muncullah seorang wanita dari pintu belakang rumah itu. la adalah Sim Kui Hwa. Dalam usianya yang sudah empat puluh tahun, wanita ini masih tampak cantik jelita bertubuh ramping dan bersikap lembut dan anggun. Kulitnya masih putih mulus seperti ketika mudanya dulu, Sim Kui Hwa memang tergolong wanita cantik yang awet muda. Melihat suami dan anaknya bercakap-cakap di dalam kebun itu, ia segera menghampiri dan mendengarkan mereka berbicara tentang ilmu silat iapun menegur puterinya.

   "Li Hong, boleh saja engkau tekun berlatih silat, akan tetapi jangen lupakan pelajaranmu membaca dan menulis, katanya lembut lalu iapun ikut duduk di atas bangku panjang itu. Gan Hok San hanya tersenyum mendengar teguran isterinya kepada anaknya. Dalam mendidik anak tunggal mereka, suami isteri ini memang kompak sekali. Mereka tidak mau saling mencela di depan anak mereka sehingga bagi anak mereka apa yang diajarkan oleh seorang merupakan ajaran berdua pula.

   "lbu, aku lebih suka berlatih silat dari pada berlatih membaca dan menulis"

   "Ah, tidak boleh begitu, Li Hong Pelajaran kesusasteraan juga teramat penting bagimu sebagai bekal menempuh hidup kelak,"

   Kata Sim Kui Hwa.

   "Aku kelak ingin menjadi seorang pendekar yang tinggi ilmu silatnya, Ibu. Dengan ilmu silat kelak aku dapat membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan,"

   Kata Li Hong dengan sikap gagah sehingga tampak lucu. la seorang anak perempuan yang mungil dan cantik, lebih pantas bersikap lembut dari pada gagah-gagahan.

   "Itu memang benar, anakku. Akan tetapi apa artinya jadi pendekar kalau buta huruf? Apa artinya menjadi pendekar kalau engkau tidak tahu tentang agama dan budi pekerti? Engkau akan mudah tersesat, mudah terseret pengaruh buruk. Ilmu silat berguna untuk kekuatan jasmani, dan agama dan kesusasteraan berguna untuk kekuatan rohani. Engkau harus maju dan kuat dalam jasmani dan rohani untuk dapat menjadi seorang pendekar wanita yang budiman dan bijaksana."

   Li Hong memandang kepada Ayahnya seolah minta tanggapannya atas nasihat Ibunya itu. Gan Hok San mengangguk-angguk dan berkata dengan tegas.

   "Ibumu bijaksana sekali, Li Hong. Apa yang dikatakannya itu semua benar belaka. Orang harus kuat jasmani dan rohaninya. Kalau kuat jasmaninya saja akan tetapi rohaninya lemah, ia akan mudah tersesat. Sebaliknya kalau kuat rohaninya akan tetapi jasmaninya lemah, ia akan mudah terserang penyakit dan ancaman dari luar. Karena itu, Bun (Kesusasteraan) dan Bu (Olahraga) keduanya sama pentingnya kalau engkau ingin menjadi seorang pendekar wanita yang sehat lahir batin."

   Li Hong tampak lega dan girang mendengar pendapat Ayahnya dan ia tersenyum kepada Ibunya.

   "Baiklah, Ibu. Aku akan membaca kitab-kitab itu sekarang."

   "Lihat itu, engkau masih berkeringat. Keringkan keringatmu lalu mandilah dulu. Setelah itu kita sarapan pagi, baru nanti engkau membaca kitab pelajaranmu,"

   Kata Sim Kui Hwa. Ibu ini yang mendidik puterinya sendiri dalam ilmu memba"a dan menulis. Mereka bertiga bergandeng tangan meninggalkan kebun dan kembali ke dalam rumah mereka.

   Li Hong membawa pedangnya yang tadi ia pergunakan untuk berlatih. Li Hong segera pergi mandi dan Sim Kui Hwa dibantu oleh seorang pelayan wanita sIbuk di dapur mempersiapkan sarapan pagi untuk mereka sekeluarga. Gan Hok San duduk di ruangan depan, siap untuk berangkat ke ladang setelah makan pagi nanti. Gan Hok San hidup sebagai petani. Dia memiliki ladang yang cukup luas dan menggarap sawah ladang itu dibantu beberapa orang buruh tani. Penghasilan sawah ladangnya cukup untuk membiayai kehidupan keluarganya, bahkan membuat dia merupakan seorang yang berkeadaan cukup di dusun Sia-Bun itu. Sebagai seorang pendekar Gan Hok San dikenal dan dihormati di dusun itu karena dengan adanya pendekar ini, tidak ada penjahat yang berani mengganggu ketenteraman dusun Sia-Bun.

   Munculnya dua orang di pintu pagar pekarangannya menarik perhatian Gan Hok San. Jarang dia kedatangan tamu dari jauh atau yang tidak dikenalnya. Biasanya hanya para petani penduduk dusun Sia-Bun saja yang datang berkunjung untuk berbagai keperluan. Akan tetapi dia merasa tidak mengenal dua orang itu dan melihat keadaan dua orang yang memasuki pekarangannya itu, jelas bahwa mereka bukan penduduk dusun. Mereka adalah dua, orang pemuda yang tampan dan langkahnya halus. yang seorang lebih tinggi, tubuhnya sedang dan mukanya berbentuk bulat telur dengan rambut hitam gemuk. Alis matanya tebal berbentuk golok, matanya lembut namun mengandung kekuatan dan tajam. Hidungnya mancung dan mulutnya kecil tersenyum manis. Kulit muka, leher dan tangannya bersih.

   

Pendekar Tongkat Liongsan Karya Kho Ping Hoo Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini