Ceritasilat Novel Online

Sepasang Rajah Naga 20


Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 20



Tanya Ouw Yang Lan penasaran. Ayah tirinya menghela napas panjang.

   "Biasanya, orang yang meninggalkan bukti kelihaiannya seperti ini merupakan peringatan atau ancaman bahwa dia akan datang kembali dengan niat buruk. Aku menduga keras bahwa orang ini adalah seorang datuk besar di dunia kang-Ouw Yang agaknya diundang oleh Ouw Yang Lee untuk memusuhi kita."

   "Kita tidak perlu takut, Ayah!"

   Kata Ouw Yang Lan marah.

   "Biarkan dia datang Kita lawan mati-matian!"

   "Tentu saja kita harus melawannya Lan-ji,"

   Kata Ciang Sek sambil tersenyum senang melihat pembelaan anak tirinya yang demikian penuh semangat.

   "Akan tetapi orang ini benar-benar merupakan lawan yang amat tangguh. Kita tidak boleh sembrono sebelum mengetahui apa sebenarnya yang dia kehendaki, Karena itu, kita harus menggunakan akal."

   "Akal apakah itu?"

   Tanya Lai KIm Yang merasa Khawatir mendengar percakapan antara suami dan anaknya.

   "Mendekatlah, hal ini harus dirahasiakan dan hanya kita berempat saja yang mengetahuinya,"

   Bisik Ciang Sek. Lai Kim, Ouw Yang Lan dan Gu Tian lalu mendekat dan Thai-Lek-Kui Ciang Sek berbisik-bisik menceritakan akal yang direncanakannya.

   Pada hari itu, perkampungan Pek-In-San dalam suasana berkabung! Semua anggauta terkejut dan berduka atas kematian ketua mereka yang mendadak. Ciang Sek mati karena luka-lukanya setelah bertanding melawan Ouw Yang Lee.

   Jenazah diurus oleh Gu Tian dan anak isteri yang meninggal. Dimasukkan ke dalam sebuah peti mati tebal dan peti mati diletakkan di ruangan berkabung yang berada di depan. Semua anggauta perkampungan Pek-In-San berkabung dan bersembahyang. Para wanita keluarga para anggauta menangis. Inilah siasat yang dilakukan Ciang Sek. Dia pura-pura mati dan siasat ini bahkan tidak diketahui para anggautanya. Mereka mengira bahwa ketua mereka benar-benar tewas karena luka dalam akibat perkelahian melawan Ouw Yang Lee. Tentu saja peti jenazah itu tidak terisi jenazah, melainkan diisi batu-batu bata. Adapun Ciang Sek sendiri bersembunyi di dalam kamar dekat ruangan berkabung itu, siap siaga menanti kemunculan musuh. Malam itu Ouw Yang Lan tidak berada di dalam ruangan berkabung.

   Semenjak petang, ia sudah meninggalkan perkampungan dan melakukan perondaan di sekeliling perkampungan, di hutan-hutan lereng Pek-In-San. la menyelinap dan bersembunyi di balik semak belukar dan pohon-pohon besar, mengintai dan menanti munculnya m?suh yang hendak mengacau perkampungan. Ketika meninggalkan perkampungan gadis ini menunggang kuda. Akan tetapi setelah tiba di hutan yang terletak di lereng bawah, ia menambatkan kudanya dan mengintai jalan yang menuju ke perkampungan itu. Jalan melewati hutan merupakan satu-satunya jalan menuju ke perkampungan Pek-In-San. Kalau ada orang hendak berkunjung, pasti akan lewat jalan itu. Malam itu bulan muncul dengan sinarnya yang cukup terang. Hal ini memang telah di perhitungkan Ouw Yang Lan. la dapat melakukan penghadangan karena terang bulan.

   Andaikata tidak waktu terang bulan, tentu ia tidak akan menghadang di situ, melainkan berjaga di perkampungan. Tiba-tiba hati Ouw Yang Lan berdebar tegang. Musuh yang dinanti-nantinya akhirnya muncul! la tidak dapat melihat dengan jelas muka orang yang berjalan perlahan mendaki lereng itu, tidak tahu apakah orang itu sudah tua ataukah masih muda. Akan tetapi melihat pakaiannya, tahulah ia bahwa orang itu adalah seorang laki-laki. Tidak salah lagi. laki-laki itu tentulah musuh. Siapa lagi yang mendaki lereng hendak berkunjung ke perkampungan Pek-In-San kalau bukan musuh yang berniat jahat? Kalau orang baik-baik tentu tidak berkunjung di waktu malam seperti itu. Ouw Yang Lan teringat akan dugaan Ayahnya bahwa musuh yang telah meninggalkan tapak kaki itu tentu seorang yang lihai sekali.

   Maka iapun bersikap hati-hati dan otaknya yang cerdik bekerja. la harus menggunakan akal, seperti yang telah dilakukan Ayah tirinya Sekarang ini, pikirnya. Setelah mengambil keputusan, Ouw Yang Lan lalu keluar dari belakang semak-semak dan menghadang laki-laki yang berjalan perlahan dari depan itu.

   Laki-laki itu bukan lain adalah Song Bu.! Seperti kita ketahui, Song Bu berkunjung ke Bukit Harimau, ke perkampungan sarang gerombolan yang dipimpin Tok-Gan-Houw Lo Cit. Dia melihat Lo Cit sudah tewas dan dari anak buah gerombolan dia mendengar bahwa orang yang membantu Lo Cit menyerbu ke Pulau Naga, kemudian yang membawa pergi Ouw Yang Lan dan Ibunya adalah Thai-Lek-Kui Ciang Sek. Oleh karena itu, dia lalu melakukan perjalanan menuju pegunungan Thai-San dan biarpun hari mulai gelap ketika dia tiba dipegunungan ini,

   Dia melanjutkan pendakian karena dibantu sinar bulan yang cukup terang. Ketika dia melihat seorang yang melihat pakaiannya tentu seorang wanita muncul menghadang di depan, tentu saja Song Bu merasa heran sekali. Hari mulai malam dan di hutan yang sunyi di lereng itu muncul seorang wanita seorang diri. Tentu saja hal ini amat aneh. Dia segera mempercepat langkahnya menghampiri wanita yang tidak dapat dilihat mukanya dengan jelas. Akan tetapi setelah dekat, dalam cuaca yang remang-remang dia melihat bahwa wanita itu seorang gadis yang cantik sekali. Sebaliknya Ouw Yang Lan juga melihat bahwa orang yang ia anggap musuh itu adalah seorang pemuda yang tampan, walaupun wajahnya tidak dapat tampak dengan jelas. Ouw Yang Lan juga melangkah maju menyongsong orang itu sampai mereka berhadapan dekat.

   "Kenapa engkau bawa demikian banyak orang mendaki bukit ini?"

   Tanya Ouw Yang Lan sambil menudingkan telunjuknya ke arah belakang pemuda itu. mendengar pertanyaan ini, tanpa curiga dan dengan otomatis Song Bu memutar tubuhnya untuk memandang ke arah belakangnya yang ditunjuk gadis itu. Pada saat itu, Ouw Yang Lan yang sejak tadi sudah siap, menggunakan Pek-In Ciang-Hoat (Ilmu Silat Awan Putih) sehingga tangannya bergerak seperti awan melayang tanpa menimbulkan suara angin dan tiba-tiba ia sudah menotok kedua pundak Song Bu.

   "Uhh..."

   Song Bu terkejut, mengeluh dan terkulai roboh. Dia sama sekali tidak pernah mengira akan diserang secara begitu mendadak dan serangan totokan itu ternyata lihai sekali. Dia dapat merasakan betapa jari-jari tangan yang menotoknya itu mengandung tenaga sinkang yang cukup kuat. Dia roboh telentang dan melihat betapa gadis itu membungkuk dan mengamatinya.

   "Nona, mengapa engkau menotokku?"

   Song Bu bertanya, penasaran. Dia masih dapat mengeluarkan suara dan bicara, akan tetapi tidak dapat menggerakkan kaki tangannya yang menjadi lemas dan lumpuh.

   "Engkau tentu utusan Ouw Yang Lee!"

   Ouw Yang Lan berkata dan suaranya terdengar ketus. Song Bu diam saja.

   "Hei! Tulikah engkau? Engkau tentu diutus oleh Ouw Yang Lee, bukan?"

   Ouw Yang Lan menghardik.

   "Jawab!"

   Song Bu menghela napas panjang. Seorang gadis yang galak bukan main, pikirnya, menduga-duga siapa gerangan gadis galak ini.

   "Ya, begitulah."

   Akhirnya dia berkata. Memang benar bahwa kepergiannya dari Kotaraja karena disuruh oleh Ouw Yang Lee untuk mencari Ouw Yang Hui, kemudian dia menyelidiki tentang Ouw Yang Lan dan Ibunya. Akan tetapi tak disangka-sangkanya, mendengar jawaban itu, tangan kanan Ouw Yang Lan bergerak menamparnya.

   "Plak! Plak!"

   Kedua pipinya telah ditampar. Tamparan tanpa mempergunakan tenaga, sinkang, akan tetapi cukup panas dan perih terasa pada mukanya.

   "Kenapa engkau memukulku, nona?"

   Tanyanya penasaran.

   "Engkau tentu datang dengan niat menbunuh Thai-Lek-Kui Ciang Sek, bukan?"

   Tanya lagi gadis itu.

   Song Bu menghela napas lagi. Dia belum tahu siapa gadis ini, akan tetapi, dia menjawab sejujurnya.

   "Mungkin saja. Akan tetapi, siapakah engkau, nona?"

   Gadis itu tidak menjawab, melainkan mengambil segulung tali sebesar jari tangan, tali yang sudah ia persiapkan kalau-kalau ia dapat menangkap musuh. Ujung tali itu ia ikatkan pada kedua pergelangan tangan Song Bu, kemudian diseretnya tubuh pemuda yang telentang dan terikat kedua tangannya itu. Tubuh Song Bu terseret di atas tanah. Pemuda itu tak berdaya karena tubuhnya tak dapat digerakkan. Dia melihat betapa gadis itu mampu menyeret tubuhnya dengan mudah, menandakan bahwa gadis itu memiliki tenaga yang kuat.

   "Nona, kenapa nona galak terhadap aku?"

   Ouw Yang Lan sudah tiba di dekat kuda yang ditambatkan di pohon. la melepaskan ikatan kudanya lalu melompat ke atas punggung kuda.

   "Hemm, aku galak? Engkau tidak kubunuh masih untung!"

   Jawabnya sambil menjalankan kudanya dan tubuh Song Bu terseret.

   "Nona, siapa sih engkau yang begini kejam kepadaku?"

   Song Bu bertanya sambil memandang gadis yang demikian cekatan ketika melompat ke atas punggung kuda.

   "Mau tahu aku siapa? Aku adalah puteri dari Thai-Lek-Kui Ciang Sek yang hendak kau bunuh itu! Nah, sekarang engkau tahu mengapa aku menangkapmu seperti ini! Engkau memang patut dihajar"

   Diam-diam Song Bu terkejut. Puteri Thai-Lek-Kui Ciang Sek? Dan tadi dia sudah mengaku bahwa dia utusan Ouw Yang Lee yang hendak membunuh Ciang Sek! Betapa bodohnya. Diam-diam dia mengerahkan tenaga sinkangnya untuk membebaskan dirinya dari pengaruh totokan. Ouw Yang Lan yang merasa yakin bahwa pemuda ini yang mengancam Ayah tirinya dan yang meninggalkan tapak kaki itu,mulai melarikan kudanya agar, tawanannya itu semakin tersiksa. la tidak ingin, buru-buru membunuh musuh itu, melainkan hendak dihadapkan dulu kepada Ayah tirinya.

   Terserah kepada Ayah tirinya hendak diapakan orang itu. Mengingat betapa Ayah kandungnya sendiri, Ouw Yang Lee hendak membunuh Ibunya dan Ayah tirinya, ia menjadi marah dan merasa benci kepada Ayahnya sendiri. Tentu saja iapun membenci orang yang menjadi utusan Ayah kandungnya untuk membunuh Ibunya dan Ayah tirinya, bahkan mungkin Ayahnya yang keras hati dan kejam itu hendak membunuhnya. Kalau saja yang diseret dengan kuda itu bukan Song Bu, dalam keadaan tertotok dan terikat itu tentu akan menderita siksaan hebat dan tentu kulit punggungnya akan terkelupas! Namun, Song Bu telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Begitu dia menahan napas mengerahkan sinkangnya, maka dia berhasil membebaskan dirinya dari pengaruh totokan dan dia dapat menggerakkan lagi kaki tangannya.

   Setelah terbebas dari totokan, mudah saja bagi Song Bu untuk membikin putus tali yang mengikat kedua pergelangan tangannya. Ouw Yang Lan sama sekali tidak tahu akan hal ini. la tidak sedikitpun pernah membayangkan bahwa orang yang telah ditotoknya dan kedua pergelangan tangan diikatnya sekuat itu dapat membebaskan dirinya. Tiba-tiba saja dia merasa ada gerakan di belakangnya dan begitu ia menoleh, pundaknya telah tertotok dan diapun terkulai lemas. Song Bu sudah melompat dan duduk di belakang gadis itu lalu secepat kilat menotoknya sehingga kini Ouw Yang Lan yang lemas tak berdaya. Dia lalu merebahkan tubuh gadis itu menelungkup dan melintang dipunggung kuda, di depannya. Ouw Yang Lan tidak mampu bergerak, akan tetapi ia masih dapat mengeluarkan suara. la menjerit-jerit.

   "Lepaskan aku! Jahanam busuk, lepaskan aku!"

   Song Bu tertawa.

   "Kenapa aku harus melepaskanmu? Biar engkau tahu rasa!"

   Ouw Yang menjadi semakin marah.

   "Engkau anjing, kucing, tikus, monyet jelek busuk! Engkau laki-laki kejam, tak berjantung, berani engkau menghina dan menyiksaku?"

   "Ha-ha-ha, sayang malam hanya remang-remang dan tidak ada cermin di sini. Kalau saja engkau dapat bercermin, engkau akan melihat bahwa semua makianmu itu sepatutnya ditujukan kepada dirimu sendiri! Engkau tadi menotokku, mengikatku, menampar pipiku lalu menyeretku. Dan apa yang kulakukan sebagai pembalasan? aku hanya menotokmu dan memboncengkan engkau di punggung kuda. Engkau masih enak karena aku tidak ingin menghina dan berlaku kejam terhadap wanita."

   "Kau curang! Engkau menotokku dari belakang selagi aku tidak siap! Bebaskan aku dan mari kita bertanding sampai seorang dari kita roboh dan mampus!"

   "Hemm, apakah ketika engkau menotokku tadi juga tidak curang? Engkau mengalihkan perhatianku dan engkau menotok selagi aku tidak siap. Aku hanya menuntut balas dan engkau hanya membayar apa yang kau beli sendiri. Aku tidak membalas tamparanmu, tidak membalas penyiksaanmu kepadaku dengan menyeretku di atas tanah. Untuk semua itu, aku hanya minta kau bayar dengan pengakuan dan keteranganmu dan kuharap engkau masih mempunyai kejujuran untuk menjawab pertanyaanku."

   Ouw Yang Lan adalah seorang gadis yang keras hati dan keras kepala, akan tetapi ia bukan orang bodoh. Melihat sikap pemuda yang kini menawannya, ia melihat kenyataan bahwa pemuda itu bukan orang yang kurang ajar, sama sekali tidak mengganggunya, tidak menyentuhnya hanya membiarkan ia tertelungkup di punggung kuda di depannya dan semua ucapannya tadi tak dapat dibantahnya karena memang kenyataannya demikian, ia tadi telah mencurangi, menghina dan menyiksa pemuda itu dan kini apa yang dilakukan pemuda itu sebagai pembalasan masih jauh lebih ringan dari pada apa yang telah ia lakukan tadi. Maka, mendengar ucapan pemuda itu, ia menjawab, walaupun suaranya masih ketus.

   "Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, katakan dulu mengapa engkau hendak membunuh Thai-Lek-Kui Ciang Sek?"

   "Tentu saja aku ingin membunuhnya karena dia telah melakukan dua kejahatan besar yang tidak dapat diampuni!"

   Jawab Song Bu sambil menjalankan kuda seenaknya. Dia sudah menyelidiki perkampungan Pek-In-San dari penduduk dusun di kaki pegunungan dan sudah dapat mengira-ngirakan di mana letak perkampungan itu.

   "Hemm, kejahatan apa itu?"

   Tanya Ouw Yang lan.

   "Pertama, dia sudah membantu Tok-Gan-Houw Lo Cit melakukan penyerbuan ke Pulau Naga dan bersama Lo Cit dia menculik dua orang Ibu dengan dua orang puteriya. Itu dosa pertama dan yang ke dua, dia kemudian melarikan seorang Ibu dan puterinya, Aku akan membunuhnya karena kejahatannya itu."

   "Dan engkau diutus Ouw Yang Lee untuk melakukan pembunuhan itu?"

   "Ya dan tidak. Memang dia menyuruh aku mencari jejak anak isterinya yang diculik, akan tetapi kehendakku sendiri untuk mendatangi sarang Ayahmu. Eh, kenapa jadi terbalik begini? Aku yang hendak bertanya kepadamu, sekarang malah engkau yang banyak bertanya dan aku yang menjawab semua pertanyaanmu!"

   Song Bu mengomel.

   "Sekali lagi saja aku bertanya, setelah itu engkau boleh mengajukan pertanyaan dan aku akan menjawab sejujurnya."

   Song Bu menghela napas panjang. Bagaimanapun juga, dia tidak mungkin dapat bertindak keras terhadap seorang gadis. Bahkan menawannya dan membuatnya menelungkup didepannya di atas punggung kuda itupun rasanya sudan membuat dia tidak enak dan rikuh karena sebagian tubuh gadis itu menimpa ujung kedua lututnya.

   "Tanyalah, apa lagi yang ingin kau ketahui?"

   "Engkaukah yang malam kemarin mendatangi rumah kami dan meninggalkan tapak kaki dalam rumah kami?"

   "Hemm, jangan menuduh yang bukan-bukan. Baru malam ini aku tiba di sini dan sebelum ini belum pernah aku berkunjung ke rumahmu! Sudahlah, sekarang giliranku bertanya, hanya satu pertanyaan saja akan tetapi engkau harus menjawab sejujurnya."

   "Tanyalah!"

   Kata Ouw Yang Lan, suaranya masih ketus.

   "Engkau adalah puteri Thai-Lek-Kui Ciang Sek, tentu engkau mengetahui di mana adanya Ibu dan puterinya yang diculik Ayahmu sebelas tahun yang lalu. Kalau Ayahmu telah mengganggu atau membunuh mereka, aku pasti akan membunuh Ayahmu!"

   "Hemm, siapakah nama Ibu dan anak itu?"

   Ouw Yang Lan masih bertanya untuk mendapatkan keyakinan walaupun ia sudah tahu bahwa yang dimaksudkan penawannya itu adalah Ibunya dan ia sendiri.

   "Ibu itu bernama Lai Kim dan puterinya bernama Ouw Yang Lan,"

   Jawab Song Bu.

   "Engkau tentu tahu di mana mereka sekarang, masih hidupkah atau sudah mati?"

   "Engkau ini siapa sih yang begitu memperhatikan nasib Ibu dan anak itu Siapa namamu?"

   Tanya Ouw Yang Lan.

   "Namaku Tan Song Bu,"

   Jawab Song Bu singkat dan semenjak dia merasa tidak senang dengan kedudukan Ouw Yang Lee yang bekerja sama dengan orang-orang seperti Im Yang Tosu, Tho-Te-Kong dan Cui-Beng Kui-Bo, apalagi ketika melihat Ouw Yang Lee hendak membunuh Ouw Yang Hui, Song Bu tidak ingin lagi memakai marga Ouw Yang, tidak suka menjadi anak angkat datuk yang dianggapnya terlalu keras hati dan kejam itu. Hampir saja Ouw Yang Lan berteriak ketika mendengar bahwa pemuda yang menawannya itu adalah Song Bu, Suhengnya (Kakak Seperguruannya) sendiri! Akan tetapi ia diam saja karena masih merasa jengkel ditawan dan ditelungkupkan di atas punggung kuda seperti itu, tidak berdaya sama sekali. Dara inipun diam saja, hanya cemberut.

   "Hayo jawab, di mana adanya Ibu dan anak itu sekarang?"

   Song Bu mendesak melihat gadis itu diam saja."

   "Kalau aku tidak mau menjawab engkau mau apa?"

   Tantang Ouw Yang Lan, suaranya kaku.

   "Hemm..., engkau ini sungguh seorang gadis yang keras kepala dan licik! Semua pertanyaanmu yang bertubi kujawab, akan tetapi satu saja pertanyaanku engkau tidak mau menjawab, walaupun engkau sudah berjanji. Gadis macam engkau ini patut dihajar biar bertaubat!"

   Song Bu menghentikan kudanya. Mereka masih berada di dalam hutan.

   "Kau... kau mau apa...? Ouw Yang Lan bertanya, takut juga melihat Song Bu mengangkat tubuhnya turun dari atas punggung kuda. Song Bu memondong tubuh itu dan merebahkannya telentang di bawah sebatang pohon besar.

   "Kau... mau apa kau...?"

   Kembali Ouw Yang Lan bertanya dengan muka pucat dan mata terbelalak. Akan tetapi setelah merebahkan tubuh Ouw Yang Lan dan membuat gadis itu ketakutan karena menyangka bahwa pemuda itu akan melakukan hal yang bukan-bukan, Song Bu bangkit berdiri.

   "Aku akan meninggalkan engkau di sini. Biar engkau dicabik-cabik dan dimakan harimau, atau ada ular besar yang akan membelit-belit tubuhmu dan menelanmu sedikit demi sedikit."

   "Aku tidak takut!"

   Ouw Yang Lan berkata ketus.

   "Baik, aku akan senang melihat engkau dihampiri harimau, mukamu dijilat-jilati lebih dulu sebelum leher dan dadamu dicabik cabik dan dagingmu diganyang, darahmu dijilati. Aku ingin melihat tubuhmu dibelit belit dan dihimpit ular sampai tulang-tulangmu remuk sebelum tubuhmu ditelan perlahan-lahan."

   Setelah berkata demikian, Song Bu melompat ke atas punggung kuda dan melarikan kuda itu meninggalkan Ouw Yang Lan yang masih rebah telentang di bawah pohon tidak mampu bergerak. Sebetulnya Ouw Yang Lan adalah seorang gadis pemberani yang tidak pernah mengenal takut. Akan tetapi tubuhnya yang tidak mampu digerakkan itu membuat ia merasa tidak berdaya sama sekali dan ini sedikitnya mengurangi keberaniannya. Apa lagi bila teringat akan ucapan Song Bu tadi dan tanpa disengaja ia membayangkan harimau besar yang mendekatinya.

   Lalu mendengus dan mencium-cium mukanya lalu menjilati seluruh mukanya dengan lidahnya yang kasar, besar, dan basah, kumisnya yang kasar menggelitiknya dan cakar yang runcing melengkung mencengkeram dadanya lalu merobek kulit dagingnya. la bergidik. Apa lagi ketika ia membayangkan seekor ular besar menghampiri. Tubuh ular yang licin dan dingin itu menggeleser di atas tubuhnya, menggeliat dan membelitnya, menghimpit makin lama semakin kuat sehingga ia sesak bernapas, tubuhnya terus dihimpit sampai tulang-tulangnya berkeretakan, kemudian moncong yang lebar itu menggigit dan menelan kepalanya yang masuk perlahan-lahan ke dalam perut ular! Hihh..! Kembali ia bergidik dan tak terasa lagi ia menangis! Ouw Yang Lan yang tidak pernah cengeng itu, yang berhati baja, kini menangis terisak isak.

   "Hu-huuuuuu... huuuu...!"la menangis dan air matanya membanjiri kedua pipinya tanpa la mampu menyusutinya. Tiba-tiba Song Bu muncul di situ.

   "Hem... engkau menangis ketakutan?"

   Tanya Song Bu, suaranya mengejek karena dia senang sudah dapat mematahkan kekerasan hati gadis itu dan membuatnya menangis ketakutan. Begitu melihat munculnya Song Bu, tiba-tiba saja tangis Ouw Yang Lan berhenti dan mulutnya cemberut.

   "Aku tidak takut! Bunuhlah, aku tidak takut mati!"

   Hardiknya.

   "Aku bukan orang yang begitu kejam membiarkan seorang gadis mati dimangsa binatang buas di hutan. Nah, sekarang katakanlah di mana adanya Nyonya Lai Kim dan puterinya. Setelah engkau menjawab sejujurnya, aku akan membebaskanmu dan membiarkan engkau pergi."

   Biarpun tadi ia mengalami rasa takut yang mengerikan, namun begitu Song Bu muncul, kemarahannya mengalahkan rasa takutnya dan ia berkeras tidak mau bicara tentang Lai Kim dan Ouw Yang Lan seperti yang ditanyakan pemuda itu.

   "Tidak usah bertanya kepadaku. Aku tidak dapat menjawab. Datanglah saja ke sana kalau engkau berani dan engkau akan mengetahui segala yang kau pertanyakan,"

   Jawabnya singkat.

   "Katakan saja, apakah Ibu dan anak itu masih hidup?"

   Desak Song Bu.

   "Aku tidak mau menjawab. Datang saja ke sana dan engkau akan tahu!"

   Song Bu mengerutkan alisnya.

   "Gadis kepala batu!"

   Omelnya dan dengan agak kasar diapun memondong tubuh gadis itu, membawanya ke kuda dan seperti tadi, dia menelungkupkan tubuh Ouw Yang Lan melintang di atas punggung kuda. Kemudian dia naik ke atas punggung kuda dan menjalankan kudanya dengan hati gemas.

   "Hemm, kau kira aku tidak berani datang ke rumah Ayahmu? Kau lihat saja.!"

   Song Bu bukan hanya nekat tanpa perhitungan. Dia dapat menduga bahwa Pek-In-San tentu mempunyai banyak anggauta. Akan tetapi dia tidak takut karena dia sudah menawan puteri Thai-Lek-Kui Ciang Sek! Bahkan dia dapat mempergunakan gadis itu untuk memaksa Ciang Sek mengakui di mana adanya Lai Kim dan Ouw Yang Lan.

   Peti jenazah yang berdiri di ruangan depan itu membuat suasana menjadi menyeramkan, Empat lampu gantung menerangi ruangan itu dan asap dupa yang mengepul menambah seram. Lai Kim, isteri Thai-Lek-Kui Ciang Sek duduk di atas sebuah kursi di belakang peti jenazah. Wanita yang usianya sudah empat puluh dua tahun ini masih tampak cantik dan ramping. Rambut dan pakaiannya kusut dan wajahnya tampak berduka.

   Kedukaan ini tidak dIbuat-buat. Walaupun tentu saja ia tahu bahwa suaminya hanya pura-pura mati dan kini bersembunyi di dalam kamar, tidak berada di dalam peti jenazah itu, namun tetap saja hatinya dicengkeram kekhawatiran. la tahu bahwa keselamatan nyawa suaminya, bahkan juga dirinya sendiri dan puterinya Ouw Yang Lan, terancam bahaya maut. Gui Tian, Sute Ciang Sek yang juga menjadi pembantu utama, duduk di atas sebuah kursi lain dekat peti jenazah. Di atas lantai tampak belasan orang pembantu yang ikut menjaga peti jenazah dan di sekitar tempat itu terdapat pula puluhan orang anggauta yang berjaga sambil bersembunyi. Penjagaan itu amat kuat, namun tetap saja hati Gui Tian dan para anggauta Pek-In-San selalu tegang karena mereka maklum bahwa yang mengancam Pek-In-San adalah musuh yang amat tangguh.

   Sunyi sekali malam itu. Di perkampungan sendiri, rumah-rumah para anggauta sudah ditutup semua pintu dan jendelanya dan tidak tampak seorangpun manusia di luar rumah. Suasana tegang mencekam. Semilir angin malam yang memasuki ruangan itu membuat api lampu bergoyang-goyang, menimbulkan bayang-bayang hitam bergerak menari-nari, suara kaki kuda memasuki pekarangan rumah itu membuat semua orang terbelalak. Mereka yang tadinya setengah mengantuk mendadak menjadi siap dan waspada. banyak pula yang meraba gagang golok dan pedang yang sudah dipersiapkan di punggung. Gu Tian juga bangkit berdiri dan menatap tajam ke arah pekarangan yang tampak dari ruangan depan itu. Lai Kim juga ikut berdiri dari kursinya.

   Penunggang kuda menjalankan kudanya sampai di luar ruangan depan yang menjadi ruangan berkabung itu. Sinar empat lampu dari ruangan itu menyinari muka si penunggang kuda sehingga semua orang, melihat bahwa dia seorang pemuda yang tampan dan gagah. Lai Kim cepat melihat wajah pemuda itu dengan jelas dan seperti orang dalam mimpi, kedua kakinya melangkah maju menghampiri dan matanya tak pernah berkedip menatap wajah pemuda itu. Melihat ini, Gu Tian merasa khawatir akan keselamatan Sosonya (Kakak Iparnya), maka diapun melangkah mendekatinya untuk menjaga kalau-kalau Sosonya diserang. Song Bu juga memandang wajah Lai KIm Yang cantik dan ada tahi lalatnya di pipi kiri itu. Akan tetapi dia masih meragu dan melompat turun dari atas punggung kuda. Lai Kim menghampiri dan ia melihat pula Ouw Yang Lan yang tergantung menelungkup di atas punggung kuda.

   "Kau... kau... bukankah engkau Song Bu"? Akhirnya wanita itu menegur sambi menatap wajah pemuda itu. Kini Song Bu tidak ragu-ragu lagi.

   "Subo...!'"

   Katanya sambil menghampiri dan memberi hormat kepada Lai Kim.

   
Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Bagaimana Subo dapat berada di sini?"

   Song Bu bertanya heran sambil memandang ke arah peti jenazah yang berada di ruangan itu.

   "Song Bu, mengapa Lan-ji itu? Apa yang kau lakukan terhadap Sumoimu (Adik Seperguruan) Ouw Yang Lan?"

   Wanita itu menudingkan telunjuknya ke arah gadis yang masih menelungkup melintang di atas punggung kuda. Mendengar ini Song Bu terbelalak dan menoleh ke arah gadis yang menjadi tawanannya itu. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa gadis itu adalah Ouw Yang Lan! Sekarang ada cahaya lampu menerangi wajah gadis itu dan dia kini dapat mengenal wajah Ouw Yang Lan, walaupun kini bukan kanak-kanak lagi melainkan sudah menjadi seorang gadis dewasa, namun dia masih dapat mengenal wajah yang cantik manis itu. Tahi lalat di dagu itupun masib teringat olehnya.

   "Sumoi Ouw Yang Lan...?"

   Dia berseru sambil melompat mendekati. Cepat dia menurunkan tubuh gadis itu dan membebaskan totokannya.

   "Lan-Sumoi, maafkan aku."

   Akan tetapi begitu dapat bergerak, tangan kanan Ouw Yang Lan menampar muka Song Bu dan pemuda itupun tidak mengelak atau menangkis.

   "Plakk...!!"

   Pipi kiri Song Bu menjadi merah terkena tamparan itu.

   "Lan-ji"!"

   Lai Kim menegur puterinya dan Ouw Yang Lan menghampiri Ibunya.

   "Ibu, dia hendak membunuh Ayah Ciang Sek!"

   Kata gadis itu. Kembali Song Bu terkejut bukan main.

   "Ayahmu...? Engkau menjadi anak Thai-Lek-Kui Ciang Sek?"

   Tentu saja Song Bu menjadi heran sekali.

   "Subo, apa artinya semua ini?"

   Dia memandang ke arah peti jenazah.

   "Dan siapa yang meninggal dunia ini?"

   "Ini adalah peti jenazah Thai-Lek-Kui Ciang Sek, suamiku,"

   Kata Lai Kim Sambil mengamati wajah pemuda itu.

   "Dia sudah mati dan... dan... Subo menjadi isterinya? Bagaimana pula ini...?"

   Song Bu semakin bingung mendengar bahwa Subonya (Ibu Gurunya) itu telah menjadi isteri Thai-Lek-Kui Ciang Sek yang dahulu menculiknya.

   "Panjang ceritanya, Song Bu. Marilah masuk dan aku akan menceritakan semua ini kepadamu."

   Nyonya itu memberi isyarat agar Song Bu ikut masuk ke ruangan sebelah dalam. Song Bu memandang kepada Ouw Yang Lan dan kebetulan gadis inipun sedang memandang kepadanya. Melihat pemuda itu memandang, Ouw Yang Lan membuang muka dan cemberut. Song Bu lalu mengikuti mereka masuk ke dalam dan Gu Tian juga mengikuti mereka. Akan tetapi setelah mereka berada di ruangan sebelah dalam Lai Kim berkata kepada Gu Tian dengan lembut.

   "Gui-te (adik Gui), maafkan aku. Kuminta agar engkau suka menjaga peti jenazah di luar dan membiarkan aku dan Lan-ji bicara bertiga dengan Tan Song Bu."

   Gu Tian yang sudah berpengalaman itu cukup bijaksana. Dia sebetulnya belum tahu siapa pemuda yang bernama Tan Song Bu itu, akan tetapi melihat sikap Lai Kim, dia dapat menduga bahwa hubungan antara Ibu dan anak itu dengan pemuda itu tentu dekat sekali dan mereka tentu akan membicarakan hal-hal yang tidak boleh diketahui orang luar. Dia mengangguk lalu keluar lagi dari ruangan itu, duduk menjaga peti mati di ruangan depan. Lai Kim mempersilakan Song Bu duduk dan mereka bertiga duduk menghadapi sebuah meja Bundar.

   "Nah, sekarang kita dapat bicara dengan leluasa. Song Bu, sebelum aku bercerita, lebih dulu ceritakanlah apa yang telah terjadi antara engkau dan Lan-ji tadi."

   Kata Lai Kim sambil memandang kepada anaknya dan Song Bu. Song Bu melirik kepada Ouw Yang Lan dan melihat gadis itu masih cemberut. Dia berkata lirih,

   "Subo, sebaiknya kalau Lan-Sumoi yang menceritakan."

   Ouw Yang Lan mengerling kepadanya dan berkata ketus,

   "Tidak, engkau saja boleh melapor kepada Ibu."

   Song Bu menahan senyumnya. Gadis itu agaknya menduga bahwa dia tentu akan melaporkan semua perbuatan gadis itu terhadap dirinya tadi.

   "Begini, Subo. Saya memang bermaksud untuk berkunjung ke Pek-In-San untuk menemui Thai-Lek-Kui setelah saya mendengar bahwa dahulu, Thai-Lek-Kui Ciang Sek membantu Tok-Gan-Houw Lo Cit menyerbu Pulau Naga dan menculik Subo berdua dan kedua adik Ouw Yang Lan dan Ouw Yang Hui. Saya bermaksud untuk membalas dendam dan bertanya di mana adanya Subo dan adik Ouw Yang Lan. Ketika saya melakukan perjalanan mendaki pegunungan ini, tiba-tiba muncul Lan-Sumoi yang menotok dan merobohkan saya, Saya tidak mengenalinya karena cuaca remang-remang. Akan tetapi saya berhasil membebaskan totokan itu dan berbalik saya yang menawannya. Karena ia mengaku sebagai puteri Thai-Lek-Kui Ciang Sek, maka saya menawannya untuk memaksa Ciang Sek mengakui di mana adanya Subo dan Lan-Sumoi. Sungguh mati saya sama sekali tidak tahu bahwa yang saya tawan itu bukan lain adalah Lan-Sumoi sendiri. Baru saya ketahui setelah saya bertemu dengan Subo."

   Setelah berkata demikian Song Bu kembali melirik ke arah Ouw Yang Lan dan dia melihat gadis itu memandang kepadanya dan wajah itu tidak cemberut lagi, bahkan Bibir yang manis itu agak tersenyum. Agaknya hati gadis itu senang mendengar bahwa dia tidak menceritakan kepada Ibu gadis itu betapa Ouw Yang Lan tadi telah menawannya dan menyiksanya dengan menyeretnya.

   "Aku tadi sudah menduga bahwa orang yang kutawan itu tentu Suheng Tan Song Bu. Karena aku yakin bahwa dia datang diutus Ayah Ouw Yang Lee untuk membunuh Ayah Ciang Sek, Ibu dan aku sendiri, dan bahwa dialah orangnya yang meninggalkan tapak kaki, maka aku menawannya dan hendak membawanya ke sini untuk dihukum. Tidak kusangka dia dapat membebaskan diri dari totokanku dan berbalik menawanku."

   Gadis itu bicara kepada Ibunya, akan tetapi Song Bu merasa bahwa gadis itu memberi alasan kepadanya mengapa gadis itu tadinya menyiksanya. Hal itu dilakukan karena Ouw Yang Lan mengira bahwa dia akan membunuh keluarga itu termasuk Ouw Yang Lan dan Ibunya! Kini dia mengerti mengapa gadis itu bertindak begitu kejam kepadanya. Lai Kim memandang kepada Song Bu dengan sinar mata penuh selidik.

   "Song Bu, benarkah engkau hendak membunuh Ciang Sek, aku dan Ouw Yang Lan? Engkaukah yang kemarin malam datang ke sini dan meninggalkan tapak kaki yang dalam itu?"

   "Saya tidak pernah datang ke sini sebelum ini, Subo. Dan tentang niat membunuh itu. Sesungguhnya saya memang hendak membalas dendam kepada Ciang Sek yang sudah menyerbu Pulau Naga dan menculik Subo dan adik Ouw Yang Lan. Akan tetapi dia sudah mati dan ternyata Subo malah menjadi isterinya."

   "Nah, dengarlah ceritaku, Song Bu. Ketika aku dan Ibu Gurumu Sim Kui Hwa diculik bersama dua orang anak kami, aku memang dilarikan oleh Ciang Sek. Ditengah perjalanan aku dan Lan-ji berhasil meloloskan diri ketika Ciang Sek pergi mencari air. Walaupun dia memperlakukan kami dengan baik, akan tetapi kami melarikan diri untuk pulang ke Pulau Naga. Akan tetapi ketika kami melarikan diri, kami ditangkap oleh tiga orang penjahat yang berniat jahat dan mesum kepada kami. Ciang Sek muncul menolong kami dan membunuh tiga orang penjahat itu. Terpaksa kami mengikutinya ke Pek-In-San. Ternyata kemudian bahwa dia memperlakuan kami dengan hormat dan baik sekali. sikapnya jauh lebih baik dari pada sikap Ouw Yang Lee yang selalu keras terhadap kami. Ciang Sek bahkan mengundang Guru sastra dan mengajarkan silat kepada Ouw Yang Lan, dan dia bersikap menghargai dan lembut kepadaku. Karena dia seorang duda maka dia berterus terang meminangku. Akupun menerima pinangannya dan kami menjadi suami isteri. Dia memperlakukan Ouw Yang Lan seperti anak kandungnya sendiri. Kami berdua menikmati kehidupan yang lebih tenteram dan berbahagia di sini dibandingkan dengan kehidupan kami ketika berada di Pulau Naga. Sampai sebelas tahun kami hidup di sini dengan bahagia sampai datangnya malapetaka sepuluh hari yang lalu ketika tiba-tiba saja muncul Ouw Yang Lee dan dia berkeras hendak membunuhku. Saat itu Lan-ji sedang tidak berada di rumah dan andaikata ia ada, mungkin ia juga akan menjadi sasaran kemarahan Ouw Yang Lee. Suamiku, Ciang Sek, membelaku dan dia lalu berkelahi melawan Ouw Yang Lee. Dia berhasil mengusir Ouw Yang Lee yang pergi sambil mengancam akan datang lagi membunuh kami. Mereka berdua sama-sama menderita luka dalam yang cukup parah."

   "Kalau aku berada di rumah ketika itu, tentu aku akan melawan Ayah Ouw Yang Lee yang jahat dan kejam itu!"

   Kata Ouw Yang Lan dengan gemas. Akan tetapi dia Ayah kandungmu sendiri, Lan-moi!"

   Kata Song Bu terkejut.

   "Biarpun Ayah kandungku sendiri, kalau dia hendak membunuh Ibuku, dia jahat dan harus kutentang!"

   Song Bu menghela napas panjang, diapun sudah lama menyadari bahwa Gurunya itu bukan seorang datuk yang berwatak baik.

   Dulupun dia hendak membunuh Sim Kui Hwa pada hal wanita itu ingin kembali pulang ke Pulau Naga. Sim Kui Hwa malah dianggap menyeleweng dengan laki-laki lain dan Ouw Yang Lee berkeras hendak membunuhnya. Kemudian Ouw Yang Lee juga bermaksud membunuh Ouw Yang Hui, anaknya sendiri. Di samping itu, masih ada kenyataan lain. Ouw Yang Lee menghambakan dirinya kepada Thaikam Liu Cin yang dia tahu benar merupakan seorang pembesar yang mempunyai niat jahat. Buktinya dia diperintahkan membunuh keluarga Pangeran Cheng Sin dan juga menyuruh para jagoannya yang lain untuk melakukan pembunuhan terhadap pejabat tinggi dan bangsawan yang menentang kekuasaannya. Selain itu, Ouw Yang Lee juga menjadi rekan orang-orang berhati iblis seperti para jagoan yang menjadi pembantu Thaikam Liu Cin.

   "Ternyata Ouw Yang Lee tidak berhenti sampai di situ saja. Kemarin malam rumah kami kedatangan orang tanpa dapat diketahui para penjaga dan orang itu meninggalkan tapak kaki. Kau lihat di sana itu, bahkan dalam ruangan inipun dia meninggalkan tapak kaki yang dalam. Ini merupakan tanda ancaman bagi kami, Nyawa kami sekeluarga berada dalam ancaman maut."

   Song Bu bangkit dari kursinya dan menghampiri tapak kaki yang terdapat di sudut ruangan. Dia terkejut melihat tapak kaki yang jelas itu di atas lantai batu, Tapak itu demikian dalamnya dan hal, itu hanya dapat dilakukan seorang yang memiliki sinkang yang amat kuat. Dia kembali duduk dan menghela napas panjang.

   (Lanjut ke Jilid 19)

   Sepasang Rajah Naga (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 19

   "Suhu memang kejam sekali. Bahkan Subo Sim Kui Hwa ketika itu, beberapa hari setelah diculik juga kembali ke Pulau Naga diantar seorang pendekar Siauw-Lim-Pai. Akan tetapi Suhu bahkan berkeras hendak membunuhnya. Untung ada pendekar Siauw-Lim-Pai yang membela dan mengalahkan Suhu sehingga Subo Sim Kui Hwa luput dari bahaya maut dan akhirnya pergi meninggalkan Pulau karena diusir oleh Suhu. Dan sekarang saya lihat Thai-Lek-Kui Ciang Sek..., eh, suami Subo... telah meninggal dunia. Tentu karena luka-lukanya bertanding melawan Suhu Ouw Yang Lee."

   "Song Bu, aku bukan Subomu lagi. Aku bukan isteri Ouw Yang Lee lagi, karena itu jangan sebut aku Subo. Aku adalah isteri Thai-Lek-Kui Ciang Sek. Engkau boleh sebut aku Bibi, kalau engkau suka."

   "Baiklah, maafkan saya, Bibi."

   "Song Bu, aKuilah terus terang secara jujur karena aku tadi mendengar ucapanmu seolah engkau tidak menyetujui sikap tindakan Ouw Yang Lee. Andaikata suamiku Ciang Sek masih hidup, apakah engkau juga berkeras hendak membunuhnya?"

   "Kalau engkau hendak membunuh Ayahku, engkau harus bunuh aku lebih dulu."

   Kata Ouw Yang Lan dengan sikap galak, sepasang matanya yang indah itu mencorong menatap wajah Song Bu. Song Bu menghela napas dan menggeleng kepalanya.

   "Tadinya memang aku bermaksud untuk membunuhnya karena menganggap dia jahat menyerbu Pulau Naga dan menculik Subo eh, Bibi dan sumoi Ouw Yang Lan. Akan tetapi setelah ternyata dia menjadi suami Bibi dan Ayah Lan-moi yang baik, tentu saja saya tidak akan memusuhinya. Akan tetapi untuk apa semua ini dibicarakan kalau sekarang dia sudah meninggal dunia?"

   "Bu-Suheng,"

   Kata Ouw Yang lan.

   "Andaikata engkau berada di sini ketika Ayah Ouw Yang Lee hendak membunuh Ibu dan aku, apa yang akan kau lakukan? Apakah engkau akan membantu dia untuk membunuh Ibu, aku, dan Ayah Ciang Sek?"

   Dengan spontan Song Bu menggeleng kepalanya,

   "Tidak, sama sekali tidak bahkan aku akan menentang dan mencegahnya."

   "Hemm, benarkah itu? Beranikah engkau bersumpah?"

   Desak Ouw Yang Lan.

   "Lan-ji...!"

   Lai Kim menegur.

   "Biarlah, Ibu. Aku ingin yakin bahwa Bu-Suheng benar-benar akan membela kita dan menentang Ayah Ouw Yang Lee."

   "Aku bersumpah akan menentang Suhu Ouw Yang Lee kalau dia berkeras hendak membunuh Bibi dan Lan-sumoi."

   "Juga kalau dia hendak membunuh Ayah Ciang Sek?"

   Kejar Ouw Yang Lan.

   "Tapi... tapi... dia sudah meninggal dunia..."

   Kata Song Bu terheran.

   "Tidak perduli, berjanjilah!"

   "Juga kalau dia hendak membunuh Paman Ciang Sek, aku akan menentangnya,"

   Kata Song Bu, masih terheran-heran. Tiba-tiba muncul Ciang Sek dari balik pintu ruangan itu dan berkata dengan lantang.

   "Bagus! Aku sudah, mendengar sumpahmu dan aku percaya kepadamu, orang muda yang gagah."

   Song Bu terkejut bukan main dan melompat bangkit dari kursinya dan berdiri memandang laki-laki gagah perkasa yang telah berdiri di depannya. Melihat Song Bu berdiri dan memandang kepadanya dengan kaget dan heran, Ciang Sek tertawa dan memperkenalkan diri.

   "Orang muda, ketahuilah, aku yang bernama Thai-Lek-Kui Ciang Sek, ketua Pek-In-San."

   "Akan tetapi... Song Bu terbelalak dan menoleh ke arah pintu ruangan itu yang menembus ke ruangan depan.

   ..."peti... jenazah itu?"

   "Itu adalah siasat kami,"

   Kata Ciang Sek.

   "Duduklah, orang muda, aku percaya kepadamu dan akan menceritakan tentang siasat itu."

   Mereka duduk kembali dan Ciang Sek lalu bercerita.

   "Sepuluh hari yang lalu dalam pertandingan mengadu tenaga sakti melawan Ouw Yang Lee, aku menderita luka keracunan karena pukulan tangan merahnya."

   "Ang-Tok-Ciang (Tangan Racun Merah)!"

   Seru Song Bu.

   "Benar. Ouw Yang Lee juga terluka, akan tetapi lukanya tidak beracun. Selama sepuluh hari aku mengobati lukaku dan sekarang sudah sembuh sama sekali. Akan tetapi kemarin malam muncul tapak-tapak kaki itu di rumah kami. Engkau lihat sendiri. Tapak kaki itu hanya dapat dIbuat oleh seorang yang lihai sekali, yang memiliki sinkang yang dahsyat. Ini tentu buatan orang yang ada hubungannya dengan Ouw Yang Lee. Aku lalu mengatur siasat ini, siasat yang hanya diketahui oleh kami sekeluarga yang tiga orang ini dan su-te Gu Tian saja. Bahkan para anak buahku tidak ada yang tahu bahwa ini hanya siasat dan mereka mengira bahwa aku benar-benar sudah tewas akibat perkelahian sepuluh hari yang lalu."

   "Akan tetapi kenapa harus menggunakan siasat ini, Paman?"

   Orang yang meninggalkan tapak kaki itu tentu amat lihai. Aku tidak sanggup menandinginya secara terbuka. Karena itu aku terpaksa menggunakan siasat ini. Kalau dia datang dan melihat peti jenazahku lalu merasa puas melihat aku mati dan pergi, kami terhindar dari bahaya maut. Andaikata dia nekat hendak mengganggu isteri dan anakku, kami akan, melawan mati-matian dan aku sudah mempersiapkan semua anak buahku yang berjumlah kurang lebih seratus orang."

   "Kalau Suheng Tan Song Bu mau membantu menghadapi musuh, kita tidak perlu takut, Ayah,"

   Kata Ouw Yang Lan.

   "Lan-ji, bagaimana mungkin Song Bu dapat membantu kita? Yang memusuhi kita adalah Ouw Yang Lee, Gurunya sendiri!"

   "Aku juga puteri kandungnya, akan tetapi aku menentangnya karena dia jahat. Pula, Bu-Suheng sudah bersumpah akan menentang Ayah Ouw Yang Lee kalau dia hendak membunuh keluarga kita,"

   Kata Ouw Yang Lan. Song Bu mengangguk dan berkata,

   "Lan-sumoi benar. Saya akan menentang Suhu Ouw Yang Lee kalau dia dan teman-temannya hendak membunuh Paman, Bibi,dan Lan-sumoi."

   "Terima kasih, Song Bu!"

   Seru Lai Kim dengan girang. Terima kasih, Bu,Suheng dan maafkan sikapku tadi terhadapmu!"

   Kata pula Ouw Yang Lan dengan gembira sekali.

   "Aku juga berterima kasih sekali padamu, Song Bu. Sekarang, siasat ini harus dilanjutkan seperti. yang telah direncanakan. Lan-ji, undang Gu-Sute kesini."

   Ouw Yang Lan lalu membuka pintu dan keluar dari ruangan itu sambil menutupkan kembali pintu ruangan sehingga kemunculan Cang Sek dalam ruangan itu tidak terlihat Orang lain. Tak lama kemudian ia masuk kembali bersama Gu Tian. Orang tinggi kurus ini bernapas lega melihat Suhengnya duduk bersama Song Bu dan tampak akrab. Tadinya dia sudah merasa khawatir kalau-kalau pemuda itu mempunyai niat buruk terhadap keluarga Suhengnya.

   "Duduklah, Sute. Kita akan membicarakan rencana siasat kita selanjutnya dan mari kuperkenalkan dengan Tan Song Bu yang sudah siap memperkuat kedudukan kita dan membantu kita."

   Setelah berkenalan mereka lalu mengadakan perundingan, kemudian Ciang Sek masuk bersembunyi lagi dalam kamarnya dan Song Bu keluar menyamar, sebagai seorang anak buah Pek-In-San, berjaga di ruangan berkabung menjaga peti jenazah bersama Gu Tian dan para pembantu lainnya. Malam itu ternyata tidak terjadi apa-apa. Tidak ada gangguan seperti yang dikhawatirkan. Song Bu dan Gu Tian masih duduk berjaga di ruangan itu. Lai Kim dan Ouw Yang Lan sudah pergi mengaso dalam kamar mereka. Song Bu dan Gu Tian juga mengaso sambil duduk bersila. Mereka berdua sudah terlatih mengaso seperti itu sebagai gantinya tidur. Sinar matahari, mulai menerangi tanah dan tak lama kemudian ruangan berkabung itu sudah dimasuki cahaya matahari.

   Lampu-lampu gantung sudah dipadamkan oleh para penjaga. Sepasang lilin besar masih bernyala di atas meja sembahyang di depan peti jenazah. Asap dupa masih mengepul dan baunya memenuhi, ruangan,bau harum yang khas. Para penjaga yang bertugas jaga di pintu gerbang perkampungan itu menjadi waspada ketika melihat seorang Kakek menghampiri pintu gerbang, Mereka memandang penuh perhatian. Kakek itu sudah tua, sedikitnya tujuh puluh tahun usianya, bertubuh tinggi kurus sehingga mukanya seperti tengkorak terbungkus kulit. Rambut kumis dan jenggotnya sudah putih semua. Jalannya agak terbongkok-bongkok dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat bambu kuning. Kakek itu bukan lain adalah Tho-Te-Kong! Ketika Ouw Yang Lee terluka karena bertanding melawan Thai-Lek-Kui Ciang Sek,

   Dia maklum bahwa seorang diri dia tidak akan mampu membunuh Lai Kim, apalagi membunuh Ciang Sek. Maka dia lalu mengundang rekannya yang sakti, iyalah Tho-Te-Kong. Tho-Te-Kong adalah seorang datuk sesat yang berwatak aneh. Ketika diminta tolong Ouw Yang Lee untuk membunuh Ciang Sek sekeluarga, dia tidak mau melaksanakan begitu saja. Sebagai seorang datuk besar, dia ingin lebih dulu menggertak membikin takut hati calon korbannya, Maka dia lalu mempergunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi, memasuki rumah itu tanpa diketahui orang dan meninggalkan tapak kaki di lantai rumah itu dengan mengerahkan sinkang dan membuat kakinya menginjak lantai sampai amblas dan meninggalkan tapak kaki yang dalam. Setelah itu, barulah dua hari kemudian, pada pagi hari itu, dia datang berkunjung ke perkamp"ngan Pek-In-San.

   Tindakan ini untuk menunjukkan bahwa dia seorang datuk besar yang berani, membiarkan musuh yang diancamnya untuk bersiap siap menghadapi penyerbuannya. dan Ketika dia tiba di pintu gerbang dia melihat belasan orang anak buah Pek in-san menyambutnya dengan golok telanjang di tangan, diapun tersenyum mengejek. Dia senang karena musuh telah melakukan persiapan. Dia akan membasmi mereka semua. Lebih banyak lebih baik akan lebih memuaskan hatinya. Sambil tersenyum dia melangkah terbongkok-bongkok menghampiri sekelompok orang yang memandang kepadanya dengan sinar mata curiga itu. Para penjaga itu merasa curiga karena tidak mengenal Kakek itu, walaupun Kakek yang tua itu tidak tampak berbahaya dan bahkan tampak seperti orang tua yang lemah berpenyakitan.

   "Kakek tua, apakah engkau hendak datang melayat?"

   Tanya komandan jaga. Tho-Te-Kong mengerutkan alisnya dan memandang heran.

   "Melayat? Apakah ada yang mati di perkampungan ini?"

   "Engkau datang dari manakah?"

   "Apakah engkau belum mendengarnya?"

   Tho-Te-Kong menyeringai, senang mempermainkan para penjaga yang sebentar lagi mungkin akan menjadi korban pembantaiannya itu.

   "Aku datang dari jauh sekali, kebetulan lewat di sini dan ingin mengunjungi Thai-Lek-Kui Ciang Sek. Bukankah dia ketua dari Pek-In-San ini?"

   "Justeru ketua kami Thai-Lek-Kui Ciang Sek yang meninggal dunia, Kek. Peti jenazahnya masih berada di ruangan berkabung kalau engkau ingin melayat dan memberi penghormatan terakhir."

   Tho-Te-Kong membelalakkan matanya.

   "Apa..? Dia mati..? Akan tetapi kenapa?"

   Kepala jaga itu meragu untuk bercerita tentang sebab kematian ketuanya yang tadinya bertanding melawan musuh. Dia sakit sejak belasan hari yang lalu, kemarin dulu meninggal dunia.

   "Ah-ah, menyesal dan mengecewakan sekali. Aku harus melayat, harus bersembahyang di depan peti matinya!"

   Katanya dan terbongkok-bongkok dia memasuki pintu gapura. Para penjaga itu tidak menarik curiga dan membiarkan Kakek tua renta itu menuju ke rumah induk tempat tinggal keluarga ketua mereka. Tho-Te-Kong tiba di ruangan berkabung, Dia memandang ke arah peti jenazah dan hatinya merasa kecewa sekali. Tidak ada gunanya dia menggertak. Ternyata Thai-Lek-Kui Ciang Sek telah tewas. Tentu telah terluka ketika bertanding melawan Ouw Yang Lee. Membunuh keluarganya tidak ada artinya baginya, tidak ada harganya. Membunuhi orang-orang lemah tidak perlu menggunakan tangannya. seolah menggunakan golok besar untuk membunuhi banyak tikus.

   Munculnya Tho-Te-Kong mengejutkan hati Song Bu. Dalam pakaian seorang anggauta biasa dari Pek-In-San, dia tidak akan khawatir akan dikenali oleh Kakek itu. kini dia mengerti bahwa Gurunya, Ouw Yang Lee, agaknya minta bantuan Tho-Te-Kong untuk menghadapi Thai-Lek-Kui Ciang Sek. Dia dapat menduga bahwa Kakek inilah yang telah meninggalkan tapak kaki di dalam rumah Ciang Sek. Dia tahu betapa lihainya Tho-Te-Kong sebagai jagoan nomor satu dari Thaikam Liu Cin. Gu Tian adalah seorang kangOuw Yang sudah berpengalaman. Tidak seperti para anak buah yang melakukan penjagaan di pintu gerbang tadi, dia sama sekali tidak memandang rendah kepada Kakek tua renta itu. Dia tetap menaruh curiga. Tho-Te-Kong tidak memperdulikan orang-orang yang berada di tempat itu. Dia lalu menghampiri peti jenazah sambil melangkah memutari meja sembahyang.

   "Ciang Sek... kenapa engkau keburu mati dan tidak menunggu kedatanganku?"

   Tho-Te-Kong mengeluh dan tangan kirinya menepuk-nepuk peti jenazah itu dari atas sampai ke bawah. Gu Tian menyalakan tiga batang hioswa (dupa biting) dan menghampiri, Tho-Te-Kong.

   "Paman yang baik, apakah Paman ingin bersembahyang?"

   Tanyanya sambil menyerahkan tiga batang hioswa itu.

   Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Sembahyang? Oh-ho-ho, sembahyang? Ya baik, aku akan memberi penghormatan terakhir kepada jenazah Thai-Lek-Kui!"

   Dia menerima tiga batang hioswa itu lalu berdiri di depan meja sembahyang yang berada di depan peti jenazah. Setelah mengacung-acungkan tiga batang hioswa itu, dia lalu menggerakkan tangannya dan tiga batang dupa biting itu meluncur dan menancap ke atas peti! Biting-biting yang kecil dan lemah itu dapat menancap ke atas peti jenazah yang tebal, sungguh ini merupakan demonstrasi tenaga sakti yang amat kuat.

   "Heh-heh-heh, tenang-tenanglah engkau di neraka, Thai-Lek-Kui!"

   Tho-Te-Kong berkata lalu membalikkan tubuhnya dan terbongkok-bongkok dibantu tongkat bambu kuningnya meninggalkan ruangan itu dan keuar dari dalam rumah, terus keluar dari perkampungan itu.

   Gu Tian memberi isyarat kepada anak buahnya untuk tidak mengganggu Kakek itu dan membiarkan pergi. Setelah, mendapat laporan dari para penjaga di pintu gerbang perkampungarn bahwa Kakek aneh itu benar-benar telah pergi jauh dan tidak tampak lagi, barulah Gu Tian dan Song Bu mendekati peti. Pada saat itu, Ouw Yang Lan dan Ibunya juga keluar dari kamar mereka memasuki ruangan berkabung dan menghampiri peti jenazah. Gu Tian memberi perintah kepada para pembantu yang berada di ruangan itu agar keluar dari ruangan. Kini hahya tinggal Gu Tian, Song Bu, Ouw Yang Lan dan Lai KIm Yang berada di dekat peti jenazah. Ouw Yang Lan memandang ke arah tiga batang hioswa yang menancap peti jenazah itu dengan mata terbelalak. Juga Gu Tian memandang dan menggeleng-geleng kepalanya.

   "Bukan main lihainya Kakek itu. Dapat melontarkan tiga batang hioswa ini sampai menancap di peti kayu yang begini keras, sungguh hebat!"

   Sementara itu Song Bu meraba-raba peti jenazah dan dia berkata,

   "Berbahaya sekali...! Ouw Yang Lan dan Gu Tian cepat menengok kepadanya.

   "Apa yang kau maksudkan, Suheng?"

   "Tapak-tapak jari ini..."

   Kata Song Bu sambil meraba-raba peti jenazah.

   "Jari Pelumat Tulang ini tentu menghancurkan semua isi peti jenazah tanpa merusak petinya."

   Ouw Yang Lan dan Gu Tian ikut meraba raba dan setelah diraba baru terasa oleh mereka betapa ada lekukan-lekukan halus pada permukaan peti jenazah. Sementara itu Lai Kim hanya memandang dengan muka pucat karena hatinya merasa ngeri.

   "Jari Pelumat Tulang?"

   Tanya Ouw Yang Lan.

   "Benar. Dengan rabaan jari-jari saja, ilmu itu dapat meremukkan tulang dalam tubuh tanpa merusak kulit dan daging. Andaikata peti ini ada jenazahnya, maka dengan rabaan tadi, jenazah di dalamnya akan hancur tanpa merusak petinya."

   "Hebat...! Keji sekali! Benarkah apa yang kau katakan Itu, Song Bu?"' Tiba-tiba Ciang Sek sudah berada di ruangan itu, Dia memang bersemuunyi dalam sebuah kamar yang menembus ruangan depan itu.

   Thai-Lek-Kui Ciang Sek menghampiri peti jenazah dan diapun ikut meraba- raba.

   "Benar, Paman. Aku yakin bahwa batu bata yang Paman taruh di dalam peti tentu sudah hancur semua,"

   Kata Song Bu yang sudah mendengar keterangan Ciang Sek bahwa peti jenazah itu diisi dengan bata-bata sebagai pengganti dirinya. Ciang Sek lalu memegang tutup peti yang sudah terpaku rapat itu, mengerahkan tenaganya. Dia berjuluk Thai-Lek-Kui (Iblis Bertenaga Besar), Terdengar suara keras dan tutup peti itu terbuka, semua pakunya ikut tercabut. Kini semua orang menjenguk ke dalam peti dan wajah mereka, kecuali Song Bu, berubah pucat dan mata mereka terbelalak. Benar seperti yang dikatakan Song Bu, semua batu bata dalam Peti jenazah itu telah hancur seperti dipukuli martil besi!

   "Gu-Sute, tutup lagi peti ini. Kita harus menguburnya hari ini juga!"

   Kata Thai-Lek-Kui Ciang Sek dan suaranya mengandung kecemasan. Dia maklum bahwa Kakek yang datang berkunjung tadi adalah seorang yang memiliki kesaktian yang tidak akan terlawan olehnya walaupun dibantu Ouw Yang Lan dan Gu Tian sekalipun. Dia merasa seolah, kematian telah tergantung di atas kepalanya. Setelah Gu Tian menutup peti dan memakunya kembali sehingga rapat, mereka berlima lalu duduk untuk berunding. Melihat betapa Ciang Sek, Lai-Kim, dan Ouw Yang Lan tampak gelisah sekali, Song Bu berkata dengan nada suara menghIbur.

   "Paman Ciang Sek, saya kira tidak perlu dikhawatirkan sekali akan ancaman orang itu. Bagaimanapun juga, dia hanyalah seorang manusia dan dengan menyatukan tenaga, kukira kita akan dapat menandinginya."

   Suheng, tahukah engkau siapa Kakek itu?"

   Tanya Ouw Yang Lan.

   "Aku kenal baik siapa dia, sumoi. Dia berjuluk Tho-Te-Kong (Malaikat Bumi) dan Tak pernah mengatakan siapa namanya. Pada waktu ini dia merupakan jagoan dan pembantu utama dari Thaikam Liu Cin."

   "Ahh! Jadi diakah yang berjuluk Tho-Te-Kong yang puluhan tahun yang lalu pernah menggegerkan dunia selatan?"

   Seru Thai-Lek-Kui Ciang Sek dengan kaget.

   "Dan dia menjadi pembantu Thaikam Liu Cin yang jahat, korup dan berkuasa besar di Kotaraja itu?"

   "Bu-Suheng, bagaimana engkau dapat mengenal baik Kakek itu?"

   Tanya Ouw Yang Lan. Song Bu menghela napas. Dia belum menceritakan keadaan dirinya kepada Ouw Yang Lan dan Ibunya. Sekarang dia harus menceritakannya karena dia sudah mengambil keputusan untuk membela mereka.

   "Sumoi, sudah hampir setahun Suhu mengajak aku ke Kotaraja dan kami diterima sebagai semacam pengawal oleh Thaikam Liu Cin. Kemudian datang Tho-Te-Kong itu dan seorang nenek berjuluk Cui-Beng Kui-Bo yang juga diterima sebagai pembantu. Tentu saja kedudukan mereka berdua itu menjadi terpenting karena keduanya memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Sekarang Tho-Te-Kong agaknya membantu Suhu Ouw Yang Lee karena mereka masih rekan sepekerjaan."

   "Hemm, Song Bu. Aku melihat bahwa sikap dan sepak terjangmu seperti seorang pendekar. Mengapa engkau menghambakan diri kepada Thaikam Liu Cin yang dibenci oleh semua tokoh dunia kangOuw Yang bersih?"

   "Itulah yang menyebabkan saya menjauh kan diri, Paman. Saya terpaksa karena ikut dengan Suhu. Akan tetapi melihat sepak terjang Suhu dan terutama sekali karena menjadi kecewa dan tidak ingin lagi membantu. Itulah salah satu sebab mengapa saya meninggalkan Kotaraja."

   "Engkau mengatakan tadi bahwa kita dapat menandingi Tho-Te-Kong. Benarkah itu dan bagaimana caranya?"

   Tanya Ciang Sek. Saya pernah disuruh menguji kepandainnya dan memang dia amat tangguh,Paman. Terutama sekali tenaga sinkangnya, amat kuat. Tidak mengherankan kalau dia mampu meninggalkan tapak kaki di lantai batu dan dapat memukul hancur isi peti jenazah tanpa merusak petinya. Akan tetapi, kalau kita satukan tenaga, saya yakin dapat menandingi dia. Selain saya,dan-sumoi, Paman sendiri dan Paman Gu Tian masih ada seratus lebih anak buah Pek-In-San. Dengan kekuatan kita ini, saya kira akan dapat menandingi Tho-Te-Kong dan Suhu Ouw Yang Lee, sekiranya dia juga muncul."

   "Bagus kalau begitu. Ucapanmu membesarkan hati kami, Song Bu dan kami sangat bergantung kepada bantuanmu. Aku mengerti betapa berat bagi perasaanmu harus menentang Guru sendiri dan untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih."

   

Pendekar Tongkat Liongsan Karya Kho Ping Hoo Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini