Ceritasilat Novel Online

Sepasang Rajah Naga 21


Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 21



"Tidak perlu berterima kasih, Paman. Saya berdiri di antara Suhu Ouw Yang Lee dan Bibi Lai Kim bersama sumoi Ouw Yang Lan. Karena saya melihat bahwa dalam pertentangan ini pihak Suhu Ouw Yang Lee yang jahat dan bersalah, maka tentu saja saya membela sumoi dan Ibunya. Saya tidak mau terseret dan melakukan kekejaman dan kejahatan seperti yang dilakukan Suhu."

   "Ah, terima kasih, Song Bu. Engkau sungguh seorang anak yang baik dan engkau telah menyelamatkan nyawa kami,"

   Kata Lai Kim dengan suara terharu.

   "Bibi, belum tentu kalau saya dapat menyelamatkan Bibi sekeluarga. Bahkan mungkin saya sendiri akan menjadi korban kekejaman mereka. Yang penting dalam keadaan seperti ini, kita bersatu melawan mereka."

   "Apa yang dikatakan Song Bu benar sekali. Sekarang kita harus mengatur begini. Gu-Sute, kita bawa peti jenazah ke tanah kuburan hari ini juga. Aku dan Song Bu akan menyamar sebagai anak buah dan kerahkan semua anak buah untuk mengantar peti jenazah dan suruh semua orang bersiap-siap menghadapi pertempuran besar. Juga persiapkan sepasukan anak panah,pasukan tombak, pasukan pedang dan pasukan golok secara berlapis sehingga dapat melakukan pengeroyokan secara terukur kalau sampai terjadi perkelahian. Di tempat terbuka seperti tanah kuburan itu, kita dapat melakukan pengeroyokan dengan leluasa dan dapat mempersatukan tenaga. Andaikata tidak terjadi sesuatu di sana mungkin pihak musuh sudah merasa puas mengira aku telah mati. Namun, kita tetap waspada dan kalau tidak ada penyerangan kita kembali ke perkampungan dan membuat penjagaan yang sangat kuat agar jangan sampai kecolongan dan ada yang memasuki rumah ini tanpa ketahuan seperti kemarin malam. Nah, buatlah persiapan, kerahkan semua anak buah, kita bawa peti jenazah ke tanah kuburan dan menguburnya, sekarang juga."

   "Baik, Suheng."

   Gu Tian lalu keluar dari ruangan itu. Semua orang membuat persiapan. Ciang Sek yang oleh semua anak buahnya pun dikira sudah mati, lalu menyamar dengan memasang kumis dan jenggot palsu tambahan pada mukanya. Song Bu juga menyamar sebagai anak buah Pek-In-San. Gu Tian memerintahkan anak buahnya untuk berkumpul dan menbuat persiapan untuk mengangkut peti jenazah ke tanah kuburan dan agar mereka semua siap dengan perlengkapan bertempur karena mungkin mereka akan diserang musuh. Dia maklum bahwa sekali ini mereka menghadapi lawan yang, amat sakti, maka dia membuat persiapan yang kuat. Dipersiapkannya pasukan panah, pasukan tombak, pasukan golok dan pasukan. pedang yang akan berjaga dan mengawal pemakaman itu secara berlapis. Setelah semua siap, pada siang hari itu juga berangkatlah semua anak buah Pek-In-San mengawal peti jenazah ke pemakaman.

   Yang tinggal di perkampungan hanya para wanita dan kanak-kanak. Gu Tian sendiri yang mengawal para anak buah Pek-In-San itu. Thai-Lek-Kui Ciang Sek sendiri, Song Bu dan Ouw Yang Lan mengikuti dari belakang dengan sembunyi-sembunyi. Peti jenazah digotong sampai ke tanah kuburan dan diturunkan di atas tanah dekat lubang yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Ketika Gu Tian membuat persiapan untuk melakukan up?cara sembahyang terakhir di tanah kuburan sebelum peti jenazah dimasukkan lubang, muncul Kakek tinggi kurus yang membawa tongkat bambu kuning itu. Kemunculan Tho-Te-Kong Sungguh mengejutkan semua orang karena dia muncul begitu saja. Juga Ciang Sek, Song Bu dan Ouw Yang Lan yang mengikuti rombongan Itu dari belakang, terkejut melihat Kakek tinggi kurus itu tahu-tahu berada di dekat peti jenazah yang diletakkan di atas tanah.

   "Thai-Lek-Kui..., akhirnya engkau akan menjadi makanan cacing tanah jugal."

   Terdengar suara nyaring dan munculah Tung-Hai-Tok Ouw Yang Lee. Majikan Pulau Naga yang biarpun usianya sudah hampir, enam puluh tahun namun masih gagah perkasa dengan tubuhnya yang tinggi besar itupun muncul di situ dengan cepatnya, berlari mendaki lereng itu bagaikan terbang saja cepatnya. Dia berdiri di samping Tho-Te-Kong.

   "Ho-ho-ho, sebelum dikubur, aku ingin melihat dulu bagaimana macamnya orang yang berjuluk Thai-Lek-Kui itu!"

   Kata Tho-Te-Kong dan sekali tangan kirinya bergerak ke arah peti, terdengar suara keras dan tutup peti itu terlepas dan terlempar ke atas tanah sehingga peti jenazah terbuka dan semua anak buah Pek-In-San dapat melihat isi peti.

   Semua mata terbelalak dan semua mulut mengeluarkani seruan kaget ketika mereka melihat isi peti jenazah. Bukan jenazah Thai-Lek-Kui yang berada dalam peti jenazah melainkan tumpukan batu bata yang sudah hancur! Juga Ouw Yang Lee dan Tho-Te-Kong memandang heran. Mereka tadinya mengira akan melihat jenazah, Thai-Lek-Kui yang rusak oleh serangan pukulan Tho-Te-Kong. Tahulah mereka bahwa Thai-Lek-Kui belum tewas dan bahwa kematian itu hanyalah sebuah sandiwara belaka. Pada saat itu, berlapis-lapis anggauta Pek-In-San bergerak mengepung dua orang itu. Ciang Sek, Song Bu dan Ouw Yang Lan juga muncul dari belakang pasukan. Para anak buah Pek-In-San yang tadinya terheran heran, kini merasa girang melihat kenyataan bahwa ketua mereka sebetulnya tidak tewas. Ouw Yang Lee ketika melihat Song Bu berdiri di sebelah Thai-Lek-Kui Ciang Sek dan seorang gadis cantik, menjadi marah.

   "Song Bu, kenapa engkauu berada di sini bersama musuh besarku? Hayo engkau ke sini dan membantuku menghadapi mereka!"

   Song Bu menggeleng.

   "Suhu. Saya tidak bisa memusuhi Paman Ciang Sek."

   Mendengar Song Bu menyebutnya Suhu, bukan Ayah, Ouw Yang Lee menjadi semakin marah.

   "Bedebah busuk engkau! Murid durhaka manusia tidak mengenal budi! Kalau aku tidak menyelamatkanmu, ketika engkau berusia tiga tahun engkau sudah menjadi mangsa ikan-ikan hiu! Kemudian aku merawat dan mendidikmu, bahkan mengangkatmu menjadi anak, dan seperti ini balasanmu? Engkau malah memihak musuhku? Keparat jahanam engkau"

   Ouw Yang Lee menudingkan telunjuknya kepada pemuda itu. Mendengar ucapan itu, Song Bu merasa terdesak dan dia hanya menundukkan mukanya yang berubah kemerahan. Ucapan datuk itu memang ada benarnya dan harus dia akui bahwa selama ini Ouw Yang Lee bersikap baik sekali kepadanya.

   Datuk itu benar-benar mencintanya dan kalau dingat, dia sudah berhutang banyak budi kepada Ouw Yang Lee. Akan tetapi melihat kenyataan bahwa Ouw Yang Lee dan Ibunya hidup berbahagia sebagai anak dan isteri Ciang Sek, bagaimana mungkin dia dapat membantu Gurunya untuk memusuhi mereka? Sejak munculnya Ouw Yang Lee tadi, Ouw Yang Lan sudah memandang Ayah kandungnya itu dengan sinar mata mencorong marah. Dia marah dan membenci Ayahnya bukan hanya karena Ayahnya berusaha untuk membunuh Ayah tirinya, melainkan terutama sekali karena Ouw Yang Lee hendak membunuh Ibunya. Lebih-lebih lagi mendengar cerita Song Bu bahwa Ouw Yang Lee juga berusaha membunuh Ouw Yang Hui dan Ibunya. la menganggap Ayah kandungnya itu amat kejam dan keras hati.

   "Ouw Yang Lee, engkau munusia berhati kejam. Apakah engkau ingin membunuh aku juga?"

   Tanya Ouw Yang Lan sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Majikan Pulau Naga itu. Ouw Yang Lee memandang gadis itu dengan penuh perhatian dan sepasang alisnya yang tebal berkerut.

   "Hemm, siapakah engkau?"

   "Manusia kejam, engkau tidak mengenal anakmu sendiri!"

   Teriak Ouw Yang Lan. Ouw Yang Lee terbelalak,

   "Engkau... Ouw Yang Lan?"

   Mukanya menjadi merah.

   "Dan engkau menyebut namaku begitu saja, tidak mengakui aku sebagai Ayah kandungmu?"

   "Engkau sendiri hendak membunuh kedua Ibuku, hendak membunuh adik Ouw Yang Hui, mungkin akan membunuh aku pula. Apakah aku harus mengakui iblis seperti engkau menjadi Ayahku? Tidak, aku tidak sudi menyebut Ayah padamu"

   Ouw Yang Lan memang seorang gadis yang keras hati dan galak sekali. Mungkin kekerasan hatinya tidak kalah dibandingkan Ayahnya, walaupun ia condong memihak yang benar dan sama sekali tidak memiliki watak jahat seperti Ayah kandungnya. Ouw Yang Lee menjadi marah bukan main.

   "Keparat! Engkaupun harus mati di tanganku!"

   "Engkau yang akan mati di tanganku manusia busuk!"

   Ouw Yang Lan balas membentak, tak kalah ketusnya, sambil mencabut pedang Lo-Thian-Kam dari punggungnya. Pada saat itu Gu Tian sudah memberi aba-aba kepada pasukan panah. Belasan orang yang sudah siap dengan busur dan panahnya lalu mementang busur dan melepas anak panah ke arah Ouw Yang Lee dan Tho-Te-Kong. Dua orang datuk sakti ini menggunakan kedua lengan mereka untuk menangkisi hujan anak panah. Ouw Yang Lan melompat ke depan dan lang?ung menyerang Ouw Yang Lee dengan pedangnya. Ouw Yang Lee terkejut. Serangan anaknya itu hebat dan dahsyat sekali, sama sekali tidak boleh dipandang ringan. memang pada saat itu, tingkat kepandaian Ouw Yang Lan sudah hampir menyamai Ayah tirinya. Ouw Yang Lee cepat mencabut pedangnya dan menangkis sambil mengerahkdan tenaga saktinya.

   "Tranggg...!"

   Dua batang pedang terpental dan bunga api berpijar. Ouw Yang Lee semakin kaget. Ternyata Ouw Yang Lan juga memiliki tenaga sinkang yang cukup kuat sehingga mampu menandinginya. Pada saat itu, pasukan tombak sudah menyerbu dan membantu Ouw Yang Lan mengeroyok Ouw Yang Lee. Sementara itu, maklum akan kelihaian Kakek yang dikenal baik oleh Song Bu sebagai Tho-Te-Kong, pemuda itu memberi isyarat kepada Ciang Sek dan keduanya langsung menyerbu dan menyerang Tho-Te-Kong. Song Bu menggunakan sebatang pedang dan langsung dia menyerang dengan jurus-jurus ilmu pedang Coat-Beng Tok-Kiam, sedangkan Ciang Sek menyerang dengan pedang pula, menggunakan ilmu pedang Lo-Thian Kiam-Sut. Menghadapi serangan pedang dua orang itu, Tho-Te-Kong tidak berani memandang rendah. Dia melihat betapa gerakan pedang kedua orang penyerangnya itu amat dahsyat.

   Dia lalu memutar tongkat bambu kuningnya dan mengerahkan tenaga sinkang untuk menangkis. Kedua pedang terpental ketika bertemu tongkat bambu kuning. Akan tetapi Song Bu dan Ciang Sek bersikap hati-hati, menggunakan keringanan tubuh mereka untuk menyerang dari dua jurusan dan tidak memberi kesempatan kepada Kakek itu untuk menangkis pedang mereka. Mereka menghindarkan mengadu kekuatan. Sementara itu, pasukan pedang yang terdiri dari belasan orang sudah pula membantu mereka mengeroyok Tho-Te-Kong. Ouw Yang Lee dan Tho-Te-Kong mengamuk. Mereka berdua maklum bahwa mereka terjebak dan dikepung puluhan orang anak buah Pek-In-San. Mereka berdua berhasil merobohkan beberapa orang anak buah Pek-In-San yang mengeroyok, akan tetapi mereka sendiri terdesak hebat.

   Pengeroyokan Song Bu dan Ciang Sek ditambah belasan orang anak buah yang nekat itu membuat Tho-Te-Kong repot juga. Yang lebih repot adalah Ouw Yang Lee. Menghadapi Ouw Yang Lan seorang dia masih mampu menandingi bahkan mendesak. Akan tetapi Gu Tian maju menyerbu dan membantu gadis itu, ditambah belasan orang pasukan tombak yang juga dibantu pula beberapa orang pasukan golok. Ouw Yang Lee terdesak hebat dan terpaksa dia harus sering menghindarkan diri menjauhi Ouw Yang Lan dan Gu Tian. Diapun sudah merobohkan beberapa orang anak buah Pek-In-San, akan tetapi dia sendiri terdesak hebat dan maklumlah dia bahwa kalau dilanjutkan, tentu dia akan terluka dan celaka. Ouw Yang Lee merasa menyesal dan penasaran sekali. Sama sekali tidak disangkanya bahwa dia akan dibikin repot oleh puterinya sendiri!

   Juga dia marah sekali melihat betapa Song Bu bahkan membela Ciang Sek, musuh besarnya. Kini mengertilah dia bahwa isterinya, Lai Kim, agaknya telah diperisteri penculiknya sendiri. Diperisteri Thai-Lek-Kui Ciang Sek dan Ouw Yang Lan menjadi anak tirinya dan juga muridnya. Benar-benar dia merasa penasaran sekali. Sinar pedang di tangan Ouw Yang Lan menyambar ke arah lehernya. Cepat bukan main sehingga dia tidak sempat menangkis karena pada saat itu pedangnya menangkis beberapa batang tombak dan pedang di tangan Gu Tian. Terpaksa dia mengelak, namun gerakannya kurang cepat sehingga ujung pedang di tangan Ouw Yang Lan sempat melukai dan merobek baju di pundaknya berikut kulit pundak sehingga berdarah. Ouw Yang Lee mengeluarkan suara gerengan marah, tubuhnya berputar cepat dan kakinya menendang roboh dua orang anak buah Pek-In-San.

   "Tho-Te-Kong, kita pergil"

   Teriak Ouw Yang Lee dan dia memutar pedangnya sambil mendesak ke arah anak buah Pek-In-San. Anak buah Pek-In-San mundur dan kesempatan itu dipergunakan Ouw Yang Lee untuk melompat jauh dan melarikan diri. Melihat ini, Tho-Te-Kong juga memutar tongkatnya sehingga senjata itu berubah menjadi sinar kuning, mendesak ke arah para anggauta Pek-In-San. Beberapa orang anggauta Pek-In-San roboh terkena sambaran sinar kuning itu dan terpaksa mereka mundur berpencar. Tho-Te-Kong tertawa mengejek dan tubuhnya melesat jauh mengejar larinya Ouw Yang Lee yang menuruni lereng dengan cepat sekali.

   "Jangan kejar!"

   Seru Ciang Sek yang tidak ingin kehilangan lebih banyak anak buah lagi. Ouw Yang Lan hendak mengejar, akan tetapi lengannya dipegang Song Bu.

   "Jangan kejar, Lan-moi. Kakek Tho-Te-Kong itu berbahaya sekali, bukan lawanmu."

   Ouw Yang Lan memandang tangan pemuda itu yang memegang lengannya Song Bu baru menyadari bahwa tangannya masih memegang lengan gadis itu, seolah-olah jari-jari tangannya enggan untuk melepaskan lengan yang lembut lunak namun kuat itu. Setelah melihat betapa Ouw Yang Lan menatap tangannya, barulah dia sadar dan cepat dia melepaskan lengan itu.

   Thai-Lek-Kui Ciang Sek memerintahkan anak buahnya untuk mengurus belasan anak buahnya yang tewas atau terluka, kemudian dia mengajak Song Bu dan Ouw Yang Lan untuk pulang. Gu Tian memimpin anak buahnya untuk mengurus para korban itu. Lai Kim menyambut tiga orang itu dengan gembira sekali. Wajahnya masih tampak pucat, tanda bahwa kepergian mereka tadi membuat ia merasa gelisah sekali karena maklum bahwa mereka terancam oleh musuh yang amat lihai dan berbahaya. Ternyata kini suami dan anaknya pulang dalam keadaan selamat. mereka lalu merayakan peristiwa ini dengan pesta kecil. Gu Tian yang dianggap sebagai keluarga sendiri juga hadir dan mereka berempat duduk makan minum di ruangan makan. Setelah selesai makan minum, mereka duduk bercakap-cakap di ruangan dalam dan Lai Kim menyatakan kekhawatirannya.

   "Hatiku masih tetap merasa gelisah. Hari ini kita masih untung karena ada Song Bu di sini yang membela, akan tetapi bagaimana kalau kelak Ouw Yang Lee dan kawan-kawannya datang lagi untuk melaksanakan niat jahatnya membunuh kita?"

   "Jangan khawatir. Kukira Ouw Yang Lee tidak akan begitu sembrono untuk datang mengganggu lagi. Dia sudah gagal dua kali dan biasanya, orang yang sudah gagal dua kali tidak akan begitu bodoh mengulangi lagi kekalahannya. Selain itu, aku akan siap siaga, memperkuat penjagaan, memasang jebakan-jebakan sehingga tidak akan mudah orang mendaki Pek-In-San, betapa pandaipun dia,"

   Kata Ciang Sek menghIbur hati isterinya.

   "Kukira Paman Ciang Sek benar, Bibi. Saya mengenal siapa Kakek yang lihai tadi Dia adalah Tho-Te-Kong,"

   Kata Song Bu.

   "Karena dia sIbuk di Kotaraja sebagai pembantu utama Thaikam Liu Cin, saya kira dia tidak akan begitu banyak waktu dan leluasa untuk membantu Suhu Ouw Yang Lee menyerbu ke sini."

   Thai-Lek-Kui Ciang Sek terkejut.

   "Tho-Te-Kong? Diakah datuk besar yang terkenal amat sakti itu? Pantas dia begitu lihai Akan tetapi, bagaimana dia yang terkenal angkuh itu mau membantu Ouw Yang Lee?"

   "Hal itu tidak mengherankan, Paman Ciang Sek. Suhu Ouw Yang Lee adalah juga seorang pembantu Thaikam Liu Cin, bahkan lebih dulu dari Tho-Te-Kong. Mereka adalah rekan sepekerjaan, sama-sama pembantu Thaikam Liu Cin. Tentu Suhu Ouw Yang Lee minta bantuan Tho-Te-Kong. Akan tetapi kegagalan ini tentu membuat Tho-Te-Kong enggan untuk membantu lagi. Selain itu, mereka tidak mungkin dapat berlama-lama meninggalkan tugas mereka di Istana Thaikam Liu Cin."

   Ciang Sek mengangguk-angguk.

   "Hemm, jadi mereka bekerja untuk Thaikam Liu in? Pantas kalau begitu. Thaikam Liu Cin adalah seorang pembesar yang berkuasa di Istana, dia yang mempengaruhi Kaisar sehingga kekuasaannya besar sekali. kabarnya bahkan pembesar itu menyingkirkan banyak saingannya di Kotaraja."

   "Hal itu memang benar sekali, Paman."

   "Dan engkau sendiri, Suheng?"

   Tanya Ouw Yang Lan. Song Bu memandang sumoinya dan menghela napas.

   "Terus terang saja, aku diajak Suhu meninggalkan Pulau Naga untuk bekerja kepada Thaikam Liu Cin di Kotaraja. Tadinya aku juga seorang di antara para pembantunya. Akan tetapi kemudian aku melihat betapa jahatnya pembesar itu. Dia menggunakan orang-orang pandai untuk menyingkirkan dan membunuh para bangsawan dan pejabat tinggi lain yang tidak mau tunduk kepadanya. Dan aku melihat pula bahwa para datuk yang membantunya adalah orang-orang kangouw dari golongan sesat seperti Im Yang Tojin yang mengkhianati Im-Yang-Kauw, Hek Pek Moko sepasang manusia iblis yang amat kejam dan jahat itu, Giam Tit yang menjadi kepala pengawal Thaikam Liu Cin, kemudian muncul dua orang datuk besar itu, iyalah Tho-Te-Kong dan Cui-Beng Kui-Bo. Karena merasa tidak suka dan tidak cocok, aku mengambil kesempatan ketika diutus Suhu untuk mencari adik Ouw Yang Hui, meninggalkan mereka dan aku mengambil keputusan untuk tidak kembali kepada Thaikam Liu Cin. Apalagi setelah peristiwa di sini bahwa secara terang-terangan aku menentang Suhu Ouw Yang Lee dan Tho-Te-Kong."

   "Suheng, apakah engkau sudah bertemu dengan adik Ouw Yang Hui dan Ibu Sim Kui Hwa?"

   Tanya Ouw Yang Lan.

   "Aku belum bertemu dengan Subo Sim Kui Hwa, akan tetapi aku sudah dapat menduga di mana kira-kira ia berada dan aku akan pergi mencarinya. Aku mendapat keterangan ketika aku berkunjung ke Houw-San, tempat tinggal Tok-Gan-Houw Lo Cit dan anak buahnya."

   "Hemm, engkau ke sana juga, Suheng? Aku juga datang dan berhasil membunuh Lo Cit!"

   Kata Ouw Yang Lan.

   "Ah, jadi engkaukah gadis yang katanya membunuh Lo Cit? Aku juga datang ke sana ketika mayat Lo Cit masih berada dalam peti mati. Tentu engkau sudah mendapat keterangan dari mereka di mana adanya Hui-moi dan Ibunya."

   Ouw Yang Lan menggeleng kepalanya.

   "Aku mengancam Lo Cit akan tetapi di mengatakan tidak tahu, lalu aku membunuhnya dan pergi meninggalkan tempat itu."

   Kata Ouw Yang Lan.

   "Dan dari siapa engkau mendengar tentang adik Hui dan Ibunya Suheng?"

   "Aku mendengar dari anak buahnya, juga sebelumnya Subo Sim Kui Hwa pernah kembali ke Pulau Naga."

   "Ceritakanlah dengan sejelasnya Suheng. Lebih dulu tentang lbu Sim Kui Hwa,"

   Kata Ouw Yang Lan dan Ibunya juga mendengarkan dengan hati tertarik.

   "Beberapa hari setelah terjadi penculikan atas dirimu, Hui-moi dan kedua Subo, Subo Sim Kui Hwa kembali ke Pulau Naga diantar oleh seorang pendekar Siauw-Lim-Pai bernama Gan Hok San. Maksud Subo Sim Kui Hwa tentu saja untuk pulang ke Pulau Naga dan pendekar Gan Hok San adalah orang yang telah menolongnya dari tangan Lo Cit. Akan tetapi Suhu Ouw Yang Lee bukan saja tidak mau menerima Subo Sim Kui Hwa, bahkan dia berkeras hendak membunuhnya karena cemburu. Gan Hok San melindungi Subo Sim Kui Hwa sehingga terjadi perkelahian antara dia dan Suhu Ouw Yang Lee. Akhirnya Suhu Ouw Yang Lee kalah dan Subo Sim Kui Hwa yang tidak diterima pulang ke Pulau Naga lalu meninggalkan Pulau dikawal oleh Gan Hok San. Semenjak itu sampai sekarang, sudah sebelas tahun lewat, aku tidak mendengar beritanya dari anak buah Lo Cit, aku yakin bahwa Subo Sim Kui Hwa tentu dapat ditemukan kalau aku dapat mencari Gan Hok San. Tentu dia tahu di mana adanya Subo Sim Kui Hwa."

   "Engkau benar, Suheng. Kalau begitu peristiwanya, maka satu-satunya jalan untuk mencari Ibu Sim Kui Hwa hanyalah menemukan dan bertanya kepada Gan Hok San. Kalau dia itu tokoh Siauw-Lim-Pai maka jalan termudah adalah mencari keterangan ke Kuil Siauw-Lim-Pai di mana adanya tokoh itu."

   "Ya, memang jalan itu yang akan kutempuh untuk mencari Subo Sim Kui Hwa,"

   Kata Song Bu.

   "Lalu bagaimana tentang adik Ouw Yang hui?"

   "Aku sudah bertemu dengan Hui-moi, baru beberapa pekan yang lalu di Kotaraja, la juga kini telah menjadi seorang gadis dewasa, Lan-moi."

   "Hui-ji di Kotaraja? Bagaimana keadaannya? Apakah ia terpisah dari Ibunya?"

   Tanya Sim Kui Hwa yang ikut mendengarkan dengan penuh perhatian.

   "Bibi, saya bertemu dengan Hui-moi di rumah pelesir."

   "Ahh?? Apakah kau hendak mengatakan bahwa Hui-moi telah menjadi... menjadi..."

   Ouw Yang Lan tidak sampai hati untuk melanjutkan kata-katanya.

   "Tidak, Lan-moi, untung sekali tidak, Hui-moi sama sekali tidak menjadi gadis penghIbur meskipun ia diangkat anak oleh pengelola rumah hIburan itu."

   "Suheng, mau apa engkau berkeliaran ke rumah pelesir?"

   Tiba-tiba Ouw Yang Lan memotong dan suaranya mengandung teguran.

   "Lan-ji...!"

   Sim Kui Hwa menegur. Pertanyaan puterinya itu dianggapnya tidak sopan.

   "Tidak. mengapa, Bibi. Pertanyaan Lan-moi itu wajar saja. Akan tetapi, Lan-moi, aku tidak pernah bermain dan berkeliaran ke rumah pelesir. Aku hanya satu kali pergi ke sana, itupun untuk mengawal Sribaginda Kaisar yang berkunjung ke rumah pelesir Pintu Merah di kota Nam-Po, tak jauh dari Kotaraja."

   "Sribaginda Kaisar? Beliau berkunjung rumah pelesir?"

   Tanya Ciang Sek terheran-heran. Memang luar biasa sekali kalau Kaisar berkunjung ke sebuah rumah pelesir.

   "Sebenarnya peristiwanya begini. Di seluruh kota Nam-Po, bahkan sampai ke Kotaraja tersiar berita bahwa di rumah pelesir Pintu Merah, di Nam-Po, terdapat seorang gadis yang luar biasa. la Puteri Cia-Ma pengelola rumah pelesir Pintu merah, terkenal dengan nama julukan Siang Bi Hwa. Siang Bi Hwa dikabarkan orang sebagai seorang gadis secantik bidadari yang tidak pernah mau melayani pria, biar diberi selaksa tail sekalipun. la pandai sekali bermain Yang-kim dan meniup suling, juga pandai bersajak dan bernyanyi. Karena tertarik oleh berita ini, pada suatu hari Sribaginda Kaisar, dengan menyamar tentu saja, mengajak aku untuk mengawalnya pergi berkunjung ke rumah pelesir itu. Siang Bi Hwa tidak pernah mau menemui pria, akan tetapi para tamu diperbolehkan menonton ia bermain musik dan bernyanyi di taman, ditonton dari pintu belakang. Nah, Sribaginda Kaisar berkunjung untuk menonton ia bermain musik dan bernyanyi itulah. Akupun selama hidupku baru sekali itu me?gunjungi sebuah rumah pelesir, Lan-moi."

   "Aku dapat menduga lanjutan ceritamu, Suheng! Tentu Siang Bi Hwa itu bukan lain adalah adik Ouw Yang Hui, bukan?"

   Kata Ouw Yang Lan.

   "Dugaanmu tepat, Lan-moi. Begitu aku melihat gadis itu, aku segera mengenalnya. Akan tetapi aku diam saja dan baru lain hari aku berkunjung seorang diri ke rumah pelesir Pintu Merah dan menemuinya. Dan memang benar ia adalah adik Ouw Yang Hui. la menceritakan pengalamannya. Ketika ia terculik bersama Ibunya dibawa pergi Lo Cit, ia dipisahkan dari Ibunya dibawa pergi seorang anak buah Lo Cit. Dalam perjalanan, anak buah Lo Cit itu dIbunuh oleh dua orang penjahat lain. Kemudian oleh dua orang penjahat itu, la dijual kepada Cia-Ma yang selanjutnya Cia-Ma mengambilnya sebagai anak. Menurut Hui-moi, ia diperlakukan dengan baik sekali dan penuh kesayangan, diberi pendidikan sastra dan seni sehingga setelah besar ia pandai menulis sajak, menyanyi, menari dan memainkan Yang-kim dan suling. Bahkan menurut Hui-moi, Cia-Ma tidak menyuruh ia melayani pria, bahkan melarang pria manapun mengganggunya. Cita-cita Cia-Ma bahkan hendak menjodohkan Hui-moi dengan seorang laki-laki bangsawan yang terhormat dan bijaksana."

   "Kasihan Hui-ji..."

   Kata Lai Kim.

   "Tidak kasihan, Ibu. Bahkan adik Hui memperoleh pengalaman yang aneh luar biasa sekali, bahkan boleh dibilang ia beruntung sekali dijual kepada seorang seperti Cia-Ma itu. Kemudian bagaimana, Suheng?"

   "Aku menceritakan tentang pertemuanku dengan Hui-moi kepada Suhu Ouw Yang Lee. Aku sungguh merasa menyesal setelah menceritakan hal itu. Di luar tahuku, Suhu Ouw Yang Lee pergi berkunjung ke rumah pelesir Pintu Merah di Nam-Po, lalu mengamuk. Dia membunuh Cia-Ma dengan orang-orangnya, dan hendak membunuh Hui-moi."

   "Jahat sekali! Aku malu mempunyai Ayah sejahat itul"

   Ouw Yang Lan berteriak.

   "Jangan berpendapat demikian dulu, Lan-ji. Mungkin saja Ouw Yang Lee merasa malu mendengar puterinya menjadi anak angkat seorang pemilik rumah hIburan,"

   Kata Ciang Sek.

   "Tidak, Ayah. Aku sekarang yakin bahwa dia benar-benar seorang yang amat kejam dan jahat. Tidak saja dia bertekad untuk membunuh kedua orang isterinya, bahkan juga bertekad membunuh kedua orang anaknya! Teruskan, Suheng. Lalu bagaimana?"

   "Suhu bercerita kepadaku bahwa dia gagal membunuh Hui-moi karena ditolong seorang pemuda dan dia sendiri tidak tahu entah kemana perginya Hui-moi. Yang jelas, Hui-moi selamat dan tidak terbunuh."

   "Syukurlah kalau Hui-ji selamat!"

   Kata Lai Kim sambil menghela napas lega.

   "Akan tetapi entah bagaimana dengan nasib adik Sim Kui Hwa. Aku khawatir akan keadaannya."

   "Aku juga merasa girang bahwa Hui-moi dapat terlepas dari ancaman maut. Akan tetapi kita tidak tahu ke mana ia pergi dan siapa pemuda yang menolongnya. Jangan-jangan dia seorang yang jahat pula. Betapa banyaknya orang jahat di dunia ini."

   Kata Ouw Yang Lan.

   "Suheng, apa... apakah sekarang engkau akan kembali ke Kotaraja dan bekerja sama dengan Ouw Yang Lee mengabdi kepada Thaikam Liu Cin?"

   Song Bu mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya.

   "Tidak, aku tidak akan kembali ke sana. Kalau aku kembali ke Kotaraja, tentu aku tidak akan lagi bekerja untuk Thaikam Liu Cin, melainkan untuk Sribaginda Kaisar. Bahkan aku akan membongkar semua rahasia busuk Liu Cin yang membunuhi banyak pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar."

   "Lalu kemana engkau hendak pergi setelah meninggalkan tempat ini?"

   Ouw Yang Lan mengejar.

   "Aku hendak mencari Hui-moi dan Subo eh... Bibi Sim Kui Hwa...!"

   "Bagus! Cocok sekali denganku! Ibu, Ayah, aku akan pergi dan ikut Suheng untuk mencari Ibu Sim Kui Hwa dan adik Ouw Yang Hui!"

   Ada sesuatu dalam nada suara puterinya itu yang meyakinkan hati Lai Kim bahwa tidak mungkin ia melarang niat gadis yang keras hati itu. Apa lagi kalau perginya puterinya itu bersama Song Bu yang memiliki kelihaian dan dapat dipercaya.

   "Hemm, ke manakah engkau hendak mencari mereka?"

   Tanya pula Lai Kim.

   "Nanti dulu, aku akan mengambil kertas dan alat tulis!"

   Kata gadis itu yang sudah melompat dan lari meninggalkan ruangan itu. Tentu saja tiga orang itu menjadi heran dan saling pandang. Mereka sama sekali tidak dapat menduga apa maksud gadis itu mengambil kertas dan alat tulis! Ouw Yang Lan memasuki ruangan itu kembali dan ia sudah membawa dua lembar kertas dan dua mouw-pit (pena bulu). la memberikan sehelai kertas dan pena bulu kepada Song Bu sedangkan ia sendiri memegang sehelai kertas dan sebatang pena bulu.

   "Nah, Suheng. Engkau tuliskan jawaban pertanyaan Ibu tadi. Kemana engkau hendak mencari adik Ouw Yang Hui dan Ibunya."

   Aku sendiripun akan menuliskan jawabanku di atas kertas ini dan nanti kita buat perbandingan."

   Ciang Sek tertawa.

   
Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ah, kiranya ingin melihat jawaban siapa yang paling tepat. Baik, kalian tulislah dan nanti aku yang

   membacanya dan menjadi wasitnya untuk menentukan siapa yang lebih tepat jawabannya. Song Bu juga tersenyum. Diapun ingin mengetahui pendapat gadis itu ke mana mereka harus mencari Ouw Yang Hui dan Ibunya. Maka diapun lalu duduk menghadapi meja di sudut ruangan itu agar terpisah dari Ouw Yang Lan. Mereka berdua menulis di meja masing-masing. Mereka menyelesaikan tulisan mereka hampir berbareng.

   "Serahkan kepadaku, akan kubacakan!"

   Kata Ciang Sek gembira sedangkan isterinya hanya tersenyum melihat ulah puterinya. Dua orang muda itu lalu menyerahkan tulisan mereka kepada Ciang Sek.

   "Aku akan membacakan tulisan Lan-ji lebih dulu,"

   Katanya sambil membaca tulisan gadis itu dengan suara lantang.

   "Karena tidak diketahui ke mana Hui-moi pergi yang tidak meninggalkan jejak, maka yang harus dicari lebih dulu adalah lbu Sim Kui Hwa dan untuk mencarinya, harus diketahui di mana adanya Gan Hok San, Untuk mencarinya harus ditanyakan kepada Kuil Siauw-Lim-Si di Sung-San."

   Song Bu memandang kepada gadis itu dengan mata terbelalak heran. Ciang Sek kini berkata.

   "Sekarang akan kubacakan tulisan Song Bu."

   Lalu dengan lantang diapun membaca.

   "Belum tahu Hui-moi pergi ke mana maka lebih dulu mencari Bibi Sim Kui Hwa dengan menanyakan kepada Kuil Siauw-Lim-Si di Sung-San di mana tinggalnya Pendekar Gan Hok San."

   Lai Kim tertawa dan menutupi mulutnya dengan tangan.

   "Aneh, hanya kata-katanya yang berbeda akan. tetapi maksudnya sama!"

   Ouw Yang Lan tersenyum.

   "Ini menunjukkan bahwa aku dan Suheng harus bekerja sama dan tentu akan berhasil menemukan lbu Sim Kui Hwa. Setelah dapat menemukan Ibu Sim Kui Hwa barulah kami berdua akan mencari adik Ouw Yang Hui sampai dapat. Bukankah begitu, Suheng?"

   Song Bu hanya mengangguk. Tidak dapat dia membantah bahwa gadis itu memang cerdik dan juga memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup tinggi dan tangguh. Pula dia harus mengakui banwa dia merasa kagum terhadap sumoinya ini yang kini telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan gagah perkasa. Akan tetapi, diam diam dia membandingkan Ouw Yang Lan dengan Ouw Yang Hui dan diapun harus mengakui bahwa hatinya telah terlebih dahulu tercuri oleh kelembutan dan kejelitaan Ouw Yang Hui.

   "Ibu, Ayah, aku ingin pergi bersama Suheng mencari Ibu Sim Kui Hwa dan adik Ouw Yang Hui. Tentu Ibu dan Ayah menyetujui, bukan?"

   Ouw Yang Lan bertanya kepada mereka, walaupun dia yakin bahwa mereka pasti tidak akan menghalanginya.

   "Tadinyapun engkau sudah pergi sendiri mencari mereka. Kalau sekarang pergi bersama Song Bu, tentu saja hatiku lebih merasa tenang. Pergilah dan mudah-mudahan kalian dapat menemukan adik Sim Kui Hwa dan Ouw Yang Hui dalam keadaan selamat."

   "Engkau pergilah dengan Song Bu, Lan-Ji. Akan tetapi dalam segala hal, taatilah petunjuk Song Bu dan jangan sembrono, jangan asal nekat mengandalkan keberanian dan kekerasan hati. Ingat, di dunia kangouw banyak sekali terdapat orang-orang jahat yang lihai dan berbahaya sekali. Peristiwa yang baru saja terjadi harap kau jadikan sebagai pelajaran dan membuatmu berhati-hati. Mudah-mudahan kalian berhasil dan kalau engkau pulang ke sini, berhati-hatilah. Kami akan memasang ranjau dan jebakan. Pergunakanlah jalan rahasia yang hanya diketahui kita bertiga dengan Pamanmu Gu Tian. Mempergunakan jalan lain amat berbahaya, engkau dapat terperangkap jebakan yang berbahaya."

   "Baiklah, Ayah,"

   Jawab Ouw Yang Lan. akan tetapi hati Ciang Sek masih khawatir sehingga.

   keberangkatan sepasang orang muda itu ditunda sampai besok, dan malam itu Ouw Yang Lan dan Song Bu disuruh melihat dan mempelajari peta bukit Pek-In-San untuk mengetahui di mana yang akan dipasangi jebakan-jebakan untuk mencegah masuknya orang-orang yang mempunyai niat buruk terhadap Pek-In-San. Melihat perangkap-perangkap itu, Song Bu sendiri rasa ngeri. Sungguh amat berhaya dan sedikit saja orang salah langkah dapat menyebabkan kematian yang mengerikan. Pada keesokan harinya, dua orang muda itu berangkat meninggalkan Pek-In-San. Song Bu membawa buntalan pakaiannya dan Ouw Yang Lan juga membawa sebuah buntalan yang terisi pakaiannya dan bekal uang emas dan perak secukupnya. Gadis itu tampak gagah dengan pakaiannya yang ringkas, di punggungnya tergantung pedang Lo-Thian-Kam pemberian Ayah tirinya.

   Gadis yang suka memakai pakaian serba putih dan kadang serba merah muda itu, kini mernakai pakaian merah muda. Pedang di punggungnya sebagian tertutup buntalan pakaian berwarna kuning. Tubuhnya yang padat tampak montok, akan tetapi pinggangnya ramping sehingga bentuk tubuhnya indah sekali. Ditambah kulitnya yang putih mulus membuat gadis ini tampak cantik jelita dan gagah menarik. Song Bu juga tampak gagah. Tubuhnya tinggi besar dan Kokoh, membayangkan tenaga yang kuat. Pakaiannya seperti biasa, mewah terbuat dari Sutera halus yang mahal. Pedangnya juga tergantung dipunggung, tertutup buntalan pakaiannya. Dua orang muda itu tampak serasi sekali. Pantas untuk menjadi Kakak beradik, atau pantas pula untuk menjadi pasangan kekasih. Dengan langkah tegap keduanya menuruni lereng, keluar dari perkampungan Pek-In-San,

   Diantar sampai ke pintu gerbang perkampungan oleh Ciang Sek, Lai Kim dan Gu Tian. Sementara itu, pada hari itu juga para anak buah Pek-In-San sIbuk mulai membuat dan memasang ranjau dan jebakan sehingga Pek-In-San menjadi sebuah tempat yang akan sukar sekali diserbu musuh. Selain pemasangan perangkap-perangkap, juga mulai hari itu penjagaan selalu diperketat dan setiap saat pasti ada anak buah yang berjaga dan meronda sehingga rasanya tidak mungkin pihak musuh akan dapat memasuki perkampungan Pek-In-San dengan aman atau tidak diketahui.

   Kereta itu berjalan perlahan mendaki Bukit Bangau menuju ke pegunungan Sung-San yang tampak menjulang tinggi di depan. Dari Bukit Bangau ke Sung-San melalu padang rumput yang luas. Di kedua ujung padang rumput itu terdapat hutan-hutan yang lebat.

   Kereta itu sudah melewati lereng terakhir dan mulai memasuki padang rumput yang luas itu. Yang menjadi kusir kereta adalah Gan Hok San sendiri. Di dalam kereta yang penuh barang bawaan keluarga itu duduk Sim Kui Hwa, Li Hong dan Ouw Yang Hui. Di belakang kereta berjalan seekor kuda yang ditunggangi Sin Cu. Dalam perjalanan itu Gan Hok San membeli seekor kuda untuk ditunggangi Sin Cu yang mengawal mereka menuju ke Sung-San. Tadinya Sin Cu menolak karena dengan pengerahan ginkang (ilmu meringankan tubuh) dia menggunakan ilmu Bu-Eng-Kui (Setan Tanpa Bayangan) dan dia dapat bergerak cepat dan dapat mengimbangi larinya kuda yang menarik kereta. Akan tetapi Gan Hok San, Sim Kui Hwa dan juga Ouw Yang Hui mendesaknya sehingga akhirnya dia mau juga menunggang kuda dan menjalankan kudanya di belakang kereta. Siang itu langit bersih.

   Tidak tampak awan sehingga matahari bersinar sepenuhnya. Udara menjadi amat segar, tidak terlalu dingin seperti biasa, juga tidak terlalu panas, menjadi nyaman sekali. Apalagi ada angin bersilir lembut sehingga hawa udaranya segar jernih dan sejuk. Suasana di padang rumput itu sepi, yang terdengar hanya derap kaki tiga ekor kuda, yaitu dua ekor yang menarik kereta dan seekor yang ditunggangi Sin Cu. Rumput yang gemuk subur dan setinggi lutut kuda, bergoyang-goyang seperti air laut berombak. Ouw Yang Hui dan Ibunya merasa lelah sekali. Belasan hari mereka melakukan perjalanan yang jauh, setiap hari diguncang dalam kereta. Juga Li Hong duduk melenggut, mengantuk di samping Ibunya. Gan Hok San yang maklum betapa isterinya dan anak tirinya itu kelelahan, ketika tiba di padang rumput yang berhawa segar itu berkata,

   "Hawa udaranya segar sekali. Bukalah tirai kereta agar kalian dapat merasakan sejuknya hawa udara."

   Ouw Yang Hui membuka tirai di kanan-kiri kereta dan udara berhembus masuk, terasa menyegarkan,

   "Aih, nyaman sekali."

   Kata Sim Kui Hwa dan ia menggeliat seperti seekor kucing. Nyonya yang usianya sudah empat puluh satu itu masih memiliki bentuk tubuh yang ramping padat.

   Ouw Yang Hui sendiri merasa segar dan timbul kegembiraannya. la merasa gembira dan berbagia sekali. Setelah mengalami banyak peristiwa yang mencekam dan menggelisahkan, di mana nyawanya terancam maut berulang kali, kini ia merasa aman dan bahagia sekali telah dapat berkumpul kembali dengan Ibu kandungnya, mendapat seorang Ayah tiri yang bijaksana dan baik, bertemu dengan seorang pendekar muda yang menumbuhkan cintanya, bahkan telah bertunangan dengan pemuda itu. Kini ia mendengar bunyi kaki kuda di belakang kereta dan biarpun tidak tampak, ia tahu bahwa Sin Cu menunggang kuda di belakang kereta, la merasa aman terlindung, merasa begitu berbahagia sehingga tanpa disadarinya, mulailah gadis itu bersenandung! Hati yang berbahagia dan gembira memang menimbulkan keinginan untuk bernyanyi.

   Suara kaki tiga ekor kuda itu seperti bunyi musik yang mengiringi nyanyian Ouw Yang Hui. Suasana yang hening di tempat itu membuat suara nyanyian dan suara kaki kuda terdengar jelas dan menonjol. Kedua suara itu begitu serasi dan sedap didengar. Sim Kui Hwa memandang wajah anaknya dengan mata basah karena kagum, bangga dan terharu. Tak disangkanya bahwa puterinya sepandai itu bernyanyi, memiliki suara yang amat merdu pula. Juga Gan Hok San yang duduk di depan sebagai kusir terpesona dan kagum sekali. Banyak sudah pendekar ini mendengar wanita bernyanyi, akan tetapi sekarang dia mendengar suara nyanyian yang demikian merdu. Lebih-lebih lagi Sin Cu yang menunggang kuda di belakang kereta. Pemuda ini terpesona dan merasa seperti diayun-ayun dalam mimpi. Dia kagum dan merasa berbahagia sekali,

   Akan tetapi juga terharu karena gadis yang demikian cantik jelita, demikian hebat suaranya dapat menjadi calon isterinya. Dia merasa berbahagia sekali dan berjanji dalam hati sendiri bahwa dia akan melindungi gadis itu dengan seluruh jiwa raganya, akan membahagiakan hidup gadis yang sudah banyak mengalami kesengsaraan sejak kecilnya itu. Suasana hening itu demikian mencekam. Dunia seolah hanya diisi suara berketepaknya kaki kuda yang mengiringi suara nyanyian merdu. Tiga orang yang lain seperti hanyut. Rumput-rumput yang dihembus angin seperti berbisik-bisik melatar belakangi nyanyian itu dan menimbulkan suasana yang ajaib. Lama setelah Ouw Yang Hui menghentikan nyanyiannya, tiga orang pendengarnya itu seolah masih mendengar gema nyanyian itu dan suasana menjadi semakin hening. Keheningan baru pecah ketika terdengar suara Gan Hok San.

   (Lanjut ke Jilid 20)

   Sepasang Rajah Naga (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 20

   "Demi Tuhan! Nyanyianmu seperti nyanyian para bidadari di sorga, Hui-Ji."

   "Aduh, enci Hui! Kukira tadi mimpi mendengar nyanyian indah, tidak tahunya ketika aku terbangun, engkau yang bernyanyi! Ayah benar, suaramu seperti suara bidadari sorga!"

   Kata Li Hong sambil memegangi tangan Ouw Yang Hui. Sim Kui Hwa merangkul dan mencium pipi Ouw Yang Hui, dan dengan air mata membasahi kedua matanya ia berkata,

   "Hui-ji, aku berterima kasih kepada mendiang Cia-Ma yang telah memberi pendidikan yang amat baik kepadamu!"

   Mendengar ini, Ouw Yang Hui juga merangkul Ibunya. Hatinya terharu dan juga sedih teringat akan kematian Cia-Ma yang bagaimanapun juga amat ia rasakan kasih sayangnya sehingga dalam hatinya juga timbul rasa kasih sayang kepada Ibu angkat itu.

   "Terima kasih, Ibu. Aku girang sekali Ibu dapat menghargai jasa Cia-Ma yang malang..."

   Sementara itu Sin Cu yang menunggang kuda di belakang kereta, lebih dulu mendengar derap kaki kuda yang terdengar di sebelah belakangnya. Dia menengok dan melihat belasan orang penunggang kuda mendatangi dari belakang dengan kecepatan tinggi. Karena khawatir kalau-kalau mereka itu rombongan orang yang hendak memusuhi mereka, dia lalu melarikan kudanya ke samping kereta bagian depan. Dia lalu berkata kepada Gan Hok San.

   "Paman, ada belasan orang penunggang kuda datang dari belakang. Lebih baik Paman menghentikan kereta dan bersiap siap melindungi Bibi dan Hui-moi. Saya yang akan menghadapi mereka kalau mereka itu mempunyai niat buruk terhadap kita."

   Gan Hok San menjenguk ke belakang dan diapun melihat serombongan penunggang kuda itu datang dan tampak debu mengepul di belakang mereka. Pendekar Siauw-Lim-Pai ini mengerutkan alisnya dan diapun menduga buruk. Melarikan kereta kiranya tidak mungkin karena kalau mereka itu melakukan pengejaran, tentu kereta akan tersusul. Jalan pendakian di depan merupakan jalan yang buruk dan kasar. Melalui jalan seperti itu, keretanya tidak akan dapat meluncur kencang dan pasti akan mudah dikejar mereka yang menunggang kuda.

   Memang sebaiknya menghentikan kereta dan bersama Sin Cu melindungi Ouw Yang Hui dan Ibunya. Maka diapun minggirkan keretanya dan menghentikan dua ekor kuda penarik kereta. Sin Cu sendiri sudah melompat turun dari atas kudanya dan menambatkan kudanya pada kereta, kemudian dia berdiri di belakang kereta untuk menjaganya. Gan Hok San berdiri di sisi lain, di depan kereta. Rombongan berkuda itu kini datang dekat. Jumlah mereka ada dua belas orang, terdiri dari laki-laki berusia empat puluh tahun ke atas. Yang tertua berusia enam puluh tahun lebih dan berpakaian seperti seorang Tosu (Pendeta Taoisme). Rombongan itu melewati kereta dan mereka hanya melirik sebentar saja ke arah kereta yang dijaga oleh Gan Hok San dan Sin Cu. Mereka lewat dan melanjutkan perjalanan mereka tanpa memperhatikan kereta. Sin Cu bernapas lega.

   "Ah, ternyata mereka bukan rombongan yang hendak mengganggu kita, Paman,"

   Katanya. Akan tetapi Gan Hok San mengerutkan sepasang alisnya.

   "Tosu itu adalah Cang Su Cinjin, ketua Bu-Tong-Pai. Dan yang lain-lain itu adalah para tokoh Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai. Apa yang telah terjadi di Siauw-Lim-Si? Kenapa mereka semua datang berkunjung dan tampaknya sikap mereka tidak bersahabat, seperti orang-orang yang penasaran dan marah? Sin Cu, hatiku merasa tidak enak. Aku khawatir terjadi sesuatu di Siauw-Lim-Si. Mari kita ikuti mereka ke Siauw-Lim-Si!"

   Kata Gan Hok San yang segera mencambuk dua ekor kuda penarik kereta sehingga mereka berlari congklang, Sin Cu juga melompat ke atas kudanya dan mengikuti kereta.

   "Apa yang terjadi? Kenapa kita tadi berhenti lalu sekarang melarikan kereta cepat-cepat? tanya Sim Kui Hwa dari dalam kereta.

   "Ada serombongan orang Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai lewat menuju ke Siauw-Lim-Si. Aku khawatir terjadi sesuatu di sana maka aku ingin cepat-cepat tiba di sana,"

   Jawab Gan Hok San.

   Kuil Siauw-Lim terletak di lereng gunung Sung-San... tidak jauh lagi dari padang rumput itu. Tak lama kemudian kereta itu telah tiba di lapangan yang luas di depan Kuil. Gan Hok San dan Sin Cu melihat bahwa rombongan dua belas orang tadi sudah berada di depan Kuil, sudah turun dari atas kuda dan mereka sedang berhadapan dengan belasan orang Hwesio (Pendeta Budha) dari Kuil Siauw-Lim-Pai. Gan Hok San adalah seorang murid utama dari Siauw-Lim-Pai, Dia mengenal semua Hwesio yang keluar dari Kuil menyambut rombongan itu. bahkan yang menjadi ketua Siauw-Lim-Pai pada waktu itu adalah Susioknya (Paman Gurunya), yaitu Hui Sian Hwesio. sedangkan para Hwesio yang lain adalah tiga orang Suhengnya dan yang lain lima orang Sute dan beberapa orang murid angkatan lebih muda. Sin Cu yang pernah bertemu dengan ketua Siauw-Lim-Pai juga mengenal Hui Sian Hwesio.

   "Kalian tinggallah saja dalam kereta, kami hendak mendekat dan melihat apa yang terjadi,"

   Kata Gan Hok San kepada isterinya dan anak tirinya. Setelah itu, bersama Sin Cu dia menghampiri, lebih dekat sehingga mereka berdua dapat mendengarkan apa yang sedang dibicarakan oleh para Hwesio dengan rombongan dari Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai itu. Mereka tidak datang lebih dekat lagi, tidak ingin mengganggu percakapan mereka, hanya mendengarkan dari jarak agak jauh.

   "Siauw-Lim-Pai terkenal sebagai tempat para Hwesio yang beribadah dan hidup sebagai manusia-manusia yang mengutamakan kesucian, akan tetapi mengapa melindungi murid yang melakukan kejahatan!"

   Kata Tosu yang disebut Cang Su Cinjin oleh Gan Hok San tadi. Ketua Bu-Tong-Pai ini tampak marah dan penasaran.

   "Memang aneh sekali. Siauw-Lim-Pai yang terkenal memiliki murid-murid yang berjiwa pendekar, mengapa kini ada muridnya yang bertindak seperti maling dan secara curang membunuh dua orang murid kami!"

   Kata seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun dan berpakaian sebagai seorang ahli silat atau pendekar. Dia adalah seorang tokoh Kong-Thong-Pai, bahkan menjabat sebagai wakil ketua dan namanya adalah Lui Kai It. Tubuhnya tinggi kurus, matanya mencorong dan sikapnya keras dan galak.

   "Omitohud...!"

   Hui Sian Hwesio merangkap kedua tangan di depan dadanya. sikapnya lembut dan halus, tubuhnya yang tinggi agak gemuk itu tidak membayangkan kekuatan dan kekerasan, wajahnya penuh dengan senyum sehingga tampak cerah dan menyenangkan. Pandang matanya lembut penuh kesabaran dan pengertian.

   "Pinceng sudah katakan tadi bahwa kami sama sekali tidak mempunyai permusuhan dengan Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai, bagaimana mungkin ada murid kami yang melakukan perbuatan tidak terpuji, menyerang murid-murid anda sekalian? Tidak ada murid Siauw-Lim-Pai yang membunuh orang dan kami sama sekali tidak menyembunylkan pembunuh. Kalau memang ada murid kami yang melakukan kejahatan, silakan cuwi (anda sekalian) menunjuk, yang mana murid kami itu dan kami tentu akan bertindak melakukan hukuman kalau memang tuduhan itu terbukti dan benar."

   "Tentu saja tidak dapat dIbuktikan karena orang yang melakukannya tidak dapat ditangkap!"

   Kata Lui Kai It wakil ketua Kong-Thong-Pai dengan marah.

   "Akan tetapi mata kami belum buta dan telinga kami belum tuli! Mata kami melihat bahwa seorang berkepala gundul yang melakukan penyerangan gelap itu dan telinga kami mendengar betapa dia menantang agar kami mencarinya ke Siauw-Lim-Si kalau kami berani."

   "Omitohud! Lui-Pangcu (ketua Lui), belum tentu semua orang yang berkepala gundul itu seorang Hwesio Siauw-Lim-Si dan belum tentu semua orang yang mengaku dari Siauw-Lim-Si itu benar-benar murid kami,"

   Kata Cu Sian Hwesio yang menjadi Sute dari Hui Sian Hwesio dan menjabat wakil ketua Siauw-Lim-Pai. Hwesio ini bertubuh tinggi kurus, usianya sekitar enam puluh lima tahun.

   "ltu hanya alasan saja!"

   Ketua Bu-Tong-Pai, Cang Su Cinjin, berseru.

   "Sejak dahulu memang Siauw-Lim-Pai memandang rendah partai lain termasuk Bu-Tong-Pai. Bagaimanapun juga, karena pembunuh itu mengaku sebagai murid Siauw-Lim-Pai, maka sudah menjadi tugas kewajiban dan tanggung jawab Siauw-Lim-Pai untuk mencari sampai dapat pembunuh itu. Ini tentu saja kalau Siauw-Lim-Pai menghendaki namanya dibersihkan. Kalau Siauw-Lim-Pai diam saja, berarti mereka sudah menerima tuduhan itu dan sengaja hendak menyembunyikan, pembunuh, itu untuk melindungi muridnya yang jahat."

   "Itu tidak adil namanya, hendak menghimpit dan menyudutkan kami!"

   Bentak seorang Hwesio lain yang menjadi Sute Hui Sian Hwesio dengan marah sekali.

   "Kalau begitu kita putuskan saja mana yang salah mana yang benar melalui, adu kepandaian!"

   "Bagus! Katakan saja para pimpinan Siauw-Lim-Pai hendak membela muridnya yang bersalah dengan mengandalkan dan memamerkan kepandaiannya! Hayo maju jangan dikira kami dari Kong-Thong-Pai takut melawan orang Siauw-Lim-Pai!"

   Bentak Lui Kai It wakil ketua Kong-Thong-Pai sambil mencabut pedangnya.

   "Baik, kalian yang datang mencari perkara, bukan Pinceng (aku)!"

   Bentak Hwesio berkulit hitam tinggi besar itu sambil melintangkan senjata toya baja di depan dadanya.

   "Omitohud! Tenang dan tahanlah nafsu amarah kalian masing-masing! Kekerasan bukan caranya untuk menyelesaikan urusan ini. Mari kita bicarakan baik-baik. Ucapan Cang Su Cinjin tadi dapat Pinceng terima. Memang Pinceng sebagai ketua Siauw-Lim-Pai tentu saja tidak dapat tinggal diam kalau nama baik Siauw-Lim-Pai dicemarkan. Pinceng yakin bahwa tentu ada orang lain yang sengaja mempergunakan nama Siauw-Lim-Pai untuk memburukkan nama kami atau sengaja hendak mengadu domba antara Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai dengan pihak Siauw-Lim-Pai. Mari kita bicara baik-baik. Cang Su Cinjin, harap engkau suka mengulangi lagi dan menceritakan bagaimana terbunuhnya seorang Sutemu dan bagaimana pula kalian dari Bu-Tong-Pai begitu yakin bahwa pembunuhnya adalah orang Siauw-Lim-Pai,"

   Kata Hui Sian Hwesio dengan sikap sabar dan tenang sambil melangkah maju dan berdiri di antara dua orang yang sudah marah dan siap hendak bertanding tadi.

   "Begitu baru dapat dikatakan bahwa Siauw-Lim-Pai bertanggung jawab. Akan tetapi Siauw-Lim-Pai harus benar-benar dapat menangkap pembunuh itu. Kalau tidak, jangan salahkan kami kalau kami menuduh Siauw-Lim-Pai menyembunyikan pembunuh. Nah, dengarlah penjelasanku. Kurang lebih sebulan yang lalu, Pinto (aku) mendengar suara perkelahian. Ketika aku keluar, diikuti beberapa orang murid Bu-Tong-Pai, aku melihat Sute Kam Lok sedang bertanding melawan seorang yang kepalanya gundul dan jubahnya seperti Hwesio Siauw-Lim-Pai. Sute Kam Lok bukan seorang lemah. Ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi. Akan tetapi pada saat itu, lawannya mendadak memukul dengan gerakan cepat dan tangannya berubah putih, Sute Kam Lok terpukul roboh dan orang itu melompat ke tempat gelap sambil tertawa dan berkata bahwa ilmu silat Bu-Tong-Pai tidak akan mampu menandingi ilmu silat Siauw-Lim-Pai. Ketika kami mengejar, orang itu lenyap dalam kegelapan malam. Kami segera memeriksa Sute Kam Lok, akan tetapi dia telah tewas dan di dadanya terdapat bekas telapak tangan berwarna putih. Siapa lagi yang memiliki ilmu pukulan begitu hebat kalau bukan dari Siauw-Lim-Pai? Pula orang itu sudah mengejek dan membandingkan ilmu silat Bu-Tong-Pai dengan ilmu silat Siauw-Lim-Pai."

   "Omitohud! Memang meyakinkan sekali. Tidak aneh kalau cuwi (kalian) dari Bu-Tong-Pai merasa yakin bahwa orang itu adalah orang Siauw-Lim-Pai. Sekarang Lui Pangcu, harap engkau suka jelaskan tentang kematian dua orang anggauta Kong-Thong-Pai sejelasnya agar kami mengetahui betul apa yang telah terjadi,"

   Kata Hui Sian Hwesio kepada Lui Kai It. Wakil ketua Kong-Thong-Pai yang tinggi kurus itu lalu menghela napas panjang.

   "Tidak jauh bedanya dengan kematian saudara kam Lok dari Bu-Tong-Pai. Kurang lebih sebulan yang lalu, pada suatu malam terdengar kerIbutan di ruangan belakang, Aku dan beberapa orang saudaraku berlari ke belakang dan melihat dua orang murid utama kami yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi bertanding melawan seorang Hwesio gundul, Karena kedua Sute sudah bertanding berdua menghadapi seorang lawan, aku hanya menonton sambil bersiap siaga. Akan tetapi tiba-tiba Hwesio itu mengeluarkan suara bentakan, kedua tangannya memukul dan kedua tangan itu berwarna hitam. Kedua orang murid kami itu terjengkang dan Hwesio itu melompat ke tempat gelap sambil berseru bahwa kalau kami hendak mencarinya agar kami datang ke Siauw-Lim-Pai kalau kami berani, Kami mengejarnya akan tetapi dia sudah menghilang dalam kegelapan malam dan ketika kami memeriksa, dua orang murid itu sudah tewas dan ada tanda telapak tangan menghitam di dada mereka. Siapa lagi yang memiliki ilmu pukulan dahsyat itu kalau bukan tokoh Siauw-Lim-Pai? Pula, orang itu sudah mengaku dan menyuruh kami mencarinya ke Siauw-Lim-Pai!"

   "Omitohud! Kami tidak menyalahkan pihak Kong-Thong-Pai lalu datang ke sini karena sikap dan kata-kata pembunuh itu memang meyakinkan bahwa dia datang dari Siauw-Lim-Pai. Akan tetapi kalau jiwi (anda berdua) renungkan dan pertimbangkan, ada beberapa kenyataan janggal yang sepatutnya membuat jiwi menjadi curiga. Pertama, kalau benar pembunuh-pembunuh itu orang Siauw-Lim-Pai, lalu apa yang menjadi sebab atau alasan mereka melakukan pembunuhan-pembunuhan itu? Jiwi tentu tahu bahwa akibat hanya timbul karena sebab dan selama ini tidak ada permusuhan apapun antara Siauw-Lim-Pai dengan Bu-Tong-Pai maupun Kong-Thong-Pai, jadi tidak masuk akal kiranya kalau kami melakukan pembunuhan tanpa sebab. Kedua, pembunuhan itu dilakukan secara gelap, menyerang di waktu malam, bukan merupakan tantangan yang terang-terangan. Lalu para pembunuh itu setelah melakukan pembunuhan mengaku dengan jelas bahwa mereka datang dari Siauw-Lim-Pai. Ini juga tidak masuk di akal. bagaimana pembunuh-pembunuh yang melakukan pembunuhan secara gelap, lalu tiba-tiba mengaku terang-terangan dari mana mereka datang? Melihat kenyataan-kenyataan itu, maka Pinceng (aku) hampir berani memastikan bahwa mereka sengaja melakukan fitnah terhadap Siauw-Lim-Pai atau sengaja hendak mengadu domba diantara kita."

   "Lo Suhu, Hal itu memang tidak luput dari pengamatan dan dugaan kami, akan tetapi kalaupun pembunuh itu melakukan fitnah yang di fitnah adalah Siauw-Lim-Pai, maka kiranya Siauw-Lim-Pai, yang tahu siapa yang memusuhi dan yang telah melakukan fitnah."

   Pada saat itu, Hui Sian Hwesio melihat Gan Hok San dan Sin Cu dan sambil memandang kepada mereka dia mengerahkan tenaga sakti dalam suaranya dan berseru lembut,

   "Kedua sobat kalau ada keperluan dengan kami harap datang ke sini!"

   Suara itu dikeluarkan dengan lembut saja, namun suaranya terdengar jelas seperti yang bicara berada di dekat Gan Hok San dan Sin Cu. Mendengar teguran ini, Gan Hok San memberi isyarat kepada Sin Cu dan mereka berdua segera menghampiri mereka yang berdiri di depan Kuil itu.

   "Suheng, maafkan kalau saya mengganggu pertemuan ini,"

   Kata Gan Hok San memberi hormat kepada ketua Siauw-Lim-Pai yang menjadi Suhengnya itu.

   "Omitohud, kiranya engkau, Sute Gan Hok San? Kebetulan sekali, ini muncul urusan yang memusingkan. Engkau dapat menyumbangkan pikiranmu untuk mencari jalan keluar karena Siauw-Lim-Pai di fitnah orang."

   "Saya telah mendengar semua, Suheng dan kepada para sobat dari Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai saya Gan Hok San yang selama hidup saya belum pernah berbohong, saya berani menanggung bahwa para pembunuh itu tidak mungkin orang Siauw-Lim-Pai,"

   Kata Gan Hok San dengan suara lantang.

   "Mereka tentu merupakan komplotan. Bukankah dua peristiwa pembunuhan itu terjadi pada waktu yang bersamaan? Hal itu berarti bahwa pembunuh di Bu-Tong-Pai berbeda dari pembunuh di Kong-Thong-Pai."

   "Siapapun pembunuhnya karena mereka sudah mempergunakan nama Siauw-Lim-Pai, maka Siauw-Lim-Pai harus ikut bertanggung jawab dan mencari mereka yang telah melemparkan fitnah itu,"

   Kata Lui Kai It.

   "Dan orang muda ini omitohud...! Bukankah engkau ini Wong-sicu murid Bu Beng Siauwjin yang pernah berkunjung kesini? tanya Hui Sian Hwesio sambil memandang kepada Sin Cu yang sejak tadi diam saja. Sin Cu cepat merangkap kedua tangan depan dada memberi hormat.

   

Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini