Ceritasilat Novel Online

Sepasang Rajah Naga 31


Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 31



"Sudahlah, semua ini hanya merupakan kesalah pahaman saja. Kami berdua sudah melupakan peristiwa tadi,"

   Kata Sin Cu.

   "Biarlah kami yang memintakan maaf untuk mereka berdua, Ciang-Lihiap,"

   Kata Pangeran Ceng Sin.

   "Kalau saja tadi aku segera mengenal Wong-Taihiap, tentu tidak akan terjadi kesalah-pahaman itu."

   Pangeran itu memandang kepada dua orang perwira dan memberi isarat dengan tangannya membolehkan mereka mengundurkan diri. Dua orang perwira itu mundur dengan hati lega karena mereka merasa rikuh sekali harus berhadapan dengan dua orang muda itu.

   "Nah, sekarang kita membicarakan masalah yang kita hadapi. Akan tetapi sebelum kami memberi penjelasan, kami ingin mengetahui lebih dahulu apakah Taihiap dan Lihiap bersedia untuk membantu apa yang sedang kami perjuangkan ini?"

   Kembali Ciang Lan yang mendahului Sin Cu bertanya,

   "Pangeran, bagaimana kami dapat menjawab sebelum kami mengetahu dalam urusan apakah kami harus membantu Paduka?"

   Pangeran Ceng Sin tersenyum dan mengangguk.

   "Kami tidak heran kalau engkau bertanya begitu, Ciang-Lihiap Kalau Wong-Taihiap kami kira sudah dapat menduganya. Begini, Lihiap. Kami sekumpulan orang ini adalah orang-orang yang setia kepada Kerajaan dan kami melihat betapa Kerajaan terancam bahaya dalam tangan Thaikam Liu Cin yang jahat dan yang telah mempengaruhi Sribaginda Kaisar sedemikian rupa. Kami sedang berusaha untuk membebaskan Sribaginda dari kekuasaan orang jahat itu. Kami sekarang ingin mendapat kepastian dari ji-wi, apakah jiwi suka membantu kami menentang Thaikam Liu Cin dan membela Sribaginda Kaisar?"

   Sin Cu menoleh kepada Ciang Lan dan dia melihat gadis itu tersenyum dan mengangguk kepadanya. Tahulah pemuda itu bahwa kini hati Ciang Lan tidak ragu lagi, maka diapun menjawab pertanyaan Pangeran itu dengan tegas.

   "Tentu saja kami berdua siap untuk membantu, Pangeran. Kami berdua memang sedang menuju ke Kotaraja untuk menentang Thaikam Liu Ch?? dan kaki tangannya karena kami mempunyai permusuhan pribadi dengan kaki tangan dan sekutu Thaikam Liu Cin bahkan kami mengetahui banyak tentang rahasia persekutuan antara Thaikam Liu Cin dan orang-orang Pek-Lian-Kauw."

   Empat belas orang bangsawan itu terkejut dan girang sekali.

   "Ah, sungguh kebetulan sekali. Wong-Taihiap, rahasia persekutuan itu benarkah dan bagaimana kalian berdua dapat mengetahuinya? Kami juga sudah curiga akan hal itu, akan tetapi kami belum mendapat bukti sehingga kami tidak dapat melapor kepada Sribaginda Kaisar. Kalau ada buktinya dan Sribaginda Kaisar mengetahui, maka akan lebih mudah lagi menyingkirkan Thaikam Liu Cin yang jahat itu!"

   Kata Pangeran Ceng Sin.

   "Bahkan kami kira bukan hanya dengan Pek-Lian-Kauw saja Thaikam Liu Cin bersekutu, melainkan juga mungkin ada persekongkolan antara dia dan orang Mancu."

   "Ahh! Penting sekali kabar ini! Coba ceritakan, Wong-Taihiap, apa yang ji-wi (kalian berdua) ketahui tentang semua persekutuan itu?"

   Tanya Pangeran Ceng Sin. Sin Cu, dibantu kadang-kadang oleh Ciang Lan, lalu menceritakan semua kejadian yang dialami dan diketahuinya. Tentang penyerangan dan pembunuhan yang sifatnya mengadu domba antara Siauw-Lim-Pai dan dua partai persilatan besar, yaitu Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai yang diduga dilakukan oleh orang-orang Pek-Lian-Kauw. Juga tentang penculikan atas diri Ouw Yang Hui yang dilakukan tokoh Mancu, Pangeran Yorgi yang bekerja sama dengan Pek-Lian-Kauw. Kemudian diceritakan pula bahwa puteri Ketua Pek-Lian-Kauw, Kim Niocu, menawan gadis-gadis cantik untuk dibawa ke Kotaraja dan diserahkan kepada para pembesar yang menjadi antek Thaikam Liu Cin.

   "Kami sedang melakukan pengejaran dan mencari adik Ouw Yang Hui yang dilarikan Kim Niocu dan mungkin sekali dibawa ke Kotaraja. Kalau kami dapat membebaskan adik Ouw Yang Hui, tentu ia dapat menjadi saksi dan dapat bercerita lebih jelas dan banyak tentang persengkokolan antara Thaikam Liu Cin dan Pek-Lian-Kauw itu."

   Sin Cu mengakhiri ceritanya. Para bangsawan itu mengangguk-angguk.

   "Hemm, sekarang makin jelaslah bahwa Thaikam Liu Cin mempunyai niat buruk sekali. Bersekutu dengan pemberontak Pek-Lian-Kauw, bahkan mengadakan hubungan dengan orang Mancu. Kalau tidak cepat diberantas, dapat membahayakan Kerajaan,"

   Kata Pangeran Ceng Sin.

   "Benar, jahanam itu berbahaya sekali, agaknya dia hendak menjual negara kepada bangsa Mancu!"

   Kata seorang di antara dua orang Panglima tua yang hadir. Pangeran Ceng Sin memandang kepada Sin Cu dan Ciang Lan.

   "Terima kasih, Wong-Taihiap dan Ciang-Lihiap. Keteranganmu ini sungguh amat berharga sekali, dan kesanggupan ji-wi untuk membantu kami lebih kami hargai lagi. Mari kita bersama berusaha untuk menghancurkan kekuatan jahat yang merongrong kewibawaan pemerintah. Sekarang ketahuilah apa yang menjadi rencana kami,"

   Kata Pangeran Ceng Sin yang lalu menceritakan rencana mereka yang hendak menggulingkan Thaikam Liu Cin.

   Kiranya setelah berhasil meloloskan diri dari kejaran kaki tangan Thaikam Liu Cin yang hendak membunuhnya, pertama kali ditolong oleh Tan Song Bu, kemudian yang kedua kalinya diselamatkan oleh Wong Sin Cu, Pangeran Ceng Sin tinggal di Lian-San (Bukit Teratai) dekat Kuil Kwan-Im-Bio dan terlindung karena dekat dengan Thian Li Nikouw ketua Kuil itu. Setelah keluarganya selamat, Pangeran Ceng Sin merasa prihatin melihat kekuasaan Thaikam Liu Cin yang membahayakan Kerajaan yang dipimpin Kaisar Ceng Tek, adik tirinya.

   Maka diapun mengambil keputusan untuk berusaha menentang dan menjatuhkan Thaikam Liu Cin. Diam-diam Pangeran Ceng Sin mengadakan hubungan dengan para pejabat lain yang sehaluan dengan dia dan menyusun kekuatan. Ada empat belas orang bangsawan yang berkedudukan tinggi termasuk dia, yang akhirnya bersatu dalam usaha mereka menyelamatkan Kaisar. Dua orang Panglima yang bergabung telah mempersiapkan pasukan kalau-kalau pertentangan itu akan menimbulkan pertempuran dengan pasukan yang mendukung Thaikam Liu Cin. Mereka juga telah mengadakan kontak dengan semua pejabat yang setia kepada Kaisar dan yang diam-diam tidak suka kepada Thaikam Liu Cin, akan tetapi tidak berani terang-terang menentangnya.

   "Tindakan apakah yang akan Paduka lakukan?"

   Tanya Sin Cu.

   "Kami telah merencanakan semuanya. Pada kesempatan pertama, kami bersama para pembesar yang mendukung gerakan kami, beramai-ramai akan menghadap Sribaginda Kaisar. Kami akan menceritakan semua kejahatan yang dilakukan Thaikam Liu Cin, pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan terhadap para bangsawan yang setia, termasuk usaha pembunuhan terhadap aku sekeluarga. Dan sekarang ditambah lagi dengan ceritamu tentang persekutuannya dengan Pek-Lian-Kauw dan orang-orang Mancu akan menguatkan laporan kami. Dan kami juga sudah siap menghadapi akibat dari laporan kami kepada Sribaginda Kaisar itu. Kalau Thaikam Liu Cin mengadakan gerakan, kami sudah mempersiapkan pasukan untuk menentangnya. Selain dukungan para anteknya, Liu Cin mempunyai pendukung yang kuat dan harus kami lumpuhkan lebih dulu, yaitu pertama Panglima Liu Kui yang menjadi Panglima pasukan pengawal Istana. Kedua adalah Jaksa Agung Liu Wang. Mereka adalah adik-adik dari Thaikam Liu Cin sendiri. Akan tetapi yang terpenting adalah sikap Sribaginda Kaisar. Kalau beliau dapat menerima laporan kami, menyadari akan kejahatan Liu Cin dan memerintahkan penangkapan, maka pengkhianat itu pasti tidak akan mampu mengadakan perlawanan. Bagaimanapun juga, sebagian besar Panglima berikut pasukan mereka masih setia kepada Sribaginda Kaisar."

   "Lalu apa yang dapat kami lakukan untuk membantu Paduka, Pangeran?"

   Ciang Lan bertanya. Semua bangsawan memandang kepada gadis itu dan mereka semua merasa kagum. Gadis yang cantik jelita dan gagah perkasa ini, selain tadi dapat mengalahkan perwira kepala pengawal dengan mudah, juga gadis muda ini bersikap pemberani, tidak malu-malu seperti gadis lain. Sikap seorang pendekar wanita sejati.

   "Ciang-Lihiap, ji-wi dapat membantu banyak sekali kepada kami. Ji-wi akan dapat menjadi saksi untuk memperkuat laporan kami kepada Sribaginda Kaisar, kalau hal itu diperlukan. Selain itu, kalau sampai terjadi bentrokan, dengan kepandaian jiwi, maka jiwi dapat membantu kami. Terutama sekali untuk melawan para jagoan anak buah Thaikam Liu Cin. Ji-wi sendiri sudah mengetahui bahwa dia mempunyai banyak jagoan yang tangguh dan berbahaya."

   "Kami siap membantu Paduka, Pangeran Ceng Sin. Akan tetapi, kami ingin mencari adik Ouw Yang Hui yang ditawan Kim Niocu dan mungkin dibawa ke Kotaraja dan sudah diserahkan kepada seorang diantara para jagoan antek Thaikam Liu Cin,"

   Kata Sin Cu yang mengkhawatirkan nasib tunangannya.

   "Benar, Pangeran. Kami harus lebih dulu menyelamatkan adik saya, barulah kami akan membantu Paduka,"

   Kata Ciang Lan,

   "Tentu saja,"

   Kata Pangeran Ceng Sin.

   "Menolong adikmu itu berarti juga menentang Thaikam Liu Cin, karena bukankah menurut cerita kalian tadi, adikmu akan diserahkan kepada jagoan antek Liu Cin? Akan tetapi sebaiknya kalau kita dapat saling berhubungan di Kotaraja. Kami dapat saling bantu. Maka, akan lebih baik sekali kalau di Kotaraja kalian menghubungi kami. Wong-Taihiap, simpanlah kartu ini. Dengan kartu ini kalian dapat memasuki rumah yang menjadi pusat pertemuan kami itu dengan mudah dan kalian dapat tinggal di sana untuk sementara."

   Sin Cu menerima sebuah kartu yang diberikan Pangeran Ceng Sin kepadanya.

   "Kami akan mengingat pesan Paduka itu Pangeran,"

   Katanya sambil menyimpan kartu itu.

   "Wong-Taihiap, kami akan memasuki Kotaraja dengan berpencar agar jangan sampai menarik perhatian dan ketahuan anak buah Liu Cin. Untuk itu, sudah ada hubungan kami dengan para perwira penjaga pintu gerbang Kotaraja. Sebaiknya kalau jiwi juga berpisah dari kami di sini sehingga tidak ada yang tahu bahwa ji-wi mempunyai hubungan dengan kami."

   Sin Cu dan Ciang Lan mengangguk dan mereka berdua lalu bangkit berdiri. Pangeran Ceng Sin memberi isarat kepada anak buah perahu untuk menghentikan perahu dan menurunkan perahu kecil milik Sin Cu dan Ciang Lan. Pada saat itu, Sin Cu yang baru saja menggendong buntalan pakaiannya, teringat akan pedangnya dan teringat pula akan Kwee Liang, Panglima yang pedangnya terjatuh ke tangannya akan tetapi yang kini terampas oleh Kim Niocu itu. Mungkin para bangsawan yang menentang Thaikam Liu Cin ini mengenalnya, pikirnya.

   "Pangeran, apakah Paduka mengenal seorang Panglima yang bernama Kwee Liang?"

   Mendengar pertanyaan ini, seorang Panglima tua yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, cepat bertanya,

   "Wong-Taihiap, bagaimana Taihiap dapat mengenal rekan baikku Kwee-Ciangkun itu?"

   Para bangsawan lain juga memandang Sin Cu dengan sinar mata bertanya.

   "Kurang lebih empat tahun yang lalu, Panglima Kwee Liang dan seluruh keluarganya yang melarikan diri dengan perahu dilaut timur, dibunuh oleh jagoan kaki tangan Liu Cin bernama Hek Moko dan Pek Moko, Perahu mereka ditenggelamkan dan pedang miliknya yang disebut Pek-Liong Po-Kiam ikut tenggelam. Guruku ke dua, Suhu Can Kui yang ahli penyelam mengambil pedang itu dan memberikannya kepada saya. Pada pedang itu dahulu terdapat kotak berisi surat peninggalan Kwee-Ciangkun yang menyatakan bahwa dia mohon ampun kepada Kaisar Tua karena tidak dapat menyadarkan Kaisar Muda dari pengaruh Thaikam Liu Cin, dan memesan agar pewaris pedang itu dapat mempergunakannya untuk menentang kekuasaan Liu Cin."

   "Aahhh...! Kwee-Ciangkun adalah rekan terbaik dariku, Kasihan sekali dia juga menjadi korban kejahatan Liu Cin, terbasmi bersama keluarganya. Di mana pedang itu sekarang, Taihiap?"

   Kata Kui-Ciangkun.

   "Pedang itu dirampas Kim Niocu ketika saya tertawan. Akan tetapi, saya akan mengejarnya ke Kotaraja dan saya pasti akan dapat merebutnya kembali,"

   Kata Sin Cu.

   "Itu harus kau lakukan, Taihiap! Pedang pusaka itu pemberian Kaisar, harus diselamatkan dari tangan tokoh Pek-Lian-Kauw itu!"

   Kata Kui-Ciangkun penuh semangat.

   "Wong-Taihiap, sungguh kebetulan sekali pedang itu terjatuh ke tanganmu. Dengan dernikian, sudah cocok sekali kalau Taihiap bekerja sama dengan kami untuk menentang Liu Cin dan menyelamatkan negara dan bangsa dari kehancuran!"

   Kata Pangeran Ceng Sin dengan gembira.

   Sementara itu, para anak buah perahu telah selesai menurunkan perahu kecil dan Sin Cu bersama Ciang Lan lalu berpamit dan keduanya meloncat keluar dari perahu besar ke atas perahu kecil yang telah berada di atas air dan talinya dipegang oleh dua orang perwira Gak dan Su yang tadi menarik perahu kecil itu naik ke atas perahu besar. Sin Cu lalu mendayung perahu itu, melambaikan tangan kepada empat belas orang bangsawan yang berdiri di atas perahu besar. Sin Cu mendayung perahunya dengan cepat meninggalkan perahu besar.

   "Lan-moi, kita mendarat di sini saja. Kalau terlalu dekat dengan Kotaraja, aku khawatir ka?au menimbulkan kecurigaan,"

   Kata Sin Cu setelah mereka tiba di tempat yang ramai dengan banyaknya perahu nelayan. Tempat itu tidak terlalu jauh dengan Kotaraja lagi.

   "Baiklah, Cu-Ko. Engkau lebih berpengalaman karena engkau pernah ke Kotaraja."

   "Aku juga belum pernah masuk Kotaraja, hanya sampai di kota Nam-Po saja."

   "Perahu ini sebaiknya kita jual saja. Itu ada dusun di depan. Tampaknya cukup ramai di sini, dan banyak nelayan. Tentu ada yang mau membeli perahu ini."

   "Ah, perahu kecil dan butut ini siapa mau membelinya, Cu-Ko? Kalaupun ada yang mau beli, harganya tentu murah sekali. Lebih baik diberikan saja kepada seorang nelayan miskin yang tidak mempunyai perahu agar dapat dia pergunakan untuk mencari nafkah."

   "Akan tetapi bagaimana kita dapat mengetahui mana nelayan yang miskin dan yang membutuhkan perahu dan mana yang tidak?"

   Tanya Sin Cu, girang hatinya melihat sikap dermawan dari gadis itu.

   "Aih, mudah saja, Cu-Ko, Yang mencari ikan dengan perahu, jelas nelayan yang mempunyai perahu. Kalau kita bertemu dengan seorang nelayan yang mencari ikan di tepi sungai dengan memancing, tentu dia nelayan miskin, karena tidak mempunya perahu dan tidak mempunyai jaring untuk menjala ikan."

   Tiba-tiba Sin Cu melihat seorang Kakek tua duduk di tepi sungai itu sambil memancing.

   "Itu ada orang yang kau maksudkan, Lan-moi,"

   Katanya. Ciang Lan memandang dan ia tersenyum.

   "Hemm, dia sudah tua dan mencari ikan dengan memancing dari tepi sungai. Pasti dia nelayan miskin yang kumaksudkan. Mari kita ke tepi, Cu-Ko dan kita menggembirakan hatinya dengan kejutan, memberikan perahu ini kepadanya."

   Sin Cu mendayung perahu itu ke tepi dan mendarat dekat Kakek itu yang duduk memancing ikan. Tentu saja kedatangan perahu itu mengganggu orang yang sedang memancing ikan, karena gerakan perahu itu tentu menakutkan ikan-ikan yang berkeliaran di dekat tempat itu.

   Memang Sin Cu sengaja mendaratkan perahunya dekat Kakek itu untuk melihat bagaimana sikap Kakek yang hendak diberi perahu itu kalau terganggu. Mungkin kalau Kakek itu marah-marah dan bersikap kasar, hal itu akan mengubah niat Ciang Lan memberikan perahu kepadanya dan akan mencari orang lain. Maka begitu mendarat dan mengikatkan tali perahu pada sebatang pohon, Sin Cu memandang kepada Kakek itu. Dia seorang Kakek yang sudah tua, tentu sudah hampir tujuh puluh tahun usianya, tubuhnya kurus jangkung, muka dan leher serta kedua tangannya tampak coklat kehitaman karena terbakar sinar matahari. Muka yang kurus itu berkeriput, namun tubuhnya masih tegak dan tampak cukup kokoh. Kakek itu memandang kepada mereka dan dia tersenyum. Sama sekali tidak menjadi marah.

   "Aih, kalian ini orang-orang muda! Kenapa menepi di sini? Ikan-ikan itu akan berenang menjauh dan umpan pancingku akan menganggur!"

   Ucapannya itupun tidak bernada teguran, bahkan seperti hendak melucu.

   "Kek, sudah mendapatkan ikan banyak hari ini?"

   Tanya Ciang Lan sambil menghampiri Kakek itu.

   "Ah, dalam bulan ini agaknya ikan-ikan itu berpuasa, nona. Setiap hari aku hanya mendapatkan beberapa ekor saja. Lihat ini, sejak pagi aku baru memperoleh empat ekor,"

   Katanya memperlihatkan kepis tempat ikan.

   "Kenapa engkau tidak menggunakan jaring saja untuk menjala ikan, Kek? Kalau engkau menggunakan perahu dan jaring, tentu akan memperoleh banyak ikan!"

   Kata Sin Cu. Kakek itu memandang kepada Sin Cu dan kembali Sin Cu merasa betapa sepasang mata Kakek itu mengamatinya penuh perhatian, seolah mata itu pernah mengenalnya. Sampai lama Kakek itu hanya mengamati wajah Sin Cu dan tidak menjawab pertanyaan itu.

   "Kenapa, Kek?"

   Sin Cu mengulang.

   "Eh..., maaf aku melamun. Apa katamu tadi? Menggunakan perahu dan jaring? Hemm, aku seorang miskin yang tidak mampu membeli perahu dan jaring. Pula, untuk apa aku murka? Aku hidup seorang diri, hanya melayani satu mulut dan perut saja, mengapa harus bersusah payah? Dengan setangkai pancing inipun aku sudah dapat hidup,"

   Kata Kakek itu akan tetapi matanya masih terus mengamati wajah Sin Cu.

   "Kek, mulai sekarang kau pakailah perahu ini untuk mencari ikan agar penghasilanmu lebih banyak,"

   Kata Ciang Lan, nadanya gembira karena seperti yang biasanya dirasakan oleh setiap orang yang menolong orang lain, Ciang Lan juga merasakan hatinya gembira sekali pada saat itu. Kakek itu menoleh kepadanya dengan mata terbelalak heran, lalu memandang lagi kepada Sin Cu.

   "Ehh? Apa maksudmu, nona? Apa artinya ini?"

   Sin Cu tersenyum kepadanya. Diapun merasakan kegembiraan itu.

   "Begini, Kek. Kami tidak membutuhkan lagi perahu ini, maka melihat engkau membutuhkannya, kami memberikan perahu ini kepadamu. Ambil dan pakailah, Kek. Kami mermberikannya dengan rela kepadamu."

   "Ahh! Akan tetapi, kalian tidak kenal denganku..."

   Kata Kakek itu terheran-heran.

   "Kek, apakah kalau orang hendak menolong orang lain, dia harus lebih dulu mengenal orang itu? Engkau membutuhkan perahu ini dan kami tidak, maka kami memberikannya kepadamu."

   Kakek itu menaruh tangkai pancingnya ke atas tanah dan dia menghampiri Sin Cu, matanya terus mengamati penuh perhatian.

   "Engkau tidak mengenal aku, orang muda, akan tetapi rasanya aku mengenalmu. Wajahmu, suaramu, aku mengenalnya dengan baik. Orang muda, maukah engkau mengatakan kepadaku, siapa namamu?"

   Tentu saja melihat sikap Kakek itu, Sin Cu merasa heran. Dia sama sekali tidak pernah mengenal Kakek ini! Sambil tersenyum sabar terhadap Kakek yang dianggapnya sudah pikun itu dia berkata,

   "Tentu saja, Kek. Namaku Wong Sin Cu."

   Kakek itu terbelalak, mulutnya terbuka dan dia tertawa, tampaknya girang sekali

   "Ha-ha-ha, benar sekali! Engkau putera Jaksa Wong Cin itu! Tak salah lagi, engkaulah anak itu!"

   Ciang Lan dan Sin Cu merasa heran sekali.

   "Kek, apa maksudmu? Apakah engkau... mengenal Ayahku Wong Cin?"

   "Jangan bicara dulu! Bukalah bajumu, perlihatkan dadamu agar aku yakin!"

   Kata Kakek itu dengan suara bernada memerintah. Sin Cu mengerutkan alisnya.

   "Kek, apa maksudmu? Ada apakah dengan dadaku?"

   Tanyanya untuk menguji apakah Kakek ini benar-benar tahu akan tanda pada dadanya.

   "Orang muda, aku baru akan yakin bahwa engkau Wong Sin Cu putera Wong Cin kalau pada dadamu terdapat rajah lukisan seekor naga putih. Bukalah bajumu dan perlihatkan dadamu!"

   Berdebar keras jantung Sin Cu mendengar ucapan itu. Kini diapun yakin bahwa Kakek itu benar maka tanpa ragu lagi dia membuka kancing bajunya dan memperlihatkan dadanya. Dada yang berkulit putih dan bidang itu terbuka dan tampaklah rajah naga putih itu melingkar-lingkar, seolah dapat bergerak dan hidup ketika dada itu kembang kempis bernapas. Terdengar jerit tertahan keluar dari mulut Ciang Lan dan gadis itu berdiri terbelalak memandang ke arah dada Sin Cu. Sementara itu Kakek tadi maju dan merangkul Sin Cu, tertawa gembira.

   "Ha-ha-ha, terima kasih kepada Tuhan Ternyata engkau masih hidup dan sudah menjadi seorang pemuda dewasa, Wong Sin Cu!"

   Dia melepaskan rangkulannya, memegang kedua pundak Sin Cu dan memandang wajah pemuda itu dengan wajah berseri dan sepasang mata tuanya bersinar-sinar. Akan tetapi Sin Cu menoleh ke kiri, memandang Ciang Lan yang masih terbelalak karena dia tadi terkejut mendengar jerit tertahan dari gadis itu.

   "Ada apakah, Lan-moi?"

   Tanyanya khawatir. Ciang Lan menudingkan telunjuknya ke arah dada Sin Cu yang telanjang.

   "Itu... dadamu itu... gambarnya persis sama!"

   Katanya, wajahnya membayangkan kekagetan dan keheranan.

   "Sama? Sama dengan apa, Lan-moi?"

   "Sama dengan gambar naga yang berada di dada Bu-Ko! Hanya bedanya, naga di dadamu itu putih, kalau yang berada di dada Bu-Ko hitam. Akan tetapi sama benar!"

   Kakek itu melangkah maju menghampiri Ciang Lan.

   "Nanti dulu, nona. Siapakah yang kau sebut Bu-Ko itu? Apakah dia itu seorang pemuda bernama Tan Song Bu dan di dadanya ada rajah gambar naga hitam yang sama dengan gambar rajah di dada Wong Sin Cu ini?"

   Ciang Lan menatap wajah Kakek itu dengan heran.

   "Benar sekali, Kek. Bagaimana engkau dapat mengetahuinya?"

   "Aku mengetahuinya? Kakek itu tertawa bergelak, tampaknya girang sekali. Ha-ha-ha-ha! Akulah yang membuat rajah itu di dada mereka! Terima kasih, Tuhan. Aku bersukur bahwa kedua orang anak itu ternyata masih hidup!"

   Mendengar pengakuan Kakek itu bahwa dia yang membuat rajah di dadanya, Sin Cu merasa seperti berada dalam mimpi. Mimpi yang seringkali dialaminya dahulu, tentang pengalaman dahsyat ketika dia masih kecil sekali. Teringat dia tentang dia dan seorang anak laki-laki lain yang dia tidak ingat lagi siapa namanya, tentang mereka berdua yang dirajah di dada mereka dengan gambar naga oleh tukang perahu. Tentang perahu mereka yang diserang badai, tentang orang-orang jahat yang menyerang mereka, tentang burung raksasa yang membawanya terbang. Dia memandang wajah Kakek itu seperti dalam mimpi.

   (Lanjut ke Jilid 29)

   Sepasang Rajah Naga (Cerita Lepas)

   
Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 29

   "Kakek yang baik..., jadi... jadi engkaukah tukang perahu yang dulu merajah dadaku...? Kalau begitu... engkau tentu tahu bagaimana keadaan Ayah Ibuku, di mana mereka kini berada..."

   "Wong Sin Cu, pertemuan ini merupakan peristiwa yang luar biasa dan agaknya sudah diatur oleh Tuhan. Mari, mari kita duduk dan bicara. Banyak yang perlu kita bicarakan."

   Mereka bertiga lalu duduk di atas batu-batu di tepi sungai dan Kakek itu mengamati Sin Cu yang mengancingkan kembali bajunya, lalu berkata,

   "Baik sekali kalau engkau masih ingat, orang muda. Memang aku adalah tukang perahu yang dulu merajah dadamu dan dada anak yang bernama Tan Song Bu itu. Ketika itu orang tua kalian mengenalku sebagai Aming. Akan tetapi, sebaiknya engkau lebih dulu menceritakan apa yang terjadi dengan dirimu yang kutinggalkan di perahu bersama Tan Song Bu. Aku terkena anak panah di pundakku dan jatuh ke laut, sedangkan engkau bersama Tan Song Bu hanyut dalam perahu kecil. Lalu bagaimana kalian dapat selamat? Ketika itu, usia kalian baru tiga tahun lebih."

   Sin Cu menghela napas panjang. Dia sudah tak dapat mengingat secara rinci peristiwa itu, hanya ingat sedikit-sedikit seperti bayangan sebuah mimpi saja.

   "Semua itu terjadi seperti dalam mimpi. Aku tidak ingat lagi bagaimana terjadinya, akan tetapi aku masih ingat bahwa aku digondol seekor burung rajawali besar dibawa terbang tinggi ke sarangnya. Tentu aku akan menjadi makanan anak-anaknya kalau saja tidak datang Suhu yang menyelamatkan aku. Aku lalu menjadi murid Suhu."

   "Siapakah Suhumu yang menyelamatkanmu itu, Sin Cu?"

   Tanya Kakek itu dan mendengar dia begitu ringan menyebut nama Sin Cu, menunjukkan bahwa agaknya selama ini dia tidak pernah melupakan dua orang anak yang telah dirajah dadanya itu. Sin Cu juga dapat merasakan betapa dekat hatinya dengan Kakek yang sudah dia lupakan namanya itu.

   "Suhu tak mempunyai nama dan hanya disebut Bu Beng Siauwjin."

   Kakek itu mengangguk-angguk.

   "Bu Beng Siauwjin (Manusia Rendah Tanpa Nama). Hemm, orang yang merasa dirinya rendah sesungguhnya adalah manusia yang luhur, dan orang yang merasa tidak mempunyai nama bahkan menjadi manusia yang terkenal. Aku percaya Suhumu pasti seorang tokoh sakti yang bijaksana. Dan bagaimana dengan anak yang seorang lagi, yang bernama Tan Song Bu. Bagaimana dia dapat diselamatkan?"

   Sin Cu menggeleng kepala.

   "Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan dia. Aku bahkan sudah lupa kepadanya, akan tetapi tadi Lan-moi menyebutkan namanya..."

   Dia menoleh kepada Ciang Lan. Kakek itupun memandang gadis itu.

   "Nona, apakah engkau mengenal Tan Song Bu yang pada dadanya ada rajah naga hitam?"

   Tanyanya sambil menatap wajah gadis itu.

   "Aku mengenalnya dengan baik, bahkan aku berangkat besar bersamanya sejak saat berusia setahun dan dia tiga tahun, Menurut apa yang kudengar, ketika ia terombang-ambing di atas perahu kecil seorang diri di lautan, dia ditolong oleh Ouw Yang Lee dan dibawa ke Pulau Naga. Kemudian dia menjadi murid Ouw Yang Lee di Pula Naga."

   Jawab Ciang Lan dengan singkat karena ia agak merasa enggan untuk bercerita tentang Ouw Yang Lee yang sudah tidak diakuinya lagi sebagai Ayahnya.

   "Sukurlah! Ternyata dua orang anak kecil yang tidak berdosa itu mendapatkan pertolongan dari Tuhan dan dapat di selamatkan. Selama ini kalian berdua tak pernah lepas dari ingatanku dan aku selalu dikejar bayangan yang mengerikan tentang kalian berdua yang berada di dalam perahu kecil di atas lautan bebas yang ganas itu."

   "Kakek yang baik, sekarang kuharap engkau suka menceritakan kepadaku siapakah sebetulnya orang tuaku dan di mana dia sekarang?"

   Sin Cu bertanya dengan hati ingin tahu sekali. Dia hanya ingat bahwa Ayahnya bernama Wong Cin, akan tetapi selanjutnya dia tidak tahu apa-apa tentang orang tuanya.

   "Ketika itu, aku adalah seorang Guru silat yang menjadi pelarian karena aku telah membunuh seorang pejabat yang sewenang-wenang, seorang pejabat yang menjadi antek para Thaikam yang menguasai Kaisar. Aku bernama Siauw Ming dan dalam pelarian itu aku bekerja sebagai tukang perahu di Laut Timur. Kebetulan bertemu dengan dua orang pejabat dari Kotaraja yang juga melarikan diri karena bentrok dengan Thaikam Liu Cin. Mereka seorang perwira tinggi di Kotaraja bernama Tan Hok yang dikuti seorang istrinya dan seorang anak laki-laki bernama Tan Song Bu. Adapun yang kedua seorang jaksa di Kotaraja bernama Wong Cin yang diikuti isterinya dan anak laki-laki bernama Wong Sin Cu."

   "Dia Ayahku."

   Kata Sin Cu terharu.

   "Benar, Sin Cu. Wong-Taijin (Pembesar Wong) itu adalah Ayahmu. Karena kami sama-sama orang pelarian yang diburu kaki tangan Thaikam Liu Cin, maka hubungan kami menjadi akrab. Dalam pelayaran itu aku yang memang ahli merajah kulit diminta merajah gambar naga pada dada Wong Sin Cu dan Tan Song Bu. Aku merajah naga putih di dada Wong Sin Cu dan naga hitam di dada Tan Song Bu. Kemudian, tiba-tiba kami diserang badai angin taufan...!"

   Sin Cu memejamkan matanya dan samar-samar teringatlah dia akan peristiwa itu. Dengan kedua mata masih terpejam, dia berkata,

   "Aku dan Ibuku... anak yang lain itu dan Ibunya kami berempat diikat pada tihang layar agar tidak terlempar ke laut yang amat ganas..."

   "Benar,"

   Kata Kakek itu.

   "Perahu dipermainkan gelombang besar tanpa kami ketahui dibawa ke mana. Tiba-tiba perahu dihantamkan batu karang dan pecah berantakan! Aku terlempar ke laut dan tidak tahu lagi apa yang terjadi dengan sepasang suami isteri dan anak mereka itu. Aku berhasil meraih sepotong kayu pecahan perahu dan terombang-ambing dalam kegelapan, Semalam suntuk aku dipermainkan air tanpa daya... tak tahu apa yang terjadi dengan mereka."

   Sin Cu masih memejamkan matanya,

   "Kami berdua bersama Ibu-ibu kami terdampar di atas batu-batu karang itu, lalu... dua orang laki-laki jahat itu mereka hendak membunuh kami lalu... Ayah dan temannya itu mereka berdua berkelahi dengan dua orang penjahat, berhasil mengusir mereka..."

   "Bagus, Sin Cu, bagus kalau engkau masih dapat mengingat semua itu. lalu bagaimana?"

   Tanya Kakek Siauw Ming, Sin Cu masih memejamkan mata, alisnya berkerut dan dia mengerahkan seluruh tenaga pikirannya untuk mengingat-ingat, lalu berkata lirih,

   "Kami bersembunyi dalam guha dan tidur di guha ketika kami keluar ke pantai muncul banyak orang dan Ayah bersama Paman itu berkelelahi lagi, selanjutnya ah,... aku tidak ingat apa-apa lagi. oh ya, aku bertemu denganmu lagi, Kakek yang baik."

   Kakek itu mengangguk-angguk.

   "Benar sekali, Sin Cu. Ketika terjadi pengeroyokan itu, aku baru saja mendarat di Pulau Ular itu. Setelah semalam terombang-ambing dilautan, akhirnya aku terdampar dan mendarat. Aku mencari kalian dan melihat dua pasang suami isteri itu dikeroyok. Aku menyelamatkan engkau dan Song Bu ke dalam perahu. Aku berhasil mengusir kedua orang kepala bajak yang dikenal dengan julukan Hai-Coa-Ong (Raja Ular Lautan) itu dan tiga orang anak buahnya. Aku lalu membawa kalian dua orang anak berlayar akan tetapi bertemu dengan para bajak laut itu yang rupanya hendak membalas kekalahan mereka. Perahuku terbakar. Aku memasukkan kalian berdua ke dalam sebuah perahu kecil, aku sendiri terkena anak panah dan terjungkal ke laut. Akhirnya aku dapat menyelamatkan diri akan tetapi aku kehilangan kalian berdua. Kukira kalian mati, akan tetapi sukur kepada Tuhan, kalian berdua selamat dan kini telah menjadi pemuda-pemuda dewasa!"

   "Akan tetapi, Kek. Apa yang terjadi dengan Ayah Ibuku? Bagaimana keadaan mereka dan di mana mereka sekarang berada?"

   Tanya Sin Cu dengan alis berkerut dan suaranya mengandung kecemasan.

   "Bersiaplah engkau untuk menerima pukulan gelombang kenyataan hidup, Sin Cu. Ayah Ibumu, juga Ayah Ibu Tan Song Bu, mereka berempat telah menjadi korban keganasan para bajak laut, mereka berempat telah tewas dan akulah yang menguburkan jenazah mereka di pantai Pulau Ular itu."

   Wajah Sin Cu menjadi pucat dan jantungnya serasa ditusuk pedang.

   "Ohhh...!"

   Dia menutupi mukanya dengan kedua tangan. Tidak, dia tidak menangis walaupun isi dadanya terguncang dan tertekan perasaan duka. Selama ini dia memang tidak merasa dekat dengan Ayah Ibunya. Dia masih terlalu kecil ketika terpisah dari mereka. Bahkan wajah merekapun dia sudah tidak dapat ingat lagi. Akan tetapi ada rasa sakit dalam hatinya mendengar Ayah Bundanya dibunuh orang-orang jahat yang kejam. Ciang Lan memandang Sin Cu dengan terharu. Ketika ia bergerak hendak menghampiri, Kakek Siauw Ming memberi isarat mencegah dengan goyangan tangannya. Ciang Lan menahan diri dan setelah agak lama, barulah ia menghampiri dan menaruh tangannya di pundak pemuda itu.

   "Cu-Ko, kuatkan hatimu, Cu-Ko. Peristiwa itu telah terjadi belasan tahun yang lalu,"

   Kata Ciang Lan dengan nada menghibur. Sin Cu menurunkan kedua tangannya, Kedua pipinya basah, akan tetapi sinar matanya tampak tenang.

   "Terima kasih, Lan-moi. Aku hanya terkejut karena tidak pernah mengira bahwa Ayah Ibuku telah tiada. Kakek Siauw Ming, aku ingin pergi ke Pulau Ular untuk menyembahyangi kuburan orang tuaku dan mencari Hai-Coa-Ong untuk membalas kematian Ayah Ibu!"

   "Kelak aku akan mengantarmu ke sana Sin Cu. Akan tetapi semua ini adalah akibat dari kelaliman Thaikam Liu Cin. Dialah yang bertanggung jawab dan dia yang memaksa orang tuamu melarikan diri. Dialah orang pertama yang harus kita tentang."

   "Memang benar, Kek!"

   Kata Ciang Lan.

   "Ketahuilah bahwa kami berdua juga sedang menuju ke Kotaraja untuk membantu para bangsawan yang hendak menyadarkan Kaisar dan menggulingkan kekuasaan Thaikam Liu Cin."

   "Ah, benarkah itu? Ada bangsawan yang demikian beraninya?"

   Tanya Kakek Siauw Ming heran dan juga gembira.

   "Benar, Kek. Para bangsawan itu dipimpin oleh Pangeran Ceng Sin, sekarang mereka sedang hendak pergi menghadap Sribaginda Kaisar, menyadarkan Kaisar akan kejahatan Thaikam Liu Cin. Kami berdua sudah bersepakat untuk membantu gerakan mereka menentang Thaikam Liu Cin."

   Sin Cu lalu menceritakan semua pengalamannya, tentang persekutuan yang dia ketahui antara Pek-Lian-Kauw, orang Mancu, dan Thaikam Liu Cin. Juga tentang pertemuannya dengan para bangsawan yang dipimpin oleh Pangeran Ceng Sin, dan betapa dia dan Ciang Lan mencari Ouw Yang Hui yang diculik oleh Kim Niocu, puteri Ketua Umum Pek-Lian-Kauw.

   "Pedang pusakaku peninggalan Kwee-Ciangkun juga dirampas oleh Kim Niocu. Maka kami hendak mencarinya di Kotaraja, menyelamatkan Hui-moi dan merampas kembali pedang pusakaku, juga membantu menghadapi Thaikam Liu Cin yang mempunyai banyak jagoan tangguh, membantu usaha para bangsawan yang hendak menggulingkannya."

   Sin Cu mengakhiri ceritanya. Kakek Siauw Ming mengangguk-angguk dan tampak gembira sekali.

   "Ah, betapa bertahun-tahun aku seperti ini! Aku menanti kesempatan seperti ini sambil memancing, memancing kesempatan baik ini! Akhirnya kesempatan untuk membasmi Thaikam Liu Cin tiba. Terima kasih kepada Tuhan yang telah mempertemukan aku dengan kalian! Nah kalau begitu mari sekarang kita ke Kotaraja. Kita bantu Pangeran Ceng Sin dan aku tidak akan dikenal anak buah Thaikam Liu Cin. Akan tetapi aku mempunyai banyak bekas murid di Kotaraja, mereka tentu akan membantu kita. Setelah tugas mulia menyelamatkan negara dan bangsa ini selesai, baru aku akan mengantarmu mengunjungi kuburan orang tuamu, Sin Cu,"

   Kata Kakek itu.

   "Akan tetapi, bagaimana dengan perahu ini, kek?"

   Tanya Ciang Lan.

   "Aku tidak membutuhkan perahu, kita ke Kotaraja melalui jalan darat saja tunggu sebentar, perahu ini akan kuberikan kepada seorang nelayan muda yang juga miskin dan dia harus merawat Ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan. Kalian tunggu sebentar di sini."

   Setelah berkata demikian, Kakek Siauw Ming lalu pergi ke arah pantai yang ramai dengan para nelayan yang sibuk bekerja. Tak lama kemudian dia datang lagi bersama seorang pemuda nelayan. Nelayan muda itu gembira bukan main ketika dia diberi sebuah perahu. Berulang-ulang dia membungkuk dan mengangkat kedua tangan mengucapkan terima kasihnya kepada Kakek Siauw Ming, Sin Cu dan Ciang Lan atas pemberian perahu yang akan menolongnya meningkatkan hasil pendapatannya itu.

   Berangkatlah tiga orang itu menuju ke Kotaraja dan di sepanjang perjalanan Kakek Siauw Ming banyak bertanya kepada Sin Cu dan Ciang Lan tentang keadaan Sin Cu dan Song Bu lebih rinci lagi. Dia sungguh merasa berbahagia sekali mendengar bahwa dua orang anak yang selama bertahun-tahun ini menjadi bahan kenangan dan pemikiran yang mengganggu hatinya, ternyata kini masih hidup dan menjadi pemuda-pemuda yang lihai. Terutama sekali mendengar bahwa dua orang pemuda itu tumbuh menjadi pendekar-pendekar yang menentang Thaikam Liu Cin. Tanpa disadari kedua orang anak kecil yang dirajah dadanya itu kini berusaha untuk membalaskan dendam sakit hati orang tua mereka terhadap Thaikam Liu Cin.

   Untuk menghadap Kaisar Ceng Tek pada waktu itu, adalah hal yang amat sulit sekali. Kekuasaan Thaikam Liu Cin amat besarnya, dan pengaruhnya hampir menyelubungi seluruh Istana. Hampir semua kesibukan dalam Istana berada di bawah pengawasannya, oleh karena itu, amat sukarlah untuk dapat menghadap Kaisar tanpa persetujuan dari Thaikam Liu Cin, Bahkan pasukan pengawal Istana kini berada di bawah pimpinan Panglima Liu Kui, adik dari Thaikam Liu Cin.

   Dahulu, Song Bu dapat dekat dengan Kaisar Ceng Tek, bahkan oleh Kaisar kadang dijadikan pengawal pribadi kalau Kaisar itu keluar dari Istana dengan menyamar. Hal itu mungkin terjadi karena ketika itu Song Bu merupakan pembantu Thaikam Liu Cin, dia dapat leluasa memasuki Istana, tidak dilarang oleh pasukan pengawal yang mengenalnya. Akan tetapi sekarang, jangan harap dia akan dapat memasuki Istana. Apa lagi karena dia sudah dianggap musuh semenjak dia membantu Ciang Sek melawan Ouw Yang Lee dan Tho-Te-Kong. Ouw Yang Lee menceritakan tentang pengkhianatan Song Bu itu kepada Thaikam Liu Cin dan semenjak itu Song Bu dianggap sebagai musuh.

   Hal ini dapat diduga oleh Tan Song Bu yang pada malam hari itu memasuki pintu gerbang Kotaraja, bersama Ouw Yang Hui. Karena itu, dia memasuki pintu gerbang bersama Ouw Yang Hui dengan menyamar sebagai sepasang suami isteri petani berpakaian kotor dan kulit juga kotor berdebu. Dia memikul dua keranjang sayur dan Ouw Yang Hui menjinjing keranjang pula. Mereka seperti petani-petani yang hendak menjual sayur hasil ladangnya ke Kotaraja sehingga tidak menarik perhatian para perajurit penjaga pintu gerbang. Apalagi malam hampir gelap sehingga wajah mereka tidak tampak jelas. Akan tetapi Song Bu lengah atau memandang rendah Kim Niocu yang amat cerdik. Ketika Ang Hwa dan lima orang anak buahnya dikalahkan Song Bu, Ang Hwa dan anak buahnya dapat meloloskan diri dengan melemparkan senjata peledak dan mereka kabur dengan kuda mereka.

   Ang Hwa cepat pergi ke Kotaraja, menyusul Kim Niocu di rumah Su Kian atau Hartawan Su yang menjadi mata-mata Pek-Lian-Kauw di Kotaraja. Mendengar laporan Ang Hwa bahwa Ouw Yang Hui dirampas oleh Tan Song Bu, Kim Niocu marah sekali dan cepat mengutus Ang Hwa untuk mencari Song Bu dan Ouw Yang Hui dan membayangi mereka. Setelah Ang Hwa pergi, Kim Niocu menghubungi Ouw Yang Lee dan menceritakan tentang Ouw Yang Hui yang kini dibawa oleh Song Bu agar datuk Pulau Naga ini mempersiapkan diri untuk dapat merampas kembali puterinya. Demikianlah, di luar dugaannya sama sekali, Song Bu dan Ouw Yang Hui selalu dibayangi oleh Ang Hwa dari jauh sehingga pemimpin pasukan Ang-Hwa Tok-Tin ini ikut pula memasuki Kotaraja ketika dua orang muda itu masuk melalui pintu gerbang Kotaraja.

   "Hui-moi, kita terpaksa harus melewatkan malam ini dan bersembunyi. Besok baru kita dapat mencoba untuk menghadap Sribaginda Kaisar. Aku tahu sebuah rumah penginapan yang kecil sederhana. Biasanya hanya pendatang dari dusun dan pedagang kecil yang bermalam di sana. Mari!"

   Kata Song Bu. Mereka berdua lalu memasuki sebuah lorong kecil dan akhirnya memasuki sebuah rumah penginapan kecil sederhana. Seorang pelayan tua menyambut mereka dan pelayan yang sudah biasa menerima tamu-tamu yang terdiri dari orang-orang dusun miskin itu menyambut dengan sikap dingin. Kamar rumah penginapan ini murah dan sederhana sekali, maka yang menginap di situ hanyalah para pendatang yang kantongnya tipis.

   "Kalian mencari kamar? Kebetulan tinggal sebuah kamar yang kosong di bagian belakang,"

   Kata pelayan tua itu. Song Bu berkedip memberi isarat kepada Ouw Yang Hui.

   "Baiklah, kami sewa kamar itu untuk semalam ini."

   Pelayan itu menyerahkan anak kunci kamar dan mengantar mereka sampai ke kamar di bagian paling belakang. Song Bu dan Ouw Yang Hui memasuki kamar setelah Song Bu membayar sewa kamar karena pelayan itu tidak pernah percaya kepada para tamunya dan diharuskan membayar lebih dulu. Setelah pelayan pergi, Ouw Yang Hui yang memasuki kamar bersama Song Bu mengerutkan alisnya dan mengernyitkan hidung. Kamar itu berbau apak dan keadaanya sama sekali tidak bersih. Hanya ada dua buah bangku butut dan sebuah tempat tidur yang kasur dan bantalnya tampak kotor dan kusut, Jelas bahwa tempat tidur itu sering ditiduri orang dan alasnya tidak pernah diganti! Melihat di situ hanya terdapat sebuah tempat tidur, Ouw Yang Hui merasa tidak enak dan iapun duduk di atas sebuah bangku dengan lemas.

   "Hui-moi, maafkan aku. Terpaksa kita harus menggunakan sebuah kamar saja. Selain di sini hanya tinggal sebuah kamar, juga aku tidak ingin berpisah darimu, takut kalau kalau ada bahaya mengancam dirimu. Di Kotaraja ini kita harus berhati-hati sekali. Ku harap engkau tidak salah sangka terhadap aku, Hui-moi."

   "Aku dapat mengerti, Bu-Ko, dan aku tidak menyalahkanmu. Hanya tempat ini begini kotor."

   "Terpaksa, Hui-moi. Justeru tempat ini tersembunyi dan paling aman untuk kita. Pula, kita hanya menginap satu malam saja, besok tempat ini sudah kita tinggalkan."

   Song Bu lalu membuka buntalan pakaiannya dan menggunakan kain buntalan yang cukup lebar untuk menutupi kasur yang tampak kotor itu.

   "Engkau tidurlah di atas pembaringan ini, Hui-moi. Aku dapat menyambung dua buah bangku ini dan tidur di atas bangku. Yang penting kita dapat melewatkan malam ini dengan selamat."

   "Baiklah, Bu-Ko, Sungguh tidak enak sekali, aku telah banyak menyusahkanmu."

   "Ahh, kenapa engkau berkata begitu, Hui-moi? Engkau tentu tahu bahwa aku siap melakukan apa saja untuk membela dan melindungimu, kalau perlu aku akan mempertaruhkan nyawaku."

   Ucapan yang penuh semangat ini jelas menunjukkan betapa pemuda itu amat mencintanya. Ouw Yang Hui merasa hatinya sedih sekali, teringat akan keadaan dirinya. Tak terasa lagi kedua matanya menjadi basah.

   "Terima kasih Bu-Ko, engkau... baik sekali, dan aku sama sekali tidak pantas menerimanya... aku... tidak berharga."

   Melihat gadis itu tenggelam ke dalam kesedihan lagi, Song Bu cepat mengalihkan percakapan.

   "Hui-moi, kita makan malam dulu, ya? Biar kupanggil pelayan tadi dan ku suruh membeli makanan."

   Ouw Yang Hui menyusut air matanya. merasa lega karena pemuda itu mengalikan perhatian dari percakapan yang membuatnya sedih tadi. Cepat ia mencegah.

   "Tidak usah, Bu-Ko. Aku tidak lapar dan sama sekali tidak ada nafsu makan malam ini. Kalau engkau lapar, engkau makanlah, Bu-Ko. Aku ingin mengaso."

   Ouw Yang Hui menghampiri pembaringan dan duduk di tepi pembaringan. Song Bu menghela napas. Dia sendiri juga tidak merasa lapar. Kalau tadi dia mengusulkan membeli makanan adalah demi gadis itu.

   "Akupun tidak lapar, Hui-moi. Mengasolah, aku akan menjaga di sini,"

   Katanya dan dia duduk di atas bangku membelakangi pembaringan. Melihat pemuda itu duduk di atas bangku membelakanginya, Ouw Yang Hui memandang dengan terharu.

   Bekas Suhengnya ini amat baik kepadanya, amat mencintanya. la membandingkan kebaikan Song Bu dengan tunangannya. Banyak kemiripan antara kedua orang pemuda itu. Keduanya gagah perkasa, berilmu tinggi. Hanya bedanya, kalau Sin Cu tunangannya itu bers?kap lemah lembut dan tenang, maka Song Bu ini wataknya keras. Akan tetapi ia teringat akan keadaan dirinya. la tidak berharga lagi, baik bagi Song Bu dan terutama sekali bagi Sin Cu. Bukan saja ia telah ternoda, bahkan ia telah mengandung anak keturunan laki-laki lain! Ouw Yang Hui merebahkan dirinya di atas pembaringan tanpa kelambu itu. la telentang. Kedua matanya terbuka, berlinang air mata dan ia menatap langit-langit kamar itu yang ternoda bercak-bercak hitam. Agaknya banyak genteng rumah itu yang bocor. Akhirnya Ouw Yang Hui dapat pulas juga. Sejak tadi Song Bu duduk di atas bangku.

   Dia memejamkan kedua matanya, akan tetapi tidak tidur, melainkan dalam keadaan bersamadhi. Dia mendengar pernapasan yang lembut dan panjang dari Ouw Yang Hui, tahu bahwa gadis itu telah tidur pulas. Dia merasa iba sekali kepada gadis yang dicintanya itu. Dia akan membelanya, dia harus dapat membuat gadis itu hidup berbahagia. Dia harus membuat gadis itu mendapatkan kembali kebahagiaannya, memulihkan lagi kehormatannya yang ternoda dengan menjadikan ia isteri laki-laki tunangannya itu. la harus menjadi isteri yang sah dan terhormat dari laki-laki bernama Wong Sin Cu itu. Kalau pemuda itu menolak, akan dipaksanya. Kalau tetap menolak akan dibunuhnya karena bagaimanapun juga, Ouw Yang Hui menderita kehilangan kehormatannya karena membela dan menyelamatkan pemuda itu! Song Bu bangkit perlahan-lahan lalu menghampiri pembaringan itu.

   Dilihatnya wajah yang masih tampak cantik jelita walaupun wajah itu dilumuri tanah dan arang dalam penyamaran tadi dan rambutnya kusut. Sepasang mata itu terpejam dan di bawah mata itu terdapat air mata. Hati Song Bu merasa terharu sekali. Ingin sekali hatinya untuk menyentuh wajah itu, membelai dan menghiburnya. Akan tetapi dia menahan hatinya dan melepaskan baju luarnya lalu menyelimutkan baju itu ke atas tubuh Ouw Yang Hui. Kemudian dia kembali ke tengah kamar menjajarkan kedua buah bangku dan merebahkan tubuhnya di atas kedua bangku itu. Biarpun dalam keadaan tidur, namun seluruh anggauta tubuh Song Bu berada dalam keadaan waspada dan peka. Tubuh yang terlatih itu dalam keadaan berjaga-jaga sehingga ketika ada sedikit angin bersilir memasuki kamar, Song Bu segera terbangun dari tidurnya.

   Begitu dia membuka kedua matanya, dia melihat ketidak wajaran itu. Lilin yang bernyala di atas meja itu bergoyang-goyang menimbulkan bayang-bayang yang menari-nari di atas dinding kamar. Dia juga merasakan hembusan angin dari arah jendela. Ketika dia cepat menengok dan memandang ke arah jendela, dia melihat betapa daun jendela telah terbuka sedikit. Dari situlah angin dari luar berhembus masuk kamar. Dia segera menyadari bahwa hal ini tidak wajar karena tadi dia sendiri yang menutupkan daun jendela. Dia menoleh ke arah pembaringan dan melihat betapa Ouw Yang Hui masih tidur pulas, akan tetapi sekarang tubuh gadis itu menghadap ketembok, membelakanginya. Melihat gadis itu masih berada di atas pembaringan, hatinya menjadi lega. Dia maklum bahwa tentu ada orang yang membuka daun jendela itu dari luar.

   Cepat dia menyambar Coat-Beng Tok-Kiam (Pedang Beracun Pencabut Nyawa) yang tadi dia letakkan di atas meja, mencabut dari sarungnya dan sekali meloncat dia sudah berada di dekat jendela. Jendela itu cukup besar dan dia segera mendorong daun jendela sehingga terbuka sama sekali. Dia melihat dua sosok bayangan orang di luar jendela. Dari tempat dia berdiri, Song Bu mengebutkan tangan kirinya dan angin menyambar ke arah meja. Lilin yang bernyala itu tertiup padam sehingga kamar menjadi gelap. Bagaikan seekor burung tubuh Song Bu melompat keluar melalui jendela dan kini dia tiba di luar kamar yang merupakan tempat terbuka dengan taman yang tidak terpelihara. Dua buah lampu gantung menerangi tempat itu. Dua sosok bayangan itu berloncatan memasuki taman yang berada di belakang rumah.

   "Keparat, hendak lari ke mana kalian?"

   Song Bu membentak lalu dia melompat untuk melakukan pengejaran. Dua sosok bayangan itu berhenti, membalik dan tangan mereka bergerak. Di bawah sinar bulan dan bintang, Song Bu, melihat sinar lembut meluncur dari tangan kedua orang itu. Dia maklum bahwa dua orang itu menyerangnya dengan senjata rahasia yang kecil, mungkin jarum atau paku.

   Cepat dia memutar pedangnya dan tidak berhenti mengejar. Terdengar suara berkentingan dan belasan jarum lembut itu terpukul runtuh. Dua orang itu lari lagi dan Song Bu yang merasa penasaran cepat mengejar. Setelah tiba di tengah taman, tiba-tiba muncul tiga sosok bayangan lain dan lima orang itu lalu mengepung dan mengeroyoknya. Mereka mempergunakan sepasang belati yang berwarna hitam dan berbau amis, menunjukkan bahwa pisau mereka itu mengandung racun yang berbahaya. Begitu lima orang yang mengenakan pakaian serba hitam dan mukanya ditutupi kain hitam itu bergerak menyerang, Song Bu segera mengenal gerakan mereka! Mereka itu bukan lain adalah wanita-wanita Pek-Lian-Kauw yang dulu menawan Ouw Yang Hui dan yang telah dia kalahkan ketika dia membebaskan gadis itu! Bukan main marahnya hati Song Bu.

   "Kalian iblis-iblis betina Pek-Lian-Kauw!"

   Bentaknya dan diapun mengamuk dengan pedangnya. Pedangnya adalah sebatang pedang pemberian Ouw Yang Lee, merupakan sebatang pedang yang ampuh dan mengandung racun dahsyat sekali. Karena marah, Song Bu bukan hanya menyerang dengan pedangnya, melainkan juga tangan kirinya melakukan serangan selingan dengan pukulan Ang-Tok-Ciang (Tangan Racun Merah) yang amat dahsyat. Lima orang pengeroyoknya segera terdesak hebat. Mereka berusaha untuk menggunakan jarum-jarum beracun, akan tetapi semua serangan jarun itu dapat diruntuhkan pedang di tangan Song Bu. Bahkan pedang Song Bu yang berubah menjadi sinar bergulung-gulung itu mendesak para pengeroyok.

   "Heiiiiittt...!"

   Tiba tiba Song Bu membentak dan dua kali tangan kirinya menyambar. Dua orang pengeroyok menjerit, jerit wanita, dan roboh terkena pukulan Ang-Tok-Ciang! Tiga orang pengeroyok lain segera membanting sesuatu. Terdengar ledakan dan asap hitam mengepul tebal. Song Bu melompat ke belakang. Ketika asap membumbung dan lenyap tiga orang itu tidak tampak lagi, bahkan dua orang yang roboh oleh pukulannya tadipun lenyap. Agaknya sempat dibawa pergi kawan-kawan mereka. Tiba-tiba Song Bu teringat. Dia berseru khawatir dan wajahnya berubah pucat. Cepat sekali dia membalikkan tubuh dan berlari seperti terbang, kembali ke kamar penginapan yang berada di ujung belakang itu.

   Bagaikan seorang maling dia memasuki kamar itu melalui jendela yang terbuka. Keadaan dalam kamar remang-remang karena hanya mendapatkan sedikit sinar lampu yang tergantung di depan kamar dan di lorong yang menyambung ke taman itu. Dia cepat menghampiri pembaringan dan berdiri di depan pembaringan, tertegun. Seperti yang dikhawatirkan tadi, Ouw Yang Hui tidak berada di kamar itu! Seolah tidak percaya kepada pandang matanya di dalam kamar yang remang-remang itu, kedua tangannya meraba-raba, mencari-cari di atas pembaringan. Maka, yakinlah dia bahwa gadis itu benar-benar telah lenyap dari kamar! Dia lari menuju pintu kamar dan mendapat kenyataan bahwa daun pintu kamar itu sudah tidak terkunci lagi. Ada orang yang telah membuka daun pintu dan membawa Ouw Yang Hui pergi. Ataukah, gadis itu sendiri yang membuka pintu dan pergi tanpa pamit kepadanya.

   "Ah, tidak mungkin!"

   Dia membantah dugaannya tadi. Tidak mungkin Ouw Yang Hui pergi begitu saja meninggalkannya tanpa pamit. Tidak ada alasan bagi gadis itu untuk melarikan diri darinya. la tentu mengerti bahwa pergi begitu saja di Kotaraja akan membahayakan dirinya dan memungkinkan dirinya akan tertangkap oleh Ouw Yang lee? Atau oleh Kim Niocu?

   "Kim Niocu!"

   Dia mengepal tinjunya. Tak salah lagi. Ouw Yang Hui pasti ditangkap oleh iblis betina dari Pek-Lian-Kauw itu!

   Wanita-wanita bertopeng yang tadi menyerangnya, tak salah lagi tentu orang-orang Pek-Lian-Kauw. Tadi mereka sengaja memancingnya keluar dari kamar sehingga Ouw Yang Hui berada dalam kamar seorang diri! Dan ketika dia bertanding dengan para wanita itu di taman, Ouw Yang Hui lalu diculik! Dia teringat bahwa ketika para wanita itu dulu membawa Ouw Yang Hui dan berkelahi dengannya, mereka berjumlah enam orang. Akan tetapi yang mengeroyoknya tadi hanya lima orang. Tentu yang seorang bertugas menculik Ouw Yang Hui yang sedang tidur.! Song Bu cepat melompat keluar dan dia mencoba untuk melakukan pengejaran dan pencarian sampai di luar rumah penginapan. Akan tetapi dia tidak menemukan jejak dan karena dia tidak tahu harus mengejar ke arah mana, maka dengan lemas dan gelisah dia kembali ke kamarnya.

   Dia menyalakan kembali lilin di atas meja, menutupkan daun pintu dan jendela. Dengan perasaan menyesal mengapa begitu mudah dia dipancing dengan tipu daya "Memancing harimau meninggalkan sarang"

   Dia menoleh ke arah pembaringan. Dan di lantai dekat pembaringan itu dia menemukan baju luarnya yang tadi dia pergunakan untuk menyelimuti tubuh Ouw Yang Hui. Dia menghampiri dan memungut baju itu dan... seperti dengan sendirinya, dia mendekap baju itu di dadanya dan membenamkan mukanya di baju yang tadi menyelimuti tubuh Ouw Yang Hui! Hatinya penuh kemarahan, penyesalan, dan kerinduan. Kemudian ia memakai baju itu, menggendong buntalan pakaiannya, menyembunyikan pedang dalam buntalan seperti ketika dia memasuki Kotaraja semalam. Dia menoleh lagi ke arah pembaringan dan berbisik,

   "Hui-moi, aku bersumpah untuk menemukan dan menyelamatkanmu dan akan kubunuh orang yang mengganggumu!"

   Setelah berbisik demikian, dia keluar dari kamar memasuki taman dan meninggalkan tempat itu.

   Sebagai seorang yang pernah dekat dengan Kaisar dan sudah sering memasuki Istana dengan bebas sebagai pengawal pribadi Kaisar jika melakukan perjalanan rahasia, Song Bu mengenal keadaan Istana dan tahu pula akan kebiasaan Kaisar. Dia tahu bahwa penjagaan di Istana oleh pasukan pengawal Istana amat ketat, terutama di siang hari. Kalau malam hari, ada bagian-bagian yang dia tahu dapat diterobos. Akan tetapi karena sekarang dia sudah dianggap musuh oleh Thaikam Liu Cin dan pasukan pengawal Istana itu sebagian besar adalah anak buah Panglima Liu Kui adik Thaikam Liu Cin, maka tidak mungkin baginya memasuki Istana begitu saja.

   Dia harus dapat menyelinap masuk tanpa diketahui orang dan hal ini baru mungkin dia lakukan di waktu malam. Hal inipun harus dia lakukan dengan hati-hati sekali karena kalau sampai ketahuan, dia pasti akan dibunuh oleh kaki tangan Thaikam Liu Cin sebelum dike tahui Kaisar. Dalam kompleks Istana itu, yang berada paling belakang dekat dinding tinggi yang mengelilingi Istana seperti benteng adalah bangunan tempat menyimpan kereta dan istal kuda. Song Bu sudah sering memasuki bagian ini untuk mengambil kuda seperti diperintahkan Kaisar. Dia tahu benar bahwa dinding di belakang bangunan istal kuda ini yang tidak terjaga perajurit pengawal. Bagian dinding ini hanya kadang-kadang saja dilewati perajurit yang meronda.

   Selain dindingnya cukup tinggi dan di luar dinding terdapat sungai buatan, juga bagian ini dihuni oleh para petugas, pemelihara kuda dan perawat kereta-kereta dan perlengkapannya. Song Bu tahu benar akan hal ini. Lewat tengah malam. Keadaan dibangunan tempat kereta dan kuda itu sunyi sekali. Semua orang sudah tidur. Lima orang perajurit dengan tombak di tangan kanan dan lentera di tangan kiri melakukan perondaan. Malam itu bulan cukup terang, akan tetapi terkadang ada awan tebal lewat dan menutupi sinarnya. Sesosok bayangan mempergunakan tali bergantungan pada dinding dan cepat sekali merayap naik. Bayangan itu adalah Song Bu. Tidak mungkin melompati tembok itu begitu saja. Selain terlalu tinggi, juga di luar tembok itu terdapat sungai buatan, dan di atas tembok berjajar ujung tombak yang runcing.

   Karena itu, dia menyeberangi sungai buatan itu dengan berenang sambil membawa segulung tali yang ujungnya dipasangi besi kaitan, Pedangnya dia ikatkan di punggung. Setelah berhasil menyeberangi sungai buatan, dia lalu menggunakan tali panjang dengan ujung besi kaitan untuk memanjat tembok. Bagaikan seekor kera dia memanjat tembok. Ketika tiba di atas tembok dia mendekam dan memperhatikan sebelah dalam tembok. Seperti telah diketahuinya, tidak tampak penjaga. Dia tidak berani melompat turun karena cuaca tidak cukup terang. Dia lalu menarik tali yang tadi dipakai untuk memanjat lalu menurunkan tali ke sebelah dalam tembok Istana. Kemudian, kembali dia bergantungan pada tali dan merayap turun. Dia kini telah berada di dalam kompleks Istana dengan selamat. Tak lama kemudian, dengan jalan menyusup dan menyelinap, Song Bu berhasil memasuki taman Istana.

   

Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Pembakaran Kuil Thian Loksi Karya Kho Ping Hoo Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini