Sepasang Rajah Naga 34
Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 34
"Ayah, kalau Ayah sudah tidak sayang lagi kepadaku, mengapa Ayah hendak memaksa aku pulang ke Pulau Naga? Aku benar-benar lelah sekali akan tetapi Ayah memaksaku berjalan terus. Itu berarti Ayah tidak sayang lagi kepadaku. Ayah, kalau memang Ayah membenci aku, bunuh saja aku, Ayah. Di sini tidak ada orang lain yang melihatnya atau yang menghalangimu."
"Jangan banyak cakap! Engkau anakku dan engkau harus menaati semua kehendakku. Hayo jalan!"
Pada saat itu terdengar suara lantang.
"Seekor binatang buas sekalipun tidak akan menyiksa anaknya sendiri, akan tetapi engkau seorang manusia berhati kejam bahkan ingin membunuh anak sendiri! Engkau benar-benar jahat sekali Ouw Yang Lee!"
Ouw Yang Lee terkejut dan cepat memutar tubuhnya sambil mencabut pedangnya. Dia terbelalak dan semakin terkejut melihat orang yang menegurnya itu ternyata adalah Wong Sin Cu, pemuda yang dia tahu amat lihai dan yang pernah mengalahkannya itu.
"Bocah lancang...! Aku berurusan dengan anakku sendiri..! Mau apa kau mencampuri? Tidak tahu malu!"
Bentak Ouw Yang Lee. Sin Cu memandang kepada Ouw Yang Hui yang berdiri di bawah sebatang pohon. Dia merasa heran sekali melihat wajah tunangannya yang lesu dan sedih itu. Aneh sekali. Mengapa Ouw Yang Hui tidak kelihatan girang melihat dia datang hendak menolongnya? Gadis itu bahkan mengerutkan alisnya dan menundukkan muka, sama sekali tidak melihatnya! Akan tetapi dalam keheranannya itu, Sin Cu merasa lega melihat kekasih atau tunangannya itu berada dalam keadaan selamat.
"Ouw Yang Lee, engkau berurusan dengan anakmu sendiri atau dengan orang lain, kalau engkau melakukan kejahatan, terpaksa aku harus mencampuri dan menentangmu! Engkau menghambakan diri kepada pengkhianat Liu Cin, bersekutu dengan Pek-Lian-Kauw dan membunuh orang-orang yang tidak berdosa! Tentu saja aku menentangmu, di mana dan kapan saja!"
"Jahanam, mampuslah!"
Ouw Yang Lee tidak dapat menahan kemarahannya dan dia sudah menerjang dan menyerangkan pedangnya dengon dahsyat sekali. Akan tetapi Sin Cu sudah waspada sejak tadi, maklum bahwa datuk yang kejam ini juga dapat bertindak licik dan curang. Diserang secara tiba-tiba itu dia tidak menjadi gugup. Dia melompat ke belakang sambil mencabut Pek-Liong-Kiam. Ouw Yang lee menyerang lagi dengan sabetan pedang ke arah leher Sin Cu. Pemuda itu menangkis dari samping.
"Cringgg...!"
Dua batang pedang bertemu dan benturan tenaga sakti melalui pedang itu membuat Ouw Yang Lee terdorong ke belakang. Baru pertemuan tenaga sakti ini saja sudah menunjukkan bahwa pemuda itu lebih kuat. Akan tetapi kemarahan membuat Ouw Yang Lee menjadi nekat. Dia sudah mengalami pukulan batin dan kekecewaan yang besar sekali. Jatuhnya Thaikam Liu Cin meruntuhkan semua cita-cita dan harapannya. Keinginannya untuk menjadi seorang bangsawan yang berkedudukan tinggi hancur sudah.
Kemudian dia masih mempunyai harapan dengan adanya puterinya, Ouw Yang Hui yang cantik, Bukankah Tan Song Bu pernah bercerita bahwa Kaisar sendiri juga tertarik dan kagum kepada puterinya itu? Siapa tahu, kelak dia akan dapat mengatur agar Ouw Yang Hui dapat ditarik ke dalam Istana. Kalau Kaisar tergila-gila kepada puterinya itu, bukan tidak mungkin impiannya untuk menjadi orang besar terkabul. Maka, dia lalu memaksa Ouw Yang Hui untuk ikut pulang ke Pulau Naga agar dia di sana dapat mengatur rencana dan siasat baru. Akan tetapi, kembali dia dihalangi oleh pemuda yang dibencinya itu! Maka, kekecewaan membuat dia marah sekali dan dia menyerang dengan nekat! Akan tetapi, pada waktu itu, tingkat kepandaian Sin Cu jauh lebih tinggi sehingga semua serangannya dapat dipatahkan dan balasan serangan Sin Cu beberapa kali membuat dia terhuyung ke belakang.
"Cu-Ko, jangan bunuh dia..!"
Terdengar Ouw Yang Hui berseru, suaranya lemah dan mengandung isak. Mendengar ini, luluh hati Sin Cu dan dia sengaja memberi kelonggaran, tidak mendesak lagi dan berkata dengan nyaring.
"Ouw Yang Lee, puterimu yang menyelamatkan nyawamu. Hayo pergi dan tinggalkan kami!"
Ouw Yang Lee tentu saja merasa terhina sekali. Akan tetapi diapun bukan seorang bodoh. Kalau Ouw Yang Hui tidak mencegah, besar kemungkinan dia akan roboh dan tewas di tangan pemuda ini. Maka, diapun mengeluarkan teriakan panjang untuk melampiaskan kedongkolan hatinya dan dia melompat dan lenyap ke dalam hutan di sebelah kiri jalan. Sin Cu tidak mengejar lalu melompat menghampiri Ouw Yang Hui yang menangis tersedu-sedu sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan. Sin Cu hendak merangkul dan menghibur kekasihnya, akan tetapi baru saja tangannya menyentuh pundak, Ouw Yang Hui sudah mundur melepaskan diri dan berkata sambil menangis,
"... Jangan sentuh aku demi Tuhan... jangan... sentuh aku...!"
Tentu saja Sin Cu merasa terkejut dan heran sekali. Dia memandang gadis yang masih menangis sambil menutupkan kedua tangan di depan wajahnya, terisak-isak dan pundaknya bergoyang-goyang.
"Hui-moi, kenapakah, Hui-moi? Jangan takut dan jangan bersedih lagi. Ouw Yang Lee telah pergi dari sini, bahaya telah lewat, Hui-moi."
Kembali tangannya menyentuh pundak. Akan tetapi sentuhan jari tangan itu seolah-olah api yang membakar bagi Ouw Yang Hui. la mengelak mundur.
"Jangan sentuh aku... ah, jangan sentuh..."
"Akan tetapi kenapa, Hui-moi? Aku adalah tunanganmu, calon suamimu!"
Mendengar ucapan ini, lemas kedua kaki Ouw Yang Hui dan ia menjatuhkan diri berlutut di atas tanah tanpa melepaskan kedua tangan dari depan mukanya dan tangisnya semakin menguguk. Melihat ini, Sin Cu menjad"
Semakin khawatir. Jelas bahwa kekasihnya itu berada dalam kedukaan yang hebat.
"Hui-moi, katakanlah. Apa yang telah terjadi? Kenapa engkau bersikap seperti ini?"
"Cu-Ko... jangan dekati aku... menjauhlah... aku...aku kotor tidak berharga untukmu..."
Ouw Yang Hui berkata diantara isak tangisnya. Sin Cu terkejut, akan tetapi menjadi semakin bingung.
"Hui-moi, katakanlah dengan sebenarnya, apa yang telah terjadi? Engkau akan tetap berharga untukku, apapun yang telah terjadi! Katakanlah, ada apa, Hui-moi?"
Sin Cu hendak merangkul, akan tetapi ditahannya karena tadi Ouw Yang Hui selalu menghindar kalau hendak dirangkulnya.
"Ingat, kita adalah calon suami isteri, tidak perlu merahasiakan sesuatu. Engkau adalah tunanganku, calon isteriku tercinta..."
"Tidak...! Aku tidak mungkin dapat menjadi isterimu..."
Gadis itu tersedu.
"Akan tetapi kenapa? Kenapa...?"
Sin Cu mendesak.
"Aku... aku sudah ternoda... aku... aku... bahkan sudah... hamil... Uu-Hu-Huuuhh...!"
Ouw Yang Hui bangkit lalu melarikan diri ke dalam hutan yang berada di sisi jalan. Mendengar itu, Sin Cu terbelalak, wajahnya pucat dan sejenak dia seperti kehilangan semangat, hanya berdiri terbelalak memandang ke arah larinya Ouw Yang Hui, tidak dapat mengeluarkan suara dan tidak tahu harus berbuat apa, Pengakuan Ouw Yang Hui itu bagaikan halilintar menyambarnya, membuatnya terkejut, penasaran, marah, kecewa dan berbagai macam perasaan yang tidak baik lagi. Juga api cemburu mulai membakar hatinya. Setelah bayangan Ouw Yang Hui hilang ditelan pohon-pohon besar barulah Sin Cu bagaikan sadar dari mimpi.
"Hui-moi... tunggu..!"
Dia melompat dan mengejar. Tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depannya telah berdiri menghadang seorang pemuda yang bertubuh tinggi kokoh dan sikapnya gagah sekali. Sin Cu tidak mengenal siapa pemuda itu dan pada saat itu hatinya sedang tertekan dan sakit sekali mendengar pengakuan Ouw Yang Hui tadi. Masih terngiang dalam telinganya bahwa tunangannya, calon isterinya itu, telah ternoda dan bahkan sedang hamil! Bagaimana mungkin ini! Hatinya seperti dibakar dan pada saat itu kemarahan menguasai hatinya. Melihat ada orang menghadang di depannya, Sin Cu membentak.
"Keparat! Siapa kau dan mau apa menghadangku? Minggir atau akan kuhajar kau!"
Sin Cu yang biasanya berwatak tenang, lembut dan sabar itu kini dalam keadaan hatinya hancur dan sakit menjadi orang yang kasar dan galak! Pemuda gagah itu adalah Tan Song Bu Pemuda yang keras hati ini tadi melihat Ouw Yang Hui yang menangis dan melarikan diri dari pemuda ini. Hatinya sudah merasa curiga dan marah, menyangka bahwa pemuda ini tentu bukan seorang baik-baik sehingga Ouw Yang Hui melarikan diri sambil menangis. Maka dia yang memang sedang melakukan pengejaran dan pencarian terhadap Ouw Yang Hui yang kabarnya dilarikan oleh Ouw Yang Lee, menjadi marah mendengar ucapan Sin Cu yang nadanya keras itu. Karena menduga bahwa pemuda yang tadi mengejar Ouw Yang Hui ini tentu seorang jahat, maka watak Song Bu yang keras timbul dan dia marah sekali.
"Engkaulah yang harus dihajar!"
Bentaknya dan dia sudah menerjang sambil mengayun tangan kanan memukul ke arah kepala Sin Cu! Pukulannya mendatangkan angin yang kuat sehingga mengejutkan Sin Cu. Dia segera maklum bahwa lawannya ini ternyata seorang yang lihai, maka cepat Sin Cu mengangkat lengan kiri untuk menangkis.
"Dukk...!"
Dua lengan bertemu dan keduanya terdorong ke belakang beberapa langkah. Dua-duanya terkejut dan karena maklum bahwa lawan mereka bukan orang lemah, keduanya lalu mengerahkan tenaga dan saling serang dengan seru. Juga kemarahan makin memenuhi hati masing-masing. Beberapa kali lengan mereka beradu dan keduanya terpental. Setelah saling serang selama belasan jurus dan selalu lawannya mampu menggagalkan serangannya, Song Bu menjadi penasaran sekali.
"Haiiiiittt...!"
Dia berseru keras dan mengerahkan ilmu Ang-Tok-Ciang (Tangan Racun Merah) sehingga kedua telapak tangannya berubah merah dan dia lalu menyerang dengan dahsyat. Sin Cu terkejut dan cepat menggunakan Chit-Seng Sin-Po untuk mengelak.
Dia mengenal telapak tangan merah itu. Pernah Ouw Yang Lee mempergunakan ilmu serupa ketika bertanding dengannya. kemarahan Sin Cu memuncak karena dia menganggap bahwa lawannya ini tentu mempunyai hubungan baik dengan Ouw Yang Lee. Atau jangan-jangan orang ini datang untuk membantu Ouw Yang Lee melawannya sehingga datuk itu akan dapat merebut Ouw Yang Hui kembali. Teringat akan ini Sin Cu menjadi marah sekali, dan khawatir kalau-kalau gadis itu kini terjatuh lagi ke tangan Ouw Yang Lee. Song Bu semakin penasaran ketika beberapa kali pukulan Ang-Tok-Ciang yang dipergunakan menyerang Sin Cu selalu gagal dan luput. Dia mengganti dengan Pek-Tong-Ciang (Tangan Racun Putih) yang ia pelajari dari Pek Moko, kemudian mengganti lagi dengan Hek-Tok-Ciang yang dia pelajari dari Hek Moko.
Bagi Sin Cu, melihat perubahan warna pada telapak tangan lawannya itu, menambah keyakinan hatinya bahwa yang dilawannya adalah musuh besar yang ada hubungan dekat dengan Ouw Yang Lee dan Hek Pek Moko! Maka Sin Cu juga segera mengeluarkan ilmu silat tangan kosongnya yang ampuh, yaitu Im-Yang Sin-Ciang. Kini tiba giliran Song Bu yang mengerutkan alisnya dan kemarahannya semakin berkobar, Tentu saja dia mengenal ilmu silat Im-Yang Sin-Ciang yang pernah dia pelajari dari Im Yang Tojin, bahkan baru saja tadi pagi dia telah membunuh Im Yang Tojin di Istana. Walaupun Im-Yang Sin-Ciang yang dimainkan lawannya ini hebat bukan main, jauh lebih hebat daripada kalau dimainkan Im Yang Tojin sendiri, namun hatinya yakin bahwa pemuda ini tentulah orang dari persekutuan para datuk yang mengabdi kepada Liu Cin.
"Bagus..! Kiranya engkau jahanam keparat yang harus dibasmi dari muka bumi ini!"
Bentak Song Bu setelah dia melompat ke belakang menghindarkan serangan Sin Cu dan dia mencabut Coat-Beng Tok-Kiam yang bersinar biru. Begitu dia menggerakkan pedang, lenyaplah bentuk pedangnya dan berubah menjadi gulungan sinar biru. Melihat ini, Sin Cu maklum bahwa pedang lawannya itu berbahaya sekali. Maka diapun melompat ke belakang dan mencabut Pek-Liong-Kiam. Dia menggerakkan pedangnya dan tampaklah sinar putih bergulung-gulung.
Tanpa bicara, kedua orang muda ini sudah saling terjang kembali. Mereka kini saling serang dengan pedang, lebih seru daripada tadi. Akan tetapi Song Bu harus mengakui bahwa dia mulai terdesak oleh ilmu pedang yang luar biasa dari lawannya itu. Pada saat kedua orang muda itu bertanding mati-matian dengan usaha sungguh-sungguh untuk membunuh lawan, tiba muncul Ciang Lan dan Siauw Ming. Dua orang ini sama-sama melakukan pengejaran. Karena tadinya Ciang Lan mengejar melalui jalan yang salah dan setelah mengejar jauh tidak menemukan jejak, lalu ia kembali dan mengambil jalan ke dua yang dipergunakan Sin Cu, maka ia baru tiba di situ. Di tengah jalan ia bertemu dengan Siauw Ming maka dapat melakukan pengejaran bersama. Alangkah girang akan tetapi juga kaget hati Ciang Lan melihat Sin Cu sedang bertanding pedang mati-matian melawan Song Bu.
"Eh, itu Kakak Tan Song Bu!"
Katanya kepada Siauw Ming dan ia cepat melompat dekat mereka yang sedang bertanding dan berseru dengan suara lantang.
"Kak Wong Sin Cu...! Kak Tan Song Bu...! Hentikan perkelahian itu. Kalian berkelahi melawan orang sendiri, Hentikan!"
Dengan beraninya Ciang Lan melompat ke tengah di antara mereka sehingga dua orang pemuda itu terkejut dan cepat menarik pedang masing dan melompat ke belakang, takut kalau-kalau sinar pedang mereka melukai gadis itu. Siauw Ming sudah menghampiri Song Bu dan memandang tajam dengan mata terbelalak.
"Engkau... engkau tentu putera Panglima Tan Hok itu! Engkau tentu Tan Song Bu, Si Naga Hitam!"
Song Bu memandang Kakek itu dan mengerutkan alisnya. Dia merasa heran. Semua terjadi begitu tiba-tiba dan tidak tersangka-sangka. Mengapa Ouw Yang Lan melerai perkelahiannya melawan pemuda itu? Dan sekarang Kakek ini! Apa maksudnya?
"Siapa engkau?"
Tanyanya sambil memandang Kakek itu penuh selidik.
"Tan Song Bu, kuminta kepadamu, bukalah bajumu dan perlihatkan rajah naga di dadamu agar aku menjadi yakin!"
Kata Siauw Ming dengan hati tegang. Song Bu masih meragu, akan tetapi Ciang Lan berkata kepadanya,
"Bu-Ko, penuhilah permintaannya. Nanti engkau akan mengetahui segalanya!"
Biarpun merasa heran, Song Bu melepas kancing bajunya dan memperlihatkan dadanya yang bidang. Tampaklah rajah gambar naga hitam di dadanya itu. Sin Cu memandang dengan mata terbelalak. Gambar rajah naga itu sama benar dengan gambar di dadanya, hanya bedanya kalau naga di dadanya berwarna putih, naga di dada pemuda itu berwarna hitam. Dia mengingat-ingat dan samar-samar terbayanglah dia akan peristiwa di atas perahu itu, ketika dia sebagai seorang anak yang masih kecil sekali bersama seorang anak laki-laki lain yang sudah tidak dia ingat lagi namanya, dirajah oleh seorang laki-laki yang menjadi tukang perahu. Jadi pemuda inikah anak laki-laki yang lain itu.
"Benar, engkaulah anak itu! Ya Tuhan... terima kasih...! Terima kasih bahwa sebelum mati aku dapat bertemu dengan dua orang anak ini!"
Kata Siauw Ming sambil memegang tangan Sin Cu dengan tangan kanannya, lalu dibawanya Sin Cu mendekati Song Bu dan dia memegang tangan Song Bu dengan tangan kirinya.
"Tan Song Bu, aku adalah Siauw Ming, tukang perahu yang dulu merajah dadamu,"
Song Bu juga samar-samar teringat, lalu memandang Sin Cu. Mereka saling pandang dan Song Bu berkata.
"Jadi engkau anak yang seperahu denganku itu? Dan engkau Paman yang dulu membela kami dari serangan orang jahat, kemudian engkau terlempar ke lautan?"
"Nanti dulu!"
Kata Sin Cu.
"Kita lanjutkan pembicaraan nanti saja. Yang penting sekarang harus mengejar Hui-moi!"
Diingatkan begitu, Song Bu juga terkejut, demikian pula Ciang Lan.
"Cu-Ko, apakah engkau sudah menemukannya?"
"la tadi di sini!"
Kata Song Bu.
"Mari kita kejar!"
Tiga orang muda itu, Sin Cu, Song Bu, dan Ciang Lan seperti berlumba melompat ke dalam hutan melakukan pengejaran. Siauw Ming ikut mengejar, walaupun dia tertinggal jauh. Akan tetapi, biarpun telah mencari di seluruh hutan itu, mereka tidak menemukan Ouw Yang Hui. Bahkan tidak menemukan jejaknya. Sampai menjelang senja, barulah mereka bertiga bertemu di luar hutan dalam keadaan lelah dan gelisah. Siauw Ming juga tampak lelah sekali. Mereka duduk di atas batu-batu di tepi jalan dan mengusap keringat yang membasahi leher dan muka.
"Cu-Ko, sekarang ceritakan bagaimana engkau tadi bertemu dengan Hui-moi,"
Kata Ciang Lan sambil memandang wajah Sin Cu yang agak pucat dan matanya tampak lesu dan wajah yang muram penuh kedukaan,
"Ya, engkau harus menceritakan pula mengapa tadi aku melihat Hui-moi menangis sedih dan melarikan diri darimu, Sin Cu!"
Kata Song Bu dengan suara yang masih agak kaku karena kecurigaannya terhadap Sin Cu masih belum hilang sama sekali. Setidaknya dia menganggap bahwa agaknya Ouw Yang Hui berduka dan menangis karena ulah Sin Cu. Sin Cu menghela napas panjang.
"Maafkan aku, Song Bu. Karena tidak tahu urusannya, mungkin engkau menjadi salah paham. Akupun tadi salah paham kepadamu, apalagi melihat engkau mengeluarkan ilmu-ilmu yang kukenal sebagai ilmu Ouw Yang Lee, Hek Moko dan Pek Moko."
"Aku juga melihat engkau menggunakan ilnu yang sama dengan ilmu Im Yang Tojin yang pagi tadi kutewaskan ketika dia membantu Liu Cin membuat kacau di Istana,"
Kata Song Bu. Kembali Sin Cu menghela napas panjang.
"Agaknya terpaksa aku harus menceritakan segala yang terjadi dengan sejujurnya untuk menghilangkan kesalah-pahaman ini."
Dia menoleh kepada Siauw Ming dan berkata dengan lembut.
"Paman Siauw Ming, kuharap Paman suka memaafkan kami bertiga. Paman yang sudah demikian besar jasanya kepada kami bertiga, terutama kepada Sog Bu dan aku, terpaksa sekarang kuminta dengan hormat untuk menjauh sebentar karena kami akan membicarakan hal yang merupakan rahasia kami bertiga. Sekali lagi maafkan aku, Paman Siauw Ming."
Karena ucapan Sin Cu itu dilakukan dengan nada suara penuh permintaan maaf, maka Siauw Ming tidak merasa tersinggung. Dia adalah seorang tua yang berpengetahuan luas. Dia mengangguk dan berkata,
"Aku mengerti, Sin Cu. Semua orang memang mempunyai rahasia pribadi yang tidak ingin didengar orang lain. Bicaralah kalian bertiga, aku akan beristirahat di bawah pohon besar di sana itu."
Dia lalu bangkit dan berjalan pergi ke sebuah pohon besar yang tampak dari situ akan tetapi jaraknya cukup jauh sehingga suara mereka bertiga tidak,akan dapat didengar dari sana.
"Cu-Ko, rahasia apakah yang akan kau bicarakan sehingga engkau terpaksa minta agar Paman Siauw Ming pergi?"
"Bukan rahasia kita, Lan-moi, melainkan rahasia Hui-moi. Karena aku tahu bahwa engkau adalah enci dari Hui-moi dan Song Bu ini adalah suhengnya, maka aku akan membuka rahasia ini kepada kalian agar kalian mengetahui duduknya perkara. Ketika tadi engkau dan aku berpencar untuk melakukan pengejaran terhadap Ouw Yang Lee yang menyandera dan melarikan Hui-moi, aku berhasil menyusul mereka dan segera terjadi perkelahian antara aku dan Ouw Yang Lee. Aku berhasil mendesak Ouw Yang Lee akan tetapi Hui-moi berseru kepadaku agar aku tidak membunuh Ouw Yang Lee. Terpaksa aku melepaskannya dan membiarkannya pergi.
"Hemm, adik Ouw Yang Hui terlalu baik dan lemah. Tadipun ia menegur aku ketika aku memaki Ouw Yang Lee!"
Kata Ciang Lan.
"Teruskan ceritamu, Sin Cu!"
Kata Song Bu.
"Setelah Ouw Yang Lee melarikan diri, aku menghampiri Hui-moi. Kalian tahu bahwa aku dan Hui-moi, kami telah bertunangan, kami dijodohkan oleh Paman Gan Hok San dan bibi Sim Kui Hwa..."
Song Bu diam saja, agak cemberut. Dia sudah tahu akan hal itu. Akan tetapi Ouw Yang Lan baru mendengarnya sekarang dan gadis itu memandang Sin Cu dengan mata terbelalak dan mukanya menjadi agak pucat. Hatinya terpukul dan ia merasa jantungnya seperti ditusuk. la mati-matian jatuh cinta kepada Sin Cu dan sekarang pemuda itu mengaku telah bertunangan. Tunangannya malah Ouw Yang Hui adiknya sendiri!
"Ahh...!"
Ia berseru.
"Kau... kau... bertunangan dengan adik Ouw Yang Hui...! kenapa... kenapa dulu engkau tidak menceritakan hal ini...?"
Sin Cu memandang wajah Ciang Lan dan dia menghela napas panjang. Dia memaklumi perasaan gadis itu. Dia tahu benar bahwa Ciang Lan atau Ouw Yang Lan ini jatuh cinta kepadanya. Karena itulah dia dahulu tidak menceritakan tentang pertunangannya, tidak ingin dia membuat gadis itu kecewa.
"Memang aku belum menceritakannya kepadamu, Lan-moi."
"Sin Cu, teruskan ceritamu!"
Kata pula Song Bu.
"Ketika aku menghampiri Hui-moi yang menangis dan hendak menyentuh pundaknya dan menghiburnya, ia menjauhkan diri dan menangis semakin keras. Ketika aku bertanya dan mendesaknya, akhirnya ia mengaku bahwa Ia... ia... telah ternoda dan...!"
"Jahanam busuk Iblis laknat! Siapa laki-laki yang telah memperkosa adikku Ouw Yang Hui? Akan aku hancurkan kepalanya akan kurobek dadanya!"
Ouw Yang Lan atau Ciang Lan melompat berdiri dan wajahnya menjadi merah, kedua tangannya dikepal dan ia tampak marah sekali, Sin Cu menundukkan mukanya dengan sedih.
"Aku tidak tahu, ia tidak memberitahuku Lan-moi. la hanya bilang bahwa ia tidak mungkin lagi menjadi isteriku karena ia telah ternoda... dan... dan telah hamil...!"
"Hamil...!?! Jahanam keparat! Mana laki-laki iblis itu?"
Song Bu berkata, suaranya dalam dan keras.
"Hui-moi tidak diperkosa, Lan-moi. Yang menodainya adalah Bhong Lam, putera Ketua Cabang Pek-Lian-Kauw. la menceritakannya kepadaku, akan tetapi ia tidak bilang bahwa ia telah hamil. Sekarang, jahanam Bhong Lam itu telah mati terbunuh orang-orang Pek-Lian-Kauw sendiri karena dia telah mengkhianati mereka. Dan sekarang yang bertanggung jawab adalah Wong Sin Cu ini! Wong Sin Cu, engkau harus mengawini Hui-moi, kalau engkau tidak mau bertanggung jawab, demi Tuhan, aku akan menantangmu mengadu nyawa! Aku harus membela Kehormatan Hui-moi!"
Sin Cu mengerutkan alisnya dan menentang pandang mata Song Bu. Dua orang pemuda itu saling pandang dengan alis berkerut.
"Tan Song Bu, urusan pernikahanku dengan Hui-moi adalah urusan kami berdua. Engkau tidak ada hak untuk mencampurinya! Bagaimana engkau berani hendak memaksaku dalam hal ini? Dan apa maksudmu bahwa aku harus bertanggung jawab? Engkau sendiri tadi menceritakan bahwa yang menodainya adalah Bhong Lam yang sekarang sudah mati, bagaimana engkau bisa bilang bahwa aku yang harus bertanggang jawab?"
Dengan penasaran Sin Cu bangkit berdiri dan Song Bu juga bangkit berdiri. Keduanya sudah berdiri dan bagaikan dua ekor ayam jantan yang siap untuk bertanding. Melihat ini, Ouw Yang Lan juga bangkit berdiri, siap untuk melerai.
"Bu-Ko, kurasa engkau kurang adil kalau hendak memaksa Cu-Ko mempertanggungjawabkan perbuatan yang tidak dia lakukan melainkan dilakukan orang lain"
Cing Lan berkata. la membela Sin Cu karena demi sebuah keadilan, juga karena muncul harapun dalam hatinya bahwa melihat keadaan Ouw Yang Hui, akhirnya Sin Cu akan berpaling ke padanya. Song Bu memandang kepada Ouw Yang Lan, lalu kepada Sin Cu kembali dan dia berkata,
"Aku bukan orang sesat yang suka memaksakan kehendakku sendiri dengan tidak adil. Sikapku ini memiliki dasar dan alasan yang kuat. Agaknya Hui-moi belum menceritakan hal ini kepada Sin Cu. Nah, dengarlah. Hui-moi tidak diperkosa oleh Bhong Lam. la menyerahkan diri memenuhi janjinya. Ketika itu Hui-moi melihat Wong Sin Cu ini tertawan oleh Kim Niocu dan disiksa. Hui-moi tidak tahan melihat penyiksaan itu dan Bhong Lam mempergunakan kesempatan itu untuk membujuk Hui-moi. Dia mau menolong dan membebaskan Sin Cu kalau Hui-moi berjanji mau menjadi isterinya. Hui-moi tak berdaya dan dia memberikan janjinya. Nah, dia menyerahkan diri kepada Bhong Lam. Ini menghancurkan kebahagiaan hidupnya, Ia mengorbankan kehormatannya untuk membela Sin Cu. Untuk membebaskannya dari siksaan dan kematian. Sekarang katakanlah, apakah aku tidak adil kalau aku memaksa Sin Cu untuk bertanggung jawab untuk mengawini Hui-moi, untuk membersihkan ia daripada aib, malu dan kehinaan?"
Sebelum Song Bu mengakhiri ceritanya, Sin Cu sudah tidak kuat menahan air matanya yang bercucuran. Dia menutupi mukanya dengan kedua tangan, menahan sedu sedannya.
"...Hui moi... ah Hui moi... aku... aku yang bersalah...!"
Song Bu mengerutkan alisnya.
"Sudah, tak perlu menangis seperti anak kecil! Yang penting sekarang, maukah engkau bertanggung jawab dan mengawini Hui-moi, atau aku harus memaksamu dan kita mengadu nyawa di sini?"
Sin Cu mengusap air matanya dan menekan perasaannya. Dia memandang Song Bu dengan mata merah,
"Song Bu, terima kasih bahwa engkau menceritakan semua ini kepadaku. Aku akan tetap menikah dengan Hu-moi. Tidak perlu engkau menaksaku! Aku pasti akan mengawininya, aku pasti akan bertanggung jawab. Aku akan membela dan melindungi Hui-moi sampai aku mati!"
"Ah... kasihan sekali Hui-moi...!"
Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ciang Lan mengeluh, lalu memandang ke dua pemuda itu dan menegur.
"Kalian ini omongannya saja hendak membela Hui-moi sampai mati, akan tetapi yang kalian lakukan hanya omong kosong dan ribut-ribut di sini sedangkan Hui-moi dibawa pergi orang entah ke mana kalian tidak perduli"
Dua orang pemuda itu terkejut mendengar teguran Ciang Lan. Gadis itu tidak memperdulikan mereka lagi dan pergi menghampiri Siauw Ming yang masih duduk di bawah pohon, Sin Cu dan Song Bu saling pandang lalu mengikuti gadis itu. Setelah berhadapan dengan Siauw Ming Ciang Lan berkata,
"Paman Siauw Ming, adikku dilarikan orang. Dapatkan Paman membantu memikirkan, ke mana kiranya ia dibawa pergi?"
"Tadi aku belum sempat memberitahu kalian saking girangnya hatiku bertemu dengan Tan Song Bu,"
Kata Siauw Ming.
"Sebelum aku bertemu denganmu tadi, nona, aku melihat bayangan orang tinggi besar menyelinap di antara pohon-pohon. Tidak salah lagi, orang itu adalah Tung-Hai-Tok Ouw Yang Lee."
"Ah, kalau begitu tidak salah lagi. Selagi Cu-Ko dan Bu-Ko bertanding dan Hui moi melarikan diri, tentu Ouw Yang Lee telah menemukannya dan membawanya lari, Cu-Ko dan Bu-Ko, ini gara-gara kalian ribut dan berkelahi sendiri sehingga Hui-moi kembali tertawan oleh Ouw Yang Lee. Ke mana sekarang kita harus mencarinya!"
Ciang Lan tampak marah dan cemberut memandang kedua orang pemuda itu.
"Nona, kalau benar Tung-Hai-Tok yang melarikan gadis itu, kurasa dia akan membawanya ke Pulau Naga. Dia tentu merasa tidak aman lagi berada di daerah ini setelah gagal membantu Thaikam Liu Cin. Tempat yang paling aman baginya adalah Pulau Naga, maka aku berpendapat bahwa dia tentu melarikan diri ke Pulau Naga."
"Tepat sekali!"
Tiba-tiba Song Bu berseru.
"Kita kejar ke Pulau Naga! Akan tetapi... pelayaran kesana sungguh tidak mudah, bahkan sulit sekali untuk dapat menemukan pulau itu!"
"Aku dapat mengantar kalian sampai ke Pulau Naga,"
Kata Siauw Ming.
"Bagus, mari kita cepat mengejar ke sana!"
Kata Ciang Lan. Empat orang itu segera berangkat melakukan pengejaran.
Perahu yang cukup besar itu meluncur dengan cepat di atas air lautan, menerjang ombak. Layar terkembang dan perahu itu di kemudikan oleh tangan trampil Siauw Ming. Cang Lan, Sin Cu, dan Song Bu duduk dekat Kakek itu. Setelah berada di atas lautan yang amat luas, tiga orang ini merasa diri mereka tidak berdaya sama sekali. Mereka merasa kecil dan lemah, dan merasa keselamatan mereka berada di tangan Kakek Siauw Ming! Di darat, mereka dapat mengandalkan kepandaian mereka untuk melindungi diri sendiri, menentang segala bahaya yang mengancam diri mereka.
Akan tetapi, terombang-ambing di atas lautan luas itu, mereka merasa seperti anak kecil yang tidak berdaya. Ngeri mereka membayangkan perahu itu tenggelam. Apalagi terkadang mereka melihat ikan-ikan besar meluncur dalam air. Mereka akan menjadi makanan ikan tanpa mampu membela diri. Song Bu sejak tadi diam termenung. Dia teringat akan Ouw Yang Hui gadis yang dicintanya yang ternyata telah bertunangan dengan Sin Cu bahkan kini telah hamil dengan pria lain, Dia merasa nelangsa sekali dan duduk di atas perahu itu mengingatkan dia akan kenangan masa lalu ketika dia masih kecil dulu. Dia teringat akan Ayah Ibunya yang sudah sukar diingatnya bagaimana wajah mereka. Baru sekarang, dalam keadaan menganggur dan merasa tidak berdaya, dia ingat bahwa ketika itu Siauw Ming berada bersama dia dan orang tuanya.
"Paman Siauw Ming...?"
Siauw Ming menoleh kepadanya.
"Ada apakah, Song Bu?"
"Dulu ketika aku masih kecil, aku bersama Ayah dan Ibu, dan Sin Cu ini bersama Ayah Ibunya juga berlayar dan Paman ada bersama kami."
Song Bu memejamkan matanya, membayangkan semua peristiwa yang samar-samar teringat olehnya itu.
"...lalu air laut mengamuk, gelombang besar... dan orang-orang jahat menyerang Ayah dan Ibu... ah, apa sebetulnya yang terjadi. Paman Siauw Ming? Ceritakanlah, dan tahukah Paman di mana sekarang Ayah Ibuku itu?"
Sin Cu yang duduk dekat Song Bu mengulurkan tangannya dan memegang lengan pemuda itu. Dia merasa terharu mengenangkan peristiwa waktu kanak-kanak itu. Ketika itu, dia dan Song Bu boleh dibilang senasib sependeritaan, sehidup semati.
"Song Bu, aku kasihan kepadamu. Nasib kita berdua sama buruknya, Song Bu."
Mendengar ini, Song Bu mengerutkan alisnya, hatinya merasa tidak enak. Dia memandang kepada Siauw Ming dan bertanya,
"Paman Siauw Ming, ceritakanlah tentang orang tuaku, aku mohon padamu."
Siauw Ming menghela napas panjang.
"Hemm, aku memang belum menceritakan kepadamu, Song Bu. Kepada Sin Cu aku sudah bercerita. Baiklah, kesempatan ini akan kupergunakan untuk menceritakan semuanya."
"Dahulu aku adaah seorang Guru silat yang tinggal di Kotaraja. Pada suatu hari terpaksa membunuh seorang pembesar yang kejam dan sewenang-wenang sehingga aku menjadi buronan dan melarikan diri. Selama dua tahun aku hidup sebagai tukang perahu di lautan sehingga tidak tertangkap oleh pasukan yang mencariku. Pada suatu hari, perahuku disewa dua pasang suami isteri. Mereka juga merupakan pelarian dari Kotaraja, orang-orang yang dikejar-kejar kaki tangan Thaikam Liu Cin. Mereka itu masing-masing membawa seorang anak laki-laki berusia tiga tahun, yaitu engkau, Song Bu, dan Sin Cu. Ayahmu bernama Tan Hok, seorang bekas perwira dan Ayah Sin Cu bernama Wong Cin, seorang bekas jaksa. Mereka berdua bentrok dengan Liu Cin dan, dituduh memberontak dan dikejar-kejar."
"Hemm! Lagi-lagi si jahanam Liu Cin! Aku girang sekali telah dapat membantu Kaisar untuk menjatuhkannya!"
Kata Song Bu.
"Karena nasib kami sama, kami menjadi akrab dan dalam kesempatan itu aku merajah gambar naga hitam di dadamu dan naga putih di dada Sin Cu. Kemudian badai datang mengamuk. Perahu kita terobang, ambing dipermainkan gelombang, membentur karang dan pecah. Kukira kalian semua telah tewas. Akan tetapi ketika aku berhasil mendarat di pulau itu, aku melihat kawanan bajak menyerang orang tua kalian. Aku berhasil mengusir gerombolan penjahat, akan tetapi terlambat untuk menyelamatkan orang tua kalian berdua."
Siauw Ming berhenti dan menarik napas panjang.
"Mereka... Ayah Ibuku... bagaimana dengan mereka, Paman?"
Song Bu mendesak.
"Mereka telah tewas, terbunuh dalam perkelahian itu."
Song Bu bangkit berdiri, mukanya pucat matanya mencorong, kedua tangannya dikepal.
"Mati? Mereka, Ayah Ibuku, mati terbunuh bajak?!?"
Sin Cu juga bangkit dan memegang kedua tangan Song Bu.
"Tenanglah, Song Bu. Nasib kita sama. Ayah Ibuku juga terbunuh oleh para penjahat itu. Duduklah dan tenangkan hatimu. Bagaimanapun juga, orang tua kita mati sebagai orang-orang gagah yang tidak sudi menjadi antek Liu Cin."
Song Bu duduk kernbali, dia menggunakan punggung tangan kanannya yang masih dikepal untuk menghapus matanya yang basah.
"Engkau benar, Sin Cu. Akan tetapi aku akan mencari bajak itu, aku akan membasmi mereka!"
"Aku tahu siapa mereka. Dua orang pimpinan bajak itu adalah dua bersaudara yang berjuluk Hai-Coa-Ong (Raja Ular Laut), masing-masing disebut Toa Ong dan Siauw Ong. Kelak kalian dapat mencari mereka mungkin di Pantai Laut Timur."
"Lalu bagaimana dengan jenazah orang tuaku, Paman Siauw Ming?"
Tanya Song Bu yang sudah dapat menenangkan hatinya.
"Aku mengubur jenazah dua pasang suami isteri itu di pulau itu. Pulau Ular, tak jauh dari Pulau Naga. Kemudian aku membawa kalian berdua pergi meninggalkan pulau naik perahu. Akan tetapi aku bertemu dengan para bajak. Aku terkena anak panah dan jatuh ke laut. Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi dengan kalian sampai kini aku bertemu dengan kalian yang sudah menjadi pemuda-pemuda dewasa."
Song Bu memejamkan matanya, mengingat-ingat, lalu tiba-tiba dia membuka matanya dan terbelalak memandang kepada Sin Cu.
"Sin Cu, engkau dibawa terbang burung besar! Ya, aku ingat sekarang... disambar burung besar dari perahu... digondol pergi!"
Sin Cu mengangguk-angguk.
"Engkau benar, Song Bu. Aku digondol seekor burung rajawali hitam dan nyaris aku menjadi mangsa burung itu dan anak-anaknya. Untung aku ditolong dan diselamatkan oleh Bu Beng Siauwjin yang kemudian merawat dan mendidikku. Dia nenjadi Guruku. Dan bagaimana dengan engkau, Song Bu?"
"Aku terkatung-katung seorang diri di perahu itu, kebingungan, ketakutan dan kelaparan. Aku tidak ingat apa-apa lagi. Ketika sadar aku telah berada di dalam perahu...!"
Dia memandang kepada Ciang Lan, lalu melanjutkan.
"Dalam perahu Suhu Ouw Yang Lee. Dia menolongku dan mengambil aku sebagai muridnya. Ketika itu, Lan-moi ini baru berusia setahun dan Hui-moi baru beberapa bulan. Aku menjadi muridnya, bahkan diaku sebagai anak angkatnya. Aku dibawa ke Kotaraja, mengabdi kepada Liu Cin. Setelah melihat betapa jahatnya mereka, dan betapa jahatnya Guruku itu, aku lalu memberontak, bahkan menentangnya."
Song Bu menghela napas panjang. Kembali Ia memandang kepada Ciang Lan atau Ouw Yang Lan dan berkata lirih, nadanya sedih,
"Aku memang seorang yang tidak mengenal budi kebaikan Suhu, aku seorang murid yang durhaka..."
"Tidak, Bu-Ko, sama sekali tidak! Aku ini bahkan puteri kandungnya, namun aku tetap menentangnya! Dia itu orang jahat dan kejam, Bu-Ko. Dia ingin membunuh isteri-isteri dan anak-anaknya sendiri! Dia hanya mementingkan diri sendiri dan untuk memuaskan hatinya, dia tega untuk membunuh anak isterinya"
Keadaan menjadi hening. Percakapan berhenti dan empat orang itu seperti tenggelam ke dalam lamunan masing-masing. Kemudian Sin Cu menghela napas panjang dan berkata, suaranya lembut.
"Kalian berdua memang berada dalam keadaan yang sulit, Song Bu dan Lan-moi. Di satu pihak menghadapi Ayah dan Guru sendiri yang patut dihormati, akan tetapi di lain pihak menghadapi seorang jahat yang patut ditentang. Yang penting, kalian harap ingat bahwa kewajiban kita adalah menentang kejahatan, bukan membenci orangnya."
"Akan tetapi, Cu-Ko. Andaikata engkau menjadi aku, menghadapi Ayah sendiri yang begitu jahat, apa yang akan kau lakukan ? membantunya atau menentangnya?"
Tanya Ciang Lan.
"Ya, apa yang akan kau lakukan seandainya Gurumu sendiri yang sejahat itu?"
Tanya pula Song Bu. Siauw Ming ikut mendengarkan dengan penuh perhatian. Ingin dia mendengar jawaban murid orang yang sakti dan bijaksana seperti Bu Beng Siauwjin.
"Kalau aku yang menghadapi Ayah atau Guru seperti itu, aku akan menentangnya dan juga membantunya,"
Kata Sin Cu tenang.
"Ihh! Jangan plin-plan, Cu-Ko. Pilih saja salah satu, menentang atau membantu...?"
Seru Ciang Lan memprotes.
"Sin Cu, jawabanmu ini membingungkan. Bagaimana mungkin engkau menentang dan sekaligus membantunya?"
Tanya pula Song penasaran.
"Sudah kukatakan tadi, yang harus ditentang adalah kejahatannya. Kalau dia melakukan kejahatan dan kita melihat itu, kita harus menentang dan mencegah dia melakukan kejahatan itu, sementara itu kita harus membantunya dengan jalan berusaha sekuat tenaga kita untuk menyadarkannya dari kesesatannya agar dia kembali ke jalan benar. Kita tidak boleh membencinya, apalagi kalau dia itu orang tua atau Guru sendiri. Andaikata kita membunuh Ayah kita yang jahat, bukankah kita ini lebih jahat daripada dia? Dia seorang penjahat, benar... akan tetapi kita ini siapa? Kita ini pembunuh sekaligus anak durhaka, jauh lebih jahat daripada dia yang kita bunuh!"
(Lanjut ke Jilid 32 - Tamat)
Sepasang Rajah Naga (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 32 (Tamat)
Mendengar ucapan itu, Siauw Ming mengangguk-angguk dengan hati kagum. Sementara itu, Song Bu dan Ouw Yang Lan merasa terpukul hati mereka. Mereka menundukkan muka dan mengerutkan alis. Ucapan Sin Cu masih terngiang-ngiang di dalam telinga mereka. Mengenang kejahatan orang terhadap kita melahirkan kebencian dan dendam yang menjadi racun dalam batin kita yang kemudian mendorong ke arah perbuatan kejam.
"Mengapa tidak menggunakan pikiran untuk hal yang lebih sehat, misalnya mengenangkan kebaikan orang kepada kita? Mengenang kebaikan seorang Ayah di waktu kita masih kecil, betapa dia memondong, memangku dan menimang-nimang kita dengan pelukan dan ciuman penuh kasih sayang, betapa dia menjaga, membela dan melindungi kita? Mengenang kebaikan seorang Guru yang dengan tekun dan tidak mengenal lelah mengajarkan ilmu-ilmunya kepada kita, agar kita menjadi seorang yang berguna dan menggunakan ilmu-ilmu yang kita pelajari dari dia untuk kelak melawan bahkan membunuhnya? Cobalah kalian renungkan."
Suasana semakin hening setelah Sin Cu berhenti bicara. Hanya terdengar air yang pecah diterjang ujung perahu dan angin yang mengibarkan layar. Terdengar isak perlahan. Ternyata Ouw Yang Lan yang terisak. la teringat akan semua kebaikan dan kecintaan Ayahnya kepadanya ketika masih kecil. Hatinya yang keras mencair menjadi air mata yang mengalir keluar dari kedua matanya. Song Bu sendiri termenung seperti patung. Dia teringat betapa Ouw Yang Lee telah menyelamatkannya ketika dia menggeletak pingsan terancam maut di atas perahu kecil. Terbayang ketika Ouw Yang Lee menggemblengnya dengan ilmu-ilmu, kemudian mengangkatnya sebagai puteranya. Melihat ini, Siauw Ming menghela napas panjang. Kembali terdengar suara Sin Cu, lirih dan lembut, namun meresap ke dalam hati para pendengarnya, terutama Ciang Lan dan Song Bu.
"Kalau kita membenci Ayah dan Guru lalu membunuhnya, kita menjadi orang berdosa besar, menjadi alat setan yang selalu menyebar dosa dalam hati manusia. Sebaliknya, kalau kita berhasil menyadarkan Ayah atau Guru dari kesesatannya sehingga dia bertaubat dan kembali ke jalan benar, kita berjasa besar sekali bagi dia pribadi, bagi manusia, dan terutama bagi Tuhan karena kita telah menjadi alatNya yang baik dan bermanfaat. Tuhan Maha Pengampun dan Maha Kasih."
Kembali suasana menjadi hening. Song Bu dan Ciang Lan tidak mampu membantah lagi. Tiba-tiba Siauw Ming berseru.
"Nah, itu dia Pulau Naga! Sudah tampak dari sini!"
Tiga orang muda itu menoleh dan memandang. Benar saja, di sebelah selatan tampak sebuah pulau. Bentukny? memanjang seperti seekor naga. Ciang Lan dan Song Bu memandang dan merasa terharu, apalagi Song Bu yang tinggal di pulau itu dari kecil sampai dewasa. Melihat pulau itu, bermacam kenangan muncul dalam ingatan kedua orang muda itu.
"Nah, di balik sana itu, yang kecil panjang, adalah Pulau Ular,"
Kata Siauw Ming.
"Sin Cu dan Song Bu, setelah urusan kalian di Pulau Naga selesai, aku akan mengantar kalian ke Pulau Ular untuk melihat kuburan orang tua kalian."
Perahu itu meluncur kencang menuju ke Pulau Naga dan setelah dekat, Song Bu memberi petunjuk kepada Siauw Ming di bagian mana harus mendarat. Dia sudah hafal benar akan keadaan pulau ini dan hanya ada satu tepi tempat pendaratan yang aman dari batu-batu karang dan ikan-ikan hiu. Pantai tempat pendaratan itu landai dan berpasir. Ketika mereka sudah mendarat dan Siauw Ming mengikatkan tali perahu kepada sebuah batu karang besar, terdengar suara gemuruh dan sekitar lima puluh orang laki-laki yang bersenjata golok dan pedang datang berlarian ke pantai itu. Song Bu dan Ciang Lan melompat ke depan, berdiri tegak menghadapi mereka dengan sikap garang. Mereka tertegun karena mereka masih mengenal Song Bu dan juga mengenal Ouw Yang Lan yang pernah datang berkunjung ke Pulau Naga kurang lebih setahun yang lalu.
"Kalian tidak mengenal aku? Paman Thio Sam, mau apa kalian?"
Tegur Ouw Yang Lan.
"Nona Ouw Yang Lan"
Terdengar Thio Sam dan beberapa orang lain berseru.
"Dan apakah kalian juga tidak mengenal aku?"
Tanya pula Song Bu.
"Ouw Yang Kongcu (Tuan muda Ouw Yang)!"
Seru mereka. Mereka menganggap pemuda itu sebagai putera Ouw Yang Lee seperti sudah diumumkan oleh majikan mereka itu. Pada saat itu, datang pula belasan orang, dipimpin oleh dua orang Kakek berusia hampir enam puluh tahun. Yang seorang bertubuh tinggi besar berkumis panjang dan yang seorang lagi bertubuh juga tinggi besar dengan muka hitam seperti arang. Belasan orang yang berdiri di belakang mereka rata-rata berwajah bengis dan mereka semua memegang sebatang golok.
"Mereka berdua itulah Hai-Coa-Ong!"
Kata Siauw Ming. Mendengar ini, Song Bu melompat dan telah berhadapan dengan dua orang kepala bajak itu. Mereka dan anak buah mereka berada di Pulau Naga atas undangan Ouw Yang Lee yang minta bantuan mereka untuk memperkuat kedudukan di Pulau Naga kalau-kalau ada orang dari kota raja yang mengejarnya. Dengan muka merah dan mata mencorong Song Bu menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka dua orang itu.
"Kalian yang berjuluk Toa Ong dan Siauw Ong?"
Siauw Ong yang bermuka hitam menyeringai.
"Engkau sudah mengenal kami. Siapakah engkau?"
"Delapan belas tahun yang lalu kalian di Pulau Ular membunuh dua pasang suami isteri yang tidak berdosa! Aku anak sepasang dari mereka. Bersiaplah kalian untuk menghadap arwah Ayah Ibuku dan minta ampun kepada mereka!"
Toa Ong dan Siauw Ong saling pandang, kemudian Toa Ong yang berkumis panjang tertawa.
"Ha-ha-ha, kalau begitu mari kuantar engkau menyusul orang tuamu!"
Golok besar di tangan dua orang kepala bajak itu sudah menyambar dengan ganas ke arah leher dan pinggang Song Bu. Akan tetapi tingkat kepandaian dua orang kepala bajak itu masih jauh di bawah tingkat kepandaian Song Bu. Pemuda ini menyambut serangan yang baginya lambat dan lemah itu dengan gerakan kedua kakinya. Kedua kaki itu mencuat dengan cepat dan kuatnya, dengan tepat menendang ke arah tangan dua orang yang menyerang dengan golok. Dua orang itu berteriak kaget, golok mereka terlepas dari tangan dan sebelum mereka menyadari apa yang terjadi dua tangan Song Bu sudah mencengkeram punggung baju mereka. Tubuh mereka terangkat dan sekali pemuda itu mengerahkan tenaga kepala dua orang itu telah diadukan dengan amat kerasnya.
"Prakk!"
Dua tubuh itu terkulai dan Song Bu mendorongnya ke kanan kiri. Dua orang itu roboh dan tewas seketika. Belasan orang anak buah bajak menjadi marah dan menyerbu maju hendak mengeroyok Song Bu. Akan tetapi Ouw Yang Lan dan Sin Cu sudah menerjang ke depan dan membuat mereka kocar kacir dan jatuh bangun dengan tamparan dan tendangan. Belasan orang itu maklum bahwa mereka menghadapi bahaya. Kedua orang pimpinan mereka telah tewas dan agaknya puluhan orang anak buah Pulau Naga tidak mau membantu mereka. Maka mereka lalu melarikan diri ke perahu-perahu mereka dan meninggalkan Pulau Naga, membawa teman-teman yang terluka. Ouw Yang Lan menoleh kepada dua orang pemuda yang berdiri mendekati dua mayat kepala bajak itu dan memandang dengan muka tunduk.
"Aku merasa girang telah dapat membalaskan kematian orang tua kita, Sin Cu,"
Kata Song Bu lirih. Sin Cu menghela napas panjang.
"Yah, agaknya dosa mereka ini sudah melewati ukuran sehingga hari ini mereka harus mati seperti ini di tanganmu, Song Bu."
Ouw Yang Lan kini menghampiri Thio Sam yang masih berdiri dengan sikap menanti, Juga puluhan orang anak buah Pulau Naga yang tadi menonton perkelahian itu tidak ada yang berani bergerak. Sebagian besar dari mereka itu memang merasa takut dan tidak setuju dengan sikap dan tindakan Ouw Yang Lee yang bersikap kejam terhadap anak isteri sendiri, kemudian merendahkan diri mengabdi kepada Thaikam Liu Cin yang terkenal jahat. Maka, biarpun mereka diperintahkan menjaga keamanan dan menghalau setiap orang musuh yang datang mengacau Pulau Naga, mereka tidak mau bergerak ketika mengenal Song Bu dan Ouw Yang Lan.
"Paman Thio Sam, apakah To-Cu (Majikan Pulau) sudah pulang?"
Tanyanya. Tanpa menyebut namanyapun semua orang sudah tahu bahwa majikan Pulau Naga adalah Ouw Yang Lee.
"Sudah, nona."
"Dan apakah nona Ouw Yang Hui juga datang bersamanya?"
"Benar, nona."
"Apakah yang dia perintahkan kepada kalian?"
"To-Cu menyuruh kami semua melakukan penjagaan di pantai dan agar kami menghalangi kalau ada musuh menyerbu pulau. Akan tetapi ternyata yang muncul adalah Nona Ouw Yang Lan dan Tuan muda Ouw Yang Song Bu."
"Dan kenapa kalian tidak menurut perintahnya dan tidak menyerang kami?"
"Mana kami berani, nona! Andaikata To-Cu memerintahkan juga, tetap saja kami tidak akan berani."
Ouw Yang Lan maklum bahwa dalam hati pembantu lama ini sudah mulai tidak suka kepada Ouw Yang Lee setelah Ayahnya itu bersikap kejam terhadap dua orang isterinya dan anak-anaknya.
"Di mana sekarang dia?"
"Tadi berada di dalam rumah induk, nona."
"Mari kita ke sana!"
Kata gadis itu kepada Sin Cu, Song Bu dan Siauw Ming. Mereka lalu berlari menuju ke tengah pulau di mana terdapat perkampungan para penghuni Pulau Naga. Perkampungan itu sunyi.
Agaknya para keluarga anak buah Pulau Naga sudah tahu bahwa pulau itu mungkin kedatangan musuh, maka para wanita dan kanak-kanak sudah bersembunyi di dalam rumah masing-masing sehingga perkampungan itu tampak sepi. Rumah induk yang besar itupun kelihatan sunyi tidak ada penjaganya karena semua anak buah dikerahkan ke pantai. Song Bu dan Ouw Yang Lan menjadi penunjuk jalan ketika memasuki rumah induk berupa gedung yang cukup megah dan mewah itu. Gedung itu besar dan kokoh. Sin Cu dan Siauw Ming mengikuti dari belakang. Ketika mereka tiba di ruangan tengah yang luas, ternyata ruangan itupun kosong dan di tengah-tengah ruangan yang luas itu duduk seorang laki-laki tinggi besar dan berwajah gagah perkasa, mukanya kemerahan dan jenggotnya panjang. Laki-laki itu mirip tokoh Kwan Kong dalam cerita dongeng Sam Kok.
Dia bukan lain adalah Ouw Yang Lee yang berjuluk Tung-Hai-Tok (Racun Laut Timur), majikan Pulau Naga! Dia duduk di atas sebuah kursi berukir seperti seorang Raja! Dia memandang dengan mata terbelalak tajam penuh wibawa kepada tiga orang muda yang memasuki ruangan itu. Siauw Ming yang tidak ikut masuk karena Ouw Yang Lan memberi isarat kepadanya agar tinggal di luar pintu ruangan, Setelah tiba di depan Ouw Yang lee dalam jarak dua tombak, Ouw Yang Lan berhenti melangkah, Song Bu dan Sin Cu ikut pula berhenti. Mereka bertiga beradu pandang mata dengan Ouw Yang Lee. Setelah beradu pandang sesaat lamanya dan menjadikan suasana tanpa suara itu terasa amat menegangkan, Ouw Yang lee tiba-tiba membuka mulutnya dan tertawa bergelak, suara tawanya menggetarkan ruangan itu.
Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ha-ha-ha-ha! Kalian datang untuk membunuh aku?"
Matanya berapi-api penuh kemarahan, namun dalam suaranya itu terkandung kepahitan. Ouw Yang Lan yang masih terkesan oleh teguran dan nasihat Sin Cu yang mengingatkan ia akan kasih sayang yang pernah diterimanya dari Ayah kandungnya ketika ia masih kecil, kini memandang laki-laki itu dan timbul rasa iba dalam hatinya.
"Tidak Ayah. Aku datang untuk mengingatkan Ayah akan kesalahan-kesalahan yang telah Ayah lakukan. Aku minta Ayah membebaskan Hui-moi dan selanjutnya mengubah jalan hidup yang selama ini Ayah tempuh, Pergunakanlah kepandaian Ayah untuk menolong orang dan menentang kejahatan."
"Teecu (murid) juga mengharapkan begitu, Suhu. Sadarlah akan semua kekeliruan yang selama ini Suhu lakukan."
Kata Song Bu, suaranya tegas namun sikapnya menghormat. Alis yang tebal itu berkerut dan Ouw Yang Lee kini memandang kepada Sin Cu.
"Orang muda, mau apa engkau datang ke sini?"
Sin Cu mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat. Bagaimanapun juga, orang ini adalah Ayah kandung Ouw Yang Hui, berarti dia adalah calon Ayah mertuanya!
"Lo-Cianpwe, saya adalah tunangan dan calon suami adik Ouw Yang Hui. Karena itu saya datang untuk mohon kepada Lo-Cianpwe untuk membebaskan adik Ouw Yang Hui."
"Ha-ha-ha-ha!"
Kembali Ouw Yang Lee tertawa bergelak dan pada saat itu Ouw Yang Hui memasuki ruangan dari pintu sebelah dalam dan berhenti di ambang pintu.
"Kalian bertiga berani menasihati aku Ha-ha-ha! Aku akan pertimbangkan nasihat kalian kalau kalian masing-masing mampu menyambut satu kali seranganku!"
Kakek itu lalu turun dari atas kursinya.
"Ayah, jangan serang mereka!"
Tiba-tiba Ouw Yang Hui berseru.
"Kalau Ayah hendak melampiaskan kemarahan dan kebencian Ayah, lakukanlah kepadaku. Bunuhlah aku lebih dulu, Ayah!"
"Hui-moi."
Tiga suara itu terdengar hampir berbareng, keluar dari mulut Sin Cu, Song Bu, dan Ouw Yang Lan. Akan tetapi Ouw Yang Lee tidak perduli. Dia melangkah maju menghampiri Ouw Yang Lan. Mereka berhadapan dalam jarak tiga meter.
"Bagaimana, beranikah engkau menyambut pukulanku?"
Ouw Yang Lan mengerutkan alisnya. Hatinya kecewa melihat kekerasan hati orang tua itu yang agaknya tidak mau mendengarkan ucapan mereka.
"Silakan!"
Katanya tegas. Ouw Yang Lee menggerak-gerakkan kedua tangannya dan perlahan-lahan kedua telapak tangannya berubah menjadi merah, semerah darah. Kemudian dia menekuk kedua lututnya dan berseru nyaring,
"Sambutlah...!"
Kedua tangan merah itu didorongkan ke depan, ke arah dada Ouw Yang Lan. Itulah pukulan Ang-Tok-Ciang (Tangan Racun Merah) yang amat ampuh. Ouw Yang Lan sudah siap siaga. la tahu bahwa Ayahnya itu menyerangnya dengan ilmu pukulan andalan Ayahnya dan iapun tahu betapa bahayanya pukulan itu. Maka iapun cepat mengerahkan tenaga sinkang dan mengeluarkan ilmu pukulan andalan dari Ayah tirinya, yaitu Pek-In-Ciang (Tangan Awan Putih). la mendorongkan kedua telapak tangan ke depan untuk menyambut pukulan jarak jauh Ayahnya. Ada uap putih keluar dari kedua telapak tangannya.
"Wuuuttt... Desssss...!"
Dua tenaga sakti bertemu di udara dan akibatnya Ouw Yang Lee melangkah mundur tiga kali, akan tetapi Ouw Yang Lan juga mundur tiga langkah. Mereka merasa tergetar akan tetapi tidak terluka dan mereka maklum bahwa tenaga sakti mereka berimbang. Ouw Yang Lee mengangguk-angguk. kini dia menghampiri Song Bu, berdiri dalam jarak tiga meter.
"Engkau murid murtad, beranikah engkau menerima pukulanku?"
Song Bu juga menjawab dengan tegas.
"Silakan..."
Seperti tadi Ouw Yang Lee mengumpulkan tenaganya dan menyerang dengan pukulan Ang-Tok-Ciang. Tentu saja Song Bu mengenal baik pukulan ini, bahkan diapun sudah menguasainya, bahkan sudah menggabungkannya dengan pukulan yang dia pelajari dari Hek Moko dan Pek Moko yaitu Hek-Tok-Ciang dan Pek-Tok-Ciang.
"Haaiiiittt...!"
Ouw Yang Lee memukul dengan dorongan dua telapak tangannya yang berwarna merah darah. Song Bu menyambut dengan tangan kiri yang kini berwarna hitam dan telapak tangan kanan yang berwarna putih.
"Wuuuttt... desss...!"
Hebat sekali pertemuan kedua pukulan yang mengandung hawa sakti amat kuat itu. Akibatnya, Ouw Yang Lee mundur lima langkah dan Song Bu mundur tiga langkah, Keduanya tergetar hebat akan tetapi sekali ini Ouw Yang Lee merasa agak nyeri di dalam dadanya, membuktikan bahwa dia kalah kuat dan menderita luka dalam karena tenaganya yang membalik. Kini Ouw Yang Lee menghampiri Sin Cu. Pemuda itu melihat betapa langkah kaki Kakek itu sudah tidak tetap, agak goyah dan wajahnya agak pucat, napasnya agak terengah.
"Lo-Cianpwe menderita luka, harap mengaso dan menghentikan semua pertentangan ini,"
Kata Sin Cu.
"Ayah, jangan pukul dia, Ayah. Pukullah aku saja...!"
Terdengar Ouw Yang Hui berkata. Akan tetapi Ouw Yang Lee tidak memperdulikan semua suara itu. Dia bertanya dengan suara parau,
"Orang muda, beranikah engkau menerima pukulanku?"
"Lo-Cianpwe sudah terluka, saya harap..."
Baru sampai di situ Sin Cu berkata, Kakek itu sudah menyerangnya dengan pukulan Ang-Tok-Ciang, mengerahkan seluruh sisa tenaganya.
"Hyaaaaattt...!"
Dahsyat sekali pukulan ini karena Ouw Yang Lee mengerahkan semua tenaga yang ada. Dia mengerti bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang paling tinggi, maka diapun mengerahkan seluruh tenaganya. Sin Cu tidak tega untuk melukai calon mertuanya itu. Dia mengerahkan tenaga Thai-Yang Sinkang (Tenaga Inti Matahari) menjadi tenaga lunak, menyambut kedua telapak tangan merah itu dengan kedua telapak tangannya.
"Wuuutt... plakk!"
Dua pasang telapak tangan itu bertemu dan melekat! Ouw Yang Lee merasa terkejut sekali ketika kedua telapak tangannya bertemu dengan tangan yang lunak dan hangat lalu melekat. Dia mengerahkan tenaga agar hawa beracun dari kedua tangannya menjalar dan menyerang lawan, akan tetapi dia merasakan tenaganya tenggelam.
"Lo-Cianpwe, silakan duduk mengaso!"
Kata Sin Cu dan sekali dia menggunakan tenaga mendorong, tubuh Kakek itu melayang dan tepat jatuh terduduk di atas kursinya yang tadi! Dia terhenyak dan tertegun sejenak lalu menyadari bahwa tidak mungkin dia mengalahkan tiga orang muda itu. Tiba-tiba dia tertawa lagi. Tawanya memanjang terbahak, akan tetapi terdengar seperti setengah tangis.
"Ha-ha-ha-ha-ha... Dua orang isteri dirampas laki-laki lain, dua orang anak durhaka terhadap Ayah mereka, seorang murid murtad kepada Gurunya. Ditambah lagi semua cita-cita hancur lebur! Haii, Ouw Yang Lee, apa gunanya lagi engkau hidup di dunia ini?"
Setelah berkata demikian, tangan kanan kanannya bergerak ke arah ubun-ubun kepala sendiri.
"Ayah...!"
Ouw Yang Lan berseru.
"Suhu...!"
Song Bu juga berteriak. Sin Cu juga terkejut, Dia melompat namun terlambat. Tubuh Ouw Yang Lee sudah terkulai tak bernyawa. Pukulan Ang-Tok-Ciang yang dahsyat itu menghancurkan isi kepalanya!
"Ayahhhh..."
Ouw Yang Hui menjerit dan ia lari menghampiri Ayahnya, berlutut dan menangis. Ouw Yang Lan juga berlutut di dekat Ouw Yang Hui sambil menangis.
Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Pedang Pusaka Thian Hong Karya Kho Ping Hoo