Sepasang Rajah Naga 35
Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 35
Dua orang gadis Kakak beradik ini lalu saling rangkul dan bertangisan. Saat itu mereka berdua merasa betapa dulu Ayah mereka amat menyayang mereka dan betapa kebahagiaan Ayah ini hancur semenjak terjadi penyerbuan dan penculikan atas diri Ibu mereka. Song Bu juga berlutut dan menundukkan muka dengan sedih. Dia merasa menyesal sekali mengapa dia sampai memusuhi Gurunya sendiri yang demikian baik kepadanya dan bahkan mengakuinya sebagai anak sendiri. Akan tetapi dia lebih menyesal mengapa Gurunya itu melakukan hal-hal yang buruk itu, sehingga terpaksa dia memusuhinya. Sin Cu juga berlutut untuk menghormati jenazah laki-laki yang menjadi Ayah mertuanya. Agaknya mendengar keributan dan tangis kedua orang gadis di ruangan itu, bermunculanlah dua orang isteri Ouw Yang Lee dan beberapa orang pelayan keluarga itu.
Setelah menyadari bahwa Ouw Yang Lee yang tampak duduk terkulai di atas kursinya itu telah meninggal dunia, pecahlah tangis mereka sehingga ruangan itu menjadi riuh-rendah oleh tangis. Siauw Ming memasuki ruangan itu dan dia berdiri termenung, berulang kali menggeleng kepalanya dan menarik napas panjang. Dia melihat betapa kesengsaraan melanda manusia yang sesungguhnya disebabkan oleh ulah dan tindakan mereka sendiri yang dikuasai nafsu-nafsu daya rendah pribadi. Seluruh anggauta Pulau Naga dan keluarga mereka berkabung. Upacara pemakaman dilakukan dengan sederhana namun penuh khidmat. Setelah penguburan selesai, Sin Cu mendapat kesempatan untuk bicara berdua saja dengan Ouw Yang Hui di bagian belakang gedung milik keluarga Ouw Yang itu, di mana terdapat sebuah taman. Mereka duduk berdampingan di atas sebuah bangku batu panjang.
"Hui-moi, sekarang semuanya telah selesai. Tidak ada lagi bahaya mengancam dirimu. Juga bahaya yang mengancam keselamatan Ibumu dan Paman Gan Hok San telah lenyap. Marilah kita kembali menjemput mereka di Siauw-Lim-Si, mengajak mereka kembali lagi ke dusun Sia-Bun di lereng Beng-San, dan kita merayakan pernikahan kita di sana."
Ouw Yang Hui mengangkat muka, menatap wajah Sin Cu dan memandang dengan mata terbelalak. Matanya yang jeli dan indah seperti mata burung Hong itu sayu dan membayangkan kesedihan yang amat mendalam.
"Menikah...? tidak... tidak...! Cu-Ko, bukankah sudah kukatakan bahwa aku sama sekali tidak berharga lagi bagimu? aku telah ternoda dan..."
"Dan hamil, begitukah maksudmu? Aku tahu, Hui-moi, dan aku tahu pula dari Song Bu bahwa engkau tidak ternoda. Engkau mengorbankan dirimu, mengorbankan kehormatanmu dan mengorbankan kebahagiaan hidupmu untuk menyelamatkan aku! Aku tahu semua itu, Hui-moi. Aku telah berhutang nyawa kepadamu dan aku mau bertanggung jawab untuk semua itu. Aku tetap ingin mengawinimu!"
Kepala itu menunduk dan bibir itu digigit menahan isak, akan tetapi air matanya tetap jatuh bertitik. la menggeleng kepalanya kuat-kuat dan memaksa diri untuk bicara.
"Cu-Ko, jangan memaksa diri karena engkau kasihan kepadaku. Aku tidak mau dinikahi hanya karena iba...!"
"Tidak, Hui-moi. Aku bukan hanya kasihan kepadamu. Aku tetap mencintamu, Hui-moi. Tetap mencintamu seperti dulu!"
Kata Sin Cu dengan sungguh-sungguh.
"Pengakuanmu ini hanya terdorong perasaan ibamu saja, Cu-Ko. Aku bukan lagi gagis Ouw Yang Hui yang kau cinta dulu. Aku bukan gadis lagi, Cu-Ko. Aku seorang janda! Kau dengar? Aku seorang janda yang ditingal mati suamiku yang meninggalkan seorang anak dalam kandunganku! Tidak, aku tidak berharga lagi untuk kau cinta... aku.... aku... telah kotor ternoda !"
"Tidak, Hui-moi! Bagiku engkau tetap bersih dan murni. Aku tetap cinta padamu. Aku ingin membahagiakanmu, membahagiakan anak dalam kandunganmu, aku ingin membela dan melindungi kalian, seumur hidupku..."
Air mata semakin deras bercucuran dari kedua mata Ouw Yang Hui. la menggeleng kepala keras-keras seperti hendak membantah suara hati sendiri.
"Tidak! Semua ucapanmu itu terdorong oleh kebaikan hatimu, Cu-Ko. Aku tahu engkau seorang yang berhati mulia. Akan tetapi aku tidak ingin melihat kelak engkau akan kecewa dan menyesal, bahkan bukan mustahil kelak engkau akan membenci aku dan anak dalam kandunganku ini. Tidak, Cu-Ko, lebih baik aku mati... ah, lebih baik aku mati daripada menjadi isterimu setelah aku begini...!"
Ouw Yang Hui menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menahan tangisnya agar tidak bersuara. Hanya pundaknya yang bergoyang-goyang dan dari celah-celah jari tangannya mengalir air mata. Sin Cu memandang dengan wajah pucat. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, bertindak beberapa langkah menjauhi Ouw Yang Hui dan berdiri diam seperti telah berubah menjadi arca. Pandang matanya kosong. Ouw Yang Hui menurunkan kedua tangannya ketika merasa bahwa ia ditinggal seorang diri. la mengusap air matanya sehingga pandangannya tidak kabur dan ketika mengangkat muka, ia melihat Sin Cu berdiri sekitar lima meter dari situ, membelakanginya. Pemuda itu berdiri diam, sama sekali tidak bergerak seperti sebuah arca. Ada perasaan aneh, khawatir dan ngeri, menyelinap di hati gadis itu.
"Cu-Ko..."
Ia memanggil lirih, biarpun lirih, jarak itu tidak jauh dan pasti terdengar oleh yang dipanggilnya. Akan tetapi pemuda itu tidak bergerak sama sekali. Ouw Yang Hui bangkit perlahan. la merasa kedua kakinya gemetar dan jantungnya berdebar ketika melangkah menghampiri pemuda itu.
"Cu-Ko..."
Ia memanggil lagi setelah berada dekat di belakang pemuda itu. Sin Cu tetap diam saja, sama sekali tidak bergerak untuk menengok dan tidak pula menjawab.
Ouw Yang Hui sudah berhenti menangis sama sekali. Hilang sudah semua kesedihan karena pada saat itu ingatan dan pikirannya sama sekali tidak ingat akan keadaan dirinya, melainkan dipenuhi kekhawatiran tentang keadaan Sin Cu yang diam seperti arca dan tidak menjawab setelah dipanggil dua kali. Ouw Yang Hui melangkah ke depan pemuda itu dan memutar tubuhnya, kini berhadapan dengan Sin Cu, berhadapan dekat sekali. la terbelalak melihat pemuda itu benar-benar seperti telah berubah menjadi arca. Mata itu terbuka akan tetapi tidak ada Sinarnya, seperti mata yang dilihat pada mayat Ayahnya kemarin. Mulut itu setengah terbuka seperti orang hendak bicara akan tetapi tiada suara. Wajah itu pucat dan garis-garisnya menunjukkan seperti orang yang sedang menderita kesakitan hebat. Ouw Yang Hui menatap wajah itu, matanya terbelalak, dan sekali lagi ia memanggil, kini agak kuat.
"Kak Sin Cu...!"
Namun yang dipanggil tidak menjawab, tidak bergerak, bahkan mata yang kosong menerawang itu sama sekali tidak melirik ke arahnya. Ouw Yang Hui merasa seperti jantungnya ditusuk pedang. Perih dan nyeri sekali, merasa bahwa ialah yang membuat Sin Cu seperti itu. Kedua kakinya menggigil dan ia tidak mampu bertahan untuk berdiri lagi. la menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sin Cu, merangkul kedua kaki itu dan menangis tersedu-sedu.
"Cu-Ko... maafkanlah aku...! akulah yang membuat engkau begini... aku berdosa besar... aku telah merusak kebahagiaan hidupmu... menghancurkan hidupmu... uu... hu... huu... Cu Ko, bunuh saja aku...!!"
Tangisnya mengguguk membuat ia megap-megap, terengah-engah seolah kerongkongannya tersumbat. Air matanya bercucuran seperti mencuci kaki Sin Cu. Tiba-tiba tubuh Sin Cu bergerak. Dia seperti tersentak kaget, seperti baru terbangun dari tidur. Kesadarannya kembali. Tadi, kekecewaan dan penyesalan mendatangkan kedukaan hebat yang menghimpit batinnya, membuat dia seperti ditinggalkan sukmanya. Dia menunduk dan melihat Ouw Yang Hui menangis sambil merangkul kedua kakinya, mendengar gadis itu berulang kali mengeluarkan ucapan permintaan maaf dan pengakuan dosa, hatinya menjadi terharu sekali. Dia cepat membungkuk, memegang kedua pundak gadis itu dan mengangkatnya untuk berdiri.
"Hui-moi... tidak, Hui-moi. Bukan engkau yang harus minta maaf, melainkan akulah yang minta maaf padamu. Akulah yang menyebabkan semua ini, aku yang menghancurkan kebahagiaanmu. Aku tahu bahwa keadaanmu ini adalah karena engkau berkorban untuk menyelamatkan aku. Aih, Hui-moi, aku ingin menebus dosaku itu, aku ingin membahagiakanmu, aku ingin bertanggung jawab, aku ingin tetap memperisterimu, ingin membela dan melindungimu selama hidupku, kenapa engkau menolak? Berikanlah kesempatan kepadaku yang telah menjadi penyebab kesengsaraanmu untuk menebus semua itu dan membahagiakanmu, Hui-moi."
Ouw Yang Hui menggeleng kepala dan memandang wajah pemuda itu melalui genangan air matanya.
"Maafkan aku, Cu-Ko. Akan tetapi aku tidak mungkin dapat menjadi isterimu. Aku akan lebih tersiksa lagi, aku akan selalu merasa kotor, merasa rendah, merasa mencemarimu dengan noda. Tidak, tidak! Biarlah aku saja yang menderita, aku tidak ingin menyeretmu ke dalam kehinaan ini..."
"Hui-moi, kalau begitu kehendakmu, aku hanya dapat menghormati pendirianmu. itu. Akan tetapi setidaknya, berilah kesempatan padaku untuk melindungi engkau dan... Anak dalam kandunganmu itu. Kalau engkau tidak suka menjadi isteriku, apakah engkau juga menolak untuk menjadi adik angkatku? Aku ingin melindungimu, akan tetapi tanpa ada hubungan antara kita, bagaimana mungkin hal itu kulakukan? Akan tetapi kalau engkau menjadi adikku, dan anakmu menjadi keponakanku, tak seorangpun akan mencelamu, karena sebagai Kakakmu aku berhak dan berkewajiban untuk melindungimu. Bagaimana, Hui-moi, maukah engkau menjadi adikku? Adikku tersayang?"
Hati Ouw Yang Hui merasa amat terharu. Rasa haru, sedih, juga bahagia bercampur menjadi satu. la menengadah, menatap wajah pemuda itu dan melihat sinar mata penuh kasih dan kejujuran. la mengangguk sambil menangis.
"Terima kasih, Cu-Ko... engkau... engkau Kakakku.!"
"Adikku Hui-moi...!"
Ouw Yang Hui tenggelam ke dalam pelukan Sin Cu. Sin Cu merangkul, mendekap kepala itu seperti hendak memasukkannya ke dalam dadanya, menyimpannya di dalam agar tidak hilang lagi. Dia mengusap rambut kepala wanita itu dengan jari-jari tangannya yang mengandung getaran Kasih sayang. Akan tetapi anggapan bahwa gadis itu adiknya, anggapan yang langsung keluar dari hati sanubarinya, seketika telah mengubah sifat kasih sayangnya. Sekali ini getaran itu bersih dari getaran cinta berahi, menjadi kasih sayang seorang Kakak kepada adiknya. Cinta merupakan Sesuatu yang amat suci. Hidup tanpa cinta seperti tanah gersang, tidak menumbuhkan apapun. Seperti pohon yang layu, tidak membuahkan apapun. Cinta kasih memperkuat gairah hidup, memberi isi pada kehidupan.
Tanpa cinta, kehidupan tidak ada lagi artinya, kosong dan tidak ada gunanya, Kalau ada Cinta-Kasih dalam hati, maka apapun yang kita lakukan pasti baik, pasti benar. Cinta kasih mengalahkan segala macam nafsu godaan setan, menghilangkan kebencian, dengki, iri hati, kemarahan dan dendam. Kalau pohon Cinta-kasih tumbuh dengan suburnya dalam hati sanubari kita, maka buahnya adalah segala kebaikan., Cinta kasih menumbuhkan perasaan iba terhadap sesama manusia, bahkan sesama hidup, menumbuhkan simpati, mehdorong keinginan hati untuk menolong, membangun,memperbaiki. Menimbulkan keinginan untuk selalu menyenangkan orang lain, siapapun adanya dia. Cinta kasih memperkuat hati untuk memaafkan, kesalahan orang lain kepada kita, karena itu cinta kasih menumbuhkan kesabaran, keikhlasan untuk berkorban.
Cinta kasih memperkecil, bahkan akhirnya meniadakan si-aku, tidak mementingkan diri sendiri. Cinta kasih mengusir pengaruh iblis karena Kekuasaan Tuhan akan bekerja dalam diri dan sinarNya adalah Cinta kasih itu sendiri. Sesuai dengan hukum kemanusiaan, cinta kasih memang bermacam-macam, cinta kasih memang berbeda-beda sifat pelaksanaannya. Cinta kasih antara suami isteri mengandung berahi. Cinta kasih orang tua kepada anak mengandung bimbingan dan perlindungan. Cinta kasih anak terhadap orang tuanya mengandung kebaktian dan ketaatan. Namun pada dasarnya Cinta kasih itu selalu didasari perasaan iba dan ingin menolong, ingin menyenangkan. Sin Cu adalah seorang pemuda yang sejak kecil bukan saja digembleng norma-norma kesusilaan dan budi pekerti yang luhur oleh Bu Beng Siauwjin.
Dia juga manusia lemah yang mudah diperhamba oleh nalsu-nafsunya sendiri, Cinta kasihnya terhadap Ouw Yang Hui murni. Cinta berahi hanya menjadi bagian saja dari cinta kasihnya, bukan menjadi majikan yang mengendalikan. Karena itu, tidak sukar baginya mengubah sifat cinta kasihnya itu dari cinta seorang kekasih dan calon suami kepada calon isterinya, menjadi cinta seorang Kakak terhadap adiknya yang bersih dari berahi. Ouw Yang Hui merasa terharu sekali. Terharu dan bahagia. la amat mencinta Sin Cu, ia siap berkorban diri, bahkan berkorban nyawa untuk Sin Cu. Tadinya ia berduka karena keadaan dirinya mengancam ia harus berpisah dari Sin Cu. Akan tetapi kini pemuda itu memberi jalan keluar, mendatangkan harapan baru, memberi kesempatan kepadanya untuk dapat terus berdekatan dengan Sin Cu.
Memungkinkan ia untuk terus mencinta dan menyatakan cintanya terhadap pemuda itu. Sebagai adiknya! Sebagai seorang adikpun ia mendapat kesempatan dengan sikap dan perbuatan untuk membahagiakan hati Sin Cu. Ia mencurahkan seluruh perasaannya dan menyalurkannya, melampiaskannya melalu air matanya yang membasahi baju dan dada Sin Cu. Pemuda itu merasakan betapa air mata gadis itu membasahi dadanya, seperti embun yang dingin sejuk menyusup ke dalam dadanya dan mendatangkan kesegaran, membangun semangatnya. Ada rasa bahagia yang sukar dilukiskan berkembang dalam hatinya. Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti itu, Sin Cu merasa berbahagia, kuat dan bangga mendekap adik yang dikasihinya dan harus dilindunginya,
Sebaliknya, Ouw Yang Hui merasa begitu aman sentausa berada dalam pelukan Sin Cu yang menjadi Kakaknya. Hatinya menjadi tenteram dan rasa bahagia mulai berkembang dalam hatinya yang tadinya hampir layu oleh duka. Akhirnya ia merenggangkan mukanya dan berdiri berhadapan dengan Sin Cu. Mereka saling pandang dan Sin Cu merasa betapa hatinya mekar dalam kebahagiaan ketika dia melihat wajah yang jelita itu kini walaupun masih pucat tampak berseri, matanya bersinar-sinar dan terutama sepasang bibir itu mengembangkan senyum manis Sepasang mata yang mas?h basah itu memandang kepadanya bagaikan mata anak kelinci yang tadinya ketakutan kini bertemu induknya. Ouw Yang Hui menjulurkan kedua tangannya dan memegang kedua tangan Sin Cu.
"Cu-Ko, terima kasih!"
Sin Cu menggenggam sepasang tangan yang kecil mungil, halus dan lembut itu dan berkata dengan suara menggetar terharu namun mengandung kebahagiaan.
"Aku berterima kasih karena engkau suka menjadi adikku, Hui-moi!"
"Anak dalam kandunganku inipun bernasib baik sekali, Cu-Ko, menemukan seorang Paman yang bijaksana dan berbudi luhur seperti engkau."
"Ah, sudahlah, Hui-moi. Jangan banyak memujiku. Lebih baik sekarang kita masuk ke rumah. Angin di sini agak besar, aku khawatir engkau akan masuk angin. Mulai saat ini engkau harus menaati kata-kataku, engkau harus menjaga kesehatanmu baik-baik,"
Sin Cu menggandeng tangan Ouw Yang Hui dan mengajaknya meninggalkan taman itu. Pada saat itu, dari rumah itu muncul dua orang yang bukan lain adalah Song Bu dan Ouw Yang Lan. Mereka berdua melihat betapa Sin Cu dan Ouw Yang Hui bergandeng tangan dan sama sekali tidak rikuh bertemu mereka, gandengan tangan itu tidak dilepaskan. Muka Ouw Yang Lan menjadi agak merah dan ia merasa hatinya tertusuk cemburu. Akan tetapi segera di tekannya dengan kesadaran bahwa adiknya itu telah bertunangan dengan Sin Cu dan ia sama sekali tidak boleh mengganggu hubungan antara mereka. la harus mengalah. Cintanya jatuh kepada pria yang salah. Sin Cu amat mencinta Ouw Yang Hui dan ia tahu akan hal itu. Juga Song Bu merasa tak nyaman hatinya.
la jatuh cinta kepada Ouw Yang Hui akan tetapi kenyataannya, Ouw Yang Hui sudah bertunangan dengan Sin Cu bahkan gadis itu amat mencinta Sin Cu sehingga rela mengorbankan dirinya demi keselamatan Sin Cu. Dia sudah merasa lega dan bersukur kalau Sin Cu mau mengawini gadis itu sehingga Ouw Yang Hui akan terbebas dari aib dan dapat hidup berbahagia di samping pria yang dicintanya. Kini melihat mereka bergandeng tangan, dia ikut merasa gembira. Ouw Yang Hui melepaskan tangan Sin Cu dan menyambut encinya. Mereka saling berangkulan dan Ouw Yang Lan merasa heran akan tetapi senang melihat betapa wajah Ouw Yang Hui tidak tampak sedih lagi, bahkan walaupun masih pucat dan bekas tangis mernbuat sepasang mata itu kemerahan, namun wajah itu berseri dan sepasang mata itu bersinar-sinar, bibir itu penuh senyum.
"Enci Lan.!"
Ouw Yang Hui menegur.
"Adik Hui, ketahuilah bahwa semua anak buah Pulau Naga mendesak dan memohon kepada aku, dan Bu-Ko untuk menggantikan Ayah memimpin mereka membangun Pulau Naga."
"Itu bagus sekali, enci Lan!"
"Aku sudah memutuskan untuk menyerahkan pimpinan itu kepada Kakak Tan Song Bu, Biarlah dia yang menggantikan Ayah memimpin mereka dan mengangkat serta memperbaiki nama Pulau Naga sebagai tempat tinggal orang-orang gagah. Aku sendiri akan pulang kepada Ibuku dan Ayah tiriku."
"Sin Cu, Paman Siauw Ming mengajak kita untuk pergi ke Pulau Ular, mengunjungi kuburan orang tua kita."
"Wah, itu bagus sekali, Song Bu. Aku memang sudah ingin sekali pergi ke sana. Kapan kita berangkat?"
Kata Sin Cu. Pemuda itu kini juga bersikap riang karena tidak ada lagi sesuatu yang mengganjal hatinya. Ouw Yang Hui sudah mau menjadi adiknya. Hal ini berarti bahwa dia akan selalu berdekatan dan dapat melindungi gadis itu.
"Aku ikut, Cu-Ko."
Kata Ouw Yang Hui.
"Tentu saja, aku juga ikut."
Kata Ouw Yang Lan.
"Mari kita pergi berempat, rnaksudku, berlima dengan Paman Siauw Ming. Perahu dan bekal sudah dipersiapkan dan Paman Siauw Ming sudah menunggu di pantai."
Mereka lalu pergi ke pantai dan tak lama kemudian mereka sudah berlayar mempergunakan dua buah perahu, yaitu bersama Siauw Ming berkunjung ke Pulau Naga, dan sebuah perahu lebih kecil milik Pulau Naga. Perahu besar itu nanti setelah mereka mengunjungi Pulau Ular, akan dipergunakan oleh Siauw Ming untuk kembali ke daratan bersama Sin Cu, Ouw Yang Hui dan Ouw Yang Lan. Sedangkan perahu kecil akan dibawa Song Bu kembali ke Pulau Naga karena dia sudah ditunjuk oleh Ouw Yang Lan dan para anggauta Pulau Naga untuk menggantikan Ouw Yang Lee memimpin Pulau Naga.
Dua perahu itu beriringan menuju ke Pulau Ular yang tidak begitu jauh letaknya dari Pulau Naga. Dengan hati yang amat terharu, Sin Cu berlutut di depan gundukan tanah di mana ada batu nisannya yang terukir kata-kata "Makam Wong Cin dan isteri". Song Bu juga berlutut di depan gundukan tanah yang batu nisannya tertulis "Makam Tan Hok dan isteri". Keduanya bersembahyang dan mencoba untuk membayangkan wajah Ayah Ibu mereka. Namun mereka hanya dapat mengingat samar-samar saja. Ouw Yang Hui dan Ouw Yang Lan juga ikut bersembahyang memberi hormat kepada makam dua pasang suami isteri itu. Mereka berempat, dibantu Siauw Ming, lalu membersihkan dua makam sederhana itu. Sampai beberapa lamanya mereka duduk tepekur di depan kedua makam itu. Matahari telah naik tinggi dan akhirnya Siauw Ming bangkit berdiri dan berkata kepada mereka,
"Kukira sudah tiba saatnya bagiku untuk kembali ke daratan. Mari, siapa yang jadi ikut bersamaku ke daratan besar?"
Sin Cu bangkit berdiri dan dia tersenyurm kepada Ouw Yang Hui.
"Marilah Hui-moi, kita berangkat."
Ouw Yang Hui juga bangkit dan ia menoleh kepada Ouw Yang Lan.
"Mari enci Lan. Bukankah engkau juga hendak kembali kepada Ibu Kim dan Ayah tirimu di Pek-In-San?"
Ouw Yang Lan dan Song Bu juga bangkit berdiri Ouw Yang Lan menoleh dan memandang kepada Song Bu.
"Bu-Ko, aku-pergi. Kuharap engkau akan dapat membimbing para anak buah dengan baik dan dapat membangun Pulau Naga sehingga nama Pulau Naga kita menjadi harum dan terpuji."
"Akan tetapi, sesungguhnya aku amat membutuhkan bantuanmu, Lan-moi. Bantulah aku untuk mulai mempersiapkan bimbingan dan pembangunan itu. Kelak aku akan mengantar engkau ke Pek-In-San,"
Kata Song Bu dan dalam pandang mata dan suaranya terkandung permohonan dan harapan besar. Ouw Yang Lan tampak meragu dan ia menoleh dan memandang kepada Ouw Yang Hui dan Sin Cu.
"Akan tetapi aku... aku ingin hadir dan ikut dalam kesibukan persiapan pesta perayaan pernikahan adik Ouw Yang Hui dan Kakak Wong Sin Cu."
"Ah, enci Lan. Aku dan Cu-Ko tidak akan menikah!"
Kata Ouw Yang Hui. Ouw Yang Lan terkejut, demikian pula Song Bu, mendengar ucapan itu. Mereka memandang kepada Ouw Yang Hui dan Sin Cu dan sepasang orang muda itu sama sekali tidak tampak bersedih. Sebaliknya, mereka berdua tersenyum dan wajah mereka berseri.
"Ehh? Adik Hui, bukankah kalian saling mencinta? Kalian tampak begitu mesra..."
"Tentu saja kami saling mencinta, enci Lan! Akan tetapi kami tidak akan menikah."
"Sin Cu! Bagaimana ini? Apakah engkau hendak mengingkari janjimu?"
Song Bu berkata dengan suara keras dan alisnya berkerut, matanya mencorong memandang kepada Sin Cu.
"Song Bu, tenanglah. Aku sama sekali tidak hendak mengingkar"
Janji. Aku tetap akan membela dan melindungi Hui-moi selama hidupku."
Kata Sin Cu sambil menggandeng tangan Ouw Yang Hui.
"Akan tetapi apa artinya ini? Kalian tidak akan menikah dan..."
"Maaf, Kak Song Bu. Urusanku dengan Cu-Ko adalah urusan kami berdua pribadi. Engkau sama sekali tidak berhak mencampuri. Marilah, enci Lan. Kita berangkat!"
Ouw Yang Hui menarik tangan Sin Cu untuk menyusul Siauw Ming yang sudah masuk ke dalam perahunya. Ouw Yang Lan menggeleng, kepala setelah ia termenung sebentar.
"Tidak, Hui-moi. Pergilah engkau dulu bersama Cu-Ko. Aku akan tinggal di sini dulu membantu Bu-Ko membuat persiapan untuk mengatur Pulau Naga."
"Kalau begitu, selamat tinggal dan sampai berjumpa kembali, Lan-Ci dan Bu-Ko"
Kata Ouw Yang Hui dan bersama Sin Cu lalu memasuki perahu itu.
"Selamat jalan. Hui-moi dan Cu-Ko! Jagalah diri kalian baik-baik!"
Kata Ouw Yang Lan. Perahu meluncur, layar dikembangkan dan perahu itu makin ke tengah. Sin Cu dan Ouw Yang Hui berdiri melambaikan tangan, dibalas oleh Ouw Yang Lan dan Song Bu yang berdiri memandang mereka sampai perahu itu tampak kecil dan orang-orang yang berada di perahu itu tidak tampak lagi. Mereka berdua masih berdiri memandang ke laut. Perahu yang membawa pergi Ouw Yang Hui dan Sin Cu itu sudah jauh sekali, hanya merupakan titik hitam. Tak lama kemudian terdengar Song Bu berkata lirih, masih memandang ke laut dan tidak menengok kepada Ouw Yang Lan.
"Lan-moi, engkau mencinta Sin Cu ?"
Hening sejenak. Ouw Yang Lan tidak menjawab dan ketika Song Bu melirik kepadanya, pemuda itu hanya melihat gadis itu mengangguk perlahan.
"Dan engkau tentu mencinta Hui-moi, bukan, Bu-Ko?"
Balas tanya gadis itu. Juga Song Bu tidak menjawab, akan tetapi ketika Ouw Yang Lan mengerling kepadanya, gadis itu melihat dia mengangguk.
"Akan tetapi mereka berdua saling mencinta, kita tidak dapat dan tidak boleh mengganggu mereka,"
"Lan-moi. Kini mereka sudah pergi dan yang tinggal di sini hanya kita berdua."
Hening lagi sampai lama.
"Ya, engkau benar. Mereka sudah pergi dan yang tinggal di sini hanya kita berdua."
Gadis itu mengulang lirih.
"Kalau begitu kita pulang, Lan-moi."
"Pulang?"
Ouw Yang Lan mengulang tertegun heran.
"Ya, pulang ke Pulau Naga. Bukankah Pulau Naga sekarang menjadi tinggal kita berdua, untuk sementara atau tempat... mungkin... mudah-mudahan, untuk selamanya?"
Sesaat kemudian Ouw Yang Lan menggangguk.
"Ya, mudah-mudahan. Mari kita pulang, Bu-Ko."
Keduanya lalu memasuki perahu kecil mereka dan tak lama kemudian mereka berdua mendayung perahu itu menuju ke Pulau Naga. Kegagalan cinta mereka bahkan membuat benih cinta kasih yang memang pernah membuat mereka saling tertarik pada pertemuan pertama, kini mungkin tumbuh subur.
Mereka saling merasa iba dan ingin saling menghibur dan saling membahagiakan. Sementara itu, menurut catatan dalam sejarah, Liu Cin yang jatuh dan ditangkap dalam tahun 1510 itu diadili dan dihukum mati dengan tuduhan mengkhianati dan memberontak terhadap Kerajaan. Harta bendanya disita dan setelah harta bendanya dihitung, Kaisar sendiri sampai menggeleng-geleng kepala karena heran melihat betapa Thaikam Liu Cin telah berhasil mengumpulkan kekayaan yang luar biasa besar jumlahnya, Setelah dihitung, ditemukan harta benda Liu Cin sebagai berikut. Uang emas dan perak sebanyak dua ratus lima puluh satu juta tail lebih! Dua belas kilogram batu-batu intan berlian, dua perangkat pakaian dari emas murni, lima ratus piring emas, tiga ribu cincin dan perhiasan emas, empat ribu enam puluh buah sabuk bertabur batu mulia.
Istananya di Peking dikabarkan lebih mewah dari pada Istana Kaisar Ceng Tek sendiri! Yang terakhir ini mungkin agak dilebih-lebihkan. Namun harus diakui bahwa kekayaan yang berhasil dikumpulkan Liu Cin itu luar biasa besarnya. Tidak mengherankan apa bila hampir seluruh manusia di dunia ini, di negara manapun juga, orang-orang saling memperebutkan kekuasaan! Saling memperebutkan kedudukan! Bahkan saling bunuh, perang, semua itu untuk memperebutkan kedudukan! Bukan kedudukan itu sendiri yang diperebutkan, melainkan karena kedudukan mendatangkan kekuasaan dan kekuasaan mendatangkan apa saja yang diinginkannya dengan mudah! Dengan kekuasaan orang dapat mengumpulkan harta kekayaan, mendapatkan apa saja yang diinginkannya, dapat memenuhi dorongan semua nafsunya.
Pendeknya, segala macam kesenangan akan dapat diraihnya melalui kekuasaan yang didapatkan dari kedudukannya. Ya, kesenangan itulah yang diperebutkan manusia, dimanapun juga dan jalan paling mudah untuk mendapatkan kesenangan adalah kalau dia memiliki kekuasaan, kedudukan tinggi.! Karena itu, dunia ini akan menjadi suatu tempat yang indah, aman dan sejahtera bagi semua manusia kalau negara-negaranya memiliki pemimpin-pemimpin yang benar-benar bersih dan jujur, yang sama sekali tidak ingin mempergunakan kekuasaannya untuk mengumpulkan harta kekayaan, tidak ingin mempergunakan kedudukannya untuk mengejar dan mengumbar kesenangan, baik bagi dirinya pribadi maupun bagi sanak keluarganya. Mudah-mudahan kita semua masih akan mengalami keadaan dunia seperti itu.
Sampai di sini pengarang mengakhiri kisah ini dengan harapan semoga ada manfaatnya bagi para pembaca. Sampai jumpa di lain kisah.
TAMAT
Lereng Lawu, medio Nopember 1989.
Penerbit : CV. GEMA-Solo
Sumber Image : Awie Dermawan
Convert Image to text : Yon Setyono
Text Editing : Cersil KPH
Rewrite & OCR : 01 Mei - 20 Juli 2018
Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo