Pendekar Bunga Merah 11
Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 11
Tun Hok melepaskan rangkulannya dan Lian Si terhuyung, tentu roboh kalau tidak dirangkul lagi oleh Tun Hok.
"Nah, kau lihat, hampir engkau jatuh. Marilah nona Gan, mari kuantar, jangan sungkan. Bukankah kita sudah menjadi sahabat baik?"
Dia memapah lagi dan Lian Si, sambil tersipu, terpaksa membiarkan saja dirinya dirangkul dan dipapah ke dalam kamar. Setelah berada di dalam kamar, Tun Hok menutupkan daun pintunya, dan membawa gadis itu ke pembaringan. Dia merebahkan Lian Si telentang di atas tempat tidur dan langsung saja ditubruk, dirangkul dan diciuminya gadis yang mabok itu. Biarpun ia mabok, Lian Si masih sadar bahwa apa yang dilakukannya itu tidak benar. Ia meronta lemah, akan tetapi apa artinya tenaganya dalam keadaan mabok dan pening itu? Tun Hok berbuat lebih berani dan mulai menanggalkan pakaiannya.
"Jahanam busuk!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan daun pintu terbuka lebar, ditendang orang dari luar dan Sin Lee nampak di ambang pintu.
"Keparat, hentikan perbuatanmu yang terkutuk itu!"
Tun Hok terkejut sekali ketika melihat seorang pemuda berpakaian sederhana telah berdiri di ambang pintu dengan muka merah karena marah. Dia menjadi marah sekali. Daging yang sudah berada di mulut dan tinggal mengunyah saja hendak dirampas orang! Setelah membereskan pakaiannya sendiri yang awut-awutan, Tun Hok lalu menyambar suling dan kipasnya dari atas meja, meloncat ke pintu dan memaki orang yang baru datang itu.
"Engkau yang jahanam busuk! Engkau memasuki rumah orang seperti maling dan mencampuri urusan orang lain. Engkau patut dihajar!"
Setelah berkata demikian, Tun Hok menyerang dengan sulingnya. Kaget juga Sin Lee mendapat serangan yang dahsyat itu. Tahulah dia bahwa pemuda ini seorang yang lihai sekali, maka dia melompat keluar untuk mencari tempat yang lebih luas. Setelah tiba di mencabut pedang dari punggungnya dan terjadilah perkelahian yang sengit. Kini giliran Tun Hok yang terkejut melihat gerakan pedang lawannya. Ketika dia memperhatikan, dia melihat bunga di kancing baju Sin Lee dan semakin kagetlah dia.
"Engkau Pendekar Bunga Merah?"
Bentaknya sambil melompat ke belakang.
"Hemm, engkau sudah tahu siapa aku, maka tentu tahu pula bahwa aku tidak akan mengampuni orang yang berlaku keji terhadap seorang gadis."
Tun Hok menjadi gentar juga setelah mengetahui siapa yang dihadapinya. Nama Pendekar Bunga Merah cepat terkenal karena dilindungi Kaisar, dan semua pejabat setempat diperintahkan menyambutnya dengan baik. Bukan itu saja. Dia mendengar dari Suhunya yaitu Bouw Sang Cinjin, bahwa Pendekar Bunga Merah adalah seorang pendekar yang sakti dan dia dipesar agar berhati-hati kalau bertemu dengannya.
"Pendekar Bunga Merah! Aku mendengar bahwa engkau seorang yang gagah perkasa, akan tetapi mengapa mencampuri urusan cinta antara aku dan kekasihku? Sungguh tak kusangka engkau ternyata seorang yang tidak tahu malu! Orang sedang berkasih-kasihan dengan pacarnya diganggu!"
Muka Sin Lee berubah kemerahan.
"Sobat, engkau tidak perlu berpura-pura suci. Aku tahu siapa gadis itu. Ia seorang gadis gagah dan sopan, puteri seorang guru silat. Engkau telah menjebaknya, bukan? Engkau menjamunya dan membuatnya mabok, kemudian engkau merayunya dan berusaha memperkosanya!"
Tun Hok marah sekali.
"Itu fitnah! Kami saling mencinta. Aku cinta kepadanya dan gadis itupun cinta kepadaku. Aku akan segera meminangnya untuk menjadi isteriku!"
"Bohong!"
Bentak Sin Lee dan dia sudah menerjang lagi dengan pedangnya.
"Trang! Tranggg!"
Dua kali pedangnya tertangkis suling perak dan tangkisan itu membuat Tun Hok terkejut sekali karena dia merasa betapa tangannya tergetar hebat. Dia tidak dapat mengandalkan siapapun di rumah itu, maka terpaksa dia memutar suling dan menggerakkan kipasnya, menyerang lagi dengan lebih dahsyat. Namun, sekali ini murid Bouw Sang Cinjin ini menghadapi seorang lawan yang amat tangguh.
Dia seolah bertemu dengan orang yang tingkat kepandaiannya seimbang bahkan lebih unggul dari gurunya sendiri. Maka, ke manapun sulingnya menerjang dan kipasnya menotok dengan gagangnya, atau mengebut ke arah mukanya, selalu saja lawannya dapat menangkis atau menghindar dengan mudahnya. Dan balasan serangan pedang yang dilakukan Sin Lee selalu membuat dia kewalahan. Sin Lee mulai mendesaknya. Akan tetapi Pendekar Bunga Merah ini bukan seorang yang kejam, bukan pembunuh. Dia hanya ingin mengalahkan pemuda itu dan menyadarkannya bahwa perbuatannya itu tidak baik. Karena itu, dia hanya mendesak dan bermaksud mengalahkan Tun Hok tanpa melukai berat atau membunuhnya. Dan hal ini tidaklah begitu mudah mengingat bahwa Tun Hok juga sudah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi.
"Haiiittt...!"! Tiba-tiba Sin Lee mengeluarkan bentakan nyaring dan pedangnya menyerang dengan kuatnya sehingga Tun Hok yang menangkis sampai terhuyung ke belakang. Sin Lee sudah mendesak dan hendak merobohkannya, akan tetapi tiba-tiba sebatang pedang menyambar dan menusuknya dari samping. Dia terkejut dan menangkisnya.
"Trangg...!"
Pedang itu terpental dan Sin Lee berhadapan dengan Gan Lian Si yang mukanya merah sekali.
"Lian Si... kau...!"
Sin Lee berseru heran. Baru saja dia membebaskan gadis itu dari ancaman perkosaan dan kini gadis itu mencegah dia merobohkan calon pemerkosanya.
"Jangan bunuh dia...!"
Lian Si berkata dengan suara gemetar.
"Aku tidak akan membunuhnya, akan tetapi..."
"Jangan mencampuri urusan kami!"
Bentak pula Lian Si dengan muka merah. Ia masih mabok akan tetapi agaknya ia telah mengambil keputusan tetap.
"Tapi dia..."
Sin Lee membantah.
"Kami saling mencinta!"
Kata pula Lian Si dan mendengar ini, Tun Hok yang tadinya sudah khawatir sekali lalu tertawa.
"Ha-ha-ha, Pendekar Bunga Merah, engkau mendengar sendiri pengakuan adik Gan Lian Si itu. Apakah engkau begitu jahil untuk mengganggu sepasang orang muda yang sedang berkasih-kasihan dan saling mencinta? Apakah engkau merasa iri hati? Ha-ha-ha!"
Wajah Sin Lee berubah merah sekali. Tak disangkanya sama sekali pengakuan yang diucapkan Lian Si itu. Tentu saja dia merasa terpukul dan tidak mampu menjawab ejekan Tun Hok.
"Adik Lian Si, benarkah apa yang kau katakan itu? Bahwa engkau mencinta pemuda ini? Sesungguhnyakah?"
"Aku mencinta pemuda ini dan apa hubungannya itu dengan engkau?"
Balas tanya Lian Si, pertanyaan yang dikeluarkan dalam keadaan setengah mabok dan bercampur dengan rasa sakit hati karena ia pernah ditolak oleh Sin Lee. Gadis ini tadi mendengar pengakuan Tun Hok yang mengaku mencintainya, dan hal inilah yang membuat ia berani menentang Sin Lee. Kalau Tun Hok memang mencintainya ia dapat memaafkan semua yang telah dilakukan kongcu itu atas dirinya. Pula, mungkin saja Tun Hok ini seorang pangeran, atau putera bangsawan tinggi. Sin Lee merasa seperti ditampar mukanya, apa lagi mendengar suara tawa mengejek dari pemuda itu.
"Baiklah, kalau begitu aku hanya dapat menghaturkan selamat!"
Katanya dan dua kali tangannya bergerak, nampak sinar merah menyambar ke arah Tun Hok dan Lian Si. Dua orang ini tidak sempat mengelak dan di dada baju Tun Hok telah menancap setangkai bunga merah, demikian pula di sanggul rambut Lian Si. Pemuda ini lalu berkelebat dan lenyap dari depan dua orang muda itu. Tun Hok kini berhadapan dengan Lian Si. Tun Hok menghampiri gadis itu, dan berkata lirih,
"Gan-Siocia..."
"Kongcu, masih perlukah kongcu menyebutku nona lagi?"
"Si-moi... ah, Si-moi yang tercinta..."
Dia merangkul.
"Koko, aku... aku cinta padamu, Koko... jangan sia-siakan aku..."
Bisik Lian Si dalam rangkulan pemuda yang pandai memikat hati itu. Pengaruh arak dan juga pengaruh nafsu hatinya sendiri mendorong Lian Si untuk menurut saja ketika dibawa pemuda itu ke kamarnya, mabok dan gairah nafsu membuatnya lupa diri, lupa bahwa yang dilakukannya itu sebenarnya amat tidak baik dan merugikan dirinya sendiri sebagai seorang wanita! Sampai tiga hari tiga malam Lian Si dikeram di rumah itu biarpun sudah berulang kali ia mengatakan hendak pulang dan memberi tahu Ayahnya agar mengatur dan membicarakan tentang pernikahan mereka. Baru pada hari ke empat Tun Hok yang sudah puas kekenyangan itu membiarkan ia pergi dengan berjanji bahwa dia akan menanti di situ menunggu kedatangan Ayahnya.
Dengan hati penuh kebahagiaan, Lian Si melakukan perjalanan secepatnya ke Shanghai, memberitahukan kepada Ayahnya bahwa ia telah bertemu dengan jodohmya. Ketika Ayahnya mendengar cerita anaknya, Ayah inipun merasa bangga dan berbahagia. Puterinya hanya bercerita bahwa ia bertemu dengan seorang pemuda bangsawan yang berilmu tinggi dan keduanya jatuh cinta, bersepakat unutk menikah dan kini puterinya itu pulang memberi tahu kepadanya agar dia suka pergi mengurus soal pernikahannya itu. Sama sekali Lian Si tidak bercerita tentang keributan yang terjadi dengan Pendekar Bunga Merah, juga tidak bercerita bahwa selama tiga hari tiga malam ia hidup seperti sepasang pengantin baru dengan pemuda pilihan hatinya itu!
Gan Kong, guru silat di Shanghai itu segera mempersiapkan diri dan pada keesokan harinya setelah Lian Si pulang, dia bersama Lian Si naik kuda dan melakukan perjalanan secepatnya menuju ke bukit di sebelah selatan kota Kian-cu seperti yang ditunjukkan oleh Lian Si itu. Di sepanjang perjalanan Lian Si nampak sedemikian gembira sehingga Ayahnya ikut gembira, mengira bahwa tentu sekali ini Lian Si bertemu jodohnya yang tepat dan agaknya amat dicinta oleh puterinya itu. Akhirnya, pada suatu pagi mereka sampai juga di bukit itu. Dengan Lian Si yang melarikan kudanya di depan sebagai penunjuk jalan, mereka memasuki hutan dan tiba di depan rumah mungil itu. Akan tetapi apa yang mereka dapatkan? Rumah itu kosong, tidak ada seorangpun penghuninya! Lian Si memandang dengan muka pucat, akan tetapi ia segera menghibur dirinya dan berkata kepada Ayahnya,
"Ayah, kurasa Hok-Koko pergi ke Kian-cu atau bermain-main di telaga sambil berbelanja. Mari kita cari dia di Kian-cu atau di telaga."
Gadis itu masih belum putus harapan dan Ayahnyapun hanya mengikutinya saja. Mereka berputar-putar di kota Kian-cu tanpa hasil dan akhirnya Lian Si dan Ayahnya pergi ke telaga kecil yang berada dekat kota itu. Dan benar saja, Lian Si melihat pria yang dicintanya itu sedang berperahu bersama seorang kakek yang tinggi besar berpakaian pendeta. Ia memanggil dari daratan, dan agaknya Tun Hok melihatnya karena pemuda ini segera mendayung perahunya ke tepi, dan setelah tiba di tepi, meloncat ke darat dan mengikat perahunya. Kakek tinggi besar masih duduk bersila di dalam perahu sambil memandang dengan sikap acuh.
"Ah, kiranya engkau, adik Lian Si,"
Kata Tun Hok. Lian Si mengerutkan alisnya melihat sambutan Tun Hok tidak seperti yang diduganya itu. Sambutan pemuda itu demikian dingin dan tidak bersemangat, seolah bertemu kenalan biasa saja. Pada hal, ia merasa rindu sekali kepada pemuda yang sudah dianggap suaminya itu! Akan tetapi karena Ayahnya berada di situ, ia tidak memperlihatkan rasa penasaran di hatinya.
"Koko, ini adalah Ayahku, sengaja kuajak ke sini!"
Lian Si memperkenalkan.
"Ayah, inilah kanda Bhe Tun Hok seperti yang kuceritakan kepada Ayah."
Sejak semula Gan Kong sudah mengerutkan alisnya. Penyambutan pemuda itu kepada Lian Si bukan sambutan seorang kekasih, pikirnya. Demikian dingin dan dia melihat kecongkakan pada sikap pemuda itu, seperti memandang rendah kepada dia dan Lian Si. Apakah karena dia pemuda bangsawan seperti pengakuan Lian Si?
"Ah, pamankah yang menjadi guru silat di Shanghai, Ayah Lian Si? Selamat bertemu, Gan-Kauwsu (guru silat Gan)!"
Kata Tun Hok malas-malasan. Ayah dan anak itu semakin kaget dan penasaran. Terutama sekali Lian Si yang mendengar betapa kekasihnya itu menyebut Ayahnya
"Guru silat Gan."
"Koko, ini adalah Ayahku, calon Ayah mertuamu!"
Ia menegur.
"Aihh, Lian Si. Siapa bilang dia calon Ayah mertuaku?"
"Koko, bukankah engkau menjanjikan untuk mengawini aku?"
"Ha-ha-ha, janji kita berdua dalam suasana mabok seperti itu tidak ada artinya, Lian Si. Aku tidak akan kawin dengan siapapun."
Lian Si menjadi pucat sekali wajahnya dan ia memandang kepada Tun Hok dengan sepasang mata terbelalak, tidak percaya. Apakah ini bukan pemuda dengan siapa ia tidur selama tiga hari tiga malam itu?
"Hok-ko, apa artinya ini! Bukankah di rumahmu, di bukit itu, engkau menjanjikan akan menikah dengan aku, dan aku berpamit untuk memanggil Ayahku agar mengurus dan membicarakan pernikahan kita?"
Tiba-tiba kakek berpakaian pendeta yang duduk di perahu itu berkata,
"Tun Hok, ada apa ribut-ribut ini?"
"Ini, Suhu. Gadis ini pernah bersenang-senang dengan teecu selama tiga hari tiga malam dan sekarang ia minta dikawini!"
Kata Tun Hok sambil tertawa.
"Hemm, siapa ia?"
"Ia Gan Lian Si, puteri Gan Kong guru silat di Shanghai."
"Bagaimana ilmu silatnya?"
"Biasa-biasa saja, Suhu. Akan tetapi lumayan, lebih baik dari pada para pembantu kita."
"Kalau begitu, suruh mereka membantu kita menggempur Beng-kauw, baru kita bicara lagi. Mungkin engkau dapat mengambilnya sebagai seorang selir."
Tun Hok berkata kepada Ayah dan anak yang memandang dengan mata terbelalak itu.
"Nah, kalian dengar apa kata guruku. Maukah kalian membantu kami menggempur Beng-kauw yang menjadi musuh kami? Setelah itu baru kita bicara. Biarpun aku sudah mempunyai tujuh orang selir, ditambah seorang lagi pun tidak mengapa."
Hampir saja Lian Si menjerit seperti ditusuk jantungnya dengan pedang berkarat. Ia menudingkan telunjuknya ke arah muka Tun Hok.
"Bhe Tun Hok, laki-laki macam apa engkau ini? Engkau telah berjanji akan menikahiku dan sekarang di depan Ayah engkau hendak menyangkalnya?"
"Ha-ha, Lian Si, aku tidak akan menikah dengan seorang perempuan gampangan seperti engkau."
"Tun Hok!"
Lian Si menjerit.
"Engkau jahanam busuk, keparat! Aku akan mengadu nyawa denganmu!"
Lian Si mencabut pedangnya dan menyerang dengan tusukan kilat. Akan tetapi dengan mudahnya Tun Hok sudah mengelak dan dari samping menendang yang membuat Lian Si terhuyung. Melihat keadaan ini, Gan Kong merasa tidak enak sekali. Dia memegang tangan puterinya.
"Sudahlah, Lian Si. Kalau dia tidak mau, kita berdua pergi saja dari sini. Untung engkau belum menjadi isteri seorang pemuda seperti itu. Mari kita pergi."
"Tidak, Ayah! Dia harus menikah denganku, atau dia atau aku mati di sini!"
Lian Si merenggut tangan Ayahnya dan menyerang lagi membabi buta. Karena penyerangan Lian Si amat bersungguh-sungguh, terpaksa Tun Hok mengeluarkan sulingnya dan terdengarlah bunyi kerontangan ketika pedang berkali-kali ditangkis suling.
"Ayah, bantu aku membunuh binatang berkaki dua ini. Dia telah menodai aku, Ayah!"
Mendengar ucapan anaknya yang dikeluarkan sambil menangis, Gan Kong terkejut bukan main.
"Jahanam...!"
Dia memaki dan kini Gan Kong juga mencabut pedangnya dan ikut membantu puterinya mengeroyok Tun Hok.
Namun, Tun Hok dengan tenangnya menggerakkan sulingnya, menangkis kedua pedang itu dan ketika sulingnya membalas, kembali Lian Si terhuyung. Gan Kong mengerahkan seluruh tenaganya dan menyerang dengan sengit, namun memang tingkatnya kalah jauh. Tun Hok dengan mudah menghindarkan diri dan ketika dia memutar sulingnya yang mengeluarkan suara berdengung-dengung, Gan Kong segera terdesak hebat. Lian Si mengeluarkan teriakan melengking dan ia sudah menyerang lagi dengan sepenuh tenaga. Tun Hok kembali dikeroyok dua. Akan tetapi belum lewat lima belas jurus sulingnya berturut-turut menghantam pergelangan tangan Ayah dan anak itu, membuat pedang mereka terlempar dan suling ini terus menghantam ke depan, mengenai dada Gan Kong dan pundak Lian Si. Ayah dan anak itu roboh terjengkang dan tidak dapat segera bangun kembali.
"Ha-ha-ha-ha, kepandaian kalian belum seberapa, membantu kamipun tidak ada gunanya."
Setelah berkata demikian, dia melompat ke atas perahunya dan mendayung perahu itu pergi ke tengah telaga. Lian Si hendak bangkit, akan tetapi tidak kuat dan ketika ia menoleh, ia melihat Ayahnya juga terluka, maka ia lalu menubruk Ayahnya sambil menangis.
"Ayah... ahh, Ayah...!"
Ia menangis tersedu-sedu. Ayah itu merangkul anaknya dan membiarkannya menangis sampai puas, baru dia bertanya,
"Anakku, apa yang telah terjadi antara engkau dan dia?"
"Ayah, kami berkenalan dan... dan... dia melolohku dengan arak sampai aku mabok... dan ketika itu sudah muncul Pendekar Bunga Merah melarang Tun Hok sehingga mereka bertanding dan Tun Hok sudah kalah. Akan tetapi aku... ah, mataku seperti buta... aku malah melindungi Tun Hok dan minta Pendekar Bunga Merah pergi. Kemudian... kemudian, aku seperti kehilangan segala pertimbangan dan kesadaran, Ayah. Aku... aku menyerahkan diri kepadanya, selama tiga hari tiga malam aku..."
"Plakkk!"! Tamparan itu keras sekali mengenai pipi Lian Si yang jatuh terpelanting.
"Ayah, bunuhlah aku, Ayah..."
Lian Si menangis menggerung-gerung sambil menelungkup di atas tanah.Gan Kong tenang kembali dan diapun menangis tanpa mengeluarkan suara, hanya air matanya yang menetes turun ke atas kedua pipinya. Dia teringat bahwa Lian Si adalah anak tunggalnya. Dirangkulnya gadis itu dan diangkatnya bangkit duduk kembali. Keduanya berpelukan sambil menangis.
"Ayah, aku harus membalas dendam. Harus! Kalau tidak, selama hidupku aku akan merana, menderita aib yang tak tertanggungkan."
"Aku mengerti, Lian Si. Kesalahan langkahmu menghancurkan hidupmu dan pemuda jahanam itu memang harus dihukum. Mari, bukankah dia tadi mengajak kita membantu untuk menggempur Beng-kauw? Dia dan antek-anteknya tentu akan menyerang Beng-kauw. Jalan satu-satunya untuk membalasnya adalah kita pergi ke Beng-kauw dan membantu Beng-kauw memusuhinya."
Ayah dan anak itu lalu pergi menunggang kuda mereka, menuju ke Beng-kauw. Semua peristiwa yang terjadi menimpa kita tidaklah terlepas dari pada perbuatan dan sikap kita sendiri. Tidak ada akibat tanpa sebab dan sebabnya harus dicari dalam diri sendiri. Kalau demikian, maka akan timbul kesadaran dan mawas diri ini mendatangkan keinsafan sehingga tidak akan mengulang kembali kesalahan yang pernah kita lakukan. Akan tetapi, pada umumnya kita hendak melemparkan kesalahan kepada orang lain dan kita lupa akan kesalahan diri sendiri. Timbullah dendam dan permusuhan turun temurun yang tidak ada
(Lanjut ke Jilid 11)
Pendekar Bunga Merah (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 11
habis-habisnya.
Demikian pula dengan Lian Si. Gadis ini merasa sakit hati dan mendendam kepada Tun Hok karena iapun tidak pandai mawas diri. Semua kesalahan ia timpakan kepada pemuda itu sehingga yang ada hanyalah benci dan dendam dan ingin membuat pemuda itu sengsara atau mati, seolah kalau sudah begitu akan hilang pula penderitaannya. Pada hal, penderitaan akan hilang dengan terhentinya sebab yang kita buat sendiri. Penyesalan tiada guna. Yang penting kesadaran akan kesalahan itu dan tidak akan mengulang lagi. Keluarga gila itu bermain-main di telaga. Song Kian Ok minum arak sambil bernyanyi, nyanyian kanak-kanak diseling syair-syair dan ujar-ujar dalam kitab suci sehingga terdengar aneh sekali. Isterinya, Nyonya Song, memukul tutup panci sehingga berbunyi seperti canang. Dan Aceng atau Song Ceng mencari ikan.
Caranya mencari ikan juga aneh dan luar biasa. Dia menggunakan sebilah papan yang lebarnya satu kaki panjang satu meter. Dan dia berdiri di atas papan yang meluncur ke sana ke mari sambil membawa sebuah bambu runcing. Begitu dia melihat ikan berenang di bawah permukaan air, bambu runcingnya menikam ke bawah dan dapatlah dia seekor ikan yang besar, yang sambil tertawa-tawa dibawanya ke perahu lalu diberikannya kepada ibunya. Dalam waktu tak lama dia telah berhasil menangkap enam ekor ikan yang besarnya sebetis kakinya. Ibunya sibuk membersihkan ikan itu untuk dipanggang di atas perahu. Tak jauh dari situ, seorang kakek tinggi besar menonton sejak tadi. Hemm, pikirnya, mereka itu adalah keluarga gila yang terkenal di dunia kang-ouw. Kalau saja dia dapat mempergunakan mereka, tentu akan berhasil usahanya. Kakek itu adalah Bouw Sang Cinjin.
Seperti diketahui, Bouw Sang Cinjin adalah bekas tokoh Lama Jubah Merah yang diusir dari negerinya. Tadinya dia sudah berhasil menguasai Beng-kauw dan hidup senang sebagai pimpinan Beng-kauw. Akan tetapi kemudian muncul Souw Giok Lan dan Cu Sin Lee yang menghancurkan apa yang telah dibangunnya itu. Dia kehilangan kedudukannya di Beng-kauw. Karena itu, kini dengan segala daya dia ingin merobohkan kekuasaan Souw Giok Lan yang menjadi ketua Beng-kauw. Dan untuk itu, dia membutuhkan banyak tenaga bantuan yang lihai karena Beng-kauw mempunyai banyak tokoh lihai, apa lagi Beng-kauw dibantu oleh Pendekar Bunga Merah yang namanya kian menonjol saja di dunia persilatan. Melihat cara Song Ceng menangkap ikan, hatinya tertarik sekali. Pemuda itu saja sudah memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang demikian hebat, apa lagi Ayah dan ibunya.
Kalau dia mampu menarik mereka bertiga memusuhi Beng-kauw, alangkah baiknya. Bouw Sang Cinjin adalah seorang yang cerdik. Dia sudaj mendengar banyak tentang keluarga Song yang gila dan tentang kehilaian mereka. Mengajak berunding orang gila sama sukarnya dengan mengajak berunding kerbau gila. Harus memakai akal, pikirnya. Bouw Sang Cinjin segera berganti pakaian hitam, memakai topeng hitam dan diapun mengambil sebilah papan. Lalu dia meluncurkan papan itu di atas air dan meloncat di atasnya. Dengan jubah lebar sebagai layar terkembang, dia lalu meluncur mendekati Aceng yang masih tertawa-tawa itu. Dengan cepat dia lalu mendorong dari belakang sehingga Aceng kehilangan keseimbangannya. Kemudian, ketika Aceng terguling dan masuk ke dalam air, dia tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, mana bisa kau menandingi Beng-kauw? Ha-ha-ha!"
Dan diapun meluncur mendekati perahu. Sekali ini dia memegang kepala perahu dan menggulingkan perahu itu sehingga suami isteri Song terjebur pula ke dalam air. Setelah ketiga orang itu gelagapan dan berenang, orang berpakaian hitam memakai topeng hitam itu berkata nyaring.
"Ha-ha-ha, keluarga Song Gila mana mampu menandingi Beng-kauw! Ha-ha-ha!"
Dan diapun meluncur pergi dari situ. Song Kian Ok, Nyonya Song dan Aceng memaki-maki sejadinya.
"Beng-kauw anjing, Beng-kauw kucing, Beng-kauw monyet, babi...!"
Akan tetapi mereka tidak mendapat jawaban dan merekapun dengan susah payah berenang ke tepi, basah kuyup dan kehilangan ikan dan segalanya. Sampai di pantai, Aceng menangis seperti anak kecil.
"Ah, ikan-ikanku! Beng-kauw nakal, ibu!"
"Diamlah, kita nanti beri hajaran kepadanya."
"Beng-kauw berani kurang ajar kepada kita, sungguh harus ditumpas!"
Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata pula Song Kian Ok.
"Akan tetapi Beng-kauw itu siapa?"
Tanya isterinya.
"Beng-kauw ya Beng-kauw, habis siapa?"
"Dia itu orang macam apa? Berkedok tadi? Di mana tempat tinggalnya?"
Pada saat mereka bersungut-sungut dan marah, muncul orang bertopeng hitam berjubah lebar tadi.
"Ha-ha-ha, kalian berani menentang Beng-kauw. Sama dengan cari mampus!"
"Orang gila kau!"
Aceng sudah berseru nyaring dan dia sudah meloncat ke depan, menyerang orang itu.
Serangannya kacau balau, akan tetapi mengandung sin-kang kuat dan orang bertopeng itu segera menangkis dan balas menyerang. Ayah ibu Aceng sudah berloncatan dan merekapun menyerang sehingga orang bertopeng yang bukan lain adalah Bouw Sang Cinjin itu dikeroyok tiga. Dia memang ingin mencoba kepandaian mereka, maka melayaninya dengan penuh semangat. Kalau satu lawan satu, pasti dia menang, akan tetapi kalau dikeroyok tiga, dia repot juga. Senanglah hatinya. Kalau keluarga ini maju bersama, akan menjadi pembantu yang bahkan lebih tangguh dari pada dirinya. Dia lalu melompat ke belakang dan melemparkan sebuah benda yang meledak dan mengeluarkan asap tebal. Keluarga gila itu berteriak-teriak ketakutan, lari menyingkir. Terdengar suara dari dalam asap itu.
"Kalau kalian memang berani, datanglah di Beng-kauw. Cari di lereng pegunungan Beng-san sebelah selatan dan kalian akan dapat menemukan tempat kami. Nah, sampai jumpa. Kalau kalian tidak datang, berarti kalian pengecut besar."
Setelah asap menipis, orang bertopeng itupun sudah lenyap dari situ. Song Kian Ok mencak-mencak, matanya mencorong aneh.
"Jahanam keparat busuk, engkau Beng-kauw! Siapa sih yang takut kepada Beng-kauw? Akan kudatangi Beng-kauw, akan aku obrak-abrik dan kubunuhi semua orang Beng-kauw!"
"Ait-ait-ait, suamiku. Jangan main bunuh, apa lupa akan pesan Si Dewa Arak?"
Tegur isterinya.
"Pemabok tua gila itu? Dia sendiri suka membunuh orang. Setidaknya, si tinggi besar itu akan kubikin patah kedua kakinya!"
Aceng tidak kalah semangatnya.
"Akan kubakari semua rumah Beng-kauw! Ya, dan akan kugoda gadis-gadisnya sampai kaku ketakutan!"
Keluarga gila itu memaki-maki dan mengancam sampai merasa puas. Pada saat itu terdengar suara orang tertawa.
"Ha-ha-ha, bagus sekali. Sekali ini Beng-kauw yang jahil dan jahat itu tentu akan mampus semua!"
Muncullah Bouw Sang Cinjin yang mengenakan pakaian biasa dari balik rumpun alang-alang.
"Heh, siapa kau! Orang Beng-kauw?"
Tegur Song Kian Ok dan sekali melompat dia sudah berada di depan Bouw Sang Cinjin.
"Siancai, pinto adalah seorang pendeta, sobat, bukan orang Beng-kauw. Pinto adalah sahabat, bukan musuh, kawan dan bukan lawan."
"Kawan atau lawan siapa tahu? Kau siapa?"
"Ha-ha-ha, pinto berhadapan dengan keluarga Song yang terhormat dan lihai, bukan? Pinto adalah Bouw Sang Cinjin, seorang pendeta."
Bouw Sang Cinjin adalah bekas Lama, akan tetapi kini dalam pelarian dan penyamarannya, dia mengaku sebagai seorang pendeta yang beraliran agama To.
"Dan alasan apa yang mengatakan bahwa engkau adalah sahabat kami?"
Tanya Nyonya Song.
"Pertama, pinto mempunyai hadiah untuk kalian untuk menunjukkan bahwa pinto ingin bersahabat."
Dia mengeluarkan tiga helai kalung dari mutiara dan menyerahkannya kepada mereka. Nyonya Song dan Aceng girang bukan main menerima kalung itu dan segera dipakainya. Hanya Song Kian Ok yang masih uring-uringan karena tadi dipaksa tercebur ke dalam air telaga, nampak masih bercuriga.
"Dan kedua, pinto mengundang sam-wi untuk makan bersama. Di balik ilalang itu pinto sudah mempersiapkan hidangan untuk kita berempat, lengkap dengan panggang ikan dan arak wangi."
"Panggang ikan? Wah, ikan-ikanku hilang. Mana ada panggang ikan?"
Kata Aceng gembira.
"Arak wangi...?"
Kini Song Kian Ok menjilat lidahnya.
"Mari, sam-wi, silahkan makan...!"
Bouw Sang Cinjin segera mengajak mereka ke belakang semak ilalang dan benar saja, di situ telah tersedia makanan dan minuman di atas tikar yang terbentang. Memang semua telah diatur sebelumnya oleh Bouw Sang Cinjin dan para pembantunya. Tiga orang keluarga Song itu tanpa sungkan lagi lalu makan minum dengan lahapnya sampai kekenyangan. Song Kian Ok mengelus perutnya sambil mengangguk-angguk.
"Bouw Sang Cinjin, engkau memang seorang sahabat, sahabat baik. Ha-ha, kami senang mempunyai sahabat yang dapat menyuguhkan arak begini harum dan lezatnya."
"Dan ikan panggang ini gurih sekali, Ayah!"
Aceng memuji.
"Aku lebih senang kalung-kalung ini!"
Kata Nyonya Song yang memakai dua untai kalung karena bagian suaminya diberikan kepadanya.
"Pinto masih mempunyai hadiah yang ketiga, yaitu di mana kalian dapat menemukan Beng-kauw. Beng-kauw berada di bukit Beng-san, bagian selatan. Dan ketuanya adalah seorang gadis yang jahat sekali bernama Souw Giok Lan. Masih ada lagi Suhengnya yang tidak kalah jahatnya, dia adalah Pendekar Bunga Merah."
Tiga orang itu saling pandang dengan mata berputar,
"Pendekar Bunga Merah? Kami seperti pernah mendengarnya."
"Mereka semua musuh kalian, dan musuh kami pula. Maka, kalau kita bekerja sama, tentu sam-wi akan mampu membalas penghinaan mereka."
"Baik, baik. Kami mau bekerja sama dan sekarang juga kami hendak pergi ke sana,"
Kata Song Kian Ok. Tentu saja Bouw Sang Cinjin merasa girang bukan main. Dengan cara yang amat mudah dan murah dia berhasil menarik tiga orang keluarga gila yang amat lihai itu. Bukan hanya tiga orang keluarga Song gila itu yang kini menjadi sekutu Bouw Sang Cinjin. Akan tetapi ada pula seorang wanita yang amat berbahaya karena wanita inipun lihai sekali dan ia bukan lain adalah Lai Kim Li. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lai Kim Li adalah murid pula dari Bouw Sang Cinjin dan ia adalah Sumoi dari Bhe Tun Hok, juga selain Sumoi, ia menjadi pula kekasih Bhe Tun Hok.
Di bagian depan telah diceritakan bahwa wanita iblis ini pernah dapat menjebak Sin Lee yang ingin dipersuami, akan tetapi akhirnya Sin Lee dapat lolos bahkan mengalahkannya. Karena takut terjatuh ke tangan penduduk dusun yang mengamuk dan mendendam karena ia telah menewaskan banyak pemuda, Lai Kim Li melarikan diri dan terjun ke dalam jurang. Mestinya terjun dari tempat yang sedemikian tingginya ia tentu mati. Akan tetapi kenyataannya, orang-orang dusun tidak menemukan mayatnya dan Lai Kim Li lenyap begitu saja. Sebetulnya, Lai Kim Li sudah mengenal daerah itu dan ketika meloncat ke dalam jurang, ia sudah memperhitungkan bahwa ia akan menimpa sebatang pohon yang tumbuhnya miring di jurang itu.
Inilah yang menyelamatkannya, karena ia sudah dapat memegang cabang pohon itu dan ia tidak terbanting ke bawah. Biarpun tubuhnya lecet-lecet dan lengannya terasa nyeri namun ia selamat. Tentu saja ia mendendam kepada Pendekar Bunga Merah dan ketika bertemu gurunya ia mendengar bahwa gurunya juga mendendam kepada pendekar itu, ia lalu bergabung dengan gurunya untuk menyerbu dan memburuk-burukkan nama Beng-kauw. Baginya, bukan karena hendak membalas kepada Beng-kauw seperti yang dikehendaki gurunya maka ia bergabung, melainkan karena Suhunya mengatakan bahwa ketua Beng-kauw adalah Sumoi dari Pendekar Bunga Merah dan kalau Beng-kauw diganggu, tentu pendekar itu akan muncul.
Semakin santer berita tentang orang-orang kang-ouw hendak menyerbu Beng-kauw dan di mana-mana Sin Lee mendengar berita ini. Orang-orang kang-ouw marah karena kabarnya Beng-kauw melakukan segala macam kejahatan, bahkan banyak melakukan pembunuhan di antara para pendekar yang berani menentangnya. Tentu saja Sin Lee amat mengkhawatirkan keadaan Sumoinya. Kalau benar para tokoh kang-ouw dan partai-partai besar hendak menyerbu Beng-kauw, berarti Sumoinya terancam bahaya besar! Dia teringat kepada Bu-tong-pai, maka dalam perjalanannya menuju ke Beng-kauw, dia singgah dulu ke Bu-tong-pai, dan segera menghadap ketua Bu-tong-pai. Beng Sian Tosu menerimanya dengan gembira sekali dan dia cepat menyuruh Sin Lee bangun ketika pemuda ini dengan hormatnya berlutut kepadanya dan menyebut,
"Supek.!"
"Ahh, Sin Lee, Si Pendekar Bunga Merah. Jangan banyak sungkan, Sin Lee, bangkit dan duduklah. Angin apakah yang meniupmu terbang ke sini?"
Kata tosu itu dengan ramah dan gembira.
"Supek, saya datang ini sengaja untuk membicarakan tentang Beng-kauw dengan Supek dan mohon petunjuk Supek."
"Ahh, itu? Aku sudah mendengar desas-desus bahwa para tokoh kang-ouw akan mendatangi Beng-kauw bulan depan dan kalau perlu akan menyerang Beng-kauw karena ada berita bahwa Beng-kauw melakukan penyelewengan. Tentu saja aku tidak percaya begitu saja berita itu, maka aku telah mengutus beberapa orang murid untuk datang ke Beng-kauw dan membuktikannya sendiri."
"Dan buktinya bagaimana, Supek?"
"Tidak ada bukti akan penyelewengan Beng-kauw, dan para Suhengmu itu diterima oleh ketua Beng-kauw sendiri yang juga menyatakan sudah mendengar tentang berita itu. Ketua Beng-kauw membantah dan mengatakan bahwa berita itu fitnah belaka, bahkan menuntut bukti-bukti bahwa ada anak buah Beng-kauw melakukan kejahatan. Pinto yakin setelah dipimpin oleh Sumoi-mu itu, Beng-kauw menjadi perkumpulan yang mengambil jalan lurus, bahkan peraturannya terhadap para murid keras dan ketat sekali."
Sin Lee menghela napas lega.
"Kalau begitu, saya dapat mengharapkan suara Supek dalam pertemuan nanti, apa bila para tokoh kang-ouw itu mendatangi Beng-kauw. Kalau Sumoi tidak bersalah, sudah sepatutnya ditolong, bukan, Supek?"
"Siancai? Dengan lain kata-kata, engkai menghendaki agar pinto mendatangi pertemuan itu dan memberikan suara untuk kebersihan Beng-kauw?
"Kalau Supek tidak berkeberatan tentu saja."
"Aihh, untuk membela yang benar, tentu saja pinto tidak berkeberatan dan pinto berjanji akan datang sendiri ke sana kalau saatnya tiba."
"Terima kasih banyak, Supek."
Sin Lee tidak lama berada di Bu-tong-pai, karena dia segera pamit untuk melanjutkan perjalanan ke Beng-kauw. Dia melakukan perjalanan cepat sekali dan tiba di Beng-kauw sebelum ada orang kang-ouw yang mendatangi perkumpulan itu. Bukan main gembiranya Souw Giok Lan ketika ia melihat munculnya Suheng yang tercinta ini.
"Suheng, akhirnya engkau datang...!"
Serunya sambil lari menyambut dan kedua mata gadis itu menjadi basah.
"Sumoi, apa kabar...?"
Sin Lee berkata dan mereka saling berpegang tangan tanpa berkata apa-apa lagi, hanya sinar mata mereka yang bicara banyak, yang dengan jelas menyatakan betapa mereka saling merindukan. Melihat sepasang mata Sumoinya perlahan-lahan meneteskan beberapa butir air mata ke atas sepasang pipinya, Sin Lee juga merasa betapa kedua matanya menjadi basah dan tahulah dia betapa sebenarnya mereka saling merindukan dan saling mencinta, bahwa perpisahan antara mereka itu dipaksakan sekali.
"Aih, Sumoi, rasanya sudah bertahun-tahun kita tidak berjumpa. Bagaimana, Sumoi, engkau baik-baik saja, bukan?"
"Baik, Suheng, dan engkau sendiri, bagaimana? Engkau kelihatan agak kurus, Suheng."
"Sama denganmu, Sumoi. Engkau sehat akan tetapi agak kurus, ada apakah, Sumoi?"
"Mari kita bicara di dalam, Suheng. Ada sesuatu yang amat penting kupikirkan dan kebetulan sekali engkau datang. Aku sedang gelisah, Suheng."
Mereka berdua memasuki ruangan dalam dan dua orang anggota wanita masuk menghidangkan minuman.
"Kalian keluarlah dan suruh jaga, kalau tidak penting sekali aku tidak mau diganggu karena hendak bicara penting dengan Suhengku."
"Baik, Pangcu,"
Kata kedua orang anggota itu dan mereka lalu keluar.
"Nah, Sumoi. Ada berita apakah, Sumoi?"
"Suheng, baru-baru ini, sekitar tiga bulan, Beng-kauw dihujani fitnah dari sana-sini!"
Giok Lan segera mengeluarkan kerisauan hatinya.
"Justeru karena itulah maka aku datang mengunjungimu, Sumoi. Akupun mendengar bahwa Beng-kauw telah menyeleweng, melakukan bermacam kejahatan dan kabarnya bulan depan para tokoh kang-ouw dan pimpinan partai besar akan datang untuk menghukum dan menyerbu Beng-kauw."
"Aih, jadi engkau sudah mendengarnya, Suheng? Kalau begitu, engkau tentu tahu betapa risaunya hatiku."
"Akan tetapi, kurasa tidak semua orang percaya akan berita itu, Sumoi. Bukankah baru-baru ini ada utusan Bu-tong-pai datang ke sini?"
"Benar, Suheng. Mereka menanyakan tentang berita itu dan aku menuntut agar kalau ada murid Beng-kauw melakukan kejahatan, ditunjukkan bukti-buktinya. Kukatakan kepada mereka bahwa itu semua hanya fitnah dan agaknya orang-orang Bu-tong-pai mempercayainya."
"Tentu saja, Sumoi. Aku sudah bertemu dengan ketua Bu-tong-pai, Supek Beng Sian Tosu dan beliau sudah berjanji untuk membela Beng-kauw kalau saatnya orang-orang kang-ouw berkumpuk di sini."
"Ah, bagus sekali kalau begitu, Suheng. Dan ada pula utusan dari Siauw-lim-pai yang seperti juga utusan dari Bu-tong-pai hendak menanyakan tentang berita itu. Kepada mereka aku juga menyangkal dan minta bukti."
"Aku percaya bahwa para pimpinan partai besar adalah orang-orang bijaksana yang tidak mudah termakan desas-desus tanpa melihat buktinya. Karena itu, jangan gelisah, Sumoi."
"Sekarang aku tidak gelisah lagi setelah engkau berada di sini, Suheng!"
Kata gadis itu gembira. Mereka membicarakan keadaan perkumpulan Beng-kauw yang menurut keterangan Giok Lan kini telah maju pesat. Para anggotanya selain tekun mempelajari keagamaan juga mereka diharuskan bekerja apa saja, tidak boleh menganggur dan peraturan amatlah ketat dan kerasnya. Setiap pelanggaran dikenakan hukuman berat.
"Hemm, kalau begitu baik sekali, Sumoi. Aku ikut bangga dan gembira bahwa engkau telah dapat mengangkat kembali nama baik mending Ayahmu. Kau tentu senang sekali dengan tugasmu sebagai ketua di sini, bukan?"
Ditanya begitu, Giok Lan menundukkan mukanya dan mengerutkan alisnya, tidak menjawab.
"Sumoi, mengapakah?"
"Tidak, tidak apa-apa..."
Jawab yang ditanya, masih menunduk dan menggeleng kepalanya. Akan tetapi Sin Lee terkejut melihat ada air mata jatuh dari mata itu.
"Lan-moi, kenapa? Apakah engkau tidak suka dengan kedudukanmu sebagai ketua Beng-kauw?"
Giok Lan menyusut air matanya dan mengangkat muka, menatap wajah Suhengnya.
"Suheng, apa yang dapat kukatakan? Aku harus membersihkan nama Beng-kauw demi mendiang Ayah, dan mereka menuntut agar aku menjadi ketua. Bahkan engkau... engkau sendiri menganjurkan agar aku menjadi ketua. Apa lagi yang dapat kulakukan? Aku tidak ada pilihan lain, Suheng..."
Ia menunduk kembali. Tahulah Sin Lee bahwa gadis ini menjadi ketua Beng-kauw karena terpaksa, bukan karena suka rela. Dan dia merasa bersalah, karena dia yang dahulu mendesak Sumoinya agar mau menjadi ketua Beng-kauw dengan maksud agar Giok Lan membersihkan nama Ayahnya yang pernah dianggap sebagai pengkhianat di Beng-kauw. Kini dia merasa amat iba kepada Sumoinya ini. Menjadi ketua! Seorang dara yang begitu muda. Memimpin ratusan orang anggota dan bertanggung jawab untuk kemajuan Beng-kauw dan kebersihannya. Betapa beratnya tugas itu!
"Tugasmu memang berat, Sumoi. Tanggung jawabmu amat besar, akan tetapi jangan takut, aku akan membantumu sekuat tenagaku. Kurasa ada orang yang sengaja hendak melempar fitnah kepada Beng-kauw dan agaknya aku dapat menduga siapa orangnya."
Giok Lan mengangkat muka menatap wajah Suhengnya. Bukan main, pikir Sin Lee. Mengapa seolah dia baru melihat sekarang? Baru terbuka matanya sekarang ini? Apakah dahulu dia menjadi seperti orang buta, tidak melihat betapa cantik jelitanya Sumoinya ini? Mukanya yang bulat telur manis sekali. Matanya tajam bagaikan bintang kejora, dan hidungnya kecil mancung itu ujungnya agak menjungat ke atas, nampak lucu sekali, dengan cuping hidung yang agak berkembang kempis. Bibir itu penuh dan seperti buah apel yang sudah masak menantang untuk digigit, dengan lesung pipit menghias di pipi kiri. Tahi lalat kecil di pipi kanan merupakan imbangan yang tepat dan serasi sekali. Manisnya ketika bibir itu bergerak-gerak bicara. Kenapa baru sekarang semua itu nampak jelas olehnya? Dan juga baru terasa dia betapa dia amat merindukan Giok Lan, amat mencinta Giok Lan.
"Suheng, kau kenapa...?"
Tiba-tiba Giok Lan menegurnya. Sin Lee terkejut, baru sadar dari lamunan.
"Kenapa... apa... Sumoi?"
"Aku bicara sejak tadi dan engkau sama sekali tidak menjawab."
"Bicara? Bicara apakah, Sumoi?"
"Ya ampun! Jadi engkau tidak mendengarnya? Aku mengatakan bahwa akupun agaknya dapat menduga siapa adanya orang yang melakukan fitnah atas Beng-kauw, karena hanya dia yang kiranya mengandung dendam sakit hati terhadap Beng-kauw."
"Engkau benar, Sumoi. Tentu dia orangnya."
"Bouw Sang Cinjin?"
"Siapa lagi kalau bukan dia? Agaknya dia masih merasa penasaran ketika kita mengusirnya dari sini. Dia kehilangan kedudukan, dan tentu merasa penasaran sekali."
"Habis, bagaimana baiknya, Suheng?"
"Takut apa? Biarlah dia melakukan fitnah. Kalau ada yang percaya, maka yang percaya itu tolol dan condong berbuat tidak benar. Kita tidak perlu takut, karena tanpa bukti, mereka itu tidak mungkin akan percaya. Kecuali kalau memang sudah ada yang membenci Beng-kauw dan hendak mencari gara-gara, kita lawan saja!"
Beberapa hari kemudian, ketika Sin Lee dan Giok Lan sedang duduk mengobrol di ruangan dalam, seorang murid melaporkan bahwa ada dua orang tamu mohon berjumpa dengan ketua Beng-kauw.
"Apakah mereka itu sudah mulai berdatangan, Suheng?"
"Entahlah, akan tetapi kau temui saja dan bersikaplah tenang. Aku akan membantumu dari belakang, tanpa menonjolkan diri karena aku bukanlah orang Beng-kauw."
"Baik, Suheng,"
Kata Souw Giok Lan dan setelah merapikan pakaian dan rambutnya, sesuai dengan kedudukannya sebagai ketua Beng-kauw, dara ini lalu melangkah keluar, diikuti beberapa orang murid Beng-kauw, Giok Lan dapat nampak berwibawa sekali kalau ia serius. Ketika tiba di ruangan tamu di mana dua orang tamu itu dipersilahkan duduk, Giok Lan melihat seorang laki-laki setengah tua bersama seorang gadis cantik manis yang nampak agak kurus, dan mukanya agak pucat. Kedua matanya seperti mata yang banyak menangis. Dua orang tamu itu cepat bangkit dan memberi hormat ketika melihat Giok Lan memasuki ruangan tamu,
"Maafkan, kami ingin sekali bertemu dengan ketua Beng-kauw,"
Kata laki-laki setengah tua itu. Giok Lan tersenyum. Banyak sudah tamu dari luar salah sangka, sama sekali tidak mengira bahwa ialah ketua Beng-kauw!
"Akulah ketuanya, ji-wi datang dari mana?"
"Ah, maafkan kami. Kami tidak mengira bahwa ketua Beng-kauw yang demikian terkenal adalah seorang gadis muda sekali. Maaf, Pangcu, saya adalah Gan Kong, seorang guru silat di Shanghai, dan ini adalah anak saya bernama Gan Lian Si."
"Hemm, begitu jauh dari Shanghai ji-wi datang berkunjung, ada keperluan apakah?"
"Begini, Pangcu. Kami berdua bertemu seseorang yang tadinya membujuk kami untuk menyerang Beng-kauw. Kami tidak mau dan kami bahkan menjadi musuhnya. Karena itu kami ingin membantu Beng-kauw menghadapi orang yang jahat itu."
"Siapa dia, Gan-Kauwsu?"
"Namanya Bhe Tun Hok, dan ilmu silatnya amat tinggi, Pangcu. Akan tetapi kami siap menghadapinya dan mengadu nyawa dengan jahanam itu."
"Terima kasih banyak atas kesanggupan ji-wi untuk membantu kami,"
Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Giok Lan.
"Akan tetapi kalau memang ada orang jahat hendak memusuhi kami, kami sanggup untuk menghadapinya sendiri. Kami tidak ingin melibatkan orang luar untuk urusan yang menyangkut Beng-kauw, Gan-Kauwsu."
"Kami mengerti,"
Kata Gan Lian Si.
"Akan tetapi kami juga mempunyai permusuhan sedalam lautan dengan orang itu. Karena itu, kami akan membantu melawannya, kalau perlu dengan taruhan nyawa."
"Mengenai urusan pribadi ji-wi dengan orang itu, kamipun tidak berani mencampuri, Gan-Kauwsu dan engkau, enci. Akan tetapi dapat saja kita hadapi bersama dengan persoalan kita masing-masing."
"Engkau masih muda akan tetapi bijaksana sekali, Pangcu. Kalau begitu, kami permisi akan mencari tempat bermalam di sekitar sini, nanti kalau orang itu sudah muncul, kami datang lagi."
"Gan-Kauwsu dan enci, karena ji-wi sudah datang dan menjadi tamu kami, maka kalau ingin menginap, silahkan, kami mempunyai kamar-kamar tamu."
Ia lalu memerintahkan anak buahnya untuk mengantar kedua orang tamu itu ke bagian belakang di mana terdapat pondok-pondok kecil yang memang dipersiapkan untuk menjadi tempat menginap para tamu. Tentu saja Sin Lee bukan diperlakukan sebagai tamu dan mendapatkan sebuah kamar tersendiri di bangunan induk tempat tinggal ketua. Pada sore hari itu, ketika Gan Kong dan puterinya sedang duduk di dalam pondok itu, muncul Sin Lee di ambang pintu. Kedua orang itu terkejut. Lebih-lebih Gan Lian Si. Ketika melihat Sin Lee, matanya terbelalak dan sambil terisak menangis ia menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Sin Lee.
"Taihiap... maafkan... maafkan aku..."
Ia meratap. Gan Kong juga merangkap tangan ke depan dadanya.
"Pendekar Bunga Merah, aku juga mintakan maaf atas kebodohan Lian Si yang sudah begitu tidak mengenal budi, tidak menghiraukan nasihatmu sehingga tertimpa malapetaka."
"Aih, bangunlah, Si-moi, dan tidak ada yang perlu dimaafkan, paman Gan Kong. Aku kebetulan berada di sini, karena ketahuilah bahwa ketua Beng-kauw ini adalah Sumoiku sendiri. Aku sudah mendengar pembicaraanmu dengan ia, dan sesungguhnya apakah yang terjadi dengan Lian Si? Dan apakah yang bernama Bhe Tun Hok itu pemuda yang bersuling perak dan berkipas itu?"
Lian Si tidak menjawab, hanya menangis saja. Ayahnya yang memberi penjelasan, setelah berulang kali menghela napas,
"Benar, Taihiap. Bhe Tun Hok manusia jahanam itu membuat Lian Si menjadi mabok sehingga ia tidak mendengar nasihat Taihiap bahkan mengusir Taihiap dan akibatnya ia... ah, jahanam, keparat itu telah menodainya kemudian tidak mau bertanggung jawab bahkan membujuk kami untuk membantunya menyerang Beng-kauw. Karena kami tidak berdaya melawannya, kami lalu mengambil keputusan untuk memberitahu Beng-kauw, dan kalau mungkin membantuBeng-kauw sekuat tenaga untuk membalas dendam kami kepadanya."
"Keparat busuk!"
Sin Lee mengepal tinju.
"Manusia macam itu harus dilenyapkan dari muka bumi! Jangan khawatir, paman, aku akan membantu kalian kalau dia berani datang ke sini."
"Dia amat lihai, Taihiap, dan di sana masih ada lagi gurunya. Tentu gurunya itu lebih lihai lagi."
"Orang macam apa gurunya itu dan siapa namanya?"
Tanya Sin Lee, teringat bahwa memang ilmu silat pemuda ganteng itu sudah lihai maka gurunya tentulah lebih tangguh lagi.
"Entah siapa namanya, Taihiap. Akan tetapi dia seorang kakek tinggi besar berkepala gundul, memakai jubah seperti pendeta, berwarna merah."
"Apakah dia membawa tongkat naga?"
"Benar, aku melihat ada tongkat naga di perahu itu,"
Kata Lian Si, yang sudah dapat meredakan tangisnya.
"Bouw Sang Cinjin!"
Kata Sin Lee terkejut.
"Siapa dia, Taihiap?"
"Seorang musuh lama, paman, akan tetapi jangan khawatir. Aku dan Sumoi dapat mengatasi mereka berdua."
Sin Lee lalu berpamit dan bertemu dengan Sumoinya.
"Dari mana, Suheng?"
"Dari pondok yang ditinggali Gan-Kauwsu dan puterinya."
"Ah, dan engkau sudah mengenal mereka?"
"Sudah."
Dia lalu menceritakan tentang pertemuannya dahulu dengan Ayah dan anak itu, bahkan menceritakan betapa dia akan dijodohkan dengan Lian Si akan tetapi dia menolak.
"Aihh, Suheng! Kenapa menolak? Kulihat gadis itu cantik manis dan juga tentu ilmu silatnya lihai karena Ayahnya seorang guru silat!"
"Sumoi, banyak sudah yang ingin menjodohkan aku, akan tetapi semua kutolak karena bagi aku, perjodohan hanya dapat terjadi apa bila kedua insan saling mencinta."
"Dan adakah seorang dara yang sudah saling mencinta denganmu, Suheng?"
"Memang ada, Sumoi, sejak dulu malah."
"Ahh...!"
Tiba-tiba wajah Giok Lan menjadi pucat sekali, lalu berubah merah.
"Boleh aku tahu siapa gadis yang berbahagia itu, Suheng? Aku ingin sekali mengenalnya."
"Orangnya pemalu sekali, Sumoi, bahkan ia tidak pernah mengaku cinta padaku."
"Dan engkau, Suheng? Engkau sudah mengaku cinta padanya?"
"Belum, kami sama-sama malu atau sama-sama tidak tahu bahwa kami saling mencinta."
"Ihh, aneh sekali kalian, Suheng."
"Memang aneh, akan tetapi kembali kepada Lian Si, ia sungguh bernasib malang. Kasihan sekali gadis itu."
"Karena kau tolak cintanya?"
"Bukan, karena ia menjadi korban kekejian seorang pria."
"Kau maksudkan Bhe Tun Hok?"
"Hm, mereka tentu sudah menceritakan semua kepadamu. Akan tetapi ada satu hal yang tidak pernah engkau sangka sama sekali, Sumoi."
"Apa itu?"
"Bhe Tun Hok itu adalah murid Bouw Sang Cinjin!"
"Ahhh...!"
Kalau begitu gadis itu..."
"Ya, ia menjadi korban kekejian Bhe Tun Hok, dibikin mabok dan dinodai."
"Keparat jahat! Muridnya juga sejahat gurunya!"
"Mungkin lebih jahat lagi. Sekali ini, kita harus membasmi mereka agar lain kali tidak berbuat kejahatan lagi kepada orang-orang yang tidak berdosa."
Hening sejenak, kemudian terdengar Giok Lan berkata,
"Suheng..."
"Ya, Sumoi?"
"Mengenai dara yang saling mencinta denganmu tadi..."
"Ya...?"
"Aku ingin sekali berkenalan dengannya."
"Engkau sudah mengenalnya, Sumoi."
"Eh, sudah mengenalnya? Siapakah ia, Suheng?"
"Sumoi, kita menghadapi urusan besar. Lebih baik jangan membicarakan soal dara itu, dan kita bersiap-siap menghadapi kedatangan orang-orang kang-ouw. Nanti saja setelah selesai persoalan penting yang kita hadapi, akan kuperkenalkan dara itu kepadamu."
"Sungguh, Suheng?"
Tanya dara itu dan dalam suaranya terkandung kegetiran, akan tetapi Sin Lee tersenyum saja membiarkan.
Beberapa hari kemudian, rombongan besar itu datang berkunjung. Mereka itu agaknya telah mengadakan pertemuan di luar hutan, karena ketika mendaki tebing menuju ke Beng-kauw, mereka sudah bersatu dan merupakan rombongan besar terdiri dari kurang lebih lima puluh orang. Di antara mereka terdapat rombongan dari Siauw-lim-pai, dari Bu-tong-pai, Go-bi-pai, Kun-lun-pai dan bahkan Kong-thong-pai juga datang bersama ketuanya. Di samping partai-partai persilatan besar itu datang pula banyak perkumpulan, perguruan dan perorangan yang jumlahnya semua lima puluh orang lebih. Di antara mereka itu terdapat orang-orang yang tergolong kaum sesat, akan tetapi agaknya dalam hal ini mereka bersatu padu untuk menghukum kepada Beng-kauw.
Para murid Beng-kauw sudah tahu bahwa rombongan besar orang mendaki bukit menuju ke Beng-kauw dan mereka sudah mengadakan persiapan. Souw Giok Lan sendiri diapit oleh Kam Tiong yang berewokan dan Thio Kun yang bermuka merah, tokoh-tokoh Beng-kauw lainnya, berpakaian lengkap sebagai ketua Beng-kauw, dengan pedangnya di punggung, nampak tenang dan gagah berwibawa, menanti kedatangan mereka di pekarangan luar yang luas. Pekarangan Beng-kauw ini mampu menampung ratusan orang. Setelah semua orang itu berdiri berkelompok-kelompok di hadapannya, Giok Lan mengangkat kedua tangan depan dada dan memberi hormat kepada semua orang. Kemudian dengan suara nyaring dara ini berkata,
"Kami para pimpinan Beng-kauw dan segenap muridnya menghaturkan selamat datang kepada cu-wi (anda sekalian) atas kedatangan cu-wo yang tidak tersangka-sangka dan tidak terundang ini. Siapakah yang akan menjadi wakil pembicara menerangkan kepada kami, apa sesungguhnya maksud kunjungan cu-wi yang banyak ini?"
Di antara mereka, yang tertua adalah tokoh Kun-lun-pai, yaitu Im Yang Tojin. Usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, maka tadi semua orang sudah memilih dia untuk menjadi wakil pembicara, atau setidaknya menjadi pembicara pertama.
"Siancai, ucapan Pangcu dari Beng-kauw-pang memang jelas dan terbuka. Baiklah, pinto Im Yang Tojin dari Kun-lun-pai yang telah dipilih untuk menjelaskan kepada Pangcu maksud kedatangan kami semua. Kami semua datang menuntut kepada Pangcu untuk bertanggung jawab terhadap semua peristiwa yang dilakukan oleh anak buah Pangcu. Di seluruh dunia kang-ouw telah tersiar berita bahwa orang-orang Beng-kauw melakukan lagi segala macam kejahatan, perampokan, pembunuhan dan penghinaan terhadap para wanita. Kami, seluruh orang gagah dunia persilatan tentu saja tidak dapat membiarkan saja sebuah partai merajalela dengan segala macam bentuk kejahatannya."
Maling Budiman Pedang Perak Karya Kho Ping Hoo Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo