Ceritasilat Novel Online

Pendekar Bunga Merah 3


Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 3



"Mudah saja, tidak perlu bertanya kepada ibumu dan Ayah tirimu. Kau selidiki saja di antara orang-orang kita yang sudah berusia mereka. Tentu akan bercerita tentang dirimu yang sebenarnya."

   Begitu mendengar ucapan kakek itu, Sin Lee lalu berlari keluar. Esen menghisap kembali pipanya dan termenung, tersenyum-senyum puas. Dia sudah membuat rencana untuk cucu keponakannya itu, sebagai siasat terakhir untuk keberhasilan bangsanya, atau setidaknya untuk memberi pukulan terakhir kepada musuhnya, yaitu kerajaa Beng!

   "Paman Manguen, aku selalu baik kepadamu, bukan?"

   Tanya Sin Lee kepada seorang anggota kelompok Oirat yang pekerjaannya mengurus kuda kakeknya.

   "Tentu saja, Haitu. Engkau selalu baik kepadaku, engkau memang ramah dan pemurah, tidak sombong sebagai cucu ketua,"

   Jawab orang itu.

   "Kalau begitu, tentu engkaupun akan berbuat kebaikan kepadaku, bukan?"

   "Tentu saja."

   "Nah, sekarang ceriterakan kepadaku tentang Kaisar Ceng Tung dan ibuku!"

   Manguen terbelalak dan mukanya berubah pucat, dia menggeleng kepalanya.

   "Ah, aku tidak tahu apa-apa tentang itu, aku sungguh tidak tahu, tidak dapat menceriterakan apa-apa."

   "Hemm, begitukah engkau membalas kebaikanku? Dengan membohongi aku? Ceriterakan, paman Manguen, dan jangan takut. Aku yang bertanggung jawab."

   "Tidak, Haitu. Aku tidak bisa, tidak berani..."

   Tiba-tiba Haitu mencabut badik melengkung dari pinggangnya.

   "Engkau lihat ini? Apa kau kira aku tidak berani menikam dadamu dengan ini dan siapa yang akan membelamu? Katakanlah terus terang dan aku tidak akan menyakitimu, bahkan berterima kasih kepadamu."

   Manguen menjadi serba salah. Dia tahu bahwa urusan Kaisar Ceng Tung itu hendak dirahasiakan dari Haitu, maka dia takut bercerita.

   "Aku tidak berani..."

   "Dengar, paman. Aku sudah tahu akan rahasia itu, maka tidak ada artinya lagi kau sembunyikan. Sekarang begini saja, jawab saja pertanyaanku, akan tetapi harus benar jawaban itu. Kalau engkau berbohong, hari ini untuk pertama kalinya aku membunuh orang! Nah, sekarang pertanyaan pertama, benarkah Kaisar Ceng Tung pernah menjadi tawanan di sini enam belas tahun yang lalu?"

   "Be... benar..."

   "Benarkah Kaisar Ceng Tung lalu menikah dengan Chi Li, ibuku?"

   "Ini... ini..."

   "Hayo jawab sejujurnya. Benar atau tidak?"

   "Benar..."

   "Dan kemudian Kaisar Ceng Tung meninggalkan tempat ini, kembali ke negerinya, meninggalkan ibuku dalam keadaan mengandung tua?"

   Manguen tidak berani menjawab, akan tetapi mengangguk-angguk seperti ayam makan jagung. Akan tetapi hal itu sudah cukup bagi Sin Lee.

   "Dan kemudian anak yang terlahir itu adalah aku yang kemudian diaku anak oleh Liu Siong Ki?"

   Karena agaknya pemuda itu sudah mengetahui segalanya, Manguen berkata,

   "Agaknya engkau sudah mengetahui semua. Semua itu memang benar, Haitu, akan tetapi engkau sendiri tahu bahwa yang membuka rahasia ini bukanlah aku."

   "Jangan khawatir, memang aku hanya ingin yakin saja."

   Dengan cara demikian, Sin Lee bertanya kepada beberapa orang lagi. Setelah semua jawaban meyakinkan bahwa memang benar dia putera Kaisar Ceng Tung, dia lalu menghadap kakeknya, Esen.

   "Kau sudah yakin sekarang, Haitu?"

   "Sudah, kek, dan terima kasih atas pemberitahuan kakek. Sekarang, mohon tanya, apa maksud kakek

   (Lanjut ke Jilid 03)

   Pendekar Bunga Merah (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 03

   dengan membuka rahasia ini dan apa yang harus kulakukan?"

   "Haitu, ibu kandungmu disia-siakan orang, apa yang sepatutnya kaulakukan?"

   "Menghukum orang itu, kek!"

   "Bagus! Kaisar Ceng Tung telah menghina bangsa kami, merendahkan ibu kandungmu, mengakibatkan ibumu menderita dan sengsara sampai bertahun-tahun. Dan dia enak-enakan menjadi Kaisar di selatan. Sepatutnya engkau berbakti kepada ibumu, berbakti kepada bangsamu. Kau pergilah ke selatan, cari Kaisar Ceng Tung, perlihatkan kalungmu itu. Kalau engkau tidak diakui, bunuh Kaisar itu, dan kalau engkau diakui, usahakanlah agar engkau dapat menjadi pangeran mahkota, agar engkau kelak menggantikan kedudukannya dan dengan demikian berarti engkau membuat bangsa Mongol jaya kembali. Atau setidaknya engkau dapat membujuk Kaisar agar jangan memusuhi bangsa Oirat dan membiarkan kami berdagang di selatan. Bahkan mungkin engkau akan diberi kedudukan yang kuat dan tinggi. Namun kalau semua itu gagal, jangan ragu-ragu untuk membunuh Kaisar keparat itu. Untuk membalas sakit hati ibumu dan membalas sakit hati bangsamu."

   Terbakar semangat pemuda itu mendengar ucapan kakeknya. Memang tidak pantas sekali orang yang menjadi Ayah kandungnya itu. Sebagai orang tawanan, kakeknya tidak membunuhnya bahkan menariknya sebagai mantu keponakan. Akan tetapi, di waktu ibunya mengandung dia, Ayahnya pergi. Setelah menjadi Kaisar kembali, tidak mau menjemput ibunya karena malu mempunyai selir Mongol. Terlalu sekali! Patut dihukum! Dia teringat akan ajaran dalam kitab Tiong Yong yang diajarkan oleh Ayah tirinya.

   "Yang dikatakan berbakti ialah, seorang yang dapat melanjutkan cita-cita mulia dan dapat melanjutkan pekerjaan luhur dari nenek-moyangnya! (Tiong Yong pasal 19 ayat 2).

   "Baik, akan saya lakukan itu, kek. Akan tetapi kalau Ayah dan ibu mengetahui, tentu mereka akan melarangku."

   "Ayahmu adalah seorang pendekar yang gagah perkasa, akan tetapi diapun seorang hamba setia dari Kaisar, maka biarpun dia menganggap Kaisar itu tidak patut dan perbuatannya tidak benar, dia tidak melakukan sesuatu. Kenapa harus memberitahu dan minta persetujuan mereka?"

   Kakek itu lalu membisikkan rencananya dan sang cucu keponakan yang sudah terbakar semangatnya itu mengangguk-angguk. Demikianlah, beberapa hari, kemudian, Sin Lee yang berpamit hendak pergi berburu sampai tiga hari tiga malam belum juga pulang. Tentu saja Liu Siong Ki menjadi penasaran dan khawatir. Dia tidak pergi sendiri menyusul, karena Esen selalu mengatakan bahwa Sin Lee pasti dapat menjaga diri sendiri dan tidak perlu dikhawatirkan, maka sampai tiga hari baru dia pergi mencari. Dan di sebuah pohon dia menemukan sehelai surat yang ditancap di pohon dengan anak panah.

   "Ayah dan ibu, aku pergi mengembara untuk menambah pengalaman dan meluaskan pengetahuan, oleh karena itu harap Ayah dan ibu tidak khawatir dan tidak mencariku."

   Demikianlah bunyi surat itu. Bagaimanapun juga hati Liu Siong Ki merasa tidak enak karena kalau anak itu hendak pergi mengembara, mengapa dengan sembunyi dan tidak terang-terangan pamit dari Ayah ibunya? Dia lalu menyelidiki dan dari beberapa orang didengar keterangan bahwa beberapa hari yang lalu anak itu bertanya-tanya kepada beberapa orang tentang dirinya dan tentang Kaisar Ceng Tung. Agaknya Sin Lee telah mengetahui tentang dirinya, bahwa dia anak kandung Kaisar Ceng Tung. Ketika Liu Siong Ki dan Chi Li menghadap Esen untuk minta pertimbangannya, orang tua itu berkata,

   "Putera kalian sudah dewasa dan sepatutnya dia mengetahui siapa dirinya. Bagaimana rahasia itu dapat disimpan kalau diketahui begini banyak orang? Kalau dia pergi merantau dan andaikata dia mencari Ayah kandungnya hal itu sudah sewajarnya. Kenapa kalian merasa khawatir?"

   "Paman Esen, Sin Lee masih belum dewasa, baru remaja dan kurang pengalaman. Bagaimana kami tidak akan khawatir kalau seorang diri dia pergi ke selatan yang demikian luasnya? Aku akan pergi menyusulnya!"

   "Aku ikut!"

   "Jangan, Chi Li. Kau dirumah saja, biar aku yang akan mencarinya sampai dapat."

   "Tidak, tidak! Aku tidak mau kehilangan suami untuk kedua kalinya. Ke manapun kau pergi, aku harus ikut!"

   Liu Siong Ki tidak dapat melarangnya lagi dan pada hari itu juga, berangkatlah suami isteri itu untuk mencari putera mereka.

   Bersama serombongan orang yang biasa keluar masuk Tembok Besar untuk melakukan perdagangan dengan suku-suku liar di utara, Sin Lee dapat memasuki pintu gerbang tembok itu tanpa menimbulkan kecurigaan. Dia memang sudah biasa mengenakan pakaian seperti orang Han, pakaian yang dibuatkan oleh ibunya, pakaian seperti yang biasa dipakai Liu Siong Ki, Ayah tirinya yang juga gurunya. Juga pemuda ini fasih berbahasa Han, karena sejak kecil Liu Siong Ki mengajak dia berbahasa Han. Diapun tentu saja paham bahasa Mongol, yaitu bahasa ibunya. Tak seorangpun mencurigainya, melihat pemuda tampan dan gagah mengenakan pakaian seperti seorang sasterawan Han, dengan pedang di punggung dan potongan pakaiannya tidak longgar seperti yang biasa dipakai Ayah tirinya, melainkan ringkas karena pemuda ini suka berburu ke hutan.

   Setelah memasuki pintu gerbang Tembok Besar, Sin Lee memisahkan diri dari rombongan pedagang itu. Dia menunggangi kuda hitamnya dan mendaki sebuah bukit. Tembok Besar nampak dari puncak bukit itu, melingkar-lingkar bagaikan seekor naga sehingga Sin Lee menghentikan kudanya sejenak di puncak untuk menikmati pemandangan alam itu. Ketika melihat tumbuh-tumbuhan bunga merah, dia meloncat turun, memetik setangkai bunga segar untuk mengganti bunga merah di kancing bajunya yang sudah mulai layu. Sejak kecil dia menyukai bunga merah dan sekarang rasanya pakaiannya tidaklah lengkap tanpa adanya setangkai bunga merah di lubang kancing bajunya atau di sakunya. Dari puncak bukit itu dia dapat melihat sebuah gubuk di tengah ladang yang luas. Hatinya tertarik.

   Siapa tahu rumah itu dapat menyediakan sekedar minuman dan makan untuknya karena dia merasa haus dan lapar. Dilarikannya kudanya menuruni bukit menuju ke ladang itu. Ketika tiba di dekat ladang, dia merasa girang melihat banyaknya buah semangka yang sudah tua di situ. Alangkah sedapnya makan semangka yang banyak airnya, semangka yang harum dan manis. Akan tetapi melihat rumah di sebelah sana, dia lalu menuntun kudanya menuju ke rumah itu. Tidak baik mengambil buah semangka orang, sebaiknya membeli atau meminta kepada pemiliknya. Rumah itu terpencil, tidak mempunyai tetangga sama sekali dan diam-diam dia merasa heran bagaimana ada orang tinggal di pegunungan yang amat sunyi ini, dekat Tembok Besar. Ketika dekat dengan rumah itu, dia melihat seorang gadis sedang menjemur biji semangka.

   Biji semangka yang besar-besar itu tentu akan laku kalau dijual di kota, karena orang kota banyak yang suka makan kwa-ci (isi semangka). Akan tetapi yang menarik perhatian Sin Lee adalah gadis itu. Pakaiannya amat sederhana, ringkas dan juga rambutnya yang hitam panjang itu dikuncir dan hanya dihias pita kuning, wajahnya tidak dirias, akan tetapi wajah itu nampak segar kemerahan dan manis sekali. Ketika mendengar langkah kaki kuda, gadis yang membawa tempat menjemur kwa-ci yang lebar, menengok dan kelihatan ia merasa heran dan terkejut. Bibir yang segar basah kemerahan tanpa gincu itu setengah terbuka, memperlihatkan sekilas gigi yang rapi dan putih. Sin Lee menyadari kejanggalan kehadirannya, maka dengan cepat dia mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat sambil tersenyum ramah.

   "Maafkan aku, nona, kalau aku mengganggumu. Aku kebetulan lewat di sini dan melihat buah semangkamu yang besar-besar dan tua di sana tadi, aku berniat untuk membeli sebuah. Aku sedang haus dan lapar..."

   "Oohhh... kalau memang engkau menghendaki, ambillah saja sebuah, tidak usah beli."

   Sin Lee girang sekali dan berterima kasih.

   "Engkau baik sekali, nona."

   Dia memasuki kebun dan memetik sebutir buah semangka yang besarnya sama dengan kepalanya. Kulit buah itu hijau menghitam tanda bahwa buah itu sudah tua. Dengan badiknya, dia memecah semangka dan ternyata isinya mengandung daging buah yang merah sekali, baunyapun harum dan ketika dia memakannya, rasanya manis bukan main dan banyak airnya. Segar dan manis. Dia berjongkok di luar pondok itu dan menggerogoti semangka dengan enaknya, dan gadis itupun sudah masuk ke dalam pondok, agaknya malu dengan kehadiran seorang pemuda yang asing baginya.

   Selagi Sin Lee makan semangka dengan nikmatnya, terdengar bunyi kaki kuda dan serombongan orang menghentikan kuda mereka di depan pondok. Lima orang yang menunggang kuda itu berloncatan turun. Sin Lee melihat bahwa mereka itu berusia tiga puluh sampai empat puluh tahun, nampak berwajah bengis dan pakaian mereka serba biru seperti pakaian seragam. Melihat lima orang itu turun dari kuda dan menghunus golok menghampiri pondok, Sin Lee menjadi heran dan khawatir sekali. Sedangkan lima orang itu ketika melihat Sin Lee yang sedang makan semangka, memandang dengan penuh kecurigaan. Apa lagi melihat adanya seekor kuda hitam yang demikian gagah dan bagusnya. Seorang di antara mereka yang bertubuh jangkung kurus, menghampiri Sin Lee yang sedang berjongkok makan semangka dan bertanya dengan suara nyaring,

   "Sobat, engkau siapa dan di mana adanya Souw Kian? Kalau dia berada di dalam pondok, suruh Souw Kian keluar segera menemui kami atau kami terpaksa akan masuk dan mencarinya sendiri!"

   Sin Lee membuang isi semangka dari mulutnya dan memandang orang itu. Sinar matanya sungguh liar, pikir Sin Lee, seperti sinar mata beruang yang buas. Karena dia sama sekali tidak tahu siapa itu Souw Kian, maka dia tidak dapat menjawab dan hanya menggeleng kepalanya. Melihat ini, si jangkung kurus menghardik.

   "Hei, anak muda, apa engkau tuli, atau gagu? Kami bertanya kepadamu!"

   Dia mengamangkan tinju kirinya seolah hendak memukul Sin Lee. Sin Lee bangkit berdiri masih memegangi sebagian dari semangka yang belum dimakannya, dan sebelum dia menjawab, daun pintu pondok terbuka dan gadis tadi muncul dengan tangan masih memegang tempat biji semangka. Gadis itu memandang dengan sinar mata menyelidik, dan ialah yang menjawab dengan lembut namun tegas.

   "Ayahku tidak berada di rumah. Kalian ini siapa dan ada keperluan apa mencari Ayahku?"

   Si jangkung kurus itu kini menghadapi gadis itu dan tiba-tiba dia tertawa dengan sikap yang mengejek.

   "Aha, kiranya engkau ini anak perempuan dari Souw Kian? Benarkah Souw Kian mempunyai seorang anak perempuan yang begini manis?"

   Gadis itu mengerutkan alisnya.

   "Souw Kian adalah nama Ayahku dan sekarang dia sedang tidak berada di rumah. Kalian mau apa?"

   Si jangkung menoleh kepada teman-temannya dan tertawa.

   "Ia tanya kita mau apa? Ha-ha-ha-ha, kita datang untuk menangkap atau membunuh Souw Kian!"

   "Toako, kita tangkap saja gadis manis ini untuk memaksa Souw Kian keluar menemui kita!"

   Teriak seorang di antara mereka yang bertubuh pendek dan berkepala botak gundul. Teman-temannya mengangguk setuju dan kini si pendek itu menemani si jangkung, sikapnya hendak menangkap gadis yang memegang tempat biji semangka itu.

   "Nona, menyerahlah dan ikutlah dengan kami!"

   Kata si jangkung.

   "Pergilah dan jangan ganggu aku. Ayahku sedang tidak berada di rumah, lain hari saja kalian kembali ke sini,"

   Kata gadis berusia lima belas tahun itu dengan sikap tenang dan sedikitpun tidak kelihatan takut.

   "Cui-te, tangkap saja!"

   Kata si jangkung dan bersama si pendek gundul, dia mengembangkan kedua lengannya yang panjang itu seperti seekor beruang hendak menangkap mangsanya.

   Gadis itu nampak berdiri tegak, matanya memandang tajam. Ketika si jangkung kurus dan si pendek gundul bergerak menubruknya, dia menggerakkan tempat semangka. Biji-biji semangka kecil itu beterbangan ke depan menyerang muka keduanya dan kedua orang itu berseru kesakitan dan terhuyung ke belakang. Ketika tangan mereka menyapu muka untuk membersihkan isi semangka, ternyata muka mereka berdarah karena kulit muka ada yang ditembusi isi semangka! Marahlah lima orang itu dan nampak sinar berkeredepan ketika mereka mencabut golok besar mereka! Sin Lee terkejut sekali. Tadi dia kagum melihat betapa dengan kwaci yang berada di tempat kwaci yang lebar bulat itu si gadis mampu menyerang dua orang yang hendak menangkapnya.

   Akan tetapi kini dia khawatir melihat lima orang yang bengis itu mencabut golok, menghadapi seorang gadis yang nampaknya tidak berdaya. Maka, dengan sendirinya lalu dia bergerak untuk menolongnya. Ketika orang-orang terdepan menerjang untuk menyerangkan golok mereka, Sin Lee menyambitkan dua potong semangka yang masih dipegangnya.

   "Plak! Plakkk!"

   Dua buah potongan semangka itu dengan tepat mengenai muka mereka sehingga muka itu berlepotan semangka merah, nampak seolah-olah muka tiu sudah remuk dan berdarah! Kesempatan itu dipergunakan oleh gadis tadi untuk berlari masuk dan ketika keluar lagi ia sudah memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Sementara itu, tiga orang teman mereka yang tidak disambit dengan semangka, sudah menjadi marah.

   Mereka kini sudah menyerang Sin Lee tanpa banyak bertanya lagi karena mereka menganggap Sin Lee tentu kawan gadis itu. Dan melihat serangan mereka itu ganas sekali, Sin Lee tidak berani memandang rendah. Dia meloncat ke belakang dan mencabut pedang panjangnya. Segera dia dikeroyok oleh tiga orang bergolok itu. Adapun dua orang yang kena sambit semangka itu kini sudah menggeroyok si gadis yang memutar pedangnya dengan cepat. Sin Lee sebentar saja dapat mendesak tiga orang penggeroyoknya. Ilmu pedang yang dipelajari dari Ayahnya adalah ilmu pedang Bu-tong-kiam-hoat, maka gerakannya selain indah juga cepat dan kuat sekali. Tiga orang pengeroyoknya menjadi repot karena gulungan sinar pedang yang dimainkan Sin Lee kini mengepung mereka dan membuat mereka hanya mampu menangkis saja.

   Gadis itupun ternyata lihai. Ilmu pedangnya aneh, kadang nampak ganas dan buas, kadang gerakannya lembut halus dan indah seperti menari, akan tetapi kedua orang lawannya itu menjadi repot. Kalau Sin Lee tidak bermaksud melukai atau membunuh tiga orang pengeroyoknya, sebaliknya gadis itu menyerang dengan tusukan-tusukan maut sehingga si tinggi kurus dan si pendek gundul itu menjadi sibuk. Tak lama kemudian pedang gadis itu telah melukai paha si jangkung dan pundak si pendek. Mereka maklum bahwa mereka tidak akan menang, apa lagi tiga orang kawan mereka sudah beberapa kali terhuyung dan terjungkal oleh tendangan atau tamparan tangan kiri Sin Lee. Si jangkung melompat jauh dan berteriak kepada teman-temannya,

   "Lari...!"

   Dan berhamburanlah mereka, menuju ke kuda masing-masing, meloncat ke atas kuda dan kabur dari situ secepatnya. Gadis itu mencoba untuk mengejar, akan tetapi Sin Lee menghalangi dan berkata,

   "Nona, berbahaya sekalo mengejar musuh yang sudah melarikan diri, apa lagi kalau jumlah mereka banyak."

   Gadis itu berhenti mengejar dan memandang kepada Sin Lee, kini dengan pandang mata lain. Kemudian ia mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata,

   "Terima kasih atas bantuanmu tadi, sobat."

   Sin Lee tersenyum dan membalas penghormatan itu.

   "Akulah yang seharusnya berterima kasih kepadamu, nona, untuk pemberian semangka yang manis dan harum itu. Nona, orang-orang tadi siapa? Dan apa maunya mencari Ayahmu dengan sikap demikian ganas?"

   Gadis itu menggeleng kepalanya.

   "Aku tidak tahu."

   Sin Lee maklum bahwa mungkin gadis itu sungkan untuk mengakui urusan Ayahnya kepada seorang asing, maka diapun berkata,

   "Perkenalkanlah, nona. Namaku Sin Lee... Liu Sin Lee."

   Dia tidak mau mengaku she Cu, karena she ini adalah she dari Kaisar Beng. Sebelum dia bertemu Ayah kandungnya dan diterima sebagai puteranya, bagaimana mungkin dia akan menggunakan nama keturunan Ayah kandungnya itu?

   "Kebetulan sekali kita bertemu dan sekali bertemu, kita telah bersama-sama melawan lima orang penjahat. Kalau nona tidak keberatan, bolehkah aku mengetahui namamu? Nama keturunanmu sudah jelas Souw, bukan?"

   Gadis itu agak tersipu. Selama ini ia hidup terasing dengan Ayahnya, jarang ia bertemu apalagi bercakap-cakap dengan seorang asing, lebih-lebih seorang pemuda asing. Akan tetapi, orang ini telah membantunya, bahkan ia harus mengakui bahwa kalau pemuda itu tidak menolongnya, belum tentu ia mampu mengusir lima orang tadi. Dan pemuda itu sudah memperkenalkan namanya, maka akan tidak sopanlah kalau ia menolak memperkenalkan diri.

   "Namaku Souw Giok Lan dan Ayahku Souw Kian. Akan tetapi Ayah memang sedang tidak berada di rumah. Aku seorang diri saja di rumah ini. Dan tentang lima orang itu, sungguh, aku tidak mengenal mereka dan tidak tahu mengapa mereka memusuhi Ayahku."

   Sin Lee merasa tidak enak untuk berlama-lama bicara dengan seorang gadis yang berada sendirian saja di rumah itu. Maka, diapun segera memberi hormat lagi.

   "Untunglah bahwa mereka dapat diusir pergi. Nah, sekarang aku mohon diri, nona, hendak melanjutkan perjalananku."

   "Sekali lagi terima kasih atas bantuanmu,... saudara Liu Sin Lee..."

   Kata gadis itu sambil memandang dan tersenyum. Manis sekali!

   Sin Lee mengambil bunga merah dari lubang kancing bajunya dan menyerahkan kepada gadis itu.

   "Akulah yang berterima kasih atas keramahanmu dan kebaikan hatimu. Terimalah bunga ini untuk tanda terima kasihku, nona."

   Gadis itu nampak terkejut dan heran, akan tetapi ketika pemuda itu mengangsurkan bunga, dengan sendirinya tangannya menerima bunga itu.

   Sin Lee lalu menghampiri kudanya, melepaskan kendalinya dari pohon dan meloncat ke atas pelana kuda. Dia menoleh dan tersenyum melihat gadis itu memegang bunga merah pada dadanya. Setelah mengangguk sekali lagi diapun membedal kudanya, meninggalkan tempat itu dengan cepat, menuju ke selatan. Sampai lama Giok Lan berdiri dengan bunga di tangan, mengikuti bayangan Sin Lee sampai bayangan itu lenyap. Barulah ia menghela napas, lalu menancapkan bunga di rambutnya, dan memunguti biji semangka yang tadi jatuh berhamburan ketika ia berkelahi. Pedangnya ia sarungkan dan kini ia simpan di pinggangnya, untuk persiapan karena siapa tahu musuh-musuhnya akan datang kembali. Baru setelah hari menjelang senja, Ayahnya pulang. Lega rasa hati gadis itu melihat Ayahnya pulang.

   "Ayah...!"

   Melihat pedang di pinggang puterinya, Souw Kian mengerutkan alisnya.

   "Giok Lan, mengapa engkau memakai pedang di pinggangmu? Ini bukan waktunya untuk berlatih pedang."

   "Ah, Ayah, tadi aku telah berkelahi."

   "Apa? Sudah kularang engkau berkelahi, kenapa mencari gara-gara berkelahi dengan orang? Siapa dia dan mengapa engkau berkelahi dengannya?"

   Ayah ini memperhatikan puterinya dan melihat bunga di rambut puterinya, diapun heran karena tidak biasanya puterinya itu menghias rambutnya dengan bunga.

   "Giok Lan, apa yang telah terjadi?"

   "Ayah, tadi ketika aku sedang menjemur biji semangka, datang seorang pemuda yang minta semangka di sini. Aku menyuruh dia mengambil sebuah karena tadinya dia hendak membeli. Setelah dia makan semangka itu, aku lalu masuk ke dalam dan tak lama kemudiaan aku mendengar suara ribut-ribut di luat. Ternyata ada lima orang yang nampak bengis datang menanyakan Ayah. Katanya mereka hendak menangkap atau membunuhmu, tentu saja aku menjadi marah dan mengusir mereka."

   Souw Kian yang bertubuh sedang akan tetapi kurus dan jenggotnya panjang itu nampak kaget.

   "Lalu bagaimana?"

   "Mereka marah dan mengatakan hendak menangkap aku untuk memaksa Ayah menemui mereka. Aku melawan dan pemuda yang tadi kuberi semangka lalu membantuku. Dia lihai, Ayah dan berkat bantuannya, aku dapat mengusir lima orang itu yang melarikan diri dengan kuda mereka."

   "Lima orang itu siapa?"

   "Entahlah, Ayah. Mereka tidak memperkenalkan diri, hanya agaknya amat mengenalmu. Pakaian mereka serba biru dan senjata mereka golok besar."

   "Ah, kalau pakaian serba biru dan bergolok besar, tentu mereka itu orang-orang Kwi-to-pang!"

   Melihat Ayahnya nampak kaget, gadis itu lalu memegang tangan Ayahnya.

   
Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ayah, perkumpulan apakah Kwi-to-pang (Perkumpulan Golok Setan) itu?"

   "Perkumpulan orang sesat, Ah, kenapa sampai selama ini mereka belum juga melupakan aku? Agaknya sekarang Twa-to Kwi-ong (Raja Setan Golok Besar) yang menjadi ketua mereka telah merasa dirinya kuat.

   "Hemm...!"

   "Memang mereka itu bersikap seperti orang-orang bengis dan kasar. Untung ada pemuda yang..."

   "Oya, sampai lupa aku. Siapakah pemuda yang menolongmu itu? Dan di mana dia sekarang?"

   "Dia mengaku bernama Liu Sin Lee, Ayah. Setelah berhasil mengusir lima orang itu, dia lalu pamit dan pergi melanjutkan perjalanannya."

   "Engkau tidak bertanya dia dari perguruan mana dan berapa kira-kira usianya?"

   "Aku tidak sempat bertanya, Ayah, dan usianya kurang dari dua puluh tahun sebaya denganku atau sedikit lebih tua."

   "Hemm, masih muda sekali dan sudah lihai. Kalau dibandingkan dengan engkau, siapa kira-kira lebih tinggi tingkatnya?"

   "Entah, mungkin sekali aku akan kalah, Ayah."

   Gadis itu membayangkan si pemuda yang telah memberi bunga kepadanya dan sengaja berkata demikian untuk memujinya. Pada hal ia tidak tahu pasti siapa yang lebih lihai dari mereka.

   "Giok Lan, kita berkemas, kita harus pergi sekarang juga dari tempat ini."

   Tiba-tiba Ayah itu berkata. Giok Lan terkejut.

   "Akan tetapi kenapa, Ayah? Apakah Ayah... jerih menghadapi mereka?"

   Hampir ia tidak percaya bahwa Ayahnya takut akan sesuatu, apalagi takut menghadapi musuh. Ayahnya adalah seorang gagah sejati, dan selalu mengajarkan ia bersikap gagah. Bagaimana mungkin kini Ayahnya akan melarikan diri dari musuh? "Kalau mereka berani datang lagi, aku yakin Ayah akan mampu menghajar mereka. Aku saja melawan dua dari mereka dapat menang."

   "Giok Lan, Ayahmu bukan seorang penakut atau pengecut. Akan tetapi aku memikirkan dirimu. Kalau engkau sudah kutitipkan kepada seorang yang dapat kupercaya dan diandalkan, menghadapi seribu orang musuhpun aku akan membusungkan dada, dengan mempertaruhkan nyawaku."

   "Akan tetapi, Ayah. Aku ingin bersamamu, melawan musuhmu. Dan lagi, musuh seperti orang-orang kasar itu tidak perlu dibuat khawatir. Biar ada sepuluh dari mereka tentu kita berdua akan mampu mengusirnya,"

   Kata Giok Lan dengan sikap gagah.

   "Ah, engkau tidak tahu, Giok Lan. Yang memusuhi aku adalah ketua Kwi-to-pang, karena dendam pribadi setelah kami berkelahi dan dia kukalahkan untuk ketiga kalinya. Dia bersumpah untuk membalas dendam dan agaknya dia telah memperdalam ilmunya. Sekarang, orang-orangnya telah menemukan kita, tentu dia akan muncul bersama anak buahnya. Aku sangsi apakah kali ini akan mampu mengalahkannya dan melihat anak buahnya ganas dan buas aku tidak inigin melihat engkau terjatuh ke tangan mereka. Nah, nanti kuceritakan lebih jelas. Sekarang mari berkemas, bawa pakaian dan barang berharga yang dapat dibawa. Cepat!"

   Biarpun hatinya tidak setuju, gadis itu tidak lagi berani membantah Ayahnya dan mereka berdua lalu berkemas.

   Setelah menaruh barang-barang bawaan di atas pelana kuda, mereka lalu menunggang dua ekor kuda dan pergi ke arah timur. Baru mereka tiba di lereng bukit, dari depan muncul banyak sekali penunggang kuda. Souw Kian terkejut sekali tapi sudah tak dapat menghindar lagi karena para penunggang kuda itu muncul dari tikungan secara tiba-tiba dan tidak terduga. Dan yang berada di depan sendiri adalah seorang laki-laki tinggi besar yang brewokan, kurus kurang lebih lima puluh tahun dan tubuhnya nampak Kokoh kuat sekali. Begitu melihat, Souw Kian tahu bahwa itulah musuh besarnya, Twa-to Kwi-ong (Raja Setan Golok Besar) Tang Mo San, ketua dari Kwi-to-pang yang pernah dikalahkan sampai tiga kali. Di belakangnya terdapat dua puluh orang anak buah yang kesemuanya nampak bengis dan menyeramkan.

   "Giok Lan, cepat kau kembali dan lari. Biar aku menghadapi mereka semua!"

   Kata Souw Kian kepada puterinya. Akan tetapi bagaimana mungkin gadis yang sudah ditanamkan keberanian di dalam hatinya itu mau melarikan diri meninggalkan Ayahnya berada dalam bahaya?

   "Tidak, Ayah. Aku akan melawan mereka!"

   Katanya sambil mencabut pedangnya. Si tinggi besar brewokan itupun mendengar percakapan antara Ayah dan anak ini. Dia tertawa.

   "Ha-ha-ha-ha, Souw Kian. Biar anakmu kau suruh melarikan diri juga akan dapat ditangkap anak buahku. Anakmu harus menjadi pengganti Siu Lin, ha-ha-ha! Kepung mereka, jangan sampai ada yang lolos!"

   Dua puluh orang itu berloncatan turun dari atas kuda dan mengepung Ayah dan anak itu. Souw Kian mencabut pedangnya dan menghardik kepada si tinggi besar brewokan,

   "Tang Mo San, mana kejantananmu? Bersikaplah sebagai laki-laki. Aku akan menghadapimu untuk bertanding sampai seorang di antara kita menggeletak mati. Akan tetapi jangan ganggu anakku dan biarkan ia pergi. Tidak malukah engkau mengganggu seorang anak perempuan remaja?"

   "Ha-ha-ha, Souw Kian, lupakah engkau bahwa engkaupun merampas Siu Lin, calon isteriku? Sekarang, aku akan membunuhmu dan anakmu harus menjadi pengganti Siu Lin, barulah puas hatiku!"

   Kepada anak buahnya dia berkata.

   "Biarkan aku menghadapi Souw Kian sendiri, kalian jaga saja agar anak perempuannya tidak melarikan diri. Kalau ia melawan, tangkap dan jangan lukai ia!"

   Setelah berkata demikian, Twa-to Kwi-ong Tang Mo San meloncat turun dari atas kudanya dan tubuhnya melayang ke atas, berjungkir balik beberapa kali di udara untuk hinggap di depan Souw Kian. Tampak sinar kilat dan golok telanjang sudah berada di tangannya, sebatang golok yang mengeluarkan sinar kebiruan dan nampak tajam sekali.

   Souw Kian terkejut melihat cara musuhnya melompat dari atas kuda. Jelas bahwa lawannya itu mendemonstrasikan gin-kangnya yang ternyata telah memperoleh kemajuan pesat sekali. Dan golok di tangannya itupun bukan sembarang golok, melainkan sebatang golok pusaka terbuat dari logam murni yang amat kuat. Tanpa banyak bicara lagi, dua orang lawan yang menjadi musuh besar itu sudah saling serang. Berdenting-denting suaranya diikuti bunga api berpijar ketika pedang dan golok bertemu di udara. Baru beberapa gebrakan saja tahulah Souw Kian bahwa seperti dikhawatirkannya, kepandaian lawan telah meningkat tinggi. Bukan saja gin-kangnya yang membuat gerakannya cepat bukan main, akan tetapi juga sinkangnya yang dulu selalu kalah kuat olehnya, sekarang menjadi seimbang.

   Sementara itu, Giok Lan yang dikepung banyak anak buah Kwi-to-pang, menjadi khawatir dan marah melihat Ayahnya sudah berkelahi dengan orang tinggi besar brewokan itu, maka iapun menggerakkan pedangnya menyerang para pengepungnya yang menyeringai menyebalkan. Para pengepung yang sudah mendapat perintah dari ketua mereka agar jangan melukai atau membunuh gadis itu melainkan menangkapnya, lalu mengepung ketat dan pedang gadis itu bertemu dengan banyak golok. Banyak tangan mencoba untuk menangkapnya, namun Giok Lan memutar pedangnya menjadi gulungan sinar yang melindungi tubuhnya. Melihat ini, para pengepung mencoba untuk menggunakan golok yang dipersatukan untuk memukul lepas pedang dari tangan gadis itu.

   "Tranggg...!"

   Giok Lan merasa tangannya tergetar hebat bertemu dengan tujuh batang golok itu, akan tetapi ia mempertahankan dan mengamuk terus, walaupun amukannya itu selalu gagal karena banyak sekali golok yang menahan dan menangkis sambaran pedangnya. Tiba-tiba kepungan itu terkuak dan dua orang terpelanting. Ternyata yang maju membantu Giok Lan itu adalah Cu Sin Lee! Seperti diketahui, pemuda ini sudah meninggalkan Giok Lan akan tetapi mengapa kini tiba-tiba dia dapat muncul kembali? Kiranya tadi dalam perjalanannya, Sin Lee melihat debu mengepul di depan dan dia cepat membelokkan kudanya, menyelinap di antara pohon-pohon dan di balik semak belukar.

   Para penunggang kuda itu lewat dan dia mengenal lima orang yang menyerang Giok Lan tadi berada di antara rombongan orang yang sekitar dua puluh orang banyaknya itu. Mengertilah dia bahwa tentu rombongan itu kawan-kawan lima orang tadi yang hendak membalas kekalahan mereka. Timbul kekhawatirannya akan keselamatan Giok Lan, maka diapun membayangi dari jauh. Demikianlah, ketika melihat Giok Lan dikeroyok dua puluh orang itu, Sin Lee tidak dapat tinggal diam saja. Kalau gadis itu bertanding satu lawan satu seperti halnya Ayahnya, tentu Sin Lee tidak akan mencampuri urusan pribadi orang lain. Akan tetapi melihat dara itu dikeroyok dua puluh orang laki-laki yang ganas, dia lalu meloncat dengan pedang di tangan dan begitu dia menyerbu dua orang terpelanting oleh tendangannya.

   "Jangan khawatiw, nona Souw, aku datang membantumu!"

   Kata Sin Lee. Tentu saja Giok Lan girang sekali melihat pemuda yang menjadi buah kenangannya itu.

   "Terima kasih!"

   Katanya dan kedua orang muda ini saling mendekati lalu beradu punggung untuk menghadapi para pengeroyoknya. Sementara itu, pertandingan antara Souw Kian dan Tang Mo San berlangsung amat serunya. Dua orang ini memang merupakan musuh lama, musuh bebuyutan. Sudah tiga kali Tang Mo San selalu menderita kekalahan dari Souw Kian dan sekali ini, setelah memperdalam ilmunya dengan tekun, dia mulai dapat mendesak Souw Kian.

   Permusuhan di antara mereka terjadi sejak mereka berdua masih sama-sama muda, dua puluhan tahun yang lalu ketika Tang Mo San dengan kekerasan menculik seorang gadis yang dicintanya. Namun gadis itu, The Siu Lin tidak membalas cintanya. Perbuatan itu diketahui oleh pendekar muda Souw Kian yang segera bertindak. Mereka bertanding dan Tang Mo San menderita kekalahan sehingga terpaksa dia merelakan Siu Lin diantar pulang oleh Souw Kian. Sejak saat itu, hubungan antara Souw Kian dan Siu Lin menjadi akrab dan akhirnya mereka saling jatuh cinta dan menikah. Baru beberapa tahun kemudian Siu Lin mengandung dan melahirkan Souw Giok Lan. Tang Mo San tidak mau menerima begitu saja kekalahannya, apa lagi ketika dia mendengar bahwa gadis yang dicintanya itu menikah dengan Souw Kian.

   Dia belajar silat lagi dan beberapa tahun kemudian mencari Souw Kian untuk membalas dendam. Akan tetapi, dia kalah lagi. Selama beberapa tahun, dia belajar dan memperdalam ilmu silatnya, lalu mencari Souw Kian lagi. Ketika itu Giok Lan baru berusia tiga tahun dan Tang Mo San yang datang bagaikan pencuri itu diketahui kedatangannya oleh Siu Lin yang terbangun dari tidurnya. Ia berteriak dan menyerang, akan tetapi ia roboh oleh pukulan tangan Tang Mo San. Souw Kian terbangun dan kembali kedua orang itu bertanding mati-matian dan akhirnya kembali Tang Mo San kalah dan melarikan diri membawa luka di dada dan di hati. Akan tetapi dia puas karena dia telah merobohkan Siu Lin, apa lagi ketika dia mendengar bahwa beberapa bulan kemudian wanita itu mati akibat sakit setelah mendapat pukulannya. Wanita yang diperebutkan itu telah mati, berarti Souw Kian juga tidak memilikinya lagi!

   Cinta memang aneh. Akan tetapi cinta yang terkandung di hati Tang Mo San itu adalah cinta yang dipenuhi nafsu berahi semata, nafsu untuk menyenangkan diri sendiri. Nafsu begini yang membuat cinta dapat berubah menjadi benci kalau yang dicinta itu tidak membalas cintanya, kalau yang dicinta itu tidak dapat dimiliki. Cinta seperti ini kalau sampai berhasil memiliki yang dicintanya, tentu akan merasa bosan. Karena nafsu itu seperti asap api, mengepul bergulung-gulung akan tetapi mudah memadamkan apinya sendiri. Kalau sudah terlampiaskan nafsunya, maka padam pula rasa cintanya. Akan tetapi kalau belum dipuaskan nafsunya, maka berkobar-kobarlah sehingga dapat membakar segala macam dan menimbulkan perbuatan-perbuatan yang jahat. Demikian pula dengan cinta Tang Mo San terhadap Siu Lin. Isinya hanya cemburu, iri hati, dan kebencian penuh dendam.

   Bahkan setelah mendengar Siu Lin tewas, dia masih memperdalam ilmunya dengan tekun sekali dan kini, dibantu dua puluh orang anak buahnya, dia menyerbu dan mengambil keputusan untuk membunuh Souw Kian dengan cara apapun juga. Kalau tidak dapat dengan cara pendekar, yaitu bertanding dengan adil satu lawan satu, dia akan mengeroyoknya sampai berhasil membunuhnya. Ketika melihat Giok Lan yang demikian cantik dan mirip Siu Lin, dia mengambil keputusan lain, yaitu dia hendak memperisteri puteri wanita yang dicintanya itu sebagai pengganti ibunya! Souw Kian repot menghadapi serangan-serangan Tang Mo San. Pada saat Souw Kian terdesak, Tang Mo San menggerakkan goloknya, membabat ke arah pinggang.

   "Haiiiittt... singgg...!"

   Golok itu menyambar dengan dahsyat sekali sehingga hampir tak terelakan oleh Souw Kian. Dia cepat menggerakkan pedangnya menangkis, akan tetapi golok itu mental ke bawah dan bagaikan kilat telah menyambar pahanya.

   "Srattt...!"! Darah muncrat ketika celana berikut kulit dan daging paha itu terbabat golok. Souw Kian terhuyung ke belakang dan kembali dengan dahsyatnya golok menyambar, sekali ini membacok dada Souw Kian yang roboh berlumuran darah.

   "Ayah...!"! Giok Lan bertempur sambil memperhatikan Ayahnya, sempat melihat Ayahnya roboh mandi darah, maka ia meloncat dan pedangnya menusuk lambung Tang Mo San dari samping. Orang she Tang itu menggerakkan goloknya menangkis.

   "Tranggg...!"

   Pedang hampir terlepas dari tangan Giok Lan saking kuatnya tangkisan itu, dan golok itupun dengan cepatnya sudah diputar membuat Giok Lan mundur-mundur sambil menggerakkan pedangnya melindungi tubuhnya. Melihat ini, Sin Lee juga melompat meninggalkan para pengeroyoknya.

   Dia dan Giok Lan tadi telah berhasil merobohkan enam orang pengeroyok ketika terjadi perubahan dengan robohnya Souw Kian. Dia melompat dan menerjang Tang Mo San yang sedang mendesak dan hendak menangkap gadis itu. Tang Mo San terkejut mendengar desir angin di belakangnya. Dia membalik dan menangkis keras sehingga pedang Sin Lee terpental. Dua orang muda itu mengeroyok Tang Mo San yang ternyata lihai sekali. Setelah para anak buahnya berlari mendatangi, mengepung dan mengeroyok dua orang muda itu, Sin Lee dan Giok Lan menjadi kerepotan sekali. Akhirnya dua orang muda itu roboh, Giok Lan tertendang oleh Tang Mo San yang tidak ingin membunuhnya, sedangkan Sin Lee roboh karena pahanya terkena bacokan golok. Walaupun dia sudah melindungi dengan sin-kang tetap saja kulitnya terluka dan dia roboh dengan paha berlumuran darah.

   "Bunuh pemuda itu!"

   Kata Tang Mo San dan dia sendiri sudah menubruk dan menotok Giok Lan. Belasan batang golok dibacokkan ke arah Sin Lee yang sudah roboh terluka.

   "Trang-trang-tranggg...!"

   Belasan batang golok itu terlempar dan beberapa orang terhuyung ke belakang ketika sinar hitam yang panjang menyambar-nyambar. Semua orang terkejut dan ingin melihat siapa yang datang menolong pemuda itu. Juga Tang Mo San yang sudah berhasil menotok gadis itu sehingga tubuhnya terkulai dalam rangkulannya, menengok dan melihat bahwa yang datang adalah seorang kakek kurus bertelanjang kaki, pakaiannya compang-camping namun bersih, tangan kiri mengempit sebatang tongkat hitam dan tangan kanan membawa guci arak. Pengemis tua itu kini membawa guci arak ke mulutnya dan menuangkan isinya ke mulut sampai terdengar bunyi menggelogok.

   "Ha-ha-ha, golok-golok setan mengacau lagi. Kalau sekali ini tidak kubasmi, kapan berakhirnya kegilaan ini, heh heh!"

   Katanya sambil mengalungkan tali guci ke lehernya sehingga guci arak kini tergantung ke leher. Melihat pengemis tua itu, Tang Mo San menjadi marah.

   "Gembel busuk, siapa engkau berani mencampuri urusan Twa-to Kwi-ong ketua Kwi-to-pang?"

   Gembel tua yang seperti orang mabok itu tertawa lagi.

   "Ha-ha-ha, aku memang gembel, tapi tidak busuk seperti engkau, Twa-to Kwi-ong. Aku adalah Ciu-sian Lo-kai Ong Su, sejak kecil tidak pernah menukar nama."

   Tang Mo San terbelalak. Biarpun baru sekali ini bertemu, akan tetapi sudah lama dia mendengar tentang Ciu-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Arak), pengemis tua pemabok yang kabarnya memiliki kesaktian yang sukar dicari tandingannya.

   "Ciu-sian Lo-kai, selamanya kami, Kwi-to-pang tidak pernah menghalangi langkah hidupmu, kenapa hari ini engkau mencampuri urusan kami? Ketahuilah, bahwa urusan sekali ini adalah urusan permusuhan pribadi. Apakah engkau yang kabarnya menghargai kegagahan itu hendak memihak?"

   "Omitohud...!"

   Dia menirukan doa seorang pendeta Buddha.

   "Aku tidak akan mencampuri urusan pribadimu dengan Souw Kian. Akan tetapi setelah dengan perkelahian satu lawan satu engkau berhasil merobohkan Souw Kian, kenapa engkau menganggu pula anak perempuannya? Ini sudah bukan urusan pribadi lagi melainkan kejahatan yang tidak boleh kubiarkan begitu saja!"

   Mendengar ucapan itu, Tang Mo San khawatir kalau dia akan kehilangan Giok Lan. Setelah merangkul gadis yang terkulai itu dan merasakan kehangatan tubuhnya, mana dia mau melepaskannya? Dia lalu berteriak kepada bawahannya.

   "Serbu, bunuh gembel busuk itu!"

   Dan dia sendiri lalu membawa Giok Lan meloncat pergi. Anak buahnya menaati perintah ketuanya, akan tetapi ketika mereka menyerbu, yang diserbu sudah tidak ada. Yang nampak hanya berkelebatnya bayangan hitam yang mengejar ketua mereka. Tentu saja beramai-ramai mereka melakukan pengejaran. Baru seratus kaki Tang Mo San berlari, tanpa disadarinya, sebuah batu kerikil menyambar mengenai punggung Giok Lan dan membuat gadis itu terbebas dari totokan, Giok Lan yang berada dalam pondongan Tang Mo San, begitu sadar cepat mengerahkan sinkang pada tangan kanannya dan tiba-tiba tangan itu menyambar ke arah leher Tang Mo San.

   "Desss...!"

   Sebuah pukulan dengan jari terbuka mengenai tenggorokan Tang Mo San. Orang ini mengeluarkan suara aneh, lalu pondongannya terlepas, dia terhuyung lalu roboh telentang dengan muka perlahan-lahan berubah menghitam keracunan! Kakek gembel itu ketika tiba di situ dan melihat wajah Tang Mo San, mengerutkan alisnya. Akan tetapi Giok Lan sudah lari ke arah Ayahnya, membiarkan para anak buah Kwi-to-pang kini mengeroyok pengemis itu setelah melihat ketua mereka tewas dan pengemis itu berjongkok memeriksanya. Mereka menduga bahwa tentu pembunuhnya adalah pengemis itu maka dengan riuh rendaj mereka lalu maju mengeroyok! Giok Lan menubruk mayat Ayahnya dan menangis. Tak lama kemudian Sin Lee menghampiri sambil menyeret kaki kirinya yang terluka pahanya.

   "Nona, kuatkan hatimu, ditangisi juga sudah tidak ada gunanya lagi. Sebaiknya kita bantu Locianpwe itu, menumpas gerombolan Kwi-to-pang."

   Giok Lan menghentikan tangisnya. Akan tetapi ketika ia menengok seperti yang dilakukan Sin Lee ke arah pertempuran, pertempuran itu sudah terhenti. Semua anggota gerombolan sudah roboh kena hantamam tongkat kakek itu. Ada yang kepalanya benjol ada yang giginya rontok, ada yang tulang iganya patah dan ada yang salah urat. Pendeknya semua orang kebagian dan kini pengemis itu berkata.

   "Apakah sudah cukup? Atau kalian minta kupukul sampai mampus? Kalau sudah cukup hayo bawa pergi mayat ketuamu dan jangan berani muncul di sini kembali!"

   Dua puluh orang itu semua luka-luka, bukan hanya oleh kakek gembel itu, juga yang terluka oleh Sin Lee dan Giok Lan tadi. Mendengar ucapan itu, semua orang lalu membawa teman-teman yang terluka berat, mengangkat pula mayat ketua mereka dan berhamburanlah mereka pergi mencari kuda mereka untuk pergi dari situ.

   "Kalian tidak boleh pergi begitu saja!"

   Giok Lan membentak dan ia lari mengejar dengan pedang di tangan. Ia sudah memungut kembali pedangnya yang tadi terlepad ketika ia ditawan Tang Mo San.

   "Sian-cai...!"

   Kakek gembel itu berseru seperti seprang tosu dan sudah berdiri menghadang di depan gadis itu.

   "Menyerang orang yang sudah kalah bukan perbuatan gagah!"

   Giok Lan menyadari hal itu dan ia kembali lagi kepada Ayahnya dan berlutut di dekat mayat Ayahnya, lalu menangis kembali. Sementara itu, terpincang-pincang Sin Lee menghampiri kakek itu, lalu mengangkat tangan memberi hormat.

   "Locianpwe, terima kasih atas bantuan Locianpwe. Kalau tidak ada bantuan Locianpwe, tentu saya dan nona Souw sudah tewas di tangan mereka."

   Dia tidak mau bicara tentang ditawannya Giok Lan, lebih baik bicara tentang kemungkinan gadis itu terbunuh bersamanya, karena dia merasa ngeri kalau membayangkan nasib gadis itu andaikata tertawan oleh kepala gerombolan tadi. Ciu-sian Lo-kai Ong Su, kakek berusia enam puluh tahun itu, tersenyum dan mengangguk-angguk kagum memandang kepada Sin Lee.

   "Dan engkau ini siapa, orang muda? Apa hubunganmu dengan keluarga Souw?"

   "Bukan apa-apa, Locianpwe, hanya pagi tadi aku pernah menerima pemberian sebutir buah semangka oleh Nona Souw. Sewaktu aku makan semangka, Nona Souw diganggu lima orang anggota Kwi-to-pang dan aku membantunya. Setelah kami dapat mengusir lima orang itu, aku pergi melanjutkan perjalanan, akan tetapi di tengah jalan aku melihat rombongan ini. Karena khawatir Nona Souw akan diganggu lagi, aku lalu kembali dan sempat membantu. Akan tetapi, ketua itu lihai sekali dan kalau tidak ada Locianpwe, celakalah kami."

   "Sudah, tidak ada budi ditanam dan tidak ada dendam dibalas, yang penting rawatlah luka di pahamu dan bantulah nona itu mengurus jenazah Ayahnya."

   Oleh Ayahnya, Sin Lee memang diberi petunjuk tentang merawat luka dan juga membawa obat luka yang manjur buatan Ayahnya. Mendengar ucapan kakek itu, dia sadar dan melihat kakek itu membalikkan tubuh dan pergi, diapun tidak dapat berbuat sesuatu. Dia sudah banyak mendengar dari Ayahnya tentang keanehan orang-orang di dunia persilatan. Setelah memeriksa lukanya, memberi obat dan membalut pahanya, terpincang-pincang Sin Lee menghampiri gadis itu. Melihat Giok Lan menangisi lagi jenazah Ayahnya, dia menghibur.

   "Sudahlah, nona. Dari pada ditangisi, sebaiknya kalau kita rawat jenazah Ayahmu sebagaimana mestinya. Mari kubantu engkau mengangkat jenazah ke dalam rumahmu."

   Gadis itu menoleh dan melihat muka yang menangis itu, Sin Lee merasa terharu. Kalau menangis, wajah itu demikian kekanak-kanakan dan baru dia menyadari bahwa gadis ini memang masih muda sekali.

   "Toako... aku... aku hanya hidup berdua dengan Ayah... dan sekarang dia meninggalkan aku... aku hidup sebatang... kara..."

   Gadis itu menangis lagi dan Sin Lee merasa semakin iba. Dalam kesedihannya, gadis itu menyebutnya toako (kakak) tentu untuk mengisi perasaan sepi dan tertinggal sendirian saja di dunia ini.

   "Sudahlah, Siauw-moi (adik), engkau harus berani menghadapi kenyataan hidup. Ayahmu telah meninggal dan dia tewas sebagai seorang pendekar yang gagah. Mati di tangan musuh merupakan kematian yang gagah bagi seorang pendekar dan agaknya Tuhan sudah menghendaki demikian. Sebaiknya kalau kita urus jenazah Ayahmu."

   Dengan mata merah Giok Lan menjawab,

   "Akan tetapi aku... aku hidup sebatang kara, tidak mempunyai siapa-siapa lagi..."

   "Hemm, kenapa engkau berkata demikian? Engkau masih memiliki dirimu sendiri dan di dunia ini terdapat banyak manusia yang menjadi temanmu yang baik. Aku juga menjadi teman baikmu, bukan? Kenapa engkau mengatakan tidak mempunyai siapa-siapa?"

   Hati Giok Lan terhibur dan ia menghentikan tangisnya, menoleh kepada pemuda itu dan bertanya,

   "Engkau mau membantu aku mengurus penguburan jenazah Ayahku?"

   "Tentu saja aku mau, dan memang akan kulakukan itu."

   "Kenapa engkau begini baik kepadaku, toako?"

   Sepasang mata yang masih basah kemerahan itu menatap wajahnya sedemikian rupa membuat Sin Lee tertegun.

   "Mengapa...? Aih, Siauw-moi orang hidup haruslah bantu-membantu, bukan? Andaikan aku yang mengalami kesengsaraan sepertimu, apakah engkau yang kebetulan berada dekat denganku tidak akan mau membantuku?"

   Hening sejenak, lalu gadis itu menggeleng kepalanya.

   "Belum tentu, toako. Aku tidaklah sebaik engkau yang melimpahkan budi kepadaku."

   "Ah, engkaupun memberi semangka kepada aku yang kehausan dan kelaparan, bukan? Sudahlah, tidak ada budi ditanam dan tidak ada dendam dibalas, ini kata kakek sakti yang menolong kita. Sebaiknya kita urus jenazah Ayahmu, kau bersihkan tubuhnya dan ganti dengan pakaian yang bersih. Aku akan mencari peti mati..."

   Tiba-tiba Sin Lee teringat bahwa gadis itu tinggal di tempat terpencil dan dia tidak tahu di mana dapat dibeli peti mati. Melihat pandang mata Sin Lee yang kebingungan, gadis itu berkata sedih,

   "Aku sendiri tidak tahu di mana kita bisa mendapatkan peti mati. Di dusun-dusun terdekat tidak ada yang jual, sedangkan kota terdekat jauhnya seratus li. Kalau diangkut dari sana dengan kereta, selain harga peti mati itu mahal, biaya angkutannya pun mahal sekali. Aku tidak akan mampu membelinya..."

   Gadis itu menggigit bibir menahan tangis.

   "Jangan khawatir, aku masih mempunyai uang untuk membelinya. Di mana kota yang ada penjual peti matinya itu?"

   "Kota See-tung, kurang lebih seratus li dari sini di sebelah barat."

   "Baik, aku akan berangkat sekarang juga membeli peti mati itu, Siauw-moi."

   Pada saat itu terdengar suara orang dengan suara panjang-panjang, seperti orang bernyanyi,

   "Sungguh bodoh, ribut mencari peti tebal, membiarkan mayat menjadi busuk sebelum peti datang."

   Sin Lee dan Giok Lan meloncat keluar dan ternyata yang bicara itu adalah kakek pengemis yang telah menolong mereka. Kakek itu duduk di atas tanah, bersandarkan sebatang pohon. Melihat kakek itu, Giok Lan segera menghampiri dan gadis ini memberi hormat,

   "Locianpwe sudah menyelamatkan nyawaku, sekarang aku mohon petunjuk, bagaimana jadinya dengan jenazah Ayahku? Kenapa Locianpwe mencela Liu-toako yang hendak membeli peti jenazah?"

   "Ha-ha-ha, kota See-tung jauh, belum tentu besok pagi peti mati itu akan sampai di sini, sementara itu jenazah Ayahmu akan membusuk. Tegakah kau membiarkan jenazah itu membusuk? Jenazah itupun ingin sekali cepat-cepat kembali ke alam asalnya."

   Sin Lee tidak mengerti ucapan itu.

   "Bukankah Ayah nona ini sudah kembali ke alam asal, Locianpwe?"

   "Yang kembali ke alam asal adalah jiwanya, akan tetapi apa kau kira jasmaninya juga tidak ingin kembali ke alam asal secepatnya? Jiwa kembali ke alam asalnya, yaitu alam baka, sedangkan napas kembali ke udara, Suhu badannya kembali kepada api, air jasmani kembali kepada air, tanah kembali kepada tanah. Dan kalian ingin menahan kembalinya semua itu dengan menaruh mayat di peti tebal, dibiarkan membusuk karena rindu kepada alam asalnya. Hayo, cepat bikin peti sederhana saja dari kayu, lalu kubur jenazah itu sebelum membusuk kalau kau memang sayang kepada Ayahmu, nona."

   Mendengar ucapan itu, Giok Lan dan Sin Lee saling pandang. Giok Lan mengangguk dan Sin Lee lalu melangkah pergi.

   "Aku akan mencari kayu untuk membikin papan peti."

   Untung di dalam rumah itu terdapat alat-alat yang biasa dipergunakan Souw Kian untuk membuat meja kursi dan prabot rumah lain, tersedia paku, gergaji dan lain-lain. Sin Lee dapat membuat peti yang sederhana sekali. Setelah jenazah dibersihkan oleh Giok Lan dan diberi pakaian bersih, lalu dimasukkan peti mati dan dikubur di belakang rumah. Sin Lee ikut memberi hormat di depan kuburan itu bersama Giok Lan sehingga gadis itu agak terhibur juga, merasa senang mempunyai teman yang baik hati. Kakek pengemis itu duduk diam, tak jauh dari situ. Giok Lan masih bersimpuh di depan gundukan tanah, tidak menangis lagi akan tetapi ia mengeluh,

   

Suling Emas Karya Kho Ping Hoo Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini