Pendekar Bunga Merah 7
Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 7
"Sribaginda, maafkan kami kalau kami menganggu jenazah paduka,"
Kata Liu Siong Ki dan dengan pengerahan sinkang mereka berhasil membuka tutup peti mati. Baru kemarin Kaisar itu meninggal dunia, maka jenazahnya masih utuh. Akan tetapi mereka melihat tanda-tanda menghitam di bawah matanya dan ketika Siong Ki memeriksa kuku-kuku tangannya, maka kuku-kuku itupun menghitam. Jelas, ini tanda mati keracunan! Tiba-tiba saja terdengar bentakan,
"Heii, siapa kalian!"
Tentu saja suami isteri itu terkejut dan ketika mereka menengok, tahulah mereka bahwa mereka terjebak. Pasukan pengawal telah mengepung tempat itu. Siong Ki nekat.
"Kaisar telah mati keracunan!"
Katanya. Akan tetapi, Panglima itu yang bukan lain adalah Coa-Ciangkun, yang memimpin sendiri penjagaan di situ, sudah menyerukan aba-aba dan puluhan orang perajurit pengawal sudah maju mengeroyok suami isteri itu.
Liu Siong Ki dan Chi Li tentu saja melakukan perlawanan mati-matian untuk membela diri. Mereka menjadi penasaran karena seruan mereka bahwa Kaisar mati keracunan tidak dihiraukan sama sekali. Mereka merobohkan para pengeroyok terdepan dan hendak mencari lowongan untuk dapat melarikan diri. Namun ternyata dari luar berdatangan lebih banyak pengawal lagi. Di antara para pengeroyok banyak jagoan istana yang berkepandaian tinggi. Tentu saja Liu Siong Ki dan Chi Li terjepit dan terhimpit, bahkan Chi Li sudah menderita luka-luka di tubuhnya. Namun, wanita Mongol ini memiliki darah panas yang pantang menyerah. Ia mengamuk terus, merobohkan belasan orang pengawal. Akan tetapi, sebuah bacokan golok dari belakang mengenai punggungnya dan iapun terhuyung mandi darah. Liu Siong Ki juga sudah terluka.
"Chi Li...!"
Serunya melihat keadaan isterinya. Dia merangkul isterinya sambil memutar pedangnya melindungi diri.
"...tinggalkan aku... cari anak kita... balaslah pelaku semua ini..."
Isterinya mengeluh dan memaksa diri lepas dari suaminya dan iapun mengamuk lagi seperti seekor singa betina terluka. Hebat sekali wanita ini. Dengan tubuh luka-luka ia masih dapat merobohkan beberapa orang pengeroyok lagi. Akhirnya iapun roboh. Liu Siong Ki mengamuk dan suara isterinya mengiang di telinganya. Dia tidak boleh mati.
Dia harus dapat meloloskan diri. Dia harus dapat bertemu Sin Lee untuk membalaskan pembunuh Kaisar dan pembunuh isterinya. Dengan mengerahkan tenaga terakhir, Liu Siong Ki menggunakan ginkangnya dan tubuhnya bagaikan terbang saja melalui kepala para pengeroknya, melayang ke atas genteng. Mereka yang memiliki ginkang tinggi mengejar, namun tubuh Siong Ki sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Semalam itu para perajurit pengawal menggeledah di seluruh istana atas perintah Bong Thaikam yang marah sekali. Akan tetapi tetap saja mereka tidak dapat menemukan Liu Siong Ki yang sudah lari jauh keluar dari istana, bahkan keluar dari kota raja. Dalam keadaan tubuh luka-lukka bahkan menderita luka dalam akibat pukulan para jagoan istana dan beberapa buah paku beracun mengeram pula di dalam tubuhnya. Liu Siong Ki terus melarikan diri sampai jauh ke selatan.
"Demikianlah, anakku, apa yang dialami oleh ibumu dan aku..."
Liu Siong Ki menutup kisahnya dan Sin Lee kini berlutut sambil bercucuran air mata mendengar ibunya tewas dikeroyok pasukan pengawal istana. Juga mendengar bahwa Ayah kandungnya mati diracuni orang pula.
"Ayah, katakan, siapa yang telah meracuni Kaisar? Tentu dia pula yang mengerahkan pasukan pengawal untuk menjebak Ayah dan ibu!"
Katanya penuh semangat untuk membalas dendam.
"Kami... kami belum mendapat bukti... akan tetapi... ah, Sin Lee, kau... kau selidiki... Bong Thaikam itu... dia mencurigakan..."
"Sudahlah, Ayah. Sekarang yang penting Ayah harus berobat dulu sampai sembuh."
Kata Sin Lee.
"Mari kuantar ke rumah seorang ahli obat di dalam kota Nan-kiang, Ayah."
Liu Siong Ki menggeleng kepala dan menghela napasnya yang sudah tinggal satu-satu.
"Tidak ada gunanya... sudah kupertahankan... sampai hari ini... aku sudah tidak kuat lagi, Sin Lee... aku ingin... menyusul... ibumu... kasihan ia..."
Liu Siong Ki yang sudah empas-empis itu akhirnya tewas dalam rangkulan Sin Lee. Sin Lee menangis terisak-isak sambil memeluk Ayahnya. Sungguh mengenaskan sekali kematian seorang pendekar gagah perkasa seperti Liu Siong Ki. Dia terluka pawah dan terpaksa menahan diri tanpa obat bahkan menderita kelaparan karena dia harus menyembunyikan diri dari pengejarang pasukan yang masih harus mencarinya. Dengan amat sederhana, diiringi cucuran air mata dari sepasang mata Sin Lee, jenazah Liu Siong Ki dikubur oleh pemuda itu di kebun belakang kuil tua itu. Tidak disaksikan oleh orang lain. Setelah selesai mengubur jenazah itu, Sin Lee berlutut di depan makam Ayah tirinya dan berkata,
"Ayah, beristirahatlah dengan tenang, Ayah. Aku yang akan menyelidiki tentang kematian Ayah kandungku dan membalas kematian ibu dan Ayah."
Setelah bersembahyang tanpa memakan perabot sembahyang, secara sederhana sekali namun penuh kesedihan, Sin Lee lalu meninggalkan tempat itu dan dia tidak jadi memasuki kota Nan-king. Dia memutar haluan menuju ke utara, hendak pergi ke kota raja Peking untuk menyelidiki kematian Ayah kandungnya, Kaisar Ceng Tung, seperti yang dipesan gurunya atau Ayah tirinya.
Bong Taijin (pembesar Bong) atau Bong Thaikam (Sida-sida Bong) berjalan hilir mudik di dalam ruangan dalam rumahnya yang mewah. Pembesar ini dapat mengumpulkan kekayaan sehingga dapat membangun istana yang hampir menyaingi istana Kaisar sendiri. Dia nampak gelisah dan marah, seperti sebuah bola digelundungkan kian kemari, dan wajahnya yang seperti boneka itu penuh kerut merut, tanda bahwa hatinya sedang risau dan pikirannya penuh dengan berbagai macam ingatan yang tidak menyenangkan hatinya. Pada masa itu, kerajaan Beng tak pernah terlepas dari pengaruh para sida-sida, yang mulanya diadakan untuk menjaga dalam istana yang penuh dengan selir dan dayang Kaisar tanpa adanya bahaya perjinaan antara mereka dan para petugas jaga.
Laki-laki yang sudah dikebiri itu tentu saja tidak mampu menggauli para wanita di istana, oleh karena itu hubungan mereka dengan penghuni istana menjadi akrab. Mereka amat dipercaya oleh Kaisar dan keluarga Kaisar sehingga banyak di antara mereka yang pandai mengambil hati Kaisar lalu mempengaruhi jalan pikiran Kaisar. Mula-mula, para lelaki kebiri ini dijadikan penjaga keamanan dan kesetiaan para selir dan dayang, akan tetapi lama kelamaan mereka menjadi penjilat dan pengaruh mereka amat besar. Karena mendapat kepercayaan Kaisar, tentu saja para pejabat di luar istana menaruh segan dan hormat kepada mereka. Ketika Ceng Tung menjadi Kaisar saja jumlah sida-sida sudah ratusan orang! Bong Thaikam berasal dari keluarga bangsawan. Dia memang sejak kecil bercita-cita besar, karena itu dia rela melenyapkan sifat jantannya, mengebiri dirinya menjadi sida-sida.
Dia melenyapkan gairah nafsunya terhadap wanita, dan dengan sendirinya nafsu itu dipusatkan kepada materi dan kedudukan, kemuliaan dan kehormatan. Sejak pemuda remaja dia sudah menjadi sida-sida di istana dan bergaul akrab dengan para pangeran sehingga dengan mudah dia dapat menaiki tangga pangkat sampai akhirnya, ketika Kaisar Ceng Tung menjadi Kaisar, dia sudah menjadi Thaikam kedua yang amat berpengaruh. Thaikam pertama yang amat berkuasa dan mempengaruhi Kaisar Ceng Tung adalah Thaikam Wang Cin. Akan tetapi ketika Thaikam Wang Cin mengawal Kaisan Ceng Tung ke utara terbunuh oleh orang-orang suku Oirat, otomatis yang berkuasa di istana tentu saja Bong Taijin atau Bong Thaikam. Apa yang menyebabkan Bong Thaikam hari itu hilir mudik di ruangan gedunya dengan murung? Beberapa kali dia menghantamkan kepalan tangan kanannya ke telapak tangan kirinya.
"Celaka, sekali ini aku salah perhitungan. Wah, semuanya serba salah!"
Demikian katanya, seperti memaki-maki diri sendiri karena kebodohannya. Mengapa? Dia sudah bersekutu dengan Tabib Loa untuk meracuni Kaisar Ceng Tung sampai mati dengan maksud agar Kaisar diganti dengan segera oleh Pangeran Mahkota Cu Jian Shen. Kini pangeran itu telah menjadi Kaisar dengan berjuluk Kaisar Ceng Hwa atau Kaisar Kian Cung (1465-1487). Dan celakanya, bagi Bong Thaikam, setelah pangeran itu menjadi Kaisar, ternyata Kaisar itu tidak mengindahkan semua usulnya dalam pemerintahan.
Kaisar muda ini berbeda dengan Ayahnya, berwatak keras dan tidak mudah menerima bujukannya! Inilah yang membuatnya uring-uringan. Pagi tadi dia menghadap Kaisar untuk meminta kenaikan pangkat bagi seorang menteri muda. Biasanya, usul kenaikan pangkat itu yang dia ajukan kepada mendiang Kaisar Ceng Tung, selalu mendapat tanggapan yang serius. Akan tetapi sekali ini, usulnya kepada Kaisar Kian Cung agar menaikkan pangkat Menteri Muda The Kiat sama sekali tidak ditanggapi dan Kaisar bahkan mengatakan bahwa dia mendapat berita yang tidak menguntungkan bagi Menteri Muda The Kiat itu yang kabarnya melakukan korupsi dalam pembangunan! Pada hal, Bong Thaikam telah menerima bingkisan yang amat berharga dan besar jumlahnya dari Menteri Muda The Kiat itu.
"Celaka, kalau terus begini sikapnya, matilah aku!"
Kata Bong Thaikam. Dan dia menjadi marah, marah kepada Kaisar Kian Cung yang dianggapnya Kaisar yang tidak mengenal budi. Bukankah dia yang membuat Kaisar itu cepat menduduki tahta kerajaan? Dia pula merupakan pendukung utama agar Pangeran Cu Jian Shen itu yang diangkatnya menjadi putera mahkota!
"Awas kau, manusia tak mengenal budi!"
Dia menggigit bibirnya dengan marah. Dia lalu memerintahkan pelayan untuk menyediakan kereta. Kemudian dia memerintahkan kusir untuk membawanya berkunjung kepada sekutunya, yaitu Panglima Coa di dalam bentengnya. Mendengar pendapat Bong Thaikam, Panglima Coa terkejut. Orang kebiri itu mengusulkan untuk melenyapkan nyawa Kaisar dan agar diganti dengan Kaisar lain yang dapat dikuasai!
"Akan tetapi, kalau menggunakan racun seperti dulu ketika kita menggunakan keahlian Tabib Loa, tentu akan menimbulkan kecurigaan. Kaisar Ceng Tung mati mendadak, kalau Kaisar yang sekarang mati mendadak pula, bukankah itu akan memancing kecurigaan?"
Kata Panglima Coa itu.
"Kita menggunakan cara lain. Pendeknya, Kaisar Kian Cung harus dilenyapkan, harus mati agar kita dapat mengangkat Pangeran Yin Seng menjadi penggantinya."
"Akan tetapi Pangeran Yin Seng amat lemah dan bahkan agak bodoh, lagi pula masih muda."
"Itulah yang terbaik bagi kita! Kita ambil suara terbanyak untuk memilih dia sebagai pengganti Kaisar dan tentang pemungutan suara, serahkan saja kepadaku. Semua orang akan memilih dia kalau sudah kuberi syarat. Pendeknya, sekali ini harus berhasil. Kalau diteruskan Kaisar Kian Cung memegang kekuasaan, mungkin saja pada suatu hari aku dan engkau akan kehilangan kedudukan, Ciangkun."
"Baiklah, aku akan mengabarkan dulu kepada Gubernur Cen di Lok-yang, dan kita mencari jalan terbaik yang aman jangan menimbulkan kecurigaan. Pula, memilih Pangeran Yin Seng itu kurasa bukan langkah yang baik, karena semua pejabat dan rakyat sudah tahu belaka betapa tololnya pangeran itu."
"Mudah, kalau Pangeran Yin Seng dianggap tidak memenuhi syarat, kita memilih pangeran lain, asal jangan keras hati seperti Kaisar Kian Cung."
Agak lega rasa hati Bong Thaikam setelah dia meninggalkan benteng Coa-Ciangkun dan rencananya disetujui oleh sekutunya.
Dia menyuruh kusir menjalankan keretanya perlahan saja ketika dia pulang dari benteng itu. Dia membuka tirai kereta sehingga jelas menikmati penghormatan yang diterima dari orang-orang itu yang mengenal pembesar yang berkuasa ini. Ketika keretanya tiba di sebuah tikungan, tiba-tiba saja kuda penarik kereta itu mengangkat kaki ke atas dan meringkik keras kemudian kuda itu kabur diturut oleh temannya yang terseret. Dua ekor kuda ini menjadi binal dan meloncat-loncat seperti kesetanan. Tentu saja Bong Thaikam menjadi pucat. Dia berpegang kepada tangan bangku di kereta itu dan menjerit-jerit minta tolong. Akan tetapi siapa berani menolong kereta yang sedang dibalapkan oleh dua ekor kura penariknya itu? Sang kusir sendiri tidak mampu menguasai kuda. Makin kuat dia menarik kendali, makin mengamuk kuda itu dan akhirnya sang kusir terpental keluar dari tempat duduknya.
Bong Thaikam semakin panik dan ketakutan. Pada saat itu, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang pemuda sudah duduk di atas punggung kuda yang binal itu, menjepit perut kuda dengan kedua kakinya dan tangannya menarik kendali yang berjuntai. Kuda itu akhirnya dapat berhenti dan meringkik ketakutan. Tanpa ada yang melihatnya, pemuda itu mencabut dua batang paku yang tadi menancap di dekat ekor kuda dan mengantungi paku-paku itu. Setelah berhasil berhenti, Bong Thaikam yang sudah setengah mati oleh guncangan kereta dan ketakutan segera turun dari dalam kereta. Sementara itu pasukan pengawal yang sudah mendengar akan malapetaka itu sudah datang memburu. Pemuda itu yang bukan lain adalah Cu Sin Lee, turun dari punggung kudanya dengan sikap tenang. Bong Thaikam segera menghampirinya,
"Ah, orang muda perkasa. Sungguh engkau lihai dan pemberani. Aku telah berhutang nyawa kepadamu! Katakan, apa yang kauharapkan sebagai imbalan jasamu ini?"
Sin Lee memberi hormat dan berkata,
"Kalau Taijin tidak berkeberatan, saya ingin bicara dengan Taijin. Pertemuan ini sungguh kebetulan, karena memang saya ingin menghadap Taijin."
Bong Taijin membelalakkan matanya,
"Mau bicara dengan aku? Boleh, boleh, bahkan aku akan senang sekali kalau engkau dapat bekerja padaku orang muda."
"Karena kusir paduka sudah terpental keluar, bagaimana kalau saya yang menggantikannya mengantar paduka pulang?"
"Bagus, engkau memang pandai dan menyenangkan!"
Pembesar gendut itu dengan girang memasuki lagi keretanya dan menyuruh pergi para pengawal yang datang terlambat itu. Setelah mereka berhadapan duduk di ruangan dalam, Bong Taijin lalu berkata,
"Orang muda, siapakah namamu dan urusan apa yang hendak kaubicarakan denganku?"
Mendengar pertanyaan itu, Sin Lee lalu bangkit dan menjatuhkan diri berlutut.
"Taijin, saya mempunyai urusan penasaran dan hanya padukalah yang akan mampu menolong saya!"
Bong Thaikam tersenyum, mengelus dagunya yang tak berjenggot.
"Jangan khawatir, orang muda. Semua urusan akan menjadi beres kalau aku yang menanganinya. Katakan, urusan apakah itu?"
"Sebelumnya, saya harap Taijin suka memeriksa benda ini dan apakah Taijin mengenalnya?"
Sin Lee melepas kalung yang melingkari lehernya dan memperlihatkan hiasan kalung dari batu kemala itu. Bong Thaikam menerimanya dan begitu melihat benda itu, wajahnya menjadi pucat. Tentu saja dia mengenal kalung kekuasaan dari mendiang Kaisar Ceng Tung! Dia memandang wajah pemuda itu penuh selidik.
"Eh? Dari mana engkau mendapatkan kalung ini, orang muda?"
"Kalung itu adalah peninggalan Ayahku yang diberikan kepada ibuku ketika Ayah meninggalkan ibuku,"
Jawab Sin Lee.
"Dan engkau tahu siapa Ayahmu?"
"Mendiang Kaisar Ceng Tung...!"
Otak dari Bong Thaikam memang cerdas dan dapat bekerja cepat sekali. Seketika dia sudah dapat mengatasi kekagetannya bahkan sudah dapat merencanakan apa yang harus diperbuatnya dalam keadaan seperti itu. Serta merta dia menunduk dan membangunkan pemuda itu.
(Lanjut ke Jilid 07)
Pendekar Bunga Merah (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 07
"Paduka pangeran! Jangan merendahkan diri seperti ini. Hamba adalah abdi paduka pangeran!"
"Aih, paman, jangan begitu. Biarlah saya menyebut paman dan paman anggap saya sebagai keponakan sendiri karena saya sungguh mengharapkan bantuan paman. Saya merasa penasaran sekali karena Ayah kandung saya itu, Kaisar Ceng Tung, telah menyia-nyiakan ibu dan saya berhak untuk menjadi pangeran di sini, bukan? Sayang sekali, saya terlambat untuk membalas dendam karena orang yang menjadi Ayah kandung saya itu telah meninggal dunia."
"Pangeran, tentu saja saya siap untuk bekerja sama. Siapakah nama paduka?"
"Nama saya pemberian Ayah adalah Cu Sian Lee. Kalau saya dapat menjadi pangeran, apalagi pangeran mahkota, tentu saya tidak akan melupakan budi kebaikan paman!"
Bong Thaikam tertawa. Sungguh pemuda ini seperti dikirim oleh para dewa untuk menolongnya. Pemuda ini perkasa, dan penuh nafsu dendam, sungguh cocok untuk dijadikan sekutu.
"Pangeran Cu Sin Lee, sungguh kebetulan sekali. Ketahuilah, menurut dugaan kami, Ayah kandung paduka itu mati keracunan, dibunuh oleh Kaisar Kian Cung yang sekarang ini."
"Ah, bukankah dia masih putera sulung dari Ayahanda Kaisar?"
"Benar, akan tetapi dia terlalu murka dan tergesa-gesa hendak menjadi Kaisar."
"Alangkah jahatnya!"
Sin Lee pura-pura marah pada hal tentu saja dia meragukan keterangan ini. Dia memang mencari jalan untuk mendekati Thaikam ini, untuk menyelidiki tentang kematian Ayah kandungnya. Tadi, dia sengaja menyerang kuda kereta itu dengan paku dan ketika kuda itu menjadi kesakitan dan kabur, dia lalu turun tangan menolong. Usahanya berhasil dan kini dia sudah diterima oleh Bong Thaikam.
"Memang dia jahat. Akan tetapi siapakah yang berani menentangnya? Apa lagi dia telah menjadi Kaisar."
"Ah, kalau begitu akan sia-sia saja cita-citaku membalas dendam Ayahku?"
Sin Lee berkata dengan nada sedih. Bong Thaikam memandang tajam.
"Benar-benarkah paduka ingin membalas dendam atas kematian yang tidak wajar dari Ayahanda paduka itu, pangeran?"
"Tentu saja!"
Akan tetapi mana mungkin? Dia sudah menjadi seorang Kaisar, tentu sukar untuk didekati."
"Jangan khawatir, pangeran. Kalau paduka bekerja sama dengan saya, kalau paduka suka tentu saja kita dapat melaksanakan niat paduka itu. Kita membunuh Kaisar dan paduka yang menjadi penggantinya, bagaimana?"
"Paman, apakah paman bukan hanya bermimpi?"
Sin Lee memancing.
"Ada jalannya untuk mendekati dia, pangeran. Pertama-tama paduka akan saya perkenalkan kepada Kaisar sebagai seorang pangeran dengan tanda kemala yang paduka bawa. Kalau paduka sudah diterima dan dapat berdekatan dengan kakak paduka itu, mudah saja kelak kita mengatur siasat."
"Baik sekali, paman. Saya menyerahkan nasib saya kepada paman dan akan mentaati semua petunjuk paman!"
Kata Sin Lee dengan girang. Sejak pertama saja dia sudah mengenal bahwa sida-sida ini seorang yang berhati palsu dan amat jahat. Teringat dia akan cerita Ayah tirinya dan dia hampir yakin bahwa orang kebiri inilah yang mengusahakan kematian Ayah kandungnya dengan cara meracuninya. Dia akan bersandiwara terus agar memperoleh kepercayaannya dan mengetahui semua rencana jahatnya.
"Tinggallah paduka di sini dulu, pangeran. Berganti pakaian sebagai seorang pangeran dan pada saat yang tepat paduka akan saya bawa menghadap Sribaginda Kaisar. Saya juga harus memberitahu kepada sekutu saya."
Demikianlah, untuk beberapa hari lamanya Sin Lee tinggal di dalam istana itu dan diam-diam dia heran sekali bagaimana seorang pejabat dapat memiliki istana sehebat itu. Kekayaan yang dimiliki Thaikam ini sungguh tak ternilai besarnya. Andaikata Kaisar Kian Cung dapat dijadikan boneka oleh Bong Thaikam dan kawan-kawannya, mungkin akan lain sikapnya terhadap Sin Lee. Mungkin Sin Lee akan dianggap sebagai ancaman bagi mereka.
Akan tetapi, mereka sedang kecewa terhadap Kaisar Kian Cung yang tidak tunduk kepada mereka, dan melihat betapa Sin Lee bermaksud membalas dendam atas kematian Ayah kandungnya dan menuntut agar dijadikan pangeran, maka tentu mereka melihat Sin Lee sebagai orang yang cocok untuk diangkat menjadi pengganti Kaisar dan sekaligus menjadi boneka mereka! Para sekutu Bong Thaikam juga setuju dengan rencana yang diatur oleh Thaikam itu, dan beberapa hari kemudian, Sin Lee diantar oleh Bong Thaikam menghadap Kaisar! Ketika itu persidangan lengkap dan sebagian besar dan para menteri yang hadir sudah dipengaruhi oleh Bong Thaikam. Ketika Bong Thaikam datang menghadap bersama seorang pemuda gagah yang berpakaian indah, berlutut di depannya, Kaisar Kian Cung memandang heran dan bertanya kepada Thaikam itu.
"Bong Thaikam, siapakah pemuda yang kau bawa menghadap ini? Kami tidak mengenalnya sebagai seorang pejabat istana."
"Ampun, Yang Mulia, memang dia bukanlah pejabat istana. Sebelum hamba memperkenalkan dia, lebih dulu hamba mohon paduka mengenali benda ini yang selalu tergantung di lehernya."
Sin Lee yang sudah diberitahu sebelumnya lalu melepas kalungnya dan menyerahkannya kepada Bong Thaikam yang kemudian sambil berlutut menghaturkan benda itu kepada Kaisar. Kaisar Kian Cung menerimanya, terbelalak heran dan mengeluarkan benda serupa yang tergantung di lehernya sendiri. Ternyata benda itu serupa.
"Hemmm, orang muda, dari mana engkau memperoleh benda ini?"
Tanyanya sambil memandang dengan penuh perhatian.
"Hamba mendapatkannya dari mendiang ibu hamba, sebagai peninggalan dari Ayah kandung hamba,"
Jawab Sin Lee dengan sikap hormat.
"Siapa Ayah kandungmu?"
Tanya pula Kaisar itu dengan suara agak gemetar.
"Ayah kandung hamba adalah mendiang Yang Mulia Kaisar Ceng Tung."
Semua orang yang hadir di situ terkejut sekali. Juga Kaisar Kian Cung terkejut dan bertanya kepada Bong Thaikam.
"Bong Thaikam, benarkah keterangan orang muda ini?"
"Ampun, Yang Mulia. Hamba sudah memeriksanya dengan seksama dan memang keterangan itu benar. Ketika mendiang Yang Mulia Ayah paduka menjadi tawanan di utara, beliau memiliki seorang isteri yang kini telah meninggal dunia, dan meninggalkan seorang putera. Sebelum beliau kembali ke selatan, sebagai tanda bahwa beliau meninggalkan seorang keturunan, beliau meninggalkan tanda kemala itu. Semua ini memang benar, Yang Mulia."
"Ah...!"
Kaisar terkejut akan tetapi wajahnya memperlihatkan kegembiraan.
"Kalau begitu, pemuda ini adalah saudaraku sendiri. Dia adalah adikku, seorang pangeran. Orang muda, siapakah namamu?"
"Nama hamba Cu Sin Lee, Yang Mulia.
"Cu Sin Lee? Ah, mulai sekarang engkau adalah Pangeran Cu Sin Lee! Bangkitlah, Sin Lee."
"Terima kasih, Yang Mulia."
"Aku adalah kakanda Kaisar bagimu, dan engkau adalah dinda pangeran bagiku."
"Terima kasih, kakanda Kaisar,"
Sin Lee merasa terharu sekali. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa Kaisar ini demikian ramah dan telah menyambutnya dengan baik, seperti saudara sendiri. Kaisar yang bergembira itu lalu membubarkan persidangan karena dia ingin sekali membawa Sin Lee dan memperkenalkannya kepada Ibu Suri dan keluarga yang lain.
Karena Sin Lee menjadi pangeran kedua dan semua pangeran yang lain termasuk puteri-puteri Kaisar menjadi adik-adiknya, maka dia disambut dengan hormat dan ramah. Tentu saja, Sin Lee yang tadinya tidak mengira demikian, segera dapat merasakan mana pihak yang baik mana yang tidak. Jelas bahwa keluarga Kaisar ini, juga keluarganya dari pihak Ayah kandungnya, adalah orang-orang yang baik hati. Sedangkan Bong Thaikam yang merencanakan pembunuhan terhadap Kaisar ini jelas orang jahat. Sebuah pesta keluarga diadakan untuk menyambut kedatangan Sin Lee yang dihujani pertanyaan. Terpaksa Sin Lee menceritakan tentang ibunya dan dia tidak mau menceritakan bahwa ibu kandungnya telah menikah dengan orang lain bahkan pernah berkunjung dan menjadi tamu istana ini, kemudian mati terbunuh di tempat ini.
"Aih, Sin Lee. Kedatanganmu ini mengingatkan kami akan peristiwa yang menyedihkan itu, ketika Ayahmu meninggal dunia secara mendadak karena penyakit yang aneh, yang membuat kukunya berubah menjadi hitam semua,"
Kata Ibu Suri, yaitu ibu kandung Kaisar Kian Cung.
"Peristiwa apakah itu, Ibunda?"
Tanya Sin Lee yang cepat dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan di situ, juga tentang sebutan dia tidak canggung karena sebelumnya dia memang telah diberi petunjuk yang jelas oleh Bong Thaikam. Ibu Suri memandang kepada Kaisar Kian Cung dan berkata,
"Ah, terlalu menyedihkan. Paduka saja yang menceritakan kepadanya, puteranda Kaisar!"
Ini bukan merupakan perintah melainkan permintaan dari seorang ibu kepada anaknya.
"Begini, adinda pangeran. Di sini telah datang sepasang suami isteri yang menjadi sahabat Ayahanda, yaitu pendekar Liu Siong Ki dan isterinya. Nah, pada waktu mereka masih menjadi tamu yang disukai Ayahanda, ketika tiba-tiba Ayahanda almarhum jatuh sakit aneh dan tiga hari kemudian beliau wafat. Dan pada malam harinya, suami isteri itu ketahuan telah berada di kamar jenazah dan membongkar peti mati. Mereka lalu dikeroyok oleh para pengawal sehingga si isteri tewas dan si suami melarikan diri. Sampai sekarang tidak ditemukan jejak Liu Siong Ki itu."
Sin Lee hanya mengangguk. Tentu saja dia lebih tahu dari pada mereka tentang perbuatan Ayah tiri dan ibunya itu. Karena Sin Lee bersikap sederhana dan pandai membawa diri, maka Kaisar dan seluruh keluarga kerajaan dapat menerimanya dan akrab dengannya.
Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia mendapatkan sebuah bangunan samping di istana. Tentu saja Bong Thaikam girang bukan main melihat betapa Sin Lee diterima oleh Kaisar bahkan kini bergaul dekat dengan Kaisar, sehingga akan memudahkan melaksanakan rencana siasatnya. Diapun diam-diam bersama para sekutunya mengatur rencana lain yang tidak diketahui pemuda itu untuk menguji sampai di mana kesungguhan hati dan kesetiaan Sin Lee untuk bekerja sama dan melaksanakan niat mereka menyingkirkan Kaisar. Pada suatu malam, Sin Lee diundang oleh Bong Thaikam ke rumahnya. Setelah Sin Lee datang, Bong Thaikam dengan muka ketakutan memberitahukan bahwa menurut para penyelidiknya malam itu akan datang pembunuh yang dikirim oleh pembesar-pembesar yang menjadi saigannya untuk membunuhnya. Sin Lee mengerutkan alisnya.
"Mengapa ada pejabat yang hendak membunuhmu, Paman Bong? Apa alasan mereka untuk melakukan pembunuhan itu?"
"Aih, paduka belum tahu, pangeran. Di antara pejabat tinggi, banyak yang merasa iri dengan kedudukanku. Bahkan Kaisarpun selalu curiga kepadaku karena agaknya Kaisar telah mencium keterangan bahwa aku mengerti sebab-sebab kematian mendiang Sribaginda Ayah paduka. Dan para penyelidikku mendengar bahwa mereka malam ini akan mengirim pembunuh-pembunuh lihai untuk membunuhku."
"Takut apa, paman? Bukankah paman mempunyai banyak pengawal jagoan? Dan kalau paman memberi tahu kepada Panglima Coa, saya kira Panglima akan mampu melindungi paman dengan mengirim pasukan khusus."
"Ah, usaha mereka itu rahasia, maka harus dihadapi dengan rahasia pula. Kalau secara ramai-ramai tentu akan terdengar banyak orang dan kalau Sribaginda mendengar bahwa saya dimusuhi oleh pembesar lain, tentu tidak enak jadinya. Saya teringat akan kelihaian paduka, maka saya mengundang paduka untuk melindungi saya dari ancaman ini."
Sin Lee tersenyum.
"Paman Bong telah menolong saya sehingga saya dapat diterima dengan baik oleh kakanda Kaisar, tentu saja saya suka membantu paman. Jangan khawatir, paman. Serahkan saja kepadaku. Dan paman boleh bersembunyi dan juga tidur dengan nyenyak. Bawalah setangkai bunga ini untuk menentramkan hati paman."
Dia lalu mencabut bunga merah dari kancing bajunya dan menyerahkan kepada Bong Thaikam.
"Bong Thaikam menerimanya dan dia tersenyum lega.
"Pangeran, nyawaku tergantung kepadamu."
"Jangan khawatir. Saya akan melindungi paman dengan taruhan nyawaku."
Bong Thaikam lalu mengundurkan diri dan membawa keluarganya bersembunyi. Sementara itu, dia menyuruh pelayan untuk menyediakan makan minum bagi pangeran itu. Sin Lee berpikir tegas. Apa artinya semua datang untuk mengambil nyawa Bong Thaikam? Siapa pembunuh yang ini? Benarkah, bahwa akan ada pembunuh yang nekat itu? Dia jadi ingin sekali mengetahuinya. Malam itu dia menerima pesan melalui surat dari Bong Thaikam bahwa kalau pembunuh muncul agar ditangkap hidup-hidup karena dia ingin mengorek keterangannya siapa yang menyuruh mereka mencoba melakukan pembunuhan.
Sampai tengah malam tidak terjadi sesuatu. Sin Lee yang tadinya menjaga di ruangan tamu, menjadi jemu dan dia lalu keluar. Ternyata tempat seperti itu biasa dijaga oleh para pengawal. Di depan, di belakang, dan setiap kali diadakan perondaan ke dalam dan sekeliling gedung. Cukup terjaga dan aman, pikirnya. Lalu siapa yang akan berani mencuri masuk? Lewat tengah malam dia merasa mengantuk. Untuk menghilangkan kantuknya, Sin Lee lalu melompat ke atas genteng. Di wuwungan rumah ini semua dapat terlihat karena malam itu kebetulan bulan sudah muncul dengan gemilangnya walaupun hanya tiga perempat bulatan. Mendadak perhatiannya tertarik oleh tiga sosok bayangan yang gerakannya cepat sekali. Tiga sosok bayangan itu melompati pagar tembok dengan kecepatan yang membuat para penjaga sukar dapat melihatnya. Tiga sosok bayangan itu lalu menyusup ke dalam taman.
"Hem, itu mereka datang!"
Pikir Sin Lee dan diapun cepat melayang turun dan menanti di pintu tembusan dari taman yang menuju ke ruangan belakang. Tak lama dia menanti. Terdengar bunyi di pintu dan dia membiarkannya saja. Setelah daun pintu terbuka dan tiga orang berkedok hitam memasuki ruangan itu barulah dia muncul. Dia tidak memanggil penjaga, karena dia ingin menghadapi mereka sendiri saja.
"Bagus, tiga ekor cacing busuk berani mengganggu ketentraman rumah orang!"
Katanya sambil memegang pedangnya. Tiga orang berkedok itu terkejut dan mereka mencabut pedang masing-masing, lalu tanpa banyak cakap lagi mereka bertiga mengeroyok Sin Lee.
Gerakan pedang mereka cepat dan kuat sehingga nampak tiga gulungan sinar pedang yang menyambar-nyambar. Melihat bahwa para pembunuh itu ternyata bukan orang sembarangan, Sin Lee lalu menggerakkan pedangnya dengan ilmu pedang Bu-tong-pai yang sudah disempurnakan oleh gemblengan Ciu-sian Lo-kai Ong Su. Ilmu pedang yang dimainkan oleh Sin Lee kini bercampur dengan jurus-jurus ilmu tongkat Dewa Arak itu sehingga gerakannya aneh dan sukar diikuti perkembangannya. Tiga orang pembunuh itu hanya mendengar suara berciutan dan sinar panjang menyambar. Begitu tertangkis oleh pedang di tangan Sin Lee, pedang mereka terpental dan hampir terlepas dari pegangan, membuat mereka terkejut bukan main. Kini, mereka bertiga membuat gerakan mengepung dengan mengambil kedudukan segi tiga.
Dan gerakan mereka begitu teratur semacam barisan. Dan memang sesungguhnya tiga orang itu telah memasang barisan yang disebut Sha-kak Kiam tin (Barisan Pedang Segi Tiga). Kalau seorang menyerang maka dua orang lain melindungi dan menyusulkan serangan. Yang diserang lalu berbalik melindungi dan yang dibelakang melakukan serangan, begitu berganti-ganti sehingga Sin Lee terkejut karena dia segera terdesak oleh cara penyerangan lawan seperti itu. Dia mencoba keluar dari kepungan dengan berloncatan ke sana sini, akan tetapi dengan gerakan aneh, sebentar saja dia sudah terkepung kembali oleh bentuk segi tiga itu. Dan tiga orang itu cepat sekali mengubah-ubah kedudukan mereka. Kadang mereka mengepung dari depan, kanan dan kiri. Sedetik kemudian sudah berubah menjadi kepungan dari belakang, kanan dan kiri, atau depan, belakang, dan kiri.
Dengan demikian, Sin Lee harus berputar-putar dan kini dia lebih banyak menangkis dari pada menyerang. Kemudian dia teringat akan sebuah ilmu yang dipelajari dari Ciu-Sian Lo-Kai, yaitu ilmu pedang Ciu-cwi-jip-pek-kiam (Pemabok Menyerbu Ratusan Pedang). Sebetulnya jurus inipun berdasarkan ilmu pedang Bu-tong-pai yang bernama Ilmu Pedang Dewa Mabok, akan tetapi Ciu-Sian Lo-Kai diubah sedemikian rupa, digabungkan dengan ilmunya sendiri dan jadilah Ciu-cwi-jip-pek-kiam itu. Kini gerakan Sin Lee menjadi aneh. Dia terhuyung ke sana ke mari seperti orang mabok, akan tetapi pedangnya membuat gerakan yang kacau dan sukar diikuti gerakannya oleh tiga orang pengepungnya. Serangan dipusatkan kepada seorang pengepung, dan dengan gerakan terhuyung itu dia menghindarkan diri dari serangan yang dua orang lagi.
Dengan cara demikian, maka kacaulah, pengepungnya itu dan pada saat yang baik ketika seorang lawan lengah, kakinya menendang dan mengenai dada orang itu membuat dia terjengkang dan pedangnya terlepas, orangnya pingsan. Semakin kacau pengeroyokan kedua orang itu setelah seorang di antara mereka pingsan. Dengan mudah Sin Lee kini balas mengepung dengan sinar pedangnya dan dalam waktu singkat dia sudah mampu merobohkan yang dua orang lagi dengan luka di paha dan pundaknya. Dia memenuhi permintaan Bong Thaikam untuk tidak membunuh mereka, hanya melukai mereka saja. Tiga orang itu merintih dan pada saat itu, pintu dari sebelah dalam terbuka dan muncullah Bong Taijin sambil bertepuk tangan dengan wajah gembira sekali.
"Ah, paman....?"
Tanya Sin Lee dengan heran bagaimana orang yang seharusnya bersembunyi itu dapat muncul demikian cepat dan tiba-tiba.
"Saya sejak tadi mengintai di balik pintu ini, pangeran. Wah, hebat sekali paduka! Tiga orang ini adalah Huang-ho Sam-liong (Tiga Naga Sungai Kuning) dan pangeran telah dapat mengalahkan dengan mudah. Sam-liong, cepat kalian minta maaf kepada Pangeran Cu Sin Lee!"
Tiga orang itu melepas kedok mereka dan dengan menyeringai kesakitan mereka berlutut menghadap Sin Lee dan seorang di antara mereka berkata,
"Harap paduka maafkan hamba bertiga. Hamba mengaku kalah."
Sin Lee tertegun.
"Paman, apa artinya ini semua?"
"Mari kita bicara di dalam,"
Kata si gendut pendek itu dan dia memerintahkan kepada Huang ho Sam liong untuk pergi mengobati luka mereka. Setelah berada di dalam, Bong Thaikam memberi hormat kepada Sin Lee dan memuji.
"Bukan main, ilmu silat paduka memang amat lihai dan ini menjamin berhasilnya usaha kita."
Sin Lee mengerutkan alisnya.
"Ah, jadi paman tadi hanya mencoba saya? Agaknya paman masih belum percaya kepada saya? Kalau begitu, kita tidak usah bekerja sama saja!"
"Mohon maaf, pangeran. Kami harus bersikap hati-hati dalam pekerjaan besar ini. Dan untuk menjadi Kaisar, paduka memang harus melalui ujian-ujian!"
"Menjadi Kaisar? Aku...? Apa maksudmu, paman Bong?"
"Tenanglah, pangeran. Bukankah paduka ingin sekali membalas kematian mendiang Ayahanda paduka? Nah, yang mengatur diracuninya mendiang Ayahanda padduka adalah Kaisar Kian Cung. Karena itu, beliau itulah yang harus dibalas. Dan kalau sudah berhasil beliau disingkirkan, kami akan mengusahakan agar paduka yang menggantikan kedudukan Kaisar, karena putera kedua adalah paduka!"
"Akan tetapi, saya... tidak mengerti apa-apa tentang pemerintahan. Bagaimana bisa menjadi Kaisar?"
Sin Lee bertanya.
"Ha-ha-ha, apakah paduka lupa bahwa di sini ada saya? Sayalah yang akan berdiri di belakang paduka dan paduka tinggal tanda tangan saja, saya yang akan mengatur semua urusan negara. Sedangkan untuk urusan ketentaraan, ada Panglima Coa. Di Lok-yang juga ada Gubernur Cen yang menjadi sahabat kita dalam urusan ini. Jadi, kalau nanti paduka yang menggantikan Kaisar, semua pejabat di istana tentu akan mengikuti langkah saya menyetujui, semua Panglima akan terpengaruh oleh Panglima Coa, dan para pejabat di Lok-yang sana akan diatur oleh Gubernur Cen. Nah, semua akan berjalan lancar, bukan?"
Sin Lee mengangguk-angguk.
"Paman sungguh cerdik sekali, membuat saya kagum. Saya senang sekali kalau mempunyai seorang penasihat seperti paman dan kalau saya menjadi Kaisar, tentu paman akan saya jadikan perdana menteri atau penasihat. Akan tetapi, paman, saya sudah tahu bahwa kakanda Kaisar yang meracuni Ayah saya, akan tetapi siapa yang membuatkan racunnya?"
Dia memancing.
"Dia Tabib nomor satu di kota raja ini, yaitu Tabib Loa. Di dunia, ini tidak akan ada obat yang dapat menyembuhkan orang terkena racun dari Tabib Loa."
"Hemm, kalau begitu, dia pembunuh Ayah saya juga. Saya harus membalasnya!"
"Ah, jangan salah mengerti, pangeran. Tabib Loa hanya dimintai racun oleh Kaisar Kian Cung, dia tidak tahu menahu tentang penggunaannya. Maka dia tidak bersalah dalam hal ini dan dia itu sewaktu-waktu amat berguna bagi kita."
"Hemm, apakah kita akan menggunakan racun pula untuk membunuh kakanda Kaisar?"
"Tidak, pangeran. Untuk mengatur siasat yang matang, saya sudah mengundang Gubernur Cen dari Lok-yang dan Panglima Coa untuk mengadakan perundingan di sini. Besok Gubernur Cen akan tiba di sini dan paduka juga dipersilakan hadir. Besok paduka akan mendengar bagaimana akan diatur urusan yang besar itu. Karena sekali pukul, tidak boleh gagal. Kegagalan akan berarti kematian bagi kita semua sekeluarga."
Sin Lee mengangguk-angguk dan dia lalu bermalam di rumah Bong Thaikam malam itu dan besok paginya, pagi-pagi sekali dia kembali ke istana setelah berjanji bahwa malam nanti akan datang lagi untuk menghadiri perundingan.
"Adinda Pangeran, ada urusan apakah engkau mohon bicara empat mata dengan aku?"
Tanya Kaisar Kian Cung setelah dia memenuhi permintaan Sin Lee untuk bicara empat mata di kamar Kaisar itu. Bahkan seorang dayangpun, tidak diperkenankan hadir.
"Ini rahasia besar yang menyangkut keselamatan paduka, karena itu tidak boleh seorangpun mendengarnya agar tidak sampai bocor, kakanda. Ada komplotan jahat yang merencanakan untuk membunuh paduka pada persidangan lengkap minggu depan.
"
"Ah, mana mungkin hal itu terjadi? Apa lagi dalam persidangan lengkap? Para Panglima dan pengawal tentu akan melindungi aku,"
Kata Kaisar tidak percaya.
"Komplotan ini lihai sekali, kakanda. Sebagian besar pejabat akan tidak berbuat sesuatu karena sudah dipengaruhi, juga para Panglima, bahkan para pengawal akan diganti dengan anak buah mereka. Istanapun akan dikepung pasukan komplotan itu."
Wajah Sribaginda Kaisar menjadi pucat dan dia bangkit berdiri.
"Siapa mereka? Kita harus turun tangan lebih dulu membasmi mereka sebelum mereka bergerak!"
"Harap kakanda tenang dan bersabar. Tanpa adanya bukti, mana mungkin paduka akan bertindak? Jangan-jangan malah saya yang akan dituduh melempar fitnah."
"Lalu, bagaimana baiknya? Siapakah komplotan busuk itu, adinda pangeran?"
"Paduka tidak akan percaya kalau saya beritahu, kakanda. Yang menjadi dalangnya adalah orang yang paduka paling percaya, yang dekat paduka, yaitu Bong Thaikam!"
"Ah, tidak mungkin...!"! Kaisar bangkit berdiri lagi, wajahnya pucat matanya terbelalak.
"Sudah hamba katakan bahwa paduka tentu tidak akan percaya. Dan paduka tahu, siapa komplotannya? Selain para pejabat, para menteri, juga Panglima Coa yang akan mengerahkan pasukan mengepung istana dalam pemberontakan itu."
"Panglima Coa...?"
Kembali Kaisar berkata seperti tidak percaya, akan tetapi dia menjadi lemas dan terduduk kembali.
"Dan satu di antara tiga tokoh besar dalam komplotan ini adalah Gubernur Cen di Lok-yang!"
"Apa? Dia adalah paman kita sendiri, adik dari Ibu Suri!"
"Begitulah, kakanda. Saya mengetahui benar karena saya juga tertarik oleh Bong Thaikam untuk menjadi komplotannya. Saya pura-pura mau untuk menyelidiki apa yang hendak mereka perbuat."
"Apa yang akan mereka lakukan dalam persidangan lengkap minggu depan itu?"
"Itu saya belum tahu benar, malam ini baru akan diadakan perundingan, dan akan dihadiri oleh Gubernur Cen dan Panglima Coa, juga saya. Karena itu, tenanglah, kakanda. Bahaya belum datang, dan nanti malam saya akan mengetahui semua rencana siasat mereka. Setelah itu, baru kita mengatur siasat untuk membasmi mereka. Paduka percaya kepada saya, bukan?"
Dengan kedua tangan gemetar Kaisar merangkul adiknya,
"Ah, adinda Cu Sin Lee, tidak kusangka bahwa engkau orangnya yang akan menyelamatkan kami, menyelamatkan kerajaan kita. Baik, kuserahkan kepadamu untuk mengatur."
"Memang sebaiknya begitu. Kalau sekarang paduka menyuruh tangkap mereka, lalu apa alasannya? Belum ada bukti dan tidak mungkin paduka menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang tidak terbukti kesalahannya. Apa lagi kalau mereka itu orang-orang berkedudukan tinggi seperti mereka. Tentu akan menimbulkan geger dan semua orang akan mencela perbuatan paduka. Sekarang, saya mohon kepada paduka agar memanggil Tabib Loa ke sini, akan tetapi harus secara rahasia dan tidak diketahui orang lain."
"Ada apa dengan Tabib itu?"
"Saya ingin menyelidiki siapa sebenarnya yang telah meracuni Ayahanda kita."
Kaisar menyetujui dan segera mengirim utusan, seorang pengawal kepercayaannya, untuk memanggil Tabib Loa ke istana dengan dalih bahwa ada seorang anggota keluarga yang sakit, kalau-kalau ada yang mengetahuinya walaupun panggilan itu dilakukan mendadak dan secara rahasia.
Tabib tinggi kurus itu terbongkok-bongkok memasuki istana dari pintu tembusan, diikuti perajurit pengawal kepercayaan Kaisar. Dengan membawa surat perintah Kaisar, dengan mudah mereka melewati para penjaga yang mengira bahwa tentu ada keluarga kerajaan yang sakit, maka memanggil Tabib terkenal itu. Ketika dibawa memasuki ruangan khusus, Tabib Loa menjadi heran karena yang menerimanya bukan Kaisar, melainkan seorang pemuda yang diketahuinya sebagai Pangeran Cu Sin Lee, yang belum lama diangkat menjadi pangeran, seorang pangeran peranakan Mongol! Dari Bong Thaikam diapun sudah tahu bahwa pangeran ini termasuk "Golongan sendiri"
Yang menjadi sekutu Bong Thaikam, maka dia tidak merasa takut.
"Selamat siang, Pangeran. Yang Mulia, Sribaginda mengutus orang memanggil saya, ada urusan apakah, Pangeran? Siapa yang menderita sakit?"
"Tidak ada yang sakit, Paman Loa. Akan tetapi, aku sengaja mengaku sakit kepada kakanda Kaisar sehingga kanda Kaisar berkenan memberi surat kuasa untuk mengundangmu. Sebetulnya, aku hanya ingin bicara penting kepadamu. Kalau aku yang datang ke rumahmu, mungkin akan menarik perhatian orang."
"Ada keperluan apakah, Pangeran?"
Tanya Tabib itu merasa heran dan tidak enak hati.
"Paman tentu tahu bahwa aku bekerja sama dengan Bong Thaikam. Aku sudah mengetahui segala yang dilakukan Paman Bong dengan Panglima Coa, Gubernur Cen dan termasuk engkau. Tentang kematian mendiang Kaisar Ceng Tung..."
"Hamba... hamba tidak tahu apa-apa, pangeran. Mendiang Kaisar diserang penyakit jantung dan hamba telah gagal mengobatinya, telah terlambat."
Sin Lee tersenyum,
"Sudahlah, paman. Aku sudah tahu semuanya. Kau tahu, aku juga membenci orang yang menjadi Ayahku itu karena dia telah menyia-nyiakan ibu dan aku, ditinggal di utara sana. Andaikan racunmu tidak membunuhnya, tentu aku juga akan datang membunuhnya."
"Racun...? Hamba tidak..."
"Sstt, Paman Loa. Paman Bong sudah menceritakan semuanya, engkau tidak perlu berpura-pura lagi. Bahkan aku sekarang membutuhkan racun seperti yang dulu kau berikan kepada Bong Thaikam. Engkau tentu memiliki racun serupa, bukan?"
Tabib itu merasa tersudut,
"Yaaah, kalau paduka sudah mengetahui semuanya, tentu paduka tahu pula bahwa semua itu direncanakan oleh Bong Taijin. Hamba hanya membuatkan racunnya saja, menyerahkan kepada Bong Taijin..."
"Kemudian engkau yang menjaga Kaisar yang sedang sakit, mencegahnya agar jangan ada orang lain yang memberinya obat penawar racun bukan? Aku mengetahui semuanya!"
Kata Sin Lee memancing dan pancingannya berhasil.
"Paduka sudah mengetahui semuanya, tidak perlu hamba menceritakan lagi."
"Dan tentang racun itu, apakah engkau sekarang membawanya, paman?"
Tabib itu membuka peti kecil yang tadi dibawanya,
"Hamba ada membawa sedikit, pangeran, Racun ini adalah racun dari lima macam ular berbisa, kerjanya halus dan orang yang makan tidak merasakan apa-apa, hanya lemas dan jatuh sakit. Selama tiga hari dia sakit dan tidak ada obat yang akan dapat menolongnya, tidak ada orang yang tahu bahwa dia keracunan. Hanya sayangnya, mayat orang itu akan menjadi hitam semua kukunya."
"Mana racun itu, paman. Aku membutuhkannya."
Tabib itu mengeluarkan sebuah botol kecil berisi cairan putih,
"Inilah, pangeran. Campurkan kepada makanan atau minuman tidak akan terasa apa-apa, akan tetapi racun sedikit ini saja cukup untuk membunuh lima orang."
Sin Lee yang sejak tadi sudah menahan kemarahannya, menerima botol itu, membuka tutupnya dan benar saja. Racun itu tidak mengeluarkan apapun.
"Nah, Paman Loa, sekarang bukalah mulutmu."
Tabib tua tinggi kurus itu terbelalak,
"Buka mulut? Apa maksud paduka...?"
Dia begitu heran sampai tidak menyangka buruk.
"Buka mulutmu, kataku!"
Kata Sin Lee dan baru sekarang Tabib Loa tahu apa maksudnya. Dia menjatuhkan diri berlutut,
"Ampun pangeran. Hamba tidak bersalah, hanya menaati perintah Bong Taijin... ahhhh, ampuni hambamu yang sudah tua ini..."
Dia meratap dan menangis. Kini suara Sin Lee terdengar berbeda. Suaranya dingin dan tegas, menyeramkan bagi Tabib itu.
"Ayah kandungku mati karena kau racuni. Nah, sekarang minumlah racun ini agar engkau segera menghadap beliau dan mempertanggung-jawabkan perbuatanmu!"
"Ti... tidak... ampun, pangeran... ampunkan hamba..."
Kakek itu menangis. Sin Lee menjadi gemas. Tangan kirinya menyambar, menangkap geraham Tabib itu dan sekali menekan mulut Tabib itu terbuka, lalu didorong ke belakang dan dia menuangkan semua isi botol ke dalam mulut yang terbuka dengan paksa itu. Terdengar suara gelogokan dan semua racun itu memasuki perut si Tabib. Sin Lee melepaskannya dan Tabib itu menangis, bergulingan di atas lantai karena racun itu terlalu banyak bagi perutnya sehingga menimbulkan rasa nyeri yang hebat, rasanya seperti ditusuk-tusuk jarum panas. Sin Lee bertepuk tangan memanggil dan dua orang pengawal kepercayaannya muncul.
"Bawa dia, seret ke dalam kamar tahanan dan biarkan dia mati, jangan sampai ada orang mengetahui hal ini."
"Baik, pangeran."
Kedua pengawal itu sudah diberitahu mengapa Tabib ini harus dibunuh sebagai hukuman atas kejahatannya, maka merekapun tanpa kasihan menyeret tubuh yang sudah berkelojotan itu keluar ruangan. Setelah itu, Sin Lee bersiap-siap untuk menghadiri pertemuan di rumah Bong Thaikam.
Malam itu, di dalam sebuah ruangan yang terang benderang karena dipasangi banyak lampu, mereka semua telah berkumpul mengelilingi sebuah meja besar. Bong Thaikam duduk di kepala meja, Sin Lee duduk di sebelah kanannya. Panglima Coa dengan pakaiannya yang mentereng. Lalu Gubernur Cen, yang sebetulnya juga seorang pangeran yang diangkat oleh mendiang Kaisar Ceng Tung menjadi gubernur di Lok yang, dan ada lima orang pejabat tinggi lainnya, yaitu tingkatan menteri dan menteri muda. Mula-mula Bong Thaikam memperkenalkan Pangeran Cu Sin Lee kepada mereka semua, kemudian dia menceritakan pertemuannya dengan Sin Lee yang kini sudah diterima oleh Kaisar dan diakui sebagai seorang pangeran atau adik Kaisar. Semua orang memandang kagum kepada Sin Lee yang seperti biasa, memakai setangkai bunga merah di kancing bajunya.
"Kami pernah mendengar bahwa ada seorang pendekar baru muncul, diberi julukan Pendekar Bunga Merah yang selalu memakai bunga merah di bajunya. Apakah ada hubungannya dengan paduka, pangeran?"
Bong Thaikam tertawa bergelak.
"Memang, inilah orangnya. Ilmu silatnya amat tangguh dan sudah kami uji sendiri. Kami beruntung mempunyai seorang sekutu seperti beliau ini. Beliau merasa sakit hati sekali mendengar bahwa Ayahanda beliau diracuni oleh Kaisar Kian Cung, maka bersedia membantu kita."
Semua orang mengangguk dan tersenyum. Tentu saja mereka tahu bahwa yang meracuni Kaisar Ceng Tung bukanlah Kaisar sekarang, melainkan komplotan mereka juga.
"Lalu bagaimana siasat itu direncanakan? Apakah hendak memakai racun? Ataukah dengan kekerasan?"
Tanya Panglima Coa yang ingin sekali gerakan itu berhasil, karena dia dijanjikan akan menjadi Panglima besar yang menjadi Panglima besar yang menjadi orang pertama di kalangan ketentaraan.
"Untuk merundingkan itulah kami mengundang cu-wi (anda sekalian) ke sini,"
Kata Bong Thaikam.
"Mari kita bicarakan bagaimana sebaiknya usaha itu diatur."
"Bong Taijin adalah orang yang paling dekat dengan Kaisar, tentu akan dapat melihat kesempatan-kesempatan yang paling baik untuk melaksanakan niat kita. Kami hanya menanti tugas saja, apa yang harus kami lakukan demi tercapainya cita-cita kita,"
Kata Gubernur Cen dari Lok-yang. Diapun dijanjikan kelak akan diangkat menjadi perdana menteri kalau gerakan itu berhasil, satu pangkat yang jauh lebih besar dari pada sekedar Gubernur! Lima orang penjabat lain juga mendesak agar Bong Thaikam saja yang mengatur dan mereka hanya membantu. Bong Thaikam mengangguk-angguk lalu berkata degan perlahan namun jelas.
"Membunuh dengan racun akan menimbulkan kecurigaan karena kematian Kaisar yang lalu juga karena keracunan. Sebaiknya dilakukan dengan kekerasaan, akan tetapi diatur agar aman betul. Pada persidangan lengkap minggu depan merupakan kesempatan baik sekali."
Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah, kenapa justru dalam persidangan lengkap? Berarti akan menemui banyak halangan dan disaksikan banyak pejabat!"
Bantah Coa Ciangkun.
"Justru kita membutuhkan saksi-saksi,"
Kata Bong Thaikam.
"Agar kelihatan bahwa para pembunuhnya bukanlah kami melainkan orang-orang berkedok yang lihai. Kita menyerahkan tugas ini kepada Huang-ho Sam-liong, dan Pangeran Cu Sin Lee inilah yang akan menjaga agar jangan sampai tiga orang pembunuh itu dihalangi. Kemudian, Coa-Ciangkun harus siap dengan pasukannya mengepung ruangan persidangan dan para pengawal akan saya ganti dengan orang kita sendiri. Juga diminta bantuan Coa-Ciangkun agar mengatur supaya para Panglima yang hadir adalah kawan-kawan kita. Cen-Taijin diperlukan kesaksiannya kelak bahwa pembunuhnya adalah orang-orang berkedok yang kita katakan saja bangsa asing yang menyelundup."
"Bangsa asing apa?"
Tanya Gubernur Cen.
"Sekarang ini di pantai timur terdapat banyak bajak laut Jepang. Kita dapat menggunakan nama mereka. Kalau para pembunuh itu mengenakan pakaian hitam dan penutup kepala hitam, dengan pedang samurai, tentu tidak meragukan lagi bahwa mereka adalah orang-orang Jepang, pembunuh bayaran Jepang yang dikenal dengan sebutan ninja. Bagaimana kalian pikir dengan siasat ini?"
"Baik sekali,"
Kata Panglima Coa.
"Akan tetapi, bagaimana dapat menyelundupkan mereka ke tempat persidangan tanpa diketahui?"
"Ha, ha, itu urusan mudah sekali. Dengan dalih melakukan penjagaan dan menjaga dengan pasukan pengawal khusus, saya dapat menyusupkan mereka di antara pasukan pengawal."
Demikianlah, siasat diatur sebaik-baiknya, bahkan di mana masing-masing akan berdiri telah ditentukan dalam perundingan itu,
Seolah mereka semua merupakan pemain panggung yang akan memainkan suatu lakon sandiwara, Sin Lee sendiri mempunyai tugas agar menjaga jangan sampai ada yang berani menghalangi pembunuhan itu dengan pura-pura menyerang orang yang hendak menghalangi dengan menuduhnya sebagai pembantu para pembunuh. Dan dia pula yang akan "Mengejar"
Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Suling Emas Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo