Pendekar Cengeng 4
Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
Mereka adalah lima orang kakak beradik she Teng berusia antara limapuluh sampai enampuluh tahun.
Setelah senja berganti malam, di sekitar tempat itu menjadi sunyi. Tidak tampak seorang jagoan pun yang menjaga rumah judi, mereka semuanya telah ber-sembunyi sesuai menurut rencana.
Diam-diam mereka telah mengurung rumah judi itu dan yang tampak di dalam po-koan itu cuma It-gan Hek-hauw beserta lima orang anak buahnya. Sebuah peti besar terisi seribu tail emas terletak di atas meja di tengah ruangan. Suasana sunyi sekali, pada wajah It-gan Hek-hauw dan lima orang anak buahnya terlihat jelas ketegangan hebat.
Berbeda dengan tiga hari yang lalu, kini It-gan Hek-hauw berpakaian ringkas, tidak seperti seorang majikan po-koan lagi, tetapi seperti seorang jago silat dan sebuah golok besar terselip di pinggangnya.
Juga lima orang anak buahnya semua membawa senjata tajam. Biarpun It-gan Hek-hauw tahu bahwa Ngo-tok-hai-liong lima orang sahabat yang ia andalkan berada di balik pintu dalam, dalam keadaan siap melindunginya serta di luar po-koan bersembunyi duapuluh orang lebih jagoan dari Gak-taijin namun tetap saja jantungnya berdebar-debar dan tenggorokan serta bibirnya selalu terasa kering.
Hari telah jauh malam ketika semua orang yang menanti-nanti dengan hati tegang itu tiba-tiba mendengar suara lengking suling memecah kesunyian malam.
Semua orang terkejut. Lebih-lebih lagi It-gan Hek-hauw Lauw Bu, ia meloncat dari tempat duduknya, lalu tangannya sudah meraba gagang senjata.
Suara suling itu makin nyaring lalu berhenti. Dari pekarangan depan masuklah Dewi Suling, pakaiannya yang serba merah itu tipis berkibar-kibar ketika ia melangkah masuk dengan bibir tersenyum manis. Kini di tangan kanannya tampak sebuah suling merah dan mengkilap, entah terbuat dari logam apa. Panjang suling itu seperti sebatang pedang.
Tanpa curiga serta ragu-ragu Dewi Suling melangkah masuk ke dalam ruangan judi dan ketika melihat It-gan Hek-hauw bersama lima orang anak buahnya di situ, ia memperlebar senyumnya serta matanya lalu melirik peti di atas meja.
"Hem, kulihat kau menepati janjimu, It-gan Hek-hauw!"
Kata Dewi Suling yang melangkah maju ke arah meja dan sekali tangan kirinya bergerak ia sudah mem-buka tutup peti dan melihat isinya, lalu tersenyum puas, tiba-tiba ia meniup su-lingnya lalu terdengarlah lengking yang amat tinggi sehingga It-gan Hek-hauw cepat mengerahkan lweekangnya untuk menahan serangan suara yang amat hebat itu.
Lima orang anak buahnya sudah terjungkal serta merintih kesakitan sambil menutupi kedua telinganya masing-masing, untung bagi mereka bahwa tiupan suling itu hanya sebentar saja dan agaknya merupakan sebuah isyarat karena di luar rumah terdengar derap kaki kuda dan roda kereta.
Ketika suling ditiup, lima orang jago tua Ngo-tok-hai-liong terkejut dan sudah muncul keluar dari tempat persembunyiannya sambil mencabut pedangnya ma-sing-masing, juga Lauw Bu mencabut goloknya setelah Dewi Suling menghentikan tiupan sulingnya, lima orang anak buahnya juga merayap bangun dengan muka yang sangat pucat.
"Hi, hi, hik! It-gan Hek-hauw! Aku tahu bahwa kau menyerahkan kepala menahan ekornya, kau menyerahkan emas namun diam-diam memasang jebakan! Lima ekor cacing laut menjaga di dalam, sedangkan tikus-tikus Gak-taijin menjaga di luar! Hi, hi, hik! Memang kau sialan, kehilangan uang masih akan kehilangan nyawa pula!"
Dewi Suling sama sekali tidak memberi kesempatan lawannya menjawab, begitu bicaranya habis, tubuhnya berkelebat ke depan. Hanya tampak bayangan merah menyambar dan tahu-tahu lima orang anak buah It-gan Hek-hauw menjerit dan mereka ini yang baru saja bangun sudah harus roboh kembali dan kali ini roboh tanpa nyawa!
It-gan Hek-hauw Lauw Bu dan lima orang kawannya menjadi marah sekali, mereka sudah bergerak menerjang dan mengurung yang dilayani oleh Dewi Suling sambil tertawa mengejek.
Pada saat itu empat orang tinggi besar berlari-lari masuk ke dalam ruangan judi, mereka sama sekali tak mempedulikan Dewi Suling yang sedang dikeroyok enam orang, melainkan langsung menghampiri meja dan mengangkat peti hitam berisi seribu tail emas! Akan tetapi seorang di antara mereka melirik dan melihat Dewi Suling dikeroyok enam orang lihai, ia mencabut pedangnya.
"Goblok! Jangan bantu aku, hayo cepat bawa peti itu pergi!"
Tiba-tiba Dewi Suling berseru keras dan orang itu cepat-cepat menyarungkan kembali pedangnya.
Mereka berempat lalu mengangkat peti keluar. Ketika empat orang ini mengangkat peti dimasukkan di dalam kereta yang sengaja mereka bawa, duapuluh orang lebih jagoan Gak-taijin hanya mengintai saja, perintah yang mereka terima sudah jelas, yaitu berusaha menangkap hidup-hidup atau mati Dewi Suling yang tadi memasuki rumah judi.
Karena ia melihat empat orang laki-laki tinggi besar yang tidak mereka kenal itu datang dengan kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda, kemudian memasuki Po-koan dan keluar lagi membawa peti hitam yang mereka masukkan ke dalam kereta lalu membalapkan kereta dari situ, para jagoan ini hanya memandang saja dan tidak turun tangan.
Akan tetapi It-gan Hek-hauw menjadi bingung dan marah sekali ketika melihat betapa peti hitamnya yang terisi seribu tail emas itu telah dibawa pergi oleh empat orang yang agaknya adalah anak buah Dewi Suling.
"Tahan mereka!"
Teriaknya pada lima orang kawannya sedangkan ia sendiri melompat hendak mengejar, akan tetapi sinar merah yang menyambarnya dari samping membuatnya terkejut sekali dan terpaksa melompat mundur sehingga suling yang menyerangnya itu mengenai tempat kosong.
Akan tetapi Dewi Suling sudah menerjang dengan gerakan-gerakan seperti halilintar menyambar ke arah enam orang pengeroyoknya sehingga mereka itu sama sekali tidak ada kesempatan untuk melakukan pengejaran terhadap empat orang yang sudah melarikan peti emas itu.
Apalagi kini Dewi Suling berdiri menghadang di pintu dan sinar sulingnya bergulung-gulung berwarna merah menyilaukan mata.
Ngo-tok-hai-liong biarpun sudah tua namun masih memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Pedang mereka panjang dan berat, dan selain ilmu pedang mereka lihai, juga mereka dapat bekerja sama sehingga membentuk sebuah kiam-tin (barisan pedang) yang tak boleh dipandang ringan. Kini mereka mengurung Dewi Suling dari lima penjuru dan menyerang secara teratur rapi berganti-ganti dan bertubi-tubi, dengan gerak penjagaan saling melindungi.
Menghadapi Ngo-tok-hai-liong ini saja Dewi Suling tidak berani memandang rendah, wanita iblis ini cukup berpengalaman dan cerdik. Tahulah ia bahwa untuk dapat keluar dari kepungan kiam-tin yang digerakkan oleh lima orang jagoan tua berpengalaman, ia harus berhati-hati sekali.
Maka ia menghadapi mereka dengan tenang, memutar sulingnya menangkis sana-sini sambil mengerahkan perhatian untuk mempelajari gerakan kiam-tin untuk memecahkannya.
Akan tetapi perhatiannya terganggu oleh terjangan bertubi-tubi dari It-gan Hek-hauw Lauw Bu yang marah sekali yang melihat banyak hartanya dibawa pergi teman-teman Dewi Suling. Golok besar di tangan Si Harimau Hitam Mata Satu ini berkelebatan seperti naga mengamuk sehingga menimbulkan angin bersuitan mengerikan.
"Dewi Suling! Kembalikan emasku, baru aku ampuni jiwamu!"
It-gan Hek-hauw Lauw Bu membentak sambil memutar goloknya karena dia serta lima orang kawannya mengurung, tampaknya wanita cantik itu akan bisa ditaklukkan.
Ia tidak ingin melihat wanita itu roboh di bawah tikaman senjata sehingga tewas, sehingga dengan begitu akan sukarlah buatnya untuk mendapatkan emasnya kembali yang ia tidak tahu dibawa pergi ke mana.
"Hi, hi, hik! Anjing buta, kaulah yang bakal mampus!"
Lauw Bu marah sekali, sambil berseru keras ia sudah menyerang dengan jurus mematikan, jurus simpanan, itulah jurus yang berasal dari jurus ilmu golok Bu-tong-pai yang disebut Tiong-sin-hiang-in (Menteri Setia Mempersembahkan Kebesaran). Golok yang semula berputar-putar cepat di depan dada itu tahu-tahu meluncur ke arah perut Dewi Suling, disusul dengan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka mencengkeram ke arah dada, karena gerakan ini susul-menyusul, maka andaikata lawan dapat menghindarkan diri tusukan golok yang hendak merobek perut, sukar buat menghindarkan cengkeraman ke arah dada.
Dan pada detik-detik berikutnya, lima orang bekas bajak itu sudah menggerakkan pedang masing-masing menutup semua jalan keluar serta siap pula menyerang dari semua penjuru!
Diam-diam Dewi Suling terkejut. Sebagai seorang terkenal di dunia kang-ouw yang sudah mengetahui ilmu-ilmu tinggi, ia maklum betapa bahayanya serangan enam orang itu. Ia tahu kalau ia mengelakkan serangan Lauw Bu, berarti ia akan terjeblos ke dalam perangkap di mana senjata-senjata enam orang itu akan tiba seperti hujan serta sukar baginya untuk meloloskan diri lagi.
Tiba-tiba dalam benaknya berkelebat satu pikiran yang-cerdik serta keji, akal yang hanya dapat dilakukan oleh seorang yang sudah berilmu seperti dia. Tenang-tenang ia menggerakkan suling merahnya itu menangkis golok Lauw Bu sambil mengerahkan lweekangnya yang ia tahu masih lebih tinggi dari lawannya. Ia mengerahkan tenaga "melekat"
Sehingga begitu suling merah bertemu golok, senjata ini saling menempel dan tak bisa dilepaskan lagi oleh It-gan Hek-hauw.
Di lain saat tangan kiri Lauw Bu ia biarkan saja mencengkeram ke arah dadanya, tanpa ditangkis maupun dielakkan! Hal ini amatlah aneh. Seperti diketahui, buah dada bagi seorang wanita merupakan bagian tubuh yang selain pantangan disentuh laki-laki asing dan juga merupakan bagian yang terlemah dan bisa mematikan.
Akan tetapi mengapa Dewi Suling membiarkan saja dadanya dicengkeram?
Begitu jari-jari tangan kiri Lauw Bu mencengkeram buah dada, ia mengeluarkan seruan kaget. Bagian tubuh ini menjadi keras dan licin seperti bola baja diminyaki, ia tahu lawan menggunakan lweekang yang hebat sekali dan maklum betapa dirinya berada di dalam bahaya.
Tetapi sudah terlambat, karena tiba-tiba tangan kiri Dewi Suling telah men-cengkeram bajunya di bagian dada dan tahu-tahu tubuhnya sudah terangkat ke atas lalu diputar-putar tanpa ia dapat berdaya lagi karena tubuhnya sudah tertotok kaku.
Lima orang kepala bajak itu menjadi kaget sekali melihat sinar merah menyambar seperti halilintar ke arah mereka. Cepat-cepat mereka menangkis dengan pedang, dan...... terdengar suara jeritan keras sekali disusul darah bercucuran keluar karena tangkisan mereka tadi bertemu dengan tubuh It-gan Hek-hauw yang tewas seketika itu juga.
"Hi, hi, hik,"
Dewi Suling tertawa mengejek, terus menggunakan kesempatan selagi lima orang lawannya itu melompat mundur saking kaget dan menyerang mereka dengan jarum-jarum merah halus yang sama sekali tidak bersuara.
"Celaka......"
"Awas jarum......"
Hanya dua orang di antara Ngo-tok-hai-liong selamat, mereka membuang diri ke belakang dan terhindar dari sambaran jarum-jarum merah itu. Akan tetapi tiga orang saudaranya roboh bergulingan di atas lantai sambil merintih-rintih seperti tiga ekor kucing dikeroyok semut.
Waktu mereka melihat ke depan Dewi Suling telah lenyap dari situ dan terdengar suara hiruk-pikuk di luar rumah judi. Mereka tahu bahwa para jagoan Gak-taijin sudah turun tangan maka mereka mementingkan dulu menolong tiga orang saudara mereka yang kena jarum beracun itu.
Dewi Suling yang sudah tahu bahwa di luar rumah judi itu terdapat duapuluh orang lebih jagoan Gak-taijin, tidak menjadi terperanjat ketika setibanya di luar pintu ia segera dikepung dan dikeroyok, ia dikepung rapat sehingga tidak sempat lagi menggunakan jarum-jarumnya, namun ia sama sekali tidak menjadi gentar.
Dengan gerakan lincah tubuhnya berkelebat ke sana ke mari laksana seekor burung walet menyambar lalat, sulingnya yang berwarna merah itu berubah menjadi gulungan sinar yang bersatu dengan bayangannya yang merah, hujan senjata itu sama sekali tidak dapat menyentuhnya.
Namun diam-diam ia mengeluh juga karena ternyata bahwa jagoan-jagoan ini memiliki kepandaian yang tak boleh dipandang ringan.
Kalau mereka itu maju satu-satu, atau jumlah mereka itu paling banyak sepuluh orang, tentu ia masih mampu merobohkan mereka semua dengan waktu singkat.
Akan tetapi jumlah mereka ternyata duapuluh empat orang dan mereka mengurung dengan rapat sekali, senjata mereka bermacam-macam dan datang bagaikan hujan, sehingga tidak mungkin lagi bagi Dewi Suling untuk mempertahankan gerakan mereka hanya mengandalkan kecepatan geraknya dan ketajaman pendengarannya untuk mengelak membuang diri meloncat menangkis dan seringkali ia harus memutar-mutarkan sulingnya di sekeliling tubuhnya, merubah gulungan sinar suling menjadi semacam benteng baja yang amat kokoh dan kuat.
Ouwyang Tek dan Gui Siong yang semenjak sore tadi bersembunyi dan mengintai, kini melihat Dewi Suling dikeroyok seperti itu mereka memandang dengan penuh kekaguman.
"Wah, dia hebat betul......"
Kata Ouwyang Tek perlahan.
Gui Siong mengangguk.
"Memang ilmunya tinggi sekali. Kita harus berhati-hati menghadapinya.
Sejenak keduanya tak berkata-kata, hanya memandang ke depan, selain kagum dan kaget juga mereka terheran-heran, karena sama sekali tidak pernah mengira bahwa yang disebut iblis betina bersuling itu adalah seorang gadis yang berpakaian merah tipis berwajah cantik jelita seperti itu! Tadinya mereka membayangkan bahwa tentu iblis betina itu seorang wanita yang sudah setengah tua dan amat menakutkan.
"Sute, kulihat ia terkurung rapat, kalau kita berdua turun tangan dengan mudah dapat merobohkannya,"
Kata Ouwyang Tek.
Akan tetapi Gui Siong menggeleng kepala.
"Ah, Suheng. Mana mungkin kita bersikap securang itu? Kalau kita bersekutu dengan mereka bukankah berarti kita berlaku curang dan merendahkan nama Suhu?"
Ouwyang Tek menghela napas.
"Kau benar, Sute. Biarlah kita menonton saja, syukur kalau-kalau ia dapat ditangkap atau dirobohkan mereka, kalau tidak, kita akan membayanginya dan mencari kesempatan menerjangnya."
Kepungan yang ketat itu benar-benar membuat Dewi Suling terdesak dan tak dapat balas menyerang. Ia menjadi marah sekali dan tiba-tiba tubuhnya mencelat tinggi di udara dan pada saat tubuhnya melayang itu, terdengar lengking sulingnya memekakkan telinga. Para pengeroyok menjadi kaget dan ada yang terhuyung-huyung dan sebelum tubuh Dewi Suling melayang turun ia sudah menghamburkan segenggam jarum merah ke bawah.
"Awas senjata rahasia......"
Para jagoan itu cepat memutar senjata menangkis atau loncat mengelak, namun masih ada dua di antara mereka yang roboh terkena jarum dan begitu Dewi Suling turun, sulingnya sudah menyambar ke depan dan robohlah seorang pengeroyok lain dengan kepala pecah.
Keganasan Dewi Suling ini membuat para pengeroyok kaget sekali. Mereka segera maju mengeroyok lagi dengan lebih ketat. Dan pada saat itu dari dalam rumah judi melayang keluar dua orang laki-laki dengan pedang di tangan yang berseru keras.
"Iblis betina, rasakan pembalasan kami!"
Kiranya mereka itu adalah dua di antara Ngo-tok-hai-liong yang menerjang keluar setelah menolong tiga orang saudara mereka.
Dengan kemarahan yang meluap-luap mereka maju dan menerjang dengan pe-dang, memperkuat barisan mengepung.
Kalau Dewi Suling tidak lekas-lekas dapat keluar dari kepungan, akan celakalah ia sekali ini. Diam-diam ia mulai menyesal mengapa ia berbuat iseng dengan Gak-kongcu lalu membunuhnya, kalau tidak, tentu ia tidak akan dikepung jagoan-jagoan yang dikerahkan Gak-taijin seperti sekarang ini.
Seratus jurus lebih telah lewat dan ia baru bisa merobohkan dua orang pengeroyok lagi. Akan tetapi ia sudah mulai lelah. Pertandingan ini bukan pertandingan biasa, karena dikeroyok begitu banyak, ia boleh dibilang sama sekali tidak mendapat kesempatan mengumpulkan napas, harus bergerak terus dan memecah perhatian ke segala penjuru. Hal ini amatlah melelahkan dan wajah Dewi Suling mulai berkeringat.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara orang berkata.
"Ahhh, mengapa begini haus darah manusia?"
Anehnya suara itu terdengar perlahan sekali, akan tetapi dapat mengatasi semua suara bentakan dan teriakan-teriakan mereka yang sedang mengurung Dewi Suling. Kemudian mendadak terdengar suara berkerosakan pada pohon besar yang tumbuh di luar rumah itu, disusul jatuhnya ribuan lembar daun pohon, seolah-olah ada angin taufan yang mengamuk. Anehnya, hanya pohon itu saja yang menjadi korban dan lebih aneh lagi, semua daun pohon itu melayang turun ke arena pertempuran.
(Lanjut ke Jilid 05)
Pendekar Cengeng (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 05
Tentu saja keadaan menjadi kacau. Biarpun hanya daun, akan tetapi karena amat banyaknya jadi membikin gelap keadaan di situ yang hanya diterangi oleh beberapa buah obor saja. Kekacauan dan kegelapan itu menguntungkan bagi Dewi Suling.
Dengan kepandaiannya, ia lalu membobol ke kiri terus menyelinap di antara pengeroyoknya yang untuk sementara dikacaukan oleh ribuan daun-daun yang melayang turun ke depan mata dan sekitar tubuh. Sesudah daun itu semua jatuh ke tanah serta mereka dapat melihat lagi dengan jelas, ternyata di situ sudah tidak lagi terlihat Dewi Suling. Dan dari jauh terdengar lengking suling sayup-sayup semakin jauh.
"Kejar!"
Akan tetapi mana mereka mampu mengejar? Suara suling itu makin lemah dan akhirnya lenyap! Tanda bahwa wanita itu sudah terlalu jauh pergi meninggalkan para pengejarnya.
Hanya Dewi Suling dan dua orang murid Siauw-bin-mo Hap Tojin yang melihat adanya seorang pemuda pakaian putih di bawah pohon tadi. Biarpun keadaan gelap dan mereka tak dapat melihat dengan jelas wajah orang itu, namun mereka dapat menduga tentu orang berpakaian putih itulah yang tadi mengeluarkan suara dan mengguncangkan pohon menolong Dewi Suling.
Akan tetapi baik Dewi Suling maupun Ouwyang Tek dan Gui Siong, tentu saja tidak sempat memperhatikan orang berpakaian putih karena Dewi Suling sudah cepat-cepat melarikan diri dan dua orang pemuda itu cepat-cepat melakukan pengejaran.
Ternyata Dewi Suling mempunyai ginkang yang luar biasa hebatnya. Biarpun Ouwyang Tek dan Gui Siong telah mengerahkan seluruh tenaga ginkang mereka, setelah mengejar satu jam masih juga mereka belum dapat menyusul.
Akan tetapi untung bagi mereka bahwa Dewi Suling berlari sambil membunyikan sulingnya, sehingga mereka dapat menduga ke arah mana larinya wanita itu.
Ini memang menjadi ciri khas Dewi Suling yang timbul dari kesombongannya. Ia selalu datang dan pergi dengan tanda suara sulingnya. Hal ini berarti bahwa ia datang dengan berterang dan pergi meninggalkan jejak karena ia maklum bahwa tidak seorang pun akan bisa menyusul larinya!
Ouwyang Tek dan Gui Siong bukanlah orang-orang yang ceroboh. Setelah Dewi Suling berhenti berlari dan hanya berjalan kaki, mereka pun lalu berjalan pula membayangi dari jauh. Di waktu malam gelap, tidak baik menyerang musuh yang belum dikenal betul kelihaiannya. Malah jangan-jangan mereka akan mengalami kegagalan. Maka mereka hanya mengikuti secara diam-diam dan berhenti kalau Dewi Suling duduk mengaso di bawah pohon terus bersila mengatur napas dan memulihkan tenaga.
Kemudian dua orang pemuda itu pun duduk bersila serta mengumpulkan tenaga, siap untuk bertanding melawan wanita perkasa itu apabila malam berganti pagi.
Tak lama kemudian kokok ayam hutan terdengar ramai, disusul kicauan burung yang menyambut datangnya pagi.
Kegelapan malam mulai terusir dan berganti warna kekuning-kuningan menjelang pagi. Dewi Suling bangkit berdiri lalu berjalan pergi dengan langkah perlahan. Dua orang pemuda itu pun bangkit dan mengikuti dari jauh. Dewi Suling lalu memasuki hutan dan berhenti di tepi sungai kecil yang airnya sangat jernih.
"
Mereka khawatir kalau-kalau iblis betina itu melarikan diri dengan menyeberang sehingga sukar dikejar lagi.
Ouwyang Tek dan Gui Siong lalu memberi isyarat dan keduanya segera melompat ke depan. Ouwyang Tek membentak dengan suaranya yang nyaring.
"Jalan perlahan-lahan kami hendak bicara!"
Dewi Suling membalikkan tubuhnya dengan cepat. Kekagetan pada wajahnya segera berubah menjadi sinar yang berseri-seri. Senyumnya manis sekali serta sepasang matanya melihat berganti-ganti kepada dua orang muda itu, menjelajahi seluruh tubuh mereka dari kepala sampai ke kaki. Keduanya adalah pemuda-pemuda yang tampan dan gagah, muda belia dan sukarlah dikatakan mana yang lebih ganteng.
Ouwyang Tek bertubuh tinggi besar dan kekar tegap seperti seekor harimau jantan, wajahnya membayangkan kegagahan dan kekuatan. Adapun Gui Siong berwajah tampan serta bersikap halus, mirip Gak-kongcu yang telah dibunuhnya.
Dewi Suling tersenyum semakin lebar lalu menjura dengan gerakan lemah-gemulai serta berkata dengan suara halus merdu.
"Siapakah Jiwi-enghiong (Kedua Tuan Pendekar) yang gagah perkasa? Dan ada keperluan apakah menyusul serta hendak bicara dengan siauw-moi (adik)?"
Dua orang muda itu saling pandang sekilas. Kalau saja tadi mereka tidak menyaksikan dengan mata sendiri betapa wanita ini dikeroyok tentu mereka tidak bisa percaya bahwa gadis cantik jelita inilah yang disebut Setan Suling. Wanita ini sama sekali bukan seperti iblis betina, melainkan lebih patut disebut bidadari. Cantik dan manis, juga sikapnya amat halus, sopan serta menyenangkan. Akan tetapi, sebagai dua orang muda berwatak pendekar, mereka dapat menekan perasaan hati lalu Ouwyang Tek membentak.
"Tidak perlu banyak omong lagi! Kami tahu bahwa engkau adalah Cui-siauw Sianli!"
"Hi-hi-hik!"
Wanita itu tertawa genit dan sikapnya memikat sekali.
"Aku disebut Sianli (Dewi) oleh orang-orang kasar itu sangat menyebalkan, tetapi kalau Ji-wi yang menyebut Sianli, ah, Jiwi-enghiong, benarkah ucapan Ji-wi Kongcu, benarkah Ji-wi menganggap aku patut disebut dewi?"
Dua orang muda itu baru saja keluar dari perguruan dan menghadapi musuh seperti ini, dirayu dengan omongan halus dan sikap manis begini, mereka menjadi bingung, bulu tengkuk mereka meremang berdiri sehingga mereka saling pandang serta buat sejenak mereka tak bisa berkata-kata.
"Hi-hi-hik! Kebetulan sekali Ji-wi datang, kalau terlambat sedikit lagi tentu Siauw-moi sudah turun mandi...... ah, memalukan sekali kalau begitu. Akan tetapi, setelah Ji-wi datang ke sini dan air demikian jernih, bagaimana kalau Ji-wi menemani siauw-moi untuk mandi bersama?"
"Hm, perempuan jahat! Kami datang bukan untuk bercumbu denganmu! Kami sudah tahu akan sepak terjangmu mengacau kota Ho-pak dan malam tadi melakukan pembunuhan besar-besaran di Lok-nam Po-koan!"
Bentak Gui Siong memecahkan keadaan yang amat tidak enak bagi mereka itu.
Andaikata mereka berdua disambut oleh serangan, maka itu tidak membingungkan. Akan tetapi kini disambut oleh senyum, kerling dan kata-kata manis merayu, ini benar-benar membuat mereka bingung serta tak tahu harus berbuat apa, sesungguhnya di dalam hati mereka sama sekali tidak tunduk oleh rayuan ini.
Dewi Suling menggerakkan kedua alisnya yang panjang dan hitam, bibirnya yang merah dan tersenyum-senyum itu mengejek.
"Aha, kiranya kalian ini adalah sekutu dari It-gan Hek-hauw, si keparat yang curang? Sayang...... sayang sekali, semuda ini sudah menjadi kaki tangan manusia macam It-gan......"
"Cukup!"
Bentak Ouwyang Tek dengan marah.
"Aku Ouwyang Tek dan suteku ini Gui Siong bukanlah orang-orang macam itu! Kami sengaja datang diutus oleh Suhu untuk menangkapmu dan mengakhiri kejahatanmu. Kami sama sekali bukan sekutu siapapun juga. Kalau hanya perbuatanmu di Lok-nam Po-koan, belum tentu kami sudi turun tangan. Akan tetapi kami sudah mendengar tentang perbuatanmu yang keji terhadap pengantin laki-laki she Bhok, kemudian Gak-kongcu! Kau patut dibasmi dan lebih baik kau menyerah untuk kami bawa ke Ho-pak!"
Dewi Suling kembali tersenyum mengejek, sambil menatap wajah Ouwyang Tek yang gagah itu.
"Hm...... hm...... Ouwyang Tek dan Gui Siong. Nama yang bagus sesuai dengan orangnya. Eh, siapa guru kalian yang begitu kejam menyuruh kalian membunuh seorang gadis yang tak berdaya seperti aku ini?"
"Guru kami adalah Siauw-bin-mo Hap Tojin!"
Kata Gui Siong yang tentu saja bermaksud mengecilkan hati lawan dengan nama gurunya.
"Hap Tojin?"
Dewi Suling nampak kaget.
"Kalau begitu mampuslah kalian!"
Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Belum habis kata-katanya, sulingnya sudah datang menotok ke arah dada Ouwyang Tek yang berdiri paling dekat.
"Trangggg""!"
Bunga api berpijar ketika pedang Ouwyang Tek menangkis suling itu. Dewi Suling terkejut. Begitu cepatnya pemuda tinggi besar ini mencabut pedang dan menangkis sulingnya dan ketika dua senjata bertemu, ia merasa betapa telapak tangannya panas. Maka tahulah ia bahwa ia bertemu lawan yang berat, jauh sekali bedanya dengan para pengeroyok di rumah judi tadi malam. Di lain pihak, Ouwyang Tek terkejut bukan main karena biarpun tadi ia menangkis dengan pengerahan tenaga dalamnya, tapi tangkisan ini malah membuat tangannya tergetar hebat, tanda bahwa tenaga nona itu hebat sekali.
"Sute, mari kita tangkap dia!"
Teriak Ouwyang Tek yang menerjang dengan pedangnya.
Gui Siong memang sudah menduga bahwa kepandaian wanita ini hebat sekali, maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu mencabut pedangnya dan menyerang dengan gerakan yang amat cepat sehingga Dewi Suling harus memutar sulingnya menangkis serangan dua batang pedang yang sama kuat dan cepatnya itu.
Pertandingan di pinggir sungai dalam hutan yang sunyi sepi di pagi hari itu hebat sekali. Segera Dewi Suling mendapat kenyataan bahwa dua orang muda itu benar-benar tangguh sekali. Terpaksa ia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaian untuk melayani pengeroyokan mereka.
Sulingnya menjadi sinar bergulung-gulung berwarna merah yang bermain-main dan berkelebatan di antara dua sinar putih yaitu sinar pedang dua orang pemuda lawannya itu.
Dewi Suling maklum bahwa melawan seorang saja di antara mereka ini pasti akan menang. Juga dikeroyok dua oleh orang-orang muda ini ia sama sekali tidak takut dan masih akan mencapai kemenangan kalau saja hatinya tidak terganggu seperti itu.
Ia merasa tidak tega untuk membunuh mereka begitu saja! Ada sesuatu dalam kepribadian dua orang pemuda ini yang membuat ia lebih ingin membelai mereka dengan kasih mesra daripada menyerang mereka dengan sulingnya.
Kalau ia tidak dipengaruhi oleh rasa ini, tentu saja ia dapat mengeluarkan tipu-tipunya yang mematikan, atau menggunakan jarum-jarum merahnya. Pendeknya dari gurunya ia mengenal banyak tipu dan siasat untuk merobohkan lawan kuat. Mulailah iblis betina ini memutar otaknya mencari akal.
Tiba-tiba ia tersenyum girang. Beberapa kali ia sengaja memperlambat gerakan sulingnya dan ketika pedang di tangan Gui Siong sudah hampir mengenai tubuhnya, pemuda tampan halus itu menahan pedang! Ah, jelas bahwa pemuda tampan halus ini tidak tega melukainya! Mungkin juga jatuh cinta dan tergila-gila kepadanya.
Hatinya senang sekali, bukan hanya karena pemuda itu cinta kepadanya, juga karena perasaan pemuda ini mendatangkan akal baginya. Tentu saja ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik ini dan ketika pedang Ouwyang Tek mengancam ke arah lehernya, ia menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya.
"Trangggg""!"
Pedang itu terpental dan Ouwyang Tek terhuyung mundur dua langkah.
Pada saat itu pedang Gui Siong sudah menusuk ke arah dada Dewi Suling. Wanita ini sengaja memperlambat gerakannya dan seperti tak berdaya lagi menghadapi tusukan ini yang diterimanya dengan dadanya.
"Aiii......!"
Gui Siong berseru kaget dan berusaha secepatnya untuk menahan senjatanya atau menyelewengkannya.
Pantangan bagi ahli silat adalah keraguan dalam pertandingan. Kesempatan inilah yang memang sengaja dipancing oleh Dewi Suling. Keraguan dan kebingungan Gui Siong yang hanya beberapa detik ini telah ia pergunakan dengan baik. Tubuhnya mendoyong ke kiri sehingga pedang itu menusuk di pinggir kanan dadanya sedangkan sulingnya bagaikan kilat cepatnya sudah menotok pundak Gui Siong. Pemuda itu roboh tak berkutik lagi karena jalan darah kin-ceng-hiat telah tertotok secara tepat dan keras.
Ouwyang Tek marah sekali. Sambil berseru keras ia menerjang maju, pedangnya berkelebatan bagaikan seekor naga mengamuk. Namun Dewi Suling melayaninya dengan tertawa-tawa dan menggoda.
"Eh, orang gagah, mengapa kau segalak ini? Apakah kau benar-benar hendak membikin lecet kulitku yang tipis dan halus? Atau...... kau hendak menusuk bagian yang ini?"
Dengan tangan kirinya Dewi Suling sengaja merenggut pakaiannya sendiri di bagian depan sehingga tampak kulit dadanya yang putih kuning tertutup pakaian dalam warna merah muda. Bagian yang membusung penuh lekuk-lengkung menggairahkan.
"Swing!"
Pedang Ouwyang Tek menyambar ke arah leher dengan kemarahan yang meluap.
"Trang!"
Suling merah itu sudah menangkisnya.
Pertandingan terus dilanjutkan dengan amat serunya. Betapapun juga, sebagai murid seorang yang berilmu tinggi, ilmu pedang Ouwyang Tek betul-betul hebat. Tadi pun kalau saja tidak menggunakan akal, tidak mungkin Dewi Suling begitu mudahnya merobohkan Gui Siong.
Memang harus diakui bahwa tingkat kepandaian Dewi Suling lebih tinggi, di samping itu iblis betina itu mempunyai banyak akal busuk. Akan tetapi melihat sutenya roboh, Ouwyang Tek kini tidak ragu-ragu lagi untuk merobohkan serta membunuh Dewi Suling kalau perlu, tentu saja gerakan-gerakannya berbeda dengan tadi ketika ia mau menangkap hidup-hidup iblis betina ini.
Namun, makin lama makin kacaulah permainan pedang Ouwyang Tek. Musuh yang tidak tahu malu itu terus menggodanya, bukan hanya dengan kata-kata mesra dan cabul saja, tetapi juga makin lama pakaian Dewi Suling semakin terbuka lebar. Hal ini tentu saja membuat Ouwyang Tek menjadi semakin marah dan disamping itu pun mendatangkan rasa malu serta gugup.
Dia bukan seorang yang mata keranjang atau gila kecantikan, bahkan ia seorang pemuda yang belum pernah mengalami pendekatan dengan wanita. Ia tidak tertarik oleh semua itu, hanya rasa malu karena diharuskan melihat adegan yang luar biasa ini membuat ia gugup sekali.
"Ouwyang Tek...... kau orang gagah...... betul-betulkah hatimu sekeji itu? Kau mau membunuhku? Hi, hi, hik! Kaulihat ini...... apakah kau tega menembusi dadaku dengan pedangmu itu?"
Sambil berkata demikian, tangan kiri Dewi Suling merobek...... dan terlepaslah pakaian dalam warna merah muda di bagian atas lalu tampaklah tubuhnya bagian atas telanjang.
Ouwyang Tek yang mukanya sudah merah seperti kepiting rebus itu, tak dapat menahan malu lagi dan untuk sedetik saja ia meramkan matanya.
Namun waktu sedetik ini sudahlah cukup bagi Dewi Suling. Karena tiba-tiba pemuda perkasa ini merasa betapa seluruh tubuhnya menjadi lemas lalu ia pun roboh terkulai, tak mampu bergerak lagi.
"Hi, hi, hik!"
Wanita itu terkekeh-kekeh genit.
"Betul, tidak berkelebihan kata-kata guruku itu, bahwa harus berhati-hati kalau bertemu dengan Siauw-bin-mo Hap Tojin. Karena dua orang muridnya saja sudah begitu lihai! Sebagai murid Siauw-bin-mo Hap Tojin, kalian seharusnya kubunuh. Akan tetapi sayang, kalian begini cakap...... aku tidak tega...... hi, hi, hi!"
Dewi Suling lalu membungkuk kemudian dengan kedua tangan ia lalu menyeret tubuh dua orang pemuda itu ke dekat sungai, mendudukkan tubuh mereka yang telah lemas serta menyandarkannya pada batu sungai menghadap ke air.
"Sudah aku katakan tadi bahwa aku mau mandi ketika kalian tiba. Nah, aku mau mandi dulu, kalian menanti di sini saja, ya? Baik-baiklah di sini, anak-anak manis!"
Lalu dengan genit ia mencubit pipi Gui Siong dan terus di depan dua pemuda itu ia melepaskan pakaiannya. Dan sengaja ia bergaya dengan gerakan-gerakan memikat, sedikit pun tidak malu-malu lagi.
Ouwyang Tek dan Gui Siong tentu saja merasa tersiksa hebat. Mereka adalah pendekar-pendekar muda berpikiran bersih. Kalau saja mereka bisa bergerak, maka mereka sudah menerjang mati-matian atau melarikan diri pergi dari situ. Tetapi mereka tidak berdaya, sebab kaki tangan mereka sudah dibuat lumpuh oleh totokan yang sangat lihai.
Mereka cuma meramkan kedua mata saja supaya tidak melihat gadis itu membuka semua pakaiannya di depan mata mereka. Setelah mereka bisa menekan perasaan serta menjernihkan hati, barulah mereka berani membuka mata serta melihat.
Kini Dewi Suling telah berdiri di depan mereka dengan telanjang. Tetapi kini mereka bisa melihatnya dengan bibir tersenyum menghina. Dewi Suling lalu turun ke dalam air, mandi di air yang jernih dan sejuk. Tetapi melihat betapa dua orang pemuda itu sama sekali tidak tertarik, ia menjadi penasaran, dan sekali tubuhnya bergerak, ia sudah meloncat dan berlutut dalam keadaan telanjang bulat serta badan basah semua di depan mereka.
"Kalian temani aku mandi, ya? Kalau mau menyahut. Lihat, aku tidak membunuh kalian! Tidak menyakiti pula. Aku mau bersahabat dengan kalian, mau kan?"
Kedua orang pemuda itu memang masih mampu menggerakkan kepala biarpun lemah, serta masih bisa bicara.
"Siluman betina terkutuk, mampuslah kau jangan goda aku!"
Ouwyang Tek membentak dengan marah sekali.
Dewi Suling tersenyum, lalu menghampiri Gui Siong" "Kau saja, ya? Temani aku?"
Lalu tubuh itu merapat, lengan yang halus seperti ular itu merayap merangkul leher. Muka yang cantik dan halus itu makin dekat dan akhirnya mencium pipi dan bibir Gui Siong. Pemuda itu hampir pingsan. Jantungnya berdebar keras. Ia meramkan kedua matanya dan menggeleng kepala keras-keras.
"Tidak...... tidak""! Pergilah...... pergilah......"
"Hi-hi-hik! Ha-ha-ha!"
Dewi Suling tertawa bergelak dan terkekeh-kekeh seperti siluman, menciumi dan menciumi terus. Kemudian ia berpindah kepada Ouwyang Tek, memeluk pemuda ini, juga menciumi sepuas hati.
"Perempuan hina! Siluman kotor! Kau bunuh saja kami!"
Ouwyang Tek berseru marah sekali.
Dewi Suling menjadi makin gila. Belum pernah selama ia gila laki-laki, ada seorang pria tidak roboh di bawah pengaruhnya, tidak terpesona oleh kecantikannya dan tidak mabok oleh cumbu rayu dan belaiannya.
Sikap dua orang pendekar muda ini tidak menimbulkan kemarahan bahkan sebaliknya menambah gelora nafsunya, dan makin ditolak, ia menjadi makin tergila-gila dan ingin mendapatkan kasih sayang kedua orang pemuda perkasa itu. Makin mengilar ia seperti melihat buah ranum yang menimbulkan selera namun sukar dipetik. Berganti-ganti ia membelai dua orang pemuda itu, membujuk rayu, bahkan memohon dengan suara merintih-rintih tersiksa nafsu yang bergejolak.
Namun Ouwyang Tek dan Gui Siong adalah pendekar-pendekar lahir batin. Tidak sia-sia gemblengan belasan tahun yang diberikan oleh Siauw-bin-mo Hap Tojin kepada mereka berdua. Harus diakui bahwa sebagai manusia biasa, mereka pun tidak buta dan dapat melihat betapa Dewi Suling benar-benar amat cantik molek dengan wajah manis dan menggairahkan.
Namun di balik semua keindahan ini, mata batin mereka dapat pula melihat sifat yang kotor dan keji jahat seperti iblis sendiri. Inilah yang membuat mereka kuat bertahan membalas belaian, pelukan dan ciuman Dewi Suling dengan makian-makian!
"Kalian tidak mau menemani aku mandi? Baiklah, kalau kupaksa apakah kalian juga dapat menolak?"
Dewi Suling sudah mulai marah. Sambil merangkul leher Ouwyang Tek, ia mulai menanggalkan pakaian orang muda itu.
"Heh, perempuan tak tahu malu! Sungguh menyebalkan sekali! Kami adalah laki-laki sejati, lebih baik mati daripada menuruti kehendakmu yang tidak senonoh, yang hina-dina!"
Ouwyang Tek membentak-bentak.
Muka yang cantik jelita itu mulai menjadi merah padam. Sepasang mata yang bening itu mulai menjadi merah pula dengan sinar berapi-api. Namun Dewi Suling masih berusaha membujuk Gui Siong dan menanggalkan pakaian pemuda halus itu.
"Iblis betina! Kenapa kau tidak bunuh saja kami? Melihat mukamu saja sudah muak perut kami, apalagi menuruti kehendakmu yang menjijikkan. Phuhh!"
Gui Siong memaki pula.
Dewi Suling kini meloncat bangun. Tubuhnya kini menggigil, bibir merah yang tadi tersenyum-senyum dan menjadi makin merah karena tadi mencumbu rayu kedua orang muda belia itu kini digigitnya. Suling merah sudah berada di tangan kanannya. Ia berdiri tegak, telanjang bulat, cantik dan indah bagaikan sebuah arca batu pualam, namun sinar matanya mengeluarkan cahaya maut.
"Kalian lebih suka mampus? Baiklah, memang akhirnya kalian pun harus mampus di tanganku! Kalian murid Siauw-bin-mo Hap Tojin, bukan? Ha, ha, ha! Memang musuh lama! Di antara gurumu dan guruku terdapat permusuhan yang hanya dapat dihabiskan dengan darah dan nyawa. Kalian tahu guruku? Guruku adalah Hek-siauw Kui-bo! Ha, ha, ha!"
Dewi Suling tertawa terbahak-bahak dan terkekeh-kekeh sedangkan dua orang muda itu saling pandang dengan muka pucat. Mengertilah mereka sekarang bahwa mereka akan mati di tangan wanita ini dan diam-diam mereka bersyukur di dalam hati bahwa mereka berdua dapat menahan bujuk rayu Dewi Suling.
Mereka tahu, bahwa andaikata mereka kena bujuk dan menuruti kehendak siluman ini mereka pun akhirnya akan terbunuh juga. Seribu kali lebih baik mati dalam keadaan bersih daripada mati bergelimang perbuatan hina dan kotor.
"Iblis betina, mau bunuh lekas bunuh, perlu apa banyak cerewet lagi?"
Kata lagi Ouwyang Tek.
"Gurunya seorang setan betina, tentu saja muridnya sangat keji melebihi iblis,"
Gui Siong memaki.
"Lelaki keparat, mampuslah."
Sinar merah berkelebat menyambar, kedua orang muda itu dengan hati tabah serta sedikit pun tidak merasa takut melihat saja dengan mata melotot, menanti datangnya maut sebagai seorang laki-laki sejati.
"Tak""! Aduuuuh......"
Dewi Suling menjerit lirih ketika tiba-tiba suling merahnya terlepas dari cekalannya karena dibentur oleh benda yang kecil tak kelihatan dengan kekuatan luar biasa. Ia cepat melompat terus menyambar pula sulingnya yang terjatuh di atas tanah. Lalu ia memutar pula tubuhnya melihat ke arah datangnya batu kerikil yang meruntuhkan sulingnya tadi. Tapi tak tampak sesuatu. Ia merasa heran. Setankah yang telah menjatuhkan sulingnya tadi? Ia melompat lagi ke muka.
"Aduuuh""!"
Kali ini kedua kakinya menjadi lumpuh seketika sehingga ia terjatuh berlutut, ternyata dua buah kerikil telah menyambar belakang lututnya. Tetapi timpukan ini hanya menjatuhkan saja, tidak melumpuhkan.
Dengan cepat ia segera bangun lagi dan maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang musuh lihai. Dewi Suling cepat menyambar pakaiannya lalu dipakainya dengan tergesa-gesa. Kemudian ia melompat ke arah datangnya batu-batu kerikil tadi, yaitu ke arah sekelompok pohon yang tumbuh tidak jauh dari sungai. Namun ia tidak melihat sesuatu, bayangannya pun tidak nampak.
"Hai keparat pengecut! Keluarlah kalau kau gagah berani!"
Teriaknya. Namun hanya gema suaranya sendiri yang menjawab.
Dewi Suling mengerutkan kening. Jelas bahwa lawan itu pandai, tetapi kenapa tidak berani menampakkan diri? Kemudian wanita cerdik ini mendapatkan akal untuk memaksa lawannya keluar, ia lalu balik ke tempat semula dan terus menggerakkan sulingnya untuk membunuh Ouwyang Tek serta Gui Siong.
Suling merahnya menusuk ke arah dada Ouwyang Tek sedangkan tangan kirinya memukul ke arah pelipis Gui Siong. Tetapi sambil melakukan serangan maut ini, mukanya menoleh dan matanya melihat tajam ke belakang.
"Aduuuh""! Sekali lagi Dewi Suling menjerit keras karena kedua pergelangan tangannya sudah kena disambar kerikil-kerikil kecil hingga menjadi lumpuh untuk beberapa detik. Akibatnya kedua buah serangan maut itu menjadi gagal. Akan tetapi kini ia bisa melihat bayangan putih berkelebat di antara pohon-pohon dan terlihat wajah seorang laki-laki muda yang tampan serta gagah dan sepasang matanya amat tajam.
Tetapi hanya sekelebatan saja pemuda baju putih tampak, sebab telah menghilang lagi menyelinap di antara pohon-pohon yang lebat.
"Kau mau lari ke mana!"
Bentak Dewi Suling terus mengerahkan ginkangnya mengejar.
"Wer-wer-wer-wer""!"
Banyak sekali batu beterbangan menyambar dari depan. Wanita iblis ini cepat menggerakkan sulingnya menangkis, akan tetapi hanya beberapa kerikil saja yang berhasil ditangkisnya, selebihnya tepat mengenai jalan-jalan darah di pundak, siku, lambung, lutut dan mata kaki. Untung timpukan itu perlahan sehingga ia hanya merasa lumpuh untuk beberapa detik saja. Sedangkan tangannya yang menangkis dengan suling itu terasa panas dan sakit.
Dewi Suling melongo dan berdirilah bulu tengkuknya. Lawan ini luar biasa lihainya. Terang ia tidak berniat jahat, sebab kalau betul mau membunuhnya, dengan batu-batu kerikil itu saja ia sudah dapat merobohkannya. Dan disamping itu teringatlah ia akan pemuda baju putih yang pernah menolongnya sewaktu ia dikeroyok di depan rumah judi.
Pemuda baju putih itu telah merontokkan daun-daun pohon untuk mengacaukan kepungan para pengeroyoknya itu. Tetapi mengapa sekarang memusuhinya? Ah, betul-betulkah memusuhinya? Agaknya tidak demikian, hanya pemuda ini tidak suka melihat ia membunuh orang. Dan...... dan...... agaknya pemuda itu telah melihat pula semua perbuatannya dengan kedua pemuda tawanannya ini tadi.
Tiba-tiba muka Dewi Suling berubah menjadi merah sekali dan ia segera melompat seperti terbang pergi dari tempat itu. Hanya sayup-sayup terdengar suara sulingnya melengking panjang semakin lama semakin pelan dan akhirnya lenyap sama sekali.
Ouwyang Tek dan Gui Siong yang juga melihat berkelebatnya bayangan putih, tiba-tiba mereka merasa sesuatu melanggar pundak mereka dan seketika mereka terbebas daripada totokan! Keduanya meloncat bangun dan pertama-tama yang mereka lakukan adalah menyambar pakaian mereka dan memakainya.
Kemudian mereka memandang sekeliling yang sunyi senyap. Hanya suara burung-burung yang terdengar seperti nyanyian-nyanyian merdu diiringi bunyi air sungai gemercik.
"Sungguh berbahaya""!"
Akhirnya Gui Siong berkata lirih.
"Untung ada seorang sakti yang menolong kita. Entah siapa dia."
Ouwyang Tek memandang sutenya.
"Siapa pun dia yang telah menyelamatkan kita, Sute, peristiwa ini membuka mata kita bahwa kita masih harus belajar lagi dengan tekun sebelum terjun ke dunia persilatan. Marilah kita melapor kepada Suhu."
Dua orang pemuda perkasa itu dengan prihatin lalu pulang ke tempat guru mereka bertapa untuk memperdalam ilmu, karena apa yang mereka alami tadi amatlah pahit, menjadi bukti bahwa ilmu kepandaian mereka masih jauh daripada memuaskan.
Hanya sebentar saja Dewi Suling merasa gentar serta takut. Setelah berlari jauh ketenangannya pulih kembali. Ia memang mengetahui bahwa bayangan putih itu hebat luar biasa kepandaiannya, tetapi jelas terbukti siapa pun adanya, bayangan putih itu tidak bermaksud membunuhnya. Hanya ia merasa menyesal tidak bisa membunuh dua orang murid Hap Tojin.
Akan tetapi kini ia telah tahu bahwa Hap Tojin tinggal tidak jauh dari kota Ho-pak dan mudahlah baginya kelak menyelidiki di mana tinggalnya musuh besarnya itu lalu turun tangan terhadap kakek itu bersama kedua muridnya.
Kalau ia teringat kepada Ouwyang Tek dan Gui Siong, ia menjadi gemas. Gemas sekali. Gurunya memberi tahu bahwa ada tiga orang musuh besar dari gurunya yaitu, pertama Hap Tojin, kedua Tho-tee-kong Liong Losu seorang hwesio. Kalau bertemu dua orang itu ia harus hati-hati tetapi tidak perlu takut sebab menurut gurunya itu, ilmu silatnya tidak kalah oleh kedua kakek itu.
Akan tetapi, demikian pesan gurunya. Ia harus berhati-hati betul kalau bertemu dengan seorang kakek aneh yang bernama Han It Kong berjuluk Sin-kong-ciang.
"Kalau bertemu orang ini,"
Demikian papar gurunya.
"jangan kau sembarangan turun tangan. Dia ini musuh besarku, tetapi ilmu silatnya hebat bukan main. Kau bukan tandingannya muridku. Kalau kau tahu di mana Han It Kong itu berada, lekas beritahukan padaku dan kita lalu bersama sama mengerubuti. Dengan cara ini kita bisa berharap mampu mengalahkan serta membunuhnya."
Dan tidak diduga-duganya ia telah bertemu dengan dua orang murid Hap Tojin. Betul saja, dengan ilmu silatnya ia dapat mengatasi kedua orang itu. Tetapi bayangan putih itu, siapakah dia? Kepandaiannya seperti setan.
Dewi Suling telah melupakan bayangan putih itu yang betul-betul ditakutinya ketika tiga hari kemudian ia tiba di kota Ang keng. Kota ini amat besar serta ramai sebab letaknya di tepi lembah Sungai Yang-ce. Ramai didatangi kaum pedagang karena sungai besar ini merupakan alat penghubung air yang lancar serta murah.
Begitu memasuki kota ini, empat orang tinggi besar telah menyambutnya di pintu gerbang serta terus langsung menuju ke pelabuhan di mana terdapat sebuah perahu bercat Hitam yang besar. Mereka memasuki perahu ini dan duduk mengelilingi meja.
Empat orang ini adalah pembantu-pembantu Dewi Suling yang berhasil membawa lari seribu tail emas dari kota Ho-pak tiga hari yang lalu. Peti hitam berisi emas itu dapat mereka selamatkan sampai ke An-keng dan kini mereka simpan dalam perahu.
Mereka ini bukanlah orang orang biasa karena sebelum menjadi kaki tangan Hek-siauw Kui-bo guru Dewi Suling, mereka dahulu terkenal sebagai bajak sungai Yang-ce Su-go (Empat Buaya Sungai Yang-ce). Beberapa tahun yang lalu, mereka kesalahan tangan membajak Dewi Suling dan gurunya.
Tentu saja dengan mudah mereka ditundukkan dan semenjak itu mereka berempat menjadi kaki tangan Dewi Suling dan gurunya yang bersembunyi di dalam bukit bukit guha-guha sepanjang Sungai Yang-ce, tak jauh di sebelah timur An-keng.
"Nona, mengapa agak lambat sehingga kami berempat merasa bimbang dan tak enak kami menanti di sini?"
Tanya seorang diantara Yang-ce Su-go yaug paling tua, bernama Song Kai.
Dewi Suling tersenyum dan memainkan kerling matanya. Empat orang tinggi besar itu adalah orang orang kasar berusia empatpuluh tahun lebih dan sudah banyak mereka mempermainkan wanita.
Akan tetapi menghadapi Dewi Suling mereka berempat ini merasa kagum dan tergila gila tentu saja hanya di dalam hati karena mereka sama sekali tidak berani bersikap kurang ajar. Setiap kali Dewi Suling tersenyum manis dan mengerling genit seperti itu, hati mereka seperti dikutik kutik dan mereka hanya memandang dan menelan ludah. Sebagai seorang wanita yang hampir setiap malam mempermainkan pria, tentu saja Dewi Suling maklum apa makna pendang mata mereka itu. Akan tetapi mereka itu orang-orang kasar dan buruk lagi pula sudah setengah tua. Mana dia mau memperdulikan mereka?
"Paman Song Kai, mengapa merasa tak enak hati? Apakah tidak percaya kepadaku?"
"Eh...... ah"", bukan begitu. Tidak sekali kali nona. Akan tetapi, emas ini""
Begini banyak sehingga kami merasa tidak aman di jalan. Bagaimana kalau ada yang mengetahuinya? Tentu akan banyak gangguan dan keributan."
"Hemm! Kalau ada yang tahu, katakan ini milik Dewi Suling. Siapa berani ganggu?"
Song Kai menundukkan mukanya.
"Nona benar, hanya kami ingin lekas-lekas membawa emas ini ke istana air sehingga selesailah tugas kami."
Dewi Suling melirik kearah peti hitam di sudut ruangan perahu.
"Kenapa kalian menantiku? Kenapa tidak langsung saja membawa emas itu ke sana?"
Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kami menanti nona, karena dari pada nona susah susah mencari perahu dan berlayar sendiri"""
"Sudahlah, sekarang kalian lekas pergi, bawa emas itu pulang dan serahkan kepada guruku dan stttt......!"
Tiba tiba Dewi Suling memberi tanda dengan telunjuk di depan mulut karena mendadak perahu besar itu agak bergoyang sedikit. Dengan cepat ia melompat keluar dari pintu ruangan perahu. Tidak ada apa-apa di luar kamar perahu hanya jauh di seberang ia melihat bayangan berkelebat lenyap menyelinap diantara perahu perahu lain. Seketika muka Dewi Suling menjadi pucat. Ketika empat orang pembantunya itu menyusul keluar dari dalam bilik ia cepat berkata,
"Lekas, lekas kalian berangkat sekarang juga! Aku akan pergi lebih dulu!"
"Nona...... tidak ikut bersama kami? Nona hendak ke mana pula......?"
Dewi Suling melotot.
"Perlu apa kau bertanya tanya ke mana aku hendak pergi?"
"Eh""
Bukan apa apa, nona. Hanya menjaga kalau kalau Toanio (Nyonya Besar) menanyakan nona."
"Tak usah cerewet, pergilah dan jaga baik-baik peti itu."
Setelah berkata demikian, Dewi Suling meninggalkan perahu hitam dengan tergesa-gesa.
Empat orang itu saling pandang dan mengangkat pundak. Seorang diantara mereka mengomel.
"Mana dia mau menghargai jasa-jasa kita? Yang dicarinya tentu orang-orang muda yang tampan, Hemm, tak tahu.."."
"Ssttt, sam-te (adik ketiga), jangan mengomel."
Song Kai menegur adiknya dan mereka berempat lalu sibuk bersiap siap, lalu berangkat berlayar menurutkan aliran sungai menuju ke timur.
Apa yang diomelkan Yang-ce Su-go paling muda tadi memang tidak meleset daripada kenyataan. Terhadap empat orang pembantunya itu, biarpun ia tahu akan perasaan dan kekaguman mereka, tentu Dewi Suling sama sekali tidak mau perduli. Yang dibutuhkan hanya pria-pria muda belia yang tampan, bukan laki-laki setengah tua dan kasar seperti bekas empat orang bajak sungai itu!
Setelah keluar dari perahu, Dewi Suling lalu memasuki kota, berkeliling sambil memasang mata. Sudah tiga hari tiga malam ia tak pernah ditemani seorang pria tampan.
Kota An-keng yang besar itu tidak kurang pria-pria tampan, tinggal memilih saja. Setelah berputar-putar setengah harian sudah ada sepuluh orang pemuda jang diam-diam dipilihnya. Malam ini ia akan mulai dengan seorang pemuda putera pemilik toko obat di sebelah barat jalan simpang empat.
Ia adalah seorang pemuda berusia tujuhbelas tahun, bermata lebar serta muka bundar putih bibirnya berwarna merah tanda berbadan sehat sekali, ia akan besenang-senang dengan kesepuluh pemuda pilihannya itu, lalu setelah puas, barulah ia menyusul empat orang pembantunya dan juga menemui gurunya. Tempat untuk bersenang senang itu sudah dipilihnya yaitu sebuah Kuil yang hanya dihuni oleh lima orang nikouw (pendeta wanita).
Setelah hari berganti malam, sebelum menemui putera pemilik toko obat, lebih dahulu Dewi Suling hendak mempersiapkan tempatnya, maka ia terus mendatangi kuil itu. Lima orang nikouw yang mengira bahwa tamu ini adalah seorang gadis yang akan bersembahyang, menyambutnya dengan ramah serta penuh rasa sayang.
"Omitohud". malam malam begini siocia (nona) mau sembahyang? Ah, tentu banyak kesusahan yang siocia derita......."
Nikouw kepala yang sudah tua itu tiba tiba berdiam diri serta terkejut sewaktu tamu wanita itu yang dikiranya mau bersembahyang menolong berkah dari Sang Buddha itu tiba-tiba membentak.
"Siapa mau sembahyang? Aku akan memakai kuil kalian ini selama lima sampai sepuluh hari! Aku membutuhkan kamar yang terbesar serta terbaik, dan nanti kubayar mahal. Tetapi asalkan tak ada seorangpun yang boleh tahu bahwa kami berada di tempat ini!"
Nikouw tua itu membelalakkan matanya, merasa amat heran. Akan tetapi ia masih menjura serta berkata ramah.
"Nona, pinni (aku) berlima akan merasa gembira sekali kalau dapat menolongmu. Kalau nona membutuhkan tempat beristirahat, kami persilakan memakai tempat kami. Tapi kenapa bicara soal pembayaran? Pinni berlima tidak mau menerima uang sewa, pakai sajalah kamar kami, boleh nona pilih."
"Dan kalian bersumpah tidak akan bicara kepada orang lain bahwa aku berada di sini?"
"Kalau nona berpesan begitu, tentu saja pinni berlima tidak akan berkata kepada siapapun juga mengenai diri nona."
"Baik, kalau begitu sebentar aku kembali lagi bersama....... eh, bersama...... suamiku."
Lima orang nikoaw itu serentak mengeluarkan seruan kaget dan muka mereka pucat.
"Omitohud.......!"
Nikouw tertua mengeluh.
"Hal itu sama sekali tidak bisa......! Nona tentu mengerti sendiri, kuil ini adalah tempat para pendeta wanita. Seorang laki-laki tidak diperkenankan, apalagi bermalam disini!"
Tiba-tiba kelima orang nikouw itu mengeluarkan jeritan tertahan ketika berkelebat sinar merah dan tahu tahu tubuh mereka telan menjadi kaku di tempat mereka masing-masing tadi berdiri, sama sekali tak dapat digerakkan lagi. Dan wanita cantik berpakaian merah itu kini telah mencekal sebatang suling warna merah pula yang tadi dengan kecepatan kilat telah menyambar dan menotok jalan darah mereka berlima.
"Kalian mau membantah lagi?"
Dewi Suling bertanya, dengan tersenyum dingin mengejek.
Nikouw yang telah tua itu bersama keempat temannya terkejut tetapi karena mereka masih bisa bicara, maka mereka hanya bisa membaca doa saja. Kini nikouw tua itu berkata.
"Sebetulnya tidak boleh....... akan tetapi pinni berlima mengenal Cui-siauw Sian li...... pinni tak berdaya, terserah nona......"
Lalu sinar merah berkelebat pula dan kini kelima nikouw itu sudah terbebas dari totokan.
"Nah, kau telah mengenalku itu bagus. Aku tidak mau membunuh nikouw-nikouw, juga tidak mau merampok kuil butut ini. Aku cuma mau beristirahat satu dua pekan di sini tanpa godaan. Kalian boleh berkerja seperti biasa lalu melayani aku dan""
Suamiku, tetapi ingat jangan sampai seorangpun tahu aku berada di sini, mengerti?"
Lima orang nikouw itu mengangguk angguk dengan muka pucat serta kedua tangan terangkap di depan dada mereka.
"Omitohud"
Semoga dosa kami diampuni."
Nikouw tua itu berdoa dengan penuh kedukaan.
Nama Dewi Suling sudah terkenal di kota An-keng bahkan telah menerobos dinding kuil serta terdengar oleh para nikouw ini. Sebab mereka sudah tahu akan halnya sepak terjang iblis betina itu, maka kini para nikouw itu telah tahu pula bahwa kuil ini mau dijadikan tempat "penyembelihan"
Bagi pemuda-pemuda tampan.
Tentu saja mereka merasa ngeri sekali serta ketakutan sebab mereka maklum bahwa sekali saja mereka cerita di luaran, jiwa mereka pasti melayang!
Perahu hitam besar itu berlayar cepat di sepanjang Sungai Yang-ce-kiang. Empat orang bekas kepala bajak Yang-ce Su-go (Empat Buaya Sungai Yang-ce) duduk di dalam perahu, membiarkan anak buah mereka yang mengurus pelayanan perahu, sambil bercakap-cakap dan makan minum serta membicarakan keadaan Dewi Suling dengan wajah bersungut-sungut.
Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho Ping Hoo Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo