Pendekar Muka Buruk 3
Pendekar Muka Buruk Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
Mereka tak segan-segan membuat peraturan-peraturan yang khusus berlaku bagi daerah atau kampungnya, peraturan yang dipaksakan kepada rakyat kecil, terutama kepada para petani miskin. Demikianlah, maka jika para penindas rakyat itu hidup dalam alam penuh kesenangan dunia, adalah si rakyat kecil yang hidup dalam neraka dunia. Hanya mata para orang-orang gagah dan patriot sajalah yang dapat melihat betapa keluhan-keluhan dan jeritan-jeritan rakyat membumbung tinggi ke angkasa meminta keadilan kepada Tuhan yang Maha Esa. Kang-lam Koay-hiap dan muridnya termasuk orang-orang yang melihat keadaan buruk ini dan karenanya orang tua itu makin giat mengulurkan tangan membantu kehendak Thian yang mendengarkan jerit dan keluh manusia-manusia sengsara itu. Seringkali Kang-lam Koay-hiap berkata kepada muridnya.
"Lie Bun, kau lihat baik-baik. Beginilah keadaan dunia. Kau lihat saja, masih adakah orang yang pamntas disebut manusia? Tak usah kita melihat iblis-iblis yang menjelma menjadi hartawan-hartawan kikir dan pembesar-pembesar curang. Baiklah kita melihat kepada orang-orang kecil sendiri. Keadaan mereka yang sangat buruk itu memaksa mereka gunakan kelicikan dan kecurangan untuk dapat sekedar mengisi perut. Mereka saling tipu untuk dapat memberi makan kepada anak isterinya. Kau lihatlah! Bukankah ini mengerikan? Kita tidak berdaya, muridku, maka kita harus bertindak menurut takaran tenaga dan kemampuan yang ada pada kita saja. Pertama-tama kita janganlah sampai terbawa arus berbahaya dan buruk ini. Jangan sampai kita ikut menurutkan nafsu hati merugikan orang lain. Kedua, kita harus turun tangan dan membereskan segala yang tampak tidak lurus dan tidak adil. Kalau perlu, untuk membela keadilan, boleh kita pertaruhkan jiwa kita."
Lie Bun yang telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia kurang lebih lima belas tahun, mendengarkan nasehat suhunya dengan hormat. Dalam empat tahun ini, ia telah mengenal pribadi suhunya sebagai seorang yang tidak hanya memiliki kepandaian tinggi, tapi juga memiliki jiwa yang luhur dan pengertian tentang hidup yang dalam. Selama empat tahun itu, Lie Bun betul-betul memperoleh gemblengan hebat, karena tidak saja ia digembleng dalam hal pelajaran ilmu silat tinggi, tapi juga ia mendapat gemblengan ilmu bathin yang dalam dan mendapat pengalaman yang luas karena biarpun pengalaman itu hanya terjadi selama empat tahun,
Namun karena selama itu ia mengalami peristiwa-peristiwa hebat, maka telah membuka matanya dan mempertajam ingatannya. Pada suatu hari, di kota Tung-kiang kelihatan ramai sekali dan banyak orang tampak hilir mudik memenuhi jalan raya. Pada wajah mereka tampak jelas bahwa swsuatu yang menarik hati terjadi di kota itu. Mereka bergegas-gegas dan nampaknya riang gembira seperti orang yang hendak menonton sesuatu. Ternyata bahwa mereka itu sebagian besar menuju ke sebuah kelenteng besar yang mempunyai pekarangan luas sekali. Orang-orang berjejal-jejal di luar, karena pekarangan itu dipagari kokoh kuat sedangkan pada pintu pagar ada beberapa orang yang tinggi besar bersenjata di tangan berdiri menjaga dan melarang orang-orang yang hendak masuk.
"Tidak boleh masuk, di luar saja!"
Kata mereka sambil mendorong orang yang berani mendekat.
Di tengah-tengah pekarangan yang luas, tepat di depan kelenteng itu, telah didirikan sebuah panggung lui-tai yang tingginya tidak kurang dari tiga tombak hingga kelihatan nyata dari luar pekarangan. Di sekeliling panggung itu terdapat kursi-kursi yang puluhan jumlahnya. Pada saat orang-orang berjejal-jejal di luar pekarangan, tiba-tiba tampak seorang pemuda berpakaian penuh tambalan menyusup di antara orang banyak. Ia adalah seorang pemuda yang berwajah hitam dan buruk karena kulit mukanya penuh tanda cacar. Tapi jika orang memandang penuh perhatian, dibalik keburukannya itu tampak sesuatu yang menyenangkan hati dan menimbulkan sayang pada wajah itu. Entah karena bibirnya yang berbentuk indah dan selalu tersenyum itu.
Rambutnya digelung ke atas dan diikat dengan sehelai ikat rambut warna kuning. Bajunya sukar disebut warnanya, segala warna terdapat di situ karena puluhan tambalan baju itu berwarna berlainan. Celananya pendek hanya sampai di bawah lutut hingga tampak betisnya yang padat kuat dan berkulit halus, jauh berbeda dengan kulit mukanya yang buruk. Kakinya telanjang tidak bersepatu, tapi tampak bersih, bahkan kuku kedua kakinya terpelihara baik-baik. Pinggangnya yang kecil diikat sabuk kain kuning pula. Pemuda ini bukan lain ialah Lie Bun. Ia tinggalkan suhunya yang duduk beristirahat di bawah pohon di pinggir jalan. Kemudian pemuda ini mengikuti orang banyak itu yang menuju ke depan kelenteng. Ketika Lie Bun sedang mendesak maju, ia kena desak seorang tua yang memandangnya dengan bersungut-sungut.
"Di mana matamu, anak muda? Kaki orang kau injak saja seenaknya!"
Dengus orang tua itu. Lie Bun terkejut dan menengok ke bawah. Ternyata kaki orang tua itupun telanjang. Ia tersenyum dan berkata halus.
"Maafkanlah, lopeh, aku tidak sengaja. Kalau kau merasa sakit, kau balaslah injak kakiku agar hilang marahmu."
Kata-kata ini diucapkan dengan sewajarnya dan sungguh-sungguh hingga orang tua itu tidak jadi marah, bahkan ia memandang kepada Lie Bun dengan senang. Jaranglah dijumpai seorang pemuda demikian sopan santun dan lemah lembut.
"Eh, kau tentu bukan orang sini, suaramu berbeda,"
Katanya. Lie Bun hanya mengangguk sambil tersenyum senang melihat bahwa orang tua itu tak jadi marah.
"Lopeh, sebenarnya aku tadi sedang terheran-heran karena hendak melihat apa yang terjadi di sini. Sebetulnya ada terjadi apakah maka semua orang berkumpul di sini, lopeh?"
Orang tua itu agaknya senang sekali melihat ada orang bertanya kepadanya dan memberi kesempatan kepadanya untuk bercerita, maka ia lalu tarik tangan Lie Bun diajak keluar dari tempat yang berjejalan itu. Mereka lalu keluar duduk di atas rumput yang tumbuh di pinggir jalan. Mula-mula orang tua itu agak heran melihat pakaian dan keadaan Lie Bun, tapi karena pada masa sesukar itu memang banyak orang kelihatan seperti pengemis. Ia lalu tidak perdulikan lagi.
"Kelenteng ini adalah tempat berkumpul atau pusat perkumpulan Bu-gi-hwee, sebuah perkumpulan yang kuat di kota ini, karena Coa-tihu sendiri ikut menjadi pengurus. Juga banyak hartawan di sini ikut pula menjadi penyokong hingga kedudukan Bu-gi-hwee sangat kuat. Untuk memilih anggota, maka selalu diputuskan oleh para pengurus, karena tidak sembarang orang boleh masuk menjadi anggota. Beberapa bulan yang lalu, seorang hartawan besar hendak masuk menjadi anggota. Tapi karena ia orang baru di kota ini dan pula pernah terjadi pertengkaran antara dia dengan seorang pengurus, hartawan she Kwa itu ditolak. Inilah yang menimbulkan hal kehebohan hari ini. Hartawan ini lalu masuk diperkumpulan Sin-seng-hwee yang berada di kota Nam-kiang yang tak jauh dari sini. Dan dengan adanya Kwa-Wangwe di situ, maka perkumpulan itu menjadi besar dan kuat karena Kwa-Wangwe selain kaya, juga ia mempunyai jago-jago silat yang berkepandaian tinggi. Selain itu ia mempunyai keluarga yang berpengartuh di kota raja, karena anak perempuannya kawin dengan seorang pembesar berpangkat teetok."
"Setelah merasa diri kuat, maka mulailah terjadi persaingan di antara Sin-seng-hwee dan Bu-gi-hwee, yang terjadi karena para anggota dan anak buahnya meniru sikap ketua masing-masing. Sebenarnya di antara Kwa-Wangwe dan para pengurus Bu-gi-hwee hanya ada sedikit ketidak cocokan, tapi oleh para anggotanya persaingan itu dibesar-besarkan."
Ketika mendengar betapa orang tua itu ceritanya berkepanjangan, Lie Bun bertanya dengan halus.
"Lopeh, biarlah hal itu tak usah kita percakapkan. Yang hendak kuketahui hanya lui-tai ini apa maksudnya dan dibuka oleh siapa?"
Empe itu merasa kurang senang karena ceritanya diputus oleh pendengarnya, tapi karena pemuda itu bicara dengan gaya sopan dan halus, ia hanya berkata.
"Yang sedang kuceritakan ini langsung berhubungan dengan panggung lui-tai hari ini. Biarlah kupersingkat ceritaku. Permusuhan antara Bu-gi-hwee dan Sin-seng-hwee menjadi-jadi dan para hartawan dan bangsawan di kota Tung-kiang ini mengadakan adu jago dengan taruhan bahwa yang kalah harus membubarkan perkumpulannya dan menggabung kepada perkumpulan yang menang. Maka didirikanlah panggung lui-tai ini untuk mengadu jago."
Lie Bun terheran mendengar ini.
"Dan yang mengadakan adu jago ini termasuk pembesar-besar sendiri?"
Empe itu mengangguk.
"Ya, selain pertaruhan di antara kedua perkumpulan, banyak juga uang dipertaruhkan di antara para hartawan. Kabarnya sampai puluhan ribu tail perak!"
"Siapakah yang akan diadunya?"
Lie Bun bertanya dengan hati tertarik sekali.
"Siapa lagi kalau bukan guru-guru silat kedua pihak? Aku sendiri tidak tahu siapa, tapi yang pasti tentu akan terjadi pertempuran hebat dan mati-matian karena kedua pihak mempunyai ahli-ahli silat yang pandai. Kabarnya akan diajukan masing-masing tiga jago silat!"
Mendengar keterangan ini, Lie Bun merasa tertarik sekali dan mereka berdua segera mendesak kembali ke tengah untuk menonton pertandingan hebat yang akan diadakan. Anak muda ini merasa sangat gembira hingga melupakan gurunya dan ia mendesak sampai di depan sekali, di mana berdiri penjaga-penjaga yang melarang orang luar memasuki pekarangan itu. Ternyata kini kursi-kursi di pekarangan yang mengelilingi lui-tai telah penuh diduduki orang. Bagian kiri diduduki oleh rombongan tuan rumah, pembesar-besar dan hartawan-hartawan Tung-kiang, sedangkan di bagian kanan diduduki oleh pihak tamu dari Nam-kiang. Di atas panggung telah berdiri seorang tua berpakaian bangsawan, dan
(Lanjut ke Jilid 03)
Pendekar Muka Buruk/Ouw Bin Hiap Kek (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 03
tamu dari Nam-kiang. Di atas panggung telah berdiri seorang tua berpakaian bangsawan, dan dibelakangnya berdiri tiga orang-orang tua yang tampak gagah. Bangsawan itu menjura ke arah tempat duduk para tamu dan berkata dengan suara lantang tapi hormat.
"Cuwi sekalian yang terhormat. Sebagaimana diketahui, pertandingan yang diadakan hari ini ialah untuk mengakhiri persaingan yang berbahaya. Agar terdengar jelas oleh semua yang berkumpul di sini, kami ulangi peraturan-peraturan pertandingan dan pertaruhan-pertaruhannya yang telah dibuat di atas kertas perjanjian, yakni pertandingan diadakan tiga kali di antara tiga calon atau jago yang diajukan kedua pihak. Pertandingan ini diserahkan kepada mereka yang bertanding untuk mengadakan perjanjian sendiri, hendak pakai senjata atau tangan kosong. Akibat luka atau mati tidak ditanggung oleh jago masing-masing. Dan yang kalah dalam pertandingan ini telah berjanji hendak membubarkan perkumpulannya dan sebagai tanda tunduk, hendak menggabungkan diri kepada perkumpulan yang menang dan dianggap sebagai cabang perkumpulan itu. Sudah jelaskan?"
Terdengar jawaban-jawaban yang menyatakan bahwa keterangannya telah jelas dan disetujui. Kemudian pembesar itu melanjutkan kata-katanya.
"Dan sekarang kami perkenalkan jago-jago kami, yakni jago-jago Tung-kiang. Pertama adalah losuhu Cee Un yang berjuluk It-ci Sin-kang Si jari lihai, kedua adalah losuhu Bu Swat Kay berjuluk Tiat-tauw-ciang Si kepala besi dan yang ketiga adalah losuhu Ouw-bin-liong Kwee Ong Si naga muka hitam. Kini kami persilakan cuwi mengajukan jago-jago dari Nam-kiang."
Wakil Nam-kiang, seorang hartawan yang bertubuh gemuk dan pandai silat juga, loncat naik ke panggung. Ia membungkuk dan menjura ke arah rombongan tuan rumah dan berkata.
"Cuwi sekalian. Kami dari Nam-kiang telah siap dengan tiga jago kami. Pertama-tama akan maju jago ketiga dari pihak kami, yaitu losuhu Teng Ho Kong."
Ia lalu loncat turun kembali dan pihak tuan rumah juga loncat turun, kecuali jago ketiga yang menunggu munculnya lawannya. Teng Hok Kong adalah seorang tosu berbaju putih. Ketika tosu ini loncat ke atas panggung, gerakannya demikian ringan dan lemah hingga diam-diam Lie Bun kagum, karena ia maklum bahwa tosu ini tentu tinggi ilmu silatnya. Kwee Ong yang menjadi jago ketiga dari Tun-kiang, segera menyambut kedatangan lawannya dengan menjura. Ia sudah cukup kenal nama Teng tosu yang lihai, maka ia berlaku hati-hati dan bertanya.
"Teng tosu hendak memberi pengajaran dengan cara bagaimanakah? Bersenjata atau bertangan kosong?"
Teng tosu balas menjura.
"Pinto adalah tamu, maka terserah kepada tuan rumah hendak memberi suguhan bagaimana."
Kata-kata ini halus tapi mengandung tantangan jumawa hingga Kwee Ong telah dapat dipanaskan hatinya."
"Kalau begitu, biarlah kita mengadu kepandaian secara bebas,"
Jawabnya yang lalu disetujui oleh lawannya.
"Teng tosu, sebagai tamu jangan sungkan-sungkan, mulailah!"
Tosu itupun tidak banyak bicara lagi. Dengan seruan,
"Awas serangan!"
Ia maju menyerang.
Gerakannya cepat dan ringan, menandakan ginkangnya yang tinggi. Tapi Kwee Ong yang mendapat julukan Si Naga Muka Hitam bukanlah lawan yang ringan. Ia loncat berkelit dan balas menyerang dengan hebat. Suara para penonton yang tadinya berisik menjadi diam dan sunyi karena semua mata dan perhatian ditujukan ke arah mereka yang berkelahi di atas panggung. Ternyata kedua lawan itu berimbang sekali. Teng tosu gesit dan cepat, Kwee Ong kuat dan gerak kakinya tetap. Mereka tidak berkelahi secara main-main, tapi mengeluarkan kepandaian simpanan dan berusaha menjatuhkan lawan dengan pukulan-pukulan maut. Berpuluh jurus telah dilalui dan belum juga ada yang menang. Tapi karena beberapa kali beradu lengan, Teng tosu merasa betapa kulit lengannya sakit yang menyatakan bahwa ia kalah tenaga. Maka tanpa sungkan lagi ia loncat mundur sambil berseru.
"Marilah kita mengadu senjata!"
Katanya sambil mencabut pedangnya dari punggung.
"Baiklah!"
Kwee Ong menjawab dan ia ambil toyanya yang tadi ditaruh di pinggir panggung. Mereka saling serang lagi, kini lebih hebat karena menggunakan senjata. Penonton menjadi makin tegang dan silau karena sinar senjata yang diputar cepat itu. Terutama pedang Teng tosu ternyata hebat dan lihai hingga dengan gerak pedang Liang-gie-kiamhwat dari cabang Bu-tong-pai, ia berhasil mengurung lawannya dan mendesak hebat.
Hal ini terlihat jelas oleh para penonton di sekeliling panggung, hingga tentu saja tamu-tamu menjadi girang. Sebaliknya tuan rumah menahan napas dengan penuh kekuatiran. Setelah mendesak hebat, maka akhirnya Teng tosu berhasil mengirim tusukan maut ke arah tenggorokan Kwe Ong. Tusukan ini sukar sekali ditangkis karena toyanya berada dalam kedudukan yang sulit, maka terpaksa Kwee Ong ayun tubuh atasnya ke belakang hingga seperti hendak jatuh. Dengan gerakan ini ia terluput dari tusukan pedang, tapi secepat kilat Teng tosu kirim tendangan ke arah lututnya hingga tak ampun lagi Kwee Ong roboh di atas panggung dan toyanya terlepas. Jatuhnya miring dan karena pening untuk sesaat ia tak dapat bangun. Ia rasakan lututnya sakit sekali, agaknya putus sambungannya.
"Kwee sicu, maafkan pinto yang kurang ajar!"
Teng tosu berkata sambil maju hendak bantu membangunkan Kwee Ong. Tapi... pada saat itu, ketika Teng tosu membungkuk hendak pegang lengan Kwee Ong, dengan cepat dan tak terduga sama sekali, orang she Kwee itu... ayunkan tangannya. Sebatang piauw menyambar dan tepat menancap ditenggorokan Teng tosu yang roboh terguling tanpa dapat mengeluarkan suara lagi. Hal ini terjadi cepat sekali hingga hampir tidak diketahui orang, tapi Lie Bun melihatnya jelas sekali. Anak muda yang berdarah panas ini segera maju hendak masuk ke pekarangan. Tapi kelima penjaga mencegahnya dengan lintangan tombak dan golok.
"Minggir kamu!"
Bentak Lie Bun dan entah bagaimana, tahu-tahu kelima penjaga itu terlempar kesana kemari dan jatuh tunggang langgang. Semua penonton di luar pagar heran dan kagum sekali melihat sepak terjang anak muda itu, terutama kakek yang tadi bercerita kepada Lie Bun merasa terkejut dan heran. Lie Bun tak perdulikan seruan orang-orang itu, tapi terus saja loncat menghampiri panggung dan sebelum orang-orang yang duduk di sekitar panggung tahu apa yang terjadi dengan para penjaga itu, tahu-tahu tubuh Lie Bun telah melayang ke atas panggung.
Pada saat itu, kedua jago dari Nam-kiang melihat betapa kawan mereka dapat dirobohkan dengan cara yang sangat curang, merasa marah sekali dan berbareng meloncat ke atas panggung. Juga kedua jago dari Tung-kiang melihat pihak Nam-kiang loncat, ikut enjot tubuh ke atas. Akan tetapi sebelum keempat jago dari kedua pihak itu sampai ke atas panggung, tahu-tahu Lie Bun telah mendahului mereka. Kwee Ong yang berhasil merobohkan Teng tosu dengan cara curang, ketika melihat berkelebatnya seorang pemuda ke atas panggung, menyangka bahwa itu tentu kawan Teng tosu hendak menuntut balas, maka ia cepat ayun lagi tangannya dan sebatang piauw meluncur ke arah tubuh Lie Bun yang belum turun kakinya. Pemuda itu segera membentak.
"Bangsat curang!"
Dan ia gunakan dua jari tangannya menyampok piauw yang terbang itu hingga dengan luncuran yang lebih cepat dari datangnya tadi, piauw itu terbang kembali menyerang tuannya. Kwee Ong tak keburu berkelit karena hal ini sama sekali tidak disangkanya hingga tahu-tahu piauwnya sendiri telah menancap di lehernya dan ia berteriak ngeri. Keempat jago yang kini telah naik ke panggung, dua dari Tung-kiang, dua lagi dari Nam-kiang, menjadi terkejut dan heran. Mereka tidak tahu dari mana datangnya anak muda yang lihai ini. Terutama pihak Tung-kiang yang melihat betapa kawan mereka dilukai, segera membentak nyaring.
"Bangsat kecil berani mati! Siapakah kau yang telah berani membunuh kawan kami?"
Sebelum Lie Bun menjawab, dua orang jago dari Nam-kiang yang juga telah naik dan marah melihat ada orang luar ikut campur hingga dapat menimbulkan dugaan buruk terhadap pihak Nam-kiang, membentak marah.
"Pengemis cilik kelaparan! Kenapa kau ikut campur urusan orang lain? Kami tidak sudi dibantu oleh siapapun juga?"
Lie Bun tersenyum dan memandang orang-orang kedua pihak berganti-ganti, lalu berkata sambil angguk-anggukan kepala.
"Memang sudah ku duga. Kamu semua bukanlah orang baik-baik, bukan orang-orang gagah di kalangan kang-ouw yang menjunjung tinggi kegagahan, tentu takkan sudi diperalat oleh orang-orang kaya dan berpangkat untuk saling menghantam sesama kaum dan golongan. Tapi aku tidak perduli semua ini. Kalian orang-orang tersesat mau saling hantam dan bunuh masa bodoh. Tapi di depan mataku jangan sekali-kali terjadi kecurangan seperti tadi. Biarpun yang bertempur hanya segerombolan anjing, kalau ada yang bermain curang, aku tak dapat tinggal diam. Aku paling benci melihat kecurangan!"
Semua orang heran sekali mendengar kata-kata yang sangat berani ini, dan banyak orang menyangka bahwa anak muda pengemis ini tentu berotak miring atau setidaknya seperempat gila. Orang-orang yang tadi menonton di luar pagar, kini melihat betapa kelima penjaga itu dapat dilempar orang hingga merangkak bangun sambil pegang-pegang kepala yang bocor, beramai-ramai memasuki pintu pekarangan dan melihat ke atas panggung, karena mereka tahu bahwa sekarang akan terjadi perkelahian yang lebih hebat lagi.
"Bangsat kecil, kau memang harus dibikin mampus!"
Bentak jago kedua dari Tung-kiang yang bertubuh pendek besar dan kepalanya gundul. Inilah Tiat-tauw-ciang si kepala besi yang bernama Bu Swat Kay.
"Benar, sebelum kita melanjutkan pertandingan ini, lebih dulu kita harus bereskan binatang ini!"
Jago pertama dari Nam-kiang berseru. Sementara itu, kedua mayat dari Kwee Ong dan Teng tosu telah diturunkan orang hingga kini yang berada di atas panggung hanya tinggal Lie Bun yang dikurung oleh empat orang jago dari kedua pihak. Lie Bun mendengar betapa jago-jago kedua pihak memusuhinya, tersenyum dan berkata.
"Memang seharusnya demikian. Kalau kalian berempat tak dapat menjatuhkan aku, apakah kalian masih ada muka untuk main pencak di sini memamerkan kepandaianmu yang tiada harganya ini? Hayo majulah kalian berempat, boleh coba-coba dengan siauw-yamu!"
Bukan main marahnya keempat orang itu. Mereka adalah jago-jago besar yang ternama dan memiliki kepandaian tinggi. Jago pertama dari Tung-kiang yang bernama Cee Un dan berjuluk Si jari lihai adalah seorang tinggi kurus yang mahir sekali ilmu totok It-ci-tiam-hwat dan memiliki lweekang yang sudah mencapai tingkat tinggi. Selain menggunakan sebuah jari untuk menotok jalan darah lawan, Cee Un memiliki sebuah senjata yang aneh dan lihai,
Yakni sebatang pit kuningan yang dapat ia mainkan dengan berbahaya karena selain merupakan senjata yang dapat menembus kulit, mematahkan tulang, juga dapat digunakan untuk menotok jalan darah lawan yang berkulit tebal. Jago kedua dari Tung-kiang juga seorang yang berkepandaian tinggi. Bu Swat Kay si kepala besi ini memiliki tenaga besar dan keistimewaannya ialah menggunakan kepalanya yang gundul licin untuk menghantam tubuh lawan. Jarang ada lawan yang dapat menahan benturan kepalanya yang lebih berbahaya dari pada serudukan kerbau jantan. Juga jago-jago dari Nam-kiang tak boleh dipandang ringan. Yang ketiga saja, Teng tosu yang tewas karena kecurangan Kwee Ong sudah cukup lihai. Yang kedua ialah Liok Sat yang dijuluki Lutung Sakti, seorang bekas perampok ulung yang telah terkenal sekali akan ilmu pedang cabang Kun-lun yang telah tercampur dengan lain-lain cabang.
Yang pertama adalah seorang kang-ouw yang telah membuat nama besar, bukan karena kegagahannya saja, tapi juga karena kekejamannya. Ia adalah seorang hwesio cabul yang tersesat bernama Khong Tong Hwesio, seorang ahli dari cabang Siauw-lim-pai, tapi bukan murid langsung, hanya saja ilmu silatnya telah bercampur dengan ilmu silat Pek-lian-kauw. Khong Tong Hwesio ini masih menjadi murid keponakan dari Ang-koay-tojin yang terkenal dan ditakuti seluruh tokoh kang-ouw. Demikianlah empat orang jago besar itu, tentu saja mereka merasa terhina sekali oleh anak muda yang tak mereka pandang sebelah mata itu. Si kepala besi tak dapat menahan marahnya lagi, lalu berkata kepada kawan dan lawannya.
"Saudara-saudara harap turun dulu, biar aku yang mengantar nyawa binatang jahanam ini ke neraka!"
Karena tidak sudi dianggap mengeroyok seorang anak muda yang usianya tidak lebih dari lima belas tahun, tiga jago lain lalu loncat turun dengan muka merah karena marah dan penasaran. Lie Bun menghadapi si kepala besi.
"Kalau tidak salah, tadi kau diperkenalkan sebagai seorang berkepala besi. Tidak tahu besi di kepalamu itu besi tulen atau palsu?"
Orang-orang luar yang kini telah mendesak masuk ketika mendengar ini tak dapat menahan geli hati mereka dan sambil ditahan-tahan mereka tertawa perlahan. Bukan main marahnya si kepala besi hingga kepalanya yang licin gundul itu seakan-akan mengeluarkan asap. Ia gulung lengan bajunya dan Lie Bun juga meniru perbuatannya itu, ikut-ikut menggulung lengan baju hingga kembali orang-orang yang melihat tingkah lakunya yang lucu menjadi tertawa.
"Bangsat kecil, lihat saja dalam sepuluh jurus aku pasti akan menjatuhkan kau ke bawah panggung dengan napas putus!"
Lie Bun menjawab sambil meniru-niru gaya dan suara si kepala besi.
"Bangsat besar, lihat saja dalam lima jurus aku pasti akan menjatuhkan kau ke bawah panggung dengan napas empas-empis!"
Kembali para penonton tertawa, mereka ini lupa bahwa yang berada di atas panggung bukanlah dua orang pelawak yang sedang membadut, tapi adalah dua orang yang akan bertempur mengadu nyawa. Si kepala besi yang tadinya hendak tahan harga dan menjaga nama hingga tak mau menyerang dulu, melihat lagak Lie Bun menjadi tak sabar lagi. Ia mengeram dan maju menerkam seperti seekor harimau haus darah. Lie Bun menghitung
"Satu!"
Sambil berkelit dan ketika serangan kedua datang, ia menambah hitungannya "dua!"
Dan demikianlah, dengan berkelit dan gunakan ginkangnya hingga ia bergerak lincah sekali. Ia menghitung terus sampai delapan. Melihat betapa dalam delapan jurus belum juga dapat menjatuhkan anak itu, si kepala besi menjadi terkejut, heran dan malu. Kalau tidak bisa menjatuhkan dalam dua jurus lagi, ia akan mendapat malu dan kehilangan muka, pikirnya. Maka ia lalu maju menyerang dengan tiga pukulannya yang paling berbahaya, yakni Macan hitam menerkam ular. Pukulan ini selain cepat, juga tidak terduga, karena kedua tangan digerak-gerakan tak tentu hingga sukar diduga hendak memukul bagian mana. Namun Lie Bun tidak menjadi bingung. Ia sengaja menanti dengan tenang dan menghantam lambung yang dapat mendatangkan maut. Ia segera menggulingkan diri ke belakang sambil menghitung
"Sembilan!"
Dan kemudian berdiri lagi sambil tersenyum-senyum mengejek. Tentu saja si kepala besi merasa gemas sekali, apalagi ketika mendengar suara ketawa dari para penonton, baik dari pihak Tung-kiang maupun dari pihak Nam-kiang yang merasa betapa anak muda itu sikapnya lucu sekali. Maka nekadlah si kepala besi, ia mundur beberapa langkah dan segera berseru.
"Bersedialah untuk mampus!"
Kemudian ia lari cepat dengan kepalanya yang gundul mengkilap di depan, seperti lakunya seekor kerbau gila yang menyeruduk lawannya. Karena sambil maju menyeruduk, matanya melirik, ia dapat mengejar kemana saja lawannya lari menghindarkan diri. Melihat kenekatan lawannya, Lie Bun tertawa keras dan berkata.
"Coba lihat, apakah kepalamu ini benar-benar besi tulen atau hanya kentang busuk!"
Belum habis kata-kata ini dikeluarkan, semua orang menahan napas karena serudukan ini telah tiba. Tapi Lie Bun dengan tenang sekali enjot tubuhnya ke atas hingga ia dapat naik ke atas punggung lawannya dan dengan sebelah kaki ia injak belakang kepala itu sambil kirim satu tabokan dengan tangannya.
"Plak!"
Kepala gundul itu kena ditampar.
"Ah, bukan besi tulen!"
Kata Lie Bun yang loncat turun.
"Nah, aku sudah menerima serangan sepuluh jurus, sekarang coba kau terima seranganku lima jurus saja!"
Sehabis berkata demikian, Lie Bun lalu maju menendang dengan kaki kirinya secara sembarangan ke arah perut lawannya. Tendangan ini agaknya dilakukan sembarangan saja dan tidak bertenaga hingga si kepala besi pandang enteng. Tapi jago-jago nomor satu dari kedua pihak khawatir sekali karena mereka maklum bahwa tendangan ini adalah sebuah gerakan pancingan dari ilmu tendangan Siauw-ci-twie yang lihai.
Benar saja, ketika si kepala besi dengan sembrono gunakan tangan hendak menangkap kaki yang menendang itu, tahu-tahu kaki itu telah ditarik kembali dan secepat kilat kaki kedua menyusul dari jurusan lain yang sama sekali tidak terduga. Kaki kanan Lie Bun yang tak bersepatu tepat sekali mendorong dada si kepala besi hingga tak ampun lagi Bu Swat Kay terlempar dan jatuh dari atas panggung hingga mengeluarkan suara bergedebuk keras ketika tubuhnya menimpa tanah. Kini pujian dari penonton tak disembunyikan lagi. Terdengar tepuk tangan riuh. Melihat betapa seorang pengemis kecil dapat mengacaukan pertandingan lui-tai itu yang berarti menghina mereka yang hendak bertanding, maka Liok Sat si Lutung sakti enjot tubuh naik ke atas panggung. Begitu kakinya menginjak papan panggung, tahu-tahu ia telah kirim serangan maut ke arah ubun-ubun kepala Lie Bun.
"Kejam sekali!"
Lie Bun berseru keras dan berkelit menghindar serangan itu.
Tapi si lutung sakti tidak mau kasih hati kepada pengemis muda yang ia anggap sangat kurang ajar itu, dan terus saja ia keluarkan ilmu silatnya yang paling jempolan, yakni Sin-wan Kun-hwat atau ilmu pukulan lutung sakti yang diciptakannya sendiri berdasarkan ilmu silat Go-bi. Ia menafsir dalam beberapa jurus saja pasti ia akan dapat menangkap atau merobohkan anak itu yang disangkanya hanya memiliki kegesitan belaka. Tidak tahunya bahwa Lie Bun telah banyak mengalami pertempuran besar bersama suhunya dan ia mengenal segala macam ilmu silat. Maka melihat permainan silat lawannya, ia lalu keluarkan ilmu silat Bie-ciong-kun atau Kepalan menyesatkan dan dengan ilmu silat ini ia dapat membuat lawannya bingung.
Gerak geriknya seperti seorang wanita yang genit hingga nampak menarik sekali dan menimbulkan buah tertawaan penonton yang makin gembira. Pertunjukan itu tentu saja merupakan tamparan hebat, baik bagi pihak tuan rumah maupun bagi pihak tamu, maka dengan berbisik para pengurus kedua pihak lalu menganjurkan jago-jago ke satu mereka untuk naik dan membereskan pengacau cilik itu! Tapi sebelum kedua jago itu naik ke panggung, terdengar teriakan keras dari Liok Sat dan tubuhnya terlempar di udara. Ternyata ketika ia menggunakan kaki kanan menendang dengan keras ke arah anggota rahasia Lie Bun, pemuda itu cepat geser kakinya ke samping, lalu cepat bagaikan kilat ia berhasil menangkap kaki lawan dan terus saja mendorongnya ke atas.
Tidak ampun lagi tubuh Liok Sat terlempar dan melayang dengan telentang dan kepala lebih dulu ke bawah panggung. Untung baginya bahwa jatuhnya tepat di mana jago pertama dari Nam-kiang berdiri hingga Khong Tong Hwesio dapat menjambak leher bajunya dan mencegah kepalanya membentur tanah. Khong Tong Hwesio putar-putar matanya yang besar karena marahnya. Selama hidupnya belum pernah ia merasa terhina seperti pada saat ini. Seorang pengemis muda berani mengganggu dan membikin malu ia dan kawan-kawannya. Sungguh harus mampus! Ia telah siap untuk melayang ke atas panggung dan dengan sekali jotos tewaskan anak muda itu. Tapi pada saat itu tampak seorang dari pihak Tung-kiang loncat naik ke atas panggung sambil membentak.
"Bangsat kecil, kau cari mampus sendiri!"
Dan bayangan itu yang mempunyai gerakan cepat dan ringan sekali langsung menyerang Lie Bun. Ia adalah Cee Un si jari lihai, jago pertama dari Tung-kiang. Ketika tangan yang menyerang itu dikelit oleh Lie Bun, cepat sekali tangan itu terbuka jarinya dan terus menyerang ke arah mata pemuda itu. Gerakannya demikian cepat dan tidak terduga hingga Lie Bun menjadi kaget sekali. Ia tahu bahwa lawannya kali ini bukan sembarang orang, maka ia tak berani berlaku sembrono. Namun ia masih berkelakar untuk menenagkan hatinya.
"Ah, inikah It-ci-sin-kang si jari lihai? Berani betul kau melawan aku. Apa tidak takut kalah?"
"Setan kecil tutup mulutmu!"
Cee Un membentak dan kembali ia menyerang hebat. Kini ia menggunakan It-ci-tiam-hwat atau ilmu totokan satu jari yang luar biasa lihainya karena jari telunjuk kedua tangannya itu lebih berbahaya dari pada dua batang pedang tajam. Gerakan pedang dapat didengar dan dilihat, tapi senjata hidup berupa jari tangan itu lihai sekali dan luar biasa cepatnya. Namun Lie Bun akan memalukan nama suhunya jika ia dapat dibuat gentar oleh It-ci-tiam-hwat. Ia bergerak lebih cepat dari pada lawannya dan untuk menghindari jari lawan ia gunakan ilmu pukulan Eng-jiauw-kang. Sepuluh jari tangannya lalu ditekuk merupakan cakar garuda dan jangan pandang rendah jari-jari tangannya yang kecil itu karena di situ telah dialirkan tenaga lweekang yang membuat jari-jari itu merupakan cakar besi dan dapat membeset kulit lawan.
Demikianlah, kedua orang itu saling serang, yang satu menusuk-nusuk dan yang lain mencakar-cakar. Menghadapi kelincahan Lie Bun yang ternyata lebih gesit dari padanya ini, Cee Un merasa penasaran sekali. Ia sebetulnya tidak takut menghadapi cengkraman cakar Lie Bun karena dengan mengandalkan ilmu kebal dan tenaga dalamnya, paling hebat kalau sampai tercengkram tentu hanya luka kulit saja yang di deritanya, tapi kalau hal ini benar. Karena inilah, maka ia berteriak menyatakan kemendongkolan hatinya, lalu tahu-tahu ia telah mencabut sebatang pit kuningan dari pinggangnya. Pit ini pjanganya kira-kira satu kaki dan ketika ia telah pegang senjata istimewa ini, ia lakukan serangan bertubi-tubi dengan cepat dan hebat. Kini Lie Bun agak terdesak. Tadi memang ia berani mengadu tangan karena sepuluh jarinya boleh diadu dengan dua jari lawan.
Tapi kini jari-jarinya menghadapi sebatang pit kuningan yang keras dan lihai, maka ia lalu merubah pula caranya bersilat. Dan kini ia gunakan ilmu silat Im-yang-kun yang diandalkan dan menjadi ilmu simpanan suhunya. Benar-benar ilmu silat Im-yang-kun ini luar biasa, karena ilmu silat ini mengandung kekerasan dan kehalusan secara berbareng. Dengan menggunakan ilmu silat ini Lie Bun dapat melayani pit dari It-ci-sin-kang hingga ratusan jurus. Sebetulnya Lie Bun kalah tenaga lweekang, juga kalah ulet dan pengalaman, maka dapat diduga betapa terkejut dan herannya Cee Un ketika melihat betapa pemuda itu sukar sekali dirobohkan. Khong Tong Hwesio melihat bahwa Cee Un belum juga dapat merobohkan anak itu, menjadi makin marah. Ia enjot tubuhnya yang besar dan sekejap mata ia telah berada di atas panggung sambil membentak.
"Orang she Cee! Kau serahkan anak ini untuk disembeli olehku!"
Tapi Cee Un yang merasa penasaran tak mau tinggalkan anak itu karena kalau ia tinggalkan akan kehilangan muka. Itu berarti bahwa ia kalah terhadap Lie Bun dan jika nanti Khong Tong Hwesio dapat merobohkan anak ini, maka dengan sendirinya berarti bahwa iapun kalah hebat jika dibandingkan dengan Khong Tong Hwesio. Karena ini ia menjawab.
"Jangan kau ikut-ikut! Biarlah aku sendiri bikin mampus anak ini!"
Karena keduanya tidak mau mengalah, maka keduanya lalu maju menyerang Lie Bun, hingga anak muda ini dikeroyok dua oleh jago-jago nomor satu dari Tung-kiang dan Nam-kiang. Menghadapi dua jago tua yang lihai dan ganas ini, Lie Bun kewalahan juga dan biarpun gerakannya lincah dan gesit, namun sukar sekali baginya untuk menghindarkan diri dari ancaman maut yang dilancarkan oleh dua lawannya itu.
Semua penonton menahan napas dan empe yang tadi bercerita kepada Lie Bun dan yang semenjak naiknya Lie Bun di atas panggung, telah mendesak berdiri di tempat paling depan, bertepuk tangan paling keras dan tertawa paling gembira melihat kemenangan-kemenangan Lie Bun. Kini ia berdiri memandang dengan bibir gemetar karena mengkhawatirkan keselamatan anak muda yang luar biasa itu. Pada saat yang berbahaya bagi keselamatan Lie Bun, tiba-tiba kedua pengeroyoknya terpental mundur dan di antara keduanya berdiri seorang pengemis tua yang pakaiannya sama benar dengan pakaian Lie Bun. Ia adalah Kang-lam Koay-hiap sendiri yang keburu datang menolong jiwa muridnya dari bahaya maut.
"Tidak malukah kalian orang tua bangka mengeroyok seorang anak muda? Kalau kalian mau mengeroyok, keroyoklah aku tua sama tua!"
Ketika melihat siapa yang berada di depan mereka, Khong Tong Hwesio dan Cee Un berdiri dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.
"Kang-lam Koay-hiap! Kesalahan apa yang telah kami perbuat hingga Koayhiap sampai turun tangan?"
Cee Un bertanya sambil menjura.
"Kau secara pengecut mengeroyok muridku, masih bertanya salah apa lagi?"
Mendengar jawaban ini, Cee Un berdiri bingung. Tidak disangkanya sama sekali bahwa pemuda itu adalah murid Kang-lam Koay-hiap, pantas saja lihainya luar biasa. Si jari lihai ini pernah mendapat hajaran keras dari Kang-lam Koay-hiap, maka ia sangat tunduk dan jeri. Sebaliknya, biarpun pernah mendengar dan pernah melihat Kang-lam Koay-hiap, namun belum pernah ia merasai tangannya, maka Khong Tong Hwesio melihat betapa Cee Un nampak jerih. Ia lalu maju untuk mencari muka terang. Ia menjura sambil berkata, suaranya biasa, keras dan nyaring, sama sekali tidak menunjukkan takut atau jerih.
"Kang-lam Koay-hiap! Telah lama mendengar namamu yang besar, maka pinceng merasa senang sekali dapat bertemu muka. Muridmu ini lihai sekali hingga berturut-turut menjatuhkan jago-jago Tung-kiang dengan mudah. Tapi mengapa dia mengacau panggung lui-tai kami? Hal ini harap kau orang tua sudi pertimbangkan dan dapat menegurnya."
Pendekar Muka Buruk Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Khong Tong, hwesio sesat! Tak perlu kau banyak jual lagak, karena aku telah tahu betul keadaanmu dan orang-orang yang menyebut dirinya orang-orang gagah tapi sebetulnya hanya gentong-gentong nasi tiada guna belaka!"
"Hayo, Lie Bun, kita tinggalkan tempat kotor ini. Untuk apa meladeni segala macam anjing penjilat orang-orang kaya ini?"
Bukan main marahnya Khong Tong Hwesio mendengar kata-kata ini, maka ketika guru dan murid itu balikkan tubuh hendak loncat turun dari panggung, tiba-tiba ia keluarkan hui-to atau golok terbangnya yang kecil dan tajam sebanyak tiga buah. Lalu langsung ia sambitkan ke arah guru dan murid itu. Sambitan ini, yang dilakukan dari jarak dekat, sangat berbahaya dan agaknya Lie Bun takkan dapat hindarkan dirinya pula. Tapi tanpa balikkan badan, Kang-lam Koay-hiap putar tongkatnya di belakang tubuhnya dan tubuh muridnya dan dua golok terbang dapat terpukul jatuh, sedangkan yang sebuah lagi terbang kembali ke arah Khong Tong Hwesio hingga dengan terkejut sekali hwesio itu loncat menyingkir.
Kang-lam Koay-hiap loncat pergi diikuti muridnya dan sebentar saja mereka lenyap dari pandangan mata. Semua orang yang melihat mereka dengan perasaan heran, terkejut dan kagum. Kang-lam Koay-hiap lanjutkan perantauan mereka dan Lie Bun makin giat belajar silat karena pengalamannya di kota Tung-kiang menyatakan bahwa ia masih perlu mempertinggi kepandaiannya, karena ketika dikeroyok oleh Khong Tong Hwesio dan Cee Un hampir saja ia mendapat celaka. Pada suatu hari, mereka tiba di kota Bok-chun yang ramai. Seperti biasa Kang-lam Koay-hiap ajak muridnya mengemis. Ketika mereka lewat di depan sebuah kelenteng yang besar dan memakai merek Ban-siu-tong di depannya, tiba-tiba seorang hwesio yang sedang duduk di pekarangan depan kelenteng itu memanggil mereka.
"Sahabat-sahabat mampirlah sebentar jika kalian butuh makan."
Kang-lam Koay-hiap dan muridnya menengok dengan heran. Selama mereka merantau belum pernah ada orang menawari makan tanpa diminta. Ternyata yang menawari makan itu adalah seorang hwesio berusia kira-kira empat puluh tahun dan hwesio itu berdiri sambil tersenyum lebar kepada mereka. Mata Kang-lam Koay-hiap sangat tajam, maka segera timbul curiganya melihat sinar mata hwesio itu. Ia mengangguk-angguk dan tarik tangan muridnya.
"Ah, kau tadi sebut makan?"
Hwesio itu tertawa melihat betapa pengemis-pengemis itu cepat sekali memperhatikan jika ditawari makan. Ia tidak marah mendengar tutur sapa pengemis tua yang kasar itu. Ia mengangguk.
"Ya, makan! Kalian tentu lapar, bukan? Nah, marilah masuk dan kalian boleh makan sekenyangnya!"
Kang-lam Koay-hiap dan Lie Bun masuk ke pekarangan kelenteng itu dan mengikuti hwesio itu dari belakang. Guru dan murid itu makin curiga ketika melihat bahwa tindakan kaki hwesio itu sangat kuat dan tegap, tanda bahwa hwesio itu memiliki kepandaian silat tinggi. Ketika tiba di ruang tengah, hwesio itu memanggil hwesio pelayan.
"Uruslah kedua sahabat yang perlu ditolong ini dan berilah makan sampai kenyang."
"Baik, suhu,"
Jawab hwesio pelayan yang membawa mereka ke ruang belakang. Di situ mereka berdua diberi makan cukup banyak hingga mereka dapat makan sekenyangnya. Hwesio pelayan itu digunakan oleh Kang-lam Koay-hiap untuk bertanya tentang hwesio yang baik budi itu.
"Dia adalah hwesio kepala kelenteng kami ini,"
Jawab hwesio pelayan.
"Kelenteng ini hanya satu-satunya kelenteng di kota ini dan hwesio kepala memang terkenal baik budi dan dermawan. Semenjak Kak Pau Suhu ini mengepalai kelenteng kami, maka keadaan kelenteng menjadi baik dan banyak mendapat sumbangan karena Kak Pau Suhu terkenal pandai dan suci. Kau lihat, bahkan kepada pengemis-pengemis seperti kalian ia menaruh hati kasihan dan menolongmu."
Kang-lam Koay-hiap mengangguk-angguk.
"Apakah Kak Pau Suhu ini pandai ilmu silat?"
Tanyanya sambil lalu.
"Silat? Ah, setahuku, tidak. Tapi ia pandai tentang segala peraturan sembahyang, juga pandai liam-keng. Selain itu ia juga suci dan sakti, hingga beberapa kali ia diundang untuk mengusir siluman di beberapa rumah penduduk kota ini."
"Apa? Mengusir siluman? Apakah di kota ini ada silumannya?"
Hwesio pelayan itu tampak ketakutan dan menjawab perlahan.
"Banyak siluman, banyak..."
Dan ia tutup mulutnya karena pada saat itu Kak Pau Hwesio muncul lagi dengan senyum manis di bibir.
"Sudah cukupkah, sahabat-sahabat?"
Tanyanya kepada guru dan murid itu.
"Cukup, cukup... terima kasih,"
Jawab Kang-lam Koay-hiap.
"Kalau kalian merasa lapar, maka datang sajalah ke sini tentu kami akan menolongmu,"
Kata Kak Pau Suhu dengan ramah. Setelah meninggalkan kelenteng itu Kang-lam Koay-hiap bersungut-sungut seorang diri.
"Mana ada hwesio sebaik itu? Palsu... palsu... selama hidupku belum pernah kulihat hwesio mengurus pengemis!"
Ketika malam tiba, Kang-lam Koay-hiap berkata kepada Lie Bun.
"Lie Bun, di kota ini tentu terjadi hal-hal yang tidak sewajarnya. Kata hwesio pelayan tadi, di sini banyak siluman dan bahwa Kak Pau Suhu pandai mengusir siluman. Ini adalah aneh dan kita harus selidiki!"
Guru dan murid itu lalu naik ke atas genteng rumah-rumah orang untuk menyelidiki. Setelah puas berkeliling dan bahkan menyelidik di atas genteng kelenteng Ban-siu-tong dan tidak dapat sesuatu yang mencurigakan, kedua guru dan murid itu lalu merebahkan diri di atas genteng rumah gedung besar yang terlindung tembok loteng dan sebentar kemudian keduanya mendengkur karena telah jatuh pulas enak sekali.
Kira-kira lewat tengah malam, tiba-tiba Lie Bun terjaga dari tidurnya karena tubuhnya digoyang-goyang oleh gurunya. Ia cepat bangun dan duduk tanpa membuka suara sedikitpun. Ia telah terlampau biasa menghadapi saat-saat berbahaya hingga biarpun baru saja bangun tidur, pikirannya telah bekerja dan seluruh tubuhnya telah siap menghadapi segala kemungkinan. Suhunya menunjuk ke depan dan terlihat olehnya bayangan seseorang yang berloncatan di atas genteng dengan gerakan cepat. Bayangan itu mendekat dan ketika ia loncat ke atas genteng di mana Kang-lam Koay-hiap dan muridnya mendekam. Tampaklah bahwa bayangan itu adalah seorang tinggi besar yang berpakaian serba putih, kepalanya memakai kerudung putih dan ia memakai kedok hitam. Kemudian bayangan itu loncat ke lain genteng dengan gerakan yang cukup mengagumkan.
"Inilah agaknya siluman yang digemparkan orang,"
Kata Kang-lam Koay-hiap perlahan kepada muridnya. Kemudian ia memberi isyarat kepada Lie Bun untuk mengejar bayangan itu. Ketika tiba di atas sebuah rumah gedung, bayangan itu berhenti sebentar sambil memandang ke sekelilingnya. Kang-lam Koay-hiap dan Lie Bun cepat mendekam di atas genteng sambil mengintai dari balik wuwungan. Mereka melihat betapa orang itu loncat turun ke dalam pekarangan gedung.
"Kau tunggu di sini dan pasang mata!"
Kata Kang-lam Koay-hiap kepada muridnya. Kemudian kakek itu loncat mengejar ke bawah.
Lie Bun duduk di atas genteng sambil pasang mata dan telinga. Kang-lam Koay-hiap dengan cepat sekali dapat mengetahui di mana adanya tamu malam itu. Ternyata bayangan itu telah memasuki sebuah kamar dan ketika Kang-lam Koay-hiap mengintai dari balik jendela, hampir saja ia terjang jendela itu untuk menyerang penjahat malam yang dikejarnya tadi. Karena ternyata kamar itu adalah kamar seorang Siocia. Baiknya ia masih dapat menahan nafsunya untuk segera menyerang, dan mengintai lebih lanjut. Penjahat itu gunakan tangan kiri membuka kelambu dan di dalamnya tampak seorang gadis sedang tidur nyenyak. Cepat sekali tangan kanan penjahat itu bergerak dan gadis itu telah tertotok. Kemudian penjahat baju hitam itu mengangkat dan memanggul tubuh Siocia itu, lalu membawanya loncat ke atas genteng melalui pintu kamar yang terbuka.
"Bangsat, jangan lari!"
Kang-lam Koay-hiap membentak marah dan mengejarnya. Penjahat itu terkejut sekali dan ia cepat berkelit ketika tahu-tahu di depannya ada seorang anak muda yang menyerang kepalanya. Penyerang itu adalah Lie Bun yang mendengar teriakan suhunya. Ternyata penjahat malam itu cukup gesit karena mudah saja ia berkelit dari serangan Lie Bun. Sementara itu, Kang-lam Koay-hiap telah tiba di situ dan membentak.
"Bajingan, hayo kau lepaskan anak gadis itu!"
Penjahat itu tertawa keras dan melemparkan gadis itu ke atas. Lie Bun, tolong dia!"
Kata Kang-lam Koay-hiap yang langsung menerjang penjahat itu.
Pertempuran hebat segera terjadi dan baru saja bertempur beberapa jurus, penjahat itu kaget sekali karena pengemis tua yang menyerangnya ini benar-benar lihai sekali hingga ketika lengan mereka beradu, ia merasa betapa lengannya sakit dan panas! Sementara itu, Lie Bun dengan gerakan gesit dan cepat, loncat ke arah tubuh gadis itu dilempar dan sebelum tubuh gadis itu jatuh ke bawah, ia segera menangkap dan memeluknya. Alangkah terkejut dan malunya ketika ia melihat bahwa tubuh itu adalah tubuh seorang gadis berusia sepantar dengan dia sendiri dan gadis itu berada dalam keadaan tertotok. Ia letakkan tubuh itu di atas genteng dan untuk sesaat ia duduk bengong karena untuk memunahkan totokan ini ia harus totok iga dara itu. Penjahat malam itu hampir tak kuat menahan desakan Kang-lam Koay-hiap, maka ia berseru.
"Tahan dulu! Siapakah enghiong yang menghalangi pekerjaanku?"
Kang-lam Koay-hiap tahan marahnya.
"Bangsat sialan, sebelum kau ketahui namaku, buka dulu kedokmu dan jangan bersikap pengecut!"
Karena merasa bahwa dengan berkedok ia tak dapat melayani musuh lihai ini dengan baik, terpaksa penjahat malam itu buka kedoknya. Mereka saling pandang dan Kang-lam Koay-hiap benar-benar heran melihat orang yang berdiri di depannya.
"Kau... Kak Pau Hwesio?"
Tanyanya heran.
"Dan kau... pengemis siang tadi?"
"Ha ha ha! Sudah kuduga, kau hwesio palsu! Tapi sekarang kau bertemu dengan Kang-lam Koay-hiap, jangan harap bisa hidup lebih lama lagi."
"Kang-lam Koay-hiap?"
Kak Pau Hwesio menggigil dan dengan nekad ia cabut pedangnya lalu menyerang mati-matian. Si pengemis sudah siap dengan tongkat bambunya dan mereka bertempur lagi lebih hebat. Lie Bun akhirnya kuatkan hati dan menotok iga dara itu yang segera pulih kembali tenaganya. Dara itu memandang muka Lie Bun dengan penuh terima kasih di matanya, tapi ia masih takut sekali melihat pertempuran yang terjadi di depan matanya.
"Tolong inkong, turunkan aku!"
Katanya perlahan. Lie Bun ragu-ragu.
"Tapi... tapi..., aku harus... memondong kau, nona. Tidak ada jalan lain lagi..."
Nona muda itu untuk sesaat juga bingung, merasa malu harus dipondong oleh pemuda ini, tapi apa boleh buat karena untuk berada di atas genteng yang tinggi ini iapun merasa ngeri. Apalagi dengan adanya pertempuran di depan.
"Baiklah, tidak apa!"
Katanya halus. Lie Bun berkata lagi.
"Maafkan kelancanganku, nona."
Ia lalu memondong gadis itu dan loncat turun. Dara itu menjerit kecil ketika merasa tubuhnya terjun dari atas genteng yang tinggi itu dan ia memejamkan mata sambil memeluk leher Lie Bun. Pemuda ini merasa dadanya berdebar dan semangatnya terbang ketika gadis itu memeluk lehernya dan betapa rambut yang lemas dan harum itu menyapu-nyapu bibir dan hidungnya. Mendengar suara pertempuran di atas genteng, penghuni rumah gedung itu terkejut dan bangun sambil memasang obor. Tiba-tiba mereka melihat Lie Bun yang memondong gadis itu loncat dari atas genteng hingga mereka terkejut sekali. Mereka maju mengepung dan hendak menyerang Lie Bun, tapi gadis itu segera loncat turun dari pondongan Lie Bun sambil berseru.
"Jangan serang dia!"
Seorang setengah tua lari memeluknya.
"Kwei Lan! Apa yang terjadi?"
"Ayah!"
Gadis itu menangis tersedu-sedu dalam pelukan ayahnya.
"Ada penjahat menculikku ayah! Dan inkong (tuan penolong) ini telah menyelamatkan jiwaku. Sekarang kawannya sedang bertempur dengan penjahat yang menculikku."
Mendengar kata-kata ini, barulah Lie Bun teringat bahwa suhunya masih sedang bertempur di atas genteng, maka ia lalu loncat ke atas dengan cepat. Dilihatnya bahwa penjahat itu telah terdesak hebat oleh tongkat suhunya dan pada suatu saat, pedang penjahat itu terpental dan jatuh berkerontangan di atas genteng. Ujung tongkat menyambar dan hwesio jahat itu tertotok jalan darah yang dekat dengan jantungnya hingga mati di saat itu juga.
"Lie Bun, hayo kita pergi,"
Ajak Kang-lam Koay-hiap kepada muridnya tanpa memperdulikan orang-orang yang ada di bawah.
"Nanti dulu, suhu! Kita harus memberi penjelasan untuk menjaga nama baik Siocia tadi."
Suhunya memandang muridnya dengan pandangan tajam. Tapi karena malam itu gelap, ia tidak dapat melihat nyata. Ia hanya menghela napas dan sambil menyeret mayat hwesio itu, ia loncat turun bersama muridnya. Semua orang terkejut sekali ketika ia melihat bahwa yang menjadi penculik Lo Kwei Lan Siocia bukan lain adalah Pak Kau Hwesio, ketua kelenteng Ban-siu-tong yang terkenal suci dan sakti. Kini mengertilah mereka bahwa sebenarnya hwesio itu bukanlah pandai mengusir siluman, tapi semua ini hanya untuk menutupi perbuatannya yang terkutuk. Ia sendiri kalau malam menjadi siluman mengganggu orang dan mencuri harta benda. Kalau siang pura-pura menjadi hwesio alim dan mengusir segala siluman yang mengganggu.
Kumbang Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo