Pendekar Pemabuk 11
Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo Bagian 11
Dn "tak mau kalah"
Dari tokoh-tokoh kecil kedua pihak seperti Seng Le Hosiang dan Sin Seng Cu. Jangan sampai kau ikut menanam bibit permusuhan muridku, dan ingatlah akan ucapan para cerdik pandai di jaman dahulu bahwa seribu orang kawan masih terlampau sedikit, akan tetapi seorang musuh sudah terlalu banyak bagi seorang budiman."
Setelah menghaturkan terima kasih kepada suhunya dan berjanji akan mengingat segala nasehat dari kakek ini, Gwat Kong lalu keluar dari hutan liar itu. Pemuda yang keluar dari hutan itu jauh bedanya dengan Gwat Kong yang dulu memasuki hutan untuk mengikuti suhunya belajar silat.
Dia telah mendapat kemajuan yang luar biasa sekali dalam waktu tiga bulan lebih itu. Tidak saja tenaga lweekangnya telah meningkat karena petunjuk-petunjuk yang tepat dan cara berlatih yang penuh rahasia, dan ginkangnya juga maju pesat berkat latihan-latihan pernapasan dan bersamadhi, dalam hal ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat sungguhpun Bok Kwi Sianjin tidak pernah mempelajarinya akan tetapi kakek ini telah memberi nasehat-nasehat dan petunjuk-petunjuk yang penting untuk menyempurnakan permainan pedang pemuda itu.
Yang lebih hebat lagi, kini Gwat Kong dapat mengkombinasikan ilmu pedangnya dengan ilmu tongkat Sin-hong Tung-hoat. Apabila ia mainkan pedangnya, ia dapat memasukkan gerakan Sin-hong Tung-hoat di dalam pedang dan apabila memegang sebatang tongkat, ia dapat memasukkan pula ilmu pedangnya, sehingga di dalam gerakannya telah dapat ia mengawinkan dua macam ilmu silat yang lihai itu.
Dan selama seratus hari di dalam hutan itu bersama suhunya, terpaksa Gwat Kong menekan kesukaannya akan arak, karena suhunya pernah berkata bahwa biarpun arak merupakan minuman yang baik dan sehat, akan tetapi apabila dilakukan dengan berlebih-lebihan tak kenal batas, sebagaimana hal lain di dunia ini, maka akan mendatangkan pengaruh buruk bagi kesehatannya.
Sebagai gantinya, Bok Kwi Sianjin menganjurkannya untuk minum arak ringan yang terbuat dari pada buah yang mengandung khasiat menyehatkan dan membersihkan darah. Kini guci arak dari perak yang tergantung di pinggang Gwat Kong terisi oleh minuman ini.
Gwat Kong merasa rindu sekali kepada Tin Eng. Selama ini, ia makin merasa betapa sesungguhnya ia amat mencintai gadis itu, dan berkali-kali usahanya untuk mengusir bayangan gadis itu dari pikirannya, ternyata gagal. Tanpa disadarinya, kini kedua kakinya membawa ia menuju ke Hun-lam. Ia telah lupa ke mana arah jalan yang menuju ke kota itu. Akan tetapi berlawanan dengan maksud hatinya untuk berdaya melupakan Tin Eng, tiap kali bertemu dengan orang dan bertanyakan jalan, ia selalu bertanya arah jalan ke Hun-lam.
Pada suatu hari, ia tiba di dusun Ngo-bun-chung di kaki bukit Siang-san. Dusun ini cukup besar dan padat penduduk yang hidup sebagai petani. Biasanya dusun ini terkenal makmur karena memang tergolong tanah subur. Akan tetapi pada waktu itu di Tiongkok banyak daerah yang menderita karena musim kering yang luar biasa sekali.
Sudah lima bulan daerah yang menderita itu kehabisan air sehingga akibatnya, tanaman-tanaman di sawah menjadi kering. Rakyat di daerah itu tidak saja menderita kekurangan makan, akan tetapi juga kekurangan air sehingga harga air menjadi semahal harga emas.
Dusun Ngo-bun-chung termasuk daerah yang sedang kekurangan air dan rakyat di situpun amat menderita. Pemandangan yang amat menyedihkan dari rakyat jelata yang menderita kelaparan dan kehausan ini telah dilihat oleh Gwat Kong semenjak ia meninggalkan hutan di mana ia belajar ilmu silat.
Daerah di dekat Sungai Kuning itu masih nampak subur dan tidak sangat menderita karena musim kering. Akan tetapi makin jauh ia menuju ke selatan, makin menyedihkan keadaan daerah-daerah yang kering itu. Akan tetapi, belum pernah Gwat Kong melihat dusun yang menderita gangguan alam itu sehebat dusun Ngo-bun-chung.
Baru masuk saja ia melihat keadaan yang amat menyedihkan dan mendengar suara tangis memilukan dari beberapa rumah, tanda bahwa terdapat pula orang-orang yang mati kelaparan. Di dusun-dusun lain yang ia lewati, keadaan belum demikian hebat karena penduduk dusun dengan secara gotong rotong saling membantu dan membagi persediaan ransum sehingga jumlah kematian karena kelaparan sangat sedikit.
Tiba-tiba Gwat Kong melihat serombongan petani berjalan menuju ke barat. Mereka itu nampak pucat-pucat dan bersungguh-sungguh dengan tangan memegang senjata tajam seperti cangkul, kampak, golok, dan lain-lain. Sikap mereka jelas menyatakan bahwa mereka itu tengah menghadapi perkelahian.
Gwat Kong menjadi tertarik hatinya dan diam-diam ia mengikuti rombongan petani yang terdiri tidak kurang dari dua puluh lima orang itu. Setelah rombongan itu tiba di ujung dusun sebelah barat, mereka berhenti di depan pintu pekarangan sebuah rumah yang membuat Gwat Kong merasa heran sekali. Rumah itu tak pantas berada di tempat semelarat ini. Sebuah rumah kuno yang amat besar dan megah dengan pekarangan yang amat luas mengelilingi bangunan itu. Pantasnya gedung ini menjadi tempat peristirahatan kaisar atau orang-orang besar dari kota raja.
Para petani ini agaknya nampak ragu-ragu setelah tiba di tempat tujuan, dan untuk beberapa lama berdiri di luar pintu pekarangan yang besar terbuat dari kayu tebal itu. Akan tetapi seorang di antara mereka mempelopori kawan-kawannya sambil berseru keras.
"Serbu!"
Ia membuka pintu itu yang ternyata diikat dengan rantai besi. Tentu saja ia tidak kuat membukanya, akan tetapi kini kawan-kawannya telah dibangunkan semangat mereka oleh contoh ini dan dua puluh orang itu lalu merenggut dan menarik pintu pekarangan itu sehingga dengan mengeluarkan suara keras pintu itu roboh.
Suara roboh pintu yang gaduh ini seakan-akan menambah semangat kepada para petani itu karena mereka serentak menyerbu ke pekarangan gedung itu sambil mengangkat senjata-senjata mereka di atas kepala. Gwat Kong tidak ikut masuk hanya memandang dari luar pagar dengan heran dan penuh perhatian, ingin melihat apakah yang akan terjadi selanjutnya.
Tiba-tiba daun pintu yang lebar dari gedung besar itu terbuka dari dalam, dan semua petani yang memberontak itu memandang dengan mata terbelalak, seakan-akan tiba-tiba mereka merasa takut sekali. Akan tetapi sungguh aneh, ketika daun pintu itu terbuka, di dalamnya kosong tidak nampak sesuatu.
Gwat Kong merasa heran sekali dan sebelum ia dapat menduga, tiba-tiba dari dalam pintu yang kosong itu berkelebat bayangan orang yang bertubuh tinggi besar dan memegang toya kuningan. Tanpa banyak cakap bayangan itu menyambar dan tiga orang petani yang berada di depan sekali berteriak ngeri dan roboh pingsan!
Ributlah para petani melihat hal ini dan beberapa orang dengan marahnya mengangkat senjata untuk mengeroyok laki-laki tinggi besar itu. Akan tetapi, kembali toya kuningan itu bergerak dan empat orang petani roboh lagi sambil mengeluarkan teriakan keras!
Melihat ini, lenyaplah nyali besar orang-orang itu karena kini orang-orang yang terberani di antara mereka dan yang dianggap menjadi pemimpin-pemimpin telah disapu roboh oleh toya kuningan yang lihai itu. Mereka lalu melemparkan senjata masing-masing dan menjatuhkan diri berlutut. Seorang di antara mereka yang paling tua berkata,
"Ji-cukong-ya .... (majikan kedua) harap suka memberi ampun kepada kami .... sesungguhnya keluarga kami amat menderita dan dalam keadaan kelaparan, tolonglah kami."
Orang tinggi besar itu berdiri dengan toya di tangan. Ia memandang dengan marah dan bibirnya yang tebal itu menggulung ke atas. Ia membanting-banting kakinya dan memaki marah.
"Anjing-anjing rendah tak tahu diri! Kalian ini orang-orang malas yang maunya hanya makan milik lain orang! Kalian ini benar-benar anjing-anjing yang bong-im-pwe-gi (manusia tak mengenal budi)! Kurang baik bagaimanakah keluarga Lai? Telah tiga bulan ini kami sengaja tidak memungut uang pajak tanah dan memberikan tanah kami dengan cuma-cuma kepada kalian untuk dikerjakan dan dimakan hasilnya. Sekarang kalian berani sekali datang seperti perampok? Sungguh harus dipukul mampus!"
Sambil berkata demikian, dua kali ia menggerakkan kakinya dan tubuh dua orang, termasuk orang tua yang tadi mewakili kawan-kawannya bicara, terlempar sampai terguling-guling dua tombak lebih!
Petani-petani lain berlutut dengan tubuh menggigil dan memandang dengan wajah cemas. Mereka lebih menakuti penolakan pertolongan dari hartawan ini dari pada pukulan-pukulan yang mungkin dijatuhkan kepada mereka, maka seorang berkata,
"Ji-cukong, biarlah kami dipukul, dimaki, bahkan boleh dibunuh sekalian asal saja cukong sudi mengeluarkan sedikit gandum dan membiarkan anak-bini kita mengambil air dari sumber air hijau itu!"
"Bangsat benar, apakah benar-benar kalian ingin mampus? Hayo pergi, .. pergi! Dan jangan lupa untuk memperbaiki pintu pekarangan kami!"
Ia mengancam lagi, dengan toyanya dan mengusir mereka. Akan tetapi, tak seorangpun di antara mereka mau bergerak.
"Pergi, kataku!"
Teriak pula laki-laki tinggi besar itu dengan marah.
"Ji-cukong, kami telah berjanji takkan mau pergi sebelum mendapat pertolongan itu, karena kalau kami pulang tanpa membawa gandum dan air, kami hanya akan melihat anak-bini kami mati kelaparan!"
"Anjing rendah, kalau begitu biarlah kalian kubikin mampus dulu!"
Orang tinggi besar itu memaki kalang kabut dan ia nampak marah sekali. Agaknya ia benar-benar hendak menggunakan toyanya yang hebat itu untuk membunuh belasan orang tani yang berlutut di depannya itu.
Gwat Kong merasa marah sekali, dan sungguhpun ia belum tahu dengan jelas siapakah gerangan orang tinggi besar itu, akan tetapi ia dapat menduga bahwa orang itu tentulah seorang tuan tanah yang kaya raya dan kikir, yang menyimpan banyak gandum akan tetapi tidak mau menolong petani-petani miskin yang menderita kelaparan. Ia benci sekali melihat kekejaman orang itu dan selagi ia hendak bergerak untuk menolong para petani itu yang agaknya hendak dihajar, tiba-tiba dari atas genteng gedung besar itu menyambar turun bayangan orang berpakaian serba kuning.
Gerakan orang ini amat cepatnya dan Gwat Kong menahan gerakan kakinya yang tadi sudah akan melompat ke dalam pekarangan. Ia merasa heran dan kagum melihat bayangan itu ternyata adalah seorang gadis yang cantik dan gagah sekali. Gadis itu memakai pakaian kuning gading dengan ikat pinggang dan ikat rambut warna merah dan di kedua tangannya memegang sepasang pedang yang bercahaya saking tajamnya.
Pada saat itu, si tinggi besar itu telah menggerakkan toyanya dan hendak memukul seorang petani yang terdekat, akan tetapi tiba-tiba ia merasa ada sambaran angin dari atas dibarengi bentakan nyaring.
"Orang she Cong yang kejam! Jangan berlaku sewenang-wenang!"
Orang tinggi besar itu adalah Cong Si Kwi dan terkenal dengan sebutan Ji-sai-cu (Singa Kedua), seorang yang amat terkenal di daerah itu yakni di sekeliling bukit Siang-san. Cong Si Kwi dan kakaknya, yang bernama Cong Si Ban berjuluk Tai-sai-cu (Singa Tertua) adalah dua kakak beradik yang kaya raya di daerah itu dan tiga perempat bagian tanah di sekitar bukit Siang-san adalah milik mereka. Oleh karena ini, maka penghidupan sebagian besar rakyat petani di sekitar daerah itu, boleh dibilang bersandar kepada kedua saudara Cong ini dan tidaklah berlebihan kalau ada orang di dusun itu berkata bahwa nyawa mereka berada dalam telapak tangan kedua singa itu.
Semua kepala dusun di seluruh daerah adalah pembantu atau kaki tangan kedua saudara Cong, dan tak seorangpun yang berani menentang mereka karena selain mereka amat kaya raya dan menjadi pemilik tanah yang dijadikan sumber nafkah para petani, juga kedua orang itu memiliki ilmu kepandaian silat yang amat tinggi dan dahsyat. Kedua kakak beradik she Cong ini memiliki ilmu silat keturunan yang disebut Sai-cu-ciang-hoat (Ilmu Pukulan Singa) dan keduanya memiliki ilmu toya yang tinggi juga.
Sebetulnya kedua saudara Cong ini tidak biasa memeras rakyat. Mereka mengadakan pajak tanah yang cukup pantas dan ketika musim kering mengganggu, mereka bahkan membebaskan para petani dari pajak. Akan tetapi mereka ini terkenal berhati keras dan kejam tidak mengenal kasihan, lagi pula amat kikir. Melihat keadaan rakyat di sekitar mereka yang amat menderita dan kelaparan, mereka sama sekali tidak mengambil perhatian dan tumpukan gandum dan padi di gudang mereka tetap bertumpuk.
Berkali-kali rakyat datang mohon pertolongan mereka, untuk meminjam gandum dengan perjanjian pembayaran berlipat ganda. Akan tetapi semua permohonan tidak dihiraukan oleh kedua saudara Cong itu. Yang lebih hebat lagi ialah ketika semua sumur dan anak sungai kering, ternyata yang masih mengeluarkan air hanya sebuah sumber air yang disebut sumber air hijau dan yang ada di sawah milik kedua saudara yang kaya itu. Karena tanah sawah itupun disewakan pada petani, maka selama musim kering tiba, sumber air hijau itulah yang menjadi penolong para petani karena mereka semua mendapat air minum dari sumber ini.
Akan tetapi, tiba-tiba kedua saudara Cong yang juga kehabisan air, lalu memblokir sumber ini dan mengurungnya dengan pagar serta dijaga kuat oleh penjaga-penjaga bersenjata tombak. Tak seorangpun boleh mengambil air dari sumber itu, kecuali pelayan keluarga Cong.
Cong Si Ban melakukan hal ini bukan karena ia berhati dengki, akan tetapi oleh karena ia berkhawatir kalau-kalau sumber air itu akan menjadi kering jika diambil airnya oleh sekian banyak orang dan ia mengkhawatirkan keadaan keluarganya sendiri. Demi keselamatan keluarga sendiri, ia tidak perduli apakah orang-orang di luar gedungnya akan mati kehausan atau tidak.
Hal ini membuat para petani merasa bingung dan keadaan mereka makin menderita. Akhirnya mereka tidak dapat menahan lagi dan demikianlah, maka dua puluh lima orang petani itu memberanikan diri menyerbu ke gedung keluarga Cong untuk minta gandum dan air. Dan yang keluar menyambut mereka adalah Cong Si Kwi, senga kedua yang lebih kejam dari pada kakaknya.
Ketika Cong Si Kwi mendengar bentakan dari atas dan merasa ada angin senjata menyambar, ia cepat melompat ke kiri dan menggerakkan toyanya ke atas untuk memukul orang yang menyambar dari atas ini.
"Traaangg!"
Terdengar suara keras sekali ketika toyanya kena bentur sebatang pedang yang menyambar dari atas. Bunga api memancar keluar dan alangkah kagetnya hati Cong Si Kwi ketika melihat betapa ujung toyanya telah somplak!
IA memandang orang yang kini telah berdiri di depannya itu dan merasa heran sekali. Orang yang berdiri di depannya adalah seorang gadis muda yang usianya paling banyak delapan belas tahun, berwajah cantik manis dengan sepasang mata tajam dan mulut kecil membayangkan kekerasan hati dan keberanian besar. Pakaiannya kuning dengan ikat pinggang dan ikat rambut sutera merah.
"Siapakah kau yang berani mencampuri urusan orang lain?"
Cong Si Kwi membentak dengan marah, akan tetapi matanya menatap dengan kagum kepada gadis itu.
"Orang she Cong,"
Kata lagi gadis itu yang ternyata memiliki suara nyaring.
"Aku pernah mendengar orang berkata bahwa kakak beradik she Cong adalah orang-orang berhati kejam melebihi singa yang liar. Ternyata sekarang bahwa ucapan-ucapan itu kurang tepat. Seharusnya orang macam kau ini dipersamakan dengan serigala, anjing yang serendah-rendahnya dan sekejam-kejamnya."
Bukan main marahnya Cong Si Kwi mendengar ini karena ia telah dimaki di depan para petani yang kini pada berdiri dan berkumpul di dekat pintu pekarangan sambil menolong kawan-kawan mereka yang tadi terpukul. Para petani itu memandang ke arah gadis itu dengan girang dan kagum, penuh harap-harap cemas karena masih ragu-ragu apakah si gadis itu akan sanggup melawan Cong Si Kwi yang terkenal kejam dan lihai.
"Perempuan lancang!"
Bentaknya.
"Kau agaknya seorang yang memiliki kepandaian, akan tetapi kau tidak mengindahkan sopan santun di antara orang-orang kang-ouw! Siapakah kau yang datang-datang memaki orang?"
Dengan suara tenang gadis muda berpakaian kuning itu menjawab.
"Biarpun kau mengaku orang dari kang-ouw, akan tetapi kau adalah termasuk golongan hek-to (jalan hitam, yakni golongan para penjahat). Terhadap orang macam kau, mengapa aku harus memakai banyak aturan? Kau ingin tahu namaku? Dengarlah, nonamu Sie Cui Giok tak perlu menyembunyikan nama. Dan kalau kau belum pernah mendengar namaku, mungkin kau telah kenal kakekku yang bernama Sie Cui Lui dari selatan."
Bagi Gwat Kong dan lain-lain orang yang mendengar, nama itu tidak mempunyai arti sesuatu. Akan tetapi heran sekali karena Cong Si Kwi menjadi pucat ketika mendengar nama ini.
"Kami selamanya belum pernah mengganggu Sie-locianpwe dan selalu memandangnya sebagai seorang (Lanjut ke Jilid 12)
Pendekar Pemabuk/Kanglam Tjiu Hiap (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 12
tokoh besar yang patut kami hormati. Sekarang kau datang mengunjungi kami mempunyai maksud apakah? Kalau memang nona ada keperluan, kupersilahkan masuk ke dalam untuk bercakap-cakap dengan aku dan saudaraku. Dan kebetulan sekali sekarang kami sedang mempunyai seorang tamu yang mungkin tidak asing bagimu, yakni Sin Seng Cu thaisu, tokoh dari Hoa-san-pai."
Kini Gwat Kong yang merasa terkejut mendengar nama ini, akan tetapi sebaliknya nona itu agaknya tidak perduli sama sekali.
"Aku tidak sudi untuk masuk ke dalam rumahmu dan bertemu dengan segala macam tosu. Kedatanganku ini tak lain karena melihat kekejamanmu kepada para petani itu. Dan sekarang aku mewakili mereka untuk minta kau suka segera mengeluarkan gandum dan padi yang mereka butuhkan dan sumber air itu harus kau buka untuk keperluan umum."
Biarpun Cong Si Kwi maklum bahwa cucu dari Sie Cui Lui ini tentu memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi ia tidak merasa takut, apalagi karena nona itu demikian muda. Kini mendengar tuntutan nona itu yang dianggapnya mencampuri urusannya dan sama sekali tidak memandang sebelah mata kepadanya, ia menjadi marah sekali,
"Kau terlalu sekali! Agaknya kau sengaja hendak mencari perkara!"
"Jangan banyak cakap dan lekas kau penuhi kebutuhan mereka. Kau harus ingat bahwa kalau tidak ada para petani ini, apakah kau kira perutmu setiap hari akan dapat diisi? Sanggupkah kau mengerjakan tanahmu sendiri dan menanam gandum dan padi itu?"
Diam-diam Gwat Kong merasa kagum sekali melihat keberanian dan sepak terjang nona itu, maka tak terasa lagi ia melangkah memasuki pekarangan dan berdiri di dekat para petani sambil memandang dengan penuh perhatian. Ia bersiap sedia membantu nona itu apabila nona itu sampai kalah dalam pertempuran yang terjadi.
"Kalau aku menolak, bagaimana?"
Cong Si Kwi berkata sambil pegang toyanya erat-erat.
"Kalau kau menolak, terpaksa aku minta sebelah daun telingamu!"
Kata gadis itu dengan pedangnya di tangan kiri berkelebat cepat sekali ke arah telinga Cong Si Kwi. Akan tetapi orang she Cong ini cukup pandai, maka tentu saja tidak mudah untuk mengambil telinganya. Ia berseru keras dan menggerakkan toyanya menangkis lalu membalas dengan serangannya yang keras dan hebat.
Sie Cui Giok, gadis muda berpakaian kuning itu, cepat mengelak dan kembali pedangnya meluncur dengan gerakan indah menyerang ke arah telinga Cong Si Kwi. Gwat Kong yang memperhatikan gerakan pedang gadis itu, menjadi kagum sekali karena kedua pedang di tangan gadis itu seakan-akan digerakkan oleh dua orang dengan ilmu silat berlainan!
Demikian jauh bedanya gerakan pedang di tangan kanan dan kiri. Bahkan seakan-akan berlawanan! Pedang di tangan kiri gerakannya lambat dan halus akan tetapi setiap kali toya Cong Si Kwi menangkis pedang ini, nampak betapa toyanya terpental keras seakan-akan membentur batu karang yang besar dan keras.
Adapun pedang di tangan kanan gadis itu gerakannya luar biasa gesitnya, menyambar-nyambar bagaikan seekor naga. Dan tiap kali toya Si Kwi menangkis pedang ini, selalu terdengar suara keras dan bunga api berterbangan. Inilah tandanya keras lawan keras, dan dari keadaan kedua batang pedang dan pergerakannya ini, tahulah Gwat Kong bahwa dua lengan tangan yang memegang pedang itu benar-benar melakukan gerakan-gerakan yang berlawanan.
Kalau tangan kiri mainkan pedang dengan tenaga lweekang (tenaga dalam) adalah pedang di tangan kanan digerakkan dengan tenaga gwakang (tenaga kasar). Ini adalah sifat-sifat yang bertentangan dari Im dan Yang (Negatif dan Positif) dan tiba-tiba Gwat Kong memandang dengan mata terbelalak.
Ia teringat akan penuturan suhunya tentang ilmu-ilmu silat dari empat penjuru yang disebut empat besar, yakni Sin-eng Kiam-hoat dari barat, Sin-hong Tung-hoat dari timur, Pat-kwa To-hoat dari utara, dan Im-yang Siang-kiam dari selatan. Ilmu pedang gadis ini berdasarkan Im dan Yang. Apakah gadis ini bukan seorang ahli ilmu pedang Im-yang Siang-kiam?
Ia memandang dengan penuh perhatian makin penuh dan dengan kagum ia mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaian gadis itu jauh lebih tinggi dari pada ilmu silat Cong Si Kwi. Kalau gadis itu menghendaki, agaknya dalam sepuluh jurus saja Si Kwi pasti akan dapat dirobohkan. Akan tetapi, dengan hati geli Gwat Kong mendapatkan kenyataan bahwa sepasang pedang di tangan nona itu selalu mengarah dan mengancam daun telinga Si Kwi dan agaknya gadis itu benar-benar hendak membuktikan ancaman tadi, yakni hendak mengambil sehelai daun telinga Cong Si Kwi.
Orang tinggi besar itu merasa betapa kedua pedang lawannya menyambar dan mengeluarkan bunyi yang mengerikan di sekitar daun telinganya, maka dengan gugup dan ketakutan ia memutar-mutar toyanya untuk menangkis dan melindungi daun telinganya. Akan tetapi kedua ujung pedang itu terus mengejar daun telinganya, mengiang-ngiang seperti bunyi nyamuk-nyamuk yang tidak mau meninggalkan telinganya.
Cong Si Kwi menjadi takut dan gelisah sekali sampai keringatnya keluar membasahi jidatnya. Ia putar-putar toyanya dan sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang. Akan tetapi akhirnya ia harus mengakui keunggulan gadis itu dan ia mengeluarkan seruan ngeri ketika pedang di tangan kanan nona itu menyambar cepat dan anginnya telah terasa perih menyambar telinganya.
"Cukup ... nona ...! Baiklah, kukeluarkan gandum itu ...!"
Sie Cui Giok menahan pedangnya dan tersenyum mengejek.
"Agaknya kau lebih menyayangi daun telingamu yang kotor dari pada tumpukan gandummu."
Tak terasa pula Cong Si Kwi menggunakan tangan meraba telinga kirinya dan hatinya merasa lega ketika merasa betapa telinganya masih utuh. Hanya ketika ia menurunkan tangannya ternyata tangan itu penuh dengan darah. Sungguhpun daun telinganya belum putus, akan tetapi kulit daun telinga itu telah terluka oleh angin pedang dan mengeluarkan banyak darah. Ia bergidik mengingat akan kelihaian ilmu pedang nona itu.
Pada saat itu, dari pintu depan itu keluarlah dua orang dengan langkah lebar. Yang seorang adalah seorang tinggi besar, bercambang bauk dan mukanya hampir serupa dengan Cong Si Kwi hanya tubuhnya lebih pendek sedikit. Inilah Tai-sai-cu Cong Si Ban, kakak dari Cong Si Kwi yang telah diberitahu oleh seorang pelayan bahwa adiknya sedang bertempur dengan seorang gadis lihai di luar gedung.
Orang kedua yang ikut keluar adalah seorang tosu yang tinggi kurus dengan rambut dan kumis jenggot hitam serta muka berkulit kemerah-merahan. Gwat Kong segera kenali tosu ini yang bukan lain adalah Sin Seng Cu, tokoh Hoa-san-pai yang dulu pernah bertempur melawan dia sebelum dia diberi palajaran silat oleh Bok Kwi Sianjin!
Melihat tosu yang pernah mengalahkannya dengan mudah itu, diam-diam Gwat Kong merasa berdebar jantungnya. Bukan karena takut, akan tetapi karena ingin sekali ia bertempur lagi melawan tosu itu dan berusaha menebus kekalahannya dulu. Karena Gwat Kong berdiri di antara para petani yang banyak jumlahnya itu, maka Sin Seng Cu tidak melihatnya dan hanya memandang kepada Sie Cui Giok dengan tajam.
"Eh eh, apakah yang telah terjadi di sini?"
Tanya Cong Si Ban kepada adiknya, akan tetapi sebelum Cong Si Kwi menjawab, Cui Giok tanpa memperdulikan munculnya Si Ban dan tosu itu, mendesak kepada Si Kwi.
"Hayo, kau lekas keluarkan gandum dan padi itu. Perut para petani dan keluarga mereka sudah terlalu lapar untuk menanti lebih lama lagi!"
Cong Si Ban yang melihat sikap gadis itu dan melihat adiknya yang berwajah pucat, maklum bahwa adiknya tentu telah dikalahkan oleh gadis ini, maka ia lalu menjura kepada gadis itu. Ia mengangkat kedua tangannya ke arah dada dengan gerakan cepat. Dan Gwat Kong terkejut sekali karena ia maklum bahwa tentulah gerakan itulah gerakan serangan gelap dengan tenaga khikang yang disebut gerak tipu Dewi Sakti Mempersembahkan Buah.
Biarpun nampaknya seperti orang memberi hormat akan tetapi dari sepasang kepalan tangan yang dirangkapkan itu menyambar angin pukulan khikang yang cukup kuat untuk merobohkan lawan. Akan tetapi kekagetan hati Gwat Kong terganti oleh kekaguman ketika ia melihat betapa dengan gerakan tenang dan indah, Cui Giok sambil tersenyum membongkokkan tubuhnya pula dan mengangkat kedua tangan ke dada dengan telapak tangan terbuka. Inilah gerakan Dewi Kwan Im Memberi Berkah dan diam-diam ia mengerahkan tenaga untuk menerima serangan gelap itu.
Dengan penuh perhatian Gwat Kong memandang dan melihat betapa kedua orang yang diam-diam mengadu tenaga itu melangkah mundur setindak, yang membuktikan bahwa tenaga khikang mereka seimbang. Hampir saja Gwat Kong mengeluarkan seruan kagum terhadap dara baju kuning itu.
Sementara itu Sin Seng Cu yang melihat pula adu tenaga ini agaknya tidak menyetujui sikap Cong Si Ban, karena sambil menggerak-gerakan ujung lengan bajunya yang panjang, ia berkata.
"Apakah artinya semua pertunjukan ini? Kalau ada urusan, lebih baik diselesaikan dengan baik-baik. Nona muda yang gagah, siapakah kau dan mengapa agaknya kau membuat kegaduhan di pekarangan orang lain?"
Ucapan ini menunjukkan betapa tosu itu mempunyai watak yang tinggi dan memandang rendah orang lain, terutama terhadap gadis muda ini, ia menganggapnya sebagai seorang ahli silat tingkat rendah.
"Siapa yang membuat gaduh? Orang she Cong ini telah berjanji kepadaku untuk membagi-bagikan gandum dan padi kepada para petani itu dan akan membuka sumber air untuk umum dan kupercaya ia cukup laki-laki untuk memegang janjinya."
Cong Si Ban memandang adiknya.
"Si Kwi, apakah yang telah terjadi?"
"Petani-petani itu hendak merampok dan ketika aku berusaha menghalau mereka, nona ini datang mencampuri urusan ini dan .... aku telah kalah olehnya. Terpaksa aku berjanji hendak memberikan yang diminta oleh para perampok itu, twako!"
Si Kwi mengadu.
"Bagus-bagus!"
Nona itu tersenyum sindir.
"Kau sendiri yang telah merampok dan memeras rakyat petani dan menumpuk hasil sawahnya di dalam gudangmu. Sekarang karena berada dalam keadaan kelaparan para petani minta pertolonganmu. Bukan kau tolong bahkan kau pukul mereka. Siapakah sebenarnya yang patut disebut perampok? Benar-benar orang busuk!"
Cong Si Ban maklum bahwa adiknya tentu telah berlaku kasar sehingga membuat gadis gagah ini menjadi marah, maka oleh karena ia tahu sedang berhadapan dengan seorang yang pandai, ia lalu tersenyum dan berkata, memperlihatkan sikap baik.
"Lihiap harap jangan marah dan maafkan adikku yang kasar. Tentang gandum dan air, tentu saja akan kubagikan karena sebelum kau datang, akupun sedang memikirkan untuk menolong mereka itu. Marilah duduk dan bercakap-cakap di dalam rumah."
"Hmm, jadi kaukah kakak orang ini? Tentu kau yang disebut Cong Si Ban, yang menjadi raja kecil di daerah ini. Aku tidak menghendaki jamuanmu, hanya satu yang kukehendaki, yaitu sekarang juga harap kau keluarkan gandum dan padi secukupnya agar dapat dibawa oleh para petani."
"Kau betul-betul bersikap kurang ajar!"
Bentak Sin Seng Cu dengan marah.
"Tuan rumah berlaku mengalah dan peramah, akan tetapi kau memperlihatkan sikap seakan-akan menjadi kepala! Eh, anak kecil, kau mengandalkan apakah maka begini sombong?"
Sambil berkata demikian, Sin Seng Cu tosu yang berdarah panas ini sudah hendak melangkah maju. Akan tetapi Cong Si Ban yang amat cerdik dan hendak menggaruk keuntungan nama dalam keadaan yang buruk ini, segera mencegah dan berkata.
"Baik .. baik! Si Kwi, kau keluarkan gandum dan bagi-bagikan seorang sekantong kepada para petani itu, dan mereka boleh mengambil air seorang sepikul!"
Cong Si Kwi tak dapat membantah, maka ia lalu mengepalai sejumlah pelayan, mengeluarkan bahan makanan mutlak itu, yang diterima oleh para petani dengan wajah girang dan air mata mengalir saking terharu dan gembiranya. Mereka memandang ke arah gadis itu dengan sinar mata penuh terima kasih. Akan tetapi karena khawatir kalau-kalau kedua saudara Cong itu berobah pikiran, mereka segera membawa pergi gandum itu dan pulang ke rumah masing-masing.
Cong Si Ban kembali menjura kepada nona baju kuning itu,
"Nona, sekarang keadaan telah beres dan kami telah menuruti kehendakmu. Maka kuharapkan kau tidak menolak sedikit permintaanku."
"Apakah itu?"
Tanya Cui Giok sambil memandang tajam.
"Karena kau telah mengalahkan adikku, maka aku merasa kagum sekali dan ingin melihat kelihaianmu. Sukakah kau memberi sedikit pelajaran padaku?"
Sie Cui Giok tersenyum menghina.
"Sudah kuduga!"
Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Katanya.
"Orang seperti kau dan adikmu mana dapat memberikan gandum itu dengan cuma-cuma? Kau tersenyum di mulut akan tetapi mengutuk di hati. Kau hendak menguji aku? Baik, keluarkan senjatamu!"
Sambil berkata demikian, sekali kedua tangannya bergerak sepasang pedang itu telah berada di kedua tangannya.
Sementara itu, ketika melihat para petani telah pergi, Gwat Kong masih saja berada di situ dan kini ia duduk di bawah sebatang pohon, menonton pertandingan yang hendak dilangsungkan itu. Dan karena semua mata sedang diarahkan kepada nona baju kuning yang gagah itu, maka tak seorangpun memperhatikan pemuda yang berpakaian sederhana itu. Kalau sekiranya ada yang melihatnya, tentu Gwat Kong akan dianggap sebagai seorang pemuda dusun yang ingin menonton pertandingan silat.
Sementara itu, melihat gerakan Cui Giok yang mencabut pedangnya. Cong Si Ban lalu menerima toyanya dari seorang pembantunya dan setelah berkata.
"Mohon pengajaran!"
Ia lalu menggerakkan toyanya dan memasang kuda-kuda yang kuat sekali nampaknya. Nona baju kuning itu tidak mau membuang banyak waktu lagi dan segera mulai dengan penyerangannya.
Pedangnya di tangan kanan bergerak menusuk ke arah dada lawan dan ketika Si Ban mengangkat toya untuk menangkis, nona itu menggunakan pedang kiri yang bergerak lambat untuk menahan tangkisan lawan dan pedang di tangan kanannya yang dapat bergerak amat cepatnya itu melanjutkan tusukannya.
Cong Si Ban merasa terkejut sekali dan cepat mundur untuk menghindarkan diri. Ia tak pernah menduga bahwa nona itu demikian lihainya. Pantas saja Si Kwi tak dapat melawannya, pikir Si Ban yang segera menggerakkan toyanya dengan cepat dan memutar-mutarnya bagaikan kitiran angin, langsung menyerang dan melakukan pukulan-pukulan bertubi-tubi dengan kedua ujung toyanya.
Sie Cui Giok maklum bahwa kepandaian Si Ban jauh lebih lihai dari pada Si Kwi, maka ia berlaku hati-hati dan mainkan kedua pedangnya dengan gerakan yang amat indah. Tubuhnya amat lincah dan ketika kedua pedangnya dimainkan, tubuhnya melompat ke sana ke mari bagaikan seekor burung bulu kuning sedang menari-nari kegirangan.
Sin Seng Cu, tosu dari Hoa-san-pai itu ketika melihat permainan pedang nona itu, diam-diam melengak dan memandang dengan mata dipentang lebar. Ia segera mengeluarkan tongkatnya yang hebat, yakni Liong-thouw-koai-tung, tongkat kepala naga dan dengan tongkat di tangan ia melompat ke tengah pertempuran itu sambil berseru.
"Tahan dulu!"
Pada saat itu, pedang Cui Giok telah mengurung dan mendesak Cong Si Ban sehingga orang tinggi besar itu hanya dapat menangkis dan mengelak saja tanpa dapat membalas karena kedua pedang di tangan Cui Giok tidak memberi kesempatan sedikitpun kepadanya untuk menggerakkan toya dalam penyerangan. Yang amat menggelisahkan dan membuat hati Si Ban menjadi jerih adalah pedang ditangan kiri nona itu, karena setiap kali toyanya terbentur oleh pedang itu, ia merasa betapa toyanya terputar!
Ia tidak dapat mengikuti gerakan sepasang pedang itu karena kedua pedang itu gerakannya amat berlainan, seakan-akan ia menghadapi keroyokan dua orang yang berpedang dari kanan kiri. Melihat keadaan ini, Sin Seng Cu lalu menyodorkan tongkat kepala naga di tangannya itu ditengah-tengah dan memisahkan kedua orang yang sedang bertempur itu.
Cong Si Ban menjadi lega karena ia telah merasa amat khawatir kalau-kalau ia akan dirobohkan oleh gadis muda itu dalam waktu demikian pendeknya, belum juga ada dua puluh jurus mereka bertempur ia telah terdesak demikian hebatnya. Kini melihat tosu itu turun tangan, ia melompat ke belakang dan berseru.
"Lihai sekali!"
Sementara itu, gadis baju kuning itu merasa penasaran melihat betapa tiba-tiba tongkat kepala naga ditangan tosu itu telah dilonjorkan di tengah-tengah dan menghalangi penyerangannya terhadap Si Ban yang sudah hampir kalah. Ia lalu menggunakan kedua pedangnya yang digerakkan dengan berlawanan, satu dari atas dan satu dari bawah, untuk menggunting tongkat itu dan untuk membuatnya menjadi terpotong.
Tiga senjata bertemu mengeluarkan suara keras dan gadis itu menjadi terkejut sekali karena jangankan dapat diputuskan oleh guntingan kedua pedangnya, bahkan kedua tangannya, terutama tangan kanan merasa tergetar ketika kedua pedangnya membacok tongkat itu. Sebaliknya Sin Seng Cu juga merasa kagum dan mengeluarkan seruan memuji ketika merasa betapa tongkatnya seakan-akan terjepit dan sukar ditarik kembali dari guntingan sepasang pedang itu.
Karena maklum bahwa tosu ini lihai sekali, nona itu lalu melompat mundur sambil memutar kedua pedangnya untuk menjaga diri. Akan tetapi Sin Seng Cu tidak menyerangnya, hanya bertanya dengan suara kagum,
"Nona, ilmu pedangmu itu bukankah ilmu pedang Im-yang Siang-kiam? Apakah kau murid Lo-hiapkek (pendekar tua) Sie Cui Lui?"
"Aku adalah cucu dari Sie Cui Lui, tidak tahu siapakah totiang ini?"
Balas tanya gadis itu.
Sin Seng Cu tertawa.
"Ah, pantas saja ilmu pedangmu demikian hebat! Telah lama aku mendengar nama Sie Cui Lui, raja pedang di daerah selatan yang telah menggemparkan kalangan kang-ouw, dan telah lama aku ingin sekali merasai kelihaian ilmu pedangnya. Kebetulan sekali sekarang aku bertemu dengan ahli warisnya yang telah memiliki ilmu pedang Im-yang Siang-kiam. Ketahuilah nona, pinto adalah seorang dari Hoa-san-pai yang bernama Sin Seng Cu. Karena nona adalah cucu dari orang tua gagah perkasa Sie Cui Lui, maka melihat mukaku harap kau habiskan saja perkara dengan kedua saudara Cong ini. Juga Cong-sicu (orang-orang gagah she Cong) kuharap suka menghabiskan perkara ini. Nona ini adalah keturunan seorang gagah yang patut kita jadikan kawan, bukan lawan!"
Cong Si Ban telah merasai kelihaian nona itu, maka tentu saja ia setuju dengan omongan tosu itu. Apalagi karena iapun telah mendengar nama besar Im-yang Siang-kiam. Maka ia lalu menjura dan menyatakan maafnya.
Sie Cui Giok melihat mereka bersikap ramah dan sungguh-sungguh juga menjadi sabar kembali dan membalas dengan menjurah.
"Aku yang muda baru saja keluar dari kampung sendiri dan masih kurang pengalaman, maka banyak mengharap maaf dari cuwi yang lebih pandai. Tentu saja aku yang muda dan bodoh tidak mau mencari permusuhan. Hanya saja kuharap sukalah orang-orang yang mempunyai harta dan kepandaian menaruh sedikit belas kasihan kepada para petani yang miskin dan tidak berdaya!"
Sin Seng Cu kembali tersenyum.
"Kau masih muda akan tetapi hatimu mulia, nona. Sungguh membuat pinto merasa kagum sekali. Memang perbuatanmu benar dan sudah menjadi kewajiban kedua saudara Cong untuk menolong para petani yang miskin. Kalau nona tidak datang, tentu pinto juga akan minta perhatian mereka akan hal ini. Sekarang nona telah datang dan berkenalan dengan kami, maka pinto minta kepadamu sukalah memperlihatkan ilmu pedang Im-yang Kiam-hoat itu barang sepuluh jurus untuk menambah kegembiraan kedua mataku yang sudah tua."
Sie Cui Giok maklum bahwa tosu tokoh Hoa-san-pai ini memiliki watak yang tidak mau kalah dan sedikit menyombongkan kepandaian sendiri, maka ia tak dapat menghindarkan diri dari tantangan ini, dan karena ia maklum pula bahwa tosu ini telah memiliki kepandaian yang amat tinggi. Maka kalau ia tidak mengerahkan kepandaiannya, ia takkan bisa menang.
"Harap totiang suka berlaku murah kepada aku yang muda,"
Kata gadis itu yang telah siap pula dengan sepasang pedangnya.
Sin Seng Cu lalu menggerakkan tongkat kepala naganya di tangan dengan sambaran keras sambil berseru.
"Lihat tongkat!"
Sie Cui Giok mengelak cepat dan merendahkan tubuhnya dengan menekuk kedua kakinya, kaki kanan di belakang ditekuk rendah dan kaki kiri dilonjorkan ke depan sehingga tongkat itu menyambar di atas kepalanya. Kemudian gadis itu dengan amat cepatnya menggerakkan tangan kanan dan pedangnya menusuk ke arah perut lawan melalui atas kaki kirinya yang dilonjorkan.
Inilah gerak tipu Burung Hong Mengulur Leher, sebuah gerakan dari ilmu pedang Im-yang Kiam-hoat. Sin Seng Cu cepat miringkan tubuh lalu memutar tubuhnya sambil menyabetkan toyanya dari belakang tubuh menyerampang kedua kaki lawan. Gerakan ini dilakukan dengan memutar tubuh di atas tumit kakinya lalu membarengi memutar tongkatnya yang setelah dekat dengan sasaran lalu digerakkan ke bawah sambil tiba-tiba berjongkok. Lawan yang kurang waspada dan kurang lincah gerakannya pasti akan tertipu karena serangan ini dibuka dengan menyabet ke arah pinggang ke atas akan tetapi tiba-tiba berobah menjadi serampangan pada kedua kaki.
Akan tetapi Sie Cui Giok benar-benar mengagumkan. Dengan tenang ia tadi menanti datangnya sambaran tongkat dan ketika tiba-tiba tongkat itu dialihkan arahnya, yaitu menyambar kedua kakinya, ia berseru keras dan tubuhnya mencelat ke atas dengan kedua kaki di atas dan kedua tangan di bawah. Dan di dalam keadaan seperti itu ia balas menyerang dengan kedua pedangnya, yang kiri menusuk leher dan yang kanan membacok kepala! Inilah gerakan Burung Hong Terkam Harimau, sebuah gerakan yang selain indah juga amat sukar karena serangan ini dilakukan selagi tubuh masih berada di udara.
Sesungguhnya serangan ini amat berbahaya, baik bagi lawan maupun bagi diri sendiri, oleh karena dalam keadaan tak menginjak tanah itu, sungguhpun serangannya berbahaya dan tak terduga oleh lawan. Akan tetapi apabila lawannya cepat mengelak dan melakukan serangan balasan, ia takkan dapat menjaga diri dengan baik. Namun Sie Cui Giok telah memperhitungkannya dengan tepat.
Pada saat ia mengelak dari serampangan tongkat lawan, ia maklum bahwa tongkat lawan yang sedang disabetkan pada kedua kakinya itu takkan dapat segera menyerangnya, sehingga ia menang waktu, maka ia berani melakukan serangan ini. Seandainya tongkat di tangan lawan berada dalam keadaan lebih baik dan dapat segera menyerangnya, tentu ia takkan menggunakan tipu ini dan hanya melompat ke atas menghindarkan serampangan lalu turun kembali.
Sin Seng Cu terkejut juga melihat serangan dari atas yang amat lihai ini, maka mereka tidak ada waktu baginya untuk menangkis dan untuk mengelak dengan kepalanya pun masih berbahaya lantaran kedua pedang itu menyerang dengan dua macam gerakan, maka terpaksa ia melempar tubuh bagian atas ke belakang terus melakukan gerakan poksai (salto) dan dengan cara demikian baru ia dapat menghindarkan diri dari serangan yang berbahaya itu.
Melihat pertempuran yang luar biasa ini, semua penonton menjadi kagum sekali sehingga kedua saudara Cong dan beberapa orang pelayan yang berada di situ memandang dengan bengong. Juga Gwat Kong tanpa disadarinya berseru,
"Bagus sekali!"
Cong Si Ban dan Cong Si Kwi yang mendengar seruan ini segera menengok dan mereka merasa heran ketika melihat seorang pemuda asing tengah duduk menonton pertempuran itu sambil minum arak dari guci araknya yang terbuat dari pada perak. Baru sekarang mereka melihat pemuda ini dan menjadi tertarik, juga curiga. Mereka belum pernah melihat pemuda ini dan juga tahu bahwa pemuda ini bukanlah penduduk di sekitar bukit itu.
Si Kwi yang berdarah panas dan sedang mendongkol karena kekalahannya tadi, menjadi marah melihat seorang pemuda enak-enak menonton dan minum arak di dalam pekarangan rumahnya tanpa minta ijin, maka ia lalu menghampiri dengan tindakan lebar.
"Siapa kau? Hayo minggat dari sini!"
Tegur Cong Si Kwi dengan marah.
Akan tetapi Gwat Kong tersenyum-senyum sambil menenggak araknya, bahkan lalu bertanya dan angsurkan gucinya,
"Kau suka arak? Ha ha lucu benar. Bukan tuan rumah yang menawarkan arak kepada tamu, sebaliknya tamu yang menawarkan araknya. Tuan rumah macam apakah ini?"
Si Kwi yang sedang marah dan mendongkol, tentu saja merasa makin marah melihat betapa seorang pemuda dusun berani mempermainkannya, maka ia menggerakkan toya yang berada di tangannya sambil membentak,
"Bangsat kurang ajar! Pergilah ke neraka!"
Toyanya dikemplangnya dengan sekuat tenaga ke arah guci arak perak yang disodorkan oleh Gwat Kong itu, dengan maksud membuat guci itu pecah berantakan. Akan tetapi, dengan hanya menggerakkan sedikit tangannya yang pegang guci arak, pukulan toya itu mengenai tempat kosong dan Gwat Kong membelalakan mata sambil bersungut-sungut.
"Eh eh, hati-hati kawan! Guciku ini bukan guci arak biasa dan kalau sampai rusak, kau harus menggantinya dengan kepalamu!"
Si Kwi makin marah mendengar ini dan kini menggerakkan toyanya menyodok ke arah perut Gwat Kong untuk membuat pemuda itu terpental. Akan tetapi, kembali ia kecele, karena tanpa berpindah tempat duduk, Gwat Kong dapat mengelak sodokan itu dengan miringkan tubuhnya sedemikian rupa sehingga sodokan ujung toya masuk ke bawah lengannya, menyerempet bajunya yang menutupi iga. Ia lalu turunkan lengannya mengempit toya itu dan tangan kanannya tetap mengangkat guci arak dan minum lagi seteguk.
Sia-sia saja Si Kwi hendak menarik kembali toyanya. Ia membetot-betot sekuat tenaga, makin kuatlah kempitan lengan Gwat Kong.
Kalau Si Kwi tidak sedang marah dan mendongkol tentu akan terbuka matanya dan maklum bahwa pemuda ini bukanlah orang yang boleh diperlakukan sembarangan. Akan tetapi, ia sedang marah sekali, maka ketika ia tidak dapat menarik kembali toyanya, tiba-tiba ia meludah ke arah muka Gwat Kong untuk menghinanya.
Semenjak tadi Gwat Kong hanya hendak mempermainkan orang ini saja dan sama sekali tidak mau menjatuhkan tangan keras. Akan tetapi melihat sikap orang yang tiba-tiba meludah kepadanya itu, timbul nafsu marahnya. Ia cepat mengelak dan terpaksa melepaskan kempitan toya itu. Kemudian dari mulutnya tersemburlah arak obat itu, dibarengi bentakan nyaring.
Puluhan titik arak yang berwarna kuning keemasan itu menyambar ke arah muka Si Kwi yang menjadi terkejut sekali dan tidak sempat mengelak. Ketika titik-titik arak itu mengenai kulit mukanya, Si Kwi menjerit ngeri dan terhuyung-huyung. Toyanya terlepas dari tangan dan kedua tangannya digunakan untuk menutup mukannya yang terasa perih dan panas sekali seakan-akan kulit mukanya ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum!
Darah membasahi seluruh mukanya biarpun semburan arak itu hanya melukai kulitnya akan tetapi demikian kerasnya sehingga kulitnya itu terluka dan mengeluarkan darah. Masih untung bagi Si Kwi bahwa ia tadi menutup matanya ketika butir-butir arak itu menyambar, kalau tidak tentu matanya akan menjadi buta.
MELIHAT betapa Si Kwi berjongkok dan menutup mukanya sambil mengaduh-aduh, Cong Si Ban menjadi terkejut sekali dan juga marah. Tanpa bertanya lagi siapa adanya pemuda itu dan tanpa mengingat bahwa sebetulnya adiknya sendirilah yang mencari penyakit dan bersikap sewenang-wenang terhadap pemuda itu. Si Ban telah maju dan menghantam dengan toyanya ke arah kepala Gwat Kong.
Pada saat itu, Gwat Kong masih duduk di tempat semula. Melihat sambaran toya di tangan Si Ban ini, ia maklum bahwa kepandaian Si Ban lebih lihai dari Si Kwi. Maka tanpa membuang waktu lagi, ia lalu menggelindingkan tubuhnya ke kiri sambil membawa guci araknya dan ketika ia melompat berdiri, ternyata bahwa guci araknya telah digantungkan ke pinggang dan kini tangan kanannya telah memegang ranting pohon yang tadi dipungutnya ketika ia menggelundung dan menghindarkan diri dari sambaran toya Si Ban. Ia tersenyum dan diam-diam ingin menguji kepandaiannya yang baru dipelajarinya dari Bok Kwi Sianjin, yakni ilmu to Sin-hong Tung-hoat.
Melihat gerakan Gwat Kong ketika mengelak dari sambaran toyanya, Si Ban maklum bahwa pemuda ini adalah seorang yang "berisi"
Maka diam-diam ia mengeluh mengapa hari ini demikian banyaknya orang-orang pandai datang mengganggunya! Ia tidak tahu hubungan apakah adanya pemuda ini dengan gadis dari selatan itu. Akan tetapi karena melihat adiknya telah dilukai, ia lalu mendesak maju dengan mainkan toyanya dalam ilmu toya Sai-cu-tung-hoat yang juga memiliki gerakan amat ganas dan dahsyat.
Kalau tadi ia merasa bahwa menghadapi ilmu pedang nona itu ia akan kalah, maka kini ia hendak mendapat kemenangan dari pemuda yang hanya pegang sebatang ranting ini. Akan tetapi, bukan main terkejutnya ketika dalam satu gebrakan saja ia hampir celaka! Ketika ia mulai menyerang dengan membabat ke arah leher pemuda itu dengan gerakan cepat dan keras dari kanan ke kiri, Gwat Kong tidak mengelak mundur.
Akan tetapi ia diam saja dan menanti sampai toya itu datang dekat di pinggir pundaknya. Tiba-tiba pemuda ini merendahkan tubuh dan melangkah maju di bawah sambaran toya dan mengirim tusukan dengan rantingnya ke arah jalan darah Kiu-ceng-hiat di pundak kirinya! Untung bahwa ia masih sempat melepaskan tangan kiri yang ikut memegang toya dan menggunakan tangannya menangkis ranting itu yang membuat lengannya yang menangkis merasa sakit sekali dan ujung ranting itu biarpun tidak mengenai jalan darahnya di pundak, namun masih tetap mengait bajunya di bagian pundak.
Dan "brettt!"
Sobeklah bajunya. Dalam segebrakan saja mendapat pelajaran sedemikian rupa, Cong Si Ban tentu saja merasa terkejut dan pucat. Maka ia berlaku hati-hati sekali dan menjaga dirinya rapat-rapat dari serangan ujung ranting di tangan pemuda itu yang kini berkelebatan bagaikan kilat di hari hujan di depan matanya membuat ia merasa silau karena lawannya seakan-akan telah menjadi beberapa orang yang menyerangnya dari seluruh jurusan.
Sementara itu, pertempuran yang berlangsung antara Sin Seng Cu dan Sie Cui Giok makin ramai dan seru sekali. Terdorong oleh wataknya yang tidak mau kalah biarpun mereka telah bertempur lebih dari empat puluh jurus, namun Sin Seng Cu belum merasa puas karena ia belum berhasil mengalahkan gadis muda itu!
Masa dia, seorang tokoh besar dari Hoa-san-pai, yang telah mengangkat tinggi namanya karena kelihaian ilmu tongkatnya kini tak dapat mengalahkan seorang gadis muda yang masih hijau? Diam-diam ia mengeluh karena benar-benar pedang di kedua tangan gadis itu amat lihai dan sukar sekali dibobolkan oleh tongkat kepala naga di tangannya.
Gadis itu telah meyakinkan ilmu pedang Im-yang Kiam-hoat secara sempurna sekali sehingga biarpun dalam hal keuletan dan tenaga ia masih berada di bawah tingkat tosu itu, namun ia dapat mengimbangi permainan silat Sin Seng Cu dan selama itu tidak nampak terdesak sama sekali.
Juga Sie Cui Giok merasa penasaran dan marah melihat kenekatan tosu itu karena desakan-desakan Sin Seng Cu ini benar-benar di luar dugaannya. Tak disangkanya bahwa seorang tokoh persilatan yang telah menduduki tempat tinggi itu memiliki watak yang demikian buruk. Maka ia lalu menggertak gigi dan melawan sebaik-baiknya untuk menjaga namanya sendiri. Ia kini tidak mau mengalah dan membalas setiap serangan dengan balasan yang tak kalah lihainya.
Pada saat pertempuran antara mereka sedang berjalan amat ramainya, tiba-tiba ia mendengar seruan kaget dan tubuh seorang tinggi besar terlempar di antara mereka! Keduanya memandang dan melihat bahwa tubuh yang melayang dan terlempar itu adalah tubuh Cong Si Ban! Baik Cui Giok maupun Sin Seng Cu yang sedang mencurahkan perhatian karena menghadapi lawan berat, tadi tidak melihat peristiwa lain terjadi tak jauh dari tempat mereka bertempur yaitu tentang perkelahian antara Gwat Kong melawan kedua saudara Cong.
Maka kini melihat betapa tubuh Si Ban tiba-tiba terlempar dalam keadaan tunggang-langgang ke tengah kalangan pertempuran tentu saja mereka menjadi terkejut dan juga terheran-heran lalu menarik senjata masing-masing dengan cepat agar jangan sampai tersesat ke tubuh Si Ban yang melayang itu. Tubuh itu jatuh ke atas tanah mengeluarkan suara "bukk!"
Dan debu dari atas tanah yang tertimpa tubuh itu, sama sekali tak bergerak dan berada dalam keadaan kaku, hanya kedua matanya saja yang masih bisa melirik!
Sin Seng Cu maklum bahwa Si Ban telah ditotok orang secara luar biasa sekali, maka ia lalu maju dan memulihkan totokan itu dengan urutan dan ketukan. Kemudian Sin Seng Cu menoleh ke arah Gwat Kong dan memandang kepada pemuda itu dengan mata tajam. Ia seperti pernah bertemu dengan pemuda itu, akan tetapi ia lupa lagi entah di mana. Bagaimanakah Si Ban bisa di"terbang"kan dalam keadaan tertotok oleh Gwat Kong?
Ketika kedua orang ini tadi bertempur, makin lama mata Si Ban menjadi silau dan kabur. Ia tak dapat melihat dengan baik lagi dan terpaksa ia lalu memutar toya sedemikian rupa untuk melindungi seluruh tubuhnya. Akan tetapi tiba-tiba ia merasa bahwa toyanya telah menempel pada ranting di tangan lawannya.
Gwat Kong telah mempergunakan tenaga "cam" (melibat/mengikat) sehingga toya Si Ban menempel pada rantingnya dan tak dapat lepas lagi. Si Ban mengerahkan lweekangnya dan berusaha membetotnya, dan tiba-tiba Gwat Kong melepaskan tenaganya lalu membarengi betotan tenaga Si Ban itu untuk menusukkan rantingnya ke arah sambungan lutut Si Ban! Kalau tusukan itu mengenai sasaran, tentu Si Ban akan roboh berlutut di depannya.
Akan tetapi Si Ban tentu saja tidak mau membiarkan lututnya dihajar, maka ia lalu berseru keras dan melompat ke atas menarik kedua kakinya ke dekat tubuh belakang. Pada saat itu, tak pernah disangkanya, ranting di tangan Gwat Kong kembali menyambar dan kini hendak memukul kepalanya!
Si Ban benar-benar lihai karena dalam keadaan meloncat itu, masih sempat buang tubuh atas ke depan sehingga kepalanya ditundukkan ke bawah mengelak serangan ranting itu. Akan tetapi kini tubuhnya menjadi telungkup dengan kepala dan kaki ditarik bagaikan seekor anjing sedang merangkak.
Gwat Kong masih tidak melepaskan korbannya dan secepat kilat ujung rantingnya menotok jalan darah di iga lawan itu sehingga tubuh Si Ban menjadi kaku. Dan berbareng dengan serangan itu Gwat Kong mengangkat sebelah kakinya menendang pantat lawannya sehingga tubuh Si Ban tanpa dapat dicegah lagi melayang ke depan bagaikan sebutir pelor dan jatuh di tengah-tengah gelanggang pertempuran Sin Seng Cu dan Cui Giok!
Setelah melakukan perbuatan yang nakal itu, Gwat Kong berdiri bertolak pinggang dan memandang dengan senyum. Ketika ia melihat betapa Sin Seng Cu memandangnya, ia segera menjura dan bertanya.
"Sin Seng Cu totiang, apakah selama ini totiang baik-baik saja?"
Sin Seng Cu memandang tajam, kemudian ia teringat dan bertanya.
"Bukankah kau pemuda yang mahir ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat dan kemudian diambil murid oleh Bok Kwi Sianjin?"
Gwat Kong tersenyum.
"Totiang memang memiliki pandangan mata yang tajam."
Sementara itu ketika mendengar bahwa pemuda yang baru datang ini adalah seorang ahli ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat dan bahkan menjadi murid Bok Kwi Sianjin. Nona baju kuning itu nampak terkejut sekali dan kini ia memandang kepada Gwat Kong dengan penuh perhatian.
Melihat hubungan pemuda ini yang agaknya telah kenal baik kepada Sin Seng Cu, diam-diam ia merasa khawatir kalau-kalau pemuda ini akan berpihak kepada tosu itu. Baru menghadapi tosu itu saja ia tadi telah merasa sukar untuk mengalahkannya, apalagi kalau mendapat bantuan pemuda yang memiliki ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat dan Sin-hong Tung-hoat!
"Maafkan, aku tak dapat mengganggu lebih lama lagi!"
Kata Sie Cui Giok, nona baju kuning itu dan sekali tubuhnya berkelebat, ia telah berlari cepat keluar dari pekarangan itu dan sebentar saja sudah lenyap dari pandangan mata.
"Hmm, seorang gadis muda yang memiliki kepandaian mengagumkan,"
Kata Sin Seng Cu perlahan setelah bayangan gadis itu lenyap. Kemudian ia teringat kepada Gwat Kong dan sambil memandang tajam ia berkata,
"Kau agaknya juga hendak memperlihatkan kepandaian, maka datang-datang kau telah menghina Cong Si Ban!"
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo