Ceritasilat Novel Online

Naga Merah Bangau Putih 1


Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 1




   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 01

   Sejarah menyatakan betapa buruknya keadaan pemerintahan di Tiongkok pada jaman dahulu kala, pada waktu Raja demi Raja ganti-berganti memegang tampuk pemerintahan sebagian dari tanah air Tiongkok. Peperangan antara Kerajaan yang satu dengan yang lain hampir tiada hentinya, hancur menghancurkan, takluk menaklukan, dan saling berusaha memperluas wilayah masing-masing. Tentu saja yang menganggap keadaan pada masa itu amat buruk adalah rakyat kecil, terutama sekali para petani yang hidupnya amat melarat dan miskin.

   Buruh tani yang merupakan sebagian besar dari rakyat kecil, hidup amat menderita, bahkan ada yang menyatakan bahwa kehidupan buruh tani lebih sengsar daripada kehidupan seekor kerbau atau kuda milik si kaya! Hal ini terjadi karena adanya penghisapan dan penindasan dalam zaman feodal itu, pada waktu dimana terdapat dua golongan yang menganggap jaman itu adalah jaman keemasan untuk mereka. Mereka ini pertama-tama adalah keluarga Raja dan para bangsawan berpangkat yang menganggap diri dan golongannya sebagai orang-orang terhormat dan jauh lebih tinggi derajatnya daripada golongan rakyat msikin yang dianggapnya hina. Golongan kedua adalah Raja-Raja kecil, yakni kaum tuan tanah yang sesungguhnya hidup di dusun-dusun seperti Raja yang berkuasa besar.

   Mereka ini orang-orang kaya yang memiliki tanah dan sawah, menghisap tenaga dan memeras keringat para buruh tani sampai habis. Para rakyat tani menyewa tanah dari mereka dengan tarif yang amat tinggi dan sewenang-wenang sehingga kalau hasil panen amat baiknya maka sisa hasil sawah yang dibayarkan kepada tuan tanah hanya cukup untuk mengisi perut para petani dan keluarganya. Akan tetapi, dan hal ini sering terjadi di Tiongkok pada masa itu, kalau bencana alam berupa musim kering yang panjang, atau air sungai yang membanjir, juga gangguan rombongan belalang atau hama sawah lainnya datang menyerang, jangan katakan untuk dimakan, bahkan untuk membayar "sewa tanah"

   Saja masih tidak cukup. Lalu bagaimana kalau sampai terjadi hal demikian, yakni hasil panen tidak cukup untuk membayar sewa dan "pajak"

   Tanah? inilah yang menyedihkan!

   Si petani itu lalu membayarkan seluruh hasil dan kekurangannya akan diperhitungkan sebagai "hutang"

   Yang takkan kunjung habis, takkan dapat terbayar sampai beberapa keturunan! Dan kalau sudah demikian halnya, maka ia seakan-akan menjadi seekor kelinci dalam cengkraman harimau, tidak berdaya sama sekali dipermainkan sesuka hatinya oleh tuan rumah. Ia seakan-akan telah menggadaikan jiwa raganya kepada tuan tanah itu. Oleh karena itu, bukan hal yang aneh terjadi di masa itu apabila seorang petani miskin membayar hutangnya kepada tuan tanah dengan menyerahkan anak gadisnya untuk dijadikan selir yang seringkali hanya dijadikan barang permainan belaka, atau menyerahkan anak laki-lakinya untuk dijadikan bujang yang lebih rendah kedudukannya daripada seekor kerbau! Dalam keadaan seperti itulah, maka cerita ini dimulai.

   Tiongkok pada abad ke enam belas. Barisan petani yang dibawah pimpinan pendekar rakyat Lie Cu Seng dengan gagah berani maju terus dalam pemberontakan mereka untuk menumbangkan kekuasan Kaisar dan berhasil menduduki Peking sehingga Kaisar melarikan diri dan akhirnya membunuh diri di atas sebuah bukit.

   Dengan demikian, maka tamatlah Kerajaan Beng-Tiauw dan sungguhpun pemberontakan petani ini terjadi dan timbul karena buruknya pemerintahan yang mencekik rakyat kecil sehingga pemberontakan itu dapat dianggap sebagai perjuangan perbaikan nasib, namun mendatangkan keadaan yang amat tidak menguntungkan bagi negara Tiongkok, yakni kedudukan menjadi amat lemah. Perang saudara ini melemahkan pertahanan Tiongkok terhadap musuh yang lebih berbahaya dan kuat, yang datangnya dari utara, yakni bangsa Mancu! Pimpinan bangsa Mancu pada waktu itu adalah Hong Taichi, putra dari Nurhacu. Setelah Hong Taichi menggantikan kedudukan Ayahnya dan menjadi pimpinan bangsanya yang ketika itu amat kuat, ia lalu menyerang dan mentaklukan Mongolia dalam dan kemudian mengangkat diri sendiri sebagai Kaisar (dalam tahun 1626) dan mengdirikan dinasti baru yang disebut Ceng-Tiauw.

   Setelah memperkuat barisannya, mulailah Kaisar Hong Taichi melakukan penyerbuan ke selatan, menuju pedalaman tanah Tiongkok! Dengan demikian, maka Kerajaan Beng-Tiauw menghadapi dua serangan, dari luar menghadapi barisan-barisan Mancu, sedangkan disebelah dalam terjadi pemberontakan petani yang dipimpin oleh Lie Cu Seng! Sebagaimana telah dituturkan dibagian depan, Kaisar Beng-Tiauw akhirnya tewas dan Peking terjatuh kedalam tangan pemimpin pemberontak Lie Cu Seng yang telah memimpin pemberontakan selama tujuh belas tahun. Akan tetapi baru saja Lie Cu Seng berhasil menduduki Peking dan menumbangkan kekuasaan Kaisar Bang-Tiauw, ia harus mengadakan persiapan baru untuk menghadapi musuh dari luar yang lebih kuat dan berbahaya lagi,

   Yakni Kaisar Hong Taichi yang telah memimpin tentaranya masuk kedalam dari tembok besar! Pada waktu Lie Cu Seng masuk ke Kotaraja, selain Kaisar yang melarikan diri dan kemudian tewas di puncak bukit, juga banyak kaum bangsawan melarikan diri atau terbunuh oleh barisan pemberontak. Betapapun besar rasa bencinya kaum petani yang memberontak itu terhadap kaum bangsawan yang telah memeras dan menginjak-injak mereka selama puluhan bahkan ratusan tahun, namun banyak pula diantara kaum bangsawan yang tidak diganggu, yakni kaum bangsawan yang memang berhati budiman. Lie Cu Seng telah memiliki daftar nama-nama bangsawan yang harus dibasmi dan bangsawan yang dapat diajak kerja sama.

   Diantara para bangsawan yang tidak terganggu, terdapat seorang Pangeran yang bernama Liok Han Swee. Dia ini menjabat kedudukan penGurus bendahara Kaisar dan tidak ikut melarikan diri dengan Kaisar atau bangsawan lain karena selain ia sudah tua, juga Liok Han Swee merasa akan kebersihan dirinya dan tidak takut menghadapi pembalasan dendam para pemberontak. Benar saja, setelah Ibukota jatuh, bangsawan she Liok ini tidak diganggu, karena Lie Cu Seng melarang anak buahnya mengganggu orang-orang yang tidak termasuk dalam daftar hitam. Gedung Pangeran Liok Han Swee adalah sebuah gedung besar dan kuno yang amat indah, karena gedung ini adalah milik nenek moyangnya yang dulu menjabat kedudukan tinggi sehingga mendapatkan hadiah dari Kaisar berupa gedung besar itu.

   Liok Han Swee hanya mempunyai seorang putera, seorang pemuda sastrawan yang selain pandai dalam ilmu kesusasteraan juga amat tampan dan elok wajahnya. Semenjak beberapa tahun yang lain, putranya yang bernama Liok Houw Sin telah dipertunangkan dengan puteri seorang panglima perang she Song. Houw Sin belum pernah melihat tunangannya yang kabarnya amat cantik, akan tetapi diam-diam dia kurang puas dengan pilihan Ayahnya, karena memang pemuda sastrawan itu tidak suka kepada orang-orang yang memegang golok dan pedang, apalagi seorang panglima besar seperti calon mertuanya itu. Sesungguhnya, bukan hal itu saja yang membuat Houw Sin tidak suka akan pertunangannya itu, akan tetapi ada hal lain yang lebih penting, yakni hubungannya dengan seorang gadis pelayan keluarga Pangeran itu.

   Gadis ini semenjak kecil "dijual"

   Oleh Ayahnya, seorang petani miskin, untuk membayar hutangnya kepada tuan tanah, dan akhirnya oleh tuan tanah itu ia "dihadiahkan"

   Pula kepada Pangeran Liok. Memang, pada waktu itu, para tuan tanah dan hartawan selalu mendekati para pembesar untuk "mengambil hatinya"

   Dengan jalan menyogok dengan uang atau apa saja yang kiranya dapat menyenangkan hati si pembesar! Pangeran Liok tergerak hati nuraninya melihat anak perempuan yang ketika itu baru berusia kira-kira delapan tahun itu, karena memang Sui Lan, demikian nama gadis itu berwajah cantik bersih dan mempunyai sepasang mata yang jeli dan indah. Semenjak saat itu, menjadilah Sui Lan sebagai pelayan didalam gedung besar itu dan hidupnya beruntung. Keluarga Pangeran itu amat baik terhadap dia, karena gadis inipun tahu diri dan dapat bekerja rajin sekali.

   Ia bahkan menjadi kesayangan nyonya Liok dan hanya kepada Sui Lan ia mempercayakan kamar-kamarnya untuk diatur dan di bereskan. Usia Sui Lan hanya lebih muda dua tahun dari Houw Sin dan karena pemuda ini merupakan putera tunggal, maka Houw Sin menenukan seorang kawan bermain dalam diri Sui Lan. Ia tidak bersaudara dan Sui Lan adalah seorang anak yang manis dan jenaka, maka tentu saja ia amat suka bermain dengan anak perempuan ini. Bahkan ia lalu mengajar ilmu membaca dan menulis kepada pelayan kecil ini sehingga pergaulan mereka menjadi semakin erat. Seringkali Pangeran Liok dan isterinya mengerutkan kening ketika melihat manisnya pergaulan kedua anak ini, akan tetapi oleh rasa sayangnya kepada putera tunggal yang dimanja itu, mereka tidak menegur dan menganggap bahwa putera mereka masih kecil.

   "Kalau ia sudah dewasa dan tahu bahwa Sui Lan hanyalah seorang bujang, tentu ia akan malu sendiri untuk mendekatinya"

   Kata Pangeran Liok. Akan tetapi, kedua orang-tua ini sama sekali tidak tahu bahwa Houw Sin dan Sui Lan tidak saja menganggap masing-masing sebagai kawan bermain yang menyenangkan, akan tetapi juga menganggap masing-masing sebagai orang yang paling baik dan manis budi didunia ini!

   Waktu berlalu cepat dan setelah kedua anak ini menginjak remaja, bersemilah tunas cinta yang mendalam di hati masing-masing. Cinta kasih yang terjalin diantara dia dan Sui Lan inilah sesungguhnya yang memebuat Houw Sin tidak suka akan pertunangannya dengan Bwee Eng, putri dari Panglima she Song itu. Akan tetapi, tentu saja ia tidak berani menyatakan sesuatu kepada orang-tuanya, apalagi karena pertunangan itu telah diadakan semenjak dia masih kecil. Setelah melihat betapa putera mereka yang telah dewasa itu masih saja mengadakan pergaulan yang manis dengan Sui Lan yang kini telah menjadi seorang gadis yang cantik manis, mulai khawatirlah hari Pangeran Liok dan istrinya. Kini mulailah mereka menegur dan berusaha menjauhkan pergaulan mereka.

   "Houw Sin."

   Kata Ayahnya kepada pemuda itu.

   "Kau sudah dewasa, dan bukan kanak-kanak lagi, Kulihat kau terlalu dekat bergaul dengan Sui Lan. Ini tidak baik, anakku. Ingatlah bahwa kau adalah puteraku dan Sui Lan hanyalah seorang pelayan kita. Sungguhpun aku percaya bahwa tidak ada pikiran kotor dalam hatimu terhadap Sui Lan, akan tetapi kalau terlihat oleh orang lain, dapat menimbulkan dugaan yang bukan-bukan!"

   Sementara itu, didalam kamarnya ketika Sui Lan seperti biasa membereskan kamar majikannya, nyonya Liok juga berkata dengan suara halus namun mengandung ancaman.

   "Sui Lan, sekarang kau sudah bukan anak-anak lagi, kau sudah dewasa, maka jangan kau menGurus kamar dari tuan muda lagi."

   Berdebarlah jantung gadis itu, akan tetapi ia hanya menundukan mukanya yang manis sambil berkata,

   "Semenjak kecil saya yang membereskan kamar Kongcu, kalau sekarang saya tidak melakukannya apakah Kongcu tidak akan marah ? dan siapakah yang akan membereskan kamar Kongcu ?"

   "Ada pelayan lain yang akan melakukannya dan Kongcu tentu tidak akan marah. Tidak pantas kau memasuki kamarnya lagi, dan... Sui Lan..."

   Gadis itu menengok dan menyembunyikan perasaannya yang kecewa."Jangan dilanjutkan lagi pergaulanmu dengan Kongcu. Kau dan Kongcu sudah dewasa, tidak patut seorang tuan muda bergaul rapat dengan seorang pelayan."

   Terbelalak kedua mata yang jeli dan bening itu, akan tetapi ia tidak berani mengeluarkan suara karena maklum kalau hal itu ia lakukan, tentu suaranya akan terdengar gemetar.

   "Kau seorang pelayan yang baik, Sui Lan dan kami suka dan kasihan kepadamu. Hal ini tentu dapat kau rasakan semenjak kau tinggal disini. Akan tetapi, sungguh-sungguh pergaulanmu dengan Kongcu tidak patut kalau dilanjutkan, biarpun aku percaya bahwa kau tidak akan melakukan sesuatu yang memalukan. Ah... sudahlah, pendeknya mulai sekarang kau tidak boleh terlalu sering bertemu dengan Kongcu, dan kalau sewaktu-waktu ada perlu sehingga Kongcu memanggil, kau tidak boleh bicara kepadanya dengan tersenyum-senyum, tidak boleh bicara manis kepadanya."

   "Nyonya..."

   "Bukan sekali-kali aku hendak menuduhmu yang bukan-bukan, Sui Lan. Hanya saja, tidak patut terlihat oleh orang lain betapa kau bersikap manis dan bicara dengan Houw Sin seakan-akan ia itu kawanmu sendiri. Dulu memang demikian sewaktu kau dan Houw Sin masih kecil, akan tetapi, sekarang kalian telah dewasa dan kau adalah seorang pelayan yang seharusnya dapat bersikap selayaknya terhadap tuan muda atau majikan mudamu.!"

   Setelah berkata demikian, nyonya Liok meninggalkan pelayan itu. Semenjak tadi Sui Lan telah mendengarkan dengan muka pucat dan air mata yang ditahan-tahannya agar tidak jatuh, membuat matanya terasa panas sekali. Kini setelah nyonya Liok pergi, tak tertahan lagi kehancuran hatinya dan dia menangis terisak-isak sambil menjatuhkan diri berlutut diatas lantai. Betapa takkan remuk-redam perasaannya, takkan perih luka hatinya. Di dunia ini hanya Houw Sin seoranglah pujaan hatinya. pemuda itulah satu-satunya orang yang menjadi cahaya bagi lubuk hatinya, bagaikan matahari menerangi bumi.

   Tanpa adanya Houw Sin, rumah gedung besar indah itu mungkin akan berobah menjadi neraka, dan dunia yang ramai ini akan terasa sunyi. Ia telah melupakan asal-usulnya, melupakan orang-tuanya, melupakan kesengsaraannya hanya karena ada senyum diBibir Houw Sin dan seri sinar mata pemuda itu di kala memandangnya. Ia telah menemukan kebahagian, menemukan kegembiraan hidup, hanya karena dari Bibir pemuda itu telah keluar pernyataan cinta kasihnya.! Memang sebelum Pangeran Liok dan istrinya turun tangan, kedua orang muda itu telah saling menukar hati, memadu cinta kasih, yang mesra. Sambil menangis terisak-isak didalam kamar, Sui Lan membayangkan pertemuannya dengan pemuda pujaan kalbunya itu. Houw Sin telah menyatakan cinta kasihnya, telah bersumpah akan hidup bersama, akan melindunginya.

   "Akan tetapi Kongcu,"

   Demikian bantahnya terhadap pemuda yang bersemangat karena sedang dibakar oleh api cinta itu.

   "Bagaimanakah hal ini bisa dilanjutkan Tak perlu lagi dibicarakan lebih mendalam, semua orang tahu bahwa tidak mungkin kita melakukan perhubungan dan tak mungkin kita menjadi suami istri. Kau adalah putera tunggal majikanku, dan aku... aku hanya seorang pelayan! kau adalah seorang putera bangsawan, putera seorang Pangeran yang berpangkat tinggi, sedangkan aku... aku hanyalah seorang yang tidak kenal lagi siapa Ayah dan Bundaku... seorang gadis yatim piatu sungguhpun belum kuketahui pasti apakah orang-tuaku telah meninggal dunia, aku seorang gadis rendah miskin dan hina..."

   Akan tetapi Houw Sin menutup Bibirnya dengan tangannya dengan mesra.

   "Jangan kau bicara begitu, kekasihku. Kau bukan seorang gadis seperti yang kau katakan itu. Aku telah mengenalmu semenjak kecil, telah tahu bahwa kau adalah seorang gadis termulia di dunia ini. Apakah kau berani menyatakan bahwa kau... tidak suka kepadaku?"

   Sui Lan menghela nafas,

   "Kongcu, tanpa kukatakann, kau tentu telah maklum akan isi hatiku. Kaulah satu-satunya didunia ini yang menjadi cahaya hidupku bersandar... akan tetapi Kongcu, kau telah bertunangan.! kau adalah calon suami dari Song Siocia, puteri panglima itu!"

   "Hah, segala orang peperangan!"

   Kata Houw Sin dengan sebal.

   "Aku akan menolak apabila dinikahkan dengan putri pembunuh itu!"

   "Hush... jangan berkata demikian, Kongcu..."

   "Sui Lan,"

   Houw Sin memeluknya.

   "Percayalah selama hayat masih dikandung badan, aku akan melindungimu, membelamu, dan hanya kau seorang yang patut menjadi istriku."

   "Kongcu"

   Akan tetapi pemuda itu tidak memberi kesempatan lagi kepadanya untuk membantah lagi. Dan apakah yang harus dibantahnya? Semua ucapan yang keluar dari mulutnya tidak sesuai dengan suara hatinya menuntut haknya atas pemuda pujaannya ini, dan sungguhpun kesadaran dan pertimbangannya tidak membenarkan sikapnya ini, namun hati yang semenjak kecil telah haus akan kasih sayang seseorang kepadanya itu akhirnya tunduk. Semenjak kecil ia telah kenyang akan kepahitan hidup, akan kesengsaraan hidup. Maka kini menghadapi kebahagiaan yang diberikan oleh Houw Sin, ia runtuh.

   Pemuda ini benar-benar menyintanya, ia maklum akan hal ini, dan dia... dia seorang pelayan yang tidak mempunyai harapan, tidak mempunyai pegangan hidup, yang selama hidupnya hanya menerima perintah, hanya menerima apa saja yang orang berikan kepadanya, yang selalu taat, tunduk dan tidak pernah membantah, akhirnya ia menyerah akan kehendak Houw Sin, kehendak hatinya sendiri. Sebagai seorang yang kehausan di padang pasir, ia mereguk apa saja yang merupakan minuman, yang dapat mengurangi rasa haus. Ia mereguk apa saja, biar anggur manis yang memabokkan sekalipun. Ia tidak peduli, ia menyinta Houw Sin! Maka diserahkanlah jiwaraganya kepada pemuda junjungannya itu! Dan kini setelah ia menjadi sebagian dari Houw Sin, setelah kini tak mungkin lagi baginya untuk memjauhkan diri dari Houw Sin, datanglah peringatan dari nyonya Liok!

   Ucapan nyonya Liok yang biasanya diterimanya dengan girang, sebagai perintah yang harus ditaatinya, kini merupakan sebatang golok yang jatuh menimpa lehernya dari atas! Merupakan keputusan maut yang akan merenggut kebahagiannya. Cinta itu bagaikan air bah yang makin dihalangi, makin di bendung, akan menjadi makin nampak kekuasan dan tenaganya yang luar biasa. Biarpun kedua orang muda saling mencinta, maka cinta akan berjalan tenang menurut liku-liku tertentu, bahkan ketenangan itu mungkin sekali akan berakhir dengan kesurutan kembali. Akan tetapi coba halangi atau menjauhkan dua orang muda yang saling jatuh cinta, maka bagaikan air bah yang dibendung, cinta dan menggelora, akan mengamuk, akan mendobrak,

   Dan menghancurkan segala rintangan bahkan akan melampaui batas-batas, membanjir dan merajalela dengan dahsyatnya! Demikianpun halnya dengan Sui Lan dan Houw Sin. Setelah mendapat tentangan dari Pangeran Liok suami istri, cinta mereka tidak tenang lagi. Perasaan gelisah dan khawatir akan kehilangan kekasih yang dicintanya, membuat cinta mereka makin dasyat menggelora, mengamuk didalam hati masing-masing. Mereka masih mengadakan pertemuan dengan rahasia, dan larangan orang-tuanya membuat Houw Sin menjadi nekad, dan membuat Sui Lan menjadi bingung, cemas, dan kehilangan pegangan. Hal ini membuat kedua orang muda itu menjadi gelap pikiran, menjadi lupa akan segala larangan, akan segala ikatan tata susila! Pangeran Liok dan istrinya maklum akan hal ini dan mereka merasa semakin gelisah.

   "Tidak ada jalan lain, kita harus memilih seorang pemuda untuk Sui Lan, Ia harus dinikahkan agar dapat keluar dari sini dengan baik, agar ia dapat berumah tangga sendiri,"

   Kata nyonya Liok yang betapapun juga tidak tega untuk mengusir Sui Lan begitu saja. Beberapa hari kemudian, nyonya Liok memanggil Sui Lan yang menghadap dengan hati berdebar.

   "Sui Lan, tahukah kamu, sudah berapa tahun usiamu sekarang?"

   Sui Lan menundukan kepalanya. Bagaimana-kah seorang gadis seperti dia dapat mengetahui usianya? hanya putri orang-orang bangsawan saja yang dapat mengetahui usianya. Maka ia menggelengkan kepalanya sambil masih menunduk.

   "Sudah delapan tahun kau ikut dengan kami, dan ketika kali kau menginjakkan kakimu di lantai rumah kami, kau baru berusia delapan tahun, Maka sekarang kau telah berusia delapan belas tahun, Sui Lan, usia yang cukup dewasa untuk melangkahkan kaki keluar dari ambang pintu, mengikuti jejak seorang suami."

   Pucatlah muka Sui Lan mendengar ini dan ia hanya mengangkat mukanya, memandang wajah nyonya majikannya yang duduk diatas kursi. Kemudian sambil masih berlutut, ia menundukkan kepala kembali.

   "Sui Lan, kau tau bahwa aku selalu sayang kepadamu, dan aku tidak menghendaki kau hidup sengsara setelah kau meninggalkan kami. Oleh karena itu, aku telah mencarikan seorang suami yang baik untukmu, seorang pegawai dari kantor majikanmu sendiri. Dalam bulan ini juga pernikahan akan dilangsungkan, maka harap kau bersiap dan bergembira mendengar berita naik ini."

   Tiba-tiba Sui Lan tidak dapat menahan kesedihannya lagi dan ia menjatuhkan diri menangis tersedu-sedu.

   "Eh.. Eh... Sui Lan mengapa kau menangis ?"

   Tanya Liok-Hujin dan suaranya mengandung kemarahan karena nyonya ini dapat menduga bahwa tangis gadis ini tentulah karena puteranya!

   "Ampunkan saya, nyonya besar, saya... saya tidak ingin menikah... tidak ingin meninggalkan nyonya besar yang telah melepas budi kepada saya... saya ingin melayani nyonya sampai napas terakhir..."

   Sungguh ucapan ini bermaksud bahwa Sui Lan ingin menghambakan diri sebagai pelayan selamanya, akan tetapi dapat juga dimaksudkan bahwa ia ingin melayani nyonya itu selama hidupnya, yang berarti tentu saja sebagai seorang mantu! Karena, hanya seorang mantu perempuanlah yang akan melayani mertuanya sampai kematian memisahkan mereka! Marahlah nyonya Liok mendengar ini,

   "Apa...? Kau hendak membantah ? Ingat, Sui Lan jangan kau menjadi seorang kurang penerima, seorang yang tak mengenal budi. Aku berusaha sedapatku untuk kebaikan dan kebahagiaanmu, kau tidak menerima dengan girang dan berterima kasih, sebaliknya malah menjengkelkan aku dengan tangismu!"

   "Ampun... saya... Saya..."

   "Sudah, pergilah kekamarmu dan hentikan tangismu! Kau tidak boleh membantah. Aku masih bersabar, akan tetapi kalau Taijin mendengar akan penolakanmu ini, ia tentu akan marah sekali kepadamu!"

   Bagaikan seekor anjing kena pukul, Sui Lan mengundurkan diri dengan menundukan kepalanya. Setibanya didalam kamarnya, ia lalu membanting diri diatas pembaringan dan menangis sepuas hatinya. Sampai hari menjadi malam ia tidak meninggalkan pembaringannya. Cinta dapat membuat seorang pemuda melakukan hal yang aneh-aneh, Houw Sin, putera tunggal, seorang Pangeran agung malam hari itu jalan sembunyi-sembunyi bagaikan seorang maling! Seorang maling dalam rumah gedungnya sendiri, ia merasa gelisah karena tidak melihat Sui Lan sehari itu, dan ketika ia mendengar dari seorang pelayan lain bahwa Sui Lan habis mendapat marah dari Ibunya, ia menyesal sekali. Malam hati itu, menjelang tengah malam, ia pergi ke kamar Sui Lan bagaikan seorang maling. Setibanya diluar kamar Sui Lan tiba-tiba mendengar suara isak tangis tertahan, lalu mendengar suara perlahan dari dalam kamar itu.

   "Kongcu... Kongcu... hanya dengan kau seorang aku mau hidup sebagai istri... kalau orang memaksaku... ah... Kongcu... kanda Houw Sin... suamiku... selamat tinggal!"

   Mendengar kata-kata terakhir ini, Houw Sin terkejut sekali dan bagaikan seorang gila ia lalu melompat dan mendorong pintu kamar Sui Lan. Sambil menahan seruannya ia melompat ke arah Sui Lan dan dengan cepat merenggutkan tali pengikat pinggang yang telah dipasang pada gantungan kelambu dan ujungnya telah merupakan tali gantungan!

   "Sui Lan... kau... kau gilakah...?"

   "Kongcu..."

   Sui Lan terhuyung-huyung ke depan dan ia roboh dalam pelukan Houw Sin dalam keadaan pingsan! Setelah siuman kembali, sambil menangis Sui Lan menceritakan kekasihnya betapa dia dipaksa hendak dikawinkan dengan seorang pemuda lain.

   "Bagaimana aku dapat menjalaninya...?"

   Terdengar suaranya diantara isak tangis.

   "Aku telah bersumpah takkan mau menjadi istri orang lain... aku telah menjadi istrimu... bahkan... aku telah menjadi calon Ibu dari anakmu... ah Kongcu... kau bunuhlah saja aku... orang hina-dina ini...

   "

   Hancur hati Houw Sin mendengar ini. Ia maklum bahwa Sui Lan telah mengandung, dan ia sedang memikirkan bagaimana caranya untuk minta perkenanan orang-tuanya agar ia dinikahkan dengan gadis ini. Sekarang timbul hal yang lebih memusingkan ini!

   "Sudah, jangan menangis kekasihku,"

   Ia menghibur.

   "Jangan kau khawatir bagaimanapun juga aku akan tetap membelamu. Kita harus mencari jalan!"

   Demikian, malam hari itu mereka berunding dan akhirnya diambil keputusan bahwa Sui Lan akan ditolong oleh Houw Sin minggat dari gedung itu. Untuk sementara Sui Lan akan disembunyikan dalam rumah bekas pelayan yang menjadi orang kepercayaan Houw Sin. hal ini hanya untuk menghindarkan pernikahan paksaan itu. Kemudian, apa yang akan mereka lakukan selanjutnya akan diatur kelak. Dan pada tiga hari berikutnya pada suatu malam, lenyaplah Sui Lan dari rumah gedung Pangeran Liok, dimana ia telah dibesarkan selama delapan tahun! Tak seorangpun dapat menduga bahwa ini adalah perbuatan Houw Sin sungguhpun kedua orang-tua pemuda itu merasa curiga.

   Sementara itu, Kotaraja telah mendapat ancaman hebat dari musuh, yakni balatentara Mancu yang dipimpin oleh Kaisar Hong Taichi! Setelah dapat merebut Peking dan menumbangkan kekuasaan Kaisar, Lie Cu Seng lalu mengirim utusan untuk menghubungi dan membujuk Jenderal Gouw Sam Kwi yakni seorang jendral barisan Kerajaan Beng-Tiauw yang telah runtuh, yang pada waktu itu berkedudukan di Pegunungan San-Hai-Kuan, untuk bersama-sama menghadapi serangan tentara mancu dari utara. Akan tetapi jendral Gouw Sam Kwi menolak ajakan ini, bahkan menyatakan lebih suka bergabung dengan tentara Mancu untuk merebut kembali Kotaraja. Tentu saja Lie Cu Seng marah sekali, lalu memimpin dua puluh laksa tentara untuk menyerang barisan jendral itu di pegunungan San-Hai-Kuan.

   Akan tetapi tiba-tiba tentara mancu yang sudah tiba disitu muncul dengan jumlah yang amat besar menyerang dari sayap kiri. Barisan petani dibawah pimpinan Lie Cu Seng terjebak dan akhirnya terpukul mundur. Barisan Mancu terus mengejar dan akhirnya mereka berhasil menyerbu dan memasuki Peking!! Betapapun hebat pertahanan dan perlawanan yang dilakukan oleh Lie Cu Seng, namun ternyata kekuatan musuh lebih besar dan tidak dapat dicegah lagi, Kotaraja direbut oleh barisan musuh. Lie Cu Seng terpaksa melarikan diri ke selatan untuk membentuk barisannya kembali. Hal ini terjadi dalam tahun 1644 pada bulan Mei. Dan penyerbuan tentara Mancu didalam kota Peking ini terjadi tepat sehari setelah Sui Lan melarikan diri dari gedung Pangeran Liok! Keadaan Kotaraja menjadi kacau balau. Tentara Mancu, seperti biasanya melakukan perampokan dan pembunuhan secara kejam sekali.

   Harta benda penduduk dijadikan perebutan, orang-orang lelaki muda dibunuh dengan kejam, orang-orang tua dipukuli, anak-anak ditendangi, dan perempuan-perempuan muda diculik. Para pembesar Kerajaan Beng-Tiauw yang dulunya tidak berani berkutik ketika Lie Cu Seng masih berkuasa di Peking, kini muncul dan mulai menjilat-jilat ujung sepatu orang Mancu! Demikian pula, para tuan tanah yang melihat bahwa orang-orang Mancu mendapat kemenangan, segera merangkak-rangkak dan membungkuk-bungkuk membawa bingkisan untuk mengambil hati. Pada waktu Lie Cu Seng dan barisan petani yang berkuasa, mereka ini sama sekali tidak berdaya. Akan tetapi, bukan semua bangsawan menjilat-jilat ujung sepatu orang-orang mancu, karena ada pula beberapa orang bangsawan yang berjiwa gagah dan tidak mau tunduk terhadap orang-orang asing yang datang menjajah ini.!

   Diantara mereka ini termasuk juga Pangeran Liok Han Swee. Sebelum tentara Mancu masuk ke kota, yakni pada pagi harinya, Pangeran Liok sekeluarga telah ribut mulut. Antara Pangeran Liok, isterinya, dan putera mereka Houw Sin terdapat pertentangan kehendak masing-masing. Pangeran Liok menghendaki agar Houw Sin cepat meninggalkan Kotaraja menggabung dengan rombongan Panglima calon mertuanya yang akan mengungsi ke selatan, akan tetapi Houw Sin tidak mau karena pemuda ini teringat akan kekasihnya yang masih tinggal bersama bekas pelayannya. Nyonya Liok mengajak suaminya mengungsi akan tetapi Pangeran Liok tidak mau meninggalkan gedungnya. Akhirnya Pangeran Liok marah sekali dan berkata kepada puteranya.

   "Houw Sin, kau adalah putera tunggalku. Kau masih muda dan kau tidak boleh tinggal disini karena kalau kau sampai tewas, siapakah kelak yang akan menyambung keturunan keluarga kita? Aku sudah tua dan aku tidak sudi lari hanya karena datangnya penjahat Mancu! Aku tidak takut, kalau mereka mau bunuh biar bunuh! Aku tidak mau bertekuk lutut dan juga tidak sudi melarikan diri. Akan tetapi, kau harus pergi ke rumah calon mertuamu dan ikut pergi ke selatan dengan mereka. Kemudian kau boleh melangsungkan pernikahan dengan tunanganmu. hal ini sudah kubicarakan dengan Song-Ciangkun (Panglima Song)"

   Karena Ayahnya berkeras, akhirnya Houw Sin meninggalkan rumahnya, akan tetapi ia tidak pergi ke rumah calon mertuanya, melainkan pergi ke rumah bekas pelayannya untuk menemui Sui Lan!

   Baru saja ia sampai ditengah jalan, keadaan sudah menjadi kacau balau karena tentara petani yang mempertahankan kota itu sudah terpukul hancur dan tentara musuh telah ada sebagian yang masuk ke kota! Diantara gelombang manusia yang mengungsi, Houw Sin mencari kekasihnya akan tetapi ternyata rumah bekas pelayannya itu telah terbakar habis dan dia tidak menemukan kekasihnya ditempat itu! Tidak seorangpun yang dapat ia tanyai, karena para tetangga dijalan itupun sudah pada melarikan diri! Dengan bingung dan gelisah, Houw Sin mencari-cari akan tetapi mencari seorang gadis seperti Sui Lan diantara ribuan orang yang berlari kacau balau tentu saja tidak mungkin! Sementara itu, kekacauan telah terjadi disana-sini. rumah-rumah dibakar, tangis dan pekik terdengar dimana-mana.

   Houw Sin akhirnya putus asa dan berlari kembali ke gedung orang-tuanya, akan tetapi apa yang dilihatnya? Gedung itu sudah dirampok habis-habisan dan bahkan kini telah berkobar-kobar dimakan api! Ternyata bahwa sebagai seorang bangsawan yang tidak ikut dalam rombongan bangsawan penjilat yang menyambut kedatangan musuh dengan baik. Pangeran Liok lalu didatangi sepasukan orang Mancu dan seluruh penghuni rumah itu di bunuh, harta bendanya dirampok dan rumahnya dibakar! Hampir saja Houw Sin jatuh pingsan melihat betapa rumahnya terbakar hebat, karena ia khawatir akan nasib Ayah-Bundanya. kemudian ia menjadi nekad dan hendak lari memasuki pintu rumah yang sedang berkobar hebat itu. Akan tetapi, tiba-tiba dua buah lengan yang kuat memegang pundaknya dan ketika ia menengok, ternyata yang memegangnya adalah Panglima Song Liong, Ayah tunangannya!

   "Houw Sin, jangan berlaku bodoh! kau mau berbuat apa?"

   "Lepaskan...! Gakhu (Ayah mertua), lepaskan aku... aku hendak menolong Ayah dan Ibu...!"

   Akan tetapi pegangan panglima yang berpa-kaian seperti orang biasa itu makin menguat.

   "Tiada gunanya lagi, Akupun datang terlambat. Ayah-Bundamu, seluruh isi rumah telah terbunuh, tiada gunanya lagi. Hayo kau ikut aku menyusul rombongan keluargaku!"

   "Tidak... tidak..."

   Akan tetapi ia tidak berdaya dalam pegangan Song-Ciangkun yang kuat.

   "Bodoh! Ayahmu sendiri juga menghendaki agar kau ikut dengan kami. Hayo dan jangan banyak ribut, kalau terdengar dan terlihat oleh musuh, kita celaka!"

   Setengah memaksa Song-Ciangkun menyerat tangan Houw Sin yang masih berteriak-teriak memanggil nama Ayah-Bundanya sambil menangis itu, bahkan pemuda itu saking sedihnya lalau jatuh pingsan! Panglima Song tidak mau membuang waktu lagi, Ia lalu memanggul tubuh pemuda itu dan membawanya lari keluar kota dari pintu selatan, menyusul rombongan keluarganya yang sudah lari terlebih dahulu.

   Marilah kita ikuti pengalaman Sui Lan. Ketika terdengar suara ribut-ribut diluar pintu rumah itu bersama bekas pelayan yang berada dirumah itu, ia lalu keluar dari pintu.

   "Musuh telah menyerbu!! musuh telah memasuki kota! Lari...! Penjahat-penjahat Mancu merampok dan membunuh!"

   Demikianlah teriakan-teriakan orang yang berlari-lari itu. Sui Lan menjadi pucat, juga pelayan tua itu menjadi takut sekali.

   "Hayo kita melarikan diri!"

   Ajaknya kepada Sui Lan, akan tetapi gadis ini tidak mau.

   "Aku harus menanti Kongcu... aku tidak bisa meninggalkan dia...!"

   Saking takutnya, pelayan tua itu lalu melarikan diri lebih dulu, meninggalkan Sui Lan seorang diri dirumah itu.

   Gadis itu tidak pernah meninggalkan ambang pintu, dan melihat betapa orang-orang yang berlari makin banyak saja. Ia menanti-nanti datangnya Houw Sin, akan tetapi pemuda itu tidak kunjung datang! Bukan main gelisah dan takutnya. Apalagi ketika melihat betapa rumah-rumah didekat situ sudah mulai dibakar dan terdengar teriakan dan tangisan yang menyayat hati. Akhirnya, ketika melihat betapa rumah-rumah tetangga disitu yang sudah ditinggalkan penghuninyapun dibakar oleh musuh, terpaksa Sui Lan melarikan diri dari pintu belakang. Ia berlari menurutkan arah orang-orang tadi melarikan diri, yakni ke pintu gerbang sebelah selatan. Jalan-jalan telah menjadi sunyi dan Sui Lan berlari seorang diri secepat mungkin. Kedua kakinya telah terasa sakit sekali, akan tetapi rasa takut membuatnya bertahan dan berlari terus. Tiba-tiba ia mendengar suara berkata keras,

   "Nona, cepat-cepat lari! Penjahat-penjahat sudah masuk kota!"

   Sui Lan menengok dan melihat seorang setengah tua yang bertubuh tinggi besar melarikan diri dengan cepat sekali sambil memanggul seorang pemuda.

   "Kongcu...!"

   Sui Lan menjerit ketika mengenal pemuda yang pingsan dan dipanggul itu sebagai Houw Sin! Akan tetapi, orang-tua yang bukan lain adalah Song-Ciangkun sendiri, telah berlari jauh dan tidak tahu bahwa jeritan itu ditujukan kepada calon mantunya.

   "Kongcu...! Kongcu...! Kanda Houw Sin!!"

   Sui Lan menjerit-jerit sambil berlari makin cepat, akan tetapi sia-sia belaka, karena Song-Ciangkun telah mempergunakan ilmu lari cepat sehingga tak nampak bayangannya lagi.

   Sui Lan masih memanggil-manggil dan berlari terhuyung-huyung ke depan. Beberapa kali ia jatuh, bangun lagi dan berlari terus ke selatan. Pintu gerbang selatan terbuka lebar dan kosong. Gadis itu berlari terus. Baiknya para tentara Mancu masuk kota sambil merampok dan membakar, kalau mereka terus mengejar ke selatan, tentu mereka akan dapat menyusul Sui Lan. Sampai hari menjadi gelap, gadis itu masih saja berlari-lari masuk ke sebuah hutan. Larinya tidak kencang lagi karena kedua kakinya telah bengkak, tubuhnya lemas, dan sunguhpun masih terdengar tangisnya, akan tetapi air matanya tidak mengeluarkan air mata lagi. Sudah habis air matanya ditumpahkan dan akhirnya ia tidak kuat lagi, menjatuhkan diri diatas rumput dan rebah menelungkup sambil terisak-isak.

   "Kongcu...! Kongcu...!"

   Bibirnya masih bergerak memanggil kekasihnya dan tak lama kemudian dia tak sadarkan diri! Ketika ia siuman kembali, gelap pekat menyelimuti sekelilingnya, Jangankan melihat benda lain disekililingnya, sedangkan tangannya sendiripun tak tampak. Ia menjadi ketakutan sekali dan meraba-raba ke sekitarnya. Ketika tengannya meraba akar pohon ia lalu merangkak menuju batang pohon yang tumbuh tak jauh dari situ. Ia teringat akan buntalan pakaian dan sedikit makanan yang dibawanya dari rumah, akan tetapi ia tidak pedulikan hal ini dan menyandarkan tubuhnya pada batang pohon besar itu. Pikirannya melayang kembali ke peristiwa yang dialaminya.

   Timbul rasa menyesal yang besar sekali. Kalau ia tidak melarikan diri, tentu ia masih berada di gedung besar Pangeran Liok dan dalam keadaan aman! Akan tetapi ia teringat akan Houw Sin yang dipondong dan dibawa lari oleh orang tinggi besar tadi. Kenapakah kekasihnya itu? terlukakah? atau... atau sudah meninggalkah? Ia bergidik ngeri dan kedukaan hebat meliputi hatinya. Ia teringat kembali akan niatnya membunuh diri di malam hari itu di dalam kamarnya ketika nyonya Liok memaksanya untuk menikah dengan orang lain. Pikiran ini kembali timbul dalam ingatannya. Kemana ia harus pergi? Apa yang harus dilakukan selanjutnya? Kembali ke rumah Pangeran Liok? Tidak Mungkin! ia sudah melarikan diri dan lagi pula, kekasihnya telah pula pergi meninggalkan Kotaraja. Apa yang harus dilakukan selanjutnya? Jalan amat gelap baginya, disana sini buntu, tidak ada jalan keluar.

   Ia tidak mempunyai kerabat, tidak ada handai taulan, tiada kawan, sebatang kara diatas dunia yang luas ini. Masa depannya gelap gulita, sama gelapnya dengan malam itu. Ketika ia menengok ke arah utara, ia melihat langit disebelah utara memerah dan bergidiklah dia. Tentu Kotaraja menjadi lautan api, pikirnya. Sudah terang ia tidak mungkin dapat kembali ke Kotaraja. Selain takut pada keluarga Liok, ia juga takut kepada perampok-perampok Mancu itu. Tiada jalan lain kecuali mengakhiri hidup sengsara ini! Pikiran ini membuatnya bertenaga kembali dan sambil merangkak-rangkak dicarinyalah bungkusannya. Didalam bungkusan itu ia akan bisa mendapatkan sehelai ikat pinggang yang panjang, dan pohon yang disandarinya itu akan merupakan tempat menghabiskan nyawa yang baik dan kuat.

   Ia mendapatkan kembali bungkusannya dan ketika dibukanya, yang terpegang terlebih dahulu adalah sebungkus roti kering yang dibawanya dari rumah tadi. Tiba-tiba ia merasa betapa perutnya amat lapar dan perih dan ketika meraba perutnya dengan tangan kiri, terkejutlah dia. Terduduk kembali ia dan tak terasa pula ia menangis tersedu-sedu dambil mengelus-elus perutnya. Tidak mungkin ia membunuh diri. Ia tidak takut untuk menghabisi nyawanya sendiri, akan tetapi dengan jalan membunuh diri, sama juga dengan membunuh pula anak dalam kandungannya! Teringat akan hal ini lenyaplah niatnya membunuh diri. Tidak. pikirnya, tidak boleh. Entah kelak kalau anak ini sudah terlahir selamat dan ada yang memeliharanya...! tak boleh aku membawa anak yang tak berdosa itu ke alam gelap! Aku harus hidup, harus hidup untuk memelihara anakku ini...!

   Dirabanya kembali bungkusan roti kering dan untuk menghilangkan rasa perih di perutnya ia memaksa makan sepotong roti, kemudian karena pikirannya ruwet dan hatinya berduka ia menjadi lelah lahir batin dan jatuh pulas di bawah pohon itu. Pada keesokan harinya ia melanjutkan perjalanan, tanpa tujuan dan tidak tahu kemana ia harus pergi, bahkan tidak tahu pula dimana ia berada dan kemana ia sedang menuju. Berbulan-bulan ia melakukan perjalanan, dengan penuh harapan kalau-kalau ia akan bertemu dengan Houw Sin kekasihnya. Setiap kali tiba di sebuah dusun atau kota, ia mencari-cari, bertanya-tanya kalau-kalau disitu terdapat pengungsi dari Kotaraja bernama Liok Houw Sin. Baiknya ia membawa perhiasan emas yang diterimanya dari nyonya Liok ketika ia masih menjadi pelayan disana dan sedikit demi sedikit perhiasannya ini dijualnya untuk dimakan.

   Dan merupakan hal yang baik pula bahwa ia sedang dalam keadaan mengandung, oleh karena kalau sekiranya tidak demikian, tentu ia telah menjadi korban gangguan laki-laki jahat. Akan tetapi, meskipun begitu, empat bulan kemudian semenjak ia merantau dan tiba di sebuah hutan dengan maksud pergi ke kota An-Sin-Kwan yang menurut kata orang berada di luar hutan itu, hampir saja ia mendapat gangguan perampok. Ketika ia sedang berjalan perlahan seorang diri, tiba-tiba dari belakang mendatangi sebuah gerobak kecil ditarik oleh seekor kuda yang ditunggangi oleh seorang laki-laki tinggi besar dan bermuka brewok. Melihat seorang wanita berjalan seorang diri dan wanita itu ternyata sedang mengandung, laki-laki itu menghentikan kendaraannya dan bertanya dengan suaranya yang kasar dan keras.

   "Eh, Toanio, kau hendak kemanakah ? Mengapa seorang diri saja?"

   Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Muka brewok dan kata-kata yang parau kasar itu mengejutkan hati Sui Lan, akan tetapi mata laki-laki yang usianya lebih kurang empat puluh tahun itu nampak jujur, maka ia lalu menjawab,

   "Aku hendak menuju kekota An-Sin-Kwan mencari seorang sanak keluarga disana."

   Laki-laki itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata seorang diri,

   "Hm, alangkah buruknya jaman ini. Baru sekarang aku melihat seorang wanita muda, dalam keadaan mengandung pula, jalan seorang diri dalam hutan dengan maksud pergi kekota yang jauhnya tidak kurang dari tiga puluh li! Benar-benar buruk sekali.! Kemudian ia melompat turun dari kudanya, membereskan beberapa karung yang dimuat di gerobak kecil itu sehingga disitu terdapat tempat lowong, lalu berkata kepada Sui Lan,

   "Toanio, Aku tidak mengenal engkau, dan aku tidak ingin tahu pula mengapa kau melakukan perjalanan seorang diri. Akan tetapi sebagai seorang laki-laki, aku tidak tega melihat kau melakukan perjalanan berat ini. Naiklah, akupun kebetulan hendak mengantar barang-barang ini ke kota An-Sin-Kwan!"

   Sui Lan merasa ragu-ragu. Ia tidak mengenal orang ini, siapa tahu kalau ia bukan orang baik-baik?

   "Terima Kasih, Lopek (sebutan berarti Paman atau Uwak). Sudah berbulan-bulan aku melakukan perjalanan seorang diri, aku tidak mau mengganggu orang lain."

   Jawaban ini membuat laki-laki itu melenggong.

   "Eh, kau agaknya bercuriga padaku, Toanio? hm, ketahuilah aku adalah seorang yang tidak biasa mengganggu wanita! Namaku Lie Kai dan orang menyebutku Thiat-Thouw-Gu (Kerbau Berkepala Besi) Aku pernah menjadi pemimpin sepasukan tentara petani dan perampok-perampok sudah mengenalku baik-baik. Tidak seorangpun berani memandang rendah Thiat-Thouw-Gu dan biarpun semua pekerjaan buruk dan jahat telah kulakukan, namun mengganggu wanita adalah sebuah pantangan besar bagiku!"

   Sui Lan merasa tidak enak sekali karena orang itu telah dapat menduga bahwa ia mencurigai laki-laki itu, akan tetapi mendengar nama julukan ini, ia makin merasa takut,

   "Tidak, Lopek, aku tidak bercuriga... akan tetapi... kakiku kini sudah kuat, aku telah melakukan perjalanan ratusan li jauhnya dan tak pernah aku mendapat gangguan orang..."

   "Hmm, kau seorang wanita yang tabah dan berani, juga keras hati! Ah, Toanio (Nyonya)... melihat kau berjalan seorang diri dengan perut besar itu... hatiku tidak tega. Apalagi kalau sampai nanti kau di hadang gerombolan perampok yang menunggumu... ah.. aku merasa seperti anak perempuanku sendiri saja yang menderita kesengsaraan itu!"

   Mendengar betapa suara laki-laki itu tiba-tiba menjadi halus dan seperti orang terharu, Sui Lan tidak dapat menahan keinginan tahunya dan bertanya,

   "Kau juga mempunyai seorang anak perempuan, Lopek?"

   Tak disangkanya sama sekali bahwa pertanyaan ini merupakan pisau tajam yang menusuk dada laki-laki brewok itu. Ia melompat turun, menghampiri sebatang pohon dan meninju pohon itu sekuatnya,

   "Krak...!!!"

   Batang pohon sebesar paha orang itu terkena pukulannya menjadi patah dan roboh seketika itu juga. Sui Lan menjadi heran dan juga takut, dan mengira bahwa mungkin sekali laki-laki brewok ini miring otaknya.

   "Jangan tanyakan itu... jangan tanyakan itu..."

   Kata kata laki-laki brewok ini.

   "Anakku... dia telah meninggal dunia..."

   Ketika Sui Lan mendengar ini dan melihat betapa dua butir airmata melompat keluar dari mata orang brewok itu, ia menjadi terharu sekali. Perasaannya yang halus membuat dia menghampiri laki-laki itu dan memegang lengannya lalu berkata perlahan,

   "Maafkan aku Lopek, aku tidak tahu akan hal itu...

   "

   Dan ketika melihat orang itu masih saja berdiri dengan pandang mata jauh seperti orang melamun sedangkan wajahnya muram sekali tanda akan kesedihan hatinya yang hebat, Sui Lan lalu berkata lagi dengan nada gembira.

   "Lopek, aku turut kau! Mari kita berangkat dan kita dapat bercakap-cakap di jalan. Akan lenyap kesunyian hutan yang amat menggangguku. Hayo Lopek!"

   Ia menarik tangan orang-tua itu yang menengok kepadanya dan agaknya sudah sadar kembali dari keadaan yang menekan hatinya dan yang mengingatkannya akan hal-hal yang sedih itu.

   "Baik, marilah, anak yang baik! Jangan kau khawatir, kalau ada serigala-serigala hutan berani mengganggumu, akan kupecahkan kepalanya!"

   "Serigala? apakah di hutan ini ada serigalanya, Lopek?"

   Tiba-tiba Lie Kai si Kerbau berkepala besi itu tertawa terbahak-bahak.

   "Ah, anak bodoh! mana ada serigala disini? yang kumaksudkan adalah serigala-serigala kaki dua."

   Sambil berkata demikian, ia melompat keatas kuda setelah melihat bahwa Sui Lan telah duduk dengan baik didalam gerobak, lalu ia melarikan kudanya. Sui Lan menarik nafas senang. Memang lebih enak naik gerobak daripada berjalan kaki. Selain kakinya tidak lelah juga perjalanan ini juga akan lebih cepat. Sayang sekali jalan yang dilalui gerobak itu banyak kerikilnya dan tidak rata sehingga gerobak itu terhuyung-huyung ke kana kiri, depan belakang, dan ia seakan-akan dikocok-kocok di dalam gerobak.

   "Lopek, jangan terlalu cepat...

   "

   Katanya. Lie Kai menengok dan tiba-tiba ia teringat bahwa wanita yang dibawanya itu sedang mengandung, maka ia cepat menahan kendali kudanya dan kini kudanya itu berjalan biasa sehingga Sui Lan tidak terlalu banyak menderita. Tiba-tiba Lie Kai si Kerbau Berkepala besi yang duduk diatas kudanya, berdongak keatas dan terdengarlah ia bernyanyi dengan suara yang parau dan keras sekali. Suara nyanyiannya terdengar gembira dan bersemangat, akan tetapi kata-katanya sungguh tidak sesuai dengan irama yang gembira dan bersemangat itu, karena kata-katanya merupakan sebuah keluhan :

   "Tuan tanah kejam

   merampas sawah ladang

   Bini dan anak oleh Thian dipanggil pulang

   Kini tanah air dirampas oleh musuh pula.

   Aah! pegang golok seorang diri,

   Apakah gunanya?"

   "He, Lopek! Kau agaknya gembira sekali!"

   "Gembira katamu?"

   Si brewok itu menengok sebentar.

   "Aku sedang mengeluh!"

   "Mengapa keluhan terdengar demikian gembira?"

   "Habis, apakah kau suruh aku menangis? apa gunanya tangis dan duka? Tiada gunanya, bukan? Lebih baik hadapi segala kepahitan hidup dengan senyum dan tawa!"

   Kata-kata yang kasar dan bersahaja ini berkesan di dalam hati Sui Lan.

   "Lopek, apakah kau bahagia?"

   "Bahagia? Apakah itu bahagia? aku gembira, itu sudah pasti. betapapun juga rahasia hatiku, aku memaksakan diri supaya bergembira. Kalau kebahagiaan diukur dari senyum atau tawa atau dari wajah berseri, atau dari kesehatan tubuh, ataupun dan makan dan pakaian cukup, nah, kau boleh sebut aku berbahagia!"

   "Lopek, hidupmu tentu penuh dengan pengalaman-pengalaman hebat. Alangkah menariknya kalau kau mau menceritakannya kepadaku."

   Akan tetapi sebelum Lie Kai menjawab, tiba-tiba terdengar suara keras berseru.

   "Hai...! Tukang gerobak, berhenti!"

   Suara ini muncul dari arah kiri dan tak lama kemudian muncullah berlompatan tujuh orang tinggi besar dari belakang pohon-pohon besar! Tujuh orang itu kesemuanya berwajah galak menyeramkan sedangkan ditangan mereka nampak golok mengkilap!

   "Aduh, Lopek... lekas larikan kuda! mereka itu tentu perampok jahat!"

   Kata Sui Lan perlahan dengan tubuh gemetar saking takutnya. Lie Kai menengok kepadanya dan berkata sambil tertawa,

   "Jangan takut, mereka itu hanya serigala-serigala kaki dua yang kukatakan tadi."

   Kemudian ia memajukan kudanya, bahkan menghampiri tujuh orang tadi yang memandang ke arah gerobak dengan penuh perhatian.

   "He, tukang gerobak!"

   Membentak seorang diantara mereka yang memakai ikat kepala merah dan agaknya menjadi pemimpin mereka.

   "Lekas kau turun dari kuda, tinggalkan kuda, gerobak dan semua isinya!"

   Seorang diantara mereka yang semenjak tadi memandang kearah Sui Lan sehingga yang dipandanginya menjadi semaki ketakutan, berkata sambil tertawa.

   "Ha..ha..ha..! Tukang gerobak, macammu buruk, usiamu sudah setengah tua, akan tetapi isterimu cantik sekali, ha..ha..ha!"

   Tadinya Lie Kai hendak menjawab ucapan si kepala perampok, akan tetapi ketika mendengar ucapan orang ini, ia lalu balas memandang dan menjawab sambil tersenyum.

   "Tolol! Dia bukan isteriku, melainkan anakku. Butakah matamu bahwa aku adalah Ayahnya?"

   "Aha, kalau begitu kebetulan sekali!"

   Kata perampok yang mata keranjang itu.

   "Kau boleh tinggalkan semua ini, termasuk juga anak perempuanmu itu!"

   "Sam-Te (adik ketiga), jangan banyak bicara saja!"

   Mencela kepala rampok tadi.

   "Seret saja si tua itu dari atas kuda!"

   Anggota perampok yang mata keranjang itu lalu maju dan membentak,

   "Turun Kau!"

   Sambil berkata demikian ia lalu menangkap lengan kanan Lie Kai lalu dibetotnya dengan keras dengan maksud agar supaya si brewok itu jatuh terjungkal dari kudanya. Akan tetapi akibat perbuatannya ini sungguh ajaib dan hebat. Bukan Lie Kai yang terjungkal dari atas kuda, sebaliknya perampok itu yang terbetot keatas dan sekali Lie Kai menggerakan tangannya, perampok itu mencelat keatas tinggi sekali! Perampok itu menjerit ngeri dan ketika tubuhnya jauh kembali ke atas tanah, debu mengepul tinggi dan terdengar ia bersuara,

   "Ngekk!!"

   Lalu rebah tak berkutik lagi! Tentu saja keenam orang perampok yang lain merasa terkejut setengah mati, juga marah sekali. Serentak lalu mereka maju dengan golok terangkat ditangannya, akan tetapi tahu-tahu tubuh Lie Kai telah melompat turun dan menghadapi mereka. Amat mengagumkan gerakan Lie Kai ini. Agaknya sukar dapat dipercaya tubuh yang tinggi besar dan kaku itu dapat melompat selincah dan seringan itu, bagaikan daun kering tertiup angin saja, tanpa bersuara kakinya menginjak bumi. Kemudian, sebelum ada golok yang sempat menyambarnya, tubuh Lie Kai berkelebat menyerang dengan gerakan yang tak terduga cepatnya. Terdengarlah suara,

   "Duk! Plak! Ngeek!"

   Ketika kedua tangannya membagi pukulan tamparan dan tendangan yang mengenai kepala, pipi, atau perut perampok itu, disusul terikan-teriakan,

   "Aduh...! ampun...!"

   Dan disusul pula dengan robohnya tiga orang perampok! Kepala perampok itu menjadi marah sekali dan secepat kilat goloknya menyambar, disusul dengan dua orang kawannya yang juga menusuk dada dan pinggang Lie Kai. Si brewok ini sambil tertawa bergelak mengelak sambaran golok kepala rampok yang mengarah ke lehernya dengan merendahkan tubuh. Golok yang menusuk dadanya dia sambut dengan pukulan tangan dengan jari-jari terbuka yang dihantamkan dari pinggir mengenai permukaan golok.

   "Krak!"

   Golok itu terkena pukulan tangannya menjadi patah tengahnya. Sedangkan golok yang membabat pinggangnya itu disambut dengan tendangan kakinya ke arah pergelangan lawan.

   "Blek!"

   Lengan yang kena tendang itu patah tulangnya dan goloknya mencelat jauh entah kemana! Sebelum ketiga orang perampok itu hilang rasa kagetnya.

   Lie Kai sudah bergerak maju cepat sekali, tangan kanan menangkap baju kepala perampok itu pada dadanya, tangan kiri memukul ke kiri dan sebuak tendangan merobohkan ke dua penjahat yang lain! Kepala rampok yang terpegang bajunya itu mencoba untuk menyerang dengan golok, akan tetapi sebuah ketokan pada sambungan sikunya membuat ia memekik kesakitan karena sambungan tulang pada sikunya terlepas dan tangannya menjadi lumpuh. Dengan sendirinya golok terlepas dari pegangan. Lie Kai melanjutkan gerakannya dan ketika dua ujung jari tangannya menotok iga, kepala rampok itu memekik kesakitan dan ketika Lie Kai melepaskan pegangannya, kepala rampok itu lalu berputar-putar bagaikan ayam terpukul batok kepalanya! Kemudian, sambil menahan rasa sakit yang hebat pada iganya, ia lalu mejatuhkan diri berlutut di hadapan Lie Kai yang tertawa bergelak.

   

Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini