Nona Berbaju Hijau 3
Nona Berbaju Hijau Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
Karya : AsmaramaKho Ping Hoo
Jilid 03
melayang ke tengah sungai, hinggap di atas perahu yang sudah terbalik. Tangan kirinya bergerak dan di lain saat ia telah menyambar tubuh bayi yang hampir tenggelam.
Di saat itu juga, seekor ikan yang besar melebihi orang dewasa menyambar domba betina dan sekali caplok domba itu lenyap dari permukaan air. Sambil mendukung bayi itu, kakek ini melompat kembali ke darat. Ia pegang kedua kaki bayi itu sehingga kepala anak itu tergantung ke bawah dan air itu tumpah keluar dari mulutnya. Setelah menggerak-gerakkan beberapa kali dan menepuk sana-sini, bayi itu baru bisa menangis lagi.
"Kasihan, anak siapakah ini?"
Kakek itu celingukan memandang ke kanan kiri, akan tetapi sekitar tempat itu sunyi saja. Perahu yang tadi dibikin terbalik oleh ikan besar, terus hanyut bersama sisa-sisa daging domba yang kini dijadikan rebutan oleh ikan-ikan kecil. Kakek itu menarik napas dan mendukung bayi di dalam bajunya supaya hangat.
Ia adalah seorang yang sudah sangat tua, sedikitnya enam puluh tahun usianya, tubuhnya jangkung kurus dengan rambut dan jenggot panjang sudah putih semua. Pakaiannya berwarna kuning sederhana potongannya, kuku tangannya panjang terawat bersih. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Kakek ini adalah seorang tokoh besar di Kun-lun-san, seorang kakek pertapa yang tidak tentu tempat tinggalnya. Ia jarang dikenal orang, malah orang-orang kang-ouw jarang ada yang mengenalnya kecuali para tokoh dan ketua partai persilatan yang besar. Namun, nama julukannya, yaitu Pek-kong Kiam-sian (Dewa Pedang Sinar Putih) selalu menjadi buah bibir para ahli silat biarpun mereka belum pernah melihat orangnya. Nama aselinya adalah To Tek Cinjin dan dia seorang pertapa yang condong kepada agama To sungguhpun ia bukan seorang tosu (pendeta To).
"Anak baik, tidak kusangka setua aku ini masih menerima tugas yang berat. Kau tercipta di tengah sungai Yalu-cangpo, biarlah kuberi nama Yalu Sun (cucu sungai Yalu). Ha-ha-ha!"
Kemudian ia lalu membawa pergi anak itu dengan berlari cepat sekali, mencari pedusunan di mana ia dapat mencarikan air susu untuk bayi itu.
Tanpa memperdulikan letih dan lapar, Wang Sin memacu kudanya, terus ke timur mengikuti aliran sungai Yalu-cangpo. Kadang-kadang ia meninggalkan kudanya dan dengan hati-hati ia menuju ke pinggir sungai sambil sembunyi-sembunyi, takut kalau-kalau terlihat oleh kaki tangan tuan tanah, untuk melihat apakah sungai itu masih belum berkelok. Setelah melakukan perjalanan dengan cepat selama beberapa hari, akhirnya ia tiba di bagian sungai yang berbelok ke selatan. Akan tetapi alangkah kecewa dan gelisah hatinya ketika ia tidak melihat Ci Ying di tempat itu. Ia turun dari kuda, menambatkan kendali kudanya pada pohon dan berjalan menyusuri pantai sungai, mencari-cari. Bukan main kagetnya ketika akhirnya ia melihat sebuah perahu kecil terbalik, berhenti di pinggir tertahan batu karang. Tak salah lagi, itulah perahu yang dipergunakan Ci Ying ketika melarikan diri.
Hatinya berdebar-debar penuh kekhawatiran. Terbalikkah perahu gadis itu? Celaka, apa jadinya dengan Ci Ying dan bayi yang dibawanya? Setelah mencari-cari tanda tanpa menemukan sesuatu. Wang Sin mencari-cari di dalam hutan dekat pantai itu, mengharapkan kalau-kalau Ci Ying dapat berenang ke pinggir dan bersembunyi di dalam hutan. Akan tetapi kegelisahannya memuncak ketika ia menemukan sebuah sepatu butut. Itulah sepatu Ci Ying. Wang Sin menjadi girang sekali. Ditemukannya sepatu ini di dalam hutan menjadi tanda bahwa gadis ini tidak mati tenggelam dan sudah bisa mendarat. Akan tetapi mengapa sepatunya tertinggal di situ? Biarpun butut, sepatu ini masih dapat melindungi kaki dari tajamnya batu-batu karang. Ia memasukkan sepatu butut itu di kantong bajunya, lalu menunggangi kudanya memasuki hutan, terus mencari sambil memanggil-manggil,
"Ci Ying... Ci Ying...!"
Sehari semalam ia menjelajahi hutan itu sambil memanggil-manggil, lupa akan lapar di perutnya, lupa bahwa kudanya sudah terlampau lama ia pacu sampai akhirnya kuda itu terguling roboh kelelahan. Namun Wang Sin tidak memperdulikannya, malah meninggalkan kuda itu dan melanjutkan usahanya mencari Ci Ying dengan jalan kaki. Akhirnya iapun terpaksa menghentikan usahanya ini ketika pada keesokkan harinya ia sendiri terguling roboh pingsan di bawah pohon saking lelah, lapar dan gelisah. Matahari telah naik tinggi ketika Wang Sin siuman dari pingsannya. Ia merasa sekuruh tubuhnya lemas, akan tetapi tidak selemas semangatnya yang penuh diliputi kekhawatiran. Di mana adanya Ci Ying? Apakah, setelah bersusah payah melarikan diri, akhirnya gadis itu terjatuh juga ke dalam tangan tuan tanah, atau ke dalam tangan orang lain yang jahat?
"Ci Ying..."
Keluhnya dan ia segera bangkit kembali dan berjalan terhuyung-huyung melanjutkan perjalanannya mencari gadis yang dicintainya itu. Lewat tengah hari ia tiba di sebuah padang rumput yang luas. Tiba-tiba ia kucek-kucek matanya ketika melihat seorang gadis duduk membelakanginya. Gadis ini pakaiannya sudah tambal-tambalan di sana sini, duduk seorang diri di atas sebuah batu besar, melamun dan agaknya menikmati tiupan angin yang memberisik.
"Ci Ying...!"
Seru Wang Sin lemah sambil berjalan terhuyung menghampiri gadis itu dari belakang. Mungkin karena berisiknya suara rumput saling bergesek, gadis itu tidak mendengar ada orang mendekatinya.
"Ci Ying...!"
Wang Sin menjadi gembira sekali sampai ia lupa diri dan menubruk gadis itu, merangkulnya dari belakang saking girangnya. Gadis itu terkejut, tangannya bergerak dan,
"Plaakk!"
Kepala Wang Sin sudah ditamparnya, tamparan ini keras sekali, membuat tubuh pemuda itu terpelanting dan jatuh telentang di antara rumput-rumput tebal. Gadis itu berdiri membelalakkan matanya sambil memaki.
"Keparat, berani kau kurang ajar kepadaku?!!"
Kagetnya Wang Sin bukan kepalang ketika kini ia melihat dengan jelas bahwa yang dipeluknya itu bukanlah Ci Ying melainkan seorang gadis cantik, seorang gadis bangsa Han yang memaki-maki kepadanya tanpa ia ketahui apa yang dimakinya karena ia tidak mengerti sepatapun kata-kata Han. Akan tetapi ia dapat mengerti bahwa gadis itu marah sekali malah kini gadis itu mencabut pedangnya dan menghampirinya dengan mata mengancam. Wang Sin sudah tidak berdaya lagi. Tubuhnya memang sudah lemah dan tidak bertenaga saking lelah dan lapar, ditambah lagi oleh tamparan yang keras lagi membuat pandang matanya berkunang dan kepalanya pening. Ia hanya bisa meramkan mata ketika gadis itu menodongkan ujung pedang yang runcing itu di hulu hatinya. Juga tidak mengerti ketika gadis itu membentaknya.
"Keparat, siapa kau dan apa maksudmu berlaku begitu kurang ajar?"
Karena Wang Sin hanya rebah telentang tak bergerak sambil meramkan mata, gadis itu makin marah.
"Bangsat, apa kau sudah bosan hidup?"
Ia angkat pedangnya hendak membacok.
"Hui-ji (anak Hui)... jangan bunuh orang!"
Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dan muncullah seorang laki-laki gagah perkasa, berusia kurang lebih empat puluh tahun bertubuh tegap dan di pinggangnya tergantung pedang. Dengan lompatan yang cekatan laki-laki ini sudah berada di samping anak gadisnya dan mencekal pergelangan tangan gadis itu yang sudah siap membacok leher Wang Sin.
"Ada apakah? Siapa dia ini dan kenapa kau hendak membunuhnya?"
"Dia kurang ajar, Ayah. datang-datang ia... ia menubruk dan memelukku. Biar kubunuh anjing gila ini!!"
"Ssttt, jangan. Kulihat dia seperti orang sakit,"
Kata Ayahnya sambil memandang kepada Wang Sin yang kini sudah membuka matanya dan bangun duduk dengan kepala masih puyeng.
"Orang muda, kau siapakah?"
Tanya Ayah gadis itu. Akan tetapi Wang Sin sama sekali tidak menjawab karena tidak mengerti apa yang ditanyakan. Orang tua itu memandang dengan tajam dan kini terlihatlah olehnya raut wajah Wang Sin raut wajah seorang Tibet. Ia lalu mengulangi pertanyaannya dalam bahasa Tibet yang cukup lancar dan jelas.
"Agaknya kau orang pedalaman. Siapa kau dan mengapa kau bersikap kurang ajar?"
Wang Sin menjadi lega hatinya. Setidaknya orang Han ini bisa bicara dalam bahasanya. Ia lalu merayap bangun dan memberi hormat.
"Harap tuan besar sudi memaafkan hamba tadi, hamba tidak mengenal nona ini, hamba kira dia..."
Kakek itu mengangguk.
"Kau tentu seorang budak, bukan? Mencuri dan melarikan diri, ya?"
Wang Sin kaget sekali dan seketika semangatnya bangkit untuk melakukan perlawanan. Tak mungkin orang akan dapat menangkapnya begitu saja, tekadnya.
"Tidak..., tidak...! Jangan harap kau akan dapat menangkap aku kembali!"
Serunya dan tiba-tiba ia melakukan serangan memukul dengan tangan kanannya ke arah dada kakek itu dengan sepenuh tenaga. Biarpun tidak sangat sempurna Wang Sin pernah mempelajari ilmu pukulan dari Ayahnya dan pukulannya selain cepat, juga mantap sekali. Kakek itu mengeluarkan seruan heran sambil mengelak dari pukulan itu. Bukankah itu gerakan Pek-wan-hian-ko (Lutung putih berikan buah), sebuah jurus dari ilmu silat Kun-lun-
ciang-hoat? Melihat pukulannya mengenai angin kosong, Wang Sin menyusul dengan pukulan kedua, lebih hebat dari yang pertama.
Sekali lagi kakek itu terkejut. Inilah gerak tipu Thi-gu-keng-te (Kerbau Besi Meluku Sawah) tidak bisa keliru lagi, biarpun gerakannya kaku namun kedudukan kaki dan tangan adalah seratus prosen ilmu silat Kun-lun-pai. Ia sengaja menyambut pukulan itu dengan tangkisan lengannya dan ia merasa betapa tenaga pemuda ini besar sekali, tenaga luar yang mengagumkan. Namun ia belum mau merobohkan Wang Sin, memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk menyerang terus karena ia ingin melihat gerakan-gerakan pemuda yang bisa mainkan Kun-lun-ciang-hoat ini. Dan makin lama kakek itu makin heran. Wang Sin benar-benar telah mengeluarkan banyak jurus Kun-lun-ciang-hoat yang kesemuanya kaku gerakannya, akan tetapi adalah ilmu silat aseli dari Kun-lun-pai, belum bercampur ilmu pukulan lain cabang. Aneh, bagaimana seorang pemuda Tibet bisa mainkan ilmu silat ini?
"Tahan dulu, orang muda. Aku mau bicara!"
Kata kakek itu sambil menangkis sebuah pukulan. Namun Wang Sin yang sudah ketakutan kalau-kalau ia akan ditangkap oleh orang ini dan dibawa kembali kepada tuan tanah, tidak perduli dan terus menyerang seperti kerbau gila. Karena terlalu bernafsu melihat pukulannya selalu tidak mengenai lawan, ia menjadi ngawur dan kini bergerak asal memukul saja. Juga tubuhnya mulai menjadi lemas sekali. Melihat kenekatan pemuda itu, kakek tadi lalu menggunakan jari tangannya menotok dan robohlah Wang Sin tidak mampu bergerak lagi. Akan tetapi ia masih memandang kakek itu dengan sepasang mata melotot, sedikitpun tidak memperlihatkan rasa takut atau menyerah.
"Jangan nekat menyerang terus, orang muda, mari kita bicara baik-baik,"
Kata kakek itu sambil membebaskan totokannya tadi. Begitu terbebas dari totokan, Wang Sin berkata,
"Aku tidak sudi kembali, lebih baik kau bunuh aku sekarang juga!"
Gadis yang sama sekali tidak mengerti percakapan antara Ayahnya dan pemuda itu, melihat sikap Wang Sin terus melawan dan melotot-lotot, menjadi gemas.
"Ayah, mampuskan saja orang kurang ajar ini, habis perkara!"
Ayahnya memberi tanda dengan tangan supaya gadisnya bersabar. Lalu ia berkata kepada Wang Sin,
"Orang muda kau salah duga. Aku sama sekali tidak akan membawamu kembali, hanya ingin bertanya. Kau siapa dan kenapa tadi kau bersikap kurang ajar? Pula, kau mempelajari ilmu silat dari siapakah?"
Wang Sin masih menaruh curiga maka ia segan untuk menceritakan keadaannya, akan tetapi ia menjawab juga,
"Aku belajar dari Ayahku sendiri."
"Siapa nama Ayahmu?"
"Ayah bernama Wang Tun..."
Kakek itu nampak tercengang.
"Apa? Ayahmu bernama Wang Tun? Ah, dia murid suheng Cin Kek Tosu. Orang muda kita adalah orang-orang sendiri. Di mana Ayahmu? Mengapa kau sampai di sini?"
Dia memegang pundak Wang Sin dengan girang. Wang Sin juga terkejut. Ayahnya telah berpesan supaya ia mencari guru Ayahnya yang bernama Cin Kek Tosu di Kun-lun-san dan kalau kakek ini masih adik seperguruan Cin Kek Tosu, berarti kakek ini adalah paman guru Ayahnya. Pantas demikian lihai.
"Ayah... Ayah telah dibunuh oleh tuan tanah..."
Kakek itu menarik napas panjang.
"Hemmm, lagu lama terulang kembali. Tuan tanah-tuan tanah di Tibet mulai mengganas, memperlakukan hamba-hambanya seperti hewan. Anak, ceritakanlah dengan sejujurnya apa yang telah terjadi. Jangan ragu-ragu, ketahuilah bahwa aku adalah Ong Bu Khai, terhitung paman guru dari Ayahmu sendiri dan ini adalah puteriku, Ong Hui. Di antara orang sendiri kau tidak perlu menyembunyikan sesuatu, barangkali kami akan dapat menolongmu."
Kemudian ia berkata kepada gadis itu.
"Hui-ji bocah ini bukan orang lain. Dia adalah putera dari Wang Tun si pandai besi, murid dari supekmu Cin Kek Tosu."
"Kenapa dia kurang ajar?"
"Hushh, dengarkan dulu riwayatnya, tentu ada sebab-sebabnya."
Wang Sin mulai percaya dan berceritalah dia tentang semua penderitaannya. Tentang para budak yang dijadikan "Ternak berbicara"
Oleh tuan tanah Yang Can, tentang semua penindasan dan akhirnya tentang Ci Ying yang melarikan diri karena hendak dipaksa menjadi selir tuan muda, tentang Ayahnya yang terbunuh dan dia sendiri yang melarikan diri sampai ke tempat itu.
"Aku tidak dapat menemukan Ci Ying, hanya sepatunya... dan anak bayi itu... ah, apa yang terjadi dengan mereka?"
Wang Sin mengakhiri penuturannya yang disalin dalam bahasa Han oleh Ong Bu Khai kepada puterinya. Ayah dan anak itu terharu sekali mendengar penuturan Wang Sin.
"Ayah, dia memang patut dikasihani. Akan tetapi dia belum menceritakan tentang sikapnya yang kurang patut kepadaku tadi,"
Kata Ong Hui kepada Ayahnya setelah ia mendengarkan pula penuturan itu melalui terjemahan Ayahnya.
"Wang Sin, penuturanmu mengharukan kami, biarpun aku tidak heran lagi mendengar akan kekejaman para tuan tanah. Akan tetapi, kenapa kau tadi bersikap tidak patut kepada
anakku?"
Wajah Wang Sin menjadi merah dan ia melirik kepada Ong Hui, kelihatan jengah sekali.
"Lo-enghiong, aku... aku tadi mengira bahwa puterimu adalah Ci Ying. Dari belakang ia seperti Ci Ying, yaitu... bentuk tubuhnya dan... dan pakaiannya yang tambal-tambalan..."
"Apanya sih Ci Ying itu?"
Tanya Ong Hui setelah mendengar jawaban ini, merasa lega bahwa pemuda itu tadi memeluknya bukan karena kurang ajar, melainkan karena salah lihat. Pertanyaan ini diulang oleh Ong Bu Khai dalam bahasa Tibet. Mendengar pertanyaan ini, Wang Sin menjadi bingung dan ragu-ragu.
"Dia... dia itu... adalah adik misanku... puteri tunggal paman Ci Leng yang pandai membaca dan menulis dan juga berani berkorban menolong bayi cucu nenek lumpuh,"
Kata Wang Sin dengan suara bangga. Mendengar jawaban ini, Ong Hui mengangkat dadanya.
"Akupun pandai membaca dan menulis kiranya tidak kalah oleh gadis bernama Ci Ying itu. Akupun berani membela orang, kalau tuan tanah jahat itu berada di sini, akan kupatahkan lehernya."
Ayahnya tersenyum dan kata-kata ini tidak ia terjemahkan kepada Wang Sin yang memandang kepada gadis itu dengan kagum. Ia tadi sudah merasai tamparan gadis ini dan tahulah ia bahwa gadis ini tentulah pandai silat. Teringatlah ia akan pesan mendiang Ayahnya dan tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut di depan Ong Bu Khai.
"Lo-enghiong, setelah mendengar riwayat teecu, harap lo-enghiong sudi memberi pelajaran silat kepada teecu, agar kelak teecu dapat membalaskan kematian Ayah, dapat membebaskan kawan-kawan budak dari cengkeraman tuan tanah jahat dan antek-anteknya. Ong Bu Khai menarik napas panjang, teringat akan keadaan di tanah airnya sendiri, di pedalaman Tiongkok.
"Dunia ini di mana sama saja,"
Katanya mengeluh,
"Si kaya memeras si miskin, si kuat menindas si lemah. Nafsu jahat menguasai manusia, hukum negara diinjak-injak, yang berwajib silau oleh harta dunia melupakan tugas, pembesar-pembesar tidak merupakan pimpinan bijaksana hanya berusaha mati-matian membesarkan kesenangan pribadi melupakan rakyat. Di Tiongkok, di Tibet dan di mana-mana rakyat kecil menderita..."
Diam-diam Wang Sin merasa heran mendengar ini. Apakah di lain tempat juga terjadi penindasan seperti di Tibet?
"Lo-enghiong, apakah di negerimu juga terdapat budak-budak yang hidupnya lebih sengsara daripada kuda atau kerbau?"
Ia memberanikan hatinya bertanya. Kembali orang gagah itu menarik napas panjang.
"Perbudakkan sudah hapus, tidak ada lagi budak-budak yang dapat diperjual belikan. Akan tetapi apa bedanya? Yang bekerja paling berat mendapatkan hasil paling sedikit. Para petani yang menggarap sawah, dari meluku tanah sampai menanam dan menuai padi, mereka yang menghasilkan bahan makan dengan pupuk peluh dan darah, malah kadang-kadang tidak dapat makan dan mati kelaparan. Memang aneh, tidak sesuai dengan hukum alam, akan tetapi nyata. Yang membuat tidak memakai, yang menanam tidak memakan hasilnya. Celaka... celaka..."
Wang Sin menjadi makin penasaran.
"Kalau begitu, lo-enghiong, para dewa tidak adil! Siapa menjadi penegak hukum yang adil kalau para pembesar sendiri tidak melakukan kewajibannya dan silau oleh harta dunia?"
"Kita yang harus bertindak, kita yang harus turun tangan membela keadilan. Biarpun tenaga kita terbatas, biarpun tindakan kita hanya merupakan setetes air dalam samudera, setidaknya kita bisa menghukum orang-orang jahat dan membela yang lemah tertindas. Itulah tugas pendekar-pendekar yang mempelajari ilmu semenjak kecil dengan susah payah. Untuk membela keadilan, aku dan anakku ini tidak segan-segan mempertaruhkan nyawa."
Wang Sin kagum bukan main dan kini ia memandang kepada gadis itu dengan hormat. Ia lalu berlutut kembali.
"Lo-enghiong kalau begitu mohon kau sudi menerimaku sebagai murid agar akupun dapat ikut-ikut membela kebenaran membasmi yang jahat."
Ong Bu Khai mengangguk-angguk, lalu berkata,
"Wang Sin, oleh mendiang Ayahmu kau disuruh menemui suhengku Cin Kek Tosu di Kun-lun-san. Oleh karena itu marilah kau ikut dengan kami ke Kun-lun-san dan sesampainya di sana terserah keputusan suheng. Kalau suheng suka menerimamu sebagai murid, itu baik sekali. Kalau seandainya suheng yang sudah tua itu sekarang malas mengajar, barulah kau boleh belajar sedikit ilmu yang kumiliki."
Bukan main girangnya hati Wang Sin.
Sambil berlutut ia menghaturkan terima kasihnya berulang-ulang. Dan beberapa hari kemudian ia telah kelihatan berjalan di samping Ayah dan anak itu, dengan rukun ia berjalan di sebelah Ong Hui sambil mempelajari bahasa Han sedikit demi sedikit. Cin Kek Tosu, seorang tokoh Kun-lun-pai yang terkenal, sudah terlalu tua untuk menerima murid baru. Akan tetapi mendengar bahwa Wang Tun dianiaya sampai tewas oleh tuan tanah, dan mendengar pula penuturan tentang riwayat Wang Sin, kakek ini menjadi marah dan minta kepada sutenya, Ong Bu Khai untuk mendidik pemuda Tibet itu di bawah pengawasannya sendiri. Kesempatan baik ini dipergunakan pula oleh Ong Hui untuk memperdalam ilmu silatnya dibawah petunjuk supeknya yang memang memiliki tingkat lebih tinggi daripada Ayahnya. Sebetulnya, biarpun Wang Tun mengaku sebagai murid Cin Kek Tosu,
Akan tetapi pandai besi Tibet ini sebetulnya hanya belajar selama setengah tahun saja kepada tosu Kun-lun itu. Terjadi dua puluh tahun lebih yang lalu, ketika rombongan besar yang mengantar Puteri Wen Ceng datang di Tibet. Karena peristiwa ini juga merupakan hal yang menarik, baiklah kita mundur dua puluh empat tahun yang lalu dan mengikuti jalannya peristiwa pernikahan antara seorang raja Tibet dengan seorang Puteri dari Tiongkok, yaitu Puteri Wen Ceng puteri dari maharaja Tai Cung dari dinasti Tang. Pada masa itu, raja di Tibet yang bernama Turfan atau Sron Can Gampo yang baru berusia enam belas tahun, mendengar berita dari orang-orang yang datang dari timur bahwa puteri maharaja yang cantik jelita dan terkenal cerdas dan pandai dalam hal bermacam-macam pekerjaan tangan, juga pengetahuannya tentang ilmu luas sekali.
Gandrunglah raja yang masih muda ini dan ia segera mengutus seorang menterinya yang terkenal cerdik dan gagah perkasa bernama Gar untuk pergi ke Tiang-an dan meminang puteri itu. Berangkatlah menteri ini dengan membawa berpeti-peti barang berharga, pusaka-pusaka terbuat daripada emas dan perak, dihias ratna mutu manikam yang tidak ternilai harganya. Benda-benda ini dibawa untuk dihaturkan kepada maharaja Tang sebagai mahar atau boleh juga disebut sebagai mas kawin. Ketika menteri Gar tiba di Tiang-an, ternyata bahwa selain dia, banyak juga utusan-utusan dari negara lain yang berdatangan di ibukota kerajaan Tang untuk meminang Puteri Wen Ceng. Maharaja Tai Cung yang tidak ingin membeda-bedakan dan menyinggung perasaan negara lain, lalu mengadakan sayembara, yaitu ia menguji kecerdikan para utusan itu.
Akhirnya, berkat kecerdikan Menteri Gar, ia menang dan pinangan rajanya diterima. Dengan diantar rombongan-rombongan ahli kerajinan tangan, ahli pertanian, ahli musik dan lain-lain, Puteri Wen Ceng diboyong ke Tibet. Dalam rombongan inilah Cin Kek Tosu ikut, yaitu diperintahkan oleh pembesar yang bertugas mengumpulkan orang-orang gagah untuk mengawal perjalanan Puteri Wen Ceng ke barat. Setelah puteri itu tiba dengan selamat di Lasha ibu kota Tibet, Cin Kek Tosu lalu menjelajah daerah Tibet. Ia tertarik oleh keadaan penduduknya yang masih amat sederhana hidupnya, dan terutama ia mencari bahan pedang yang baik, yang kabarnya banyak terdapat di daerah liar ini. Dalam penjelajahannya inilah ia bertemu dengan Wang Tun, pandai besi yang pandai membuat pedang.
Ketika itu Wang Tun baru berusia dua puluhan tahun, biarpun sudah menjadi budak, namun masih berdarah panas dan suka memberontak. Cin Kek Tosu tertarik ketika kebetulan datang di dusun itu dan mendengar bahwa di situ terdapat seorang pandai besi yang pandai. Didatanginya pondok pandai besi ini dan ia melihat dengan kagum seorang pemuda Tibet sedang menempa besi merah dengan kuatnya. Melihat sinar kebiruan yang berpijar setiap kali besi merah itu dipukul, diam-diam Cin Kek Tosu mengagumi baja tulen itu. Ia lalu masuk dan pandai besi menunda pekerjaannya, memandangnya dengan mata marah. Wang Tun ketika itu sedang marah. Terlalu banyak pesanan pekerjaan dihujankan oleh tuan tanah kepadanya. Hendak menolak tidak berani karena antek-antek tuan tanah selalu siap mengeroyok dan menyiksanya. Kalau diterima, berarti siang malam ia akan bekerja keras.
"Kau siapa dan mau apa?"
Bentaknya melihat seorang berpakaian pendeta berwajah asing dan kepucatan. Cin Kek Tosu tersenyum. Ia sudah cukup lama berada di Tibet dan sudah mempelajari bahasa daerah itu.
"Namaku Cin Kek Tosu dan aku datang hendak menonton kau bekerja."
Wang Tun merasa diejek. Pekerjaan baginya bukan pekerjaan lagi, melainkan siksaan dan orang yang menonton dia disiksa tiada lain artinya hanya untuk mengejek.
"Apa kau datang hendak menertawakan aku?"
Bentaknya dengan mata merah. Cin Kek Tosu terheran, lalu tersenyum melihat sikap yang galak dari pandai besi yang hitam penuh arang dan debu tubuhnya itu.
"Tidak kawan. Aku tidak mengejek melainkan mengagumi pekerjaanmu. Mengapa pula aku harus mengejek?"
"Apalagi kerjaan orang-orang Han selain untuk mengejek kami para budak?"
"Eh, kenapa kau bilang begitu? Apa salahnya orang Han?"
Wang Tun makin mendongkol. Ditinggalkannya pekerjaannya dan ia menghampiri Cin Kek Tosu dengan langkah lebar dan sikap mengancam.
"Kau masih pura-pura bertanya? Katanya negara orang Han adalah negara besar, orang-orangnya adalah orang-orang pandai, tidak tahunya tiada bedanya dengan bangsa penjilat. Kalian datang hanya untuk menyenangkan hatinya para bangsawan dan para tuan tanah. Apa peduli kalian akan budak-budak yang hidup tersiksa? Siksaan yang diderita para budak kalian anggap tontonan yang menyenangkan, ya? Hayo lekas minggat dari sini, jangan sampai kesabaranku hilang. Kalau terjadi begitu, jangan salahkan Wang Tun kalau sampai lehermu patah-patah."
Diam-diam Cin Kek Tosu merasa terharu, juga mendongkol melihat kecongkakan pandai besi ini. Namun ia harus akui bahwa dalam ucapan kasar tadi terkandung kebenaran.
"Kawan, sebetulnya aku mencari baja yang baik untuk bahan membuat pedang. Kulihat bahan baja yang kau tempa itu amat baik, maka kalau kau mau memberi untuk bahan pedang aku mau menukarnya dengan apa yang kau minta."
"Setan, kau malah hendak mencuri dan membujuk aku menjadi pencuri? Wang Tun biarpun budak hina dina kurang makan, belum begitu rendah untuk mencuri barang orang lain. Tahu?"
Cin Kek Tosu menarik napas panjang, kagum sekali.
"Sukar mencari orang sejujur engkau, segagah engkau, akan tetapi juga sebodoh engkau."
"Keparat, kalau tidak pergi kupatahkan batang lehermu."
"Cobalah kalau bisa,"
Cin Kek Tosu menantang karena ia ingin menyaksikan gerakan dan tenaga orang yang diam-diam menimbulkan rasa suka dihatinya ini.
"Kau... kau menantang?"
Terbayang keheranan dalam pandang mata Wang Tun. Ia melangkah maju dan kedua lengan tangannya yang kuat berotot itu sudah bergerak maju hendak mencekik leher tosu tua kurus di depannya, akan tetapi ia turunkan lagi tangannya dan menggeleng-geleng kepalanya.
Nona Berbaju Hijau Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak, aku tidak mau menjadi pengecut, hanya berani menyerang seorang kakek kurus selemah engkau. Pergilah!"
Wang Tun kembali ke tempat kerjanya dan menempa besi lagi dengan kuatnya untuk menghilangkan kegemasan hatinya. Cin Kek Tosu tertawa, makin suka kepada pemuda sederhana ini. Ia melihat sebatang tombak di dekat situ, diambilnya tombak ini dan dengan mudah ia membekuk dan membelit-belitkan besi itu ke lengannya. Wang Tun menghentikan pekerjaannya dan memandang dengan mata terbelalak.
"Kau mempunyai ilmu sihir... seperti pendeta-pendeta Lama...!"
Serunya.
"Bukan ilmu sihir, orang muda. Melainkan ilmu mempergunakan tenaga secara baik. Oleh karena itu aku tadi berani menantangmu untuk mencoba tenagamu kepadaku. Kau takkan menang."
"Betulkah? Kalau begitu, coba kau menerima pukulanku, hendak kulihat sampai bagaimana kuat tanganmu."
Wang Tun meloncat maju dan tangannya yang besar melayang mengirim pukulan ke arah dada tosu itu. Akan tetapi hampir saja ia terjungkal karena pukulannya yang ia lakukan dengan sekuat tenaga itu mengenai angin belaka dan tahu-tahu kakek itu sudah berada di sebelah kanannya. Ia membalik dan memukul lagi bertubi-tubi sampai lima kali, akan tetapi sia-sia belaka.
"Kau curang! Kenapa tidak membiarkan aku memukulmu?"
"Ini namanya ilmu silat, orang muda. Ilmu silat mengajar orang supaya jangan sampai terpukul oleh lawan."
"Kalau begitu, balaslah memukul!"
Cin Kek Tosu tersenyum. Sambil mengelak sekali lagi ia berkata,
"Coba kau terima tamparan ini."
Dan tangan kirinya menampar pundak Wang Tun. Wang Tun berseru kesakitan dan terguling roboh. Ia merasa seakan tadi ditumbuk oleh sebuah toya besi yang amat kuat. Ia menjadi penasaran marah. Tangannya bergerak dan sebuah pisau belati telah berada ditangannya. Tanpa banyak cakap lagi ia menyerbu, pisau itu bergerak dan sinar kebiruan meluncur ke arah dada Cin Kek Tosu. Tosu itu mengeluarkan seruan kaget, cepat mengelak dan ketika tangannya menyambar, pisau itu sudah terampas olehnya. Wang Tun menubruk, tapi sebuah dorongan tangan kiri tosu itu lagi-lagi membuat ia tercengang. Pemuda itu tidak segera berdiri, hanya memandang dengan mata terbelalak keheranan. Ia melihat kakek itu memegang belatinya, bukan untuk balas menyerangnya melainkan untuk diamat-amati secara seksama sambil berkali-kali mengeluarkan seruan kagum.
"Baja bagus... luar biasa..."
Ditekan-tekannya pisau itu, dikerahkannya tenaga untuk membuat pisau itu patah atau melengkung, namun sia-sia. Pisau itu terbuat dari pada bahan yang benar-benar kuat luar biasa. Wang Tun tertawa dan merayap bangun.
"Biarpun kau sekuat seratus ekor lembu yak, tidak nanti kau dapat membuat pisau itu patah,"
Katanya. Cin Kek Tosu memandang kepadanya.
"Orang muda, dari mana kau memperoleh bahan baja sehebat ini?"
"Sukar... carinya sukar, orang tua yang gagah. Akan tetapi, betapun baiknya pisau itu, menghadapi orang sepandai engkau, tiada gunanya..."
Pemuda itu menarik napas panjang dan mukanya membayangkan kekecewaan hatinya. Baru sekarang ia tahu bahwa dia adalah seorang yang tidak ada artinya. Menghadapi seorang kakek tua kurus lemah saja ia kalah dan tidak berdaya sama sekali.
"Dengar orang muda. Mari kita berjanji dan mengadakan pertukaran. Kau carikan bahan baja seperti ini untukku dan aku akan memberi pelajaran ilmu berkelahi seperti yang kupergunakan mengalahkan kau tadi kepadamu. Bagaimana?"
Wang Tun girang sekali.
"Bagus, aku suka sekali. Akan tetapi ketahuilah, bahan baja itu adanya hanya di dasar sungai, merupakan pasir-pasir biru yang hanya seperseratus bagian daripada pasir-pasir di dasar sungai. Untuk membuat pisau itu saja, aku mengumpulkan pasir-pasir biru itu selama berbulan-bulan."
"Aku membutuhkan bahan untuk membuat pedang,"
Kata kakek itu.
"Carikanlah, biar sampai berapa lama akan kunanti dan selama itu pula kau boleh belajar ilmu silat kepadaku."
Demikianlah, selama setengah tahun lebih Wang Tun belajar ilmu silat dari Cin Kek Tosu dan sedikit demi sedikit ia mengumpulkan pasir biru itu. Setelah cukup banyak untuk membuat sebatang pedang pendek, selesai pula Cin Kek Tosu mengajarnya dan pada waktu itu Wang Tun telah mewarisi ilmu silat Kun-lun-pai yang cukup kuat. Demikian pula riwayat singkat bagaimana Wang Tun mengaku sebagai murid Cin Kek Tosu. Tosu ini lalu kembali ke Kun-lun-pai dan bahan baja yang biru itu dibuatnya menjadi sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kebiruan, amat tajam dan kuat mengalahkan semua bahan logam yang bagaimanapun kerasnya. Kemudian ketika ia mendengar riwayat Wang Sin, hatinya tergerak dan biarpun sudah amat tua,
Ia menyediakan tenaga untuk memimpin pemuda putera Wang Tun itu untuk mempelajari ilmu silat Kun-lun-pai. Malah dengan suka rela ia memberikan pedang sinar biru yang dulu bahannya ia dapatkan dari Wang Tun kepada pemuda Tibet ini sehingga Wang Sin memperoleh ilmu silat pedang yang luar biasa. Waktu berjalan amat cepatnya dan lima tahun terlewat sudah selama Wang Sin belajar ilmu silat di Kun-lun. Dia memang berbakat baik dan berkemauan keras. Susioknya (paman guru) Ong Bu Khai dan suhunya Cin Kek Tosu, merasa amat kagum melihat pemuda ini tiada hentinya siang malam berlatih diri sehingga sebentar saja sudah melampaui kepandaian Ong Hui, malah sudah dapat menyamai tingkat Ong Bu Khai sendiri. Melihat watak yang baik dari Wang Sin, diam-diam Ong Bu Khai timbul niatan untuk mengambil mantu pemuda Tibet ini.
Dengan terus terang ia merundingkan hal ini dengan suhengnya, Cin Kek Tosu yang juga merasa setuju dan girang sekali bahwa sutenya tidak memiliki watak tinggi hati seperti kebanyakan orang Han yang memandang suku bangsa-suku bangsa lain lebih rendah derajatnya dari pada tingkat bangsa mereka sendiri. Adapun hubungan antara Wang Sin dan Ong Hui juga akrab. Ong Hui memang seorang gadis lincah yang peramah dan jujur. Juga gadis ini menaruh simpati kepada pemuda Tibet yang telah mengalami hidup penuh penderitaan ini. Setelah Wang Sin menjadi saudara seperguruannya, ia mendapat kenyataan bahwa pemuda ini memang berjiwa gagah dan berwatak baik, sayang agak pendiam. Di pihak Wang Sin, semenjak pertama bertemu memang ia menaruh kekaguman terhadap gadis ini.
Hal ini adalah wajar. Di tempatnya yang dahulu, orang-orang perempuan merupakan makhluk lemah yang selalu hanya menjadi permainan laki-laki. Maka melihat Ong Hui yang selain cantik jelita juga gagah perkasa dan berkepandaian tinggi, siapa orangnya tidak menjadi kagum? Malah sering kali sebelum matang ilmu silatnya, ketika mula-mula sedang belajar seringkali ia mendapat petunjuk dan bantuan gadis ini sehingga timbul kasih sayang dan hormatnya kepada sumoi (adik seperguruan) ini. Biarpun kalau menurut tingkat, Ong Hui lebih dulu belajar daripadanya dan terhitung suci (kakak seperguruan), akan tetapi karena dia adalah murid Cin Kek Tosu yang menjadi kakak seperguruan Ayah gadis itu, maka ia menjadi lebih tua kedudukannya dan menyebut sumoi kepada Ong Hui. Sebaliknya gadis itu menyebut suheng.
Tidak bisa dibilang bahwa dua orang muda ini mengandung hati saling mencintai, terutama di pihak Wang Sin, akan tetapi tak dapat disangkal pula bahwa mereka saling suka dan menaruh simpati. Wang Sin yang pendiam tak pernah menceritakan hubungannya dengan Ci Ying kepada orang lain, akan tetapi sebetulnya tak pernah ia dapat melupakan Ci Ying. Yang menjadi kenangan malam menjadi impian. Pada suatu hari Wang Sin dipanggil oleh suhunya dan ia menjadi agak heran melihat suhunya sudah duduk di situ bersama susioknya, menanti kedatangannya. Wajah mereka berisi dan pandangan mata mereka kepadanya membuat hatinya berdebar karena tidak seperti biasa. Tentu ada sesuatu yang amat penting, pikirnya. Setelah ia maju berlutut dengan hormat, suhunya yang sudah tua sekali itu mengurut-urut jenggot sambil berkata.
"Wang Sin, muridku. Kau telah lima tahun belajar di sini dan pinto harus mengaku bahwa kami merasa puas melihat ketekunanmu. Karena itu, pinto hadiahkan pedang sinar biru itu kepadamu. Sebetulnya bukan hadiah karena sesungguhnya pedang itu tadinya Ayahmu yang mencari bahannya, maka sudah semestinya pinto kembalikan kepadamu. Pergunakanlah pokiam ini baik-baik, jangan sekali-kali kau pergunakan untuk menurutkan nafsu belaka. Tentu kau masih ingat akan semua nasehat pinto."
Berdebar hati Wang Sin. Ucapan ini sekaligus memperingatkan dia bahwa tentu dia sudah akan diperbolehkan turun gunung, kembali ke Tibet untuk membalas dendam, eh... salah, seperti yang dinasehatkan oleh suhunya, soal balas dendam itu hanya akibat, yang terutama adalah menolong para budak dari penindasan.
"Segala nasehat suhu akan tetap teecu ingat dan taati,"
Jawabnya tegas.
"Wang Sin,"
Kata lagi tosu itu.
"Karena usiamu sudah lebih dari cukup dan mengingat sudah sepatutnya kalau kau mempunyai teman hidup, pinto dan susiokmu sudah bersepakat untuk menjodohkan kau dengan sumoimu. Kalian akan menjadi suami isteri yang cocok sekali."
Bukan main kagetnya hati Wang Sin mendengar ini, apalagi ketika ia melihat susioknya memandang kepadanya sambil mengangguk-angguk membenarkan kata-kata suhunya itu. Inilah suatu kejadian yang amat langka, malah terhitung aneh dan tak masuk akal baginya. Dia, seorang bekas budak, hendak dijodohkan dengan Ong Hui? Ia telah ditolong oleh Ong Bu Khai. Di dalam lubuk hatinya ia menganggap susioknya ini seperti tuan penolongnya, seperti tuan besar, Ong Hui seperti nona muda. Mana ia pantas menjadi suami Ong Hui? Jodohnya yang paling tepat adalah seorang budak pula, Ci Ying. Teringat kepada Ci Ying ia lalu menundukkan mukanya yang tadi merah, sekarang berubah pucat.
"Wang Sin, kau tidak lekas menghaturkan terima kasih susiokmu, calon mertuamu?"
Cin Kek Tosu berkata lagi, tertawa melihat muridnya tunduk kemalu-maluan. Sambil berlutut Wang Sin berkata, suaranya terharu.
"Teecu menghaturkan banyak terima kasih kepada suhu dan susiok yang sudah demikian baik terhadap diri teecu yang miskin dan yatim piatu. Sesungguhnya kalau tidak ada suhu dan
susiok, entah menjadi apa orang macam teecu ini, oleh karena itu, sampai matipun teecu takkan dapat melupakan budi suhu berdua dan akan selalu mentaati perintah suhu dan susiok. Hanya saja... tentang perjodohan..."
Pemuda itu ragu-ragu dan tidak berani melanjutkan ucapannya.
"Ada apa dengan perjodohan? Lanjutkan, jangan takut dan ragu,"
Kata Cin Kek Tosu ramah. Dengan kepala masih tunduk Wang Sin menjawab.
"Sesungguhnya... teecu... telah bertunangan, ditunangkan oleh Ayah semenjak kecil. Dan tunangan teecu itu... Ci Ying... entah kemana. Setelah oleh Ayah ditunangkan, bagaimana teecu bisa menerima ikatan jodoh lain?"
Mendengar ini, Ong Bu Khai mengerutkan keningnya. Baru sekarang ia tahu akan hal ini dan mengerti pula ia kenapa lima tahun yang lalu pemuda itu bersikap kurang ajar ketika melihat Ong Hui yang disangkanya Ci Ying tunangannya itu.
"Ah, kiranya gadis yang hilang itu tunanganmu?"
Katanya.
"Wang Sin, kau memang betul sekali menyatakan hal ini kepada kami. Memang seorang anak harus berbakti terhadap pesan orang tua, juga harus mempunyai watak setia. Akan tetapi gadis tunanganmu itu lenyap tidak meninggalkan bekas. Selama ini, belum pernah aku mendengar tentang dia, biarpun diam-diam aku ikut menyelidiki untuk mencari gadis yang tadinya kusangka hanya adik misanmu itu. Usiamu sudah dua puluh lebih, demikianpun anakku sudah cukup usia, tidak bisa menanti lagi. Andaikata tunanganmu itu sudah tidak berada lagi di dunia ini seperti kukhawatirkan, apakah kau juga tidak menerima ikatan jodoh lain?"
Wang Sin bingung. Memang iapun sudah bersangsi apakah Ci Ying masih hidup? Ke mana mencarinya? Sudah lima tahun tiada kabar ceritanya tentang gadis itu masih hidup. Susioknya sudah begitu baik kepadanya, tidak saja ia berhutang budi malah boleh dibilang berhutang jiwa karena tanpa bantuan susioknya sukarlah hidup merdeka di daerah Tibet. Kalau sekarang ikatan jodoh itu ia tolak, bukankah itu berarti ia membalas kebaikan dengan penghinaan? Ia menjadi bingung, hatinya masih berat terhadap Ci Ying. Menolak sukar menerimapun sulit.
"Wang Sin, kau tidak usah ragu-ragu. Baiknya diatur begini,"
Kata pula Ong Bu Khai.
"Kau menikah dengan anakku dan kalau kelak ternyata Ci Ying masih hidup dan ia mau melanjutkan ikatan jodohnya denganmu, kau boleh menikah lagi dengan dia."
Kembali Wang Sin terkejut mendengar ini. Memang iapun tahu bahwa pada waktu itu, menikah dengan lebih dari dua orang gadis adalah wajar, yakni bagi kaum bangsawan dan mungkin orang-orang Han. Akan tetapi bagi seorang bekas budak seperti dia, benar-benar merupakan hal yang amat ganji dan aneh. Betapapun juga, terhadap pemecahan persoalan jodoh ini ia tidak dapat membantah lagi dan terpaksa ia berkata.
"Teecu hanya dapat mentaati semua perintah susiok dan suhu."
"Bagus!"
Cin Kek Tosu berseru girang.
"Wang Sin perjalananmu kelak ke selatan bukannya perjalanan mudah dan kau memerlukan seorang pembantu yang kuat dan boleh dipercaya. Hanya sumoimu yang dapat menjadi kawan seperjalanan yang tepat. Akan tetapi kalau kalian belum menikah, hal itu bukan merupakan sesuatu yang patut dan baik. Karena itu, sebelum kau turun gunung mengembara ke Tibet, lebih baik kau melangsungkan perjodohanmu lebih dulu dengan Ong Hui."
Demikianlah, secara sederhana dan hanya diramaikan oleh para penduduk di sekitar pegunungan Kun-lun-san, dirayakan perjodohan antara Wang Sin dan Ong Hui. Dan pada malam harinya, Ong Hui menangis di dalam kamar penganten.
"Mengapa kau menangis, sumoi?"
Tanya Wang Sin perlahan. Mula-mula Ong Hui tidak menjawab, malah tangisnya makin menjadi.
"Sumoi, apakah... apakah sedih hatimu karena pernikahan ini? Tidak sukakah kau...?"
Ong Hui menggeleng kepala dan menyusut air matanya.
"Aku berjanji..."
Katanya terputus-putus,
"Aku... akan mencari Ci Ying... mencari dia untukmu..."
Wang Sin terkejut, juga terharu. Tidak disangkanya bahwa gadis ini sudah tahu akan hal ini. Tentu susioknya yang berterus terang kepada gadisnya. Memang aneh watak orang-orang kang-ouw ini. Dengan terharu Wang Sin memegang tangan isterinya.
"Harap kau tidak menaruh hati cemburu. Pertunanganku dengan Ci Ying adalah pertunangan semenjak kecil, oleh orang tua kami. Kini Ci Ying sudah lenyap dan sebagai gantinya aku mendapatkan kau. Aku tidak menyesal, malah girang sekali, karena... karena aku cinta padamu Hui-moi, mencinta semenjak pertama kali aku melihatmu..."
Ong Hui menarik napas panjang, lega dan bahagia.
"Sebagai isterimu, aku akan membantumu, suamiku. Membantumu mengangkat kehidupan saudara-saudara di Tibet, membantumu mencari Ci Ying cici..."
Suasana menjadi sunyi, sunyi yang mengamankan hati dan mendatangkan kebahagiaan bagi dua suami isteri baru itu. Semenjak itu, selama lima tahun itu telah terjadi perubahan di dusun Loka, dusun sebelah utara sungai Yalu-cangpo itu.
Tuan tanah Yang Can sudah mulai tua dan tidak lagi dibantu oleh puteranya karena Yang Nam sudah menikah dengan puteri seorang bangsawan dari ibukota Lasha dan pindah ke sana karena berkat pertolongan mertuanya Yang Nam mendapat kedudukan pula di sana. Akan tetapi, perubahan yang banyak terjadi hanya di dalam rumah tangga tuan tanah itu. Nasib para budak tetap saja buruk seperti dulu, tetap mereka diperas dan bekerja seperti binatang ternak. Kalau di dalam rumah tuan tanah sudah lupa akan peristiwa lima tahun yang lalu, mereka ini, para budak masih ingat dan sering kali mereka menarik napas panjang kalau mereka teringat akan keluarga Ci Ying dan Wang Sin. Pada suatu pagi, para budak sudah sibuk bekerja di sawah. Hari itu panen dimulai dan keadaannya tidak ada bedanya dengan lima tahun yang lalu ketika peristiwa pembasmian dua keluarga itu mulai terjadi. Tiada bedanya.
Para budak bekerja mati-matian dan di pinggir sawah nampak tukang pukul-tukang pukul dan pendeta-pendeta Lama menjaga dan mengawasi, untuk mencegah para budak bekerja lambat atau mencuri hasil panen. Juga Thiat-tung Hwesio, si pendeta bertongkat besi, masih tetap berjaga di situ, berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, memanggul tongkat besinya dan diam tak bergerak seperti sebuah patung yang menakutkan. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari sebelah timur datang dua ekor kuda yang ditunggangi oleh sepasang orang muda. Kejadian yang ganjil ini tentu saja menarik perhatian orang. Para budak sampai berani melupakan pekerjaan mereka dan para tukang pukul memandang pula ke arah dua orang penunggang kuda itu. Setelah dua orang penunggang kuda itu dekat, terdengar seruan-seruan perlahan di antara para budak.
"Wang Sin... bukankah dia itu Wang Sin."
Memang, seorang di antara dua orang penunggang kuda itu adalah Wang Sin. Mudah saja mengenal wajahnya yang tampan dan keras penuh garis-garis yang yang membuat ia kelihatan gagah, tubuhnya yang makin tegap berisi. Akan tetapi dia sekarang mengenakan pakaian Han dan dipinggangnya tergantung sebatang pedang. Orang kedua adalah isterinya, Ong Hui yang cantik jelita dan bersikap gagah pula. Setelah para budak mengenalnya, semua tidak memperdulikan lagi pekerjaan mereka, yang jauh datang berlari dan berkumpullah para budak menjadi gerombolan, penuh keheranan, kekaguman, dan kecemasan.
Bagaimana pemuda yang telah berhasil melarikan diri, membebaskan diri dari mereka ini sekarang datang kembali? Demikian mereka bertanya-tanya. Sebaliknya para tukang pukul dan hwesio yang tua, yang masih mengenal Wang Sin, menjadi terheran dan marah bercampur gelisah. Mau apakah pemuda setan ini sekarang tiba-tiba muncul? Toya, tongkat, dan golok dipegang erat-erat, para antek tuan tanah itu siap menghadapi segala kemungkinan. Malah beberapa orang di antara mereka sudah gatal-gatal tangan untuk menangkap pemuda yang telah melarikan diri dan berdosa kepada tuan tanah maupun kepada pendeta kepala itu. Sementara itu, ketika Wang Sin melihat para budak, mengenal banyak wajah-wajah lama di antara wajah budak-budak baru, tak tertahan lagi dua titik air mata menuruni pipinya. Namun ia memaksa sebuah senyum lebar dan tangan kanannya ia angkat, dilambaikan.
"Selamat bertemu kembali saudara-saudaraku yang tercinta."
Beberapa orang petani sudah meninggalkan sawah dan hendak lari menjemputnya, akan tetapi sekarang para antek tuan tanah yang melihat betapa budak-budak itu melalaikan pekerjaan mereka, segera bertindak. Tendangan, pukulan dan makian menghujani budak-budak itu. Terdengar jeritan kesakitan dan para budak itu dengan panik kembali ke pekerjaan masing-masing. Akan tetapi seorang budak perempuan yang bertubuh kurus kering tak dapat bangun setelah terkena tendangan kaki Thiat-tung Hwesio yang marah sekali, matanya melotot lebar, tongkat besinya sudah diayun-ayun mengancam para budak. Tiba-tiba berkelebat bayangan hijau disertai bentak lembut.
"Keparat keji!"
Dan tubuh Ong Hui sudah melompat dari atas kudanya, menyerbu para centeng yang sedang menghajar hamba-hamba tani. Dalam segebrakan saja dua orang kaki tangan tuan tanah roboh terpukul lehernya dan yang seorang lagi ditendang lambungnya. Para centeng lain menjadi marah dan kaget melihat terjangan nyonya muda cantik ini. Sambil berteriak-teriak marah lima orang centeng dengan golok atau tongkat di tangan mengurung Ong Hui yang juga sudah mencabut pedangnya.
"Anjing-anjing srigala! Setelah aku datang, tidak bisa nyonya besarmu membiarkan kalian berbuat sewenang-wenang!"
Seru Ong Hui sambil memutar pedangnya yang berkelebatan cepat dan kuat sekali. Antek-antek tuan tanah itu adalah sebangsa manusia tiada gunanya, pandainya hanya menjilat majikan, gagahnya hanya kalau menghadapi hamba-hamba tani yang lemah, setiap hari kerjanya hanyalah berlagak gagah-gagahan dan menyiksa para budak. Sekarang menghadapi amukan Ong Hui yang gagah perkasa, mana mereka sanggup melayani? Baru belasan jurus saja, dua di antara lima orang tukang pukul sudah roboh mandi darah dan yang tiga lalu berteriak-teriak ketakutan.
"Losuhu, tolong...!"
Thiat-tung Hwesio melompat maju mengayunkan tongkat besinya dan tiga orang tukang pukul itu segera melompat mundur dan melarikan diri. Memang sebangsa pengecut baru kelihatan belangnya kalau sudah menghadapi keadaan genting dan berbahaya bagi mereka. Thiat-tung Hwesio lihai sekali. Dia bertenaga besar dan toyanya yang berat itu menyambar-nyambar mengeluarkan angin. Dalam pertemuan pertama antara toya dan pedang di tangan Ong Hui, nyonya muda ini tergetar tangannya, maka cepat ia menarik kembali pedangnya, menyelusup ke kiri dan mengirim serangan cepat menusuk ke arah lambung pendeta itu.
Inilah gerak tipu Giok-wi-yauw (Sabuk Kumala Melilit Pinggang), sebuah jurus ilmu pedang Kun-lun Kiam-hoat yang indah dan lihai. Thiat-tung Hwesio tidak hanya bertenaga besar tetapi dia telah mendapat latihan dari Thouw Tan Hwesio, Lama yang berkepandaian tinggi, maka tentu saja ilmu silatnya juga lumayan. Menghadapi serangan yang cepat dan tidak terduga dari samping ini ia tidak gugup, cepat ia miringkan tubuh dan memalangkan toya melindungi lambungnya. Kembali dua senjata bertemu yang mengakibatkan Ong Hui merasa telapak tangannya menjadi panas. Nyonya muda ini tidak gentar, segera menggunakan kelincahannya untuk mengirim serangan-serangan selanjutnya. Wang Sin melihat bahwa isterinya akan sukar mengalahkan hwesio kosen itu, tidak tinggal diam dan cepat ia melompat sambil memutar pedangnya.
"Thiat-tung Hwesio pendeta keparat. Sekarang tiba saatnya aku Wang Sin membalas dendam!"
Pedang di tangan orang muda ini menyambar dan kagetlah hati hwesio itu. Tidak disangkanya bahwa Wang Sin masih hidup dan lebih-lebih di luar dugaannya pemuda itu sekarang memiliki kepandaian yang begini lihai. Sambaran pedang di tangan pemuda itu cepat dan kuat sekali. Dalam tangkisan toyanya menghadapi pedangnya amat berbahaya. Namun ia masih membuka mulut besar.
"Ha-ha-ha, budak hina dina. Baik sekali kau mengantarkan diri, tidak susah-susah aku mencari. Ha-ha!"
Suara ketawanya terpaksa berhenti ketika pedang di tangan Wang Sin dan isterinya berkelebatan merupakan tangan-tangan maut yang berlumba merenggut nyawanya. Hwesio ini memutar tongkatnya dan berusaha memukul runtuh pedang dua orang lawannya menghandalkan tenaganya. Akan tetapi, Ong Hui adalah puteri seorang tokoh Kun-lun-pai yang cerdik. Tidak mau ia mengadu senjatanya dengan tongkat musuh, sedangkan Wang Sin yang memiliki tenaga besar tidak takut menghadapi toya itu.
Di lain saat hwesio itu sudah tidak mempunyai kesempatan untuk tertawa sama sekali. Ia didesak hebat dan hanya sanggup bertahan saja sambil main mundur, tiada kesempatan lagi baginya untuk membalas serangan dua orang lawannya yang gagah. Para hamba tani yang tadinya ketakutan diamuk kaki tangan tuan tanah, sekarang berdiri menonton dengan mata terbelalak kagum. Tidak ada lagi antek-antek tuan tanah di situ, kesemuanya lari ketakutan untuk melapor kepada majikan mereka, maka para hamba tani itu tidak takut untuk meninggalkan sawah. Maka sekarang terbangun semangat mereka ketika melihat betapa seorang bekas kawan mereka, Wang Sin, sekarang dengan gagahnya berani melawan Thiat-tung Hwesio, malah kelihatan mendesak hwesio yang mereka semua amat benci itu.
"Kawan-kawan, kenapa kita diam saja? Wang Sin telah datang mari kita bantu dia!"
Teriak seorang kakek dengan semangat meluap dan gembira. Mendengar ini, mereka bersorak dan majulah puluhan orang yang bekerja di bagian itu sambil mengamang-amangkan tinju, cangkul, pikulan, batu, dan alat-alat lain dengan sikap mengancam. Bagaikan arus gelombang, mereka mendatangi tempat pertempuran. Empat orang tukang pukul yang tadi roboh oleh Ong Hui dan belum tewas akan tetapi belum sempat melarikan diri karena luka mereka, mereka memandang dengan mata terbelalak ke arah gelombang para budak ini.
Mereka seperti mendapat firasat akan datangnya malapetaka, apalagi ketika para budak itu sudah datang dekat dan mereka melihat sinar kebencian memancar keluar dari mata para budak itu. Seorang budak yang membawa arit, yaitu seorang perempuan setengah tua yang bertubuh kurus sekali menghampiri seorang antek yang tadi terkena pukulan Ong Hui. Dengan mata melotot penuh kebencian ia mengangkat aritnya yang tajam. Perempuan ini teringat akan puteranya yang dulu disiksa sampai mati oleh antek tuan tanah ini dan sekarang tiba saatnya untuk membalas dendam yang sudah ia tahan bertahun-tahun lamanya. Anjing tuan tanah itu memekik ketika sabit diayun ke arah kepalanya. Ia berusaha mengelak, akan tetapi karena tadinya terkena pukulan Ong Hui dan membuat seluruh tubuhnya lemas, elakannya kurang cepat dan,
"Crakkk!"
Ujung arit itu menembus kulit dan daging pundak, menghantam tulang punggungnya.
"Aduuhhh... ampunnnn... nenek Namal... ampunkan aku..."
Ia merengek-rengek dan terdengar suara mengejek dari nenek itu, diikuti oleh suara ketawa para hamba tani lainnya. Kembali arit itu diayun,
"Crak-crak-crak!"
Darah menyembur keluar dan terdengar anjing tuan tanah itu melolong-lolong kesakitan dan ketakutan. Pekik dan jerit pengecut para tukang pukul yang tiga orang lagi segera menyusul kawannya ketika para hamba tani mendatangi mereka dan menghujankan senjata-senjata kepada empat orang tukang pukul yang apes itu. Akan tetapi tidak lama, karena sebentar saja tubuh mereka sudah hancur lebur, habis dihajar oleh puluhan orang yang rata-rata menyimpan sakit hati dan dendam yang amat besar turun temurun.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri hati Thiat-tung Hwesio melihat hal ini. Permainan tongkatnya kacau balau dan ujung pedang Wang Sin sudah melukai pahanya, membuat celananya penuh darah. Para hamba bersorak girang dan mereka ini tiada ubahnya seperti harimau-harimau yang haus darah. Mereka mendesak maju hendak membantu Wang Sin dan isterinya. Mereka tidak kenal takut dan sama sekali tidak mau mundur ketika tongkat hwesio itu yang disapukan ke belakang membuat dua orang hamba terjungkal roboh dengan kaki luka-luka. Mereka maju terus. Sakit hati dan dendam yang ditahan-tahan bisa membuat orang menjadi kejam hati. Kebencian yang meluap-luap dapat membuat orang mata gelap.
"Tangkap pendeta cabul ini!"
Teriak seorang wanita muda dengan rambut riap-riapan dan mata berputaran penuh kebencian.
"Jangan bunuh dulu, siksa biar dia minta-minta ampun."
"Potong sedikit-sedikit dagingnya."
"Kubur dia hidup-hidup."
"Bakar dia."
Demikianlah teriakan-teriakan para hamba tani, laki-laki dan perempuan, kakek-kakek, nenek-nenek, dan kanak-kanak. Mendengar teriakan-teriakan ini, wajah hwesio itu menjadi pucat sekali dan diam-diam ia memeras otak mencari hafalan doa-doa selamat yang pernah ia pelajari sebagai seorang pendeta. Akan tetapi karena selama ini kerjanya hanya menurutkan nafsunya menjadi kaki tangan tuan tanah Yang Can, ia sudah lupa lagi akan semua doa. Rasa takut dan ngerinya membuat ia tidak dapat bertahan lagi menghadapi pedang Wang Sin dan Ong Hui. Ujung pedang Ong Hui lagi-lagi mencium pundaknya dan sekali pedang Wang Sin menyambar darah mengucur dari dadanya...
"Mati aku...!"
Thiat-tung Hwesio mengeluh ketika ia terhuyung roboh. Puluhan pasang tangan hamba tani menyambutnya dan di lain saat tubuhnya sudah diseret-seret ke tengah sawah seperti seekor babi hutan yang baru saja ditangkap untuk disembelih beramai-ramai. Melihat semangat para hamba tani bangkit, Wang Sin gembira. Apalagi ketika melihat dari kanan kiri, hamba-hamba tani yang lain datang pula berlari-lari untuk berkumpul sehingga mereka merupakan serombongan hamba tani yang jumlahnya seratus orang lebih, hatinya menjadi makin gembira. Ternyata bahwa para kaki tangan tuan tanah di bagian lain segera melarikan diri meninggalkan pekerjaan ketika mendengar bahwa Wang Sin datang bersama seorang wanita Han yang cantik dan mengamuk.
"Kawan-kawan, sekarang tiba saatnya bagi kita untuk menghancurkan tuan tanah Yang Can. Aku, Wang Sin yang kalian sudah kenal, dan ini isteriku, Ong Hui, kami sudah bertekad untuk membasmi tuan tanah Yang Can dan membebaskan kalian dari penindasan. Siapa ikut?"
Para hamba tani bersorak dan semua mengacungkan tangan yang kini sudah berlumur darah, darah empat orang centeng dan darah Thiat-tung Hwesio, di mana mereka bercucuran air mata. Wang Sin membawa kepalan tangan kirinya ke muka untuk menghapus dua butir air matanya sendiri.
"Bagus, mari kita serbu tuan tanah Yang Can dan kaki tangannya!"
Demikianlah, dipimpin oleh Wang Sin dan Ong Hui, mereka ini merupakan sepasukan orang-orang yang nekad, yang pada saat itu hanya mengenal satu tekad : Membasmi Tuan Tanah atau Mati! Sementara itu, Yang Can sudah bersiap sedia. Ia terkejut setengah mati ketika melihat kaki tangannya berlari-lari mendatangi dengan muka pucat melaporkan segala kejadian. Hampir ia tidak dapat percaya ketika mendengar laporan bahwa Thiat-tung Hwesio juga sudah tewas di tangan Wang Sin. Thiat-tung Hwesio amat gagah, bagaimana bisa tewas di tangan pemuda hina itu?
Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo