Nona Berbaju Hijau 6
Nona Berbaju Hijau Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
"Siancai... hebat ilmu pedang sumoi."
Akan tetapi lagi-lagi To Gi Couwsu, guru kepala Kun-lun-pai, menggeleng-gelengkan kepalanya dan tanpa berkata apa-apa ia menggapai kepada Bi Hong supaya mendekat. Setelah gadis itu menghampirinya, tosu ini lalu mengambil burung gereja dari tangan gadis itu, mengelus-elusnya penuh kasih sayang, dan memeriksa kedua sayap yang sudah tidak berbulu lagi.
"Kau harus bersabar tiga puluh hari lebih, menanti sayapmu tumbuh, burung..."
Katanya perlahan lalu memasukkan burung yang tak bersayap itu ke dalam kantong bajunya yang lebar.
"Bi Hong, apa yang kauperlihatkan tadi indah dilihat, akan tetapi belum ketahuan bagaimana kalau menghadapi lawan. Coba kau minta twa-suhengmu untuk menguji,"
Kata pula To Gi Couwsu dengan suaranya yang perlahan dan tenang. Gadis itu nampak gembira sekali. Cepat ia menghampiri seorang tosu, murid paling tua di Kun-lun-pai, berusia lima puluh tahun lebih. Di antara semua murid To Gi Couwsu, yaitu para tosu di Kun-lun-pai, dia inilah yang paling tinggi ilmu silatnya, juga paling alim dan selalu mengutamakan kebajikan dan berwatak sabar sekali seperti gurunya. Gadis itu menjura kepada tosu ini dan berkata sambil tersenyum.
"Twa-suheng, di antara para suheng, hanya kau yang selalu menolak untuk menguji kebodohan siauwmoi. Sekarang atas perintah suhu, siauwmoi harap twa-suheng tidak berlaku pelit lagi."
Lee Kek Tosu menarik napas panjang lalu berdiri dari tempat duduknya.
"Suhu yang memerintah siapapun tak boleh menolak. Siauwmoi, kepandaianmu tinggi, darahmu panas, pinto seorang tua lemah mana bisa menangkan kau?"
Bi Hong tertawa dan dengan sikap yang manja ia menarik tangan tosu itu ke tengah ruangan, diikuti senyum para tosu lain. Setelah sampai di tengah ruangan itu, Bi Hong berkata.
"Suheng yang baik, harap kau menaruh kasihan kepadaku dan jangan menurunkan tangan besi."
Gadis itu pintar sekali. Ia maklum bahwa di antara semua tosu yang menjadi suhengnya, twa-suheng ini adalah orang yang paling pandai, maka ia sengaja hendak menjajal kepandaiannya sendiri dengan tangan kosong dan kemudian baru menggunakan pedang. Sebelum tosu itu menjawab, ia sudah menerjang maju sambil berkata,
"Twa-suheng, awas, siauwmoi mulai menyerang!"
Bi Hong yang maklum akan kelihaian twa-suhengnya, tidak mau membuang waktu dengan jurus-jurus biasa, melainkan segera menyerang dengan jurus-jurus
(Lanjut ke Jilid 06)
Nona Berbaju Hijau/Kunlun Hiap Kek (Cerita Lepas)
Karya : AsmaramaKho Ping Hoo
Jilid 06
yang paling lihai dari Kun-lun Ciang-hoat. Mula-mula ia membuka serangannya dengan gerak tipu Kong-ciak-khai-peng (Merak Membuka Sayap) lalu diteruskan dengan Pai-bun-twi-san (Atur Pintu TolakGunung). Gerakannya cepat dan bertenaga sekali ketika tangan kanannya mendorong ke arah dada twa-suhengnya.
"Bagus!"
Lee Kek Tosu memuji ketika merasa betapa sambaran angin dorongan ini amat kuat tanda lweekang dari adik seperguruannya sudah mencapai tingkat tinggi. Dengan sigapnya ia miringkan tubuh, tangan kiri menangkis dan tangan kanannya membalas dengan serangan To-tui-kim-ciang (Merobohkan Lonceng Emas), disabetkan dengan jari tangan miring ke arah leher gadis itu. Bi Hong cepat mengelak dan mengebutkan tangan kirinya. Ia merasai betapa pukulan tangan twa-suhengnya amat berat membuat tangannya tergetar. Tahulah ia bahwa dalam hal tenaga lweekang, ia masih kalah jauh.
Maka ia lalu menggunakan kelincahan tubuhnya menerjang dengan mempercepat gerakannya. Namun dengan tenang sekali tosu itu menghadapinya dan demikianlah, dalam serang menyerang selama belasan jurus kelihatan perbedaan antara mereka. Si tosu bersikap tenang, gerak geriknya lambat tapi mantap dan bertenaga penuh. Sebaliknya Bi Hong bergerak cepat sekali sehingga ia dapat mengimbangi twa-suhengnya dan menutup kekurangannya dalam kekalahan tenaga lweekang. Makin lama gerakan Bi Hong makin cepat, pukulan-pukulannya makin berbahaya dan setelah berlangsung empat puluh jurus lebih, gadis ini sudah bukan main-main atau berlatih lagi melainkan menyerang dengan sungguh-sungguh. Di lain pihak, tosu itu masih tenang saja dan selalu menjaga agar jangan sampai ia kesalahan tangan melukai sumoinya.
"Cukup, ganti dengan pedang,"
Terdengar To Gi Couwsu berkata. Keduanya melompat mundur, wajah Bi Hong merah sekali namun suhengnya masih biasa saja. Gadis ini diam-diam merasa penasaran bagaimana setelah menyerang sehebat-hebatnya ia masih belum dapat mendesak suhengnya yang berlaku lambat-lambatan itu. Harus ia akui bahwa dalam ilmu silat tangan kosong suhengnya itu terlalu tangguh baginya. Ia boleh dibilang sudah jauh di bawah angin dan kini ia hendak menebus kekalahannya dengan pedang.
"Suhu sudah memerintahkan, mari keluarkan pedangmu, suheng,"
Katanya sambil menghunus Kim-hui-kiam. Si tosu tua tertawa.
"Sudah kukatakan tadi, sumoi. Kau lihai dan darahmu panas, mana pinto bisa mengatasimu?"
Ucapan ini sabar sekali kedengarannya dan dengan gerakan lambat tosu ini mencabut sebatang pedang dari balik bajunya. Pedang ini biasa saja kelihatannya, malah tidak bersinar dan kelihatan kotor. Logam yang dijadikan pedang ini kelihatan seperti batu saja. Namun Bi Hong sudah tahu bahwa pedang twa-suhengnya itu adalah pedang pusaka yang tidak kalah ampuhnya dari Kim-hui-kiam dan disebut Toan-kang-kiam (Pedang pemotong baja).
"Twa-suheng, lihat pedang!"
Bentak Bi Hong dan pedangnya meluncur cepat ke arah tenggorokan orang. Tosu itu menangkis, terdengar suara nyaring dibarengi bunga api berhamburan. Di lain saat keduanya sudah sudah bertempur hebat. Seperti juga tadi, gerakan-gerakan Bi Hong lincah dan teguh penjagaannya. Biarpun demikian, diam-diam Lee Kek Tosu terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang sumoinya ini benar-benar hebat dan sudah mewarisi dari ilmu pedang Kun-lun-pai. Harus ia akui bahwa biarpun dengan lweekangnya ia dapat menahan, namun untuk menjatuhkan sumoinya ini bukanlah soal mudah lagi baginya. Setelah lewat seratus jurus, ia melompat mundur, menghela napas panjang dan berkata,
"Hebat... hebat sekali kiam-hoatmu, sumoi. Pinto merasa girang sekali dan bangga."
Juga semua tosu memuji gadis ini yang cepat menjura sambil berkata.
"Twa-suheng terlalu mengalah. Semua yang siauwmoi dapatkan ini semata-semata berkat kemurahan hati suhu yang mulia dan para suheng yang berbudi."
To Gi Couwsu menggerak-gerakan tongkatnya di atas lantai.
"Bi Hong, twa-suhengmu berkali-kali mengingatkan kepadamu, apakah kau masih tidak sadar?"
Bi Hong terkejut, lalu ia menjatuhkan diri berlutut di depan suhunya.
"Suhu, teecu mohon penjelasan."
"Eh, bocah bodoh. Suhengmu berkali-kali mengatakan darahmu panas, itulah peringatan yang harus kau ingat betul. Kalau kau tidak terlalu panas darah, kalau kau ingat akan pelajaran lweekang dan menekan perasaan, dapat berlaku tenang seperti suhengmu, kau malah lebih kuat dari pada twa-suhengmu. Menghadapi lawan ringan kau dapat berlaku sesukamu menurut perasaan, akan tetapi sekali berhadapan dengan lawan berat, darah panasmu akan merugikan gerakan-gerakanmu. Kenapa kau begitu bernafsu dalam gerakan-gerakanmu?"
Tiba-tiba Bi Hong menangis.
"Maaf, suhu. Teecu terlalu bernafsu karena selalu teringat akan musuh-musuh besar yang belum terbalas. Teecu ingin segera turun gunung untuk membalas sakit hati, ingin membasmi orang-orang yang telah membunuh Kong-kong dan membikin ibu mati karena duka."
To Gi Couwsu menarik napas panjang, terbayanglah semua peristiwa enam belas tahun yang lalu. Peristiwa yang membuat tosu tua ini terpaksa menerima lagi seorang murid, padahal tadinya sudah mengambil keputusan untuk mengundurkan diri karena terlalu tua. Gadis itu Wang Bi Hong, bukan lain adalah puteri dari Ong Hui. Seperti telah diceritakan di bagian depan setelah bersama suaminya menyerbu ke Loka dan bertemu dengan Ci Ying yang membencinya. Ong Hui mengalah dan pergi meninggalkan suaminya, kembali ke rumah Ayahnya di Kun-lun-san. Sambil menangis sedih, ia menuturkan semua pengalamannya kepada Ayahnya dan supeknya, Cin Kek Tosu. Ayahnya menghela napas panjang.
"Hui-ji, semua ini kesalahanku. Sudah tahu Wang Sin mempunyai seorang tunangan, aku setengah memaksanya untuk menjadi mantuku. Biarlah, aku akan mencari dia dan tentu dia bisa menerima usulku untuk disamping tunangannya itu, mempunyai isteri kedua."
"Tidak usah, Ayah. Enci Ci Ying tidak rela melihat dia mempunyai isteri lain,"
Kata Ong Hui sambil menyusut air matanya. Cin Kek Tosu membanting kakinya,
"Kurang ajar anak itu! Mana bisa dia menyia-nyiakan isterinya yang sudah hampir mempunyai anak? Pinto yang akan menghajarnya, kalau kelak dia tidak mau kembali kepadamu."
Demikianlah, Ong Hui melewatkan hari-hari yang sunyi di atas gunung dengan hati selalu mengandung kedukaan hebat. Beberapa bulan kemudian ia melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Wang Bi Hong. Semenjak melahirkan anak, tubuhnya menjadi lemah dan sering kali sakit. Ini semua disebabkan oleh penderitaan batinnya yang amat berat. Beberapa bulan kemudian, terjadilah serbuan hebat ke gunung itu. Ga Lung Hwesio dan empat orang sutenya, dikawani oleh Thu Bi Tan Hwesio sendiri yang berilmu tinggi menyerbu ke situ.
Hwesio-hwesio Tibet ini datang untuk membalas dendam atas kematian Thouw Tan Hwesio dan karena mereka tahu bahwa Wang Sin adalah murid Cin Kek Tosu. Mereka lalu mencari ke gunung itu dan terjadilah pertempuran hebat antara hwesio-hwesio Tibet itu melawan Cin Kek Tosu yang dibantu oleh sutenya, Ong Bu Khai, Ayahnya Ong Hui. Ong Bu Khai dan Cin Kek Tosu adalah jago-jago Kun-lun-san yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi, Cin Kek Tosu sudah amat tua dan pula enam orang lawannya adalah hwesio-hwesio Tibet yang berilmu tinggi, maka keduanya tidak dapat menandingi mereka. Biarpun melakukan perlawanan mati-matian dan dengan gagah, akhirnya dua orang jago tua ini tewas di tangan Thu Bi Tan dan keponakan-keponakan muridnya. Untung bagi Ong Hui yang sakit-sakitan ia terlalu lemah untuk melakukan perlawanan.
Andaikata dia tidak sedang sakit, tentu nyonya muda ini tidak akan melihat saja Ayah dan supeknya menghadapi para penyerbu itu dan tentu iapun akan mengalami nasib serupa, tewas di tangan para hwesio Tibet. Karena tubuhnya lemah, ia tidak membantah ketika Ayahnya menyuruh dia melarikan diri bersama puterinya yang baru berusia beberapa bulan itu. Sambil menangis sedih, nyonya muda ini membawa anaknya melarikan diri naik seekor keledai. Tujuannya adalah puncak Kun-lun di mana berdiri pusat Kun-lun-pai, tempat tinggal susiok-couwnya, yaitu To Gi Couwsu yang masih terhitung supek dari Ayahnya. Baru tiga empat jam ia melarikan keledainya, ia mendengar suara teriakan-teriakan dari belakang dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat enam orang hwesio itu berlari-lari cepat sekali melakukan pengejaran.
"Bunuh dia! Dialah isteri Wang Sin si pemberontak. Bunuh saja anaknya!"
Demikian teriakan Ga Lung Hwesio dan jarak antara dia dan para pengejarnya makin dekat. Ong Hui adalah puteri seorang pendekar. Dia tidak takut mati, juga tidak jerih menghadapi lawan betapa kuatpun. Apabila lawan yang sudah membunuh Ayahnya. Hanya ia mengkhawatirkan nasib puteranya yang baru berusia empat bulan itu. Terpaksa Ong Hui mencambuk keledainya dan membalapkan binatang itu. Usahanya sia-sia belaka. Para pengejarnya sudah datang dekat sekali. Empat buah kaki keledai itu tidak dapat berlari lebih cepat dari pada enam orang hwesio yang berilmu tinggi.
"Perempuan busuk, kau hendak lari ke mana?"
Bentak Ga Lung Hwesio. Tahu bahwa ia tidak akan dapat lolos, timbullah kegagahan Ong Hui. Nyonya muda ini melompat turun, menghunus pedangnya. Dengan anak dipondongan tangan kiri dan pedangnya di tangan kanan, ia menanti dengan sikap gagah. Mukanya pucat akan tetapi sepasang matanya memancarkan sinar berapi.
"Keledai-keledai gundul keji! Majulah, hari ini nyonya besarmu akan mengadu nyawa dengan kalian!"
Bentaknya nyaring. Ga Lung Hwesio tertawa bergelak. Seorang sutenya lalu menerjang maju sambil memutar toyanya. Toya baja itu berat dan diayun dengan tenaga besar. Dalam sekali sambar saja pedang Ong Hui tentu akan dipukul patah atau jatuh. Karena tidak dapat mengelak, nyonya muda itu terpaksa mengerahkan tenaga dan mengangkat pedang menangkis.
"Traaaaanngg...!!"
Aneh bin ajaib! Bukan pedang di tangan Ong Hui yang patah atau terpental, sebaliknya nyonya muda ini tidak merasakan kehebatan tenaga lawan dan malah si hwesio yang memekik kaget, toyanya terlepas dari tangannya dan telapak tangannya berdarah karena kulitnya terbeset. Semua hwesio melengak terheran-heran. Hwesio itupun penasaran dan dengan tangan kosong ia menubruk maju, mengerahkan tenaga dan menggunakan ilmu Kim-na-jiu untuk merampas pedang orang dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan mengancam ke arah bocah digendongan Ong Hui.
"Celaka!"
Jerit nyonya itu yang tidak kuasa melindungi puterinya. Akan tetapi kembali terjadi keanehan yang langka. Sebelum kedua tangan hwesio itu mengenai sasaran, tiba-tiba kedua lututnya lemas dan ia jatuh berlutut di depan Ong Hui. Ia hendak menggerakkan tubuh atasnya, akan tetapi kembali kedua pundaknya terasa lemas seperti tertotok dan mau tak mau ia membungkukkan tubuh, benar-benar kini berlutut dan menyembah. Ga Lung Hwesio melangkah maju dan menepuk punggung sutenya itu sambil mengurut tulang belakang. Baru sutenya itu dapat bangun berdiri dan melompat ke belakang dengan mata terbelalak heran dan takut. Sementara itu, hwesio kedua melompat maju lagi, diikuti dua orang hwesio lain dan segera Ong Hui diserang oleh tiga orang hwesio kosen itu dari tiga jurusan.
Ong Hui sendiri masih terheran-heran melihat hwesio yang menyerangnya tadi tiba-tiba roboh. Ia menduga tentu ada orang sakti membantunya, akan tetapi dari mana, siapa dan bagaimana? Ia tidak ada waktu lagi untuk menyelidiki melihat tiga orang hwesio menyerangnya dengan hebat. Ia cepat memutar pedangnya melindungi diri dan anaknya. Kembali terdengar suara nyaring tiga kali ketika pedangnya menangkis, terlempar tiga batang toya dan seperti juga tadi, tiga batang toya itu terlempar dan di lain saat angin besar dari arah belakang Ong Hui yang membuat tiga orang hwesio itu terjengkang roboh dan babak bundas (luka-luka). Empat orang sute Ga Lung Hwesio itu telah mendapat hajaran tidak berani maju lagi. Ga Lung Hwesio berseru keras.
"Perempuan rendah! Ilmu siluman apa yang kau keluarkan?"
Ia menyangka bahwa robohnya empat orang sutenya itu adalah karena Ong Hui mempergunakan ilmu siluman, karena kalau menggunakan ilmu silat saja tidak mungkin wanita muda ini dapat merobohkan empat orang sutenya. Ia lalu membaca mantera berkemak-kemik lalu membentak dengan disertai tenaga dalamnya yang amat hebat.
"Berlututlah engkau!"
Ilmu yang dikeluarkan oleh Ga Lung Hwesio ini adalah ilmu "Mentaklukkan semangat."
Lweekang yang disertai ilmu hitam ini memang luar biasa dan semacam tenaga luar biasa memaksanya dari dalam untuk segera menjatuhkan diri berlutut di depan Ga Lung Hwesio yang bertubuh pendek gemuk dan mengangkat tongkat bambu kuning itu ke atas dengan sikap agung. Tiba-tiba nyonya muda merasa ada hawa hangat meresap ditubuhnya dan seketika itu lenyaplah semua perasaan yang hendak memaksa ia berlutut. Sebaliknya Ga Lung Hwesio menggigil kedua kakinya. Ia mengerahkan tenaga dan membentak lebih keras.
"Berlutut!"
Celaka baginya. Makin kerasnya ia mengerahkan tenaga menyuruh orang berlutut, makin keras tak tertahan lagi ia menguasai kedua kakinya dan mendadak ia menjatuhkan diri berlutut di depan Ong Hui sambil mengangguk-anggukan kepalanya yang gundul. Ia merasa terkejut dan heran sekali. Mengapa ilmunya itu malah menguasai dirinya sendiri? Dia mencoba untuk menahan diri, namun tidak berhasil. Terdengar suara ketawa perlahan dibelakangnya dan tongkat di tangan Thu Bi Tan mencongkel pantatnya membuat tubuhnya melayang ke atas dan dapat berdiri lagi. Marahlah Ga Lung Hwesio.
"Iblis betina, mampuslah!"
Tongkat bambu kuning di tangannya menyambar. Ong Hui melompat mundur karena merasa betapa hebatnya serangan ini. Tiba-tiba Ga Lung Hwesio menghentikan serangannya dan terhuyung mundur karena semacam hawa pukulan datang dari belakang nyonya muda itu menyambar dadanya. Ia sudah mengerahkan lweekang dengan muka pucat saking kagetnya. Sementara itu sabil tertawa bergelak, Thu Bi Tan melompat jauh, tahu-tahu tiba di dekat sebuah batu besar yang berada di belakang Ong Hui. Tongkatnya diayun menghantam batu sambil berseru.
"Siluman, keluarlah kau!"
Terdengar suara keras dan batu itu pecah berhamburan. Demikian hebatnya pukulan Thu Bi Tan yang menandakan bahwa ilmu kepandaian dan tenaganya bukan main hebatnya. Selenyapnya debu batu yang terpukul hancur, muncullah dari balik batu itu seorang kakek tinggi kurus yang rambut, jenggotnya panjang putih, sikapnya agung lagi tenang. Di sampingnya berdiri seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun. Bocah ini bermuka tampan dan bermata tajam. Melihat Ong Hui didesak Ga Lung Hwesio, bocah itu berlari-larian dengan beberapa loncatan saja ia sudah tiba di dekat Ong Hui.
"Bibi, larilah lekas dengan keledai, jangan layani orang-orang jahat ini!"
Sambil berkata demikian, ia menghadang di depan Ong Hui untuk mencegah Ga Lung Hwesio mendesak terus. Ong Hui ragu-ragu akan tetapi mengingat akan keselamatan anaknya, lalu melompat ke atas keledainya dan membalapkan keledai itu sambil berseru.
"Terima kasih atas pertolongan Locianpwe!"
Melihat Ong Hui hendak melarikan diri, tanpa memperdulikan bocah yang menghadang di depannya, Ga Lung Hwesio membentak sambil mengejar.
"Perempuan hina, kau hendak lari ke mana?"
Akan tetapi bocah itu dengan gerakan yang amat ringan sudah melompat di depannya, mementangkan kedua tangan dan berseru.
"Orang jahat, mau apa kau mengejar?"
Baru sekarang Ga Lung Hwesio memperhatikan bocah ini. Usianya paling banyak tujuh tahun, pakaiannya sederhana dari kain kasar. Tidak ada apa-apa yang istimewa pada bocah ini kecuali sinar matanya yang tajam dan sepasang alisnya yang hitam panjang.
"Setan cilik, minggirlah!"
Tongkatnya menyambar untuk menghantam bocah itu ke samping. Akan tetapi dengan amat mudah bocah itu mengelak dan tongkatnya mengenai tempat kosong. Ga Lung Hwesio terkejut dan marah. Kalau saja ia tidak ingin mengejar Ong Hui, tentu ia mengirim serangan lagi. Melihat bocah itu sudah mengelak ke samping, ia lalu melompat dan mengejar terus. Alangkah heran, kaget dan marahnya ketika tiba-tiba ia melihat bocah itu sudah berada di depannya lagi menghadang dan mencegah ia mengejar terus.
"Anak setan, apa kau ingin mampus?"
Bentaknya.
"Hidup bukan kau yang menghidupkan, matipun mana bisa kau yang mematikan?"
Jawab bocah itu sambil tersenyum simpul.
Ga Lung Hwesio tertegun sejenak. Ucapan seperti itu benar-benar tidak pantas keluar dari mulut seorang bocah berumur tujuh tahun. Akan tetapi kemarahannya masih kalah oleh keinginannya mengejar Ong Hui, maka tanpa memperdulikan bocah itu, ia menggerakkan kaki melompati bocah di depannya. Tentu saja bagi orang sepandai dia, melompati atas kepala bocah itu adalah mudah sekali. Akan tetapi kali ini ia kecele. Bocah itupun melompat ke atas dan ketika kedua tangannya di ayun, dua batu menyambar ke arah jalan darah di kedua pundak hwesio itu. Ga Lung Hwesio kaget dan marah sekali, akan tetapi mana ia memandang mata seorang bocah? Tangan kirinya digerakkan menyampok dua butir batu dan tubuhnya terus bergerak maju dengan tangan kanan mencengkeram dada bocah itu untuk menangkap dan melemparkan bocah itu ke samping agar ia dapat terus mengejar Ong Hui.
"Hayaaaa, hwesio palsu lihai sekali!"
Dengan lucu bocah itu membanting diri ke belakang, berpoksai tiga kali dan turun ke atas tanah, masih menghadapi hwesio itu dan menghadang. Ga Lung Hwesio adalah seorang hwesio yang kedudukannya tinggi sekali di Tibet. Di ibukota Lasha, jangankan penduduk biasa, bahkan tuan tanah dan pembesar menaruh hormat kepadanya. Sekarang ia digoda dan dipermainkan seorang bocah tentu saja amarahnya naik ke ubun-ubunnya dan ia menggertak giginya.
"Kau benar-benar bosan hidup!"
Bentaknya dan tiba-tiba ia harus mengelak karena ada debu berhamburan di depan mukanya, debu dari tanah dan pasir yang tengah disambitkan oleh bocah itu kepadanya.
Celakanya, setelah mengelak lagi-lagi ada hujan batu kecil dan pasir dicampur debu mengebul menyerang muka. Untuk sambitan ini tentu saja Ga Lung Hwesio tidak takut, akan tetapi kalau sampai mukanya terkena hujan debu, tentu mata hidung, mulut, dan telinganya terancam bahaya kemasukkan debu kotor. Saking marahnya, Ga Lung Hwesio lupa akan kedudukannya sebagai seorang tokoh besar dan ia mulai mengamuk, menyerang bocah itu dengan tongkatnya bukan hanya serangan gertakan lagi, melainkan serangan maut dengan maksud membunuh. Akan tetapi ternyata bocah itu lincah sekali gerakan-gerakannya. Bagaikan seekor burung walet saja layaknya ia "Terbang"
Di antara sambaran tongkat sambil mulutnya tiada hentinya berseru.
"Hwesio palsu! Hwesio jahat!"
Dan sebagainya, membuat Ga Lung Hwesio menjadi makin marah dan lupalah ia akan Ong Hui yang sekarang sudah kabur jauh sampai tidak kelihatan lagi. Sementara itu, Thu Bi Tan Hwesio yang tadi sudah dapat menduga bahwa Ong Hui dibantu orang pandai yang bersembunyi di belakang batu, telah memukul hancur batu besar itu sehingga kelihatan bocah itu bersama seorang kakek tinggi kurus berjenggot panjang dan putih. Sudah banyak Thu Bi Tan mengenal orang-orang kang-ouw di daerah Kun-lun, akan tetapi kakek tua ini belum pernah dilihatnya. Namun sebagai seorang tokoh utama di Tibet, ia tidak mau berlaku sembrono. Ia mengawasi kakek itu lalu berkata.
"Toyu siapakah dan pernah apa dengan perempuan Kun-lun-pai yang kami kejar?"
Pertanyaan yang dikeluarkan dengan bahasa Han yang kaku ini adalah pertanyaan yang biasa dipergunakan orang berkedudukan tinggi, singkat akan tetapi sudah mencakup semua persoalan antara mereka. Kalau tosu tua itu mengaku masih ada hubungan, maka otomatis tosu inipun musuh-musuh para hwesio Lama. Kalau bukan apa-apa, berarti tosu itu melanggar peraturan kang-ouw, mencampuri urusan orang lain. Kakek itu tersenyum ramah,
"Hwesio, wanita muda itu dan anak kecil yang digendongnya adalah saudaraku, juga kau dan kawan-kawanmu adalah saudaraku."
Thu Bi Tan Hwesio melengak mendengar jawaban yang aneh ini. Selagi ia hendak membentak minta penjelasan, kakek itu lalu mengucapkan kata-kata bersyair,
"Di empat penjuru samudra semua adalah saudara!"
Kemudian ia memandang Thu Bi Tan Hwesio dan melanjutkan kata-katanya.
"Sebagai saudara aku berkewajiban untuk membantu yang lemah, mengingatkan yang sesat, wajib menolong yang lemah tertindas, memberantas yang menindas."
Thu Bi Tan Hwesio juga seorang tokoh agama maka ia mengerti akan maksud kata-kata ini. Dia tertawa menyindir lalu berkata keras,
"Tosu sombong! Sekali bertemu bagaimana kau tahu mana yang benar mana yang keliru? Apa kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa? Pinceng adalah Thu Bi Tan, seorang di antara Su Thai Losu di Lasha. Apa kau sengaja mengandalkan kepandaian dan berani menentang Su Thai Losu?"
Nama Su Thai Losu di Tibet dan daerah Kun-lun terkenal sekali dan selama ini tidak pernah ada orang berani menentangnya. Dengan memperkenalkan diri, Thu Bi Tan ingin menggebah pergi tosu ini supaya jangan banyak rewel lagi agar dia dan para keponakan muridnya dapat melanjutkan pengejaran terhadap Ong Hui. Akan tetapi dengan masih tenang-tenang saja, kakek itu menjawab,
"Tidak ada persoalan berani atau tidak dan siapa menentang siapa tidak, yang ada hanya menolong yang lemah dan
memberantas yang menindas."
Marahlah Thu Bi Tan. Tongkat kecil panjang ia keluarkan dan tangannya gemetar menahan nafsu.
"Kakek tua, beritahukan namamu sebelum pinceng turun tangan."
"Apa artinya nama? Diberitahukan juga kau tidak akan mengenalku. Aku tidak terkenal seperti Su Thai Losu. Thu Bi Tan, aku tidak ingin berkelahi. Lebih baik kau dan lima orang kawanmu dengan damai kembali ke Lasha, biarkan perempuan lemah dan anaknya itu pergi dengan aman."
"Tosu siluman, enak saja kau bicara. Keluarkan senjatamu!"
Kini sikap kakek tua itu keren sekali dan ia pandang Thu Bi Tan Hwesio seperti seorang guru memandang muridnya.
"Senjata hanyalah alat penyambung tangan dan dipergunakan untuk melindungi diri, bukan untuk menindas sesamanya. Kalau ada bahaya mengancam diri, barulah senjata dikeluarkan."
Ucapan ini biarpun dapat diartikan menegur Thu Bi Tan Hwesio yang menggunakan kepandaian dan senjata untuk menindas orang lain akan tetapi juga bersikap mengejek,
menyatakan bahwa menghadapi Thu Bi Tan tanpa senjatapun kakek itu merasa tidak berbahaya.
"Kakek tua bangka, siapapun adanya engkau, hari ini pasti tubuhmu hancur seperti batu itu!"
Bentak Thu Bi Tan yang menjadi makin marah karena sikap kakek itu yang ia anggap amat sombong dan tidak memandang sebelah matapun kepadanya. Ia dapat menduga, bahwa kalau seorang bisa bersikap demikian tenang dan sombong tak kenal takut, sudah tentu memiliki kepandaian tinggi, maka paling perlu menghantamnya sehingga tewas agar tidak rewel-rewel lagi. Dengan gerakan perlahan ia menghantam. Tongkatnya kelihatannya bergerak lambat ke arah dada kakek itu, akan tetapi sebetulnya apa yang kelihatan ini adalah sebaliknya dari pada kenyataannya. Seorang ahli lweekeh seperti dia ini, memang di dalam serangannya terkandung unsur "Kosong berisi"
Atau "Lemah kuat,"
Kelihatan lemah dan perlahan akan tetapi sebetulnya luar biasa kuatnya.
Dengan kekuatannya seperti inilah maka tongkat kayu bisa menghancurkan batu, dan pukulan yang kelihatan perlahan dapat merusak bagian dalam tanpa merusak bagian luar. Kakek itu sama sekali tidak menangkis atau mengelak, hanya berdiri diam acuh tak acuh, seakan-akan tidak tahu bahwa dirinya sedang diserang, bahkan diancam serangan maut yang sekali kena akan mengakibatkan kematiannya. Thu Bi Tan bukan seorang biasa, dia tokoh besar dan tentu saja dia tidak sudi membunuh seorang lemah yang tidak melawan sama sekali. Melihat kakek ini tidak mengelak dan tidak menangkis, hatinya terguncang dan otomatis ia menarik kembali tenaganya sehingga tongkat itu kini bergerak cepat sekali akan tetapi tidak mengandung tenaga lweekang sehingga apabila mengenai dada kakek itu hanya akan membuat kakek itu terguling roboh tanpa menderita luka hebat.
"Werrrr...!"
Tongkat menyambar cepat sampai tidak kelihatan bayangannya. Kakek tetap tidak bergerak tapi... alangkah herannya hati Thu Bi Tan ketika tongkatnya itu mengenai angin, sama sekali tidak menyentuh tubuh orang tua itu. Padahal menurut penglihatannya, kakek itu sama sekali tidak mengelak dan sekarangpun masih berdiri di tempat yang tadi tanpa mengubah kedudukan kaki, masih tersenyum ramah memandangnya.
"Setankah dia...??"
Ia berpikir dengan penasaran lalu menghantam lagi, kali ini lebih cepat dan lebih keras daripada tadi, masih belum mengisi gerakannya dengan tenaga lweekang. Sekali lagi luput serangan itu tanpa lawannya berpindah tempat. Karena Thu Bi Tan sekarang menyerang sambil memasang mata ia melihat betapa serangannya tadi digagalkan oleh gerakan kakek itu dengan amat cepat dan halus, yaitu menyedot bagian tubuh yang yang terserang sehingga legok dan tongkat itu tidak menyentuh kulit. Ia kaget sekali. Sedemikian tingginya lweekang kakek ini sehingga semua bagian tubuhnya seakan-akan bermata? Ia menjadi penasaran karena terang-terangan kakek itu tidak memandang sebelah mata kepadanya sehingga menghadapi dua serangannya seperti seorang guru menghadapi serangan murid.
"Bagus! Coba tahan serangan ini!"
Bentaknya dan kini tongkatnya diputar tiga kali di atas kepala, lalu langsung dipakai membabat tubuh lawannya bagian tengah.
Tak mungkin dapat mengelak tanpa memindahkan kaki, pikirnya. Akan tetapi sekali lagi pukulannya mengenai angin dan tiba-tiba tubuh kakek itu lenyap dari depan matanya. Setelah tongkatnya menyambar lewat, tubuh kakek itu kelihatan lagi, masih berdiri tersenyum seperti tadi. Thu Bi Tan kaget setengah mati. Ia dapat menduga bahwa tanpa mengubah kedudukan kaki, kakek tua ini telah membuang diri ke belakang tanpa menggeser kaki sehingga tubuhnya telentang di atas tanah, akan tetapi hanya sebentar saja karena begitu tongkat lewat, ia sudah menarik kembali tubuhnya dan berdiri tegak. Inilah perbuatan yang benar-benar hebat dan sukar dilakukan biarpun oleh seorang ahli yang amat ulung.
"Mengalah hanya bertingkat tiga,"
Nona Berbaju Hijau Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata kakek tua itu masih tersenyum.
"Pertama berdasarkan kesabaran, ke dua berdasarkan anggapan bahwa orang telah mendesak karena terburu nafsu, dan ke tiga berdasarkan anggapan bahwa orang melakukan karena kebodohannya. Kalau sudah mencapai tingkat ke empat, berarti orang itu memang berwatak jahat dan suka mencelakakan sesamanya. Hwesio, sekali lagi kuperingatkan kau dan kawan-kawanmu, pergilah dengan damai."
Pada saat itu bocah berusia tujuh tahun tadi masih digempur hebat oleh Ga Lung Hwesio. Hwesio ini sudah marah sekali, mencak-mencak dan memaki-maki karena sampai puluhan jurus belum juga ia berhasil merobohkan bocah itu, belum berhasil tongkatnya mengenai tubuh si bocah. Benar-benar hal ini merupakan hal yang amat menakjubkan sampai empat orang sutenya berdiri melongo saking herannya. Bocah itu lebih gesit daripada seekor monyet dan biarpun tubuhnya kadang-kadang terbawa oleh hawa pukulan Ga Lung Hwesio yang mengandung tenaga lweekang, namun tetap saja selalu dapat menghindarkan diri. Yang aneh adalah gerakan kaki bocah itu yang diatur sedemikian sempurna merupakan langkah-langkah kedudukan bintang di langit.
"Eh, eh, bukan aku yang pintar melainkan kau yang goblok tidak dapat mengenaiku. Kenapa marah?"
Balas bocah itu tertawa-tawa ketika Ga Lung Hwesio mulai memaki-maki. Ga Lung Hwesio segera sadar. Dia seorang ahli silat tinggi dan sekarang tahulah ia bahwa kegagalannya itu sebagian besar karena kesalahannya sendiri. Dia terlalu bernafsu dan menganggap lawannya hanya seorang bocah. Padahal sekarang kenyataannya bahwa biarpun masih cilik, bocah ini sudah mengetahui dasar-dasar ilmu silat tinggi dan memiliki kedudukan kaki yang amat teratur. Biarpun menghadapi bocah, ia harus menggunakan taktik pertempuran, bukan membabi buta seperti tadi. Ia mulai mengurangi serangannya dan maju dengan tongkat dan tangan kiri, menyerang dengan mantap dan kuat.
"Suhu, susah teecu kalau begini..."
Bocah itu melompat ke kiri menghindarkan sambaran tongkat dan membuang diri ke belakang ketika pundaknya hampir kena dicengkeram oleh Ga Lung Hwesio. Pada saat itu kakek tua tadi menoleh dan dengan sabar kakek itu menjemput sebatang ranting yang menggeletak di dekat kakinya. Dilontarkan ranting itu ke arah bocah tadi sambil berseru,
"Sun-ji, sambutlah!"
Bocah itu biarpun sudah menjauhkan diri ke belakang, begitu melihat sambaran ranting ke arahnya, cepat mengulur tangan menangkap ujung ranting. Hebat tenaga sambaran ranting ini karena begitu terpegang, bocah itu terbang terbawa oleh ranting melayang-layang lalu membelok dan kembali kepada si kakek.
"Duduk di punggungku!"
Kata kakek itu dan bocah tadi dengan gembira lalu menjambret pundak si tua dan duduk nongkrong di punggung, kepalanya dengan wajah yang berseri mengintai dari balik pundak ke depan. Benar-benar dia seperti seekor monyet kecil yang nakal. Hidungnya dicungar-cungirkan kepada Thu Bi Tan dengan lagak mengejek sekali.
"Hwesio tua, apa kau sudah makan?"
Tanyanya tiba-tiba. Thu Bi Tan yang sedang terheran-heran dan kagum menyaksikan kepandaian kakek yang luar biasa ketika "Mengambil"
Muridnya tadi, mendengar pertanyaan tiba-tiba ini, tanpa disadarinya lagi menjawab.
"Apa... belum... belum makan."
Bocah itu memperlihatkan muka menaruh kasihan, lalu menyodorkan sepotong kue kering dari sakunya.
"Nah, kau makanlah."
Tapi tiba-tiba ia menarik kembali kuenya dan berkata cepat-cepat.
"Eh, maaf aku lupa. Kue ini mengandung minyak babi. Nih, sayang hanya tinggal tiga helai dan sudah agak kering."
Ia menyodorkan ranting yang masih dipegangnya. Di ujung ranting itu terdapat tiga helai daun yang sudah hampir kering. Thu Bi Tan menjadi merah mukanya. Bocah itu secara memutar telah memakinya. Para hwesio memang biasanya tidak makan daging dan selalu makan sayur-sayuran, maka selalu dimaki keledai. Sekarang bocah itu menawarkan daun, sama saja dengan memaki keledai. Akan tetapi karena ia maklum bahwa lawannya amat lihai, ia segera membentak lima orang murid keponakannya.
"Kurung dengan Ngo-heng-tin!"
Ga Lung Hwesio dan sute-sutenya tadipun melongo menyaksikan kepandaian kakek yang mereka anggap mengeluarkan ilmu siluman itu. Sekarang mendengar bentakan Thu Bi Tan, mereka cepat melompat maju sambil memegang toya masing-masing.
Dengan teratur lima orang ini lalu mengurung dan di lain saat sudah membentuk barisan Ngo-heng-tin. Maju seorang saja mereka ini mungkin tidak berarti bagi lawan, akan tetapi sekali maju bersama dalam bentuk barisan yang disebut Ngo-heng-tin, biarpun lawan memiliki kepandaian tinggi, tidak mudah mengalahkan mereka. Dengan terbentuknya barisan ini, tidak saja tenaga mereka tergabung menjadi satu sehingga lima kali lebih kuat, juga mereka seperti seorang sakti yang mempunyai lima macam kedudukan, lima macam tenaga, dan lima macam keampuhan. Disamping Ngo-heng-tin ini, di situ masih ada lagi Thu Bi Tan yang sudah merupakan seorang lawan sakti yang tidak boleh dipandang ringan. Tapi kakek tua itu kelihatannya masih tenang saja, malah berkata kepada bocah di gendongannya.
"Yalu Sun, berlatih kau, lawanlah enam orang hwesio ini."
Bocah itu nampak gembira.
"Baik, suhu. Hei, liok-wi losuhu, majulah!"
Sambil berkata demikian ia menggerak-gerakkan ranting di tangannya. Thu Bi Tan tercengang. Orang terlalu memandang rendah kepadanya karena dia yang berkedudukan tinggi sudi melawan seorang bocah?
"Binasakan saja kakek dan bocah ini, mereka terlampau memandang rendah dan menghina kita!"
Serunya kepada lima orang murid keponakannya. Ngo-heng-tin bergerak mengitari kakek itu yang berdiri tegak sambil menggendong bocah itu.
"Perhatikan gerakan mereka, rasakan bagaimana aku mengambil kedudukan dan buka mata telinga dengarkan jurus-jurus yang kau mainkan,"
Dengan suara tenang sekali kakek itu memberitahukan kepada bocah di gendongannya.
"Baik, suhu,"
Jawab bocah itu dengan gembira dan wajah berseri. Barisan Ngo-heng-tin bergerak-gerak makin lama makin cepat mengitari tubuh kakek itu. Tiba-tiba Ga Lung Hwesio yang menjadi pemimpin Tin (barisan) ini berseru dalam bahasa Tibet memberi perintah kepada sute-sutenya. Dua orang yang ketika itu kedudukannya di depan dan di belakang si kakek, serentak mengayun toya melakukan serangan, yang di depan menghantam kepala dan yang di belakang menyerampang kaki. Serangan atas bawah ini cepat, kuat dan berbahaya sekali.
"Pek-in-ci-tiam (Awan Putih Keluarkan Kilat)"
Seru kakek itu sambil melompat ke atas sehingga serampangan toya dari belakang yang mengarah kakinya mengenai angin, sedangkan bocah itu yang mendapat petunjuk gurunya lalu menggunakan ranting kayu seperti pedang digerakkan ke atas menangkis datangnya toya ke arah kepalanya. Melihat bocah itu menangkis toyanya menggunakan ranting kecil, hwesio yang menyerangnya menjadi girang dan cepat mengempos semangatnya. Ia tidak ragu-ragu lagi bahwa toyanya tentu akan mematahkan ranting terus menghancurkan kepala orang, karena mana ada seorang bocah kecil dapat menangkis tongkatnya dengan ranting?
Akan tetapi kesudahannya membuat ia berteriak kesakitan dan melompat mundur dengan kaget karena telapak tangannya sakit-sakit ketika toyanya tertangkis oleh ranting itu. Tentu saja bocah ini menjadi lihai karena secara diam-diam kakek yang menggendongnya menyalurkan hawa sinkang ke dalam tubuh bocah itu dan disalurkan ke arah tangan yang memegang ranting... Ternyata kakek itu hanya "Meminjam"
Tangan muridnya untuk menangkis pukulan tadi. Ga Lung Hwesio melihat kegagalan serangan pertama lalu berteriak lagi memberi aba-aba. Mendengar aba-aba ini empat orang hwesio serentak memutar toya dan barisan ini menyerang kalang kabut dan secara bertubi-tubi. Dari lima jurusan datanglah hujan toya ke arah kakek dan muridnya ini.
"Hui-po-lui-hong (Air Tumpah Terbang, Bianglala Melengkung), Im-mo-sam-bu (Payung Awan Tiga Kali Menari). Hui-in-toan-san (Awan Terbang Memutus Gunung)!"
Kakek itu berloncatan ke sana ke mari pula sambil memberi perintah muridnya. Dengan penuh ketekunan dan perhatian, bocah itu secara otomatis mainkan rantingnya menurut petunjuk suhunya dan... semua serangan toya dapat ditangkis dan dipunahkan oleh jurus-jurus yang ia mainkan itu. Ga Lung Hwesio mendesak terus bersama empat orang kawannya. Gerakan kakek itu halus seperti tidak bergerak, tetapi selalu dapat mengisi tempat kosong dan ranting di tangan si bocah itupun selalu dapat mengusir bahaya yang datang mengancam. Lima puluh jurus lebih tin ini mengurung tanpa dapat melukai guru dan murid itu karena penjagaan ranting amat kuat. Tiba-tiba kakek itu berkata.
"Yalu Sun, sekarang kita membalas. Awas! Sian-jin-hoan-eng (Dewa Menukar Bayangan)! Sian-jin-sia-ciok (Dewa Memanah batu)! Ka-tin-liok-liong (Menunggangi Enam Ekor Naga)!"
Hebat sekali ranting di tangan bocah itu. Selain ranting membuat gerakan menyerang, barisan itu kalang kabut dan kacau balau. Ga Lung Hwesio masih berseru ke sana sini untuk menjaga agar barisan tidak kacau, namun tetap saja serangan-serangan bocah yang digendong oleh si kakek membuat mereka terdesak hebat.
Melihat ini, Thu Bi Tan yang tadinya merasa terheran-heran kini menjadi marah bukan main. Sambil mengeluarkan seruan keras ia menerjang maju dan menyerang dengan tongkatnya. Bocah itu terkejut sekali karena seruan yang merupakan pekik dahsyat ini membuat tubuhnya bergoyang-goyang dan kedua tangannya tergetar. Itulah pekik yang dikerahkan dengan lweekang tinggi dan dia sendiri yang belum memiliki tenaga lweekang cukup kuat terpengaruh oleh pekik ini. Gurunya mengulur tangan dan menepuk punggungnya sehingga pengaruh itu lenyap kembali akan tetapi ranting yang dipegangnya sudah berpindah ke tangan gurunya. Kini kakek itu sendiri yang menggerakkan ranting menangkis serangan tongkat Thu Bi Tan. Terdengar suara keras, ranting patah akan tetapi tongkat itupun terlepas dari tangan Thu Bi Tan. Kakek tua itu tertawa nyaring lalu berkata.
"Yalu Sun, sudah cukup berlatih, mari kita pergi!"
Tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu kakek itu sudah melompat jauh sekali, seperti terbang saja. Tiga empat lompatan lagi dan kakek itu lenyap bayangannya, meninggalkan enam orang hwesio yang berdiri bengong.
"Sudahlah... sudahlah...!"
Thu Bi Tan Hwesio membanting-banting kaki sambil menghela napas berulang-ulang.
"Benar kata mendiang suhu bahwa di timur banyak sekali orang Han yang sakti. Tidak perlu kita mengejar bocah murid Kun-lun-pai itu. Dengan hati penuh penasaran enam orang hwesio itu lalu kembali ke barat.
Enam orang murid kepala itu tidak membantah karena hati mereka juga sudah gentar menghadapi kakek tua dan bocah yang aneh sekali itu. Demikianlah, dengan selamat Ong Hui membawa anak perempuannya ke puncak Kun-lun untuk mengungsi ke Kun-lun-pai dan melaporkan malapetaka yang menimpa Ayah dan supeknya kepada To Gi Couwsu ketua Kun-lun-pai. Ia sama sekali tidak tahu. siapa kakek dan bocah yang telah menolongnya dari tangan enam orang hwesio dari Lasha itu. Sambil menangis ia melaporkan keadaannya kepada para tokoh Kun-lun-pai. Karena kejadian itu merupakan pukulan hebat bagi Kun-lun-pai, yaitu tewasnya Cin Kek Tosu yang menjadi murid keponakan To Gi Couwsu sendiri, maka para murid Kun-lun-pai memberanikan diri melaporkan hal ini kepada To Gi Couwsu yang sudah mengasingkan diri di dalam kamarnya. Tosu tua itu menarik napas panjang,
"Siancai... para hwesio di Tibet benar-benar masih tidak dapat mengekang nafsu duniawi, Cin Kek tewas dalam kebenaran, biarlah tak usah dipikirkan lagi."
Ketika ia mendengar penuturan Ong Hui tentang kakek dan bocah yang menolongnya, wajah kakek ini berseri.
"Ah, kiranya twa-suheng (kakak seperguruan tertua) masih hidup dan masih suka main-main. Heran sekali mengapa dalam usia tua dia masih ada kesempatan menerima murid?"
Kakek ini memandang bayi dalam pondongan Ong Hui, kembali ia menghela napas panjang.
"Bocah ini telah mengalami penasaran, sebelum lahir ditinggalkan Ayah, sesudah lahir dikejar-kejar maut. Twa-suheng telah mengambil murid dihari tua, kenapa aku tidak meniru? Biarlah bocah ini kelak mewarisi ilmu di Kun-lun."
Kedukaan hati Ong Hui membuat tubuhnya tidak kuat menahan derita. Suaminya terpisah darinya, Ayahnya terbunuh dan hal ini membuat ia begitu berduka sampai tak kuat ia menahan. Baru saja Bi Hong berusia satu tahun, nyonya muda ini meninggal dunia di Kun-lun-san. Bi Hong dirawat oleh para tosu dan menjadi kesayangan semua tosu di situ.
Malah To Gi Couwsu sendiri amat menaruh kasihan dan menyayanginya sehingga guru besar ini kemudian berkenan menurunkan kepandaiannya, melatih dan memberi pimpinan kepada Bi Hong. Demikianlah, enam belas tahun kemudian, Bi Hong telah menjadi seorang nona yang berjiwa sederhana, berwatak riang jenaka, dan mewarisi ilmu kepandaian tinggi dari Kun-lun-pai. Kita kembali ke puncak Kun-lun-san di mana Bi Hong baru saja diuji ilmu kepandaiannya oleh para tosu. Kemudian gadis itu menangis karena teringat akan musuh-musuh besarnya, hwesio-hwesio di Lasha yang telah membunuh kongkongnya dan supekcouwnya, malah yang sudah membuat ibunya sampai mati dalam usia muda karena berduka. Mendengar gadis itu keras sekali kehendaknya hendak turun gunung dan mencari musuh besar menuntut balas. To Gi Couwsu menghela napas.
"Balas membalas, bunuh membunuh, ahh... dunia suram-muram penuh hawa kebencian. Bi Hong, kau bicara tentang membalas dendam, tahukah engkau siapa yang telah membunuh kong-kongmu dan yang menyerbu ke tempat tinggal supek-couw mu?"
"Menurut keterangan yang teecu kumpulkan dari para suheng yang mendengar cerita mendiang ibu, yang menyerbu adalah Thu Bi Tan Hwesio bersama Ga Lung Hwesio dan empat orang hwesio lain dari Lasha."
"Jadi kau hendak mencari enam orang hwesio itu.
"Betul suhu. Setidaknya teecu harus dapat membalas dendam kepada Thu Bi Tan Hwesio dan Ga Lung Hwesio, karena mereka itu yang memimpin penyerbuan?"
"Bi Hong, tahukah kau siapa Ayahmu?"
Ditanya begini, muka gadis itu berubah. Dia menggigit bibir menahan gelora hatinya lalu mengangguk menjawab,
"Teecu mendengar dari para suheng bahwa dahulu ibu pernah menyatakan siapa adanya Ayah teecu. Ayah adalah suheng ibu sendiri, murid supek-couw bernama Wang Sin."
"Anak, kau tidak tahu banyak. Ketahuilah urusan permusuhan dengan hwesio Tibet sebetulnya adalah urusan Ayahmu. Ibumu hanya terbawa-bawa dan karena Ayah ibumu sudah membunuh beberapa orang hwesio Tibet, maka hwesio-hwesio dari Lasha itu membunuh kong-kong dan supek-couwmu. Pinto tidak keberatan kau membalas dendam kong-kongmu, akan tetapi agar tidak terjadi urusan permusuhan sampai terlalu mendalam, dan untuk mengetahui duduk perkaranya urusan yang berbelit-belit ini, sebelum membalas lebih dulu kau carilah Ayahmu itu. Segala sepak terjang harus didasarkan atas keadilan, tidak boleh membabi buta menurutkan nafsu membenci dan dendam."
Bi Hong mengangkat mukanya.
"Suhu, ke manakah teecu harus mencari Ayah? Yang teecu ketahui hanya berita tidak jelas bahwa... bahwa Ayah sudah meninggalkan ibu..."
Suaranya berubah perlahan, wajahnya nampak berduka dan penasaran. Sejak kecil, sejak mendengar bahwa Ayahnya meninggalkan ibunya, diam-diam anak ini membenci atau setidaknya tidak suka kepada Ayahnya.
"Ayahmu seorang Tibet, ke mana lagi mencari dia kalau tidak ke barat? Dahulu Ayahmu tinggal di desa Loka, kau bisa mencarinya di sana atau di sekitarnya."
Bi Hong girang. Ia memberi hormat lalu berkata,
"Kalau begitu, harap suhu mengijinkan
teecu pergi sekarang juga."
Tosu tua itu mengangguk-angguk.
"Pergilah Bi Hong, Hanya pesanku, hati-hatilah kau. Hwesio di Lasha adalah orang-orang sakti dan tidak boleh dipandang ringan."
"Teecu akan memperhatikan semua nasehat suhu."
Setelah memberi hormat lagi kepada suhu dan suhengnya, nona ini lalu pergi ke kamarnya untuk membawa perbekalan. Para tosu di Kun-lun diliputi suasana sunyi. Semua tosu di situ menyayangi gadis itu dan mereka tahu bahwa sepergi gadis itu dari puncak, tempat itu akan menjadi sunyi bagi mereka. To Gi Couwsu sendiri merasa kehilangan ini. Semenjak Bi Hong masih kecil, dia melatih anak itu dan menyayanginya seperti cucu sendiri. Tosu ini maklum bahwa kepergian gadis itu akan menempuh bahaya yang tidak kecil dan masih diragukan apakah dia yang sudah amat tua akan dapat bertemu kembali dengan Bi Hong.
"Lee Kek, jangan tegakan hatimu. Kau kawanilah sumoimu itu pergi mencari Ayahnya ke barat!"
Bukan main girangnya hati Lee Kek Tosu murid kepala Kun-lun-pai itu. Ia cepat berlutut dan berkata,
"Suhu, teecu akan menjaga sumoi dengan segenap jiwa raga teecu."
Ia lalu mengundurkan diri menyusul sumoinya. Tak lama kemudian, dua orang itu, seorang tosu tua dan seorang gadis muda belia turun dari puncak diikuti pandang mata puluhan orang tosu. Beberapa kali Bi Hong menengok dan melambaikan tangan. Semua tosu di situ, suheng-suhengnya, baginya seperti paman-paman sendiri, maka iapun merasa terharu harus meninggalkan puncak yang sudah dialami selama belasan tahun itu. Kiranya tidak sukar untuk diduga siapa adanya kakek tua aneh dan bocah nakal yang telah menolong Ong Hui belasan tahun yang lalu itu. Bocah itu bukan lain adalah Wang Tui yang sudah berganti nama menjadi Yalu Sun.
Seperti telah dituturkan di bagian depan, Wang Tui, bayi cucu nenek lumpuh yang kehilangan kedua orang tuanya karena kekejaman tuan tanah di Loka, akhirnya dibawa lari oleh Ci Ying. Akan tetapi bayi itu berpisah dari Ci Ying dan hanyut terbawa perahu. Tentu akan habis riwayat bayi itu kalau saja ia tidak ditolong oleh seorang kakek sakti yang kemudian menjadi gurunya. Kakek itu sebetulnya adalah seorang tokoh Kun-lun-pai yang sudah mengasingkan diri puluhan tahun lamanya. Ia malah masih pernah kakak seperguruan dari To Gi Couwsu, pada saat itu merupakan orang terutama di Kun-lun memiliki kepandaian yang luar biasa sekali. Orang-orang sudah tidak mengenalnya lagi dan dia hanya disebut Pek-kong Kiam-sian (Dewa Pedang Sinar Putih). Adapun Wang Tui, bocah itu, tentu saja tidak diketahui namanya dan oleh Pek-kong Kiam-sian diberi nama Yalu Sun (cucu sungai Yalu-cangpo),
Sesuai dengan keadaannya, ditemukan di atas perahu yang berada di sungai Yalu-cangpo. Selama dua puluh tahun lebih, Pek-kong Kiam-sian yang dahulunya bernama Tok Tek Cinjin, menurunkan ilmu kepandaiannya kepada muridnya ini, yang ternyata amat cerdik dan berbakat. Bakatnya ini sudah dibuktikan ketika dalam usia tujuh tahun dia sudah dapat menghadapi Ga Lung Hwesio mengandalkan kelincahan tubuhnya. Dengan amat tekun Wang Tui atau Yalu Sun, (lebih baik kita menyebutnya Yalu Sun karena bocah itu sendiri tidak tahu bahwa ia bernama Wang Tui) belajar ilmu dan akhirnya ia berhasil mewarisi ilmu kepandaian suhunya. Melihat muridnya telah tamat dan tidak ada apa-apa lagi yang dapat ia ajarkan, Pek-kong Kiam-sian lalu berpisah dari muridnya.
"Muridku, ada saat berkumpul harus ada saat berpisah. Kau sudah tamat belajar, kepandaianmu sudah tak kalah olehku hanya tinggal mematangkan dalam latihan saja. Sekarang tugasku selesai, kau boleh pergi kemana sesukamu."
Yalu Sun berlutut dan menangis.
"Suhu, mohon kasihan. Teecu tidak sanggup meninggalkan suhu. Biarlah teecu merawat suhu yang sudah tua, teecu tidak tega meninggalkan suhu seorang diri dalam usia tua."
"Anak bodoh, berapa lama kau hendak mengeram dirimu di sampingku? Kalau umurku masih panjang, apakah kau hendak mengawaniku sampai kau menjadi seorang tua pula? Usiamu kini sudah dua puluh dua tahun, sudah lebih dari dewasa untuk hidup sendiri mencari pengalaman."
"Suhu adalah satu-satunya orang di dunia ini yang teecu kenal, suhu adalah guruku juga pengganti orang tuaku. Bagaimana teecu tega untuk berpisah selagi suhu sudah amat tua?"
"Heh, apa kau masih banyak bantahan? Tidak terpisah sekarang, tentu akan datang saatnya berpisah. Mana ada manusia hidup kekal di dunia ini? Kau seorang manusia, tentu dahulu ada yang melahirkan kau, tentu ada Ayah dan ibumu. Sudah menjadi kewajibanmu setelah kau sekarang memiliki kekuatan dan kepandaian, kau mencari Ayah ibumu itu. Aku sendiri tidak tahu siapa mereka, akan tetapi karena kau mempunyai darah Tibet, tidak salah lagi orang tuamu tentulah tinggal di barat. Berangkatlah ke Lasha dan di sana kau boleh mencari-cari keterangan tentang Ayah bundamu itu. Pekerjaan ini tidaklah mudah, Sun-ji, karena aku sendiri tidak tahu siapa mereka itu dan siapakah kau ini sebenarnya. Nah, berangkatlah dan berhati-hatilah. Aku sendiri hendak merantau, mencari tempat yang cocok untuk melewati hari tua dengan aman dan damai."
Terbangun semangat Yalu Sun ketika gurunya bicara tentang orang tuanya. Memang semenjak kecil ia amat rindu untuk mengetahui dan mencari Ayah bundanya yang sama sekali tidak dikenalnya, tidak diketahui pula namanya. Ia berlutut lagi untuk menghaturkan terima kasih atas pimpinan yang penuh cinta kasih selama dua puluh tahun lebih dari suhunya. Akan tetapi sebelum ia mengucap sesuatu, berkelebat bayangan putih dan kakek itu sudah lenyap dari depannya. Hanya sebatang pedang terletak di depan Yalu Sun sebagai pengganti kakek itu. Yalu Sun menghela napas dan mengambil pedang itu.
"Suhu benar-benar mengharuskan aku turun gunung, pedang Pek-kong-kiam ditinggalkan untukku. Kalau aku tidak dapat mencari orang tuaku sampai berhasil bukankah sia-sia saja pengharapan suhu?"
Tak lama kemudian pemuda inipun meninggalkan puncak itu mulai dengan perjalanannya ke barat. Yalu Sun berusia dua puluh satu tahun atau dua puluh dua tahun, tubuhnya tegap, wajahnya berseri matanya kocak tanda wataknya periang. Pakaiannya sederhana sekali dan pedang Pek-kong-kiam tergantung di pinggang kiri. Dengan ilmu meringankan tubuh, ia berlari cepat sekali. Sungguh merupakan hal yang amat kebetulan bahwa waktu Yalu Sun turun gunung, hanya sebulan yang lalu Bi Hong juga meninggalkan Kun-lun-pai menuju ke barat.
Marilah kita mengikuti perjalanan Bi Hong yang juga melakukan perjalanan cepat dan hanya terpisah dua-tiga ratus lie saja dari Yalu Sun. Dengan penuh semangat, gadis itu bersama twa-suhengnya, yaitu Lee Kek Tosu, melakukan perjalanan ke barat. Menurut keterangan yang mereka dapatkan di tengah perjalanan, dusaun Loka berada di lembah sungai Yalu-cangpo dan ke dusun inilah mereka menuju. Pada suatu sore ketika mereka tiba di luar sebuah hutan kecil, mereka mendengar suara laki-laki yang amat nyaring memaki-maki dan suara ketawa perlahan. Lee Kek Tosu terkejut mendengar suara ketawa ini yang menunjukkan bahwa orangnya tentulah seorang ahli lweekang yang berkepandaian tinggi. Agaknya orang sedang bertengkar di dalam hutan.
"Mari kita lihat, twa-suheng,"
Kata Bi Hong.
"Marilah, akan tetapi di tempat asing ini harap kau suka bersabar dan jangan mencampuri urusan orang lain,"
Tosu itu memperingatkan sumoinya. Sambil beridap mereka menghampiri tempat itu dan bersembunyi di balik pohon-pohon. Ternyata bahwa suara ribut-ribut itu datang dari tengah hutan dan di situ mereka melihat seorang pemuda sedang berdiri berhadapan dengan dua orang hwesio Tibet. Pemuda ini masih muda sekali, paling banyak berusia enam belas atau tujuh belas tahun, akan tetapi tubuhnya tegap dan kelihatan amat kuat, wajahnya membayangkan kegagahan dan dipunggungnya tampak sebatang pedang panjang. Pemuda ini sedang marah-marah dan sambil membanting kaki ia berseru.
"Hwesio-hwesio bau! Sudah kukatakan namuku Kalisang dan aku bertanya baik-baik kepada kalian tentang kota Lasha. Mengapa sebaliknya kalian tidak tahu malu bertanya-tanya tentang keluargaku? Minggirlah, aku Kalisang tidak sudi bicara lagi denganmu."
Bi Hong yang mengintai dari balik pohon menjadi heran sekali. Pemuda tegap itu berpakaian seperti orang Han, akan tetapi air muka dan bahasanya membayangkan bahwa dia adalah seorang Tibet. Seorang di antara dua orang hwesio itu, yang tua bertubuh gemuk dan memegang tongkat bambu kuning kecil panjang tertawa. Suara ketawanya perlahan akan tetapi menggetarkan dan inilah suara ketawa yang tadi mengejutkan hati Lee Kek Tosu.
"Ha-ha-ha, pemuda bernyali harimau. Biarpun kau berlagak seperti orang Han, semua orang dapat melihat bahwa kau seorang bocah Tibet. Sebagai orang Tibet, mengapa kau begini kurang ajar berani bersikap kasar terhadap seorang pendeta Lama? Bahkan srigala-srigala hitam yang berkeliaran di sini tidak berani berlaku kurang patut terhadap pinceng. Hayo lekas katakan kau anak siapa, murid siapa dan apa keperluanmu mencari kota Lasha?"Ucapan terakhir ini mengandung ancaman dan tekanan.
"Pendeta bau! Justeru aku tidak mau menghormat semua pendeta Lama yang jahat-jahat, habis kau mau apa? Orang tuaku tidak ada sangkut paut, gurukupun tidak, tak perlu kau kenal mereka. Kau mau tahu mengapa aku hendak ke Lasha? Dengarlah, aku hendak membasmi keledai-keledai gundul!"
Hwesio gemuk pendek itu marah sekali, kawannya mengeluarkan suara.
"Iihhh..."
Dan meraba-raba kepalanya yang gundul. Bi Hong juga kaget dan twa-suhengnya berbisik,
"Hemmmm, bocah ini lancang mulut dan nekad sekali."
Akan tetapi Bi Hong memuji kagum.
Kumbang Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo