Nona Berbaju Hijau 7
Nona Berbaju Hijau Karya Kho Ping Hoo Bagian 7
"Dia benar-benar bernyali harimau."
"Bocah gila!"
Hwesio yang tadi meraba kepalanya membentak.
"Setan cilik macammu ini berani mengeluarkan omongan seperti itu? Lihat, kedua tanganku cukup untuk membekuk lehermu, jangan sebut lagi para guru besar di Lasha itu? Jagalah!"
Hwesio ini yang memegang sebuah tongkat kayu sebesar mulut mangkuk, benar-benar melemparkan tongkatnya ke tanah, lalu dengan kedua tangan kosong ia menubruk, tangan kiri menghantam kepala, tangan kanan mencengkeram dada pemuda tanggung itu. Serangan ini hebat sekali dan dari bunyi angin pukulannya dapat diketahui bahwa hwesio yang mukanya putih ini memiliki kepandaian lumayan dan tenaganya besar. Akan tetapi lebih hebat sambutan anak muda itu. Pukulan ke arah kepalanya ia tangkis dengan tangan kanan, sedangkan cengkeraman ke arah pundak ia biarkan saja. Sambil mengerahkan tenaganya ia malah membalas dengan pukulan telapak tangan ke arah jidat hwesio itu.
"Plakkk...!!"
Hwesio itu terkena tampar jidatnya, menjerit ngeri dan tangannya yang sudah mencengkeram pundak pemuda itu terlepas, tubuhnya lemas dan ia roboh telentang di atas tanah, tak bernapas lagi. Di atas jidatnya terdapat tanda lima buah jari tangan hitam dan seluruh mukanya berubah hijau.
"Ganas sekali...!"
Bi Hong bersru kaget. Hwesio pendek gemuk itupun kaget melihat kawannya tewas seketika, lebih-lebih kagetnya melihat muka kawannya itu yang berubah kehijauan. Hampir berbareng, hwesio gemuk pendek ini dan Lee Kek Tosu berseru kaget.
"Cheng-hoa-pai...!"
Hwesio gemuk pendek itu dengan seruan marah lalu menyerang si pemuda, menggunakan tongkat bambunya dan ternyata ia lihai bukan main. Pemuda itupun mencabut pedangnya, pedang yang mengeluarkan sinar ungu. Ilmu pedangnya juga dahsyat dan ganas dan di lain detik mereka sudah bertempur mati-matian.
"Twa-suheng, apakah itu Cheng-hoa-pai?"
Tanya Bi Hong terheran-heran sambil memandang ke arah pertempuran. Lee Kek Tosu menggelengkan kepalanya.
"Tidak baik... tidak baik... maka suhu tidak pernah bercerita, juga pinto dan para sute tidak mau menceritakan kepadamu. Cheng-hoa-pai berpusat di Heng-toan-san, jadi masih tetangga kita. Akan tetapi oleh karena sepak terjang mereka tidak cocok dengan kita, maka di antara kita dengan mereka tidak ada hubungan sesuatu. Ketuanya adalah Cheng Hoa Suthai, seorang pendeta wanita yang amat lihai."
Tadinya Bi Hong menengok suhengnya, kini ia melirik lagi ke arah pemuda itu dan melihat bahwa pertempuran makin hebat di mana kedua pihak sama kuatnya. Ia makin heran. Pemuda itu baru belasan tahun, dan pendeta gundul yang melawannya amat lihai, akan tetapi kenyataannya pemuda itu dapat mempertahankan diri dengan amat baiknya.
"Suheng tadi menyebut Cheng-hoa-pai setelah melihat dia, apakah dia anggautanya?"
"Sukar dikatakan demikian. Menurut pendengaran dan setahuku, Cheng-hoa-pai adalah perkumpulan wanita, tidak pernah mempunyai anak murid pria. Akan tetapi pukulannya tadi, yang mematikan hwesio itu, tidak salah lagi, itulah pukulan Cheng-hoa-tok-jiu (Pukulkan Beracun Kembang Hijau) dari Cheng-hoa-pai."
Pendeta Kun-lun ini menggeleng-geleng kepala lalu menggerendeng.
"Apakah Ceng Hoa Suthai telah mengambil murid seorang pria?"
Sementara itu, pertempuran di depan makin seru. Hwesio pendek itu tadinya masih tertawa-tawa dalam marahnya, akan tetapi sekarang tidak bisa ia ketawa lagi, tidak sempat. Ternyata bocah itu benar-benar lihai dan gerakan-gerakannya amat dahsyat dan ganas.
"Setan kecil, pernah apa kau dengan siluman betina Ci Ying?"
Bentak pendeta gundul itu sambil menahan pedang lawan dengan tongkatnya. Mendadak pemuda itu marah sekali mendengar pertanyaan ini.
"Tutup mulutmu yang kotor, hwesio keparat!"
Dan pedangnya menyerang lagi dengan hebat. Akan tetapi hwesio itu menang pengalaman. Agaknya sekarang ia tahu bagaimana harus menghadapi pedang si pemuda. Ia berlaku lambat dan menghadapi lawannya dengan mengerahkan tenaga "Lembek."
Seorang ahli lweekang dapat menguasai tenaganya dan dapat menggunakan tenaganya dalam bentuk keras maupun lembek. Tahu bahwa pemuda itu keras hati, bernafsu dan bertenaga besar, ia lalu menggunakan siasat, melawan dengan tenaga lembek. Pemuda itu kaget sekali ketika mendadak pedangnya terbetot dan seperti mengenai tempat kosong apabila bertemu dengan tongkat lawan. Dalam kagetnya, ia segera didesak dan sebentar saja repotlah ia karena berada dalam keadaan terdesak.
"Twa-suheng, mari kita bantu dia."
(Lanjut ke Jilid 07)
Nona Berbaju Hijau/Kunlun Hiap Kek (Cerita Lepas)
Karya : AsmaramaKho Ping Hoo
Jilid 07
"Bantu siapa?"
Tanya Lee Kek Tosu sambil memandang sumoinya.
"Kedua-duanya kita tidak kenal, mengapa mesti mencampuri urusan orang lain?"
Merah wajah Bi Hong, lalu gadis ini tersenyum.
"Twa-suheng, jangan salah sangka. Sekali-kali siauwmoi bukan hendak mencampuri urusan orang dan juga tidak hendak pilih kasih dan berat sebelah. Aku hendak turun tangan dengan alasanku yang kuat."
"Alasan apa? Siapa yang hendak kau bantu?"
"Tentu saja membantu si pemuda itu. Dengan dia kita tidak pernah kenal, akan tetapi bukankah lawannya itu seorang pendeta Lama dari Tibet? Twa-suheng maklum bahwa yang membunuh kong-kong dan supek-couw adalah hwesio-hwesio dari Tibet. Semua hwesio Lasha jahat dan harus dibasmi. Karena itu biarpun tidak tahu urusannya, sudah terang yang jahat adalah si hwesio itu."
Lee Kek Tosu menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya.
"Alangkah banyaknya penganut-penganut To yang menyeleweng. Apakah dengan adanya tosu-tosu yang menyeleweng, kaupun lalu menganggap bahwa semua tosu itu jahat? Tidak bisa demikian, sumoi. Memang banyak hwesio Tibet yang jahat, akan tetapi tidak mungkin kita menyama ratakan saja dan menganggap seluruh hwesio Tibet itu jahat-jahat belaka. Kita harus berhati-hati, dapat membedakan mana yang buruk dan mana yang baik. Kalau kita turun tangan secara sembrono lalu salah tangan membantu yang jahat mencelakakan yang baik dan benar, ke mana kita hendak menaruh muka sebagai murid-murid Kun-lun-pai?"
Bi Hong terbelalak memandang suhengnya, baru ia sadar bahwa ia tadi memang terburu nafsu. Ia menepuk pipi sendiri sambil berkata.
"Ah, bocah tolol, hampir saja kau menimbulkan onar!"
Melihat lagak sumoinya, mau tak mau tosu itu tersenyum.
"Biarpun begitu, kalau didiamkan saja, seorang di antara mereka tentu akan tewas. Mari, kita pisahkan mereka, sumoi!"
Ajakan Lee Kek Tosu ini pada saat yang tepat karena pada waktu itu pemuda tegap itu sudah kena ditendang lututnya dan roboh terguling. Hwesio itu tertawa mengejek dan mengejar dengan tongkat diputar-putar, siap menjatuhkan pukulan maut. Tiba-tiba hwesio gemuk pendek itu melihat sinar kuning emas yang panjang dan cepat menyambar tongkatnya. Tongkatnya terpental dan ia kaget sekali melihat bahwa penangkisnya adalah seorang gadis cantik yang memegang sebatang pedang. Ia kaget dan kagum sekali akan gerakan pedang yang demikian cepatnya dan tahu bahwa yang datang adalah seorang lawan yang berat pula. Namun ia penasaran sekali karena datang-datang gadis itu menolong pemuda itu, maka ia lalu mengayun tongkat menyerang Bi Hong.
"Siancai...!"
Terdengar orang memuja dan tongkatnya kembali tertangkis pedang lain. Tangan hwesio itu tergetar dan ia merasa telapak tangannya sakit sekali. Ia menjadi semakin kaget melihat penangkisnya seorang tosu tua yang memegang pedang di tangan. Celaka, pikirnya, kalau gadis tadi memiliki kiam-hoat yang amat cepat dan lihai, adalah tosu ini memiliki lweekang yang luar biasa kuatnya. Ia menarik napas panjang, cepat membungkuk untuk memberi hormat akan tetapi sekalian ia menyambar mayat kawannya, lalu memutar tubuh dan berlari cepat.
"Pinceng Ga Lung Hwesio tidak bersedia untuk bertempur, lain kali bertemu kembali."
Dengan kata-kata ini, ia lalu melompat ke atas punggung seekor kuda yang ternyata dilepas begitu saja di dekat tempat itu, lalu membalapkan tunggangannya. Baik Bi Hong maupun Lee Kek Tosu terkejut bukan main mendengar hwesio itu menyebut namanya Ga Lung Hwesio. Itulah orangnya, atau seorang di antaranya, yang dicari-cari oleh Bi Hong, musuh besar yang dulu sudah menyerbu tempat tinggal kong-kong dan ibunya. Akan tetapi mereka tidak berdaya mengejar karena hwesio itu sudah membalapkan kudanya dan sudah jauh sekali, tidak mungkin dikejar dengan lari cepat.
"Manusia-manusia sombong! Perlu apa kalian datang mengganggu aku?"
Tiba-tiba suara yang galak dan nyaring ini membuat dua orang kakak adik seperguruan itu memutar tubuh dan memandang kepada pemuda tegap yang kini sudah berdiri menghadapi mereka dengan dada terpentang. Pemuda itu benar-benar gagah sekali, akan tetapi mudah diduga bahwa dia keras hati dan keras kepala. Bi Hong adalah seorang gadis yang lincah gembira, akan tetapi mendengar suara dan melihat sikap yang galak ini naiklah darahnya. Ia menghadapi pemuda itu dan berkata mengejek.
"Setan, kenapa tingkahmu begini? Kalau tidak twa-suheng dan aku datang mengganggu, apakah kau sekarang bukannya sudah menjadi setan tak berkepala? Huh, ditolong orang tidak mengerti, malah memaki orang sombong. Yang sombong engkau, bukan kami."
Ditegur begitu, pemuda itu merah mukanya, akan tetapi matanya melotot berani kepada Bi Hong.
"Siapa membutuhkan pertolonganmu?"
"Eh, eh, sudah terang kau jatuh dan hampir dibinasakan hwesio itu, masih bilang tidak butuh pertolonganmu!"
Kata Bi Hong penasaran. Pemuda itu tersenyum mengejek.
"Aku belum mati, mana bisa dihitung kalah? Kalau kalian tidak datang mengganggu, hwesio jahanam itu pasti sudah mampus di tanganku. Hemm, kalian benar-benar mengganggu. Sudahlah!"
Pemuda itu memutar tubuh dan hendak pergi.
"Congsu (tuan gagah), tunggu dulu!"
Lee Kek Tosu berseru dan mengejar. Setelah pemuda itu membalikkan tubuh menghadapinya, sambil menjura tosu tua ini bertanya.
"Bolehkah pinto mengetahui congsu masih ada hubungan apa dengan Cheng Hoa Suthai dan kenapa congsu memusuhi Ga Lung Hwesio dari Lasha?"
Mendengar pertanyaan ini, baru Bi Hong ingat bahwa pertanyaan kedua itu penting sekali. Dia sendiri turun gunung dengan maksud membalas dendam kepada Ga Lung Hwesio dan Thu Bi Tan Hwesio, mengapa sekarang bocah kepala batu ini juga memusuhi Ga Lung Hwesio? Dengan matanya yang lebar dan bersinar tajam, bocah itu memandang Lee Kek Tosu lalu menjawab, suaranya nyaring dan mantap, tanda bahwa dia orang jujur, terbuka, keras hati dan tidak mau mengalah akan tetapi penuh dengan kegagahan dan keadilan.
"Cheng Hoa Suthai adalah sucouwku (nenek guru) dan aku tidak mengenal siapa itu Ga Lung Hwesio. Pendeknya, semua hwesio Tibet kepala gundul adalah musuh-musuhku yang harus kubunuh semua. Sudahlah, aku tidak ada waktu lagi, harus mengejar keledai gundul itu!"
Setelah berkata demikian pemuda itu melompat jauh dan berlari cepat sekali melakukan pengejaran.
"Twa-suheng, pemuda itu agaknya juga mempunyai permusuhan yang sama dengan kita,"
Kata Bi Hong.
"Mari kita juga menuju ke Lasha. Jika kita dan dia bekerja sama, kedudukan kita lebih kuat."
Lee Kek Tosu memandang sumoinya dengan sinar mata tajam menyelidik.
"Sumoi, bukankah karena kau mengkhawatirkan bocah itu dan ingin membantunya menghadapi para pendeta Lasha yang lihai?"
Bi Hong menjadi merah mukanya. Karena berkumpul sejak kecil, ia maklum bahwa pandangan twa-suheng ini tajam luar biasa. Iapun tidak bisa membohong terhadap twa-suheng ini, maka sambil mengangguk, ia menarik napas dan berkata,
"Pemuda itu kasar dan keras hati, suheng. Akan tetapi entah mengapa, aku mendapat perasaan bahwa dia bukan orang sembarangan, ada sifat-sifat gagah pada dirinya, dan tentu ia mengandung sakit hati besar sekali terhadap para pendeta di Lasha. Akan tetapi karena dia kasar dan sembrono, pasti dia akan celaka. Kitapun bertujuan mencari musuh besar kong-kong, terutama Ga Lung Hwesio yang lari ke Lasha, apakah tidak baik kita sekalian menyusul dan membantu pemuda itu?"
Lee Kek Tosu mengangguk-angguk, lega hatinya karena sumoinya tertarik dan kagum melihat pemuda itu adalah sewajarnya, bukan terselip kekaguman wanita terhadap pria.
"Memang perasaanmu tidak jauh dengan perasaanku, sumoi, Pemuda itu itu bukan sembarangan, dia murid Cheng Hoa Suthai yang terkenal ganas, akan tetapi pemuda itu sendiri gagah dan jujur. Akan tetapi, di daerah Tibet ini sejak dulu penuh dengan soal-soal penasaran, banyak terjadi penindasan dan sakit hati. Kalau kau menuruti hati dan perasaan, jangan-jangan akan terjadi apa yang dikhawatirkan oleh suhu, yaitu permusuhan yang tiada habisnya antara Tibet dan Kun-lun. Persoalanmu dengan para pendeta di Lasha seperti kata suhu adalah urusan Ayahmu, maka lebih baik kita mencari dulu Ayahmu sebelum turun tangan. Kalau kita salah tangan, bukankah suhu akan marah sekali?"
Bi Hong tidak dapat membantah. Memang ia tadi terlalu menurutkan nafsu, ingin lekas-lekas membalas musuh besarnya dan juga khawatir melihat pemuda tadi melakukan pengejaran seorang diri.
Urusan sendiri belum beres, mengapa melibatkan diri dengan urusan orang lain? Ia mengangguk dan dua orang itu lalu melanjutkan perjalanan mereka, tidak ke Lasha, melainkan ke Loka, dusun di lembah sungai Yalu-cangpo. Memang mendiang Ong Hui tidak banyak bercerita kepada para tosu Kun-lun-pai. Bagaimana nyonya muda itu dapat bercerita mengeluarkan isi hatinya tentang suaminya yang dirampas wanita lain? Ia menderita seorang diri, sama sekali tidak mau menceritakan pengalamannya ketika berhadapan dengan Ci Ying yang merampas suaminya. Oleh karena itulah, puterinya tidak mendengar banyak dari para tosu di Kun-lun. Bahkan To Gi Couwsu sendiri hanya tahu bahwa anak itu puteri Wang Sin murid Cin Kek Tosu dan bahwa Wang Sin berasal dari Loka.
Ong Hui menceritakan ke mana perginya Wang Sin, hanya bilang bahwa suaminya itu meninggalkannya untuk menyelesaikan urusan dendam para budak di Tibet. Maka ketika memasuki dusun Loka, Bi Hong dan Lee Kek Tosu sama sekali tidak tahu bahwa dusun ini sudah berubah banyak. Para hamba taninya sudah berganti lain orang, juga tuan tanahmya. Akan tetapi melihat cara para budak bekerja di sawah, tidak dijaga tukang-tukang pukul, bekerja rajin sambil bernyanyi-nyanyi, Bi Hong dan Lee Kek Tosu mengerti bahwa keadaan para budak itu tidak boleh dibilang sengsara, dan kenyataan bahwa mereka suka bekerja dengan gembira tanpa dijaga tukang pukul, membuktikan bahwa jaminan hidup mereka tentu saudah mencukupi. Mereka berhenti bekerja dan memandang dengan heran dan kagum ketika melihat kedatangan seorang gadis Han yang cantik jelita bersama seorang tosu.
"Apakah di antara saudara ada yang tahu di mana tempat tinggal seorang bernama Wang Sin?"
Tanya Bi Hong dalam bahasa Tibet yang fasih. Memang gadis ini, juga Lee Kek Tosu,
paham bahasa Tibet, bahkan Bi Hong sejak kecil sudah diberi pelajaran bahasa ini oleh To Gi Couwsu yang tahu bahwa Ayah anak ini adalah seorang Tibet. Tidak mengherankan apabila bahasanya cukup baik. Akan tetapi para budak itu tidak mengenal Wang Sin dan mereka menggeleng-geleng kepala setelah saling bertanya kalau-kalau ada yang mengenalnya. Tiba-tiba seorang kakek tua yang memegang cangkul membungkuk-bungkuk maju menghadapi Bi Hong. Wajah orang tua ini keriputan dan kulitnya coklat karena dimakan panas matahari. Matanya yang sipit hampir meram itu mengamat-amati Bi Hong, lalu ia bertanya.
"Nona masih ada hubungan apakah dengan orang yang bernama Wang Sin?"
Suaranya mengandung curiga dan pandang matanya menyelidik. Bi Hong dapat menangkap suara curiga ini, maka ia tersenyum manis untuk melegakan hati orang.
"Lopek,"
Katanya manis budi.
"Aku masih ada hubungan dekat dengan Wang Sin itu, apakah lopek kenal padanya dan di mana adanya dia sekarang?"
Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya lalu menarik napas panjang.
"Dia pahlawan besar... pahlawan besar..."
Setelah berkata demikian ia lalu kembali ke tempat kerjanya sambil berkata kepada kawan-kawannya.
"Kawan-kawan, hayo kita bekerja lagi, kita tidak bisa meninggalkan pekerjaan!"
Semua orang teringat akan pekerjaannya dan kembalilah mereka sibuk dengan pekerjaannya di sawah. Bi Hong girang sekali mendengar ucapan tadi, akan tetapi iapun heran mengapa kakek itu agaknya tidak suka banyak bercerita tentang Wang Sin, Ayahnya. Sambil berkedip pada twa-suhengnya, ia lalu menghampiri kakek itu dan berbisik.
"Lopek kau curiga padaku, itu sudah sepatutnya. Akupun tahu bahwa dia itu seorang pahlawan besar. Ketahuilah, aku ini puterinya dan semenjak kecil aku tidak melihat Ayahku itu. Aku hendak mencari dia, tolonglah kau memberi petunjuk."
Kakek itu tampak kaget lalu memandang Bi Hong penuh perhatian.
"Kau... kau tidak sama dengan Ci Ying, apa betul kau anak Ci Ying?"
"Bukan, lopek. Ibuku she Ong..."
"Ah, nyonya muda Han itu?"
Bi Hong terkejut dan makin girang. Tentu orang tua ini dapat bercerita banyak, maka ia lalu menggandeng tangannya diajak keluar dari sawah.
"Lopek tolonglah aku, ceritakanlah tentang Ayah. Biarkau tinggalkan pekerjaanmu sebentar, aku yang bertanggung jawab kalau tuan tanah marah kepadamu."
Bi Hong menepuk-nepuk gagang pedangnya. Kakek itu memandang kagum.
"Kau gagah, seperti dia...! Baiklah, dengar ceritaku."
Ia lalu duduk di galengan sawah dan bercerita, didengarkan oleh Bi Hong dan Lee Kek Tosu yang duduk di depannya, di atas tanah lempung. Berceritalah kakek itu tentang diri Wang Sin dan Ci Ying, bagaimana mereka menjadi korban tuan tanah sampai mereka itu lari minggat, bagaimana Ayah dua orang muda itu tewas oleh kaki tangan tuan tanah. Kemudian ia bercerita pula dengan gembira,
Betapa Wang Sin enam belas tahun yang lalu datang lagi dengan isterinya, seorang nyonya muda bangsa Han yang cantik dan gagah dan betapa suami isteri ini membasmi tuan tanah di Loka dan membebaskan semua budak yang tertindas. Juga ia ceritakan bagaimana kemudian muncul Ci Ying yang sudah berubah menjadi seorang wanita gagah yang amat ganas dan mengerikan, dan kemudian betapa isteri Wang Sin itu diserang oleh Ci Ying lalu pergi meninggalkan suaminya. Bi Hong mendengarkan cerita itu dengan amat terharu. Ia sampai mengucurkan air mata ketika mendengar penuturan tentang Ayahnya di waktu muda dan menggertakkan giginya mendengar penindasan tuan tanah. Akan tetapi ia berdebar dan menjadi pucat ketika mendengar tentang pertemuan Ci Ying, tunangan Ayahnya itu dengan ibunya sampai ibunya diserang kemudian ibunya pergi meninggalkan Ayahnya dan gadis Tibet itu.
"Kemudian bagaimana, lopek yang baik?"
Tanyanya, suaranya gemetar dan wajahnya masih pucat. Kakek itu sekarang percaya bahwa gadis ini benar-benar puteri Wang Sin dan nyonya Han itu, sekarang ia ingat bahwa wajah gadis ini memang sama dengan wajah nyonya Han yang menjadi isteri Wang Sin. Ia menghela napas dan melanjutkan penuturannya.
"Memang Ci Ying, gadis yang dulu riang jenaka itu telah berubah menjadi wanita ganas sekali. Ia membunuh-bunuhi kaki tangan tuan tanah dengan amat kejam. Kemudian Wang Sin dan Ci Ying mengawal kami para budak untuk melarikan diri ke timur. Semua budak sudah pergi membawa bekal yang cukup untuk memulai hidup baru. Jasa mereka amat besar, selama hidup akan diingat oleh kami bangsa budak. Sayang sekali dalam kehidupan Wang Sin muncul peristiwa yang amat sulit dan ruwet antara dia, isterinya orang Han itu, dan tunangannya. Aku sendiri setelah merantau sepuluh tahun lebih, tidak dapat menahan rinduku akan kampung halaman di Loka di mana aku dilahirkan dan dibesarkan, biarpun dalam keadaan menderita maka aku lalu kembali ke sini, bekerja lagi sebagai budak. Akan tetapi, keadaannya sekarang lain. Para budak tidak tertindas seperti dulu. Kalau masih seperti dulu, mana aku sudi bekerja lagi seperti budak?"
Saking bingung dan terharunya mengingat akan nasib yang diderita oleh ibunya, sampai lama Bi Hong tidak dapat berkata-kata. Adalah Lee Kek Tosu yang berkata.
"Terima kasih banyak atas semua penuturanmu, loheng. Hanya sekarang kami mohon keterangan penting darimu. Apakah kau tahu, di mana sekarang kami dapat menjumpai Wang Sin?"
"Mana aku bisa tahu? Dia dan Ci Ying setelah mengantar kami sampai jauh, lalu pergi dan sampai sekarang tidak pernah muncul kembali. Akan tetapi, perbuatannya yang gagah dan mulia itu ternyata telah membuat para tuan tanah berubah dan kehidupan para budak sekarang tidak begitu buruk seperti dahulu. Sampai mati aku tak dapat melupakan Wang Sin dan Ci Ying!"
Karena tidak bisa mendapatkan keterangan yang lebih jelas tentang di mana adanya Ayahnya, setelah berada di dusun tempat kelahiran Ayahnya itu selama tiga hari, Bi Hong dikawani twa-suhengnya, lalu mulai dengan perjalanannya mencari Wang Sin. Banyak dusun mereka jelajahi dan ternyata nama Wang Sin dan Ci Ying terkenal sekali, dikenal oleh hampir semua budak di daerah itu.
Akan tetapi sungguh menyedihkan sekali, keadaan para budak yang baik nasibnya atau setidaknya yang tidak begitu tertindas lagi oleh tuan tanah dan begundal-begundalnya hanyalah di dusun Loka itulah. Di dusun-dusun lain, keadaan masih seperti dahulu ketika Wang Sin masih menjadi budak. Sampai berbulan-bulan Bi Hong dan Lee Kek Tosu mencari Wang Sin di dusun-dusun sekitar Tibet, namun hasilnya sia-sia, bukan saja Wang Sin tidak dapat ditemukan, bahkan namanya hanya dikenal di kalangan budak sebagai dongeng seorang pahlawan budak. Memang, semenjak berabad-abad para budak ini hidup seperti hewan ternak, tidak ada yang memikirkan nasib mereka, jangankan membela. Maka pembelaan Wang Sin untuk membebaskan para budak di Loka merupakan hal yang mirip dengan dongengan bagi mereka itu.
"Suheng, kiranya sudah cukup kita mencari Ayah di daerah ini. Ayah tidak ada di sini dan kurasa kalau Ayah tidak pindah ke timur, tentu Ayah berada di Lasha,"
Akhirnya Bi Hong berkata kepada suhengnya dengan hati kecewa.
"Tidak mungkin di Lasha. Di sana berkumpul musuh-musuh besar Ayahmu, mana bisa ia tinggal di sana? Agaknya betul kalau dia sudah pindah jauh dari Tibet yang kini menjadi tempat berbahaya baginya karena semua pendeta tentu memusuhinya setelah dia membunuh pendeta-pendeta di Loka."
"Suheng, pesanan suhu untuk mencari Ayah lebih dulu sudah kita penuhi, sekarang setelah tidak berhasilmencari Ayah, aku mau langsung saja pergi ke Lasha untuk mencari Ga Lung Hwesio dan Thu Bi Tan Hwesio."
"Apa kau sudah pikir masak-masak akan hal ini, sumoi? Di Lasha berkumpul banyak pendeta-pendeta yang sakti."
"Apa kau takut, suheng? Biarlah siauwmoi pergi sendiri dan twa-suheng kembali saja ke Kun-lun-pai memberi laporan kepada suhu."
Lee Kek Tosu mengerutkan keningnya.
"Kau bicara apa ini, sumoi? Kau yang masih begini muda tidak gentar menghadapi musuh, apakah kau kira aku yang sudah tua takut mati? Tugasku membantu dan melindungimu, biar bertaruh-kan nyawa sekalipun pinto harus mengawanimu ke Lasha."
Bi Hong cepat-cepat menjura kepada suhengnya minta maaf, hatinya gembira. Memang dengan bantuan suhengnya ini, ia tidak takut biarpun mendengar di Lasha banyak terdapat orang-orang sakti. Sebagai seorang harimau betina yang muda mana ia takut melawan musuh? Maka ia segera mengajak suhengnya berangkat ke Lasha dengan penuh kegembiraan.
Berbeda dengan sumoinya, diam-diam Lee Kek Tosu berkhawatir karena tosu ini sudah cukup maklum bahwa tempat yang mereka tuju adalah pusat di mana berkumpul hwesio-hwesio Tibet yang berilmu tinggi. Ia tidak takut akan keselamatan diri sendiri, melainkan mengkhawatirkan keselamatan sumoinya yang masih begini muda. Pada suatu hari mereka tiba di luar kota Lasha, di sebelah timur kota kurang lebih dua puluh lie dari kota Lasha. Karena hari itu amat panasnya, mereka menjadi lelah dan beristirahat di bawah pohon yang teduh, yang tumbuh di pinggir jalan. Bi Hong mengeluarkan makanan kering yang dibekalnya dan Lee Kek Tosu mengeluarkan tempat airnya untuk minum. Sudah hampir satu tahun dua kakak beradik seperguruan ini merantau di daerah Tibet dan perhubungan mereka sudah seperti kakak dan adik atau malah seperti keponakan dan paman.
"Twa-suheng, kau banyak membuang waktu dan tenaga untuk kepentinganku. Benar-benar kau seorang suheng yang amat baik,"
Kata Bi Hong terharu melihat kakek yang sudah tua itu menenggak air. Lee Kek Tosu tersenyum.
"Sumoi, mengapa kau mengeluarkan kata-kata sungkan? Semenjak kau masih bayi, aku sudah berada di sampingmu, malah dahulu akulah yang menggendongmu dan menimang-nimangmu. Terhadap kau, aku adalah suheng menurut hubungan perguruan, akan tetapi di dalam hatiku kau tiada bedanya seperti anak, keponakan, atau cucuku sendiri."
Bi Hong terharu, akan tetapi karena dia mempunyai watak gembira, ia tertawa.
"Twa-suheng, mana kau pantas menjadi engkong (kakek). Eh, twa-suheng, apakah kau dahulu tidak mempunyai keluarga sama sekali?"
Ditanya begini, wajah kakek itu menjadi muram.
"Dahulu aku mempunyai seorang isteri, akan tetapi... kami tidak cocok pikiran, kami cekcok lalu...lalu bercerai. Semenjak itu aku masuk menjadi tosu."
Bi Hong menyesal telah mengajukan pertanyaan itu yang berarti mengingatkan twa-suhengnya kepada pengalaman yang tidak bahagia itu. Ia tidak tahu bahwa sebetulnya dahulu ketika masih muda, isteri twa-suhengnya itu tidak setia dan melakukan perbuatan hina dengan seorang teman baik suhengnya itu sendiri.
Dalam kemarahannya, twa-suhengnya itu membunuh teman dan isterinya, kemudian merasa menyesal dan menjadi seorang tosu di Kun-lun-pai, menjadi murid kepala dari To Gi Couwsu. Ini pula sebabnya mengapa melihat nasib Ong Hui, seorang isteri yang amat setia akan tetapi ditinggalkan suaminya, Lee Kek Tosu merasa kasihan dan terharu sekali karena Ong Hui mempunyai watak baik dan nasib yang sebaliknya dari pada isterinya. Maka tidak mengherankan apabila ia menyayang puteri Ong Hui dan menganggap Bi Hong seperti anak sendiri. Selagi Lee Kek Tosu dan Bi Hong bercakap-cakap sambil mengasoh di bawah pohon yang rindang, tiba-tiba dari jurusan timur mendatangi empat orang hwesio. Langkah kaki mereka yang ringan dan gerakan yang cepat dalam berlari menandakan empat orang hwesio itu adalah orang-orang yang memiliki ginkang tinggi dan berkepandaian.
Nona Berbaju Hijau Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hwesio-hwesio itu tentu hwesio dari Lasha dan hendak pergi ke kota itu,"
Kata Lee Kek Tosu.
"Lebih baik kita jangan mencampuri urusan di sini, kita baik menyimpan tenaga untuk menghadapi musuh-musuh kita yang sebenarnya."
Akan tetapi setelah hwesio-hwesio itu datang dekat Bi Hong mengeluarkan seruan marah.
"Ihhh, bukankah dia si jahanam Ga Lung Hwesio!"
Ia melompat sambil menghunus pedangnya. Lee Kek Tosu juga melihat bahwa seorang yang berlari di pinggir kiri adalah Ga Lung Hwesio, maka iapun ikut bersiap sedia.
"Bagus,"
Katanya.
"Kita tak usah sukar-sukar mencari!"
Ga Lung Hwesio juga sudah melihat nona dan tosu itu. Ia menghentikan larinya dan berkata kepada kepada tiga orang kawannya itu.
"Harap samwi suheng (kakak seperguruan bertiga) berhenti sebentar. Siluman betina dan tosu bau dari Kun-lun-pai ini agaknya hendak menghadang kita."
Lee Kek Tosu memperhatikan tiga orang hwesio yang disebut suheng oleh Ga Lung Hwesio. Mereka ini adalah orang-orang Tibet asli, bertubuh tinggi besar berkulit hitam. Melihat sinar mata mereka, dapat diduga bahwa mereka adalah ahli-ahli lweekang yang tidak boleh dipandang ringan. Sebelum Bi Hong mengeluarkan suara, Lee Kek Tosu yang tidak ingin menanam bibit permusuhan dengan orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan urusan mereka, cepat menjura kepada tiga orang hwesio hitam itu dan berkata.
"Pinto dan sumoi mempunyai permusuhan dengan dua orang hwesio Lasha, yaitu Ga Lung Hwesio dan Thu Bi Tan Hwesio. Dengan para losuhu yang lain, kami berdua tidak mempunyai urusan dan tidak ingin menimbulkan keributan."
Ga Lung Hwesio mengeluarkan suara mengejek dan seorang di antara tiga orang hwesio tinggi besar itu menjawab,
"Kami bertiga, Ge Khan, Ge Bun, dan Ge Thun adalah tiga orang murid Thu Bi Tan suhu. Entah urusan apa yang hendak toyu bereskan dengan suhu dan Ga Lung sute?"
Kagetnya hati Lee Kek Tosu bukan main mendengar bahwa tiga orang hwesio ini adalah murid-murid Thu Bi Tan Hwesio. Tidak bisa lain, ia harus menggempur mereka semua karena sebagai murid-murid Thu Bi Tan, tentu saja mereka akan membela guru mereka. Sementara itu Bi Hong sudah membentak Ga Lung Hwesio.
"Ga Lung Hwesio, bukankah kau bersama Thu Bi Tan Hwesio belasan tahun yang lalu telah menyerbu ke Kun-lun dan membinasakan Ong Bu Khai, Cin Kek Tosu, dan merusak tempat tinggalnya?"
Ga Lung Hwesio tertawa lagi.
"Betul kata-katamu. Dua orang itu telah membiarkan murid-murid mereka melakukan pengacauan di Loka dan karenanya kami telah menghukum mereka. Apa hubungannya dengan kamu?"
Muka Bi Hong menjadi merah dan matanya berapi-api,
"Hwesio keparat! Ketahuilah, bahwa aku Wang Bi Hong adalah cucu Ong Bu Khai. Ga Lung Hwesio, hutang nyawa bayar nyawa, bersiaplah kau untuk mati!"
"Ha-ha-ha, begitukah? Kiranya masih ada buntutnya peristiwa itu. Kau ini bocah kemaren sore, sombong amat hendak melawan Ga Lung Hwesio? Ha-ha-ha!"
"Hwesio tengik lihat pedang!"
Cepat sekali pedang Bi Hong menyambar ke arah leher hwesio itu. Ga Lung Hwesio sudah pernah menyaksikan kelihaian dan kecepatan pedang Bi Hong ketika nona ini membantu Kalisang, maka ia tidak berani berlaku sembrono. Biarpun mulutnya mentertawakan karena ia berada di dekat para suhengnya, namun di dalam hati ia tidak berani memandang rendah. Ia lalu mengelak dan menggerakkan toyanya. Di saat lain mereka sudah bertempur hebat sekali.
Tiga orang hwesio itu bukanlah hwesio sembarangan. Tingkat mereka malah lebih tinggi dari tingkat Ga Lung Hwesio yang terhitung sutenya, karena mereka ini adalah tiga orang murid Thu Bi Tan Hwesio dan di Lasha mereka mempunyai kedudukan yang cukup tinggi. Oleh karena itu, mereka tentu saja tidak sudi melakukan pengeroyokan dan hanya melihat saja sute mereka bertanding dengan gadis itu. Apalagi kalau mereka ingat bahwa sute mereka itu jauh lebih tua dari pada lawannya dan dalam hal ilmu silat, dilihat sekelebatan saja sute mereka takkan kalah. Lee Kek Tosu juga maklum akan hal ini dan iapun tidak berani sembarangan turun tangan membantu sumoinya yang berarti mengeroyok Ga Lung Hwesio. Kalau ia terjun mengeroyok, maka tiga orang hwesio itupun mendapat alasan untuk turun tangan mengeroyok pula. Oleh karena itu, tosu yang cerdik ini lalu menjura kepada mereka sambil berkata.
"Karena Thu Bi Tan adalah suhu sam-wi, untuk menentukan siapa yang lebih unggul, pinto persilahkan di antara sam-wi maju mewakili suhu sam-wi. Pinto percaya penuh mengingat kedudukan kita, sam-wi tidak akan begitu rendah untuk melakukan pengeroyokan!"
Di antara tiga orang hwesio ini, kepandaian Ge Khan hwesio yang paling tinggi, juga dia yang paling tua dan paling berangasan. Mukanya menjadi makin hitam ketika mendengar ucapan itu.
"Tosu Kun-lun! Kau anggap pinceng ini siapakah maka mengeluarkan kata-kata demikian? Untuk menghadapi seorang tosu seperti kamu, pinceng seorang diri, sudah lebih dari cukup, untuk apa mencapaikan suhu? Sambutlah toyaku!"
Ge Khan Hwesio sudah menerjang maju dengan memutar toyanya yang mendatangkan angin bersiutan. Lee Kek Tosu bersikap waspada, cepat melompat mundur mencari tempat yang lega sambil menghunus pedangnya.
Dua orang kakek jagoan ini lalu mulai bertempur. Dua orang hwesio yang lain hanya menonton sambil menahan napas karena sudah dapat dilihat bahwa pertempuran-pertempuran itu, baik sute mereka Ga Lung Hwesio yang melawan nona itu, maupun Ge Khan Hwesio yang melawan tosu, adalah pertempuran mati-matian yang seimbang. Pedang nona itu cepat dan lihai, sedangkan pedang di tangan tosu itu mantap dan tenang, keduanya merupakan lawan yang amat berat. Pertempuran antara Ga Lung Hwesio dan Bi Hong lebih ramai kelihatannya karena jalannya lebih cepat. Hal ini adalah karena kelihaian ilmu pedang Bi Hong memang terletak kepada kecepatan dan kelincahannya. Ilmu pedangnya memang tidak ada bedanya dengan suhengnya, akan tetapi kalau Bi Hong dapat mewarisi kecepatannya adalah Lee Kek Tosu mewarisi kekuatannya.
Inipun tidak aneh kalau diingat bahwa waktu yang dipergunakan oleh Lee Kek Tosu lebih lama dan tosu inipun lebih kuat ilmu batinnya, maka tentu saja memiliki lweekang yang lebih dalam. Dengan kecepatan gerakan pedangnya Bi Hong dapat membuat Ga Lung Hwesio menjadi sibuk sekali. Dalam jurus ke tujuh puluh ujung pedang Bi Hong yang berkelebat-kelebat seperti kilat menyambar telah berhasil melukai ujung pundak kiri Ga Lung Hwesio. Bukan main marah, kaget dan penasaran rasa hati hwesio ini. Ia mengempos semangatnya, mengerahkan lweekangnya dan pandangannya menjadi amat tajam menusuk, mulutnya bergerak-gerak dan sambil melayani serangan-serangan Bi Hong, ia berkata, suaranya halus dan manis seperti seorang ibu membujuk anaknya.
"Nona Wang Bi Hong, kau tentu lelah... lelah sekali. Untuk apa bertempur terus? Lebih baik mengaso... ah, nyamannya angin, enaknya mengaso dan tidur..."
Inilah ilmu yang disebut "Merampas semangat"
Atau semacam ilmu hypnotisme yang menguasai semangat dan pikiran orang. Suaranya lemah lembut dan manis, sungguh jauh bedanya dengan mata yang berubah seperti mata setan itu. Bi Hong tidak tahu mengapa musuhnya bicara seperti itu, akan tetapi ia benar-benar merasa lelah dan ingin sekali mengaso. Hanya karena merasa heran akan sikap musuhnya, ia mempertahankan diri dan mencoba untuk membantah kehendak pikirannya.
"Nona, bukankah kita sudah bertempur seratus jurus lebih?"
Kembali hwesio itu bertanya dengan suara halus. Entah mengapa, di luar kehendaknya mulut Bi Hong menjawab.
"Betul, seratus jurus lebih."
Sambil berkata demikian, ia masih mengirim tusukan yang dapat ditangkis oleh hwesio itu. Bi Hong merasa bahwa tangkisan itu tidak bertenaga, maka ia girang sekali dan terus mendesak. Ia tidak tahu bahwa karena tenaga lweekangnya dikerahkan untuk menjalankan ilmu "Merampas semangat"
Itu, maka tentu saja tenaga Ga Lung Hwesio menjadi banyak berkurang.
"Kalau begitu, tentu enak mengasoh, bukan?"
Hwesio itu menyusul pertanyaannya cepat-cepat.
"Yah... tentu enak sekali..."
Jawab Bi Hong dan otomatis ia memperlambat serangannya, merasa lelah dan ingin mengaso.
"Kalau begitu mengasohlah, duduklah, tidurlah..."
Suara Ga Lung Hwesio itu mendesak dan mempunyai pengaruh luar biasa besarnya. Lee Kek Tosu sudah berpengalaman luas, mendengar pula suara-suara ini dan tahulah ia apa yang akan dilakukan oleh Ga Lung Hwesio terhadap sumoinya. Ia melihat gerakan sumoinya makin lemah dan bukan main gelisahnya.
"Sumoi, jangan dengarkan dia. Lawan terus!"
Ia berseru dan karena perhatiannya terpecah inilah maka dia membuka lowongan dalam pertahanan sinar pedangnya. Lawannya Ge Khan Hwesio yang berilmu tinggi melihat lowongan ini. Tadinya hwesio ini biarpun memiliki tenaga yang lebih besar, merasa bingung karena biarpun ia berada di pihak yang mendesak, namun pertahanan pedang lawannya amat kuat dan tidak dapat ditembus oleh toyanya. Sekarang, pada saat tosu itu mengkhawatirkan keselamatan sumoinya dan memecahkan perhatian, kelihatan lowongan itu. Cepat toyanya menyambar ke depan, dan... lambung Lee Kek Tosu sudah terkena sodokan toya dengan tepat sekali. Tosu itu mengeluarkan jerit tertahan, mukanya pucat dan tubuhnya terdorong ke belakang. Dengan tangan kiri ia menekan lambungnya lalu mulutnya dipentang dan darah segar tersembur keluar.
Ge Khan Hwesio tertawa terbahak, akan tetapi tiba-tiba berseru kesakitan. Ketika ia sedang tertawa karena girang tadi, Lee Kek Tosu yang sudah menderita luka hebat sekali, setelah memuntahkan dara segar lalu mengayunkan tangannya yang memegang pedang. Pedang meluncur bagaikan naga terbang menyambar ke arah tenggorokan Ge Khan Hwesio. Inilah gerak tipu Sin-liong-hian-bwe (Naga Sakti Mengulur Ekornya), sebuah jurus terakhir dari ilmu pedangnya yang amat lihai. Jurus ini memang dipelajari untuk dipergunakan pada saat terakhir setelah menderita luka untuk membalas lawan. Ge Khan Hwesio melihat berkelebatnya sinar pedang cepat miringkan tubuh, namun tetap saja pedang itu mengenai pundak kirinya, amblas dibawah tulang pundak sampai menembus ke belakang.
Biarpun tidak binasa karena luka itu, harus diakui bahwa rasa sakitnya luar biasa sekali dan merupakan luka yang cukup hebat. Ge Khan Hwesio terhuyung dan roboh pingsan dalam pelukan Ge Bun Hwesio yang cepat menolong suhengnya itu. Adapun Lee Kek Tosu sendiri sudah roboh dan tewas tak lama kemudian. Isi perutnya telah rusak oleh sodokan toya yang dilakukan dengan pengerahan tenaga lweekang. Sementara itu, ketika Bi Hong tadi sudah hampir terjatuh ke dalam pengaruh sihir Ga Lung Hwesio, tiba-tiba suhengnya memberi ingat. Ia kaget dan mengempos semangat untuk melawan pengaruh itu sambil mempercepat gerakan pedangnya. Namun Ga Lung Hwesio juga memperhebat tenaga batinnya, lalu berkata keras.
"Nona, kau lelah sekali. Kau sudah tidak kuat lagi. Kau duduklah!"
Seperti ada dua tangan yang tidak kelihatan menekan pundak Bi Hong. Gadis ini tidak dapat mempertahankan diri lagi, tubuhnya tiba-tiba terasa lemah tidak bertulang agaknya dan otomatis mendengar seruan ini ia lalu jatuh duduk di atas tanah dengan pedang masih di tangannya. Ga Lung Hwesio tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia cepat melangkah maju untuk menjatuhkan pukulan maut dengan tongkat bambunya. Tiba-tiba pada saat itu terdengar suara melengking keras dan tinggi, suara aneh sekali, yang bukan seperti suara manusia, lebih menyerupai suara seruling yang ditiup dengan tenaga luar biasa dan dengan nada yang amat tinggi.
Berbareng dengan suara itu, tanpa terlihat oleh mata semua orang, dua butir batu kecil sekali menyambar dan sebutir menyambar tongkat Ga Lung Hwesio menahan serangan maut tongkat itu, yang sebutir lagi menotok jalan darah di tengkuk Bi Hong. Sambaran batu kecil yang tidak kelihatan pada tongkat amat hebat karena tiba-tiba Ga Lung Hwesio merasa tongkatnya tertolak balik ke arah dirinya. Ia mengira bahwa gadis yang diserangnya masih bisa menangkis. Akan tetapi totokan batu pada tengkuk gadis itu lebih lihai. Begitu terkena sambaran batu pada jalan darah di tengkuknya, sekali gus Bi Hong sadar dari pengaruh ilmu sihir Ga Lung Hwesio. Seperti disiram air dingin gadis itu sadar dari keadaannya yang lemah tadi. Ia melihat hwesio musuhnya itu sedang melangkah dua tindak ke belakang sambil mengawasi tongkatnya dengan mata heran.
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Bi Hong. Dengan pekik dahsyat gadis ini lalu meloncat, menggunakan gerakan Sin-wan-teng-ki (Monyet Sakti Loncat Cabang) disusul dengan gerak tangan Giok-li-sia-niau (Dewi Memanah Burung) pedangnya meluncur ke depan mengirim tusukan maut. Ga Lung Hwesio yang sedang terkejut dan heran, mana bisa menduga datangnya serangan ini? Ia terkejut akan tetapi tahu-tahu pedang itu telah menikam hulu hatinya. Ia memekik dan ketika pedang ditarik kembali, tubuhnya terjengkang roboh mandi darah dan tewas seketika itu juga. Ge Bun Hwesio sedang memondong suhengnya, Ge Khan Hwesio yang terluka berat di pundaknya. Melihat Ga Lung Hwesio tewas, Ge Thun Hwesio dengan marah maju hendak menyerang Bi Hong. Akan tetapi lagi-lagi sebuah batu kecil memukul pergelangan tangannya.
"Traaanggg...!"
Toya yang dipegangnya terlepas. Hwesio ini kaget sekali dan tidak jadi menyerang melainkan menyambar mayat Ga Lung Hwesio, kemudian bersama Ge Bun Hwesio yang memondong tubuh Ge Khan Hwesio, mereka lari cepat-cepat meninggalkan tempat itu menuju ke Lasha. Bi Hong tidak memperdulikan mereka. Musuh besarnya hanyalah Ga Lung Hwesio dan tiga orang hwesio lain itu bukan musuhnya. Akan tetapi ia terkejut dan sedih sekali ketika menengok ke arah suhengnya dan melihat tosu itu sudah roboh tak bernyawa lagi. Ia
menubruk tosu itu dan menangis sedih.
"Twa-suheng kau... kau telah mengorbankan nyawa untukku..."
Ia ingat bahwa tadi lawan twa-suhengnya juga terluka hebat, pedang suhengnya menancap di dada lawan itu yang tubuhnya dibawa pergi oleh hwesio lain. Ia menduga bahwa lawan twa-suhengnya itupun tewas. Setelah menangis sedih, gadis itu lalu berlutut dengan kedua tangan dibentangkan ke atas, ia berkata.
"Kong-kong, ibu..., supek-couw..., aku telah berhasil membunuh Ga Lung Hwesio. Seorang musuh besar yang menyebabkan kematian kalian dan menebus dosa. Hwesio jahat yang menghina Kun-lun-pai telah berkurang satu. Hanya tinggal seorang lagi. Thu Bi Tan si keparat!"
Setelah berdoa demikian ia lalu menangisi lagi mayat twa-suhengnya. Pada saat itu, terdengar suara orang batuk-batuk dan muncullah seorang pemuda yang berpakaian sederhana, berwajah tampan gagah dan bertubuh kekar.
"Aduh, kasihan!"
Kata pemuda itu sambil memandang dan tidak berani terlalu mendekati nona itu. Sinar mata pemuda itu yang tadinya berseri, dan wajahnya yang membayangkan kegembiraan, untuk sedetik menjadi lembut.
"Nona, apakah dia Ayahmu?"
Mendengar suara orang, Bi Hong menengok dan memandang pemuda itu melalui air matanya. Akan tetapi mendengar orang bertanya apakah yang mati itu Ayahnya, sekaligus membuat dia
teringat akan Ayah bundanya, ibunya sudah mati dan Ayahnya tidak tahu di mana adanya. Tadinya masih ada twa-suhengnya yang amat baik kepadanya seperti Ayah sendiri, sekarang dia benar-benar merasa sebatang kara sehingga pertanyaan ini memancing keluar air matanya lebih deras. Pemuda ini menduga bahwa si tosu adalah Ayah nona itu karena tadi ia mendengar nona itu berdoa kepada kong-kong, ibu dan supek-couw, tanpa menyebut Ayahnya. Maka ia menduga yang tewas adalah Ayah nona itu. Sekarang melihat nona itu makin sedih, dugaannya makin kuat. Ia berlutut dan berkata menghibur.
"Nona, setiap orang takkan terluput dari pada kematian. Ada lahir dan mati, maka soal kematian adalah wajar dan tidak perlu disedihkan. Yang penting adalah cara manusia mati. Sekelebatan tadi aku melihat bahwa kau dan Ayahmu bertempur melawan orang-orang berkepala gundul. Tentu mereka itu orang jahat dan kalau Ayahmu tewas dalam melawan orang jahat, boleh dibilang matinya itu mati sebagai orang gagah. Tidak perlu penasaran."
Ucapan itu dikeluarkan dengan nada menghibur dan amat halus penuh perasaan, maka sedikit banyak dapat menghibur juga hati Bi Hong. Ia menyusuti air matanya lalu berkata.
"Dia bukan Ayahku, dia twa-suhengku. Aku berduka karena twa-suheng telah tewas dalam membela urusanku, dia tewas karena aku. Siapa tidak menjadi sedih dan terharu?" Pemuda itu mengangguk-angguk, diam-diam heran sekali bagaimana seorang nona muda belia ini menjadi saudara seperguruan seorang kakek tua. Akan tetapi mulutnya berkata memuji,
"Kalau begitu lebih sempurna lagi matinya. Mati dalam membela orang lain hanya dapat dilakukan oleh orang gagah dan mulia. Lebih baik kau segera menguburnya nona, dan mari aku membantumu."
Tiba-tiba Bi Hong meloncat berdiri. Ia makin bernafsu untuk segera mengejar hwesio-hwesio itu dan memasuki Lasha untuk mencari Thu Bi Tan Hwesio dan sekalian membalaskan kematian twa-suhengnya. Akan tetapi pemuda ini tidak dikenalnya dan bagaimana dia bisa muncul di tempat sunyi ini.
"Siapakah kau?"
Tanyanya sambil meraba gagang pedang. Pemuda itu nampak terkejut melihat nona itu meraba gagang pedang.
"Aku... aku seorang pelancong, nona. Namaku Yalu Sun. Bolehkah aku ketahui siapa nona dan kenapa bersama totiang ini sampai bertempur dengan hwesio di tempat ini?"
Melihat pemuda itu terkejut ketika ia meraba gagang pedang dan melihat sikap dan gerak gerik pemuda itu seperti seorang yang lemah, Bi Hong tidak menaruh banyak perhatian. Ia merogoh saku dan mengeluarkan sepotong emas, lalu memberikan potongan emas itu kepada si pemuda sambil berkata.
"Saudara, kau tolonglah aku, kuburkan jenazah suhengku ini di sini. Terimalah sedikit hadiah ini dariku. Aku sendiri hendak cepat-cepat mengejar hwesio-hwesio jahat itu untuk membalaskan kematian twa-suheng."
Pemuda itu mengerutkan kening dan memandang potongan emas di tangan nona itu tanpa menggerakkan tangan untuk menerimanya. Ia menggelengkan kepala lalu berkata,
"Sudah semestinya sesama manusia saling menolong di tengah jalan. Aku akan mengurus penguburannya, nona, dan aku tidak membutuhkan hadiah. Yang perlu hanya mengenal namamu dan nama totiang ini agar kalau ada orang lewat dan bertanya, aku dapat menjawab dan tidak timbul persangkaan yang bukan-bukan."
Muka Bi Hong menjadi merah. Ia merasa jengah menghadapi orang yang bersikap begini baik, tidak mau menerima hadiah emas. Padahal jarang ada orang yang menolak hadiah sebanyak itu. Dengan bersyukur ia menjura sambil berkata,
"Aku Wang Bi Hong, merasa berterima kasih kepadamu, saudara Yalu Sun. Namamu akan selalu kuingat dan biarlah lain waktu aku akan mendapat kesempatan untuk membalas budimu ini."
Pemuda itu memandang kepadanya dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar dan pada saat itu, hati Bi Hong berdebar aneh. Entah bagaimana, dalam saat itu si pemuda kelihatan gagah dan tampan sekali dalam pandangan matanya dan ia makin berterima kasih.
"Jangan sungkan-sungkan nona Bi Hong. Aku hanya mewakili kau mengurus jenazah, akan tetapi... dia ini, dia telah mengorbankan nyawa untukmu. Totiang ini jauh lebih baik daripadaku."
Ia balas menjura dan berdiri memandang seperti orang termenung ketika nona itu membalikkan tubuh dan mempergunakan ilmu lari cepat melesat ke arah kota Lasha.
Kemudian ia menarik napas panjang dan mulai menggali tanah dengan... sepuluh jari tangannya. Kalau saja Bi Hong berada di situ tentu gadis ini akan melongo keheranan melihat betapa jari tangan dapat dipergunakan seperti cangkul dan dapat membongkar tanah keras demikian mudahnya. Hanya seorang yang memiliki lweekang tinggi sekali yang mampu bekerja seperti itu. Padahal kejadian ini tidak perlu mendatangkan keheranan kalau saja orang tahu bahwa pemuda ini, Yalu Sun namanya, adalah ahli waris tunggal dari ToTek Cinjin yang berjuluk Pek-kong Kiam-sian, tokoh sakti yang aneh jarang keduanya. Biarpun di ibukota Tibet pada waktu itu sudah bukan merupakan pemandangan asing lagi kalau melihat orang-orang Han, namun sekiranya bukan pada hari itu Bi Hong memasuki Lasha, tentu ia akan menarik perhatian orang juga.
Orang-orang Han yang terdapat di kota Lasha adalah orang-orang pria adapun wanitanya biarpun ada juga, yakni keluarga-keluarga para pendatang bangsa Han, namun jarang keluar dari rumah. Apalagi Bi Hong merupakan seorang gadis muda cantik dan gagah membawa-bawa pedang. Pasti menimbulkan kecurigaan. Akan tetapi untung baginya, hari itu adalah hari istimewa. Hal ini dapat dilihat ketika ia memasuki pintu gerbang kota Lasha, selain dia juga banyak terdapat orang-orang Han, malah ada juga beberapa orang wanita tua yang nampaknya gagah dan orang-orang perantauan atau orang kang-ouw. Maka penjaga pintu gerbang juga tidak bercuriga kepoadanya, malah seperti terhadap para tamu bangsa Han yang lain, penjaga-penjaga itu menjura dengan hormat sambil mulutnya mengucapkan dalam bahasa Tibet.
"Selamat datang di Lasha."
Bi Hong dapat merasai keramaian ini maka ia lalu mengikuti orang-orang Han yang berbondong-bondong menuju ke suatu tempat. Di antara rombongan ini terdapat banyak pula orang-orang suku bangsa lain, akan tetapi semua kelihatan gagah dan orang-orang yang sudah biasa melakukan perjalanan jauh.
Memang ada kejadian luar biasa di Lasha. Hari itu seorang tuan tanah kaya raya sedang merayakan pesta pernikahan seorang puterinya, dan selain tuian tanah kaya, dia juga seorang bangsawan yang menduduki pangkat tinggi. Karena calon mantunya adalah ahli silat, seorang murid Cheng-hoa-pai, tentu saja tamu-tamunya terdiri dari ahli-ahli silat dari barat dan timur, maka munculnya banyak orang kang-ouw di situ bukan soal yang mencurigakan. Siapakah yang mengadakan pesta? Bukan lain ialah Yang Nam, bekas putera tuan tanah di Loka yang kini sudah menjadi seorang bangsawan di Lasha. Dan siapa mantunya? Dia adalah... Kalisang, pemuda kasar pemarah tapi gagah yang pernah dijumpai Bi Hong dan
suhengnya, ketika pemuda ini bertempur dengan Ga Lung Hwesio beberapa bulan yang lalu. Siapakah sebetulnya pemuda gagah itu dan bagaimana dia bisa menjadi mantu Yang Nam?
Untuk mengetahui semua ini, baiklah kita mundur dulu dan berkenalan dengan pemuda itu yang bernama Kalisang. Seperti telah dituturkan di bagian depan, Wang Sin dan Ci Ying telah mendapat pertolongan tepat pada waktunya oleh Cheng Hoa Suthai ketika kedua orang muda itu terancam bahaya di tangan Ga Lung Hwesio dan kawan-kawannya. Kemudian mereka diajak oleh ketua Cheng-hoa-pai itu ke Heng-toan-san. Wang Sin tidak dapat membantah lagi, pertama karena sudah timbul lagi kasih sayangnya yang dahulu kepada Ci Ying, kedua karena dia merasa kasihan dan berat untuk meninggalkan tunangannya, dan ketiga karena ada tekanan dari Cheng Hoa Suthai yang lihai. Malah ia tidak dapat membantah lagi ketika di Heng-toan-san ia dikawinkan dengan Ci Ying oleh partai itu. Wang Sin hidup cukup senang di Heng-toan-san. Dia dan isterinya tinggal di lereng bukit dekat puncak,
Karena Cheng-hoa-pai yang tidak pernah mempunyai anggauta pria, merasa tidak enak kalau di situ terdapat seorang laki-laki. Akan tetapi biarpun tidak tinggal di tempat ketua Cheng-hoa-pai, hubungan antara mereka dengan Cheng Hoa Suthai amat dekat, malah Ci Ying dan Wang Sin dapat memperdalam ilmu silatnya di bawah petunjuk ketua itu sendiri. Setahun setelah mereka menikah, Ci Ying melahirkan seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Kalisang. Wang Sin dan Ci Ying adalah orang-orang Tibet asli, maka tentu saja anak mereka juga diberi nama Tibet, biarpun pakaian mereka dan bahasa mereka adalah bahasa Han karena mereka hidup di lingkungan Cheng-hoa-pai. Cheng Hoa Suthai amat mencinta Kalisang yang dianggap sebagai cucunya sendiri. Malah nenek ini sendiri yang memberi gemblengan kepada Kalisang setelah bocah ini agak besar.
Kalisang ternyata memiliki tubuh yang amat kuat, sayang kecerdasan otaknya sedang-sedang saja maka dalam hal ilmu silat, ia tidak bisa mewarisi kelihaian Cheng Hoa Suthai. Betapapun juga, karena menjadi muridseorang pandai, ilmu silatnya sudah amat jauh kalau dibandingkan dengan ahli-ahli silat kebanyakan. Dia sudah menjadi seorang pemuda yang tangguh, kuat dan lihai ilmu silatnya. Semenjak masih kecil, sudah kelihatan nyata bahwa anak ini memiliki watak yang amat keras, akan tetapi jujur dan tidak kenal takut. Ketika Kalisang berusia enam belas tahun, ibunya menceritakan pengalamannya dahuluketika masih menjadi budak di Loka. Bercerita tentang kekejaman tuan-tuan tanah dan tentang kesengsaraan para budak. Mendengar penuturan ibunya tentang pengalaman-pengalaman pahit getir yang dialami Ayah bundanya, darah Kalisang mendidih dan dengan marah ia berkata keras.
"Ibu kenapa tidak kita sapu bersih saja anjing-anjing tuan tanah itu?"
Ibunya tersenyum, girang melihat semangat puteranya.
"Sudah dilakukan oleh Ayah bundamu, Kalisang."
Lalu ia berbicara tentang pembasmian terhadap tuan tanah dan begundal-begundalnya di Loka.
"Sayang sekali putera tuan tanah yang bernama Yang Nam sudah pindah ke Lasha maka ia terluput dari hukuman."
"Kenapa tidak disusul ke Lasha, ibu?"
Desak Kalisang. Ci Ying menggeleng kepala.
"Berbahaya sekali. Bahkan Suthai sendiri menyatakan terlalu berbahaya untuk menyerang ke Lasha. Di sana berkumpul pendeta-pendeta Lama yang sakti dan sukar dilawan."
Setelah mendengar penuturan ibunya, beberapa malam Kalisang tidak dapat tidur.
Ibu dan Ayahnya adalah orang gagah. Dia sendiri putera tunggal mereka, masa ia akan berpeluk tangan saja melihat bahwa seorang musuh besar masih hidup enak-enak di Lasha? Para pendeta Lama itu menurut ibunya juga merupakan pelindung-pelindung tuan tanah, jadi mereka juga jahat, perlu dibasmi. Kalau aku tidak memperlihatkan kepandaian dan menyerang ke Lasha, apakah pantas aku menjadi putera Ayah ibu dan murid ketua Cheng-hoa-pai? Demikian pikirnya dan pada malam hari yang amat sunyi, pemuda ini diam-diam meninggalkan orang tuanya lalu melakukan perjalanan cepat ke Lasha untuk mencari Yang Nam dan kaki tangannya. Demikianlah, dalam perjalanan ke Lasha, pemuda yang baru berusia enam belas tahun dan sudah memiliki keberanian luar biasa itu bertemu dengan Ga Lung Hwesio dan kawan-kawannya sehingga terjadi pertempuran dan ia ditolong Bi Hong dan Lee Kek Tosu.
Karena wataknya yang keras dan sedikit memiliki kesombongan ibunya, Kalisang bersikap kasar terhadap Bi Hong dan melanjutkan perjalanan-nya ke Lasha dengan tabah, sedikitpun tidak gentar biar dia sudah tahu akan kelihaian para pendeta di Lasha. Karena dia sendiri seorang Tibet, pandai berbahasa Tibet, maka gerak geriknya dan air mukanya sebagai orang Tibet banyak menolongnya, membuat ia dengan mudah dapat memasuki Lasha tanpa menimbulkan kecurigaan. Dengan mudah ia dapat menyelidik di mana tempat kediaman Yang Nam. Setelah mendapat tahu bahwa Yang Nam telah menjadi seorang pembesar di kota itu, ia sama sekali tidak takut dan pada suatu malam ia meloncat ke atas genteng dan mengunjungi gedung Yang Nam.
Malam itu terang bulan, akan tetapi di langit terdapat beberapa kelompok awan putih sehingga kadang-kadang bulan teraling awan. Mempergunakan kesempatan selagi puteri malam bersembunyi, Kalisang melompat tembok yang mengurung gedung besar itu, lalu melompat ke dalam. Ternyata ia tiba di taman bunga di belakang gedung. Karena bulan muncul pula dari balik awan, ia cepat menyelinap di balik gerombolan pohon bunga, bersembunyi dan memperhatikan keadaan di situ. Benar-benar taman bunga itu indah sekali. Pelbagai macam bunga dari timur sengaja didatangkan dan ditanam di taman itu. Sayup-sayup Kalisang mendengar suara orang di sebelah depan. Ia berindap-indap menghampiri dan alangkah kagetnya ketika ia melihat dua bayangan hitam melompat dari balik pohon dan langsung menyerbu ke depan di mana terdapat seorang nona muda bersama bujangnya.
Kisah Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo