Patung Dewi Kwan Im 5
Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
Ia mendengar bahwa Tok-Kak-Coa telah mempelajari segala macam ilmu yang ada hubungannya dengan racun ular hingga ia mendapat sebutan Tok-Kak-Coa. Dulu ia tidak begitu mendesaknya, karena memang kejahatan Tok-Kak-Coa hanya terbatas kepada ingin berkuasa dan ingin menjadi orang yang paling ditakuti dan paling disegani, sedangkan kejahatannya hanya berupa perampokan harta saja. Ia hanya membunuh orang-orang dalam pertempuran yang adil, dan sama sekali tidak mau mengganggu orang-orang lemah. Karena inilah maka ia lebih terkenal di kalangan kang-ouw di mana ia selalu menjagoi dan menjatuhkan tiap orang kang-ouw yang mulai terkenal kegagahan dan namanya. Beng Beng Hoatsu juga tahu bahwa makin tua, Tok-Kak-Coa makin lihai dan licin dan ia maklum pula betapa curangnya orang tua ini. Karena itu ia berlaku waspada, namun di luar, ia berlaku pura-pura tak acuh dan sembrono. Tok-Kak-Coa lalu berkata kepada Siauw Liong yang berdiri di situ.
"Muridku yang baik, supekmu datang, maka kita harus menjamu dia. Coba keluarkan masakan daging naga dan daging kilin yang kita masak tadi!"
Siauw Liong tersenyum dan sambil mengerlingkan mata ke arah Siauw Ma, ia mengangguk dan pergi ke belakang. Beng Beng Hoatsu tersenyum-senyum saja tapi diam-diam Siauw Ma hatinya berdebar karena ia merasa curiga.
"Tok-Kak-Coa! Kau terlalu sungkan, kami bukan tamu yang harus dijamu, sebenarnya tak perlu kau repot-repot. Kedatanganku ini sebenarnya hendak mencari seorang Sai-kong jahat yang kabarnya telah mengusir semua Nikouw dan dengan paksa merampas kelenteng. Bahkan kabarnya ia telah membunuh ketua kelenteng. Di manakah Sai-kong itu?"
Beng Beng Hoatsu pura-pura memandang ke langit-langit kelenteng yang berukiran burung- burung hong indah, tapi sebenarnya ujung matanya dengan tajam mengerling dan menatap wajah Tok-Kak-Coa. Kakek tua tinggi bongkok itu tiba-tiba tertawa terpingkal-pingkal, hingga Siauw Ma memandangnya dengan kening berkerut karena ia sungguh tak mengerti
(Lanjut ke Jilid 05)
Patung Dewi Kwan Im (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 05
orang aneh ini yang begitu mudah tertawa.
"Beng Beng! Tak kusangka kau makin tua makin tolol. Pantas saja muridmu juga tolol, karena rupanya kau beri pelajaran tentang ketololan padanya! Sai-kong yang manakah yang kau cari? Orang yang membunuh ketua kelenteng dan mengusir semua penghuni kelenteng bukan lain ialah aku sendiri!"
Beng Beng Hoatsu tidak terkejut mendengar ini karena memang ia sudah menduga sebelumnya. Kini ia hanya tundukkan kepala dan dari bawah, sinar ke dua matanya menyambar tajam.
"Hm, si jahat dari timur agaknya telah lupakan kegagahannya dan tua-tua berubah menjadi pengecut!"
Kata-kata ini sangat pedas dan Siauw Ma tahu bahwa suhunya mulai marah, maka iapun siap sedia menghadapi segala kemungkinan. Tapi Tok-kak-coa yang dimaki dengan pedas ini hanya sebentar saja memandang wajah Beng Beng Hoatsu dengan tajam dan untuk saat sebentar itu dari kedua matanya yang sipit seakan-akan memancar cahaya api yang membakar kulit! Kemudian ia tersenyum dan berkata perlahan, seperti kepada diri sendiri.
"Haya... Beng Beng masih belum kenal betul siapa sebetulnya Tok-kak-coa dan orang macam apakah adanya aku!"
Kemudian ia menghadapi Beng Beng Hoatsu dan berkata tajam.
"Beng Beng! Untuk kata-katamu itu saja sudah cukup alasan bagiku, untuk mengadu nyawa denganmu, tapi kau adalah sahabatku, dan kita sedang menghadapi pesta besar! Nanti saja kalau kita sudah selesai makan, kita bereskan urusan ini lebih lanjut."
Pada saat itu Siauw Liong masuk membawa baki besar dengan beberapa buah mangkok besar terisi masakan yang masih mengepulkan uap. Beng Beng Hoatsu teringat akan sopan santun dan kewajiban seorang tamu, maka iapun mengangguk dan berkata.
"Baiklah, mari kita makan dulu!"
Siauw Liong lalu taruh semua mangkok besar itu di atas meja, lalu cepat ia loncat ke dalam dan keluarkan sebuah guci arak yang besar sekali dan penuh dengan arak wangi. Dari perbuatan ini saja dapat diukur sampai di mana kehebatan tenaga anak kecil itu! Ketika Siauw Liong dengan tersenyum-senyum manis buka tutup semua mangkok, mata Siauw Ma terbelalak karena terkejut dan jijik!
Ternyata yang disebut daging naga adalah masakan yang terdiri dari ular-ular kecil yang masih utuh, bercampur dengan kelabang yang ke merah-merahan dan seakan-akan masih hidup mengambang di atas kuah! Yang disebut daging kilin adalah kalajengking dan ulat yang dagingnya kehijau-hijauan. Masih ada beberapa macam masakan lain, tapi semuanya terbuat dari pada daging binatang-binatang berbisa! Siauw Ma rasakan wajahnya mengeluarkan keringat dingin dan kerongkongannya seakan-akan ada yang cekik hingga ia sukar bernapas. Diam-diam ia keluarkan potongan perak dari saku bajunya. Tok-kak-coa tertawa bergelak-gelak melihat laku Siauw Ma. Ia ternyata telah tahu apakah yang dikeluarkan oleh Siauw Ma dari sakunya, karena ia berkata di antara suara tawanya.
"Anak tolol, kau masih tidak percaya? boleh, cobalah dengan potongan perak itu dan lihatlah sendiri bahwa semua yang dihidangkan adalah barang tulen!"
Karena sudah terlanjur mengeluarkan potongan perak dari sakunya dan sudah diketahui oleh tuan rumah, terpaksa Siauw Ma tanpa malu-malu lagi celupkan perak itu ke dalam kuah dan ketika ia angkat perak itu, benda yang tadinya putih bersih kini telah menjadi ke hijau-hijauan!
"Suhu, makanan ini beracun!"
Siauw Ma bangun dari duduknya dengan kaget. Beng Beng Hoatsu gunakan tangannya untuk pegang dan tekan pundak muridnya hingga Siauw Ma duduk kembali. Sementara itu, dengan sumpitnya, Siauw Liong dan Tok-kak-coa telah ambil potongan-potongan daging binatang berbisa itu ke dalam mangkok dan Tok-kak-coa berkata,
"Hayo, Beng Beng, makanlah. Kalau dingin kurang sedap!"
Dan si jahat dari timur itu tertawa menyeringai. Siauw Ma pandang suhunya dengan khawatir, tapi dengan tenang sekali Beng Beng Hoatsu gunakan sumpitnya jepit seekor ular kecil yang berwarna hijau dan taruh itu ke dalam mangkoknya. Kini Siauw Liong sambil tertawa dan mata bersinar gembira berkata kepada Siauw Ma,
"Dan kau, tak beranikah kau makan suguhan kami? Benar-benarkah kau begitu penakut?"
Ejeknya. iauw Ma menjadi penasaran dan hatinya terasa panas. Ia pandang suhunya dan orang tua ini gerakkan jari tangannya dan tahu-tahu sebutir obat pulung putih telah menggelinding ke dalam mangkok Siauw Ma yang masih kosong.
"Kau makanlah, Siauw Ma. Daging ini enak sekali, bisa bikin tubuh kuat dan sehat!"
Karena percaya kepada suhunya, maka Siauw Ma lalu jepit seekor kelabang yang bentuknya lebih kecil dari pada ular, dan ia paksa hatinya usir rasa jijik.
"Hi, hi, hi, hi!"
Si jahat dari timur tertawa, lalu berkata sambil gerak-gerakkan sumpitnya.
"Mari, mari! Mari makan..."
Kemudian ia jepit ular di mangkoknya dan sekali pentang mulut, ular itu telah lenyap ke dalam mulut dan dikunyah dengan enaknya!
Mendengar betapa gigi Tok-kak-coa menggayem tulang ular hingga berbunyi "kretak-kretik"
Dan nampak orang tua itu makan sambil meram melek karena nikmatnya, hampir saja Siauw Ma tak dapat menahan rasa jijiknya. Tapi ia melihat Siauw Liong juga menggigit ularnya di bagian ekor hingga putus dan makan ekor itu dengan enaknya, sama enaknya kalau ia makan ekor dari ikan yang lezat. Ia melirik suhunya, dan Beng Beng Hoatsu juga tanpa ragu-ragu lagi menggigit putus ularnya dan makan potongan bagian kepala ular itu. Tidak ada jalan lain bagi Siauw Ma. Ia meramkan matanya dan dengan mengeraskan hati ia menggigit sepotong dari pada kelabang di dalam mangkoknya. Pada saat ia menggigit kelabang itu, ia membuka matanya karena terheran sekali.
Ternyata kelabang yang digigitnya rasanya enak sekali! Lebih enak dari pada daging ayam atau ikan laut. Gurih dan manis, dan sedikitpun tidak mengandung bau amis. Entah mengapa, kulit kelabang yang tebal dan kasar itu sama sekali tidak keras, bahkan lunak dan pulen sekali. Maka iapun lalu terus makan dengan enaknya, karena perutnya memang lapar. Ia melihat betapa obat yang menggelinding ke dalam mangkoknya itu mencair merupakan air yang berwarna putih seperti tepung. Karena tahu bahwa obat itu adalah pemunah racun, maka tiap kali ia celupkan sepotong daging yang hendak dimakannya, jadi ia menggunakan obat itu seperti bumbu atau seperti pengganti kecap saus tomat! Sebentar saja Beng Beng Hoatsu sudah menghabiskan seekor ular kecil, dua kelabang dan tiga kalajengking, sedangkan Siauw Ma telah menghabiskan dua ekor kelabang dan seekor ular!
Sementara mereka makan minum yang diseling dengan percakapan gembira dari kedua orang tua itu yang membicarakan masa lalu dengan penuh kegembiraan seakan-akan dua orang sahabat lama yang baru berjumpa, tahu-tahu hari telah mulai gelap. Siauw Liong menunda sumpitnya dan menyalakan dua batang lilin besar di kamar itu. Akhirnya mereka selesai juga makan minum. Siauw Liong membawa mangkok dan sumpit ke belakang, dibantu Siauw Ma. Kini Siauw Liong tidak begitu menghina jika ia memandang Siauw Ma, tapi tetap saja ia tidak mau mengajak tamunya bicara. Setelah mangkok sumpit dicuci bersih dan ditaruh di dalam sebuah keranjang, kedua anak muda itu kembali ke dalam kamar dan duduk di belakang suhu masing-masing. Ternyata kedua guru itu sedang bercakap-cakap dengan suara mulai sengit.
"Beng Beng! Kuulangi kata-kataku tadi. Kau sungguh-sungguh tolol seakan akan belum tahu aku ini orang macam apa!"
"Tak perlu kau putar lidah, Tok-kak-coa. Katakan saja dengan ringkas mengapa kau lakukan perbuatan biadab itu!"
Tiba-tiba kedua orang tua itu diam tak bergerak sambil pasang telinga, tapi Siauw Liong dan Siauw Ma tidak mendengar sesuatu.
"Nah, lihatlah saja, Beng Beng. Kalau mereka itu sudah datang, baru kau tahu barangkali!"
Kata Tok-kak-coa dengan perlahan, lalu ia bersila di atas bangku dan meramkan matanya. Beng Beng Hoatsu berpaling kepada muridnya dan memesan,
"Jangan kau bergerak dari tempatmu!"
Sebelum muridnya mengangguk, pendeta gemuk pendek inipun bersila dan meramkan mata sambil menaruh kedua tangan di atas paha! Siauw Ma terheran dan memandang ke arah Siauw Liong, tapi anak ini tak mengacuhkan semua itu, agaknya kelakuan suhunya itu tidak aneh baginya.
Malahan anak itu mengambil sejilid buku dari laci meja dan mulai membaca dengan asyiknya! Siauw Ma makin heran, tapi tiba-tiba ia mendengar suara tindakan kaki yang ringan sekali di atas genteng kelenteng! Ia terkejut ketika mendengar bahwa yang datang di atas genteng sedikitnya ada enam orang. Tentu mereka itu bermaksud jahat! Ia memandang suhunya yang masih bersila dengan anteng, juga Tok-kak-coa duduk diam seperti Beng Beng Hoatsu, maka hati Siauw Ma menjadi khawatir juga. Ketika ia mengerling Siauw Liong, ternyata anak muda itu masih membaca bukunya dengan anteng. Diam-diam Siauw Ma mencela Siauw Liong yang dianggapnya tidak hati-hati atau masih rendah kepandaiannya hingga ada begitu banyak orang di atas genteng masih juga belum tahu!
Tiba-tiba seperti sedang melamun atau main-main, tangan kanan Siauw Liong meraba-raba mencari potongan-potongan tulang ular sisa makan tadi, sedangkan matanya tetap membaca buku. Kemudian tangan kanannya terayun ke atas dan terdengar bunyi "Pletak, pletak"
Ketika genteng itu tertembus oleh peluru tulang yang dilempar oleh Siauw Liong! Siauw Ma kagum sekali, karena walaupun ia dapat meniru perbuatan itu, namun ia kagum akan kecerdikan anak itu dan alangkah hebatnya Siauw Liong yang dapat menyerang tanpa berhenti membaca bukunya! Tapi sambitan tulang itu agaknya dapat dikelit oleh orang-orang di atas genteng, karena tidak menimbulkan akibat apa-apa. Sebaliknya, dari atas genteng lalu terdengar suara makian dan bentakan.
"Siluman ular jahat! Keluarlah kau, jangan gunakan senjata rahasia menyerang secara gelap. Kau rasakanlah pembalasan kami!"
Kemudian genteng tampak terbuka dan beberapa belas piauw dan pelor besi menyambar turun dengan keras sekali ke arah Tok-kak-coa dan Beng Beng Hoatsu! Hampir saja Siauw Ma berteriak kaget karena ia melihat kedua orang tua itu sama sekali tidak bergerak. Senjata-senjata rahasia itu tepat sekali mengenai sasaran dan terdengar suara "tak-tik-tok"
Dan kesudahannya hebat sekali dan di luar dugaan Siauw Ma.
Kepala Tok-kak-coa yang licin gundul itu ketika terpukul oleh pelor dan piauw, semua senjata-senjata kecil dari besi itu membal kembali seakan-akan menghantam sebuah bola besi yang keras! Tak sedikitpun kulit kepala yang licin itu terluka. Dan Beng Beng Hoatsu lebih hebat lagi karena piauw yang menghantam kepalanya patah-patah sedangkan pelor besi yang bulat itu menempel di kepalanya dan telah menjadi gepeng! Siauw Ma merasa kagum bukan main, juga Siauw Liong tersenyum-senyum dengan wajah bersinar karena setelahnya melihat kelihaian orang-orang tua itu. Dari kenyataan ini maka tak dapat disangsikan pula bahwa tenaga lwee-kang dari kedua orang ini sudah mencapai puncak kesempurnaan dan di atas dunia ini mungkin hanya ada beberapa orang saja! Dari atas genteng terdengar seruan seseorang,
"Kawan-kawan, gelombang besar!"
Ini adalah kata-kata rahasia yang berarti bahwa lawan sangat kuat dan mereka hendak lari, tapi tiba-tiba Tok-kak-coa membuka matanya lalu berkata perlahan.
"Perlahan dulu, pinto perlu mendengar keteranganmu!"
Kemudian Tok-kak-coa menggerakkan tangan kanannya ke atas. Ini adalah ilmu pukulan Hong-ciang-kang atau Ilmu Telapak Tangan Angin. Pukulan ini dilakukan dengan tenaga lwee-kang yang hebat hingga dari telapak tangan orang tua itu bertiup angin ke atas, memukul seorang dari pada penyerbu-penyerbu itu. Maka terdengarlah suara keluhan seseorang.
"Siauw Liong, bawa orang itu ke sini,"
Kata Tok-kak-coa kepada muridnya.
Pendengarannya yang tajam sekali dapat mendengar bahwa penjahat-penjahat lain telah lari ketakutan sambil meninggalkan pemimpin mereka yang terpukul itu. Sebentar saja Siauw Liong telah masuk ke dalam ruangan itu kembali sambil menyeret seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka hitam. Orang itu ternyata pingsan! Beng Beng Hoatsu juga telah membuka matanya dan ia memandang laki-laki itu. Setelah melempar orang tinggi besar itu di hadapan suhunya, Siauw Liong duduk kembali di tempatnya tadi. Si jahat dari timur mengulur tangannya dan sekali tepuk saja orang itu siuman kembali. Ia memandang dengan mata liar ke sekelilingnya, ketika ia memandang wajah Tok-kak-coa ia menjadi pucat dan berdiri diam seperti patung. Ia mengerti bahwa tak mungkin ia melarikan diri, juga tak mungkin melawan, maka ia diam saja menanti nasibnya.
"Siapakah kau dan mengapa kau berkali-kali datang membawa kawan-kawanmu untuk membunuhku?"
Tok-kak-coa bertanya dengan suara parau.
"Berkali-kali kami sudah memberi tahu padamu, tapi kau masih bertanya lagi. Aku telah kau tangkap, mau bunuh boleh saja. Buat apa banyak cakap?"
"Sekali ini saja kau beritahu padaku. Aku telah lupa lagi."
Si jahat dari timur menjawab dengan bujukannya. Laki-laki itu menghela napas, kemudian berkata juga.
"Aku adalah Lok Kung. Kami datang untuk membunuhmu, untuk menebus sakit hati sumoi kami yang kau bunuh dan yang kelentengnya kau rampas!"
Tok-kak-coa tertawa bergelak-gelak.
"Oh, ya kini aku ingat lagi. Kenapa kau menuntut balas? Sumoimu itu sudah selayaknya dibunuh dan semua nikouw di sini sudah selayaknya pula dibasmi.
"Aku hanya membunuh pemimpinnya dan usir semua nikouw, boleh dibilang perbuatanku itu masih murah hati sekali! Tidak tahukah kau bahwa sumoimu itu telah melanggar pantangan keras dari aturan orang-orang suci?
"Ia dan para muridnya telah melakukan perbuatan cabul di dalam kelenteng ini, telah menculik pemuda-pemuda dan dikeram di sini. Perbuatan ini sungguh sangat menyuramkan nama para pendeta umumnya dan sangat mengotori kelenteng yang suci. Tak pantaskah mereka dibunuh?"
"Apa hubungannya semua itu dengan kau? Tak usah kau turut campur urusan pribadi orang lain. Kau memang ular berbisa yang kejam dan ganas!"
"Hi, hi, hi, hi! Tak tahukah aku bahwa kau juga menjadi kekasih para nikouw di sini? Kau pun harus mati. Tapi kau tak boleh mati di sini. Hayo kau minggat!"
Tok-kak-coa menuding ke arah dada laki-laki itu dan entah mengapa, laki-laki tinggi besar itu seakan-akan terdorong oleh pukulan keras dan ia terjengkang roboh sambil muntahkan darah segar! Kemudian tanpa pamit lagi ia loncat keluar dan lari dengan sempoyongan, diikuti suara ketawa ha, ha, hi, hi dari Tok-kak-coa. Beng Beng Hoatsu putar-putar kedua matanya dan memandang kepada si jahat dari timur, kemudian iapun tertawa,
"Aah, benar-benar aku tolol, si jahat dari timur masih tetap seperti dulu. Pinto telah salah sangka. Nah, kalau begitu perkenankan kami berdua guru dan murid tinggalkan tempat ini!"
Tapi tiba-tiba, seperti tadi, mereka berdua diam dan kali ini pada wajah kedua jago tua itu nampak ketegangan.
"Hm, yang datang kali ini bukanlah orang sembarangan,"
Beng Beng Hoatsu berkata perlahan dan mereka berdua seperti tadi pula bersila di atas bangku sambil meramkan mata. Siauw Liong pandang wajah Siauw Ma dengan heran karena kali ini mereka berdua tidak mendengar sesuatu. Juga ketika tiba-tiba di atas genteng terdengar suara orang padahal mereka belum mendengar suara kakinya, maka berdebarlah hati mereka karena maklum betapa tinggi ilmu gin-kang tamu yang sekarang ini. Orang di atas genteng itu berkata halus.
"Ah, tidak tahu bahwa Tok-kak-coa toyu yang tinggal di sini. Toyu, maafkan pinceng telah berani mengganggu tempatmu. Perkenankanlah pinceng bertemu dengan Beng Beng Hoatsu!"
Kedua jago tua yang sedang duduk bersila itu membuka mata berbareng dan saling pandang dengan heran. Kemudian terdengar suara ketawa dari Tok-kak-coa dan ia berkata perlahan kepada Beng Beng Hoatsu,
"Nah, nah! Sekarang kau yang dicari orang! Entah kesalahan apa yang telah kau perbuat, anak tua yang nakal!"
Kemudian ia berdongak dan berkata kepada orang yang berkata dari atas genteng tadi.
"Hei, tamu yang di atas genteng, turunlah saja jangan banyak pakai peradatan. Beng Beng Hoatsu ada di sini!"
Siauw Ma dan Siauw Liong dengan hati berdebar mencurahkan semua perhatian untuk melihat tamu yang lihai itu. Tiba-tiba dari luar berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu seorang kakek tua telah berdiri dalam kamar itu! Kakek ini usianya telah tujuhpuluh lebih dan di bagian dadanya terdapat lukisan setangkai bunga teratai.
"Oh, kiranya Kim Bok Sianjin yang sudi singgah di pondokku yang bobrok ini,"
Si jahat dari timur berkata.
"Silahkan duduk."
Kim Bok Sianjin, tokoh ketiga dari Kwan-im-kauw itu mengangkat kedua lengan dan menjura juga kepada Beng Beng Hoatsu. Sikapnya sangat lembut dan menghormat dan penuh kesopanan, berbeda dengan sikap Beng Beng Hoatsu dan Tok-kak-coa yang berandalan.
"Maaf kalau pinto mengganggu ji-wi. Pinto terpaksa malam-malam datang karena urusan yang hendak pinto bicarakan dengan Beng Beng Hoatsu adalah penting sekali."
"Kim Bok Sianjin, kau bicaralah,"
Kata Beng Beng Hoatsu tanpa banyak komentar lagi. Kim Bok Sianjin melirik ke arah Tok-kak-coa dan Beng Beng Hoatsu yang sudah dapat menduga bahwa kedatangan imam Kwan-im-kauw ini tentu ada hubungan dengan soal hilangnya patung Kwan-im Pouwsat, lalu berkata,
"Kim Bok toyu, bicaralah di sini saja. Siluman ular ini adalah sahabat sendiri."
"Hi, hi, hi, hi! Kim Bok Sianjin terlalu sungkan, seperti gadis kampung membicarakan lamaran orang saja, ha, ha, ha!"
Kata Tok-kak-coa dengan geli. Kim Bok Sianjin yang adatnya sopan merasa tidak senang mendengar olok-olokan kasar ini, tapi karena ia datang di situ sebagai tamu, maka ia menahan kemarahan hatinya.
"Baiklah kalau kau menghendaki demikian, Beng Beng Hoatsu. Kedatangan pinto malam-malam dan jauh-jauh mencarimu tak lain ialah hendak mengharap kebijaksanaanmu untuk menjauhi godaanmu kepada kami. Harap malam ini juga serahkan patung kami kepadaku agar kubawa kembali ke Kwan-im-bio!"
Tiba-tiba terdengar Tok-kak-coa tertawa keras sekali. Kali ia benar-benar tertawa karena geli hati hingga suara ketawanya bukan ha, ha, hi, hi lagi, tapi ia tertawa ngakak seperti suara burung gagak atau suara ular besar hingga terdengar,
"kak, kak, kak, kak...!"
Ia ketawa keras terpingkal-pingkal sampai memegangi perutnya yang kempis.
"Ha, ha, ha...! Beng Beng... kau... mencuri patung...!! Hi, hi, hi... alangkah lucunya! Eh, pendeta gendut, kau sungguh tak tahu malu! Datang-datang menuduh aku berbuat jahat, tidak tahunya kau sendiri mencuri patung! Ha, ha, ha!"
Beng Beng Hoatsu hanya tersenyum menghadapi godaan ini, dan ia berkata kepada Kim Bok Sianjin.
"Dengan alasan apakah kau menuduh aku mencuri patungmu? Siapa yang menyaksikan aku lakukan perbuatan itu?"
Kim Bok Sianjin memandang tak senang.
"Apakah Beng Beng toyu tidak mau mengaku?"
"Katakanlah dulu siapa yang memberi tahu padamu."
"Yang memberi tahu adalah Hwat Kong Tosu. Dia yang bilang kepadaku bahwa kau yang ambil patung itu."
Kini Beng Beng Hoatsu yang putar-putar kedua matanya dan berdongak sambil tertawa keras.
"Dan kau percaya padanya?"
Kim Bok Sianjin memandang dengan mata marah.
"Mengapa tidak? Ia tidak pernah membohong!"
Lagi-lagi Beng Beng Hoatsu tertawa geli.
"Aku juga tak pernah membohong! Kau telah ditipunya. Akulah yang tahu siapa orangnya yang mencuri patungmu!"
Maka heranlah Kim Bok Sianjin.
"Siapa? Siapa, katakanlah."
"Yang mencuri patungmu bukan lain ialah Huo Mo-li!"
"Kurang ajar!"
Tiba-tiba Kim Bok Sianjin marah sekali. Ia banting kaki kirinya dan Siauw Ma serta Siauw Liong terpental dari tempat duduknya ke atas beberapa dim tingginya! Seantero kamar seakan-akan tergetar dan ada gempa bumi. Demikian hebatnya tenaga Kim Bok Sianjin, tokoh ketiga dari Kwan-im-pai itu.
"Apa artinya ini? Kau bilang Huo Mo-li yang curi, Huo Mo-li bilang Hwat Kong Tosu yang curi sedangkan Hwat Kong Tosu berkata bahwa kau yang curi patung kami! Apa artinya ini? Kalian memang pembohong semua!"
Wajah kakek tua dari Kwan-im-pai, ini demikian menyesal, kecewa, dan mendongkol hingga agaknya ia mau menangis. Hal ini mendatangkan kegembiraan luar biasa kepada Tok-kak-coa dan Beng Beng Hoatsu yang tertawa semakin keras! Bahkan Siauw Ma dan Siauw Liong saling pandang dan ikut tertawa geli, hingga Kim Bok Sianjin, makin marah saja.
"Diam! Mengapa tertawa seperti orang gila?"
Ia membentak dengan wajah marah. Di kelentengnya ia disujuti dan ditaati semua murid yang ratusan jumlahnya, tapi di sini, berhadapan dengan dua orang tua dan dua orang kanak-kanak saja, ia dijadikan buah tertawaan! Dengan masih tertawa, Tok-kak-coa berkata padanya,
"Kim Bok Sianjin! Ini malingnya! Kenapa tidak lekas kau getok kepalanya? Itu dia, patungnya disembunyikan di bawah perutnya yang gendut!"
Terang ini adalah olok-olok yang kasar, maka Kim Bok Sianjin membentak padanya,
"Tok-kak-coa! Kau ini anak kecil atau orang gila?"
Tok-kak-coa makin keras ketawanya.
"Kim Bok Sianjin, pada hakekatnya kita semua ini hanya anak-anak kecil yang sudah terlalu lama bermain-main dengan nakal di dunia, dan tentang gila manusia manakah yang tidak gila? Hanya gilamu dan gilaku lain, aku gila tertawa dan kau gila menangis dan marah-marah. Ha, ha, ha, ha hi, hi, hi, hi!"
Beng Beng Hoatsu berkata kepada Kim Bok Sianjin.
"Kim Bok toyu. Kau lebih baik pulanglah saja dan carilah patung itu di tempat lain. Aku tidak mencuri patungmu, mungkin lain waktu aku akan mencurinya."
Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar kata-kata ini, makin besar rasa curiga Kim Bok Sianjin. Ia tidak sudi pulang dengan tangan kosong.
"Aku tidak percaya!"
Katanya berkeras kepala. Tiba-tiba Tok-kak-coa berkata dengan wajah sungguh-sungguh kepada Beng Beng Hoatsu,
"Beng Beng, kawanku! Buat apakah patung emas macam itu? Kembalikanlah saja, kalau kau butuh emas, sahabatmu ini jelek-jelek masih sanggup memberimu! Kasihanilah Kim Bok Sianjin dan saudara-saudaranya, lebih baik kau kembalikan saja."
Inilah keistimewaan Tok-kak-coa. Ia pandai sekali main sandiwara dan pandai mengubah wajahnya dari geli hati menjadi sungguh-sungguh hingga siapa saja yang melihat wajahnya dan mendengar kata-katanya tentu percaya penuh. Beng Beng Hoatsu tidak heran mendengar kata-kata ini karena ia tahu sampai di mana kecurangan dan kelicinan si jahat dari timur itu, maka ia hanya berkata.
"Kalau kalian tidak percaya padaku terserahlah!"
"Kalau dengan jalan baik kau tidak mau mengembalikan, terpaksa pinceng melupakan kebodohan sendiri dan pakai jalan kekerasan!"
Kata Kim Bok Sianjin. Siauw Ma tak dapat menahan sabar lagi karena mendengar suhunya disangka mencuri patung. Tanpa kesadaran lagi ia berdiri dan membentak.
"Orang dari manakah berani mati menghina suhuku? Suhu tak pernah mencuri patung!"
Kim Bok Sianjin berpaling dan memandang wajah Siauw Ma dengan marah, tapi sinar matanya melembut kembali.
"Bagus, kau setia kepada suhumu."
Beng Beng Hoatsu tersenyum girang melihat ketabahan Siauw Ma, tapi ia membentak.
"Siauw Ma, kau duduk saja di tempatmu!"
Dengan hati mendongkol Siauw Ma duduk kembali, mulutnya cemberut.
"Kim Bok Sianjin! Kalau kau hendak memberi pelajaran kepadaku, terpaksa aku melayanimu,"
Kata Beng Beng Hoatsu dengan mata terputar.
"Bagus sekali. Tontonan hebat! Hayo Siauw Liong, nyalakan lima lilin besar di ruang silat! Hayo Beng Beng dan kau Kim Bok ikut aku ke belakang, di sana ada ruang adu silat yang lebar sekali. Mari, mari!"
Tanpa banyak cakap lagi mereka menuju ke belakang di mana Siauw Liong telah mendahului mereka dan telah memasang lima buah lilin besar hingga tempat itu menjadi terang sekali. Siauw Ma diam-diam juga mengikuti dari belakang. Kim Bok Sianjin kencangkan ikat pinggangnya. Ia tahu bahwa Beng Beng Hoatsu lihai, tapi karena yakin bahwa pendeta itu yang ambil patungnya, maka ia hendak kerahkan seluruh kepandaiannya, kemudian ia pasang kuda-kuda dan menanti. Beng Beng Hoatsu sambil tersenyum simpul memasuki gelanggang dan berkata.
"Kim Bok Sianjin. Silahkan!"
Kim Bok Sianjin buka serangannya dengan pukulan Lima Teratai Hanyut, ilmu pukulan dari Kwan-im-pai yang hebat karena di dalam serangan ini terdapat tiga kali pukulan tangan dan dua kali tendangan kaki.
Tapi Beng Beng Hoatsu dengan tenang sekali keluarkan kepandaiannya dan bersilat dengan Sin-Liong Kun-Hwat atau Ilmu Silat Naga Sakti. Tubuhnya lincah dan biarpun perawakannya gemuk pendek, setelah bersilat dengan Sin-Liong Kun-Hwat, ia melesat ke sana ke mari dan bergerak cepat bagaikan seekor naga mengamuk. Adapun ilmu silat Kwan-im-pai sebetulnya berdasarkan pat-kwa-kun yang langkahnya menurutkan garis-garis pat-kwa hingga pertahanannya kuat sekali. Tapi kali ini ia menghadapi Beng Beng Hoatsu yang mainkan ilmu silat ciptaannya sendiri sedangkan di waktu mencipta ilmu silat itu ia telah perhatikan dan menjaga segala kemungkinan dari serangan berbagai macam cabang persilatan, hingga Ilmu Silat Naga Sakti boleh dibilang telah direncanakan untuk menghadapi lawan yang menggunakan ilmu silat apapun juga.
Setelah saling mencurahkan tenaga dan kepandaian dan saling gempur selama seratus jurus lebih, dengan perlahan tapi tentu Kim Bok Sianjin mulai terdesak mundur. Dalam marahnya ketua ketiga dari Kwan-im-kauw itu cabut po-kiamnya. Tapi inilah kesalahannya. Kalau ia tidak cabut pedang dan ajak Beng Beng Hoatsu bertempur dengan tangan kosong, mungkin ia masih dapat bertahan puluhan jurus lagi. Tapi sekarang ia telah cabut pedang hingga tiba-tiba tampak sinar berkelipan karena tahu-tahu Beng Beng Hoatsu telah pegang sebatang pedang pula dan sambil tertawa keras ia putar pedangnya dengan jurus-jurus Sin-Liong-kiam-sut yang hebat. Maka terkejutlah Kim Bok Sianjin, karena ternyata bahwa ilmu pedang pertapa gendut itu benar-benar lihai dan gerakan-gerakannya luar biasa. Terpaksa ia mundur sambil menangkis dengan sibuk. Tok-kak-coa tepuk-tepuk tangan dan bersorak-sorak,
"Beng Beng, hayo desak terus! Ha, ha, ha, imam Kwan-im-kauw itu telah mandi keringat dingin. Kematian telah berada di depan mata, hi, hi, hi! Biar ia tebus patungnya dengan jiwa."
Si jahat dari timur itu terus ngoceh dan berteriak-teriak, tapi Beng Beng sekali-kali tidak mau mencelakai Kim Bok Sianjin. Dengan pedangnya ia mendesak dan tiba-tiba ia membuat gerakan berputar hingga po-kiam lawan seakan-akan kena terlilit oleh pedangnya lalu sekali sentak pedang lawan itu terbetot dan terlepas dari pegangan!
"Bunuh dia, bunuh dia!"
Tok-kak-coa membujuk, tapi Beng Beng Hoatsu bahkan masukkan kembali pedangnya dalam sarung pedang sambil menjura kepada Kim Bok Sianjin.
"Kau telah mengalah, terima kasih,"
Katanya. Tiba-tiba Siauw Ma berteriak,
"Suhu, awas!"
Mendengar ini secepat kilat Beng Beng Hoatsu loncat ke samping dan terdengar suara angin dari belakang oleh Tok-kak-coa dengan tongkat ularnya!
"Eh, gilakah kau?"
Beng Beng Hoatsu menegur, tapi Tok-kak-coa hanya tertawa saja, lalu dengan terbungkuk-bungkuk ia pegang tangan Siauw Liong.
"Mari kita pergi, muridku!"
Ia bawa muridnya loncat dan sekali bergerak saja tubuhnya telah berada di luar kelenteng.
"Beng Beng, kau makin tua makin tolol saja! Ha, ha, ha! Kim Bok, kau pun goblok dan buta. Patung Kwan-im Pouwsat akulah yang ambil. Kalau kau ada kepandaian, carilah sendiri!"
Bukan main marahnya Kim Bok Sianjin mendengar ini. Ia lupakan kelemahan sendiri dan loncat mengejar. Siauw Ma hanya lihat tubuh imam yang tua itu berkelebat keluar tapi saat itu juga tubuh itu terlempar kembali dan jatuh ke dalam kamar tak dapat bergerak lagi.
"Tok-kak-coa, kau bangsat tua!"
Beng Beng Hoatsu memaki lalu loncat ke luar. Dengan ilmu gin-kangnya yang tinggi ia berhasil mengejar Ular Tanduk Berbisa itu dan menyerang dengan kepalan maut. Tok-kak-coa berkelit dan tak berani melayani karena dalam keadaan marah, Beng Beng Hoatsu sungguh berbahaya.
Setiap gerakannya merupakan serangan maut yang sukar dilawan. Maka sambil tertawa nyaring si jahat dari timur itu loncat ke atas genteng dan menghilang dalam gelap. Beng Beng Hoatsu hendak mengejar, tetapi tiba-tiba ia merasa terkejut sekali karena pundak kirinya terasa linu dan tidak sewajarnya. Ia gunakan tangan kanan meraba dan alangkah terkejutnya ketika terasa betapa kulit pundaknya itu panas sekali. In cepat lari kembali ke dalam kelenteng untuk periksa pundaknya di bawah sinar lilin. Ternyata pundak itu tidak kelihatan luka, hanya di situ terdapat tanda merah sebesar kacang hijau dan dari tanda merah itulah keluar hawa panas. Ia terkejut karena ia telah terkena tangan berbisa dari si jahat itu, biarpun ia tidak tahu bilakah ia terkena pukulan ini. Siauw Ma menghampiri dengan khawatir.
"Kau kenapa, suhu?"
Suhunya menggeleng-gelengkan kepala dan balas bertanya,
"Bagaimana dengan Kim Bok Sianjin?"
"Ia masih pingsan, suhu. Dadanya bengkak dan kulit mukanya berubah hitam. Tapi napasnya masih ada."
Beng Beng Hoatsu mengeluarkan sebungkus obat bubuk warna merah dari saku bajunya dan menuang isinya ke dalam mulut. Kemudian ia memeriksa keadaan Kim Bok Sianjin. Melihat betapa imam Kwan-im-kauw itu rebah dengan mata meram dan kulit muka berwarna hitam, ia menggeleng-gelengkan kepala dan menghela napas.
"Aah, sungguh Tok-kak-coa jahat sekali. Jahat dan lihai!"
"Suhu, kita harus mencari dia. Kita harus merebut kembali patung yang dicurinya dan membalas dia untuk kecurangannya telah menyerang suhu dengan menggelap tadi!"
Beng Beng Hoatsu hanya tersenyum dan ia menggunakan obat yang sama untuk dituang ke dalam mulut Kim Bok Sianjin. Tapi ia tahu bahwa obatnya itu hanya untuk mencegah menjalarnya racun ke jantung saja, dan ia maklum bahwa jiwa Kim Bok Sianjin, juga jiwanya sendiri, berada dalam keadaan bahaya.
Kemudian ia perintah Siauw Ma menjaga tubuh imam Kwan-im-kauw itu, dan ia sendiri duduk bersila mengumpulkan semangat dan mengerahkan tenaga dalamnya untuk menolak bisa yang telah menyerang tubuhnya. Demikianlah, mereka berdiam diri sampai malam terganti fajar dan ayam terdengar berkokok riang. Biarpun berkat dari tenaga dalamnya, racun yang memasuki pundaknya itu tidak sampai menjalar makin hebat, namun keadaan Beng Beng masih berbahaya. Lebih-lebih keadaan Kim Bok Sianjin yang kini napasnya tinggal empas-empis menanti maut sewaktu-waktu datang mencabut nyawanya. Kalau tidak dicekok obat Beng Beng Hoatsu, mungkin imam tua itu telah tewas malam tadi. Beng Beng Hoatsu, yang biasanya tenang dan tabah, melihat keadaan Kim Bok Sianjin, wajahnya berubah muram dan berkali-kali ia menghela napas.
"Suhu, biarlah teecu pergi ke kota untuk mencari tabib yang pandai agar ia memberi obat kepada Kim Bok Sianjin dan terutama sekali kepada suhu sendiri,"
Kata Siauw Ma.
"Percuma, Siauw Ma. Tidak ada tabib yang sanggup mengusir racun yang disebar oleh Ular Tanduk Berbisa. Ia terlalu lihai!"
"Biarlah suhu, biar teecu coba!"
Siauw Ma membujuk. Melihat kekerasan hati muridnya, Beng Beng Hoatsu terpaksa mengangguk dan berkata,
"Aaah, sesuka hatimulah...!"
Tapi ia lalu tunduk dengan wajah muram. Ia sebetulnya menyedihi keadaan Kim Bok Sianjin karena ia yakin bahwa imam tua itu tentu takkan tertolong. Untuk dirinya sendiri ia tidak khawatir, karena racun yang dilepas oleh Tok-kak-coa hanya sedikit mengenai pundaknya dan dengan tenaga lwee-kang yang dimilikinya, ia tidak usah khawatir dirinya takkan tertolong. Siauw Ma lari keluar dari kelenteng Gak-im-tong menuju ke tengah kota. Kota Swi-ciang sangat besar dan setelah bertanya kepada orang di situ, ia dapat juga menemukan rumah seorang tabib yang kata orang terpandai di kota itu. Tabib itu seorang she Cia dan tubuhnya kurus kering. Ketika Siauw Ma mengutarakan maksudnya dengan kata-kata sabar, tabib itu hanya mendengarkan dengan tenang sambil sedot huncwenya dengan mata meram melek. Setelah Siauw Ma mengakhiri permohonannya, ia hanya keluarkan sekalimat kata-kata.
"Kau bawa uang berapa?"
Alangkah marahnya Siauw Ma. Ia rogoh saku, tapi ternyata ia tidak membawa sepotongpun uang karena semua ditaruh dalam buntalan pakaian yang ditinggal di dalam kelenteng.
"Lopek, kau ikutlah saja, nanti kubayar semua,"
Katanya tak sabar. Tabib she Cia itu geleng-geleng kepala.
"Tidak bisa, harus bayar dulu. Orang-orang seperti kamu banyak sekali yang menipuku. Sudah diperiksa, sudah diberi obat sampai sembuh, tidak mau bayar sama sekali, alasan tidak punya uang. Aku tidak mau ditipu lagi."
"Tidak, tidak. Aku tidak menipu. Nanti pasti kubayar!"
Tapi tabib itu hanya goyang-goyang kepala sambil sedot pipanya dan semburkan asap putih dari mulutnya hingga asap yang berbau tembakau itu membuat Siauw Ma hampir terbatuk-batuk.
"Tapi... ini mengenai urusan jiwa orang! Mungkin kau masih keburu menolong jiwanya dan jiwa suhu!"
Siauw Ma membujuk, suaranya keras karena ia sudah habis sabar. Tabib she Cia itu hanya berkata kukuh,
"Uang dulu!"
Dan ia tinggalkan Siauw Ma masuk ke dalam. Tapi kemarahan Siauw Ma sudah memuncak. Dengan sekali loncatan ia sudah mendahului tabib itu menghadang di depan pintu tengah dan sebelum tabib itu sempat menegur, Siauw Ma telah mengulur jari tangannya menotok urat syarafnya sehingga ia tidak dapat lagi menguasai dirinya. Seketika itu juga tabib itu merasa hilang daya kemauannya seakan-akan semua perintah Siauw Ma harus diturutnya. Siauw Ma sambil berkata,
"Kau mencari penyakit sendiri!"
Lalu mengajak tabib itu mengikutinya, dan tabib itu hanya menurut seperti sapi yang dituntun gembala (seperti hypnotisme). Tentu saja semua orang yang berada di dalam toko obat itu kaget dan marah. Mereka berteriak-teriak dan mencoba mencegah Siauw Ma keluar. Tapi dengan beberapa gerakan saja Siauw Ma telah membikin mereka roboh terguling-guling dan sebentar saja anak muda itu telah lari cepat, dikejar oleh orang-orang yang berteriak-teriak,
"Rampok penculik! Tangkap... kejar!"
Tapi mana mereka mampu mengejar Siauw Ma yang menggunakan ilmu lari cepat. Beban tubuh itu tak berarti baginya dan ia percepat larinya. Tiba-tiba, di sebuah jalan tikungan, ia mendengar suara kelenengan nyaring dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang anak muda baju biru cakap memikul dua keranjang obat.
"Sobat, tahan dulu. Kau mau bawa ke mana orang ini?"
Anak muda itu bertanya.
"Bukan urusanmu. Minggir!"
Kata Siauw Ma dan ia menggunakan tangannya nendorong anak muda itu ke sisi. Tapi anak muda itu yang bukan lain ialah Tiong Li, murid Kiang Cu Liong Si Tabib Dewa, menggunakan sebelah tangan menahan dorongan Siauw Ma. Kesudahan benturan tangan ini membuat kedua-duanya heran bukan main. Tadinya mereka sangka bahwa gerakan mereka itu tentu akan membuat lawannya terdorong mundur, tapi ketika kedua tangan beradu, baik Tiong Li maupun Siauw Ma terhuyung-huyung mundur! Siauw Ma menjadi marah sekali. Ia perintahkan tabib she Cia itu duduk di rumput dan dengan mata menyala dan ke dua lengan baju tergulung ke atas ia menghampiri Tiong Li.
"Apakah kau sengaja hendak mencari perkara dengan aku?"
Tegurnya sambil memandang wajah yang tampan itu dengan marah dan heran.
"Tiong Li yang sifatnya lebih sabar dan lemah lembut balas memandang. Ia mengagumi wajah Siauw Ma yang gagah dan alisnya yang berbentuk golok serta tubuhnya yang tegap dengan dada yang bidang itu menarik hati Tiong Li benar. Iapun menurunkan pikulannya di mana terpasang kelenengan kecil dan ia berkata dengan halus.
"Sahabat yang baik, siapa mencari perkara dengan kau? Aku baik-baik bertanya ke mana kau hendak bawa orang ini karena ia adalah segolongan dengan aku. Kau telah menotok ia punya urat syaraf dan kau ajak ia sambil berlari-lari, apakah maksudmu?"
"Kau... kau segolongan dia? Apa maksudmu?"
Siauw Ma balas bertanya.
"Dia ini adalah tukang obat,"
Kata Tiong Li.
"dan akupun tukang obat pula."
Mendengar Tiong Li menyebut-nyebut "tukang obat"
Maka Siauw Ma teringat lagi akan suhunya, maka cepat ia ajak pergi tabib she Cia itu dan sambil berkata,
"Ah, aku tidak ada waktu untuk mengobrol denganmu,"
Ia lari keras. Ia sengaja mengerahkan tenaga dan menggunakan ilmu lari cepat yang paling tinggi agar dapat segera tinggalkan anak muda yang mengganggunya itu. Ia tidak mau berkelahi dengan anak itu, karena entah mengapa wajah yang lembut lagi jujur itu membuat ia tak sampai hati untuk memukulnya. Tapi alangkah terkejutnya ketika. ia melihat betapa Tiong Li juga lari menyusul dan kini mereka lari berendeng. Ternyata ilmu lari cepat dari anak muda itu tidak kalah dengannya.
"He, kau hendak ke mana?"
Tanyanya tanpa jawab yang ditanya.
"Eh, engkau mau apakah sebenarnya?"
Siauw Ma berkata dengan curiga.
"Akulah yang ingin tahu kau mau apa sebenarnya,"
Jawab Tiong Li.
"Aku hanya mau tahu kau hendak berbuat apa dengan tabib ini."
Siauw Ma tidak menjawab karena mereka telah tiba di depan kelenteng. Ia langsung loncat masuk ke dalam sambil memondong tabib Cia, disusul oleh Tiong Li di belakangnya. Siauw Ma bawa tabib itu di depan suhunya yang masih bersamadhi dan sambil berlutut ia berkata,
"Suhu, inilah tabib yang pandai, suhu."
Beng Beng Hoatsu buka matanya dan setelah mengerling sekali ke arah tubuh kurus kering yang masih belum terlepas dari pengaruh totokan itu, ia tersenyum dan berkata,
"Siauw Ma, mana ia bisa mengobati kami? Sudahlah, buka totokannya dan suruh ia pulang. Jangan bikin susah orang saja."
Siauw Ma menuruti perintah suhunya dengan kecewa. Ia melepaskan totokan pada tubuh tabib Cia yang segera dapat menguasai dirinya kembali. Tapi pada saat itu, Tiong Li yang semenjak tadi berlutut di dekat tubuh Kim Bok Sianjin, tiba-tiba berteriak kaget,
"Celaka! Racun ular jahat. Mana suhu? Suhu...! Suhu...!"
Sambil berteriak-teriak menyebut suhunya, ia lari ke luar, diikuti pandang mata Siauw Ma dan Beng Beng Hoatsu yang terheran. Tabib Cia lalu disuruh pulang dan Beng Beng Hoatsu memberinya sepotong perak. Siauw Ma lalu menceritakan tentang Tiong Li yang dijumpainya di jalan. Beng Beng Hoatsu menduga-duga. Tak lama kemudian dari luar terdengarlah suara kelenengan dan dari luar masuklah seorang tua yang tubuhnya kecil tapi kepalanya besar sekali memikul keranjang obat, diikuti oleh anak muda tadi. Ia ini ialah Si Tabib Dewa Kiang Cu Liong dan muridnya, Tiong Li! Setelah melihat tabib dewa yang bertubuh aneh itu, maka teranglah wajah Beng Beng Hoatsu yang tadinya muram.
"Ah, Kau datang. Baik sekali! Orang she Kiang lekas kau tolong jiwa Kim Bok Sianjin."
Tanpa banyak peradatan lagi Beng Beng bangun berdiri dan menunjuk ke arah tubuh Kim Bok Sianjin yang kini telah kaku dan warna hitam telah memenuhi kepala dan lehernya. Kiang Cu Liong berpaling dan memandang tubuh itu sebentar, kemudian ia memandang kepada Beng Beng Hoatsu dengan tajam, lalu berkata,
"Kau sendiri pun terserang racun, Beng Beng Hoatsu!"
"Ah, biarlah. Tidak berbahaya, kau tolonglah dulu dia itu."
Tapi Tabib Dewa itu berlaku ayal-ayalan, seakan-akan di situ tidak ada orang yang sedang bergulat dengan maut.
"Hm, hm, kauw-cu ketiga dari Kwan-im-kauw berada di sini dalam keadaan terluka hebat, dan kau sendiripun dapat terluka. Ah, ah, kalau bukan siluman ular jahat yang turun tangan, siapa lagi yang dapat melakukan semua ini? Aku akan heran sekali kalau ini tidak ada hubungan dengan hilangnya patung Dewi Kwan-im!"
"Kau tahu apa tentang patung yang hilang itu?"
"Heh, heh, heh! Bukan kau saja yang tahu, Beng Beng. Aku sudah bertemu dengan Huo Mo-li, dan aku tahu pula tentang perlombaanmu bertiga dengan Hwat Kong Tosu!
"Sekarang jadikanlah perlombaan itu menjadi perlombaan empat orang. Masukkan aku di dalamnya karena akupun mencari patung itu. Dan apa salahnya kalau sepuluh tahun kemudian akupun ikut pula menguji kelihaian ilmu masing-masing? Heh, heh, heh!"
"Sudahlah, Kiang Cu Liong, jangan banyak ngobrol. Nanti gampang kita bercakap-cakap lebih lanjut. Sekarang kau tolong Kim Bok Sianjin. Keadaannya berbahaya."
"Sabar, sabar. Aku pasti tolong dia, bahkan menolong kau juga, tapi berjanjilah dulu bahwa kau suka menerima aku mengikuti perlombahan itu."
Beng Beng Hoatsu maklum akan kelihaian tabib itu dan kini ia tahu bahwa bagaimanapun juga tabib itu perasaannya sama saja dengan dia dan yang lain-lain, yakni tidak mau kalah. Maka ia tertawa dan berkata,
"Apa boleh buat. Kau terlalu mendesak. Biarlah kau kuterima. Nah, lekas sembuhkan dia."
Dengan gerakan perlahan sekali seakan-akan yang dihadapi hanya seorang yang menderita masuk angin biasa saja, Kiang Cu Liong memeriksa tubuh dan terutama dada Kim Bok Sianjin.
"Hm, terkena pukulan Tok-jiauw-kang atau cengkeraman berbisa dari si jahat dari timur."
Sambil berkata begini Si Tabib Dewa itu mengeluarkan sebuah golok kecil dari kantung goloknya. Golok kecil ini adalah sebuah hui-to atau golok terbang yang semuanya berjumlah sembilan di kantung itu. Salah satu kepandaian Tabih Dewa ialah menyambit dengan hui-to ini yang lihainya bukan main, apa lagi kalau ke sembilannya disambitkan berbareng! Dengan golok kecil yang mengkilap putih karena terbuat dari pada perak tulen itu, Kiang Cu Liong membuka dada Kim Bok Sianjin. Kemudian ia mengeluarkan sebuah batu karang yang kering berwarna putih seperti kapas. Inilah mutiara salju yang tempo hari ia minta dari Huo Mo-li! Mutiara salju ini setelah dijemur kering menjadi sebuah batu mujijat yang khasiatnya dapat menyedot darah yang dikotori racun. Sementara itu Tiong Li dengan cekatan sekali membuat api dan masak air.
Setelah suhunya selesai menggunakan mutiara salju untuk mengisap habis racun dari tubuh Kim Bok Sianjin, Tiong Li angkat air itu dan dekatkan tempat air panas pada suhunya. Kiang Cu Liong menggunakan kapas kering mencuci luka di dada dengan air panas. Beng Beng Hoatsu dan Siauw Ma melihat pengobatan itu dengan kagum. Guru dan murid ahli obat itu bekerja tanpa banyak cakap dan tangan mereka begitu cekatan seakan-akan telah diatur sebelumnya. Apa yang diperlukan oleh Kiang Cu Liong telah tersedia oleh Tiong Li yang melayani suhunya dengan wajah berseri-seri dan mata bersinar-sinar. Siauw Ma makin suka kepada anak ini. Setelah selesai mencuci luka di dada Kim Bok Sianjin, Kiang Cu Liong lalu menempelkan obat bubuk warna hitam di atas luka itu, lalu Tiong Li menggunakan kain bersih membalut dada imam itu dengan rapi.
Perlahan-lahan ketika mutiara salju mengisap darahnya, wajah Kim Bok Sianjin berubah merah lagi dan warna hitam berangsur lenyap. Kemudian pada waktu Tiong Li mengangkat kepalanya untuk membalut dada, ia siuman setelah menghela napas panjang. Ketika ia membuka mata, pertama-tama yang dipandangnya adalah Beng Beng Hoatsu. Pandangan matanya nampak penuh penyesalan akan kesembronoannya yang telah menuduh orang dengan tanpa penyelidikan teliti lebih dulu. Karena Kim Bok Sianjin juga memiliki lwee-kang yang cukup sempurna, maka sebentar saja ia bisa mengatur napasnya dan tenaganya berangsur-angsur pulih. Ia bangun dan mengangkat kedua tangan ke arah Beng Beng Hoatsu.
"Beng Beng toyu, maafkan pinceng yang bodoh, dan terima kasih atas perawatanmu. Sebetulnya orang macam pinceng ini sudah seharusnya dibiarkan mati."
"Ho-ho! Jangan berterima kasih padaku. Tabib tua inilah penolong jiwamu,"
Jawab Beng Beng Hoatsu sambil tertawa. Kim Bok Sianjin baru melihat bahwa di situ ada orang lain. Ia berpaling dan alangkah terkejutnya ketia ia melihat Kiang Cu Liong yang telah dikenalnya karena ia pernah bertemu satu kali dengan Tabib Dewa itu. Cepat ia menjura dan menghaturkan terima kasih, tapi dengan merendah Kiang Cu Liong balas menjura.
"Ah, pinceng memang orang bodoh. Barangkali karena sudah tua maka sudah pikun. Orang macam pinceng mana akan dapat berhasil mendapatkan kembali patung itu?"
Dan imam Kwan-im-kauw itu menghela napas panjang, lalu menjura ke arah utara dan berkata perlahan.
"Aku hanya membikin kecewa kepada Pouw-sat yang mulia saja."
Paras mukanya berubah sedih sekali.
Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sudah tahukah kau siapa sekarang yang mencuri patung itu?"
Kiang Cu Liong bertanya dengan halus. Kim Bok Sianjin mengangguk-angguk, dan berkata malu,
"Tadinya dalam otakku yang kotor bahkan ada juga rasa curiga kepada Kiang-sinshe, karena sesungguhnya pencuri itu menggunakan obat bubuk yang membuat orang pada tidur di sekeliling patung itu. Sepanjang pengetahuan pinceng, yang memiliki obat itu hanya kau, Kiang-sinshe, karena pernah kudengar bahwa obat bubuk itu kau gunakan untuk menidurkan orang jika kau perlu membedah tubuh atau otak orang itu."
"Ha, memang ada orang yang mencuri sebagian obatku itu. Tapi kini aku sudah tahu siapa pencuri obatku!"
Beng Beng Hoatsu memotong,
"Si jahat dari timur, bukan? Dia sudah mengaku telah mencuri patung Kwan-im Pouwsat!"
Kiang Cu Liong mengangguk.
"Memang dia, Tok-kak-coa yang licin dan curang itu. Hm, sayang datangku terlambat, kalau tidak, ingin aku mengadu ilmu dan mencoba sampai di mana kesaktiannya hingga ia berani berlaku begitu kurang ajar!"
Beng Beng Hoatsu bersungut-sungut,
"Kepandaiannya sih tidak mengherankan, tapi kecurangannya yang membuat kita harus berhati-hati. Tadi ia serang aku secara curang dari belakang tapi dapat kuhindarkan. Hanya entah bagaimana ia berhasil juga mengirim racunnya ke pundakku!"
"Ia hebat... lihai sekali... baru sekali gebrakan saja aku terpukul olehnya..."
Kim Bok Sianjin menghela napas.
"Coba kuperiksa lukamu,"
Kata Kiang Cu Liong dan tanpa menanti jawaban, ia menghampiri Beng Beng Hoatsu dan periksa luka di pundak kirinya. Setelah memeriksa seketika lamanya, ia mengangguk-anggukan kepalanya yang besar dan berkata,
"Ah, kau telah diserang dengan tongkat ularnya, bukan?"
Beng Beng Hoatsu mengangguk.
"Tapi tidak kena."
"Itulah lihainya senjata tongkat itu. Karena kau belum tahu rahasianya, maka sampai terluka. Ketahuilah, jika tongkat ular itu digunakan untuk menyerang, maka pada waktu tongkat itu tidak mengenai sasaran, dari mulut ular itu keluarlah jarum-jarum yang kecil dan lembut sekali hingga siapa terkena takkan merasa sakit.
"Juga sambaran jarum itu sama sekali tidak mendatangkan angin karena lembutnya. Maka kau sampai kena dilukai olehnya. Lain kali kalau berhadapan dengan dia, jagalah ke mana mulut ular itu menghadap!"
Beng Beng Hoatsu mengangguk-angguk.
"Untung lukamu tidak parah karena hanya terkena dua buah jarum berbisa dan lwee-kangmu kuat sekali untuk menahan menjalarnya racun."
Dengan dua tiga kali tempelkan mutiara salju pada luka itu, maka sembuhlah luka Beng Beng Hoatsu karena semua racun telah dihisap keluar! Beng Beng Hoatsu tidak mengucapkan terima kasih, hanya berkata kepada Kim Bok Sianjin.
"Kim Bok Sianjin, dengarlah. Kau telah menuduh kami Thang-la Sam-sian mencuri patungmu, maka kami bertiga telah mengadakan perjanjian untuk mencuri dan mendapatkan patung itu.
"Sekarang bertambah dengan Kiang Cu Liong tabib tua ini yang juga ingin memiliki patung itu. Maka marilah kita mencari jalan masing-masing dan berlomba untuk mendapatkan kembali patung itu.
"Jangan kau khawatir, kami berempat bukanlah orang-orang yang serakah dan inginkan emas, tapi hanya menguji kepandaian dan kecerdikan saja. Seandainya seorang di antara kami yang berhasil mendapatkan patung itu, maka sepuluh tahun kemudian patung itu pasti akan dikembalikan ke Kwan-im-bio dengan pernyataan maaf."
"Memang begitulah baiknya,"
Kiang Cu Liong menyambung.
"Beng Beng Hoatsu telah berkata terus terang. Memang aku juga ingin mencoba hokhi-ku dengan ke tiga tokoh perkasa dari Thang-la! Dan jika aku beruntung bisa mendapatkan patung Dewi Kwan-im yang bijaksana itu, akupun hanya akan menyimpannya paling lama hanya sepuluh tahun dan setelah itu akan kukembalikan ke Kwan-im-bio tanpa diminta!"
Kim Bok Sianjin menghela napas.
"Memang ini adil, Kwan-im-kauw yang rendah kepandaian memang harus mengandalkan tenaga Thang-la Sam-sian dan kepandaian Kiang-sinshe untuk mendapatkan kembali patung kami, dan sudah sepantasnya kalau patung itu ditahan selama sepuluh tahun oleh pendapatnya, sebagai tanda kebodohan kami dan sebagai upah dia yang bisa merampasnya kembali. Nah, sekarang maafkan pinceng, karena pinceng harus segera kembali untuk melaporkan hal ini kepada suci."
Setelah menjura, Kim Bok Sianjin tinggalkan Kelenteng Gak-im-tong.
"Nah, sekarang kitapun harus berpisah, Beng Beng Hoatsu!"
"Baiklah, dan sampai bertemu kembali di puncak Thang-la sembilan tahun kemudian!"
"Kenapa sembilan tahun?"
"Karena janji kami bertiga untuk saling bertemu setahun yang lalu. Waktunya tinggal sembilan tahun lagi."
"Ah, kalau begitu aku harus mulai mencari patung itu sekarang juga. Dan sudah beberapa hari ini Tiong Li tidak kutambah pelajarannya, hm, jangan-jangan ia kelak tidak akan dapat berdaya sedikit juga terhadap murid-murid Thang-la Sam-sian!"
Tabib sakti yang berkepala besar itu tertawa keras. Ketika Kiang Cu Liong hendak berangkat, ia memandang ke kanan kiri tapi tidak kelihatan muridnya.
"Eh, di manakah anak-anak itu?"
Tanyanya. Juga Beng Beng Hoatsu tidak melihat mereka.
Tiba-tiba dari halaman belakang terdengar suara teriakan dan tertawa-tawa. Kedua kakek itu saling pandang dan tanpa berkata apa-apa mereka berdua bertindak ke belakang untuk melihat. Ternyata Siauw Ma dan Tiong Li ketika melihat ke dua orang yang membutuhkan pertolongan itu telah diobati dan ke tiga kakek itu sedang bercakap-cakap yang tidak menarik hati mereka, diam-diam mereka pergi ke belakang dan bercakap-cakap sendiri. Tiong Li sifatnya halus dan ramah, ditambah wajahnya yang tampan maka amat menarik hati Siauw Ma. Sebaliknya murid tabib itu suka sekali melihat sifat-sifat Siauw Ma yang gagah, jujur dan agung itu. Mereka mengobrol tentang suhu masing-masing dan tentang pelajaran-pelajaran silat. Ternyata tingkat mereka tidak berbeda banyak. Dalam hal tenaga, Siauw Ma lebih unggul, tapi ia kalah gesit dan gin-kang Tiong Li lebih lihai dari padanya.
Ketika mereka melihat batu-batu bundar yang besar dan berat, Siauw Ma teringat akan perbuatan Siauw Liong murid si ular jahat ketika melempar sebuah batu kepadanya. Ia menceritakan hal itu kepada Tiong Li yang mendengarkan sambil tertawa dan mereka sama-sama mentertawakan sikap Siauw Liong yang sombong. Kemudian mereka bermain-main dengan batu itu. Mereka pilih batu-batu yang terlicin dan terberat, lalu saling melempar batu. Seorang melempar yang lain menyambut untuk dilempar kembali, hingga batu-batu itu beterbangan di udara dan ada kalanya bertumbukan hingga mengeluarkan suara keras dan mengeluarkan api! Ke dua anak muda itu dalam kegembiraannya sampai melupakan suhu mereka dan sambil berlempar-lemparan batu mereka tertawa gembira. Dan ke dua suhu mereka mendapatkan mereka dalam keadaan demikian.
"Lihat, tenaga muridmu lebih besar dari pada tenaga muridku,"
Kiang Cu Liong berkata kepada Beng Beng Hoatsu. Benar saja, pada saat itu dua buah batu bertubrukan di udara dan ke duanya jatuh ke atas tanah, tapi batu lemparan Tiong Li lebih jauh terlemparnya.
"Tapi muridmu lebih lincah dan gagah menyambut batu yang dilempar kepadanya."
Memang benar pula, karena Tiong Li tampak berkelebat ke sana ke mari menyambut batu-batu yang berat dan banyak
(Lanjut ke Jilid 06)
Patung Dewi Kwan Im (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 06
beterbangan menyambarnya, sedangkan Siauw Ma hanya menggunakan tenaganya untuk menepuk batu-batu itu kembali atau mengadunya dengan batu yang dilemparkan hingga bertumbukan di udara. Akhirnya kedua murid itu melihat pula kedatangan suhu mereka, maka mereka segera mengakhiri permainan itu. Masing-masing lalu lari menghampiri gurunya.
"Tiong Li, kita berangkat sekarang,"
Kiang Cu Liong berkata kepada muridnya.
"Baik, suhu,"
Jawab Tiong Li, tapi ia memandang kepada Siauw Ma dengan mata kecewa. Tapi Siauw Ma yang berhati keras hanya membalas pandangan itu dengan tersenyum manis dan ia menghampiri Tiong Li lalu memeluk bahunya.
"Sampai bertemu kembali, kawan!"
Katanya dan Tiong Li menjawab.
"Sampai bertemu kembali, sahabat!"
Maka berangkatlah kedua guru dan murid itu sambil memikul keranjang obat mereka. Tiong Li berjalan di depan dan suhunya berjalan di belakang. Kelenengan yang dipasang di pikulan mereka terdengar nyaring. Beberapa kali Tiong Li berpaling ke belakang dan melambaikan tangan karena Siauw Ma semenjak tadi berdiri di depan kelenteng dan melambai kepadanya. Ternyata sekali saja bertemu, kedua anak muda itu saling cocok dan saling suka. Di tengah jalan Kiang Cu Liong berkata kepada muridnya yang jalan di depan,
Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo