Ceritasilat Novel Online

Pedang Asmara 11


Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 11



"Siauw Bwee, terimalah pedangnya itu!"

   Bentak Nam Tok dan tongkatnya bertemu pedang Pek lui kiam.

   "Tranggg...!"

   Terdengar suara nyaring dan pedang itupun terlepas dari tangan San Hong, terlempar ke arah Siang Bwee! Pemuda itu sendiri terdorong oleh kekuatan dahsyat hidungnya menyedot bau amis yang membuat kepalanya pening dan dia pun terhuyung ke belakang namun masih dapat menahan dirinya sehingga tidak roboh!

   "Murid Ngo-sian, mampuslah kau sekarang!"

   Bentak Nam Tok dan kini tongkatnya menyambar ke arah kepala San Hong. Pemuda ini memang sudah terdesak dan terancam bahaya maut. Namun, tidak memalukan dia menjadi murid tersayang dari Thian-san, karena dalam keadaan terhuyung dan kepalanya pening itu. Dia masih dapat melihat datangnya bahaya maut dan dengan lincah dia melempar tubuh ke kanan lalu bergulingan hingga sambaran ujung tongkat itu mengenai tempat kosong!

   "Ehhh.....?"

   Nam Tok terkejut, heran dan juga kagum.

   Akan tetapi perasaan penasaran membuatnya marah dan dia pun mengejar tubuh yang bergulingan itu, beberapa kali ujung tongkatnya menyambar, namun kelincahan tubuh pemuda itu memang luar biasa, selalu dapat saja mengelak dengan loncatan-loncatan berdasarkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi. Akan tetapi, berpedang saja San Hong harus mengaku keunggulan lawan apalagi kini hanya bertangan kosong dan mengandalkan kelincahan tubuh untuk mengelak. Tongkat itu menyambar lagi dan sekali ini agaknya takkan mungkin lagi dielakkan, apa lagi ketika San Hong meloncat, kakinya tergelincir sehingga elakannya tidak tepat, dia terpelanting.

   "Mampuslah kau orang muda!"

   Bentak Nam Tok. Tongkatnya menyambar ke arah kepala San Hong yang hanya dapat menanti datangnya maut.

   "Tranggggg.....!?"

   Bunga api berpijar ketika tongkat itu tertangkis pedang. Nam Tok mengerutkan alisnya, memandang kepada puterinya dengan marah.

   "Siang Bwee! Apa yang kaulakukan ini? Engkau-membelanya?"

   Tiba-tiba Nam Tok yang sengaja menegur puterinya agar puterinya itu kehilangan perhatian, menggerakkan tongkatnya yang menyambar lagi ke arah San Hong. Pemuda itu sedang hendak bangkit. Sambaran tongkat itu hebat sekali, akan tetapi dia masih sempat menggerakkan kepalanya.

   "Dukkk!"

   Pundak kiri San Hong dihajar ujung tongkat dan biarpun dia sudah melindungi pundak itu dengan sinkang, tetap saja dia terbanting keras dan pundaknya terasa seperti remuk walaupun tidak ada tulang yang patah.

   Rasanya nyeri menembus pundak ke dada, dan tahulah dia bahwa Racun Selatan (Nam Tok) itu memukul dengan pengerahan hawa beracun, sesuai dengan nama julukannya! Dia tidak mampu bangkit lagi, hanya rebah dan melihat apa yang akan terjadi selanjutnya! Siang Bwee menjerit ketika melihat San Hong terpukul dan ia sudah meloncat ke depan pemuda itu dengan sikap melindungi, pedangnya disilangkan dan matanya mencorong memandang ayahnya.

   "Ayah, kau curang! Curang terhadap seorang lawan muda, sungguh keterlaluan!"

   "Siauw Bwee (Bunga Kecil), minggir-lah kau, biarkan aku membunuh dia!"

   "Tidak bisa, Ayah. Lupakah Ayah bahwa aku pergi untuk mencari jodoh? Nah, dia inilah calon jodohku, Ayah. Oleh karena itu, Ayah tidak boleh membunuhnya dan aku akan membela dan melindunginya dengan taruhan nyawaku sendiri!"

   Bukan hanya Nam Tok yang terkejut, juga San Hong memandang dengan mata terbelalak dan mukanya beruban merah sekali. Apa pula yang diucapkan oleh gadis aneh itu?

   "Apa kau bilang, Siang Bwee? Kau..... kau memilih dia ini untuk menjadi calon suamimu?"

   Nam Tok berteriak, lalu memandang ke arah pemuda yang masih rebah di atas tanah itu. Seorang pemuda yang memang perawakannya gagah, tinggi besar dan harus diakuinya bahwa ilmunya tinggi, hampir dia sendiri kewalahan menghadapinya. Akan tetapi, pakaian pemuda itu demikian sederhana, sikapnya juga, bahkan wajahnya nampak bodoh.

   "Benar, Ayah. Karena itu, engkau tidak boleh membunuhnya!"

   "Tapi..... bagaimana engkau, anakku yang cantik jelita, pandai, kaya raya, terpandang, memiliki segala-galanya memilih calon suami seperti ini? Dia ini tentu seorang pemuda dusun yang bodoh."

   "Biarpun bodoh dan dari dusun, dia jujur dan kepandaiannya tinggi!"

   Kembali Nam Tok memandang kepada San Hong dan alisnya berkerut.

   "Engkau mencinta pemuda ini?"

   Wajah gadis itu berubah merah dan diam-diam San Hong memandang dengan jantung berdebar. Rasanya tidak mungkin seorang gadis seperti itu cinta padanya Akan tetapi, dia mendengar jawab satu-satu yang amat jelas.

   "Benar, Ayah. Aku cinta padanya!"

   Langit bumi bagaikan terbalik bagi San Hong mendengar ini dan dia pun memejamkan matanya, tidak kuasa memandang wajah gadis itu.

   "Tapi, aku tidak setuju! Aku tidak sudi mempunyai mantu macam dia! Apalagi, engkau tahu sendiri, dia hendak membunuh aku. Mana mungkin seorang mantu hendak membunuh ayah mertuanya sendiri? Tidak, aku tidak setuju!"

   "Itu hanya merupakan kesalahpahaman saja, Ayah.Engkau disangkanya pembunuh orang-orang dusun Po-lim-cun."

   "Memang aku pembunuhnya! Sudah, aku tidak setuju, dan aku tadi sudah bilang bahwa dia harus mampus!"

   Nam Tok hendak menggerakkan tongkatnya, akan tetapi puterinya menjerit.

   "Ayah! Lihat, apa yang akan kulakukan kalau engkau memaksa hendak membunuhnya!"

   Gadis itu menodongkan pedangnya ke arah ayahnya. Nam Tok mengerutkan alis lebih dani lagi.

   "Apa? Kau hendak melawanku untuk melindungi dia? Engkau takkan menang dan tidak sukar bagiku untuk merampas pedang itu?"

   "Aku tidak peduli. Pendeknya, selamanya aku akan memusuhimu, dan aku tidak sudi lagi menikah, dengan siapapun juga pilihan Ayah! Akhirnya, mungkin aku akan membunuh diri!"

   Menghadapi ancaman puterinya ini, Nam Tok menjadi bingung juga. Dia terlalu sayang kepada puterinya.

   "Hemmm, engkau memang bocah manja dan goblok.

   Memilih calon suami macam dia! Baik, aku tidak membunuhnya, akan tetapi engkau dengar sendiri, tadi aku sudah bilang bahwa dia harus mampus. Ucapan Nam Tok tidak boleh ditarik kembali Karena itu, aku masih memberi kesempatan baginya, memperpanjang usianya sampai satu tahun. Akan tetapi ada syaratnya dan engkau harus berjanji memenuhi syarat itu!"

   Siang Bwee sudah mengenal baik watak ayahnya yang keras bagaikan baja, aneh dan tidak lumrah manusia biasa. Ia tidak melihat pilihan lain karena kalau uluran tangan ayahnya ini ia tolak, sudi pasti San Hong dibunuh ayahnya!

   "Baik, katakan, apa syaratnya, Ayah! "

   "Begini, karena aku sudah terlanjur mengharuskan dia itu mampus, maka aku akan melukainya sehingga dia tahan hidup satu tahun lagi. Kalau mendapatkan obat sehingga sembuh, berarti dia akan menjadi suamimu akan tetapi kalau tidak, dia akan mampus. Dengan demikian aku tidak menarik kembali ucapanku. Selain itu, engkau harus berjanji bahwa dia dapat sembuh atau tidak, engkau tidak boleh bunuh diri, dan kalau dia mampus, engkau harus menerima calon suami pilihanku."

   "Itu saja, Ayah?"

   "Ada satu lagi! Siapapun yang menjadi calon suamimu, dia atau orang lain, atau pilihanku sendiripun, harus dapat menahan seranganku selama dua ratus jurus!"

   Gila, pikir Siang Bwee. Siapa mampu bertahan melawan ayahnya sampai dua ratus jurus?

   "Ayah licik! Kalau dia itu pilihan ayah, tentu Ayah akan mengalah terhadap dia, sebaliknya kalau pilihanku dan Ayah tidak setuju, tentu Ayah akan berusaha sekuatnya untuk mengalahkan dia sebelum dua ratus jurus!"

   Kakek itu tertawa bergelak.

   "Engkau cerdik, maka engkau harus mampu pula menandingi kecerdikan ayahmu!"

   "Baik, aku terima syaratmu, Ayah. Akan tetapi awas, kalau Ayah menipuku dan memukul tewas dia, Ayah akan menjadi musuhku selama hidupku!"

   La mengancam.

   Nam Tok mengangguk dan sekali berkelebat, dia sudah tiba dekat San Hong. Tangan kirinya yang berubah hitam sekali menyambar ke arah punggung San Hong. Pemuda ini berusaha mengelak, akan tetapi sia-sia saja. Tangan itu menghantam punggungnya, tidak terlalu keras, akan tetapi dia merasa seolah olah punggungnya ditusuk benda panas dan dia pun pingsan! Siang Bwee menjerit ketika melihat pukulan ayahnya itu.

   "Aihhh...... kau menggunakan Hek-in Pay-san memukulnya, Ayah! Dia akan mati.....!"

   Gadis itu berlutut dan memeriksa punggung pemuda itu. Baju punggungnya hangus, dan kulit punggung itu pun kehitaman seperti hangus, sebesar telapak tangan ayahnya.

   "Memang dia akan mampus kalau dalam waktu setahun dia tidak menerima pengobatan yang tepat. Dia dapat bertahan sampai setahun, mengingat sin-kangnya yang cukup kuat. Nah, terserah kepadamu. Kalau engkau cerdik seperti aku, lebih baik kau tinggalkan dia, dan mari pulang bersamaku. Akan kupilihkan calon suami yang ganteng dan pandai tidak bodoh seperti kerbau ini."

   "Tidak! Aku akan merawatnya, aku akan berusaha mencarikan obatnya, dan kelak aku akan membawanya menghadapmu sebagai calon suamiku!"

   "Ha-ha-ha, percuma saja. Di dunia ini mungkin hanya aku yang akan mampu menyembuhkan pukulan Hek-in Pay-san!"

   Sambil masih tertawa-tawa, Nam Tok meninggalkan tempat itu dengan langkah lebar, meninggalkan puterinya yang berlutut di dekat tubuh San Hong yang pingsan.

   Setelah ayahnya pergi, Siang Bwee mencari air dan mengucurkan air pada kepala dan muka San Hong, lalu membantu pemuda yang pingsan itu minum obat yang dicampurnya dengan air. Ia pun memijat-mijat bagian tengkuk dan di sekitar luka itu, akan tetapi tidak berani memijat bagian yang luka karena maklum bahwa hal itu akan membahayakan nyawa San Hong. Cara pengobatannya itu hanya untuk menyadarkan dan mengurangi rasa nyeri saja, sama sekali bukan untuk menyembuhkan. San Hong mengeluh dan membuka kedua matanya. Segera dia teringat akan segala yang telah terjadi. Dia bangkit duduk dan Siang Bwee segera membantunya.

   "Kenapa kau lakukan itu?"

   Suara dalam pertanyaan. Ini mengandung keharuan, penyesalan dan juga kekhawatiran.

   "Apa? Menyadarkanmu dan mencobs mengobatimu ini? Engkau pun pernah mengobati aku ketika aku terpukul oleh Si Kembar."

   "Bukan, bukan itu!"

   Kata San Hong, sikapnya sama sekali tidak peduli akan keadaan dirinya yang menderita akibat pukulan maut dari Nam Tok.

   "Habis apa kalau bukan pengobatan ini? Lukamu hebat dan berbahaya sekali....."

   Gadis itu lalu menyambung sambil tersenyum.

   "Ah, maksudmu kenapa aku telah melawan ayahku sendiri untuk menyelamatkanmu? Begitukah?"

   Akan tetapi, San Hong menggelengkan kepalanya yang pening.

   "bukan itu..... maksudku, kenapa engkau mengatakan kepada ayahmu bahwa aku..... aku..... adalah calon jodohmu?"

   Dia berhenti sebentar, matanya menatap wajah gadis itu penuh selidik, bahkan penuh harapan. Dia tadi sudah mendengar pengakuan gadis itu bahwa ia mencinta dirinya, dan dia ingin kepastian, ingin gadis itu mengulang pernyataan hatinya itu, kepadanya.

   Siang Bwee membalas pandang mata pemuda itu dengan heran, lalu menjawab.

   "Tentu saja, kalau aku tidak berkata demikian, sekarang tentu engkau sudah mati terbunuh oleh ayah. Kalau kuakui engkau sebagai calon jodohku, tentu dia tidak akan tega membunuhmu."

   Jawaban ini jelas dan masuk akal, akan tetapi San Hong merasa terpukul dan kecewa.

   "Akan tetapi..... kau..... kau bilang bahwa engkau..... cinta padaku....."

   Wajah gadis itu tiba-tiba berubah merah dan ketika ia mengangkat mukanya, ia tersenyum.

   "Ah, betapa bodoh engkau, Twako. Kalau aku tidak mengaku begitu, mana ayah mau percaya? Sudahlah, yang penting sekarang ini adalah mencarikan obat untuk menyembuhkan lukamu. Kalau tidak mendapatkan pengobatan yang tepat, dalam waktu satu tahun engkau akan tewas, Twako. Mari kita pergi dan akan kucarikan obatnya!"

   San Hong tadi menundukkan mukanya agar tidak nampak oleh gadis itu betapa jawaban gadis itu tadi menusuk jantungnya, membuat mukanya seketika pucat sekali. Ah, dia yang tidak tahu diri! Bagaimana mungkin seorang gadis seperti Ang Siang Bwee dapat mencinta seorang pemuda bodoh dan miskin seperti dia. Harapan yang tolol dan hampa!

   "Tidak usah, Nona....., biarkan aku pergi. Aku dapat mencari sendiri obatnya."

   "Ah, engkau akan gagal dan engkau akan mati!"

   San Hong tersenyum pahit.

   "Kalau memang demikian, apa salahnya? aku akan mencari obatnya, tidak usah menyusahkan dirimu....."

   Dia bangkit berdiri.

   "Twako, engkau akan gagal! Biar suhumu sendiri, Thian-san Ngo-sian, tak kan mampu menyembuhkan lukamu. Di dunia ini, hanya ada dua orang yang mampu menyembuhkan akibat pukulan Hek-in Pay-san. Orang pertama adalah ayahku karena dia memang tahu dan memiliki obatnya. Orang ke dua adalah aku sendiri karena aku saja yang mengetahui, siapa selain ayahku yang akan mampu mengobatimu!"

   "Biarlah, Nona. Biar akan kucari sendiri obatnya dan kalau aku gagal, paling banyak aku akan mati."

   Kata pemuda itu yang sudah merasa amat nelangsa akibat putah hati.

   "Heiii, kau kenapakah?"

   Siang Bwee meloncat ke depan San Hong dan menghadang, lalu menyentuh lengannya.

   "Kenapa engkau menjadi begini berubah, twako? Engkau menyebut aku nona, dan engkau kelihatan seperti orang yang sudah bosan hidup!"

   "Sudahlah, harap jangan menggangguku lebih lama lagi! Aku..... aku tidak membutuhkan bantuanmu....."

   Kata San Hong dengan suara mengandung kepahitan dan dia pun lalu melangkah lebar, menahan rasa nyeri di punggungnya dan neninggalkan gadis itu tanpa menoleh lagi. Siang Bwee berdiri termangu mangu, tidak tahu harus berbuat apa, lalu ia menggerakkan kedua pundaknya, lalu duduk kembali di atas rumput dan bibirnya cemberut, mengomel.

   "Dasar pemuda tolol....."

   San Hong masih dapat menangkap omelan ini dan hatinya terasa semakin tertusuk. Memang dia tolol! Tolol sekali untuk menaruh harapan, untuk merasa tertarik dan jatuh cinta kepada seorang gadis seperti Siang Bwee yang demikian tinggi hati, puteri seorang datuk sakti yang menjadi musuh besarnya. Huh, sungguh dia tak tahu diri, tidak malu tadi sempat berdebar jantungnya karena gembira mendengar gadis itu cinta padanya, memilihnya sebagai calon suami, dan mati-matian menentang ayah sendiri. Masih melambung harapan besar dalam hatinya bahwa gadis itu benar-benar cinta padanya! Huh, kiranya hanya tipu muslihat saja. Nah, habislah sudah lamunan kosong. Pecah dan lenyaplah sudah gelembung khayal!

   Tanpa mempedulikan rasa nyeri yang masih menusuk, San Hong memaksa kedua kakinya untuk lari cepat. Akan tetapi, baru satu mil lebih dia berlari, rasa nyeri di punggungnya tak tertahankan 1agi dan dia pun terpelanting jatuh, terengah-engah dan merangkak duduk menahan sakit, tidak mempedulikan buntalan pakaiannya yang terbuka ketika dia terjatuh itu dan nampak emas dan perak berkilauan di antara pakaiannya. Dengan kepala pening dan napas sesak San Hong melihat ada dua orang laki-laki, datang menghampirinya. Dua orang berwajah bengis yang membawa golok di pinggang.

   "Wah, banyak emas dan perak!"

   Seru orang di antara mereka yang kumisnya tebal.

   "Benar! Dia kaya raya. Ini makanan lezat!"

   "Ikan kakap! Kita bunuh dulu dia, baru kita larikan hartanya!"

   San Hong menjadi marah. Kiranya dua orang ini adalah perampok-perampok atau orang-orang jahat yang segera timbul pikiran untuk membunuh dan merampok begitu mata mereka melihat emas dan perak. Maka, dia pun cepat bangkit berdiri dan membentak. Patah hati dan kemurungannya karena kekecewaan melihat kenyataan bahwa Siang Bwee tidak benar benar cinta padanya itu membuat San Hong menjadi marah sekali.

   "Kalian ini dua orang penjahat laknat! Pergilah dan jangan mengganggu aku!"

   Suaranya cukup berwibawa, akan tetapi rasa nyeri yang menusuk punggung membuat dia menyeringai dan menahan napas. Melihat ini, dua orang besar itu saling pandang lalu tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, engkau orang berpenyakitan masih mempunyai suara keras?"

   "Toako, dia hanya menggertak kita. Hayo kita sikat saja!"

   Bentak orang ke dua yang kedua matanya merah.

   Melihat sikap mereka, dengan marah San Hong mengerahkan sinkangnya dan melangkah maju hendak memberi hajaran kepada mereka. Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluarkan keluhan panjang. Begitu mengerahkan tenaga sin-kang, punggungnya seperti ditusuk pedang rasanya hingga dia terhuyung ke depan. Pada saat itu, si kumis tebal menyambutnya dengan pukulan tangan kanan ke arah dagunya.

   "Dukkk!!"

   Pukulan itu keras sekali, membuat tubuh San Hong yang sudah lemas tak bertenaga itu terjengkang dan terbanting ke belakang. Matanya berkunang dan dia masih mencoba untuk bangkit duduk. Biarpun pukulan itu keras sekali menimpa dagunya, namun tidaklah senyeri punggungnya. Pada saat dia menggunakan sisa tenaganya untuk merangkak bangun, si mata merah sudah menghampirinya dan kakinya menendang dengan pengerahan tenaganya.

   "Desss.....!"

   Sekali lagi kepalanya kena ditendang. Demikian keras tendangan itu hingga kembali tubuhnya terlempar, terjengkang dan dia pun terbanting untuk ke dua kalinya. Bumi rasanya terputar, akan tetapi juga sekali ini, rasa nyeri tendangan tidak mengalahkan rasa nyeri di punggungnya. San Hong masih melihat dengan mata berkunang betapa dua orang itu mencabut golok mereka!

   "Toako, tubuhnya kuat juga. Pukulanmu dan tendanganku tidak membuat dia mampus. Sebaiknya kita penggal saja lehernya dengan golok!"

   (Lanjut ke Jilid 11)

   Pedang Asmara (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 11

   "Benar, biar lekas selesai!"

   Kata kumis tebal.

   Mereka berdua menggerakkan golok mereka, siap memancung kepala San Hong yang sama sekali tidak berdaya. Begitu dua batang golok itu menyambar tiba-tiba saja dua buah senjata itu berhenti di tengah udara. Sesosok bayangan berkelebat, dua buah tangan yang cepat menotok ke arah lengan yang memegang golok dan sebuah kaki melakukan tendangan dua kali dengan kecepatan kilat!

   "Dukkk! Dukkk!"

   Dua tubuh itu terpental dan terguling-guling sampai beberapa meter jauhnya. Mereka merayap bangun, akan tetapi orang yang baru datang itu sudah menyambar dua batang golok yang tadi terlepas, mengayun golok-golok itu ke arah pemiliknya.

   "Cap! Cap!"

   Dua orang itu terjengkang dan tewas dengan dada tertembus golok masing-masing. San Hong masih dapat melihat bahwa yang menyelamatkannya adalah Siang Bwee! Dia mengeluh lirih dan terkulai lemah, pingsan! Ketika dia siuman dan membuka mata, gadis itu sudah bersimpuh di dekatnya, memijit-mijit kedua pundaknya. Melihat San Hong siuman, Siang Bwee berkata. halus.

   "Jangan sekali-kali engkau mengerahkan sin kang. Itulah pantangan yang keras, dapat memperpendek umurmu. Akibat pukulan Hek-in Pay-san memang demikian, dilarang mengerahkan sin-kang sebelum sembuh!"

   "Kenapa..... kenapa engkau menolongku?"

   Pertanyaan aneh. Gadis itu memandang wajahnya dan tersenyum sambil mengusap wajah yang berpeluh itu dengan sehelai saputangan sutera yang berbau harum bunga.

   
Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kenapa? Karena engkau memerlukan pertolongan. Lehermu nyaris terbacok golok-golok itu!". San Hong bangkit duduk, ditopang oleh Sang Bwee. Dia melihat ke arah dua orang yang telah menjadi mayat, dan menarik napas panjang. Gadis ini sungguh lihai akan tetapi juga ganas sekali amat mudah membunuh orang.

   "Kau.... kau bunuh mereka?"

   "Mengapa tidak? Apakah kau lebih senang kalau mereka membunuhmu, atau membunuhku? Mereka itu orang-orang jahat, keji dan pengecut, menyerang orang yang sedang terluka parah, layak dibunuh seribu kali"

   San Hong tidak membantah, merasa akan kalah berbantah dengan gadis ini Dia menatap wajah yang nampak semakin manis itu.

   "Nona, kenapa engkau menolongku? Bukankah engkau tidak..... cinta padaku?"

   "Eh, apakah orang baru boleh menolong orang lain kalau ia mencintanya Twako, aku suka padamu, aku kagum padamu dan aku kasihan padamu, juga mendongkol dan gemas!"

   San Hong tersenyum pahit. Bukan cinta yang diperolehnya, melainkan suka kagum, dongkol dan kasihan.

   "Mengapa?"

   "Aku suka karena engkau jujur dan hatimu bersih, tidak berpura-pura dan tidak cabul, tidak merayu. Aku kagum karena engkau memiliki ilmu silat yang tinggi, nyaris menandingi ayah sendiri! Aku kasihan padamu karena..... karena engkau memang patut dikasihani. Dan aku dongkol, jengkel padamu karena engkau..... keras kepala!"

   "Tapi tidak kau cinta....."

   Gadis itu memandang dengan mata lebar.

   "Cinta? Tentu saja tidak dan belum! Twako, Kau kira semudah itu orang jatuh cinta? Kita baru sehari bertemu dan berkenalan. Kita belum saling mengenal, bagaimana mungkin aku jatuh cinta? Untuk jatuh cinta, aku harus mempelajari dulu watak-watak orang itu dengan baik dan pula, dalam hal cinta mencinta, tidak sepatutnya kalau aku..... ah, Twako, engkau tahu aku seorang wanita. Seharusnya prialah yang lebih dulu mengulurkan tangan! Aih, sudahlah, bukan saatnya kita bicara tentang cinta! Lukamu bertambah parah. Mari kita pergi. Aku yang akan mencarikan obat untukmu. Kecuali ayah, setahuku hanya seorang saja yang akan dapat mengobatimu, dan orang itu adalah orang yan paling jahat di dunia ini! Orang yang paling curang, paling berbahaya dan paling sombong. Dia adalah Tung-hai Kian ong (Raja Pedang Laut Timur) Bu Si Lam! Raja Pedang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, bukan saja ahli pedang yang sukar dicari tandingannya, akan tetapi juga memiliki ilmu pengobatan dengan jarum-jarum emas yang akan mampu menyembuhkan lukamu."

   San Hong mengerutkan alisnya, mengingat-ingat.

   "Suhu Pek-ciang Yok-sian pernah bercerita tentang datuk sesat timur itu, akan tetapi menurut suhu orang itu berwatak aneh, memandang rendah orang lain, tidak mau tunduk kepada siapapun juga dan termasuk jahat"

   Gadis itu tersenyum.

   "Lebih dari itu malah. Pendeknya, hanya akulah yang akan dapat memaksa dia untuk mengobatimu, Twako."

   "Tapi, Nona, bagaimana caranya.....?"

   "Ihhh! Engkau sungguh membikin perutku panas! Satu di antara yang menjengkelkan hatiku adalah karena kau menyebut aku nona-nona! Engkau bukan bujangku dan aku bukan nonamu!"

   Melihat gadis itu marah-marah, San Hong cepat berkata.

   "Maafkan aku......, Bwee-moi....."

   "Nah, itu baru enak didengar! Aku pun belum pernah bertemu dengan Tung-Hai Kiam-ong. Akan tetapi aku akan mencari akal agar dia mau mengobatimu. Mari kita pergi, Twako."

   Gadis itu membantu San Hong mengumpulkan barangnya yang berceceran, bahkan ia menggendong buntalan pemuda itu di punggungnya, disatukan dengan buntalan pakaiannya sendiri, lalu membantu San Hong bangkit berdiri. Sejenak San Hong merasa betapa jantungnya berdebar ketika gadis itu merangkul dan membantunya bangun, dengan tubuh yang begitu dekatnya sehingga dia dapat merasakan kehangatan tubuh itu dan tubuh yang mengeluarkan bau yang sedap baginya.

   "Tapi..... kenapa kau melakukan semua kebaikan ini, Bwee-moi? Kenapa kau mau susah-susah....."

   Gadis itu memandang wajah San Hong beberapa lamanya. Senja telah mendatang, cuaca mulai menjadi redup. Ia menggeleng kepalanya.

   "Entahlah, aku sendiri tidak tahu mengapa aku begini mempedulikanmu. Mungkin karena rasa suka itu atau rasa kagum itu, mungkin juga karena kasihan....."

   "Atau mungkin karena aku tolol!"

   Sambung San Hong, dan dia tersenyum sendiri karena merasa lucu. Gadis itu pun tersenyum dan akhirnya mereka berdua tertawa.

   "Aih, lega hatiku engkau mau tertawa lagi bersamaku, Twako. Mari kita pergi. Makin cepat kita dapat berhadapan dengan Tung hai Kiam-ong, makin baik!"

   Sekali ini San Hong tidak membantah dan mereka pun berjalan meninggalkan tempat itu, menuju ke arah timur. Bagaimanapun juga, setelah kini dapat berkumpul lagi dengan Siang Bwee, mencinta dia atau pun tidak, ada perasaan lega dan gembira di dalam hatinya, dan harapan yang tadinya sudah hilang dari hatinya, kini mulai bertunas kembali.

   Berkat kegagahan, kecerdikan dan semangatnya yang amat besar untuk membuat bangsa Mongol menjadi bangsa yang kuat, mempersatukan semua suku dengan cara mendekati mereka dan menundukkan yang menentang, Temucin mulai memperlebar sayapnya dan mengkuat kukunya, bagaikan seekor rajawali yang mulai menjadi dewasa. Pada waktu itu, memang di daerah utara, di luar Tembok Besar, di daerah Mougol dikuasai oleh banyak suku yang memiliki pasukan besar dan kuat. antara mereka yang terkenal adulah suku bangsa Karuit, bangsa Naiman, Merkit dan Uigur. Mereka ini merupakun suku suku bangsa yang memiliki kekuatan cukup besar dan mereka saling hantam sendiri untuk memperebutkan kekuasaan dan daerah peternakan yang subur.

   Temucin, dengan siasatnya yang cerdik, berhasil mendekati kepala bangsa Karait yang bernama Togrul, kepala suku yang usianya sudah tujuh puluh tahun itu. Togrul juga terkenal dengan nama Pendeta Yohanes, karena dia dan suku bangsa Karait yang dipimpinnya beragama Nasrani yang sudah bercampur dengan Agama Syamanisme. Demikian pandainya Temucin mengambil hati kepala suku Karait ini sehingga dia diangkat sebagai putera! Ini merupakan suatu langkah yang amat cerdik dan Temucin memperoleh kemajuan, karena bukankah dengan demikian berarti dirinya mulai diakui dan dia memiliki sekutu yang amat kuat, yaitu bangsa Karait yang termasuk satu di utara suku bangsa yang besar dan kuat di utara? Hubungannya sebagai putera angkat dari Togrul melicinkan jalan menuju ke arah tercapainya segala yang di-idamkannya.

   Ketika suku bangsa Karait diserbu pasukan-pasukan dari barat yang bergabung dengan suku bangsa Merkit, musuh lama bangsa Karait, dan suku bangsa Karait mengalami kekalahan dan nyaris hancur, Temucin segera mengirim pasukannya di bawah panglima panglima yang terpandai untuk membantu bangsa Karait! Akhirnya, para penyerbu itu dapat dipukul mundur dan bangsa Karait akhirnya memperoleh kemenangan. Tentu saja hal ini berkat jasa Temucin yang datang menolong dengan cepatnya. Kepala bangsa Karait, Togrul atau Pendeta Yohanes semakin percaya kepada putera angkatnya ini, dan nama besar Temucin sebagai seorang pemimpin muda semakin disegani dan dihormati. Sementara itu, di sebelah selatan Tembok Besar, daratan Cina dikuasi oleh dua dinasti, atau dua kerajaan. Di sebelah utara dipimpin oleh Kerajaan Cin, sedangkan di selatan dipimpin oleh Kerajaan Sung.

   Sudah lama Kerajaan Cin diganggu oleh bangsa Tar-tar yang menyerang daerah Tembok Besar. Bangsa Tartar ini mernbuat benteng pertahanan di daerah Danau Buyar, dan gangguan-gungguan mereka sungguh memusingkan pemerintah! Kerajaan Cin, terutama sekali mengganggu keamanan lalu lintas perdagangan. Oleh karena itu, Kaisar Cin lalu mengirim balatentara yang cukup besar jumlahnya untuk menghancurkan para penyerbu itu. Akan tetapi, biarpun pasukan besar ini mampu mengusir pasukan Tartar keluar tembok Besar, namun barisan yang sebagian besar terdiri dari perajurit perajurit tak berkuda ini sukar untuk dapat membasmi musuh yang merupakan pasukan penunggang kuda yang mahir, dengan kuda tunggangan yang gesit.

   Pasukan Tartar dapat melarikan diri dengan cepat kalau terdesak, kemudian kembali lagi dan membuat penyerbuan mendadak yang membuat pasukan Cin cukup menjadi kalang kabut. Perang seperti ini amat merugikan dan melelahkan pasukan Cin karena pihak musuh melakukan siasat pukul dan lari. Dari para penyelidikannya, Temucin mendengar akan pertempuran antara bangsa Tartar dan bangsa Cin.

   Kesempatan baik untuk mengangkat namanya agar bukan saja terkenal di antara bangsa bangsa di utara, akan tetapi sebagai salam perkenalannya kepada Kerajaan Cin di selatan, tidak disia-siakan oleh Temucin yang cerdik. Dia segera menghubungi Pendeta Yohanes atau Raja Togrul dari bangsa Karait itu, mengatakan bahwa bangsa Tar-tar merupakan musuh mereka bersama, apalagi karena dahulu ayahnya juga tewas di tangan bangsa Tar-tar ini. Kepala suku Karait menyetujui dan mereka berdua menggabungkan pasukan mereka, lalu menyerang barisan Tar-tar. Tentu saja bangsa Tar-tar menjadi kalang-kabut, diserang oleh gabungan pasukan Mongol dari belakang, dan dari depan terdapat pasukan Cin.

   Mereka dalam keadaan terjepit, banyak yang tewas dan banyak pula menjadi tawanan dan orang-orang taklukan bangsa Mongol sisanya melarikan diri sedapatnya. Kemenangan besar ini membuat nama Temucin semakin menonjol. Pimpinan pasukan Kerajaan Cin mengakui jasa Temucin dan Togrul. Bahkan kepala bangsa Karait itu, Pendeta Yohanes atau Togrul, oleh Raja Cin dianugerahi julukan Wang Khan (Rajanya Segala Khan) sedangkan Temucin juga menerima julukan Panglima Pembasmi Pcmberontak. Selain gelar panglima, Temucin juga menerima hadiah sebuah ayunan kanak kanak terbuat dari perak terukir dengan hiasan kain emas. Gelar dan hadiah ini menakjubkan dan membesarkan hati Temucin yang selama hidupnya belum pernah melihat benda seindah itu!

   Nama besar Temucin ini menarik hati banyak kelompok yang berduyun-duyun datang untuk menggabungkan diri dengan pasukan Temucin yang jaya. Makin banyak pula pendekar gagah perkasa yang bergabung. Bahkan putera-putera Temucin juga mulai digembleng dalam ilmu pertempuran, terutama sekali oleh Chepe Noyon, seorang di antara panglima-panglima Temucin yang gagah perkasa dan amat setia. Akan tetapi, seperti sudah lajim terjadi di dunia ini, suatu keadaan tentu ada kebalikan atau lawannya. Demikian pula dengan Temucin. Banyak orang kagum dan datang menggabungkan diri dengan pasukannya, namun tidak kurang-kurang pula yang merasa iri hati kepadanya!

   Iri hati yang menimbulkan kebencian, apalagi mendengar betapa Wang Khan, julukan baru kepala suku Karait, selalu memuji-muji putera angkatnya yang bernama Temucin itu! Bahkan putera-putera dari Wang Khan sendiri merasa iri dan benci kepada Temucin. Mereka menghasut para panglima ayah mereka untuk membenci Temucin sehingga sebagian besar pasukan Karait memandang rendah orangorang Mongol di bawah pimpinan Temucin yang dianggap membonceng kebesaran pasukan Karait dan nama Wang Khan. Komplotan yang membenci Temucin ini perlahan-lahan berhasil pula mempengaruhi hati Wang Khan yang sudah tua itu dengan bujukan-bujukan mereka.

   "Harap Ayahanda berhati-hati menghadapi seorang licik dan cerdik seperti Temucin,"

   Demikian antara lain para putera Wang Khan membujuk ayah mereka.

   "Lihat saja, dari orang biasa saja. dia kini telah mengangkat diri menjadi pemimpin bangsa Mongol dan agaknya dia hendak menyaingi kedudukan Ayah. Kami semua tidak merasa heran kalau akhirnya dia akan mendesak kekuasaan bangsa kami. Ayahanda memelihara seekor harimau, di waktu masih kecil jinak dan menyenangkan, akan tetapi kalau sudah besar, mungkin akan menerkam Ayah sendiri."

   Akhirnya, Wang Khan yang terkena bujukan itu tidak lagi melarang atau menghalangi ketika komplotan itu mengatur siasat dan merencanakan untuk membunuh Temucin dan menghancurkan pasukannya!

   Panglima yang dipercaya oleh Temucin, yaitu Chepe Noyon, mempunyai seorang putera yang sudah digemblengnya menjadi seorang pemuda yang tegap dan gagah, bernama Yuci. Pemuda berusia dua puluh tahun ini cukup ganteng dan memiliki keahlian dalam hal berburu dan juga berperang, pantas menjadi putera seorang panglima seperti Chepe Noyon. Pemuda ini yang menjadi sasaran komplotan orang-orang Karait. Dipilih mereka seorang puteri kepala suku antara mereka, yang remaja dan cantik jelita, untuk dijodohkan dengan Yuci. Melihat betapa gadis itu amat cantik juga pandai, Chepe Noyon dan Yuci setuju. Pihak keluarga gadis itu mengajukan sebuah syarat bahwa untuk mengangkat martabat keluarganya, maka dalam pesta pernikahan itu harus dihadiri oleh Temucin sendiri dan. semua panglima Mongol, sedangkan semua panglima Karait, sampai Wang Khan sendiri juga akan hadir dan merestui. Syarat ini diterima dan disetujui oleh Chepe Noyon setelah mendapat persetujuan dari Temucin.

   Komplotan itu terdiri dari putera-putera Wang Khan sendiri yang bergabung dengan kepala suku Merkit yang bernama Toukta Beg, juga dengan Chamuka yang terkenal dengan julukan Si Cerdik, bahkan juga beberapa orang paman Temucin sendiri ikut dalam komplotan itu. Mereka bersepakat untuk membunuh Temucin apabila kepala suku bangsa Mongol yang mulai terkenal ini menghadiri pesta pernikahan, dan kalau usaha ini gagal, mereka telah mempersiapkan pasukan yang besar jumlahnya untuk menyerang pasukan Temucin dan menghancurkannya. Namun, Temucin bukanlah seorang bodoh. Dia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, di waktu para pimpinan suku-suku bangsa saling berlumba dan bersaingan untuk memperebutkan kekuasaan terbesar, tidak seorang pun boleh dipercaya!

   Dia selalu harus bercuriga dan waspada, mengamati setiap orang baik yang dianggap saudara dan sahabat sendiri sekalipun. Dia maklum bahwa sekali dia lengah, tentu akan dipergunakan oleh pihak yang tidak suka kepadanya untuk menjatuhkannya. Maka, sikap orangorang Karait yang baik itu tidak membuatnya lepas dari kewaspadaan. Bahkan setelah ada pengikatan perjodohan antara puteri seorang suku bangsa atau kelompok suku Karait dengan Yuci putera pembantunya yang setia, Chepi Noyon, Temucin juga bersikap waspada menduga yang paling buruk, yaitu bahwa sikap itu hanya merupakan siasat saja yang harus dihadapi dengan penuh kewaspadaan.

   Diam-diam dia segera mengirim lima orang perajurit penyelidik ke wilayah kekuasaan suku Karait untuk melakukan penyelidikan teliti, menguak tabir yang mungkin menutupi sikap berbesan itu. Dan apa jadinya? Lima orang perajurit penyelidik itu tidak pernah kembali! Agaknya sejarah akan lain jadinya dan belum tentu nama Temucin kelak akan menjadi Jenghis Khan yang maha terkenal kalau saja tidak terjadi hal yang amat tidak disangka-sangka. Lima orang penyelidik itu telah tertawan musuh dan di bawah siksaan yang amat mengerikan, akhirnya seorang di antara mereka mengaku bahwa Temucin merasa curiga dan mengutus mereka untuk menyelidiki keadaan di wilayah suku Karait, menyelidiki apakah di balik pernikahan Yuci itu tidak terkandung maksud buruk! Tentu saja pihak Karait terkejut bukan main. Hampir saja rahasia mereka diketahui Temucin!

   Maka, mereka lalu berunding dan memutuskan untuk melakukan penyerbuan secara tiba-tiba. Namun, hal yang tidak tersangka sangka itu pun terjadilah. Dua orang penggembala kuda yang melihat ditangkapnya lima orang mata-mata itu, juga mereka yang bekerja sebagai penggembala kuda milik para perwira Karait mendengar bahwa mereka harus mempersiapkan semua kuda karena akan dlpergunakan untuk menyerbu pasukan Mongol dibawah pimpinan Temucin, segera malam malam mereka melarikan diri berkunjung ke perkemahan Temucin. Mereka ada dua orang yang sudah lama mengagumi Temucin, dan mereka mendengar betapa pimpinan orang Mongol yang masih muda ini pandai sekali memimpin, adil dan juga menghargai jasa orang-orang yang membantunya.

   Mereka berpikir barwa kalau mereka tetap menghambakan dirinya kepada Wang Khan, mereka hanya akan menjadi penggembala kuda seumur hidup. Sebaliknya, kalau mereka menghambakan diri kepada Temucin sambil membawa berita penting yang merupakan jasa yang besar, tentu mereka akan mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi. Maka,malam-malam mereka meninggalkan perkemahan suku Karait, dan menghadap Temucin.

   "Mereka, suku Karait dan sekutu mereka, merencanakan untuk menyerang perkemahan Paduka pada malam hari. Mereka berniat keras untuk membunuh Paduka dan menghancurkan pasukan Paduka."

   Demikian dua orang penggembala kuda itu melapor. Biarpun jantungnya berdebar karena mendengar laporan ini, namun Temucin tetap tenang.

   "Coba ceritakan dari permulaan, bagaimana kalian dapat mengetahui akan hal itu, dan apa yang terjadi di sana."

   Dua orang penggembala itu lalu bercerita tentang tertawannya lima orang mata-mata yang dikirim Temucin, kemudian tentang persiapan yang dibuat oleh pasukan Karait untuk menggempur malam hari nanti. Temucin mengangguk-angguk, tidak meragukan lagi kebenaran laporan itu.

   "Berapakah besarnya pasukan mereka?"

   "Besar sekali, Khan yang Mulia! Suku Karait sendiri mengerahkan sedikitnya tiga belas ribu orang, dan ditambah dengan sekutu mereka, maka hamba kira tidak akan kurang dari lima belas ribu orang!"

   Temucin mengucapkan terima kasih memberi balas jasa berupa kedudukan sebagai kepala pengurus kuda seluruh pasukannya. Kepala! Tinggal mengawal dan memerintah banyak anak buah, bukan hanya penggembala kuda yang setiap hari bau keringat dan kotoran kuda! Termucin lalu mengumpulkan semua pnnglimanya untuk diajak berunding menghadap keadaan yang gawat itu. Jumlah musuh ada lima belas ribu orang, sedangkan pasukannya sendiri hanya kurang lebih lima ribu orang saja Satu lawan tiga! Kalau seimbang saja jumlahnya, dia akan menyambut dengan penuh semangat. Biarpun dia tahu bahwa pasukan Karait merupakan perajurit perajurit yang tangguh, namun perajuritnya sendiri merupakan orangorang gemblengan. Tentu saja kalau harus menyambut musuh yang tiga kali lipat banyaknya dari depan, merupakan bunuh diri yang bodoh.

   Mereka lalu mengadakan perundingan untuk mengatur siasat. Mereka harus bertindak cepat karena waktunya hanya sedikit sekali. Dalam waktu beberapa jam saja, pihak musuh tentu sudah datang menyerbu seperti yang dikabarkan oleh dua orang penggembala kuda itu.Setelah mengadakan perundingan masak-masak dengan para pembantunya, diambillah keputusan untuk mengungsikan semua keluarga mereka. Semua orang dibangunkan dan semua ternak disingkirkan dari perkemahan itu, dipencar-pencar. Keluarga cepat diungsikan dengan kereta-kereta, juga barang-barang berharga mereka. Mereka itu, dengan patuh sekali tanpa mengeluh, malam-malam segera melarikan diri mengungsi, berbondong-bondong mereka menuju ke perkemahan tetap mereka yang letaknya jauh dari situ.

   Gerobak-gerobak sapi yang besar tidak dibawa, dibiarkan berdiri mengelilingi perkemahan mereka seperti semula. Api unggun tetap dinyalakan, bahkan beberapa orang yang gagah berani, dengan kuda yang dapat berlari cepat, mendapat tugas menjaga agar api unggun itu tidak padam. Setelah semua keluarga lari paling depan, barulah para panglima memimpin pasukan untuk meninggalkan perkemahan itu di bagian belakang, untuk melindungi pelarian para keluarga mereka dari serbuan musuh yang tentu akan melakukan pengejaran.

   Tujuan mereka adalah daerah berbukit yang berada di depan, kurang lebih sepuluh mil jauhnya. Daerah berbukit itu akan dapat melindungi mereka, dapat mereka jadikan semacam benteng pertahanan. Setelah pasukan Temucin menyeberang sebuah sungai, mereka membiarkan kuda mereka minum dan bahkan memberi makan dan membiarkan kuda mereka ini melepaskan lelah. Mereka amat membutuhkan tenaga kuda mereka besok maka malam ini binatang-binatang harus dapat memulihkan tenaga mereka dan tidak terlalu lelah.

   Sementara itu, sesuai dengan siasat mereka, orang-orang Karait datang menyerbu lewat tengah malam, menjelang subuh. Mereka memperhitungkan bahwa waktu seperti itu, semua orang Mongol tentu sedang tidur nyenyak, apalagi hawa udara demikian dinginnya. Melihat semua api unggun masih bernyala, mereka memperhitungkan bahwa yang tidak tidur tentulah hanya beberapa orang penjaga api unggun. Dengan penuh semangat dan kegembiraan, penuh kepastian akan memperoleh kemenangan besar, pasukan Karait itu menghujankan anak panah di perkemahan itu. Akan tetapi, mereka tidak mendapatkan perlawanan sama sekali!

   Mereka menyerbu ke perkemahan dan barulah mereka melihat kenyataan yang mengherankan dan membingungkan, yaitu bahwa perkemahan itu kosong! Atas perintah Temucin yang mengatur siasat, banyak permadani dan pelana-pelana ditinggalkan di dalam perkemahan dan keadaan kacau balau. Hal ini menjadi petunjuk bagi para penyerbu bahwa orang-orang Mongol itu tentu terkejut dan ketakutan, lalu melarikan diri cerai berai. Karena bingung menghadapi keadaan yang sama sekali tidak mereka duga itu, dan kecewa karena mereka tidak berhasil menemukan Temucin yang akan mereka bunuh, mereka lalu mengadakan perundingan.

   "Api unggun mereka masih bernyala peralatan berharga banyak yang mereka tinggalkan dan keadaannya kacau balau. Jelas mereka itu melarikan diri. Tentu kedudukan mereka lemah sekali. Mari kita kejar mereka!"

   Demikian mereka mengambil keputusan.

   Nampak jejak-jejak orang-orang Mongol yang melarikan diri menuju ke timur, maka pasukan orang Karait itu melakukan pengejaran, memacu kuda mereka yang sudah lelah dan tak pernah diberi waktu istirahat itu. Barisan Karait yang amat besar jumlahnya itu merupakan deretan panjang, mengejar orang orang Mongol yang mereka anggap tentu dalam keadaan kacau dan lemah, tidak teratur. Mereka seperti hendak berlumba lebih dulu membunuhi orang Mongol lebih dulu merampok harta benda dan memilih wanita yang paling cantik. Temucin sudah siap siaga. Tentu saja dia dan para pembantunya sudah menduga akan datangnya musuh. Dari jauh mereka mengintai dan melihat pihak musuh mengejar dengan tidak teratur. Temucin memecah pasukannya menjadi dua. Mereka memacu kuda mereka yang segar dan sudah beristirahat itu, menyeberangi sungai dan menyerang musuh dengan cara menggunting dari kanan kiri.

   Terjadilah pertempuran yang hebat! Andaikata Temucin dan para pembantunya belum beristirahat dan kuda mereka tidak segar seperti saat itu, apalagi degan cara penyerangan tiba-tiba dari kanan kiri, tentu pasukan Mongol itu akan mudah dihancurkan pasukan Karait yang jauh lebih besar jumlahnya. Namun, orang-orang Karait dan kuda mereka sudah lelah, dan mereka diserang oleh musuh yang mereka anggap sudah lemah dan ketakutan itu, maka mereka menjadi panik dan banyak perajurit mereka yang roboh dan tewas oleh amukan para perajurit Mongol.

   Namun, karena jumlah orang Karait itu ternyata lebih besar daripada laporan dua orang penggembala kuda, tidak kurang dari dua puluh ribu orang, maka biarpun pasukan Mongol itu menyerang penuh semangat dengan merobohkan banyak lawan, tetap saja mereka tidak kuat menghadapi pengeroyokan banyak musuh itu. Apalagi ketika matahari mulai terbenam setelah bertempur selama setengah hari dengan cara berlari-larian mempergunakan daerah berbukit-bukit untuk memencarkan pihak musuh, akhirnya Temucin maklum bahwa pasukannya akan habis kalau pertempuran itu di lanjutkan.

   Temucin melihat bahwa satu-satunya tempat yang akan menyelamatkan pasukannya hanyalah sebuah bukit yang diberi nama Bukit Gupta, sebuah bukit yang berada di belakang pihak musuh. Bukit itu memang tempat yang amat baik untuk bertahan terhadap serangan musuh yang lebih besar. Bukit yang dikelilingi jurang yang amat curam dan jalan naik ke puncak bukit itu hanya satu, jalan sempit yang diapit tebing curam. Kalau mereka dapat mencapai bukit itu, maka mereka akan selamat. Akan tetapi siapakah yang dapat ditunjuk sebagai pelopor karena bukit itu berada di sebelah belakang musuh? Untuk mencapainya harus mencari jalan darah, yaitu harus melingkari pasukan musuh!

   Majulah Guildar, kepala suku Manhut yang menjadi seorang di antara pembantu dan panglima Temucin yang setia. Guildar terkenal pandai sekali menunggang kuda, juga amat pemberani dan cerdik, ditambah pula pandai dia memainkan pedang sambil menunggang kuda.

   "Khan yang mulia, biarlah saya yang akan memegang panji Paduka. Biarpun saya sudah letih, namun akan saya pergunakan seluruh sisa tenaga saya untuk memancangkan panji Paduka di puncak Bukit Gupta. Akan saya terjang semua musuh yang menghalangi saya.

   Biarlah semua orang melihat keberanian dan kesetiaan saya. Kalau saya gagal dan tewas, harap Paduka suka memelihara keluarga saya!"

   Temucin menghampiri dan merangkul Guildar, kemudian menyerahkan panji dan pedangnya. Guildar menunggang kuda, disusul para perajurlt yang dipimpin para panglima, melindungi Temucin dan Guildar menerjang pasukan musuh bagian samping kiri lalu menyerang bagian belakang. Keadaan musuh menjadi kacau balau dan panik melihat keberanian Guildar dan pasukan Mongol, ditambah pula malam mulai tiba.

   Akhirnya, biarpun terluka, Guildar berhasil memancangkan panji Temucin di puncak Bukit Gupta! Pihak pasukan Karait menjadi gentar. Banyak sekali perajurit mereka yang gugur, apalagi seorang putera dari Wang Khan luka parah, maka terpaksa mereka menghentikan penyerangan dan mundur. Bagaimanapun juga, harus mereka akui bahwa kerugian di pihak mereka lebih besar! Pada keesokan harinya, kembali mereka melakukan pengejaran. Namun semangat mereka telah melemah sehingga biarpun banyak pula perajurit Mongol yang tewas, namun Temucin dapat menyelamatkan diri berikut keluarganya! bahkan pasukan inti suku-suku yang berlindung di bawah panjinya masih utuh Akhirnya; pasukan Karait mendapat perintah dari atasan untuk menghentikan pengejaran.

   "Bukan main dia itu.....!"

   Wang Khan menarik napas panjang ketika mendengar pelaporan tentang kegagalan membunuh Temucin itu.

   "Kita telah salah perhitungan. Orang seperti Temucin itu lebih menguntungkan kalau dijadikan sekutu bukan musuh! Lebih baik dia menjadi kawan daripada lawan."

   Namun, semua telah terlanjur dan dia tahu bahwa Temucin tidak mungkin mau melupakan atau memaafkan penyerangan yang licik dan curang itu. Dugaan raja tua ini memang tepat sekali. Bukan seorang calon raja besar kalau Temucin melupakan kecurangan seperti itu, yang mengakibatkan kekalahan yang dideritanya, kehilangan banyak perajurit harta benda. Beberapa hari kemudian semenjak terjadi piristiwa itu, Wang Khan, yaitu julukan baru yang dianugerahkan Kaisar Kerajaan Cin kapada kepala suku Karait yang tadinya bernama Toghrul atau juga Pendeta Yohanes ini, malah menerima sepucuk surat dari Temucin. Surat itu ditulis dengan huruf-huruf yang bagus, disusun dalam kata-kata yang indah, nampaknya halus dan sopan seperti sepatutnya seorang putera angkat menulis sepucuk surat kepada ayah angkatnya yang dihormati.

   "Ayahanda Wang Khan yang mulia, Ingatkah ayahanda, ketika ayahanda dikejar musuh, bukankah saya mengirimkan para panglima saya untuk menolong ayahanda? Ayahanda datang kepada saya menunggang seekor kuda buta, dengan pakaian compang camping dan badan kurus kelaparan. Bukankah saya memberi ayahanda ternak biri-biri dan kuda dalam jumlah yang berlebihan? Dahulu, pasukan ayahanda merampas barang-barang rampasan perang yang menjadi hak pasukan saya. kemudian rampasan itu dirampas musuh-musuh ayahanda, dan para panglima saya yang berhasil mengembalikannya kepada ayahanda. Di tepi Sungai Hitam kita telah berjanji untuk bersatu, tidak mendengarkan kata-kata fitnah mereka yang hendak memisahkan kita. Saya tidak pernah menuntut ganjaran yang lebih dari ayahanda. Andaika kekuasaan ayahanda merupakan kereta, maka saya adalah sebuah di antara roda kereta itu. Kalau kereta hilangan sebuah rodanya, takkan berjalan maju. Kenapa ayahanda marah kepada saya dan menyerang saya?"

   Demikianlah bunyi surat itu, sopan halus namun mengandung penyesalan besar, bahkan merendahkan.

   Ancaman yang mengerikan mulai menghantui hati Wang Khan. Dia merasa menyesal sekali mengapa menuruti bujukan para puteranya dan para musuh Temucin. Namun penyesalan yang terlambat datangnya tidak ada artinya lagi. Temucin menyusun kekuatan yang besar sekali. Setelah melakukan penyelidikan untuk mengetahui keadaan dan kekuatan suku Karait, mulailan Temucin melakukan penyerangan. Sebuah pertempuran hebat terjadi. Pertempuran seru dan mati-matian antara dua buah pasukan yang hampir sama besarnya dan yang saling membenci. Dua buah di antara suku-suku terbesar di daerah Mongol. Suku Karait merupakan suku yang tua dan besar, bahkan Kerajaan Cin di sebelah selatan Tembok Besar juga segan terhadap suku Karait. Kini, suku bangsa itu mengalami penyerbuan besar-besaran dari Temucin. Mereka melakukan perlawanan mati-matian. Namun, Temucin sudah memperhitungkan secara masak-masak sebelum melakukan penyerbuan itu.

   Para panglimanya mengambil posisi yang tepat, mengepung pusat benteng bangsa Karait itu. Pertempuran berlangsung dari subuh, sehari penuh dan akhirnya, menjelang senja, perlawanan bangsa Karait dapat dipatahkan. Raja tua Wang Khan dan puteranya menderita luka-luka dan mereka berdua melarikan diri sebelum benteng terakhir bobol. Perkemahan besar bangsa Karait diserbu dan diduduki. Harta benda bangsa Karait yang ditinggalkan lari pasukan yang kalah itu dirampas, wanita-wanita ditawan. Temucin sendiri tidak membutuhkan harta benda dan para wanita itu. Dia membagi-bagikan harta dan wanita itu kepada para panglima dan perajurit yang berjasa!

   Bahkan perkemahan Wang Khan sendiri yang dihias dengan sulaman emas, diberikan seluruhnya kepada dua orang penggembala kuda yang pernah berjasa memberi kabar ketika pasukannya akan diserbu oleh suku Karait tempo dulu, sehingga terjadi pertempuran di Buki Gupta itu. Pasukan Temucin mengejar sisa tentara Karait. Setelah pasukan musuh itu terkepung, Temucin yang cerdik menahan pasukannya agar tidak membasmi mereka. Dia memberi kesempatan kepada sisa pasukan Karait untuk menyerah dan menaluk, menawarkan agar mereka suka bergabung dengan pasukannya yang semakin besar dan jaya. Karena melihat betapa raja mereka sudah dihancurkan musuh, maka tidak ada pilihan lain bagi pasukan Karait untuk menaluk kepala raja baru yang besar itu.

   Temucin tidak mau bertindak kepalang tanggung. Dia memerintahkan untuk mencari dan menangkap para penggerak persekutuan yang memusuhinya. Akhirnya, Chamuka, masih keponakannya sendiri yang berjuluk Si Cerdik itu, tertangkap dan melihat betapa orang ini biarpun cerdik namun amat culas dan membencinya karena iri hati, Temucin lalu menghukum mati padanya, Dia juga menyuruh orang-orangnya menyelidiki kemana larinya Wang Khan dan puteranya. Dan biarpun tidak secara terang-terangan, Temucin berhasil pula menyuruh mata-rnatanya untuk melakukan pengejaran, pencarian kemudian membunuh pula Wang Khan dan puteranya.

   Karena hal itu dilakukan secara rahasia, maka tidak ada yang menyangka bahwa dia yang menyuruh orang membunuh bekas ayah angkatnya itu. Bermacam-macam berita tentang kematian Wang Khan. Ada yang mengatakan dia dan puteranya dalam pelarian itu dibunuh perampok, ada yang mengabarkan dibunuh orang-orang Turki. Semenjak berhasil mengalahkan suku Karait, bahkan kini seluruh sisa suku Karait bergabung di bawah panji Temucin, maka raja muda ini menjadi semakin terkenal dan besar kekuasaannya. Para kepala kelompok menjadi gentar.

   Kalau suku Karait yang demikian besar dan kuat sampai dapat dikalahkan, maka pada waktu itu, kiranya tidak ada pemimpin yang akan mampu menandingi kebesaran Temucin. Semakin banyak kepala kelompok yang menakluk sebelum diserang menggabungkan diri, mengakui kekuasaan Temucin. Mereka yang tidak mau tunduki diserbu dan dihancurkan. Dalam hal ini Temucin bertangan besi. Suku yang tidak mau taluk, diserbu dan dibasmi habis kecuali para wanitanya yang dibagi-bagikan kepada para perajuritnya, dan kanak kanak yang sehat dipelihara karena kelak dapat menggantikan para perajurit yang tua.

   Ternyata Temucin merupakan seorang pemimpin yang amat bijaksana. Dia memberi hadiah yang amat besar, bahkan tidak sayang memberikan barang milik pribadinya kepada panglima yang berjasa. Para panglima yang menjadi pembantu utamanya dan sudah menumpuk jasa dihormatinya dan diberi kekuasaan mutlak sehingga mereka itu dapat saja setiap saat memasuki kemahnya! Bahkan banyak di antara para panglima berjasa ini yang melakukan kesalahan besar, yang menurut kebiasaan seharusnya dihukum mati, ternyata diampuni oleh Temucin. Sebaliknya, kepada musuh-musuhnya, yaitu suku yang tidak mau mengakui kekuasaannya, dia bertindak kejam bukan main, membunuh mereka tanpa mengenal ampun lagi.

   Berduyun-duyun datanglan kelompok-lompok baru dan akhirnya, hampir seluruh suku di daerah Mongol yang membentang luas dari barat ke timur dan dari Tembok Besar ke utara, taluk dan bergabung dengan pasukan Temucin. Bangsa Mongol menjadi bangsa yang besar, bersatu dan amat kuat. Demikian besarnya kekuasaan Temucin sehingga suku-suku yang tadinya saling bermusuhan turun temurun, setelah mereka bergabung dengan Temucin, maka permusuhan di antara mereka itu dilupakan. Dan kelompok-kelompok yang berlainan agama, ada yang beragama Buddha dan Syaman, pemuja berhala, Kaum Muslimin dan penganut Agama Nasrani Nestorian, dapat bersatu di bawah panji Temucin!

   Temucin yang hendak mengukuhkan kedudukannya itu mengusulkan untuk mengadakan rapat besar di antara para pimpinan kelompok.

   "Kita telah menjadi bangsa yang besar dan semua kelompok dan suku telah bersatu padu. Untuk memimpin bangsa yang besar ini, kita membutuhkan seorang pemimpin, seorang Khan (Raja) yang dapat membimbing kita menjadi bangsa yang besar, Jaya dan kuat, bukan bangsa yang berkeliaran tanpa tempat tertentu seperti kebanyakan dari kita."

   Demikian antara lain Temucin mengajukan usul yang diterima oleh semua kepala kelompok.

   Ketika itu, bangsa Turki juga menyatakan dirinya bersatu dengan bangsa Mongol yang semakin kuat itu. Ketika diadakan sidang atau rapat besar yang terjadi dalam tahun 1206, dalam pemilihan raja, tentu saja semua pemimpin kelompok menunjuk dan memilih Temucin Tak seorang pun meragukan kemampuannya, melihat betapa pandainya Temucin memimpin bangsa Mongol selama beberapa tahun ini. Dengan suara bulat, Temucin diangkat menjadi raja dan atas usul seorang ahli nujum, Temucin diberi gelar Jenghis Kha Khan (Yang Teragung Diantara Raja) dan kemudian terkenal dalam sejarah sebagai Jenghis Khan! Dengan sikap yang agung dan hati yang besar Temucin menerima pengangkatan itu dan sejak itu dia pun menjadi raja besar Jenghis Khan yang kelak akan mengguncangkan sebagian dunia dan namanya dikenal oleh seluruh dunia.

   Tebing itu curam sekali. Hati merasa ngilu kalau orang berdiri di tepi tebing dan menjenguk ke bawah. Bukan main curamnya. Tidak kurang dari seribu kaki Dan jauh di bawah sana nampak air laut. Dari jarak sejauh itu, air laut nampak tenang sekali, seperti hamparan kain beledu biru. Batu-batu karang nampak kecil-kecil menghias pantai di bawah. Padahal kalau orang berada di bawah tebing, air laut itu bergelora tak pernah berhenti, menghantami batu karang mengeluarkan suara berdebur keras dan mengguncangkan karang besar. Yang nampak dari atas hanya garis-garis putih, yaitu puncak alun yang membuih.

   

Nona Berbaju Hijau Karya Kho Ping Hoo Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini