Pedang Asmara 15
Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 15
Beberapa buah genteng yang diinjaknya pecah dan dia terhuyung. Orang-orang yang tadi mengeroyoknya, mengejar dan berteriak-teriak di bawah rumah. Sebelum rumah terkepung dan sebelum ada yang naik, Tiong Sin berlari dan meloncat lagi ke rumah lain, terus berloncatan dari rumah ke rumah dan akhirnya dia meloncat turun ke tempat yang agak gelap karena di situ terdapat beberapa batang pohon besar.
"Ssttt, ke sinilah. Aku akan menyembunyikanmu!"
Tiba-tiba terdengar suara orang. Ada seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi kurus muncul di kegelapan.
Karena dia sendiri sudah hampir putus asa, Tiong Sin terhuyung menghampiri orang itu. Orang itu memegang lengannya dan menariknya masuk ke sebuah pintu yang kecil dari pagar yang mengelilingi sebuah rumah besar. Dia menarik Tiong Sin masuk ke balik pagar tembok, lalu menutup lagi pintu kecil dan menguncinya, lalu mengajak pemudi itu lari ke dalam rumah besar. Rumah itu besar dan mewah, dan orang tinggi kurus itu terus mengajaknya masuk ke dalam.sebuah ruangan yang luas.
"Siapakah engkau? Dan mengapa engkau membantuku?"
Tiong Sin bertanya dengan pandang mata penuh selidik!. Orang itu tersenyum.
"Aku tidak mempunyai hubungan dengan persoalanmu, akan tetapi melihat, kelihaianmu, aku merasa sayang kalau sampai engkau mati konyol. Nah, engkau bersembunyi di kamar rahasia di balik dinding itu.
Jangan mengeluarkan suara, dan jangan keluar kalau tidak kujemput. Engkau akan aman di sana."
Orang itu menggerakkan sebuah arca singa kecil dan tiba-tiba saja almari buku yang berada di ruangan itu bergerak, mengeluarkan suara berderit dan ternyata almari itu telah berputar dan di belakangnya terdapat pintu tembusan ke sebuah kamar.
"Masuklah dan engkau bersembunyi dulu di situ sampai keadaan aman kembali."
Kata orang tinggi kurus itu. Tiong Sin tidak mempunyai pilihan lain.
Kalau dia menolak, dia akan terus menjadi buruan tanpa dapat keluar dari kota itu dan akhirnya dia akan roboh pula. Kalau dia bersembunyi di sini, andaikata orang ini, mengkhianatinya, setidaknya dia sudah memperoleh kesempatan untuk beristirahat dan mengumpulkan tenaga. Akan tetapi kalau orang itu benar-benar hendak menolongnya, dia akan selamat. Maka, dia pun mengangguk dan memasuki kamar itu.
Si tinggi kurus memutar arca singa dan almari itu berputar kembali, menutupi lubang pada dinding. Kamar yang dimasuki Tiong Sin itu cukup bersih. Ada sebuah pembaringan kecil dan ada dua buah kursi, bahkan tersedia sebuah poci terisi air teh dan cangkir-cangkirnya, dan seguci arak dengan cawannya. Tiong Sin lalu meneguk secawan arak, kemudian dia naik ke atas pembaringan dan duduk bersila, memeriksa luka-lukanya, menaruhkan obat luka yang dibawanya, kemudian dia pun duduk diam untuk menghimpun tenaga baru.
Dia dapat menduga bahwa penolongnya tadi bukan seorang Han, melainkan seorang suku bangsa Mancu atau Mongol. Dari logat bicaranya saja dia sudah dapat menduga walaupun orang itu mengenakan pakaian seperti pribumi. Dia menduga-duga apa yang menjadi pamrih orang itu menolongnya, walaupun tadi orang itu mengatakan sayang kalau dia sampai mati konyol. Di tempat seperti itu, semua orang berjiwa dagang, tidak akan melakukan sesuatu kalau tidak mendatangkan keuntungan.
Dia tidak dapat menduga, keuntungan apa yang dituntut orang itu darinya. Bagaimanapun juga kalau orang itu mampu menyelamatkannya, menyelundupkannya, sampai dia dapat keluar dari kota Wang-cun dengan selamat dia siap untuk membalas budinya yang besar.
Tiba-tiba dia terkejut dan cepat dia turun dari pembaringan, menyambar pedangnya yang tadi dia letakkan di atas pembaringan di depannya, lalu berindap-indap mendekati almari yang memisahkan dia dari ruangan luas itu. Dia mendengar langkah kaki dan suara orang bercakap-cakap, suara itu jelas sekali dapat dia tangkap. Dia mendengar suara orang tinggi kurus tadi.
"Nah, tuan-tuan sekalian. Sudah saya katakan bahwa saya tidak melihat siapapun memasuki rumah kami, apalagi pemuda yang dikejar-kejar itu. Saya tinggal di sini. bersama beberapa orang pelayan dan mereka semua sudah bertahun-tahun tinggal di sini. Karena hawa dingin, mereka semua belum bangun. Maka, saya terkejut sekali ketika sepagi ini pintu rumah kami digedor....."
Di dalam suara itu terkandung penasaran.
"Maafkan kami, saudara Barcan. Kami sudah mengenalmu selama beberapa tahun. Kami tahu bahwa saudara Barcan adalah seorang saudagar besar yang tidak pernah melanggar peraturan. Akan tetapi, malam ini kami mengejar seorang penjahat besar yang telah membikin kacau di Hek-eng-pang, dan tadi kami melihat dia lari menuju ke daerah ini. Maka, terpaksa kami mencarinya di seluruh tempat daerah ini, termasuk rumahmu. Siapa tahu dia bersembunyi di sini di luar tahumu."
"Ahhh! Maksudmu, pembunuh yang telah membunuh banyak saudara Hek-eng-pang? Betapa mengerikan! Dan dia berlari ke daerah ini? Kalau begitu, harus dicari, Ciangkun (Perwira). Mari saya bantu mencarinya, mungkin dia bersembunyi di dalam kebun. Oya, biar kubangunkan semua pelayanku agar mereka ikut membantu dalam pencarian!"
Tiong Sin bernapas lega ketika mendengar langkah kaki banyak orang itu keluar dari rumah dan suara mereka tidak terdengar lagi. Ah, kiranya penolongnya itu bernama Barcan, seorang suku Mongol kalau begitu. Dan kini dia percaya bahwa Barcan itu bersungguh-sungguh dalam usahanya menolongnya. Kalau dia hendak berkhianat, betapa mudahnya tadi, dan tentu dia sudah dikeroyok dan mungkin tertawan atau tewas. Sungguh besar sekali jasa Barcan itu, dan dia berhutang budi, bahkan berhutang nyawa kepadanya. Dan Barcan seorang saudagar besar bangsa Mongol. Agaknya dia cerdik sekali, maka boleh diharapkan akan mampu menyelundupkan dia keluar dari kota itu.
Tiong Sin sama sekali tidak tahu bahwa penolongnya itu, Barcan, adalah orang yang penting di Mongol pada waktu itu. Barcan bukan seorang saudagar kaya biasa saja. Sama sekali bukan! Telah diceritakan di bagian depan bahwa Barcan ini adalah seorang kepala kelompok yang menjadi pembantu dari Temucin! Bahkan dahulu, isteri Barcan yang masih muda bernama Ogui, yang cantik manis, telah mengadakan hubungan cinta dengan Temucin. Mereka berdua menjadi korban dari pengaruh mujijat Pedang Asmara hingga mereka mengadakan hubungan gelap. Akan tetapi, Temucin menyadari ketidakwajaran itu, dan dia diam-diam membunuh Ogui lalu memberitahu kepada Barcan bahwa isterinya itu berlaku tidak senonoh hendak menggodanya maka dibunuhnya wanita itu. Barcan berterima kasih sekali dan memuji perbuatan Temucin yang membersihkan namanya.
Dia menjadi pembantu yang makin setia dan karena Barcan seorang yang cerdik, pandai dan gagah, juga banyak pengalamannya di perbatasan, maka dia lalu menerima tugas berat dari Temucin untuk menjadi mata-mata di perbatasan. Demikianlah, Barcan menjadi saudagar kaya di perbatasan. Dia memasukkan barang-barang dari dalam Tembok Besar keluar, dan mendatangkan rempah-rempah dan kulit binatang dari utara.
Dengan demikian hubungannya luas, namanya dikenal baik dan diam-diam dia pun menyelidiki keadaan di perbatasan. Dia hafal benar siapa yang menjadi komandan, siapa-siapa para perwiranya, dan berapa besar kekuatan benteng pasukan pemerintah di tapal batas. Dia mencatat semua kekuatan dan kelemahan pihak pasukan pemerintah! Dia tahu pula bahwa Hek-eng pang terdiri dari orang-orang dengan kepandaian silat tinggi dan puluhan orang anggauta Hek-eng-pang itu membantu pemerintah menjaga keamanan. Maka begitu melihat ada seorang pemuda membikin kacau Hek-eng-pang, bahkan kabarnya merobohkan belasan orang hatinya tertarik sekali.
Kebetulan sekali pada malam itu, ketika dikejar-kejar, pemuda itu lewat di belakang kebunnya. Maka dia pun cepat turun tangan membantu dan menyembunyikan Tiong Sin, dengan harapan kelak pemuda ini akan berguna baginya, atau lebih tepat lagi, bagi pasukan yang. dipimpin Temucin yang sejak lama sudah merencanakan untuk menyerbu ke selatan! Baru setelah matahari naik tinggi Barcan membuka pintu rahasia kamar itu dan dia tersenyum lebar ketika melihat Tiong Sin bersila di atas pembaringan dengan pedang di tangan.
"Orang muda, simpan pedangmu. Bahaya telah lewat dan engkau aman di sini."
Tiong Sin menyarungkan pedangnya, turun dari pembaringan dan memberi hotmat kepada pria tua kurus itu.
"Paman, aku Tiong Sin menghaturkan terima kasih kepadamu dan aku bersumpah bahwa kalau keadaan mengijmkan, kalau terbuka kesempatan, aku akan membalas kebaikanmu hari ini. Akan tetapi, selama masih belum keluar dari Wang-cun, kukira keadaanku belum dapat dibilang aman."
"Duduklah dan mari kita makan pagi dulu sebelum bicara. Banyak hal yang ingin kubicarakan denganmu."
Mereka berdua sarapan pagi, dilayani oleh seorang pembantu rumah tangganya. Kiranya Barcan tinggal di situ hanya bersama beberapa orang pembantunya yang sesungguhnya merupakah jagoan jagoan Mongol yang menyamar. Barcan tidak membawa keluarganya yang ditinggalkan di utara, akan tetapi sedikitnya sebulan sekali dia menengok keluarganya di utara dengan dalih membawa barang dagangan.
"Aku tidak ingin mencampuri urusan pribadimu, orang muda. Bahkan nama Yeliu Tiong Sin sama sekali tidak pernah kami kenal dan kami pun tidak mempunyai hubungan apapun denganmu Akan tetapi, mulai saat ini, engkau menjadi buruan pemerintah, engkau menjadi musuh pemerintah."
"Sebetulnya, aku pun tidak ingin bermusuhan dengan pemerintah, Paman Barcan, akan
tetapi siapa kira bahwa Hek eng-pang ternyata bersekutu dengan pasukan pemerintah sehingga aku dikejar kejar oleh pasukan."
"Hemmm, memang Hek-eng-pang merupakan pembantu pasukan keamanan pemerintah. Oleh karena itu, engkau tidak mungkin lagi bebas seenaknya kalau berada di selatan. Tentu gambar tentang dirimu telah disebar dan kemanapun engkau pergi, kalau bertemu dengan penjaga keamanan kota, tentu engkau akan ditangkap."
Wajah yang tampan itu berubah panik dan sedih. Hal ini sama sekali tidak pernah dibayangkannya. Dia hendak membalas dengan kematian ayahnya kepada Hek eng pang dan tahu-tahu dia berhadapan dengan pemerintah, bahkan kini menjadi buruan yang membuat dia tak pernah merasa aman, di manapun dia berada.
"Karena itu, aku mohon Paman jangan kepalang tanggung menolongku. Harap paman dapat mengusahakan agar aku dapat keluar dari daerah ini dengan aman."
Barcan tertawa bergelak, hatinya senang sekali bahwa segala rencananya berjalan dengan baik. Dia bersusah payah menolong pemuda ini memang ada pamrihnya. Bukan hanya susah payah, akan tetapi amat berbahaya. Kalau sampai ketahuan, semua usahanya selama bertahun tahun ini tidak ada artinya!
"Sudah kukatakan tadi, orang muda. engkau tidak mungkin kembali ke selatan, karena di sana engkau akan selalu dikejar kejar. Bukan mustahil karena Hek eng pang juga minta bantuan para pendekar dan tentu hidupmu akan selalu terancam bahaya dan engkau tidak dapat tenang. Jalan satu-satunya adalah pergi ke utara!"
"Ke utara? Di daerah suku-suku bangsa liar?"
Dia lalu teringat bahwa penolongnya seorang suku bangsa Mongol maka cepat-cepat disambungnya.
"Maaf Paman. Akan tetapi aku harus berbuat apa di utara yang sama sekali asing bagiku?"
"Yeliu Tiong Sin, jangan menganggap bahwa suku-suku bangsa di utara hanyalah suku liar yang bodoh. Kini telah bangkit seorang pemimpin besar yang akan membawa suku Mongol menjadi bangsa yang paling besar di dunia! Kalau engkau suka membantu pemimpin kami kelak engkau akan memperoleh kedudukan tinggi!"
Kemudian Barcan bicara tentang Jenghis Khan. Hati Tiong Sin tertarik sekali dan akhirnya dia pun menyatakan kesediaannya untuk membantu.
"Baiklah, Paman Barcan. Aku akan membantu rajamu, ke dua untuk menyelamatkan diri dari kejaran pemerintah kerajaan Cin, dan ke tiga untuk bisa mendapatkan kemuliaan dengan mengabdikan diriku kepada Raja Jenghis Khan. Akan tetapi ketahuilah, namaku bukan Yeliu Tiong Sin, melainkan Bu Tiong Sin. nama keluarga Yeliu itu hanya kupergunakan agar keluarga Hek-eng-pang tidak mengenal aku sebagai keturunan musuh besarnya."
Tanpa diminta, Tiong lalu bercerita kepada Barcan tentang riwayat dirinya, tentang kedua orang, tuanya yang tewas ketika dia masih bayi dan tentang usahanya membalas dendam kepada keluarga Hek-eng-pang.
Hati Barcan menjadi semakin girang. Pemuda ini dapat menjadi seorang pembantu yang baik sekali, pikirnya.
"Baiklah kalau begitu memang kita ini sudah saling cocok. Besok pagi-pagi kami akan mengatur agar engkau dapat lolos dari kota ini dan langsung menyeberang ke utara, melewati Tembok Besar. Kami akan mengirim kain-kain dalam peti beberapa besar dan engkau dapat bersembunyi di dalam sebuah di antara peti peti itu. Pemimpin kami sudah membuat persiapan untuk menyerbu ke selatan dan kebetulan sekali engkau menjadi pembantu kami, maka engkau depat membuat jasa."
Pagi itu terjadi kesibukan di rumah Barcan. Sebuah kereta besar dibawa masuk dan empat buan peti besar berisi kain dan barang dagangan lain dinaikkan ke atas kereta. Di tengah-tengah terdapat sebuah peti besar yang kosong dan Tiong Sin disuruh memasuki peti ini yang kemudian ditutup. Akan tetapi peti itu berlubang-lubang kecil dari mana Tiong Sin selain dapat bernapas, juga dapat mengintai keluar.
Barcan sudah bersiap-siap, mengenakan pakaian dengan jubah lebar yang bersih berwarna coklat. Juga dua orang diantara pembantunya yang akan ikut pergi, seorang di antaranya menjadi kusir. Pembantu yang lain tinggal di rumah untuk mengurus perdagangan dan menjaga rumah. Pada saat mereka siap untuk berangkat, tiba-tiba nampak berkelebat bayangan tiga orang dan di lain saat, di depan kereta yang masih berada di pekarangan dalam itu telah berdiri tiga orang laki laki yang sikapnya angkuh dan bengis.
"Barcan, kami mendapat tugas untuk memeriksa dan menggeledah seluruh tempat tinggalmu ini. Juga isi kereta itu!"
Bentak seorang di antara mereka.
Tiong Sin yang berada di dalam peti itu terkejut dan dia pun mengintai dari dalam. Melalui lubang-lubang itu, dia dapat melihat dengan jelas. Tiga orang laki-laki yang bertubuh tegap dan sikapnya gagah. Di pinggang mereka tergantung sebatang pedang dengan sarungnya terukir indah, mudah diduga bahwa mereka bukan orang sembarangan, melihat betapa mereka muncul dengan gerakan demikian cepat, seperti masuknya tiga ekor burung garuda saja. Dengan jantung berdebar tegang dia mengintai dengan penuh perhatian. Kalau perlu, dia harus keluar dari peti dan membantu Barcan, pikirnya. Dia melihat betapa Barcan bersikap tenang saja.
Orang Mongol itu tadi terkejut melihat munculnya tiga orang itu, akan tetapi dia segera bersikap biasa, nampak terheran dan dia segera menjura kepada mereka.
"Ah, kiranya Sam-wi Ciangkun (Tiga Perwira) dari pasukan Bulu Emas yang datang berkunjung!"
Serunya ramah.
"Tentu saja kami tidak berkeberatan kalau Sam-wi hendak melakukan penggeledahan di rumah kami, walaupun semalam sudah digeledah dan kami sendiri ikut membantu. Bukankan Sam-wi masih mencari pemuda yang kabarnya telah mengacau dan melakukan pembunuhan di Hek-eng pang itu?"
"Benar, dan kami memperoleh tugas untuk mencarinya sampai dapat. Karena dia menghilang di daerah ini, maka kami masih mempunyai keyakinan bahwa dia berada di sekitar tempat ini dan besar kemungkinan bersembunyi di dalam rumahmu, saudara Barcan,"
Kata orang pertama dari tiga perwira itu. Mereka bertiga itu adalah perwira-perwira pasukan Bulu Emas yang amat terkenal. Pasukan berani mati yang rata-rata pandai Ilmu silat, apalagi tiga orang perwiranya, menurut berita, tiga orang perwira ini memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi, Barcan dan para pembantunya kelihatan tenang-tenang saja. Memang, dalam menghadapi bahaya seperti itu, ketenangan merupakan syarat pokok agar dapat melakukan tindakan yang tepat.
"Kalau ada orang bersembunyi di rumah kami, sudah pasti kami akan mengetahuinya, Ciangkun. Akan tetapi kalau Sam-wi Ciangkun menghendaki tentu saja kami tidak berkeberatan kalau Sam-wi melakukan penggeledahan ke dalam rumah. Silakan, Ciangkun. Akan tetapi kami tidak ingin kesiangan. Kami hendak mengirim barang ke utara dan karena tujuan perjalanan kami amat jauh, terpaksa kami akan meninggalkan Sam-wi lebih dahulu Ada para pembantu kami di rumah, Sam-wi Ciangkun boleh memeriksa sampai di semua sudut. Kami hendak pergi lebih dulu."
Berkata demikian, Barcan memberi isyarat kepada dua orang pembantunya, lalu dia masuk ke dalam, kereta, diikuti dua orang itu. Akan tetapi, sebelum kereta itu bergerak, tiga orang perwira sudah melompat ke depan kereta dan pimpinan mereka yang berkumis tebal mengangkat tangannya ke atas.
"Saudara Barcan, berhenti dulu! Engkau tidak boleh pergi sebelum kami selesai menggeledah, dan kami pun ingin memeriksa isi kereta itu Apakah isi peti-peti itu?"
Tentu saja Tiong Sin terkejut buka main dan memandang tegang. Agaknya tiga orang perwira itu memang cerdik dan berpengalaman. Akan tetapi dia masih belum mau keluar, ingin melihat bagaimana sikap Barcan.
Ketika dia memandang, ternyata Barcan bersikap tenang saja. Dia keluar lagi dari dalam kereta dan dengan lantang dia menjawab.
"Sam-wi Ciangkun sungguh membikin hati kami kesal! Kami tidak pernah mengganggu, mengapa dicurigai? Peti-peti itu adalah dagangan berupa kain-kain, alat dapur dan lain-lain yang akan kami jual ke daerah luar Tembok Besar. Dan biarpun kami pergi, ada para pembantu kami yang menjaga rumah dan Sam-wi boleh saja menggeledah sampai di seluruh kamar. Kami tidak ingin terlambat sampai ke dusun pertama di luar Tembok Besar!"
Si kumis tebal tersenyum mengejek.
"Bagaimanapun juga, kami harus lebih dulu memeriksa isi peti-peti itu!"
Berkata demikian, sekali meloncat dia sudah berada di atas kereta dan mulai mengetuk-ngetuk peti paling ujung yang terisi kain.
Melihat sikap perwira itu. Barcan maklum bahwa tentu peti yang terisi pemuda itu akan ketahuan, maka dia pun memberi isyarat kepada para pembantunya. Dua orang pembantunya berloncatan ke atas kereta dengan sikap keras mereka itu berkata.
"Ciangkun tidak boleh mengganggu barang kami!"
Berkata demikian, mereka mendorong tubuh perwira itu. Sang perwira berkumis tebal tentu saja terkejut dan marah. Dia meloncat turun lalu mencabut pedangnya.
"Huh, kiranya Barcan benar-benar hendak memberontak! Tentu engkau yang menyembunyikan pemuda itu maka kami gagal menangkapnya!"
Barcan sudah memberi isyarat kepada orang-orangnya, dan dua orang pengikut tadi sudah berloncatan turun dari atas kereta, lalu tanpa banyak cakap lagi mereka sudah menyerang perwira berkumis tebal dengan golok mereka. Perwira itu marah, menangkis dan balas menyerang sehingga terjadilah perkelahian di pekarangan itu! Pintu pekarangan masih tertutup rapat sehingga kalau ada yang lewat di jalan depan pekarangan, tentu tidak akan melihatnya.
Melihat betapa teman mereka dikeroyok, dua orang perwira lainnya sudah maju dan terjun ke dalam perkelahian! menggunakan pedang mereka. Para pembantu Barcan juga sudah berdatangan dan mereka pun terjun mengeroyok. Kini tiga orang perwira itu dikeroyok oleh enam orang pembantu Barcan yang kesemuanya memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi. Dari dalam petinya, Tiong Sin mengintai. Dia melihat betapa tiga orang perwira itu pandai sekali bermain pedang sehingga biarpun enam orang pengeroyok mereka juga lihai, namun mereka bertiga mampu mempertahankan diri, bahkan pedang mereka bergulung-gulung semakin dahsyat dan mereka mulai mendesak enam orang pengeroyok itu yang mulai mundur. Selagi Tiong Sin merasa khawatir dan timbul keinginannya keluar dari dalam peti untuk membantu enam orang itu, tiba-tiba dia melihat Barcan mengeluarkan sebuah busur berwarna hitam. Busur ini ukurannya kecil, demikian pula anak panah yang dia pasang pada busur itu.
Dengan gerakan cepat sekali, Barcan menarik tali busur, terdengar suara menjepret dan sinar hitam meluncur bagaikan kilat menyambar ke arah mereka yang sedang berkelahi, terdengar pekik dan seorang perwira terpelanting roboh, disusul bacokan dan tusukan golok para ngeroyoknya sehingga dia tewas seketika. Masih dua kali lagi busur itu menjepret, dua kali sinar hitam meluncur dan dua orang perwira yang lain juga terjungkal dan menjadi korban tusukan dan bacokan golok para pengeroyok mereka. Tiong Sin kagum bukan main.
Kiranya Barcan memiliki ilmu memanah yang amat lihai. Dan dia melihat betapa Barcan memerintahkan para pembantunya untuk cepat mengubur tiga jenazah itu ke dalam kebun mereka yang cukup luas sedangkan dia sendiri bersama dua orang pembantunya, melanjutkan perjalanan mereka yang tertunda tadi dengan sikap tenang. Perjalanan kereta itu ternyata tidak menemui halangan lagi. Para petugas jaga di pintu gerbang kota maupun para penjaga di perbatasan, mengenal Barcan dengan baik dan mereka semua percaya kepadanya yang sudah seringkah keluar masuk perbatasan membawa barang dagangan. Apalagi karena Barcan amat royal dengan hadiah-hadiahnya. Selagi para penjaga di perbatasan mendapatkan hadiah berharga darinya setiap kali dia lewat dengan barang dagangannya.
Demikianlah, dengan mudah Tiong Sin diselundupkan keluar perbatasan dan pemuda ini melanjutkan perjalanan dengan berkuda setelah lewat perbatasan, mengikuti Barcan yang membawanya menghadap pemimpinnya, yaitu Jenghis Khan yang sudah membuat persiapan untuk menyerbu ke selatan! Jenghis Khan yang pandai sekali mempergunakan orang-orang yang dapat berguna bagi pemerintahannya, menerima Tiong Sin dengan girang, Dia sama sekali tidak tahu bahwa pemuda yang menurut Barcan memiliki ilmu silat tinggi ini adalah murid dan anak angkat Yeliu Cutay, dan bahkan pemuda itu menjadi pemilik Pedang Asmara yang tadinya menjadi miliknya. Barcan sendiri membuat laporan tentang keadaan di kota Wang-cun, tentang kekuatan pasukan yang berjaga di perbatasan, bahkan dia telah berhasil membuat peta perbatasan sampai ke jalur yang menuju ke kota raja Kerajaan Cin. Tentu saja Jenghis Khan menjadi girang bukan main dan mulailah raja baru ini mempersiapkan pasukan untuk nemulai dengan gerakan besar besaran yang sudah lama direncanakan, yaitu penyerbuan ke selatan, ke sebelah dalam Tembok Besar!
Jenghis Khan menjalankan siasat yang amat cerdik. Diam-diam kekuatannya menjadi semakin besar, kekuasaannya kini meliputi seluruh daerah utara. Suku-suku bangsa yang tadinya berdiri sendiri dan tidak pernah mau tunduk, diserangnya dan dia memaksa mereka itu tunduk dan menyerah kepadanya. Tak lama kemudian, tidak ada lagi suku bangsa yang berani menentangnya Dan Jenghis Khan pandai mengambil hati mereka. Dia tidak mau membeda-bedakan antara para suku bangsa, tidak mau merendahkan yang satu dan mengangkat yang lain. Tidak mengherankan kalau suku bangsa yang tadinya terkenal, semua menggabungkan diri dengan pasukan Jenghis Khan.
Suku bangsa Uigur yang terkenal memiliki banyak ahli pikir yang pandai dan bijaksana, suku bangsa Karait yang terkenal setia, suku bangsa Yakka Mongol yang gagah perkasa dan tahan uji, suku bangsa Tartar yang terkenal keras dan ganas, suku bangsa Merkit yang berhati baja, pendeknya seluruh suku bangsa yang besar maupun yang kecil, akhirnya menggabungkan diri dengan pasukan Jenghis Khan, mengakui Jenghis Khan sebagai pemimpin besar mereka.
Jenghis Khan bersikap adil, akan tetapi juga keras. Dia menciptakan hukum tertentu yang keras, sebagai pengganti hukum rimba yang berlaku di antara suku-suku bangsa liar itu. Dia memberikan hukuman mati terhadap kejahatan-kejahatan seperti mencuri, memperkosa, apalagi merampok dan mencuri kuda. Dia melarang perkelahian antara suku, melarang anak tidak patuh kepada orang tuanya, melarang suami bersikap kejam dan sewenang-wenang kepada isterinya dan mengancam hukuman berat bagi isteri yang melakukan penyelewengan. Dia mengharuskan si kuat membantu lemah, si kaya membantu si miskin, orang-orang menghormati atasannya.
Semenjak Jenghis Khan menjadi raja atau pemimpin besar, mulailah diadakan penertiban dalam kehidupan para suku bangsa yang sebagian besar terdiri suku perantauan itu. Jenghis Khan bukan hanya mengadakan penertiban ke dalam akan tetapi juga mengatur rencana jangka panjang untuk memenuhi cita-citanya yaitu mengangkat bangsa Mongol menjadi bangsa yang besar dan jaya, yang keolak akan menguasai dunia. Dia menyebar orang-orang kepercayaannya menyusup ke dalam Tembok Besar, menjadi mata-mata yang menyamar sebagai pedagang. Dia bahkan mengadakan hubungan baik dengan Negara Cin yang besar, bahkan tidak segan-segan membantu Kerajaan Cin ketika kerajaan itu diganggu dan dirongrong oleh suku bangsa di perbatasan. Jenghis Khan mengirim pasukannya untuk membantu Kerajaan Cin, mengusir para pengacau. Maka, Kerajaan Cin juga tidak pernah menaruh kecurigaan terhadap pemimpin besar bangsa Mongol di utara itu.
Pada jaman itu, negara di sebelah latan Tembok Besar disebut Negeri Kathai, dan bangsa yang tinggal di selatan Tembok Besar merupakan bangsa yang sudah jauh lebih maju dibandingkan dengan mereka yang tinggal di Gurun Go-bi, di luar Tembok Besar. Kebudayaan mereka berkembang sejak ribuan tahun dan mereka membangun kota-kota yang besar. Keadaan kehidupan bangsa di sebelah selatan Tembok Besar ini sungguh jauh berbeda dibandingkan dengan kehidupan bangsa Mongol dengan banyak macam suku bangsa lainnya di utara itu. Mereka itu terdiri dari kaum bangsawan, yaitu keluarga kaisar, lalu para pejabat yang tinggi sampai yang rendah, para perajurit dan perwiranya, kaum terpelajar yang menyebut diri mereka sastrawan dan filsuf, ada pula petani, pengemis dan budak-budak belian.
Mulai permulaan abad ke tiga belas, yang berkuasa di Kathai adalah Wangsa Cin (Emas) dan istana kaisar berada di Yen-king (dekat Peking). Karena merasa dirinya kuat, maka kaisar Kerajaan menjadi lengah dan para pejabat tinggi hanya tenggelam ke dalam kesenangan dan kemuliaan. Mereka merasa kuat dengan pasukan yang besar. Apalagi ancaman satu-satunya yang mungkin datang dari utara, sudah tidak ada, melihat betapa bangsa Mongol yang kini merupakan suku bangsa terkuat di utara, bersikap baik dan bersahabat, bahkan mau membantu menindas suku-suku bangsa lain di perbatasan yang memberontak.
Ketika Kerajaan Cin menyerang musuh lamanya, yaitu Kerajaan Sung di selatan, Jenghis Khan juga menawarkan bantuannya. Memang dia amat cerdik Selain ingin mengambil hati Kaisar Kerajaan Cin dan membuat kerajaan itu lengah terhadap ancaman yang datang darinya, juga dia ingin agar pasukan intinya memperoleh pengalaman di selatan dan dapat melihat bagaimana keadaan pasukan Kerajaan Cin, kekuatan dan kelemahannya. Maka, Jenghis Khan lalu mengirim pasukan berkuda yang cekatan trampil, dibawah pimpinan beberapa orang panglimanya yang pandai, dikepalai oleh panglimanya yang dipercaya dan cakap, yaitu Chepe Noyon. Panglima ini memang gagah perkasa, menunggang seekor kuda tinggi besar dengan pakaian baju perang disepuh perak, kedua kakinya mengenakan sepatu yang dihias bulu biruang putih.
Pasukan Jenghis Khan ini dengan gagah perkasa membantu pasukan Kerajaan Cin menyerang Kerajaan Sung di selatan dan di samping itu, para panglimauya mempelajari keadaan Negara Kathai sehingga ketika mereka kembali ke Gurun Go-bi, mereka sudah memperoleh gambaran yang cukup jelas dari kerajaan di sebelah Selatan Tembok Besar itu. Semua pengalaman ini ditambah dengan pekerjaan para mata-mata yang disebar selama beberapa tahun di negara itu, maka matanglah sudah rencana Jenghis Khan untuk memulai dengan penyerbuannya ke selatan. Telah menjadi kebiasaan sejak dahulu kala, kaisar dari kerajaan besar selalu menuntut upeti dari raja-raja dan penguasa kerajaan atau pemerintah lain yang telah ditundukkannya atau yang telah mengakui kedaulatannya. Upeti itu merupakan tanda taluk, dan biasanya merupakan pengiriman barang-barang berharga setahun sekali.
Demikian pula dengan Kerajaan Cin yang menuntut upeti dari daerah-daerah yang mereka tundukkan, dan dari para kepala kelompok atau kepala suku yang mengakui kedaulatan dan kekuatan Kerajaan Cin. Menolak pembayaran upeti dapat dianggap mengambil sikap bermusuhan,
(Lanjut ke Jilid 15)
Pedang Asmara (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 15
atau dianggap menentang dan akibatnya biasanya lalu pengiriman pasukan dari raja yang berkuasa untuk menundukkan mereka yang menolak pembayaran upeti itu. Namun, Jenghis Khan selalu mengabaikan pembayaran upeti ini! Karena beberapa kali dia mengirim pasukan untuk membantu Kerajaan Cin, maka kaisar juga tidak mengambil tindakan, bahkan pernah Jenghis Khan menerima hadiah barang-barang indah dari Kaisar Kerajaan Cin, dan dia pun diberi julukan Panglima Penunduk Pemberontak! Hal itu terjadi ketika Jenghis Khan membantu Kerajaan ini membasmi para pemberontak di perbatasan.
Ketika Kaisar Kerajaan Cin meninggal dunia, seorang puteranya diangkat untuk menjadi kaisar baru. Puteranya itu berjuluk Wai Wang bertubuh jangkung dan berjenggot panjang, dan ketika masih menjadi pangeran, Wai Wang suka sekali berburu binatang ke hutan-hutan dan suka pula melukis. Begitu dia duduk di singgasana dan menjadi kaisar dari Negara Cin, Wai Wang lalu memeriksa daftar raja-raja muda yang penguasa yang dianggap bawahan Kerajaan Cin. Lalu dia mengirim utusan-utusan untuk mengunjungi daerah-daerah itu, pertama untuk menyampaikan pengumuman tentang pengangkatan dirinya menjadi kaisar baru Kerajaan Cin, ke dua untuk menuntut pengiriman upeti dari mereka. Nama Jenghis Khan termasuk pula dalam daftar itu, maka pada suatu hari, seorang perwira mengunjungi Jenghis Khan, membawa sepucuk surat dari Kaisar Wai Wang yang baru. Biasanya, seorang utusan kaisar yang membawa surat kaisar diterima dengan penuh penghormatan, dan surat dari kaisar itu harus diterima sambil berlutut oleh raja muda yang dianggap bawahan kaisar.
Namun, Jenghis Khan tidak mau berlutut dan menerima surat dari Kaisar Wai Wang sambil berdiri saja.Bahkan di tidak menyerahkan surat itu kepada juru bahasanya untuk dibacakan dan diterjemahkan, melainkan dengan sikap angkuh dia melempar surat itu ke atas meja dan ditatapnya wajah utusan Kaisar Kerajaan Cin itu dengan sikap garang.
"Hemmm, Kerajaan Cin telah mempunyai seorang kaisar baru, ya? Siapa nama kaisarmu yang baru itu?"
Tanyanya tanpa banyak basa-basi dan sopan santun Perwira itu adalah seorang utusan kaisar, dan sebagai seorang utusan kaisar tentu saja dia seorang yang gagah perkasa dan dia sadar akan kemuliaan tugasnya yang amat terhormat.
Melihat sikap Jenghis Khan, dia merasa tida senang sekali. Akan tetapi, dia hanya datang dengan pasukan pengawal yang berjumlah selosin orang, dan dia berada di tengah-tengah bangsa Mongol yang amat besar jumlahnya dan amat kuat. Maka, sambil berdiri tegak dia menjawab.
"Kaisar kami yang mulia bernama Wai Wang!"
Jenghis Khan sudah mengenal siapa kaisar baru itu.
Seorang pangeran yang tidak pandai menunggang kuda sambil melepas anak panah, tidak pandai mempergunakan golok atau pedang. Maka, dia pun tertawa mengejek, sama sekali tidak mau memberi hormat ke arah selatan, dan dia berkata dengan suara menghina.
"Huh, aku mendengar bahwa yang menjadi kaisar adalah putera dewa yang gagah perkasa. Tidak tahunya hanya seorang manusia tolol seperti dia!"
Lalu dia meloncat ke atas kudanya dan menoleh kepada para pembantunya, berkata, Sediakan hidangan dan tempat mengaso bagi para tamu ini!"
Kemudian Jenghis Khan meninggalkan tamu-tamu itu tanpa bicara lagi.
Sikap ini sudah jelas! Menentang kekuasaan kaisar baru dari Kerajaan Cin! Malam itu Jenghis Khan mengundang semua kepala suku yang menjadi bawahannya, semua panglimanya, dan para sekutunya, di antara mereka adalah kepala dari suku Uigur dan suku Turki, dia menjamu mereka dan mengadakan perundingan. Jenghis Khan sudah memperhitungkan bahwa saatnya telah tiba untuk menyerbu Kerajaan Cin! Ketika kaisar tua masih nidup, dia masih merasa agak sungkan karena hubungannya dengan kaisar tua cukup baik dan sikap kaisar tua juga baik kepadanya. Biarpun dia tidak pernah mengirim upeti, Kaisar Kerajaan Cin yang tua tidak pernuh menegur.
Akan tetapi seorang kaisar baru? Dia merasa tidak perlu untuk tunduk kepada Kaisar Wai Wang. Dalam pertemuan besar dengan para pembantu dan sekutunyu itu, Jenghis Khan menceritakan rencana penyerbuannya ke selatan Tembok Besar. Para sekutunya adalah suku-suku bangsa yang suka berperang, karena berperang dan menang perang berarti keuntungan besar sekali bagi mereka! Maka, dalam pertemuan itu diambil kesepakatan untuk menyatakan permusuhan secara berterang kepada Kerajaan Cin melalui utusan yang menjadi tamu itu.
Demikianlah, pada keesokan harinya Jenghis Khan memanggil utusan Kaisar Wai Wang menghadap, lalu dia berkata dengan suara lantang.
"Sampaikan pesan kami kepada Kaisar Kerajaan Cin! Kami akan berkunjung ke Kathai dengan balatentara yang amat banyak dan amat kuat. Terserah kepada Wui Wang apakah dia akan menyambut kami sebagai kawan atau sebagai lawan. Kalau dia ingin menjadi kawan kami maka kami akan mengangkat dia sebagai raja muda dan daerahnya berada di bawah kekuasaan kami. Kalau dia lebih suka berperang, kami akan menghancurkan negaranya sampai lumat dan menjadikan Kerajaan Cin sebagai lautan api."
Pesan itu sungguh amat menghina dan keras. Biarpun mukanya berubah merah sekali, namun perwira utusan itu tidak mampu berbuat atau berkata sesuatu kecuali menerima pesan itu, dicatatnya baik-baik semua kata yang keluar dari mulut Jenghis Khan, kemudian mohon diri dan meninggalkan tempat itu, kembali ke selatan bersama selosin perajurit pengawalnya. Tentu saja Kaisar Wui Wang dari Kerajaan Cin menjadi marah bukan main mendengar laporan utusannya tentang penghinaan yang dilakukan Jenghis Khan terhadap dirinya.
"Keparat!"
Dia mengumpat.
"Jenghis Khan kepala suku liar berani menghina kami? Akan kuhancur leburkan dia!"
Kaisar Wai Wang lalu memanggil komandan pasukan yang berjaga di perbatasan utara. Panglima itu datang menghadap.
"Hem, apa saja kerja kalian di perbatasan? Coba katakan, apa yang dilakukan oleh bangsa Mongol di bawah pimpinan Jenghis Khan?"
Panglima itu menjadi gentar melihat kaisar yang baru itu marah-marah ke padanya.
"Mereka..... mereka hidup dengan aman, mereka membuat anak panah dan memelihara kuda....."
"Bodoh kau! Tidak melihat gerak-gerik lawan yang menentang kami!"
Kaisar memaki dan panglima itu pun disuruhnya tangkap dan dimasukkan dalam penjara. Lalu Kaisar Wai Wang mengangkat seorang panglima lain untuk membuat persiapan dan memperkuat penjagaan di perbatasan utara. Pada waktu itulah Barcan pulung ke utara dan menghadap Jenghis Khan sambil mengajak Bu Tiong Sin.
Juga Barcan membawa laporan lengkap tentang keadaan di perbatasan. Dengan gembira Jenghis Khan menerima pembantunya itu dan menyambutnya dengan hidungan. Akan tetapi, dia memandang kepada Bu Tiong Sin dengan alis berkerut. Pemuda tampan yang nampaknya lemah ini hendak membantunya? Menurut laporan Barcan, pemuda ini berkepandaian tinggi akan tetapi melihat keadaan tubuhnya tubuh yang sedang saja besarnya bahkan kelihatan lemah lembut, Jenghis Khan menjadi sangsi.
Setelah mendengarkan laporan Barcan tentang Bu Tiong Sin, Jenghis Khan menatap wajah pemuda yang duduk di depannya itu. Sebagai seorang yang banyak pengalamannya, dalam usianya yang sudah limapuluh tahun, Jenghis Khan tidak mungkin dapat menerima penghambaan diri seorang asing begitu saja tanpa mengujinya. Dia menoleh kepada Chepe Noyon, panglimanya yang amat dipercaya da disayangnya.
"Panggil puteramu Yuci ke sini dan suruh dia menguji kepandaian Bu Tiong Sin ini!"
Chepe Noyon segera pergi memanggil puteranya dan tak lama kemudian dia datang bersama seorang pemuda yang bertubuh tinggi tegap dan jelas nampak bahwa dia memiliki tenaga yang kuat sekali. Sepasang matanya tajam dan cerdik, usianya sekitar dua puluh tahun lebih, sebaya dengan Tiong Sin. Pemuda itu memberi hormat kepada junjungannya dengan berlutut sebelah kaki.
"Yuci, pemuda ini bernama Bu Tiong Sin dan dia datang bersama pamanmu Barcan, hendak mengabdikan diri di sini. Coba engkau boleh menguji kepandaiannya, apakah dia pantas untuk menjadi pembantu kami apakah tidak?"
"Hamba siap, Khan yang mulia!"
Jawab pemuda yang berkulit coklat gelap itu dengan sikap gagah.
"Bu Tiong Sin, kalau engkau mampu menandingi kekuatan dan kepandaian Yuci, baru kami akan mempertimbangkan apakah kami dapat menerima penghambaan dirimu ataukah tidak."
"Hamba siap, Sribaginda""
Jawab Tiong Sin tidak kalah gagahnya. Para panglima yang hadir di situ menjadi gembira sekali.
Mereka adalah orang-orang yang menghargai kegagahan dan semua orang tahu belaka bahwa Yuci, putera Chepe Noyon itu adalah seorang pemuda gemblengan yang gagah perkasa, bahkan telah mewarisi kepandaian dan kegagahan ayahnya, dan mungkin sudah dapat mengimbangi kekuatan dan ketrampilan ayahnya sendiri. Tidak mudah menandingi kekuatan dan kepandaian Yuci! Tentu saja di dalam hati, mereka itu condong untuk memihak Yuci. Akan tetapi, Barcan hanya tersenyum.
Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia sudah tahu benar akan kelihaian Tiong Sin, dan melihat sendiri betapa Tiong Sin melukai banyak anak buah Hek-eng-pang dan dapat meloloskan diri dari kepungan banyak sekali orang yang mengepung dan mengeroyoknya, bahkan mampu menandingi pengeroyokan para jagoan benteng. Dan Barcan juga tahu sampai di mana tingkat kepandaian Yuci, jago muda Mongol itu. Memang Yuci, merupakan seorang pemuda yang gemblengan, kuat dan jarang tandingannya di antara para jagoan Mongol yang masih muda, bertenaga besar dan kuat,dan memiliki ilmu gulat yang hebat, pandai menunggang kuda dan pandai melepas anak panah karena dia sendiri yang mengajari pemuda itu. Akan tetapi dibandingkan dengan pemuda bangsa Han yang pandai silat ini, agaknya akan sukar bagi Yuci untuk dapat memenangkannya.
"Mulailah kalian, tidak perlu saling melukai. Siapa terjatuh ke atas tanah dia kalah!"
Kata pula Jenghis Khan berkata dengan gembira. Yuci sudah melepaskan bajunya dan hanya meugenakan cawat saja, seperti biasanya kalau gulat hendak mengadu tenaga dan kepandaian. Akan tetapi, Tiong Sin tidak mau lepas bajunya. Melihat ini, dengan logat asing, Yuci berkata kepada Tiong Sin dalam bahasa Han yang dikuasainya.
"Saudara Bu Tiong Sin, lepaskanlah bajumu agar tidak sampai robek!"
Ucapan ini saja sudah menunjukkan bahwa Yuci ialah seorang pemuda gagah perkasa yang jujur dan adil. Kalau lawannya berpakaian maka hal itu akan amat menguntungkan dirinya, karena dengan mudah dia akan dapat mencengkeram baju lawan dan membantingnya, berbeda kalau lawan bertelanjang dada. Namun, dia tidak mengatakan demikian, hanya memakai alasan agar baju lawan tidak sampai robek. Sikap rendah hati yang sederhana.
"Harap jangan sungkan, saudara Yuci. Biarpun saya memakai baju ini dan kalau karena ituaku dirugikan dan sampai kalah, aku tidak akan menyesal."
Karena jawaban ini tidak mengandung kesombongan, Yuci tersenyum dan pemuda yang cerdik ini bersikap hati-hati. Kalau saja Tiong Sin menjawab dengan nada sombong, dia malah akan memandang rendah calon lawan itu. Akan tetapi karena Tiong Sin sama sekali tidak memperlihatkan kesombongan, Yuci dapat menduga bahwa tentu lawannya itu memiliki sesuatu yang dapat diandalkan maka dia pun bersikap hati-hati sekali.
"Saudara Bu Tiong Sin, karena engkau adalah tamu atau rekan baru, silakan mulai, aku sudah siap!"
Kembali Yuci berkata, dan dia memasang kuda-kuda, dengan kedua kaki di depan dan belakang, tubuh agak membungkuk, kedua tangan terbuka dan tangan kiri di depan tangan kanan di pinggang, tubuhnya miring yang kiri di depan, matanya menintai dari muka yang agak menunduk.
"Baiklah, aku akan menyerangmu lebih dulu. Lihat pukulan, saudara Yuci!"
Kata Tiong Sin dan sembarangan saja tangan kanannya digerakkan untuk menampar ke arah pelipis lawan. Yuci membuat gerakan merendahkan tubuh untuk menghindarkan tamparan itu akan tetapi diabukan hanya menekuk lutut merendahkan diri, melainkan langsung dia menubruk dari bawah lengan Tiong Sin yang menampar dengan maksud memeluk pinggang lawan dengan ilmu gulatnya! Tubrukannya itu cepat dan amat kuat dan sukarlah bagi lawan biasa untuk menghindarkan diri dari tubrukan yang dilakukan sebagai lanjutan pengelakan tadi.
Tak tersangka-sangka memang gerakan Yuci ini, menunjukkan bahwa dia memang seorang ahli gulat yang lihai. Tiong Sin maklum bahwa melawan orang ahli gulat harus diusahakan agar jangan sampai tubuhnya kena ditangkap, karena hal itu amat berbahaya bagi dirinya. Maka, melihat tubrukan tiba-tiba itu dengan gerakan amat cepat dia pun menghindar dengan lemparan tubuh ke kiiri, kakinya lalu bergeser dan dia sudah memutar ke arah belakang tubuh lawan. Namun, dengan cekatan sekali Yuci sudah membalikkan tubuhnya, kedua tangannya menyambar dari kanan kiri. Dengan jari tangan membentuk cakar dan kembali tubrukan tadi diulanginya, kini lebih ganas dan kedua tangannya menutup jalan keluar lawan dari kanan kiri.
"Bagus!"
Tiong Sin memuji dan dengan pengerahan ginkang yang tinggi membuat tubuhnya tiba-tiba melesat dan meloncat ke atas, melalui kepala Yuci dan kembali dia berada di belakang tubuh lawan. Yuci mengeluarkan suara gerengan seperti biruaug marah dan kini membalik cepat, tidak menubruk lagi seperti tadi melainkan sambil membalik, kaki kanannya mencuat dalam tendangan kilat ke arah muka Tiong Sin! Pemuda ini sudi siap siaga, maka dengan mudah dia miringkan tubuh ke kanan dan kaki Yuci meluncur lewat. Secepat kilat sambil meloncat, kaki kiri Yuci menyusul pada saat kaki kanannya turun dan tendangan ke dua menyusul. Diam-diam Tiong Sin kagum. Pemuda Mongol ini memang lihai pikirnya, dan tendangannya itu pun tendangan yang terlatih matang sehingga mengandung tenaga dahsyat.
Kaki kiri itu menyambar ke arah pusarnya. Tiong Sin miringkan tubuhnya dan tangannya bergerak cepat, tidak nampak oleh lawan saking cepatnya dan dia sudah berhasil mendorong tumit kaki kiri yang menendang, mengerahkan tenaga dan mendorongnya dengan sentakan yang mengejutkan! Pada saat itu, baru saja kaki kanan Yuci menyentuh tanah sehingga tentu saja tanpa berpijak tanah, kuda-kudanya tidak ada dan begitu kakinya kena dorong, tubuhnya sudah terlempar ke belakang! Namun, dia memang lihai dan tubuhnya selain kuat juga cekatan ke belakang, Yuci membuat gerakan jungkir balik sampai tiga kali untuk mematahkan tenaga dorongan yang akan membuat dia terbanting itu. Dengan lunaknya dia mendarat di atas kedua kakinya dan memandang kepada lawan dengan alis berkerut, pandang matanya penuh kagum dan juga penasaran di samping keheranan. Lawannya itu tidak pernah membalas serangan, akan tetapi hampir saja membuat dia terbanting!
"Saudara Bu Tiong Sin, kami menghargai kegagahan dalam adu tenaga dan kepandaian, bukan selalu menghindarkan diri menjauhkan adu tenaga dan hanya menggunakan akal. Mari kita bertanding sebagai laki-laki!"
Tantang Yuci yang mulai merasa penasaran. Tiong Sin tersenyum. Pemuda Mongol yang gagah itu terlslu polos sehingga tidak mengerti bahwa lawan telah mengalah dan hendak menjaga mukanya agar jangan sampai kalah secara keras. Kini, ditantang begitu, dia pun lalu menjawab sambil menggulung lengan baju agar jangan sampai bajunya robek.
"Begitu kehendakmu, saudara Yuci. Baiklah, aku akan melayani semua keinginanmu. Nah, maju dan seranglah, pergunakan semua kekuatan dan kepandaianmu!"
Kata Tiong Sin dan dia pun sudah siap dengan memusang kuda-kuda yang kokoh dan mengerahkan tenaga sin-kangnya. Dia kini mulai mengenal watak Yuci, seorang pemuda Mongol yang gagah perkasa dan yang. sudah biasa menghargai kekuatan dan kekerasan. Lawan seperti ini baru akan tunduk kalau dikalahkan dengan tenaga kasar. Tentu saja kalau harus mengadu otot, dia akan kalah. Namun, dia memiliki tenaga dalam, tenaga sin-kang yang akan mampu menalukkan kekuatan otot lawan yang jauh lebih besar.
"Awas, lihat seranganku!"
Yuci berseru dengan lantang dan dia pun sudah menubruk lagi ke depan, kini seluruh tenaga ototnya dia kerahkan ke arah lengan kanan yang menghantam ke arah dada lawan. Sekali ini Tiong Sin yang sudah siap itu lalu menangkis dengan memutar lengan kirinya dari bawah ke atas, sambil mengerahkan sin-kang. Kini tanpa dapat dicegah lagi, dua buah lengan bertemu.
"Dukkk!"
Akibat benturan hebat ini, tubuh Yuci terjengkang dan hampir dia roboh, akan tetapi kedua kakinya masih dapat menahan sehingga dia hanya terhuyung. Dia meringis, merasa betapa lengannya nyeri bukan main. Gerakan memutar lengan yang menangkis tadi ternyata amat kuat, dan dia tadi merasa seolah-olah lengannya bertemu dengan batangan baja yang kuat sekali.
Hal ini membuat dia penasaran. Jarang ada orang di antara para rekannya yang mampu menandingi tenaganya, maka kini dia pun menyerang lagi dengan dorongan kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka. Maksudnya untuk mendorong atau menangkap lawan. Melihat ini, Tiong Sin juga cepat menggerakkan kedua tangannya menyambut dengan kedua tangan terbuka.
"Plakkkkk!"
Dua pasang telapak tangan bertemu dan akibatnya tubuh Yuci terpental dan terpelanting keras! Melihat ini, para penonton mengeluarkan seruan panjang karena kaget dan juga kecewa melihat betapa jagoan mereka terpelanting roboh. Yuci adalah seorang pemuda gagah yang pantang menyerah. Bukan karenna kesombongan, melainkan karena sejak kecil dia digembleng keras oleh ayahnya, sehingga dia memiliki semangat bertanding yang amat besar dan dalam setiap pertandingan, hanya ada satu ketekadan yaitu dia harus menang!
Maka, biarpun sudah dua kali dia merasakan kehebatan tenaga lawan, dia masih penasaran dan sambil mengeluarkan suara menggereng dahsyat dia pun melompat dan rnenyerang lagi dengan gerakan yang cepat dan kuat, bertubi-tubi dia mengirim pukulan, tendangan dan cengkeraman. Tiong Sin yang melihat betapa lawannya itu mengamuk, mempergunakan kecepatan gerakan tubuhnya, mengelak ke sana-sini, dan ketika dia melihat kesempatan baik, dia pun membalas tamparannya yang cukup keras, mengenai dada lawan.
"Bukkk"
Tiong Sin terkejut. Dada itu demikian kerasnya sehingga dia seperti menampar bantal karet yang keras sekali! Tangannya membalik. Kiranya tubuh jagoan muda Mongol ini juga tergembleng dan menjadi kuat dan kebal. Sementara itu, Yuci yang terkena tamparan seperti tidak merasakan apa-apa dan dia semakin hebat menyerang. Tiong Sin lalu menghindar dan dari samping, kakinya menendang ke arah lutut, kedua tangannya bergerak pula, yang kiri menotok pundak dan yang kanan menampar lambung.
"Uhhh.....!"
Kini tak dapat dicegah lagi, Yuci jatuh berlutut karena lututnya seperti lumpuh rasanya, dan tubuh kesemutan tak mampu bergerak karena totokan tadi, di samping lambung yang terasa mulas oleh tamparan lawan. Kini mengertilah dia bahwa dia. kalah jauh oleh lawannya dan dengan sikap gagah dia pun lalu memberi hormat kepada Snbaginda Raja Jenghis Khan.
"Khan Yang Mulia, hamba mengaku keunggulan saudara Bu Tiong Sin. Saudara Bu Tiong Sin, aku mengaku kalah."
Terdengar suara orang-orang bertepuk tangan, didanului oleh Jenghis Khan yang merasa girang sekali melihat betapa pemuda Han yang hendak menghamba diri padanya itu dapat mengalahkan Yuci. Biarpun di lubuk hatinya, dia tetap tidak senang melihat kemenangan atas Yuci itu, namun dia melihat bahwa pemuda Han itu dapat menjadi seorang pembantu yang amat baik. Dia 1ebih senang melihat seorang gagah menang atas perkelahian dengan cara yang adil dan jujur, mempergunakan kekuatan otot kesigapan dan ketebalan kulitnya kekerasan tulangnya.
Akan tetapi, dia tahu bahwa Bu Tiong Sin tidak mempergunakan atau tidak sepenuhnya mengandalkan kemenangannya kepada tenaga otot dan tebalnya kulit, melainkan lebih mengandalkan cara dan akal licik yang dipergunakan orang-orang Han dengan ilmu silat dan tenaga mujijat mereka! Orang Mongol lebih mengandalkan tubuh yang digembleng sehingga menjadi kuat, semangat pantang mundur dan keberanian yang tak mengenal takut. Mulai hari itu, Bu Tiong Sin diterima pengabdiannya, bahkan diangkat menjadi seorang panglima muda yang bekerjasama dengan Yuci. Bahkan pada hari berikutuya, Jenghis Khan memanggil Bu Tiong Sin dan Yuci untuk menghadap.
"Kalian berdua kami beri tugas yang teramat penting,"
Kata Jenghis Khan.
"Tugas itu penting akan tetapi juga berbahaya. Apakah engkau berani menempuh bahaya itu, Yuci?"
"Khan Yang Mulia, hamba siap untuk mempertaruhkan nyawa hamba demi pelaksanaan perintah Paduka!"
"Bagimana dengan engkau, Bu Tiong Sin?"
"Akan hamba laksanakan tugas itu sampai
berhasil baik.Kalau gagal, hamba bersedia menerima hukuman apa pun"
Jawab Tiong Sin walaupun di dalam hatinya, dia merasa gelisah dan tentu saja kalau tugas itu gagal, dia tidak akan sudi kembali ke situ menyerahkan nyawanya! Dia menghambakan diri kepada Jenghis Khan untuk mencari, kedudukan dan kemuliaan, bukan untuk mengorbankan nyawa!
Dua orang muda itu diberi keterangan sejelasnya tentang tugas yang harus mereka laksanakan. Kiranya Jenghis Khan sudah mulai mengatur persiapannya untuk menyerbu ke sebelah selatan Tembok Besar, menyerbu Negara Khatai atau Kerajaan Cin. Dia tidak mau tergesa gesa. Memang semenjak dia mengirim pasukan ke selatan atas permintaan Kaisar Cin membantu Kerajaan Cin memerangi musuhnya di selatan, yaitu Kerajaan Sung Selatan, para panglima di bawah Jengnis Khan yang melihat keindahan kerajaan di selatan itu, dengan semangat berkobar-kobar mereka mengusulkan pada Jenghis Khan untuk menyerbu negara di selatan Tembok Besar itu. Namun, Jenghis Khan, biarpun juga amat berkobar semangatnya dan bernafsu besar untuk menduduki Kerajaan Cin, dia tidak mau tergesa-gesa.
Penyerbuan ke selatan harus dilaksanakan dengan penuh perhitungan. Harus sekali serbu berhasil. Karena kalau terjadi sebaliknya, yaitu kalau ampai dia dan pasukannya menderita kekalahan di selatan, hal itu berarti kehancurannya. Para suku yang telah ditundukkan di Gurun- Go-bi tentu akan bangkit dan memberontak kalau melihat ia kalah dan lemah. Tidak, sekali serbu, dia harus menang. Sudah bersusah payah dia mengumpulkan kekuatan selama ini. bahkan akhir-akhir ini dia pun sudah berhasil menundukkan Kerajaan Hia yang aneh, kerajaan para penyamun yang keras dan berbahaya, yang terdiri dari orang-orang Tibet yang termasuk golongan hitam bersama penjahat-penjahat kejam pelarian dari Kerajaan Cin. Dia berhasil menundukkan kerajaan itu, bahkan untuk membuat ikatan persekutuan antara mereka lebih erat, Jenghis Khan menerima seorang puteri Kerajaan Hia menjadi seorang isterinya. Demikian pula dengan kelompok yang disebut Kathai Hitam dan juga bangsa Kirgiz.
Dia telah berhasil menundukkan mereka semua yang akan dapat merupakan rintangan pertama dalam penyerbuannya ke Negara Cin. Dan sekerang tinggal satu lagi rintangan itu, yaitu suku bangsa Liau. Suku atau kerajaan kecil bangsa Liau ini berada di sebelah utara Kerajaan Cin, sehingga akan menjadi penghalang nomor satu Hanya ada satu keuntungan yang dilihat oleh Jenghis Khan, yaitu bahwa pernah terjadi perang antara Kerajaan Cin dan Kerajaan Liau-tung ini, dan pernah bangsa Liau-tung ditundukkan.
Oleh karena itu, jelas banwa bangsa Liau ini menaruh dendam kepada Kerajaan Cin dan mereka juga terkenal sebagai bangsa yang suka berperang. Kalau dia mampu bersekutu dengan bangsa Liau-tung, maka kekuatannya akan bertambah di samping tidak adanya perintang berat yang akan menghalangi penyerbuannya ke selatan. Kini, Jenghis Khan mengutus Yuci dan Bu Tiong Sin untuk berkunjung kekerajaan Liau-tung itu dan menawarkan persekutuan antara Jenghis Khan dan Kerajaan Liau yang pada waktu itu dipimpin oleh seorang pangeran yang bernama Pangeran Pang Sun. Semenjak suku Liau-tung dikalahkan oleh Kerajaan Cin, hampir tiga puluh tahun yang lalu, suku Liau-tung tidak pernah lagi mempunyai seorang raja karena hal ini dilarang oleh Kerajaan Cin.
Sebaliknya, yang menjadi pemimpin mereka haruslah atas petunjuk Kerajaan Cin yang memilih para pangeran dan pada waktu itu, Pangeran Pang Sun yang menjadi kepala suku Liau-tung Yuci dan Bu Tiong Sin menjadi utusan Jenghis Khan, membawa surat dari raja besar itu untuk Pangeran Pang Sun, juga membawa banyak barang hadiah di samping membawa pula pasukan pilihan yang jumlahnya lima puluh orang.
Setelah mengadakan persiapan, berangkatlah pasukan berkuda ini dipimpin oleh Yuci dan Tiong Sin, menuju ke selatan, membawa tugas yang amat penting akan tetapi juga berbahaya. Penting karena kalau tugas itu berhasil dan suku bangsa Liau-tung mau diajak bersekutu! maka penyerbuan terhadap Kerajaan Cin dapat segera dilakukan. Sebaliknya, kalau pangeran itu menolak, bukan saja rencana penyerbuan itu akan gagal atau setidaknya harus diundur, juga nasib kedua orang muda ini dapat diancam maut di tangan orang-orang Liau-tung yang suka berkelahi itu.
Pasukan yang dipimpin Yuci dan Tiong Sin terpaksa menghentikan perjalanan mereka ketika senja tiba dan mereka sibuk membuat perkemahan untuk melewatkan malam. Mereka sudah tiba di perbatasan daerah utara negara kecil bangsa Liau-tung dan Yuci mengatakan kepada Tiong Sin bahwa sebagai utusan yang membawa uluran tangan raja mereka untuk tugas perdamaian, amat tidak baik kalau berkunjung di waktu malam. Kunjungan pada malam hari, apalagi membawa pasukan, akan menimbulkan kecurigaan dan salah paham.
"Lebih baik kita melewatkan malam di sini dan besok setelah matahari bersinar baru kita memasuki daerah Liau-tung."
Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo