Ceritasilat Novel Online

Pedang Asmara 16


Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 16



Tiong Sin yang merasa kalah pengalaman dalam urusan itu, hanya menurut saja. Selelah para perajurit itu selesai membuat perkemahan dan mereka semua mengaso sambil makan ransum perbekalan mereka, Yuci dan Tiong Siri juga makan. Kemudian, keduanya berjalan-jalan di luar perkemahan, mendaki sebuah bukit kecil untuk melihat-lihat keadaan daerah Liau-tung di selatan yang akan mereka kunjungi. Pemandangan di sebelah selatan, dilihat dari puncak bukit itu, sudah nampak indah dan berbeda dengan pemandangan di utara. Mulai nampak bukit-bukit hijau dan hutan hutan, dusun-dusun dengan bangunan rumah sederhana, tiba tiba Yuci menunjuk ke bawah.

   "Lihat, ada rombongan orang membuat api unggun di sana, tidak jauh di kaki bukit ini sebelah selatan. Dekat hutan itu!"

   Tiong Sin memandang dan dia melihat sekelompok orang duduk mengelilingi api unggun. Matahari sore masih tinggi dan cuaca belum gelap sedangkan hawa udara juga tidak dingin. Maka api unggun yang nampak dari jauh itu pasti bukan untuk membuat penerangan atau mengusir dingin, melainkan untuk masak. Hatinya tertarik.

   "Yuci, apakah tidak sebaiknya kita turun dan mengunjungi mereka? Kalau mereka itu orang-orang Liau-tung, setidaknya dapat kita pakai ukuran bagaimana sikap mereka terhadap kita."

   Yuci mengangguk-angguk dan menganggap usul itu baik sekali.

   "Baik, mari kita turun ke sana. Akan tetapi, apapun yang terjadi, engkau harus dapat menahan diri dan jangan sembarangan bergerak melakukan penyerangan, Tiong Sin ingat, tugas kita adalah membawa persekutuan dan perdamaian, jangan di rusak dengan permusuhan kalau mereka itu benar orang-orang Liau-tung."

   Tiong Sin mengangguk. Memang dia dalam perjalanan ini hanya membantu Yuci saja. Yuci lebih berpengalaman dan lebih tahu akan politik rajanya. Dua orang muda yang gagah perkasa itu lalu berlari menuruni bukit itu dan setelah menuruni lereng terakhir, mereka tidak dapat lagi melihat orang-orang yang membuat api unggun di bawah. Akan tetapi, mereka sudah dapat mengetahui di mana mereka berada dan cepat mereka berdua lalu menghampiri tepi hutan itu.

   Ketika mereka sudah tiba di dekat, walaupun mereka belum melihat sekelompok orang itu, namun hidung mereka telah lebih dahulu bertemu dengan bau yang amat sedap, bau gurih daging dipanggang! Biarpun baru saja mereka makan kenyang, namun mencium bau sedap ini, bukan hanya sedapnya daging panggang, melainkan sedapnya bumbu yang terbakar. Yuci dan Tiong Sin saling pandang dan tersenyum menyeringai dengan kalamenjing (jakun) naik turun!

   Tiong Sin tersenyum dan diam-diam memuji kecerdikannya sendiri. Memang dari atas tadi dia sudah menduga banwa api unggun itu tentu digunakan orang-orang yang berada di sana untuk memasak. Ketika mereka melangkah semakin dekat, mulai terdengar suara orang-orang itu dan kembali Yuci dan Tiong Sin saling pandang, kini mata mereka terbelalak heran dan alis mereka berkerut. Yang terdengar oleh mereka adalah para wanita-wanita bercakap-cakap sambil tertawa-tawa dengan suara mereka yang merdu! Bahasa mereka adalah bahasa Mancu karena memang suku Liau-tung adalah satu di antara suku-suku bangsa Mancu.

   Tiong Sin juga dapat mengerti bahasa ini, demikian pula Yuci, dan mereka mempercepat langkah. Ketika mereka berdua muncul dari belakang sebuah semak belukar yang lebar, dan tiba-tiba mereka berhadapan dengan rombongan wanita itu, mereka berdiri terpesona! Dan para wanita itu pun mengeluarkan seruan seruan kaget dan seketika percakapan mereka terhenti. Tiong Sin dan Yuci terpesona melihat lima orang gadis yang berusia antara enam belas sampai dua puluh tahun, berpakaian pemburu yang ringkas, dan mereka itu rata-rata memiliki tubuh yang padat berisi dan agaknya biasa dengan kerjaan keras, akan tetapi wajah mereka pun semua cantik dan manis-manis!

   Ada tiga orang gadis Mancu atau Liau-tung, dan dua orang gadis Han. Hal ini mudah dikenal dari cara mereka berpakaian, juga dari kulit mereka. Gadis-gadis Han lebih putih dibandingkan dengan kulit gadis Mancu yang lebih kemerahan. Akan tetapi, yang membuat Yuci dan Tiong Sin sejak tadi bengong adalah kecantikan seorang di antara tiga orang gadis Mancu itu. Sungguh seorang gadis yang luar biasa cantik jelita! Dan pakaiannya paling indah daripada kawan-kawannya. Usianya paling banyak delapan belas tahun dan agaknya bukan hanya kecantikannya saja yang menonjol di antara mereka, akan tetapi juga sikapnya.

   Ia kini berdiri di kanan kirinya agak di belakang, seolah-olah gadis tercantik itu yang menjadi pemimpin. Tak jauh dari situ, nampak, lima ekor kuda dan nampak pula sebuah tenda besar. Jelas bahwa mereka itu adalah lima orang gadis yang habis berburu dan kini masak hasil buruan mereka di situ, bermaksud untuk melewatkan malam di situ pula. Kulit dan tulang seekor rusa masih nampak di situ, dan daging itulah yang tadi mereka panggang sehingga baunya amat sedap.

   Biarpun hatinya merasa tertarik sekali, terutama kepada gadis yang paling cantik itu, namun bukan sikap Tiong Sin untuk memperlihatkan sikap tertarik kepada wanita. Dia memang memiliki watak yang angkuh terhadap wanita, tinggi hati dan merendahkan, walaupun di balik sikap itu dia berwatak mata keranjang dan mudah tergila-gila kepada seorang wanita. Sebaliknya, Yuci yang berwatak jujur, tidak menyembunyikan perasaan kagumnya terhadap para gadis itu, terutama sekali gadis bertopi bulu putih yang amat cantik itu. Dia tersenyum dan menganggukkan kepala tanda hormat.

   Akan tetapi, lima orang gadis itu masih kelihatan terkejut dan khawatir. Mereka terbelalak memandang dua orang pemuda yang tampan dan gagah itu. Yuci adalah seorang pemuda Mongol yang amat gagah. Wajah dan bentuk badan seorang ksatria, pemuda idaman setiap hati wanita Mongol. Sedangkan Tiong Sin dalam pakaiannya yang rapi, nampak sebagai seorang kongcu yang juga amat menarik hati dengan sikapnya yang nampak halus dan senyumnya yang sopan itu. Akan tetapi, kini gadis yang bertopi bulu putih itu melangkah maju, sikapnya tidak lagi khawatir, melainkan heran dan ingin tahu, juga agaknya marah karena merasa terganggu.

   "Siapakah kalian dan mau apa kalian datang ke sini mengganggu kami lima orang gadis yang sedang bersenang-senang?"

   Suaranya lembut dan kata-katanya halus. Dari ucapannya ini saja Yuci sudah dapat menduga bahwa gadis ini bukan gadis sembarangan. Bukan gadis Mancu yang liar, melainkan masih berbau "bangsawan""

   Atau setidaknya tentu puteri seorang kepala suku atau seorang hartawan.

   "Aku bernama Yuci dan kawanku ini bernama Bu Tiong Sin. Kami melihat kalian dan api unggun dari atas buki sana, kami tidak tahu bahwa kalian adalah lima orang gadis. Kami hanya ingin menjumpai orang-orang yang membuat api unggun di sini. Kiranya kalian lima orang gadis sedang memanggang daging dengan sedapnya, membuat kami berdua merasa kelaparan lagi."

   Yuci memang ramah dan sudah menjadi kelajiman antara suku bangsa pengelana di utara itu untuk bersikap ramah kepada tamu asalkan tamu itu beriktikad baik. Gadis bertopi bulu putih itu mengerutkan alisnya.

   "Nanti dulu, biar kami sudah mengetahui nama kalian, akan tetapi kami belum yakin apakah kalian datang dengan niat baik. Ketahuilah bahwa kami bukan gadis sembarangan dan kalau perlu kami mampu mengusir kalian dengan kekerasan! Nah, katakan apakah yang tersembunyi di dalam hatimu terhadap kami!"

   Melihat gadis itu menurunkan busur kecil dan di punggung gadis cantik itu terdapat tempat anak panah, diam-diam Yuci merasa kagum dan juga geli. Dia sendiri adalah seorang ahli panah, murid tersayang dari Barcan, ahli panah yang terkenal itu, dan sekarang gadis itu seperti hendak memamerkan kepandaiannya memanah untuk menggertak dia dan Tiong Sin!

   Kini, dua orang gadis yang berpakaian seperti wanita Han itu melangkah maju dan seorang di antara mereka berkata kepada gadis bertopi bulu itu.

   "Nona Maimi, perlu apa banyak cakap dengan mereka? Kami melihat dua orang ini pasti memiliki iktikad buruk, maka pada senja hari begini mereka berani mengganggu kita. Biarlah kami berdua mengusir mereka!"

   Berkata demikian, dua orang gadis Han itu mencabut pedang yang tergantung di pinggang, dan dari cara mereka mencabut pedang saja, tahulah Tiong Sin bahwa mereka bukan sekedar membawa pedang sebagai hiasan atau untuk menakut-nakuti, melainkan mereka memang memiliki kemahiran bersilat pedang.

   "Nanti dulu, Siauw Cin dan Siauw Lin, biar kita mendengar dulu apa yang menjadi maksud mereka maka mereka berkeliaran di daerah kita ini."

   Kata gadis bertopi bulu yang disebut "nona Maimi"

   Itu.

   Melihat sikap gadis bernama Maimi itu, Yuci dapat menduga bahwa benar seperti dugaannya, gadis ini tentu puteri seorang kepala suku. Berbahaya kalau sampai gadis ini menaruh curiga. Jangan jangan banyak anak buah sukunya yang berada di situ dan kalau sampai dia di sangka buruk, bisa saja dia dan Tiong Sin dikeroyok puluhan orang! Maka dia pun cepat membuat pengakuan sejujurnya.

   "Nona, ketahuilah bahwa aku Yuci dan sahabatku Bu Tiong Sin ini adalah dua orang utusan yang sedang melaksanakan tugas yang diberikan oleh raja besar kami, yaitu yang mulia Jenghis Khan. Pasukan kami berada di balik bukit itu melewatkan malam di sana sebelum melanjutkan perjalanan besok pagi."

   "Aihhh... !"

   Maimi nampak terkejut sekali, demikian pula empat orang kawannnya. Siapa yang tidak akan terkejut mendengar disebutnya nama Jenghis Khan? Setiap orang, dari anak-anak sampai orang tua di seluruh Gurun Go-bi mengenal belaka nama ini, nama yang mereka kagumi sekaligus mereka takuti. Tidak terkecuali Maimi, gadis yang angkuh itu, bersama empat orang temannya terbelalak kaget mendengar bahwa dua orang muda di depannya itu adalah utusan Jenghis Khan!

   "Kalian utusan Jenghis Khan? Benarkan itu? Dan kalian mau apa mendatangi kami?"

   "Nona, tugas kami tentu saja sama sekali tidak ada hubungannya dengan kalian berlima. Kami dan pasukan diutus untuk berkunjung kepada Pangeran Pang Sun kepala suku Liau-tung, membawa hadiah dan juga membawa surat dari maharaja kami. Karena kemalaman maka berada di balik bukit, dan tadi secara iseng kami berdua berjalan jalan lalu melihat api unggun kalian dan datang ke sini."

   Gadis itu nampak tertarik sekali "Selama ini bangsa Liau-tung tidak pernah berurusan dengan bangsa Mongol juga bukan negeri talukan Mongol. Mengapa kalian hendak berkunjung? Mau menyerang. kami?"

   Yuci terkejut. Baru dia tahu bahwa gadis ini seorang gadis Liau-tung! "Aih, tidak sama sekali. Raja kami mengulurkan tangan persahabatan kepada bangsa Liau-tung."

   Gadis itu tersenyum. Kini ia tidak nampak gelisah lagi dan mulai memandang kedua pemuda itu dengan sinar mata menyelidik.

   "Hemmm, kami banyak mendengar bahwa Jenghis Khan memiliki panglima-panglima yang pandai. Tidak tahu apakah kalian berdua yang menjadi utusan dan masih begini muda ini juga memiliki kepandaian tinggi!"

   Ia memandang ke arah busur di punggung Yuci. Dan agaknya engkau pandai juga bermain panah? Hendak kulihat sampai di mana kehebatan seorang utusan Jenghis Khan!"

   Gadis itu dengan gerakan cepat sekali tahu-tahu telah melolos sebatang anak panah dari punggungnya. Pada saat .itu, banyak terdapat rombongan burung yang hendak pulang ke sarang menghadapi malam yang tak lama lagi datang. Mereka terbang berkelompok.

   Ketika Maimi menengadah dan melihat kelompok burung terbang, ia lalu membidikkan anak panahnya ke atas.

   "Mampukah engkau melakukan seperti ini?"

   Busurnya menjepret dan sinar anak panahnya meluncur ke atas. Tak lama kemudian, seekor burung jatuh dari atas, tubuhnya tertembus anak panah tadi, tepat pada dadanya dan tembus sampai di punggung. Ketika terjatuh mengeluarkan suara berdebuk. Yuci tersenyum dan mengambil burung itu, mengamatinya lalu berkata.

   "Ah, Nona. Sungguh sayang kalau memanah burung seperti ini. Dagingnya menjadi rusak oleh anak panahmu yang menembus dada. Ada dua cara lain untuk memanah burung tanpa merusak daging tubuhnya, Nona."

   Maimi mengerutkan alisnya.

   "Hemmm, mampukah engkau?"

   Yuci tersenyum.

   "Tentu saja, akan kujatunkan dua ekor burung tanpa merusak daging tubuhnya sehingga kalau dimasak atau dipanggang, dagingnya masih utuh, tidak rusak seperti yang kau panah jatuh ini."

   Yuci mengambil dua batang anak panah dan memasangnya pada busurnya sekaligus!

   Melihat ini, Maimi dan kawan kawannya memandang heran. Benarkah pemuda itu akan dapat sekaligus meluncurkan dua batang anak panah dan mengenai dua ekor burung dalam waktu yang sama? Bahkan Tiong Sin sendiri memandang, penuh perhatian. Dia sudah mendengar akan kepandaian orang Mongol mempergunakan anak panah, akan tetapi belum melihat sendiri kepandaian Yuci walaupun dia pernah mengagumi kepandaian memanah dari Barcan.

   Pada saat itu, senja mulai mendatang dan cuaca tidaklah terlalu terang lagi. Sekelompok burung terbang di atas mereka dan Yuci sudah membidikkan dua batang anak panahnya. Begitu busurnya menjepret, terdengar bunyi dua batang anak panah berdesing dan meluncur dengan amat cepatnya ke atas, tidak dapat diikuti dengan pandang mata. Akan tetapi, dalam melepas dua batang anak panah tadi, Yuci sudah mengukur tenaganya agar jangan terlalu cepat, agar dua batang anak panahnya jangan sampai menembus dan hilang.

   Tidak nampak ketika dua ekor burung terkena anak panah karena memang cuaca sudah mulai suram, akan tetapi tiba-tiba nampak dua ekor burung jatuh. Yuci memungutnya sambil tersenyum dan menyerahkannya kepada Maimi yang segera menerimanya dan bersama empat orang kawannya, ia mengamati dua ekor burung itu. Mereka segera bicara riuh rendah memuji dan merasa kagum bukan main. Tiong Sin yang melihat juga merasa kagum sekali. Seekor burung telah terpanggang anak panah pada lehernya, dan seekor lagi pada sayap kirinya. Keduanya memang sama sekali tidak rusak dagingnya, tidak seperti yang tertembus anak panah Maimi pada dadanya tadi.

   "Bukan main! Engkau hebat sekali, pantas sekali menjadi utusan Jenghis Khan dan menjadi tamu kami!"

   Kata Maimi.

   "Aku adalah Puteri Maimi, puteri Pangeran Pang Sun yang akan kalian kunjungi."

   Yuci cepat memberi hormat.

   "Ah, kalau begitu maafkan kami, Puteri."

   "Tidak mengapa. Kami bahkan amat kagum kepada kepandaianmu memanah Yuci. Akan tetapi, kami masih ragu terhadap kawanmu ini. Kalau dia juga utusan Jenghis Khan, apa kemampuannya? Kulihat dia bukan bangsa Mongol."

   "Dia seorang bangsa Han yang menghambakan diri kepada raja kami,Puteri. Akan tetapi dia memiliki ilmu kepandaian silat yang amat tinggi."

   "Bagus! Kalau begitu, biarkan kami mengujinya, nona Maimi!"

   Kata seorang di antara dua orang gadis Han tadi. Mereka itu berwajah sama, juga bentuk tubuh mereka dan pakaian mereka sama, Mudah diduga bahwa mereka itu tentu saudara sekandung, bahkan melihat usia mereka .yang sebaya, orang akan menduga bahwa mereka adalah saudara kembar. Dan memang demikianlah. Siauw Cin dan Siauw Lin adalah dua orang gadis kembar berusia sembilan belas tahun, Ayah mereka seorang Han yang menikah dengan seorang wanita Liau-tung dan kini ayah mereka menjadi anak buah suku bangsa yang dipimpin oleh Pangeran Pang Sun.

   "Bagus, kalian boleh mengujinya. Siapa namamu tadi? Bu Tiong Sin? Kalau engkau memang gagah, coba hadapi pedang dari dua orang saudara kembar ini"

   Kata sang puteri kepada Tiong Sin.

   Pemuda ini mengangguk, dan berkata kepada Yuci.

   "Haruskah aku melawannya, Yuci?"

   "Tentu saja. Buktikan bahwa engkau memang patut menjadi utusan raja kita Jenghis Khan!"

   Kata Yuci vang juga ingin melihat adu kepandaian itu, dan dia menduga bahwa dua orang gadis kembar bangsa Han ini tentu lihai pula. Siauw Cin dan Siauw Lin sudah mencabut pedang dan menghadapi Tiong Sin. Mereka itu sama cantik dan manisnya, dan ketika meloncat, gerakan mereka pun ringan dan cekatan sekali.

   "Keluarkan senjatamu dan mari kau hadapi pedang-pedang kami!"

   Kata Siauw Cin dengan sikap menantang.

   Tiong Sin menggeleng kepala.

   "Memalukan kalau melawan dua orang gadis lemah harus mempergunakan pedang. Biarlah kuhadapi pedang kalian dengan ini saja!"

   Dia mengambil sebatang kayu kering yang dipakai sebagai bahan bakar. Panjangnya nanya selengan, dan kayu ini besarnya tidak lebih sepergelangan tangan. Melihat itu, sepasang gadis kembar mengerutkan alis mereka. Pemuda ini terlalu sombong, pikir mereka. Seorang pria jagoan saja dari suku Liau-tung tidak akan mampu mengalahkan seorang di antara mereka, walaupun pria itu boleh memilih senjata apa pun. Dan kini pemuda ini, menghadapi mereka berdua yang berpedang hanya dengan sebatang kayu!

   Sepasang saudara kembar ini marah dipandang rendah, maka muka mereka berubah merah karena marah.

   "Baik engkau yang memilih sendiri, jangat salahkan kami kalau sampai engkau terluka atau tewas!"

   Kata Siauw Lin marah.

   Tiong Sin tidak pernah menghargai wanita. Dia selalu memandang rendah dan menganggap bahwa wanita sepantasnya hanya menjadi alat penghibur atau permainan belaka. Maka, mendengar ucapan itu, dia pun tertawa mengejek.

   "Aku takkan menyalahkan kalian, bankan akan menghajar kalian dengan kayu ini. mulailah!"

   Siauw Cin dan Siauw Lin menjadi semakin marah, apalagi ketika pada saat itu, Yuci yang wataknya lebih terbuka dan gembira berkata.

   "Saudaraku yang baik, jangan terlalu keras engkau memukul dengan kayu itu, kasihan mereka".

   "Lihat pedang!"

   Bentak Siauw Cin dan Siauw Lin, dan keduanya sudah menerjang maju dengan gerakan pedang mereka yang cepat. Terdengar bunyi kedua pedang itu berdesing-desing, dan nampak dua gulungan sinar pedang, yang menyambar-nyambar ke arah Tiong Sin.

   Namun, pemuda ini bersikap tenang saja, seolah olah dia tidak peduli akan ancaman maut dari dua batang pedang itu.

   Akan tetapi, begitu pedang-pedang itu menyambar dekat, tangannya bergerak dan kayu yang menjadi senjatanya itu bergerak cepat menangkis.

   "Trek! Trakkk!"

   "Ihhhhh.....!"

   Dua orang gadis kembar itu meloncat ke belakang sambil memeriksa pedang masing-masing dan barulah hati mereka lega melihat bahwa pedang mereka tidak rusak. Tentu saja mereka tadi terkejut bukan main ketika kayu itu menangkis, mereka rasakan betapa tenaga yang amat kuat membuat pedang mereka hampir terlepas dari pegangan tangan mereka! Pedang mereka tergetar begitu keras sehingga mereka khawatir kalau senjata mereka itu rusak. Kini, dengan marah mereka lalu menerjang lagi dari kanan kiri, mengeluarkan ilmu pedang mereka yang gerakannya cepat sekali. Namun, Tiong Sin tersenyum mengejek dan dia pun segera menggerakkan kayu di tangannya, memainkannya seperti sebatang pedang dan dia sudah menyambut. Serangan dua orang pengeroyoknya itu dengan jurus-jurus pilihan dari ilmu pedang Thai-san Kiam-sut yang hebat!

   Ilmu pedang yang dipelajarinya dengan baik sekali dari Yeliu Cutay ini merupakan ilmu pedang yang hebat, tingkatnya tinggi dan jauh lebih tinggi daripada ilmu pedang yang dimainkan dua orang gadis kembar itu. Oleh karena itu, maka dalam waktu singkat saja gulungan sinar pedang kedua orang gadis itu menjadi semakin tertekan dan semakin sempit, bahkan akhirnya mereka sama sekali tidak mampu membalas serangan pemuda itu karena mereka melihat seolah-olah kayu itu berubah menjadi puluhan potong yang menyerang mereka dari segala jurusan!. Tak lama kemudian, terdengarlah dua orang gadis itu menahan jeril-jerit kecil ketika ujung kayu itu mulai menyentuh tubuh mereka. Memukul pinggul, mengusap dada dan perut!

   Kalau Tiong Sin menghendaki, tentu saja dengan mudah dia dapat merobohkan dua orang gadis itu. Bahkan kayu di tangannya seperti mewakili tangannya, membelai, menowel bagian-bagian tubuh kedua orang gadis itu, bagian yang biasanya terlarang dan tidak boleh disentuh orang lain! Dua orang gadis itu menjerit-jerit dan akhirnya mereka berloncatan melarikan diri bersembunyi di balik Puteri Maimi, dan keduanya kini menundukkan muka mereka yang kemerahan dan ada air mata menitik keluar dari sepasang mata mereka. Mereka merasa malu dan terhina sekali dan di dalam lubuk hati mereka, dua orang gadis kembar ini merasa benci sekali kepada Tiong Sin yang diam-diam telah memperlakukan mereka dengan cabul itu.

   Tentu saja hanya mereka berdua yang tahu dan merasakan. Orang lain yang nonton pertandingan itu hanya melihat betapa dua orang gadis itu terdesak dan menjerit-jerit sambil menggeliat-geliat. Demikian cepatnya gerakan kayu di tangan Tiong Sin sehingga tidak dapat terlihat oleh lain orang betapa ujung kayu itu mempermainkan tubuh dua orang gadis yang mengeroyoknya.

   Yuci merasa bangga sekali melihat kemenangan Tiong Sin yang sudah diduganya. Dia lalu memberi hormat kepada Puteri Maimi dan bertanya.

   "Bagaimana pendapatmu, Tuah Puteri? Suda patutkah kami berdua menjadi utusan Yang Mulia Jenghis Khan?"

   Maimi sekarang tersenyum ramah. Ia merasa kagum sekali, baik tadi melihat ilmu memanah dari Yuci atau juga ilmu pedang dari Tiong Sin.

   "Sekarang aku yakin bahwa berita tentang kehebatan para panglima Jenghis Khan bukanlah omong kosong belaka. Marilah, kalian berdua, cukup terhormat untuk menjadi tamu kami. Silakan makan dan menikmati panggang daging rusa bersama kami."

   Tentu saja kedua orang muda itu menjadi girang walaupun Tiong Sin tidak memperlihatkan hal ini.

   Mereka lali duduk mengelilingi api unggun, di atas tikar indah yang dibentangkan oleh para gadis itu, dan dua orang pemuda itu menerima hidangan panggang daging rusa yang enak dan sedap, ditemani para gadis yang kini bersikap ramah pula. Kecuali dua orang gadis kembar yang tetap bersikap dingin terhadap Tiong Sin dan hanya ramah kepada Yuci. Para gadis itupun mengeluarkah perbekalan mereka, roti dan anggur.

   Biarpun tadi sudah makan malam, menghadapi hidangan daging panggang hangat-hangat itu, ditemani lima orang gadis cantik manis yang lebih hangat lagi, dua orang muda itu makan dengan lahapnya! Dan diam-diam Tiong Sin mengamati wajah dan bentuk tubuh Puteri Maimi. Inilah seorang gadis yang hebat, bisiknya dalam hati yang bergelora. Setelah makan minum, Yuci menghaturkan terima kasih kepada Puteri Maimi.

   "Besok pagi-pagi kami akan pulang dan akan kukabarkan kepada ayahku tentang kunjungan kalian sebagai utusan Jenghis Khan."

   Janji sang puteri kepadanya dan Yuci mengucapkan terima kasih.. Kemudian, dua orang pemuda itu kembali ke perkemanan mereka dengan hati penuh kenangan manis.

   "Hebat Puteri Maimi itu!"

   Beberapa kali Yuci berseru kepada sahabatnya, sepasang matanya berkilat dan wajahnya berseri-seri, tanda bahwa pemuda Mongol ini terkagum-kagum. Tiong Sin mengerutkan alisnya.

   "Yuci, apakah kau jatuh cinta kepadanya?"

   Yuci terkejut, lalu tersenyum mengangguk-angguk.

   "Mungkin sekali... Siapa yang tidak jatuh cinta kepada seorang gadis seperti Maimi? Cantik jelita puteri kepala suku, baik budi bahasanya, ramah sikapnya, dan bagi seorang wanita kepandaiannya memanah mengagumkan!"

   Tiong Sin memandang kepadanya dengan tajam.

   "Dan engkau hendak minta kepada ayahmu untuk meminangnya?"

   Kembali Yuci tersenyum.

   "Hemm siapa tahu? Mungkin saja, akan tetapi tentu setelah gerakan Sribaginda berhasil".

   Tiong Sin tidak banyak bertanya dan menjadi pendiam. Hatinya tidak puas dan merasa iri. Dia tahu bahwa sebagai seorang panglima besar dari Jenghis Khan, ayah Yuci, yaitu Chepe Noyon, amat terkenal dan dihormati. Maka, kalau Chepe Noyon melamar Maimi kepada kepala suku Liau-tung itu, besar kemungkinan akan diterima dengan gembira. Berbeda dari dirinya, Siapa yang akan melamarkannya kalau dia pada suatu hari menjatuhkan pilihannya? Tidak ada! Dan lebih lagi puteri kepala suku seperti Maimi. Jelas bahwa dia sebagai seorang muda Han perantau yang sudah tidak mempunyai orang tua, akan ditolak mentah-mentah.

   Bahkan mungkin pinangannya akan dianggap penghinaan dan dia akan dianggap musuh! Tiong Sin pura-pura tidur pulas dalam tenda di mana dia tidur bersama Yuci. Pemuda Mongol itu sudah cepat tidur pulas dengan bibir tersenyum, agaknya sudah mulai mimpi bertemu Puteri Maimi. Dengan hati-hati Tiong Sin bangkit dan mengenakan sepatunya sambil melirik ke arah Yuci dan dia pun tersenyum mengejek.

   "Boleh kaujumpai ia dalam mimpi Yuci, akan tetapi aku akan menjumpainya dalam kenyataan!"

   Dengan hati-hati dia pun keluar dari tenda besar dan dia menghilang dalam kegelapan malam.

   Langit hitam penuh bintang cemerlang. Tiada awan segumpal pun menghalangi sinar bintang-bintang yang bagaikan ratna. mutu manikam berserakan di atas permadani hitam di atas sana. Sejenak, kalau mata memandang tanpa dikacau pemikiran, kita lupa bahwa bintang-bintang itu berada di atas dan kita di bawah. Tidak ada lagi batas, tidak ada lagi ruang, tidak ada lagi atas maupun bawah, kanan maupun kiri. Demikian maha besar kekuasaan Tuhan, meliputi seluruh jagat raya, seluruh alam mayapada, melihat seluruh benda bergerak maupun tidak bergerak, yang nampak oleh mata manusia maupun yang tidak! Demikian gaibnya semua itu.

   Kekuasaan Tuhan Yang Maha Kasih, menyusup sampai ke rambut-rambut di kepala, sampai ke bulu-bulu di seluruh badan, menumbuhkan, memelihara, mengatur! Tak terukur oleh ukuran hati dan akal pikiran, tak terjangkau oleh segala alat yang. ada. Terlalu tinggi bagi kita manusia, terlalu besar, terlalu luas.!. Baru menengadah melihat bintang-bintang di langit begitu saja, kita merasa betapa kecilnya diri kita, betapa tidak ada artinya, bagaikan setitik di antara debu.

   Namun, betapa besar kasih sayang Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang! Sayang kepada semua mahluknya, kepada semua ciptaannya, kepada kita! Seluruh yang ada, yang nampak maupun tidak nampak, seluruhnya diciptakan untuk kebahagiaan kita! Tanah, air, tumbuh-tumbuhan, hewan, bahkan sinar matahari dan bulan, angin yang tidak nampak, semua..... semua itu untuk kita manusia! Semua. itu menunjang kehidupan kita! Kita hanya mampu bersyukur, berterima kasih, mohon ampun akan semua dosa kita dan..... menyerah! Penyerahan diri penuh iman, penuh tawakal, penuh ikhlas, merupakan kebaktian yang sempurna kepada Tuhan! Kita menyerah, sepenuh jiwa raga, dan kekuasaan Tuhan akan mengatur segalanya. Kalau hati dan akal pikiran kita yang mengatur, maka kekacauanlah akibatnya karena hati dan akal pikiran kita bergelimang nafsu.

   Namun, kalau kekuasaan Tuhan yang mengaturnya, segala berjalan dengan sempurna. Suasana yang sunyi meliputi perkemahan di mana lima orang gadis itu berada Puteri Maimi telah tidur pulas, demikian pula dua orang gadis Liau-tung yang lain. Adapun gadis Han yang kembar itu sedang mendapat giliran jaga. Nanti lewat tengah malam, mereka akan di gantikan oleh dua orang gadis Liau-tung dan mereka akan beristirahat dan tidur Tentu saja Puteri Maimi tidak mendapat giliran berjaga malam! Malam itu hawanya amat dingin dan dua orang gadis kembar membuat api unggun di luar perkemahan. Mereka duduk dekat api unggun. Sementara itu Puteri Maimi yang tidur di dalam tenda .sudah pulas, berselimut tebal. Dua orang gadis Liau-tung juga tidur di sudut tenda besar itu, saling peluk untuk menghangatkan tubuh.

   Siauw Cin dan Siauw Lin duduk termenung. Mereka masih merasa penasaran atau terkenang akan peristiwa sore tadi, ketika mereka mengeroyok pemuda bernama Bu Tiong Sin itu. Kadang-kadang, ada sebutir air mata mengalir turun dari mata mereka, menuruni pipi yang berkulit putih mulus itu. Keduanya tidak bicara karena tanpa bicara pun dua orang saudara kembar ini dapat merasakan apa yang berada dalam hati masing-masing.

   Apalagi dalam keadaan melamun seperti itu. Bahkan andaikata mereka sedang waspada pun, sukar bagi mereka untuk dapat melihat berkelebatnya bayangan orang lain yang menyelinap di balik tenda. Gerakan orang ini selain cepat juga ringan sekali tanpa mengeluarkan suara. Sejenak orang itu mengintai dan melihat betapa dua orang gadis kembar itu duduk dekat api unggun depan kemah, dalam keadaan lengah, dia pun cepat sekali sudah menyelinap memasuki tenda. Tenda itu remang-remang karena hanya diterangi sebatang lilin di sudut. Bayangan itu adalah Bu Tiong Sin Sejenak dia memandang keadaan dalam tenda dan dapat melihat apa yang dicarinya. Puteri Maimi sedang tidur pulas, tubuhnya tergulung selimut. Yang nampak hanya wajahnya yang sebagian rambutnya yang terurai lepas. Wajah itu tersenyum, manis sekali. Cepat Tiong Sin mendekati, lalu tangannya bergerak cepat, membuka selimut dan melakukan totokan dengan jari tangannya.

   Puteri Maimi terkejut, matanya terbelalak, akan tetapi ia segera lemas lunglai kembali karena ia merasa betapa ia tidak mampu bergerak, juga tidak mampu bersuara! Orang yang belum dikenalnya benar itu sudah menggulung tubuhnya dalam selimut dan memanggulnya. Seperti tadi ketika masuk, dia pun menyelinap keluar tanpa diketahui oleh Siauw Cin dan Siauw Lin. Dapat dibayangkan betapa takut dan ngeri rasa hati Puteri Miami. Ia bukan seorang gadis lemah lagi penakut, sama sekali tidak. Bahkan ayahnya sering mengomelinya karena sebagai seorang puteri, seorang anak dari kepala suku yang sudah dianggap sebagai raja kecil.

   Seorang pangeran, Maimi masih suka berkeliaran tanpa pengawal, hanya ditemani oleh empat orang gadis yang menjadi sahabat dan juga orang-orang kepercayaannya itu. Maimi adalah seorang gadis yang suka berburu, pandai menunggang kuda, pandai menggunakan anak panah dan sudah belajar bermain pedang. Juga empat orang sahabatnya itu bukan gadis-gadis lemah. Mereka berlima seringkali berkeliaran sampai jauh meninggalkan rumah, sampai di perbatasan daerah kekuasaan Liau-tung. Maka, Maimi bukan gadis penakut. Akan tetapi, malam ini, digulung dalam selimut dan tubuhnya sama sekali tidak dapat digerakkan, mulutnya tidak mampu mengeluarkan suara, lalu diculik dan dibawa pergi orang keluar dari perkemahan, sungguh membuat ia merasa ngeri dan takut! Kalau ia mampu bergerak, tentu ia dapat membela diri. Akan tetapi, ia merasa sama sekali tidak berdaya karena tidak mampu bergerak, tidak mampu mengeluarkan suara lagi.

   Tanpa ragu-ragu Tiong Sin membawa puteri itu ke sebuah pohon besar. Memang sebelumnya dia telah memilih tempat. Di bawah pohon besar itu penuh dengan rumput yang gemuk, dan dia pun menurunkan buntalan atau gulungan selimut di atas rumput itu, lalu dibentangi kan selimut itu di atas rumput. Maimi kini menggeletak tak mampu bergerak telentang dan sepasang matanya yang indah dan lebar itu terbelalak memandang sebuah wajah di bawah sinar bintang bintang yang suram, apalagi sinar bintang terhalang daun-daun pohon. Bagaimanapun juga, ia dapat mengenal saja dalam kesuraman cuaca itu, wajah Bu Tiong Sin, pemuda tampan yang sore tadi dijamunya makan bersama Yuci!

   Dengan tenang Tiong Sin melepaskan jubahnya, lalu menghunus pedangnya, ditempelkan pedang itu ke dada Maimi, kemudian, dengan lembut dia membebaskan totokan dari tubuh Maimi. Begitu dapat bergerak dan dapat bicara, Maimi cepat bangkit duduk, akan tetapi Tiong Sin merangkulnya dengan tangan kiri sedangkan Pedang Asmara telah telanjang dan ditempelkan di dada gadis itu.

   "Kau..... kau..... Bu Tiong Sin.....! Apa yang kau lakukan ini? Mengapa engkau membawaku ke sini? Apa artinya ini?"

   Ia bertanya dengan mata terbelalak ketakutan dan napasnya terengah-engah. Tiong Sin yang sudah digulung gelombang nafsu itu merangkul semakin erat, lalu membisikkan rayuan dengan mulut menempel di pipi dekat telinga puteri itu.

   "Artinya, Maimi, bahwa aku cinta padamu. Tak usah berpura-pura lagi, Maimi, kita saling mencinta....."

   Dan Tiong Sin lalu merebahkan kembali sang puteri, mendekap dan menciuminya dan dia pun tersenyum karena kini puteri itu sama sekali tidak melawan, hanya memejamkan matanya dan mulutnya berbisik-bisik tanpa arti. Sama sekali Maimi tidak melawan bahkan menyambut dan melayani Tiong Sin dengan gairah yang sama panasnya. Semua itu dilakukannya seperti dalam mimpi!

   Siauw Cin dan Siauw Lin menguap terserang rasa kantuk karena hangatnya api unggun yang mengusir dingin dan nyamuk.

   "Ih, aku ngantuk sekali,"

   
Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Siauw Lin kepada encinya.

   "Enci Cin, tolong kau tengok dulu nona Maimi sebelum kita ketiduran di sini."

   (Lanjut ke Jilid 16)

   Pedang Asmara (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 16

   "Uh, engkau memang pemalas...... waaahhhhl..... nah, aku ketularan mengantuk. Biar kujenguk dulu ke dalam....."

   Siauw Cin bangkit lalu menghampiri tenda dan menguak pintu masuk. Ia memandang heran, lalu masuk ke dalam. Tak lama kemudian, ia sudah berada di luar lagi dan mengguncang pundak adiknya.

   "Lin-moi..... bangun! Celaka...... nona Maimi tidak berada di tenda!"

   Seketika Siauw Lin meloncat bangkit berdiri dan matanya terbelalak.

   "Apa kau bilang? Apakah engkau sudah mimpi?."

   "Hushhh! Aku baru saja menjenguk ke dalam dan nona Maimi tidak berada di dalam! Juga selimutnya yang tebal itu tidak ada, dan dua orang pemalas di dalam itu tidur mendengkur!"

   Siauw Lin melompat ke dalam tenda dan .ia pun keluar dengan alis berkerut. Engkau benar! Ke mana ia pergi? Dan kalau ia meninggalkan tenda, bagaimana kita sampai tidak mengetahuinya? Kita baru mengantuk, belum tertidur."

   "Hatiku tidak enak, Lin-moi. Mungkin terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan. Mari kita mencarinya!"

   "Ke mana kita harus mencari kalau kita tidak tahu ia pergi ke mana?"

   Tanya Siauw Lin.

   "Ke mana saja, sekitar tempat ini. Hayolah, mungkin ia menyelinap keluar untuk mencari burung kepala merah yang siang tadi dikejarnya tanpa hasil."

   "Atau ia mungkin mimpi dan berjalan-jalan!"

   Siauw Lin mengomel karena ia sudah mengantuk harus bekerja mencari nonanya tanpa tujuan.

   Ketika mereka mencari-cari dan tiba di bawah pohon, keduanya terbelalak dan sampai beberapa lamanya mereka itu memandang dengan bengong ke atas hamparan selimut di atas rumput bawah pohon besar itu! Nona mereka tertidur pulas, saling peluk dengan seorang pemuda yang mereka kenal baik, yaitu yang sore tadi mengalahkan mereka dengan ranting kayu! Mereka menggosok-gosok mata merasa seperti dalam mimpi. Tidak mungkin nona Maimi, puteri ketua Liau-tung, demikian mudahnya menyerahkan diri kepada seorang pemuda asing! Akan tetapi jelas, nona mereka itu tidak diperkosa, tidak dipaksa karena lengan nona itu yang berkulit putih kemerahan, jelas nampak merangkul leher pemuda itu, lengan yang tidak berbaju! Juga kaki nona mereka yang tersembul di bawah selimut itu telanjang!

   Marahlah dua orang gadis kembar itu.

   "Singgg!"

   Mereka telah mencabut pedang masing-masing, melompat dekat dan menghardik.

   "Jahanam, apa yang kau lakukan ini?"

   Tiong Sin yang sedang diayun kepuasan dan hampir lelap itu, terkejut sekali. Juga Puteri Maimi terkejut dan membuka mata. Tiong Sin keluar dari bawah selimut dan meloncat dengan pedang di tangan. Melihat pemuda itu sama sekali tidak berpakaian, dua orang gadis kembar itu menjadi tersipu, akan tetapi kemarahan mereka meluap dan tanpa mempedulikan keadaan pemuda itu, mereka pun menyerang dengan pedang mereka.

   "Trang-trang....."

   Nampak api berpijar dan dua orang gadis itu terpekik kaget karena pedang mereka buntung begitu bertemu dengan pedang pemuda itu dan sebelum mereka dapat mengelak dua kali tangan kiri Tiong Sin bergerak mereka sudah roboh lemas tertotok!

   "Hemmm, kalian datang juga? Baik mari temani kami bersenang-senang manis!"

   Tiong Sin menarik mereka ke bawah selimut, kemudian perlahan-lahan dia membebaskan totokan mereka dan seperti diduganya, mereka pun sudah dicengkeram pengaruh aneh yang keluar dari Pedang Asmara dan dua orang gadis ini tanpa malu-malu lagi, menyerahkan diri bulat bulat, bahkan dengan suka rela seperti yang telah dilakukan Puteri Maimi! Sungguh sukar dipercaya kalau nafsu sudah mencengkeram manusia, maka manusia menjadi lupa segalanya, seperti mabuk, seperti gila! Tiga orung gadis yang selama hidupnya belum pernah berhubungan dengan pria, kini menjadi tiga orang wanita yang sama sekali tidak mengenal rasa malu, melebihi tingkah pelacur-pelacur saja!

   Sungguh aneh dan menyedihkan! Memang, kalau manusia sudah menjadi hamba nafsu, maka apa pun akan dilakukannya, sehingga kadang-kadang manusia bahkan nampak lebih rendah daripada binatang sekalipun! Manusia dapat melakukan segala macam kekejian, segala macam kejahatan yang paling kejam, segala macam maksiat yang paling kotor dan hina, kalau dia sudah menjadi permainan nafsu! Nafsu harusnya menjadi alat manusia hidup, menjadi hamba yang melayani, itulah tempat dan tugas nafsu yang tepat. Namun, sekali kita membiarkan dia berkuasa, menjadi majikan, maka dia akun menyeret kita ke lembah kehinaan, kedukaan dan kesengsaraan.

   Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu menempatkan nafsu di tempat yang sewajarnya, dan kekuasaan Tuhan bekerja dengan sempurna dalam diri kita kalau kita menyerah penuh ketawakalan,keikhlasan dan keimanan! Kekuasaan Tuhan sejalan yang akan membuat jiwa kita bangkit dan menduduki singgasana yang menjadi haknya, sedangkan nafsu yang tadinya merampas singgasana akan menyisih dan duduk di samping sebagai yang patuh dan setia!

   Tiga orang gadis itu seperti mimpi. Mimpi yang penuh dengan madu asmara, yang membuat mereka mabuk kesenangan dan kepuasan. Setelah mempermainkan mereka itu sepuas hatinya, Tiong Sin lalu bangkit dan mengenakan kembali pakaiannya, tersenyum puas dan penuh ejekan, dan dia berkata.

   "Kita melakukan ini bersama dengan suka rela. Oleh karena itu, aku percaya bahwa kalian tidak akan membocorkan rahasia yang hanya akan mendatangkan aib kepada kalian sebagai perawan-perawan terhormat, dan kuharap kalian tidak akan mengganggu kalau besok kami menghadap Pungeran Pang Sun."

   Setelah berkata demikian, sambil membawa Pedang Asmara, Tiong Sin berkelebat dan lenyap ditelan kegelapan malam. Setelah pemuda itu pergi dan Pedang Asmara yang dibawa pemuda itu tidak lagi mempengaruhi mereka, tiga orang gadis itu seperti baru sadar dari mimpi. Mereka seketika sadar dan teringat seperti orang tidur diguyur air dingin. Mula mula Puteri Maimi yang terbelalak melihat kepada tubuhnya sendiri yang tak berpakaian, lalu meledaklah tangisnya!

   "Apa yang kulakukan ini......? Apa yang telah kulakukan ini.....?"

   Jeritnya dan suara tangisnya segera disambung oleh jerit tangis Siauw Cin dan Siauw Lin! Tiga orang gadis itu bertangisan dan mereka sampai sesenggukan seperti anak kecil sambil mengenakan lagi pakaian masing masing. Setelah berpakaian, tiba tiba Siauw Lin menyambar pedangnya dan ia menjerit.

   "Tiada gunanya lagi hidup di dunia ini....."

   Dan pedangnya yang tinggal sepotong itu diarahkan ke lehernya.

   "Plakkk!"

   Siauw Cin menubruk dan menangkap lengannya.

   "Lin moi....., jangan..... ah, jangan.....!"

   "Lepaskan aku. enci Cin, lepaskan aku...... hu-huuu..... lebih baik aku mati saja......"

   "Adikku....., jangan, aduh, jangan kau nekat begitu Lin moi....."

   Siauw Cin merampas pedang dan menggeluti adiknya sambil menangis. Akhirnya Siauw Lin tidak meronta lagi dan balas merangkul kakaknya sambil menangis. Kembali mereka bertangis tangisan. Puteri Maimi yang lebih dahulu dapat menguasai dirinya.

   "Jahanam keparat! Dia..... dia..... iblis jahat! Tentu dia telah menggunakan ilmu sihir terhadap kita. Sudanlah, kalian jangan menangis lagi. Ingat, urusan ini hanya kita bertiga yang mengetahui. Kita harus menjaga agar jangan sampai ada orang lain mengetahuinya. Akan hancurlah nama baik kita dan keluarga kita kalau sampai ada orang lain mengetahuinya."

   "Tapi..... tapi, nona Maimi. Tanpa ada orang lain mengetahuinya kita sudah rusak binasa..... bergelimang aib..... ya Tuhan, apa yang harus kami lakukan.....?"

   Siauw Lin mengeluh.

   "Aku tahu, kita telah tertimpa aib dan malapetaka yang amat hebat. Akan tetapi apa pun yang terjadi, hal itu telah lewat, telah terjadi dan kalau sampai ada orang lain mengetahuinya, kita akan menderita lebih hebat lagi. Maka, kita harus tabah dan sadar, harus ingat bahwa pertama kali yang dapat kita lakukan, adalah menyimpan ranasia ini. Baru nanti kita pikirkan lebih lanjut apa yang seharusnya kita lakukan. Nah, hapus air mata kalian, bersikaplah biasa dan kita kembali ke perkemahan sebelum mereka itu tahu apa yang terjadi."

   Dua orang gadis kembar itu menyadari akan benarnya ucapan puteri itu. Biarpun mereka merasa betapa jantung mereka seperti diremas dan setiap kali teringat akan nasib mereka, air mata sudah memenuhi sepasang mata yang panas, namun mereka menahan diri. Setelah membereskan pakaian dan rambut mereka bertiga lalu kembali ke perkemahan.

   Waktu itu, sudan terdengar kokok ayam hutan. Pagi sudah menjelang tiba dan dua orang gadis Liao-tung masih tidur nyenyak. Bukan salah mereka karena memang hawa udara dingin sekali dan tanpa digugah, sukar bagi orang yang sudah tidur pulas dapat bangun sendiri sebelum malam lewat. Setelah sinar .matahari mengusir kabut pagi, barulah dua orang gadis itu bangun. Mereka terkejut sekali melihat bahwa malam telah lewat dan dengan khawatir mereka melihat betapa Puteri Maimi telah bangun dan telah menghadapi api unggun bersama Siauw Cin dan Siauw Lin untuk mencari kehangatan karena udara pagi itu juga masih amat dingin.

   "Siauw Cin dan Siauw Lin, kenapa tidak menggugah kami?"

   Mereka menegur dan memandang kepada sang puteri dengan sikap takut-takut.

   "Kami tidur nyenyak dan tanpa digugah, kami tidak dapat bangun sendiri dan tahu-tahu sekarang sudah pagi!"

   Siauw Cin dan Siauw Lin sudah dapat menguasai dirinya. Akan tetapi Siauw Lin tidak berani membuka suara karena ia tahu bahwa suaranya tentu akan terdengar lain. Siauw Cin yang lebih tabah segera menjawab sembarangan.

   "Tidak mengapa! Kami lebih enak dekat api unggun dan kami tidak mengantuk."

   Puteri Maimi juga bersikap tenang, bahkan suaranya tidak membuka rahasia keadaan hatinya ketika ia berkata tenang.

   "Sudahlah, lebih baik kalian cepat bongkar tenda dan membuat persiapan karena kita akan segera berangkat pulang. Karena Siauw Cin dan Siauw Lin sudah berjaga semalam, biarkan mereka beristirahat dan kalian yang bekerja!"

   Dua orang gadis Liao-tung itu girang banwa nona mereka tidak memarahi mereka, dan dengan gembira mereka lalu melakukan pekerjaan membongkar tenda yang cukup berat itu. Tenda dibongkar digulung dan dimuatkan pada kuda mereka dan dua orang gadis itu lalu mempersiapkan lima ekor kuda mereka. Setelah semua selesai, mereka berlimapun menunggang kuda masing-masing meninggalkan tempat itu. Puteri Maimi dan dua orang gadis kembar itu membiarkan dua orang gadis Liao-tung melarikan kudadi depan agar tidak melihat keadaan mere ka bertiga yang harus menahan derita badan dan batin akibat peristiwa terkutuk semalam.

   Puteri Maimi adalah seorang gadis yang tabah dan tenang di samping ia juga cerdik. Bagi gadis lain, malapetaka yang menimpa dirinya malam itu tentu akan menghancurkan segalanya. Namun, ia tidak mau tenggelam dalam kedukaan. Ia memutar pikirannya dan mencari akal bagaimana ia harus bertindak demi mengatasi masalan rumit yang telah menimpa dirinya. Ia tidak sudi minta pertanggungan jawab Bu Tiong Sin. Tidak, ia tidak sudi menjadi isteri seorang pemuda seperti itu. Pemuda yang sama sekali tidak mengenal susila, yang memperlakukan tiga orang perawan seperti benda-benda permainan belaka, sebagai pemuas nafsunya. Ia tidak dapat menduga ilmu apa yang dipergunakan pemuda itu sehingga ia sendiri dan dua orang gadis kembar itu demikian mudah menyerahkan diri, bahkan demikian tidak tahu malu, seolah-olah mengeroyok pemuda itu dengan limpahan nafsu cinta mereka.

   Akan tetapi yang jelas baginya bahwa pemuda itu bukan orang baik-baik! Dan ia tidak sudi menjadi isterinya! Ia harus mengambil jalan lain untuk membalas dendam. Lalu ia teringat kepada Yuci Memang sejak pemuda Mongol itu memperlihatkan kehebatannya dalam ilmu memanah, hatinya sudah tertarik sekali Ia harus dapat menjadi Isteri Yuci, pemuda jagoan Mongol itu. Dan kelak melalui Yuci ia mengnarapkan agar dapat membalas dendamnya terhadap Tiong Sin. Gadis ini mulai mengatur siasat yang halus. Begitu tiba di rumah orang tuanya Maimi menghadap ayahnya dengan sikap biasa sehingga sang ayah sama sekali tidak menaruh curiga.

   Pangeran Pang Sun amat mencinta puterinya. Biarpun puterinya pergi sampai bermalam, dan tadi dia sudah siap menegurnya, begitu melihat gadis itu muncul, semua kata-kata kemarahan tertelan kembali dan dia menyambut puterinya itu dengan senyum gembira.

   "Hai, ke mana saja engkau pergi. Aku sampai merasa khawatir karena engkau semalam tidak pulang."

   Hanya itulah tegurannya yang sama sekali bukan merupakan teguran kemarahan. Dengan manja Maimi lalu menghampiri ayahnya dan merangkul pundak ayahnya.

   "Maaf, Ayah. Kami kemalaman dan terpaksa mendirikan tenda untuk melewatkan malam. Kami mendapatkan seekor rusa muda dan semalam kami makan daging rusa, enak sekali!"

   "Hemmm, datang-datang hanya pamer makanan enak. Kenapa tidak sebagian kaubawa pulang?"

   Tegur ibunya. Maimi merangkul ibunya sambil tertawa.

   "Ayah dan Ibu, tadinya memang sebagian daging panggang itu akan kami bawa pulang. Akan tetapi semalam kami mendapatkan dua orang tamu dan terpaksa kami ajak mereka makan bersama sehingga daging itu habis sama sekali!"

   "Ehhh? Ada dua orang tamu ikut makan malam dengan kalian berlima?"

   Tanya Pangeran Pang Sun sambil mengerutkan alisnya dan memandang puterinya dengan sinar mata tajam.

   "Siapakah mereka?"

   Di sini Maimi mulai bersiasat. Kedua pipinya menjadi kemerahan, dan ini bukan karena pandainya ia bersandiwara. Ia mengingat peristiwa semalam dan otomatis kedua pipinya menjadi merah sekali. Hal ini ia pergunakan untuk mengatur. siasatnya.

   "Tentu Ayah tidak akan dapat menduga siapa mereka. Mereka adalah orang-orang penting sekali yang hari ini pun akan menghadap Ayah."

   "Hemmm, siapakah mereka? Engkau membuat aku menjadi ingin tahu sekali. Maimi, katakan, siapa mereka?"

   "Mereka adalah dua orang yang gagah perkasa, yang seorang adalah orang Han nama keturunannya Bu dan dia ahli bermain pedang sehingga ketika kami mengujinya, Siauw Cin dan Siauw Lin yang mengeroyoknya dengan pedang di tangan dia kalahkan dengan sebatang ranting saja. Akan tetapi orang ke dua amat hebat, Ayah. Dia begitu gagah perkasa! dia seorang pemuda Mongol....."

   "Seorang Mongol?"

   Pangeran Pang Sun berseru kaget. Dia tidak membenci orang Mongol, akan tetapi khawatir karena pada waktu itu, orang Mongol menjagoi di seluruh Gurun Go-bi, bahkan dia menganggap orang Mongol sebagai ancaman bagi Liao-tung.

   "Dia bukan orang Mongol biasa, Ayah. Dia hebat. Bayangkan saja. Sekali melepaskan dua batang anah panah, dia menjatuhkan dua ekor burung yang tepat tertusuk pada leher dan pada sayapnya."

   "Hemmm, apakah karena mereka itu orang-orang pandai lalu kalian gadis-gadis ini mengundangnya makan malam bersama?"

   Pangeran Pang Sun tidak terlalu menyalahkan kalau puterinya makan bersama tamu pria yang baru dikenalnya, akan tetapi tanpa alasan yang kuat tentu saja dia merasa tidak puas.

   "Bukan hanya karena kegagahan mereka, Ayah. Melainkan karena mereka itu hari ini akan menjadi tamu Ayah, tamu agung. Mereka adalah utusan Jenghis Khan."

   "Ahhh.....!"

   Pangeran Pang Sun benar-benar terkejut bukan main.

   "Kau bilang mereka hendak datang berkunjung? Apakah mereka membawa pasukan besar?"

   Dia khawatir kalau-kalau pasukan Mongol itu akan melakukan serangan.

   "Tidak, sama sekali tidak, Ayah. Jangan khawatir. Mereka itu beriktikad baik. Mereka hanya membawa pasukan sebanyak puluhan orang untuk membawa barang-barang hadiah dan mengawal dua orang utusan itu. Mereka diutus untuk menghadap Ayah, karena Jenghis Khan bermaksud mengajak Ayah untuk bersahabat. Dia mengirim barang-barang hadiah dan dua orang utusan itu hebat sekali, Ayah. Terutama..... eh, perwira Mongol yang muda itu. Namanya Yuci....."

   Menyebut nama ini, Maimi memasang gaya tersipu-sipu dan tersenyum sambil melirik ibunya. Tentu saja ayah dan ibunya itu dapat mengerti isyarat ini dan mereka pun saling pandang dengan penuh arti. Puteri mereka pun agaknya tertarik dan jatuh cinta kepada pemuda Mongol yang menjadi utusan Jenghis Khan dan bernama Yuci itu! Tentu saja, sebagai utusan Jenghis Khan, Yuci pantas untuk menjadi suami Maimi.

   Apalagi Pangeran Pang Sun sudah pernah mendengar nama Yuci yang cukup terkenal itu sebagai putera panglima besar Chepe Noyon orang kepercayaan Jenghis Khan. Hanya, dia sendiri belum pernah melihat bagaimana wajah orang muda itu. Sama sekali ayah dan ibu ini tidak tahu bahwa biarpun di dalam lubuk hatinya ia telah tertarik kepada Yuci sejak pertemuan pertama, namun sekali ini semua sikapnya itu adalan permainan sandiwara! Ia bersikap demikian agar jelas bagi ayah ibunya bahwa ia ingin dijodohkan dengan Yuci! Dan semua ini karena siasatnya untuk kelak membalas dendam kepada Tiong Sin lewat Yuci!

   Setelah bercerita tentang pertemuannya dengan dua orang utusan Jengnis Khan, Maimi cepat lari ke kamarnya, membiarkan ayah dan ibunya mengambil kesimpulan sendiri tentang sikapnya itu. Dan memang, seperti telah diharapkannya, ayah dan ibunya saling pandang sambil tersenyum ketika puteri mereka lari ke kamar. Sudah berulang kali Maimi dilamar orang, akan tetapi gadis itu selalu menolak, padahal usianya sudah delapan belas tahun. Dan mereka selalu merasa khawatir kalau puteri mereka itu berkeliaran memburu binatang sampai jauh.

   "Agaknya anak kita sudah menjatuhkan pilihan hatinya,"

   Kata Pangeran Pang Sun sambil mengelus jenggotnya.

   "Mudah-mudahan begitu, dan mudah mudahan pilihannya itu tepat."

   Kata isterinya.

   "Aku pernah mendengar nama Yuci itu. Ayahnya, Chepe Noyon, adalah seorang yang berkedudukan tinggi dalam Kerajaan Mongol yang dibangun oleh Jengnis Khan. Kelak Yuci itu tentu akan menjadi orang besar. Kita sama lihat saja nanti kalau dia sudah menghadap, kalau memang dia seorang pemuda yang baik, apa salahnya puteri kita berjodoh dengan seorang panglima Mongol."

   Tidak lama kemudian, para penjaga datang melapor banwa dari Mongol datang dua orang utusan dengan pasukan pengawalnya, membawa barang-barang hadiah dari Jenghis Khan dan dua orang utusan itu mohon menghadap Pangera Pang Sun. Pangeran Pang Sun memang sudah melakukan persiapan sejak diberi tahu puterinya. Diam-diam dia mengerahkan pasukannya berjaga-jaga, bukan untuk menjaga kemungkinan buruk melainkan untuk pamer kekuatan! Dia dapat menduga bahwa Jenghis Khan yang mengajak bekerja sama itu tentu ada hubungannya dengan penyerangan kepada suku bangsa lain, maka untuk mengangkat harkat dirinya, dia mengerahkan pasukannya bersenjata lengkap untuk pamer kekuatan agar para utusan Jenghis Khan dapat mengabarkan kepada Raja Mongol itu bahwa suku Liao-tung bukanlah kelompok suku yang lemah!

   Oleh karena itu, ketika Yuci dan Bu Tiong Sin dipersilakan memasuki perkampungan Liao-tung, bersama pasukan mereka yang kecil, mereka terkejut dan terkagum-kagum melihat betapa perkampungan itu penuh dengan barisan yang nampak kuat, bersenjata lengkap dan semua perajuritnya nampak kokoh kuat dan gagah perkasa! Ratusan orang banyaknya, bahkan mungkin lebih dari seribu orang, seolah-olah suku Liao-tung sudah siap siaga menghadapi perang besar! Mau tidak mau, hati kedua orang muda perkasa ini merasa gentar juga. Kalau sampai pihak tuan rumah menghendaki, mereka berdua dan pasukan mereka tentu tidak akan mampu melindungi diri mereka dan yang pulang ke Mongol hanya tinggal nama mereka! Dengan pakaian kebesaran yang mewah, Pangeran Pang Sun menanti rombongan itu di ruangan depan.

   Yuci dan Tiong Sin berjalan perlahan sambil mengagumi barisan suku Liao-tung, ada barisan berkuda, ada yang semua membawa busur, pasukan tombak, pasukan golok, pasukan pedang, semua teratur rapi. Setelah tiba di ruangan di mana Pangeran Pang Sun dan para panglimanya menanti dengan penuh kehormatan dan juga penuh kemegahan, Yuci dan Tiong Sin memberi hormat. Yuci sebagai kepala rombongan yang sudah berpengalaman memimpin rombongannya. Dia menyuruh pasukan pengawalnya menanti di luar, kemudian bersama Tiong Sin dia masuk dan memberi hormat kepada Pangeran Pang Sun. Cukup sopan, akan tetapi tidak terlalu merendahkan diri karena dia adalah utusan seorang raja di raja besar yaitu Jenghis Khan! Setelah memberi penghormatan secara perajurit, dengan menekuk sebelah lututnya yang di turut oleh Tiong Sin, dia berdiri lagi lalu ber kata dengan suara lantang.

   "Yang mulia raja kami Jenghis Khan mengirim salam persahabatan kepada Pangeran Pang Sun dari suku Liao-tung yang gagah perkasa, dan sebagai tanda persahabatan, Yang Mulia Jenghis Khan mengirim pula barang hadiah, harap paduka Pangeran sudi menerimanya!"

   Yuci bertepuk tangan tiga kali dan masuklah enam orang perajurit pengawalnya menggotong tiga buah peti yang diletakkan di atas lantai di depan Pangeran Pang Su yang duduk ditemani isterinya. Puteri Maimi tidak menampakkan diri karena ia khawatir kalau tidak akan mampu menahan perasaannya kalau melihat pemuda yang telah menghancurkan kebahagiaannya, yaitu Bu Tiong Sin. Juga Siauw Cin dan Siauw Lin tidak nampak di luar istana pangeran tadi. Mereka menyembunyikan diri dalam rumah orang tua mereka.

   Ketika tiga buah peti dibuka, para panglima pembantu Pangeran Pang Sun mengeluarkan seruan tertahan karena kagum melihat isi tiga buah peti itu. Emas permata, sutera halus, bulu biruang putih, dupa-dupa harum! Barang-barang yang amat langka dan amat berharga. Tentu saja Pangeran Pang Sun merasa girang, akan tetapi dia tidak memperlihatkan kegirangan hatinya dan memerintahkan pengawal-pengawalnya untuk membawa tiga peti itu ke dalam, diikuti oleh isterinya yang akan mengawasi dan juga akan mengagumi barang-barang itu.

   "Kami berterima kasih atas kebaikan hati Jenghis Khan, salamnya kami terima dan sebaliknya kami menyampaikan hormat dan salam kepada raja besar di utara itu. Sekarang, harap sampaikan pesan apa saja yang dikirimkan Jenghis Khan kepada kami. Untuk itu, kami persilakan ananda utusan berdua untuk bicara di ruangan dalam."

   

Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo Suling Emas Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini