Pedang Asmara 18
Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 18
Ucapan ini selalu berdengung di telinganya! Benarkah keterangan itu? Rasanya tidak mungkin! Tidak mungkin seorang gadis seperti Maimi begitu mudah, menyerahkan diri begitu saja kepada seorang pria seperti Tiong Sin! Tidak mungkin! Tiong Sin pasti hanya membual saja, untuk membuat dia penasaran, agar dia tidak melanjutkan pernikahannya dengan Maimi!
Bagaimanapun juga, dia harus menceritakan fitnah yang dilontarkan Tiong Sin itu kepada tunangannya.Dia harus mendengar sendiri penyangkalan Maimi! Demikianlah, ketika kembali dan bertemu dengan Maimi, dia mengajak tunangannya untuk bicara dengan empat mata saja. Setelah kesempatan itu tiba, dia menceritakan tentang fitnah yang dilontarkan Tiong Sin.
"Ketika kudesak, Tiong Sin tetap menyangkal, dinda Maimi. Dia tetap mengatakan bahwa dia tidak memperkosa kedua orang gadis kembar itu, melainkan bahwa dua orang gadis itulah yang dengan suka rela menyerahkan diri karena jatuh cinta padanya. Dan dia mengatakan pula bahwa dia mempunyai seorang saksi, dan bahkan saksi itu pun telah menyerahkan diri kepadanya, dan saksi itu adalah engkau, dinda Maimi!"
Berkata demikian, Yuci menatap wajah tunangannya dengan tajam penuh selidik. Sejak tadi, Puteri Maimi sudah siap siaga karena ia sudah menduga bahwa kalau tersudut, tentu Tiong Sin akan membuka rahasia itu untuk menolong diri sendiri. Maka, mendengar ucapan itu, ia lalu bangkit dan mukanya berubah merah sekali.
"Jahanam keparat iblis Bu Tiong Sin itu!"
Bentaknya marah.
"Apakah Kanda dapat percaya saja kepada ucapan iblis itu? Percayakah Kanda bahwa seorang wanita seperti aku ini..... begitu saja menyerahkan diri kepada seorang seperti dia?"
Melihat sikap ini saja, legalah hati Yuci.
"Tentu saja tidak, dinda Maimi,"
Katanya sambil menarik tangan Maimi dan menyuruhnya duduk kembali.
"Aku tidak percaya dan menduga bahwa tentu dia melempar fitnah....."
"Jelas dia melempar fitnah untuk menolong diri sendiri atau..... atau ibis itu iri kepadamu maka ingin agar hubungan di antara kita putus. Keparat dia!"
"Aku pun menjadi marah dan menyerangnya bersama para perajurit. Akan tetapi dia memang tangguh sekali. Biarpun anak panahku telah melukai paha kirinya, dia tidak roboh dan masih melawan. Kami mengepungnya dan pasti kami dapat menangkapnya kalau saja tidak muncul seorang kakek dan seorang gadis aneh itu. Mereka amat lihai, bahkan kakek itu sakti, mereka membunuh belasan orang anak buahku. Terpaksa aku mengajak sisanya mundur untuk mencari bala bantuan. Dan ketika aku kembali ke sana, Tiong Sin sudah tidak ada, demikian pula kakek dan gadis itu."
Memang, percakapan dengan Maimi itu, penyangkalan gadis itu bahwa ia telah menyerahkan diri kepada Tiong Sin, bahwa ia bukan perawan lagi seperti yong dikatakan Tiong Sin, telah melegakan hati Yuci. Akan tetapi, bagaimanapun juga, masih ada sedikit keraguan di dalam hatinya dan dia tahu bahwa keraguan itu baru akan dapat terhapus bersih sama sekali kalau dia sudah menjadi pengantin dengan Maimi. Baru dia akan mendapatkan bukti apakah fitnah yang dilontarkan Tiong Sin itu benar ataukah palsu!
Puteri Miami bukan tidak memikirkan hal ini. Ia pun diam-diam merasa gelisah bukan main. Tiong Sin, jahanam itu, telah membuka rahasianya dan Yuci telah mendengar bahwa ia telah menyerahkan diri kepada Tiong Sin! Biarpun saat ini Yuci percaya kepadanya dan menganggap keterangan Tiong Sin itu hanya fitnah belaka, akan tetapi bagaimana nanti kalau tiba hari pernikahan mereka? Apa yang akan dijadikan alasan kepada Yuci kalau calon suami itu mengetahui buktinya bahwa ia bukanlah orang perawan lagi? Tentu Yuci akan teringat kepada keterangan Tiong Sin, dan ia merasa ngeri untuk membayangkan akibatnya!
Puteri Maimi bukan seorang gadis yang bodoh. Ia lalu menghubungi seorang nenek yang terkenal ahli menolong wanita yang melahirkan, dan juga ahli pengobatan untuk kaum wanita. Dengan cerdik Maimi menceritakan kepada nenek dukun itu bahwa ada seorang puteri keluarga ayahnya yang terjatuh ketika naik kuda dan ia mengalami pendarahan.
"Ia khawatir kalau kelak di waktu ia menikah, suaminya akan mengira bahwa ia bukan perawan lagi, Nek. Oleh karena itu, ia minta tolong kepadaku agar suka berusaha mencarikan obat dan cara agar kelak ia tidak dicurigai suaminya."
"Siapakah gadis itu, Nona Puteri?"
Tanya si nenek. Maimi mengerutkan alisnya.
"Sahabat dan juga masih keluargaku itu tidak menghendaki dirinya dikenal orang. Nek, apakah engkau tidak percaya kepada aku?"
Pertanyaan ini agak ketus dan tentu saja nenek itu menjadi ketakutan.
"Ah, tentu saja saya percaya, Nona. Saya hanya ingin tahu berapa usianya, agar saya dapat memberi obat yang tepat.....
"
"Hemmm, usianya sebaya dengan aku, Nek. Dan ingatlah. Kalau engkau suka memberi obatnya, engkau tidak boleh menceritakan hal ini kepada siapa pun juga? Kalau engkau membocorkan rahasia sahabatku ini, awas kau, aku tidak akan mengampunimu, karena saudaraku itu tentu akan marah sekali kepadaku."
"Saya mengerti, Nona, saya mengerti bahwa semua ini harus dirahasiakan. Saya akan memberi ramuan obat, sebanyak tiga bungkus. Setiap bungkus dimasak dengan air dua mangkok, dibiarkan mendidih sampai tinggal setengah mangkok lalu diminum. Untuk tiga hari berturut-turut. Selain ini, kelak kalau saudaramu itu menikah, usahakan agar malam pengantin itu tepat pada waktu ia datang bulan. Dengan demikian, suaminya tentu tidak akan merasa curiga."
Betapa cerdiknya wanita kalau menghadapi pria, dan betapa bodohnya pria, apalagi kalau dia sudah tergila-gila kepada seorang wanita. Segala akal dan muslihat wanita untuk menarik perhatian pria, dan bagaikan seekor laba-laba, kalau sudah berhasil menangkap korban, tentu akan dibelit agar korban itu melekat dan jangan lepas lagi!
"Brukkk.....!!"
Tiong Sin menahan keluhannya walaupun dia merasa nyeri sekali ketika tubuhnya dilemparkan begitu saja ke atas tanah oleh kakek tinggi kurus yang tadi memondongnya dan membawanya lari atas desakan gadis manis berpakaian serba hitam yang mewah itu.
"Ihhh, Ayah! Dia terluka kenapa Ayah banting?"
"Huh, merepotkan saja dia!"
Kakek itu bersungut-sungut.
"Ayah, dia dimusuhi orang-orang Mongol dan dia orang Han, sudah sepatutnya kita menolongnya. Pula, tidakkah Ayah melihat betapa ilmu pedangnya tadi cukup lihai?"
"Huh, permainan kanak-kanak!"
Bukan main mendongkol rasa hati Tiong Sin terhadap kakek itu. Begitu sombongnya, begitu dingin seperti bukan seorang manusia. Akan tetapi, puterinya itu sungguh manis. Pakaian sutera hitam itu membuat kulit muka, leher dan tangan nampak begitu halus mulus dan putih. Dan gadis itu demikian baik kepadanya. Tentu saja kalau dibandingkan denganmu, ilmunya seperti permainan kanak-kanak.
"Ayah.
Sudahlah, tolong obati dulu luka di pahanya itu. Lihat, anak panah itu masih menancap di pahanya!"
Gadis itu lalu berlutut dekat Tiong Sin dan memeriksa paha yang terluka. Dengan cekatan, ia memegang kain celana di bagian paha dan sekali renggut, celanaitu pun robek di bagian yang terluka. Melihat betapa mudahnya jari-jari tangan itu merobek celananya yang terbuat dari kain yang kuat, Tiong Sin maklum bahwa gadis ini memiliki tenaga yang hebat.
"Ayah, keluarkan obatmu, aku yang akan mencabut anak panah ini!"
Kata pula gadis itu kepada kakek yang Nampak ogah-ogahan itu.
Dengan cekatan pula, jari-jari tangan gadis itu bergerak bagaikan ular mematuk, dan tiba-tiba Tiong Sin merasa betapa kaki kirinya, dari pinggul sampai ke bawah, menjadi lumpuh dan bahkan tidak merasakan apa-apa! Dia kagum sekali karena maklum bahwa gadis itu telah melakukan penotokan pada jalan darahnya, membuat dia kehilangan perasaan pada kaki kirinya, ini merupakan suatu ilmu tiam-hiat-hoat (ilmu menotok jalan darah) yang amat tinggi. Setelah menotok dua jalan darah di pangkal paha Tiong Sin, membuat kaki itu lumpuh dan tidak merasakan apa-apa, gadis itu lalu mematahkan ujung anak panah yang menembus, ujung yang ada kaitannya.
Cara ia mematahkan ujung anak panah itu pun menunjukkan bahwa di dalam jari-jari tangan yang halus kecil panjang meruncing itu tersembunyi tenaga yang dahsyat. Kemudian, sekali tarik pada gagang anak panah, maki senjata itu pun tercabut dan Tiong Sin tidak merasakan nyeri, seolah-olah kakinya telah mati. Kakek tinggi kurus itu mengeluarkan obat bubuk dalam bungkusan kertas, obat bubuk warna putih, dan dua butir pil hitam. Gadis itu menerimanya dan menyerahkan dua butir pil kepada Tiong Sin.
"Telanlah dua butir pil ini dan kau akan bebas dari keracunan."
"Terima kasih....."
Kata Tiong Sin dan tanpa ragu-ragu lagi dia pun memasukkan dua butir pil itu ke mulutnya. Tercium bau yang amat tidak enak, seperti bau kotoran kerbau, akan tetapi dia menelannya dengan cepat tanpa mengeluh.
"Sekarang bersiaplah. Aku akan membebaskan totokan dan akan terasa nyeri, apalagi kalau sudah kutaruhkan obat ini pada lukanya."
Kata pula gadis manis itu dan kembali tangannya bergerak cepat Jari-Jarinya sudah menotok ke arah pangkal paha dan tiba-tiba terasalah oleh Tiong Sin betapa darahnya mengalir kembali, akan tetapi berbareng dengan itu, timbul rata nyeri yang amat hebat. Akan tetapi, maklum bahwa dia berhadapan dengan ayah dan anak yang aneh dan memiliki kepandaian tinggi, Tiong Sin mengeraskan hatinya, mematikan perasaannya dan sedikit pun dia tidak mengeluh. Sejak tadi, ayah dan anak itu memperhatikan wajahnya, walaupun dengan sikap acuh.
"Nyeri?"
Gadis itu bertanya sambil memandang tajam.
"Sedikit, tapi tidak mengapa,"
Jawab Tiong Sin, juga acuh seolah-olah rasa nyeri itu tidak ada artinya baginya, padahal, rasa nyeri itu menusuk-nusuk dari paha sampai ke dalam perut!
Gadis itu tiba-tiba tersenyum dan melirik ke arah ayahnya, kemudian berkata.
"Akan kuberi obat bubuk ini pada luka di pahamu dan akan terasa luar biasa nyerinya. Bersiaplah!"
Ia lalu mengambil obat bubuk putih dari bungkusan dan menaburkannya pada kedua luka di paha yang ditembusi anak panah tadi. Tiong Sin merasa seolah-olah pahanya dibakar atau ditusuk besi panas. Terata panas, perih, dan nyeri yang menusuk-nusuk sampai ke seluruh tubuh. Keringat besar-besar keluar dari dahinya yang berkerut-kerut. Hampir saja dia pingsan saking nyerinya. Kaki kirinya terasa seperti dipanggang ke atas api. Namun, dengan berkeras hati dia menahan diri, edikit pun dia tidak mengeluarkan suara keluhan. Gadis itu memperlebar senyumnya ketika ia memandang wajah Tiong Sin dan ia berkata,
"Nyeri sekali, bukan? Nah, kau boleh mengeluh kalau memang terasa nyeri!"
Tiong Sin tidak mau mengeluh, bahkan dia lalu tertawa.
"Ha-ha-ha-ha-ha...!"
Gadis itu memandang kepadanya dengan mata terbelalak, bahkan kakek itu pun kini memandang penuh perhatian.
"Kenapa kau tertawa seperti orang gila? Saking nyerinya?"
Tanya gadis itu. Aneh, gadis itu sudah meraba gagang goloknya!
Tiong Sin masih tertawa, lalu berkata.
"Ha-ha-ha, nyeri seperti ini saja untuk apa mengeluh? Memalukan saja! Yang nyeri adalan paha, bukan aku, ha-ha-ha!"
"Hemmm, bocah sombong!"
Tiba-tiba kakek itu berkata, akan tetapi sungguh aneh, dia tidak marah dan bahkan pandang matanya terhadap Tiong Sin tidaklah sedingin tadi.
"Siapakah engkau sesungguhnya?"
Tiong Sin terkejut dan juga merasa heran melihat sikap yang tiba-tiba berubah itu. Sungguh seorang kakek yang aneh dah menyeramkan.
"Namaku Bu Tiong Sin, seorang yang hidup sebatang kara dan tidak mempunyai tempat tinggal, seorang kelana yang tidak memiliki apa-apa."
"Ceritakan mengapa engkau tadi dikeroyok oleh orangorang Mongol itu!"
Kata pula kakek itu, kini suaranya tidak sekaku tadi, bahkan nampak sinar yang membayangkan hati tertarik.
Dalam benak Tiong Sin yang cerdik sudah terancang cerita yang masuk akal. Dia tidak mau sembarang membohong karena maklum bahwa orang sakti seperti kakek ini tidak mudah menerima kebohongan. Dia bercerita bahwa dalam perantauannya ke utara, dia bertemu dengan seorang pemuda gagah bernama Yuci yang memperkenalkannya kepada Jenghis Khan.
"Karena saya tidak tahu siapa mereka, saya lalu menerima ketika diberi pekerjaan sebagai pembantu Yuci. Akan tetapi ketika kami diutus ke Pangeran Pang Sun, kepala suku Liao-tung untuk mengadakan persekutuan dan bersama suku itu hendak menyerbu ke selatan untuk menundukkan Kerajaan Cin, saya terkejut. Tentu saja saya tidak mau kalau disuruh berkhianat kepada bangsa sendiri. Saya lalu menyatakan mundur. Ternyata Yuci tidak mau melepaskan saya, bahkan hendak membunuh saya karena dia takut kalau saya akan membantu Kerajaan Cin dan menjadi mata-mata yang membocorkan semua keadaan pasukan Jenghis Khan. Tiong Sin memang cerdik sakali. Tadi dia sudal melihat betapa ayah dan anak ini tidak suka kepada orang Mongol. Hal Ini hanya mempunyai sebab yang sudah jelas, yaitu bahwa sebagai orang-orang Han, ayah dan anak ini tidak suka melihat orang Mongol hendak menyerbu ke selatan. Oleh karena itu, dia pun mengarang cerita yang sejalan.
"Nah, apa kataku, Ayah? Orang ini ternyata ada pula gunanya. Dia berjiwa patriot, membenci orang Mongol. Dia gagah berani dan juga tabah, tahan uji dan tidak cengeng. Kurasa dia pantas untuk menjadi pembantu kita."
Sepasang alis itu berkerut dan sepasang mata itu mengamati dengan tajam, lalu hidungnya mendengus dengan sikap menghina.
"Dia ini menjadi pembantuku? Huh, tentu akan mengecewakan saja. Dengan kemampuannya yang rendah itu....."
Kembali Tiong Sin merasa perutnya panas. Kakek ini terlalu memandang rendah dan menghinanya. Bagaimanapun juga dia tidak menganggap kepandaiannya terlalu rendah! Bahkan kalau dia mempergunakan Pedang Asmara dia tidak gentar melawan kakek ini sekali pun Akan tetapi,mereka ini adalah penolongnya, dan pula, pahanya masih terluka sehingga melawan mereka tidak akan ada gunanya.
Bahkan tentu dia akan dibunuh oleh kakek yang nampaknya kejam sekali ini. Gadis itu membalut pahanya dengan sobekan kain bersih. Setelah selesai, ia mengamati wajah Tiong Sin yang tampan, lalu ia berkata kepada ayahnya.
"Boleh jadi ilmu kepandaiannya masih rendah, Ayah. Akan tetapi apa sukarnya membuat dia menjadi lihai? Kalau Ayah mau menerimanya sebagai murid....."
"Huh! Murid?"
"Ayah adalah seorang datuk besar. Siapa tidak mengenal Pak-ong? Ayah adalah raja datuk di utara, akan tetapi segala ilmu kepandaian Ayah hanya diturunkan kepada aku seorang. Aku seorang wanita dan aku juga malas, mana mampu menampung semua ilmu Ayah? dan kulihat dia ini seorang pemuda yang cukup berbakat, ulet dan tabah, juga tahu diri. Kalau dia suka menjadi murid Ayah, apa salahnya? Dia dapat menjad murid dan pembantu yang baik sekali!"
Bukan main kagetnya rasa hati Tiong Sin mendengar bahwa kakek jang kurus kering dan dingin itu adalah Pak ong! Dia pernah mendengar bahwa di dunia persilatan, terdapat empat orang datuk besar yang amat terkenal, yang rnenguasai empat penjuru, masing-masing mendapat julukan sesuai dengan daerah yang mereka kuasai. Pak-ong berkuasa di utara, Tung-hai Kiam-ong atau Tung kiam berkuasa di tirnur, Nam-san Tok siang atau Nam Tok berkuasa di selatan dan di barat terdapat See-thian Mo-ong atau See Mo. Kiranya yang berada hadapannya ini adalah Pak-ong (Raja Utara] yang terkenal sebagai seorang di antara empat datuk sakti dari empat penjuru! Dia tidak ragu lagi akan kesaktian datuk ini, maka mendengar ucapan gadis itu yang mengandung anjuran kepadanya, serta merta dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
"Kalau Lo-cianpwe sudi menerima teecu sebagai murid, teecu akan berterima kasih sekali dan akan melakukan segala perintah Lo-cian-pwe dengan patuh dan dengan taruhan nyawa!"
Perhitungannya memang tepat. Biarpun wataknya aneh sekali, tadi Pak-ong yang bernama Ji Hiat itu telah mulai tertarik, apalagi dia melihat betapa puterinya yang amat disayangnya itu kelihatan suka kepada pemuda itu. Kalau dia berpura-pura bersikap dingin adalah untuk melihat bagaimana sikap pemuda itu. Dia tahu bahwa pemuda itu tabah, cerdik, tampan dan memiliki bakat yang baik. Hal ini dapat dilihatnya ketika pemuda ini tadi dikeroyok oleh orang-orang Mongol. Kalau digembleng, pemuda ini akan menjadi seorang murid yang dapat dibanggakan. Kini, melihat pemuda itu berlutut, dia pun meninggalkan sikap dingin dan kakunya.
"Bu Tiong Sin, dengar baik-baik. Selain tidak mudah untuk dapat mempelajari ilmu ilmuku, harus berani lelah dan harus rajin berlatih, juga menjadi muridku berarti akan menghadapi lawan-lawan tangguh. Ketahuilah bahwa kalau diadakan pertemuan antara Empat Datuk Besar untuk menentukan siapa di antara kami yang paling tangguh, sebelum kami sendiri saling uji kepandaian, harus masing-masing mengajukan seorang murid. Kalau engkau menjadi muridku, berarti engkaul kelak akan menghadapi murid-murid tiga orang datuk lain dan engkau harus mampu mengalahkan mereka. Kalau engkau kalah, mungkin akan tewas atau terluka. parah karena pihak lawan adalah orang orang tangguh. Masihkah engkau tertarik untuk menjadi muridku?"
Tiong Sin masih berlutut dan dia menjawab tanpa ragu.
"Teecu sanggup menghadapi segala bahaya, teecu bersedia mempertaruhkan nyawa sebagai murid Suhu."
Dia sudah berani menyebu suhu (guru).
"Bagus! Kalau begitu, mulai saat ini engkau menjadi muridku, dan mengingat engkau lebih tua, biarpun kini kepandaianmu masih di bawah tingkat anakku Ji Kui Lan, engkau juga menjadi suhengnya (kakak seperguruan)."
"Terima kasih, Suhu!"
Dia memberi hormat berkali-kali, kemudian dia bangkit dan memberi hormat kepada gadis itu sambil berkata dengan sikap sopan dan menarik.
"Sumoi (adik seperguruan), terima kasih atas kebaikanmu."
Pahanya tidak begitu nyeri lagi. Kui Lan tersenyum dan deretan giginya yang rapi dan putih nampak, membuat wajahnya itu kini nampak berseri dan penuh semangat, tidak seperti tadi yang nampak dingin.
"Hi-hi-hik, Suheng. Hampir saja tadi engkau kubunuh. Kalau saja engkau tadi merintih atau mengeluh ketika kuobati, golokku tentu sudah membunuhmu!"
Diam-diam Tiong Sin terkejut, akan tetapi dia dapat menahan perasaannya dan bertanya,
"Akan tetapi, mengapa engkau akan membunuhku, Sumoi?"
"Karena aku paling benci dan muak melinat seorang pria yang cengeng dan tak tahan menderita!"
Jawabnya acuh. Diam-diam Tiong Sin bergidik. Gadis ini memang manis sekali, dengan bentuk tubuh yang menggairahkan, dan kalau tersenyum seperti itu, nampak kehangatannya. Akan tetapi, di balik itu memiliki watak aneh, dingin dan juga luar biasa kejamnya!
"Huh, kalau tadi dia tidak jadi ingin menjadi muridku setelah mendengar kesukaran yang kuceritakan, dia pun tentu sudah kubunuh!"
Kata kakek itu menirukan puterinya.
"Aku paling benci melihat orang muda yang bicaranya tak menentu."
Diam-diam Tiong Sin memuji diri sendiri. Untung dia cerdik. Kiranya berdekatan dengan ayah dan puterinya ini merupakan hal yang amat berbahaya dan sejak sekarang, biarpun sudah menjadi murid Pak-ong, dia harus tetap berhati-hati dan dapat menyenangkan hati mereka. Siapa tahu, kesalahan sedikit saja sudan cukup membuat kumat gila mereka dan dia akan dibunuh begitu saja tanpa banyak alasan lagi! Ternyata obat luka itu manjur bukan main.Ketika diajak berjalan kaki, Tiong Sin sudah dapat berjalan tanpa pincang, dan hanya terasa nyeri sedikit saja.
Mereka melakukan perjalanan ke selatan, memasuki daeran Kerajaan Cin. Setelah melakukan perjalanan sepekan lamanya, luka di paha Tiong Sin sudah sembuh sama sekali. Hari itu, mereka bertiga tiba di lereng sebuah bukit yang sunyi dan tiba-tiba Pak-ong mengajak mereka berhenti. Dia lalu menghadap ke utara, melihat dari lereng bukit itu. Nampak daeran yang luas di utara karena di kaki bukit itu, di sebelan utara, terdapat tanah datar yang luas. Jauh di sana, samar amar, nampak jajaran gunung-gunung dan di balik gunung-gunung itulah tempat di mana dia dan puterinya tadinya tinggal.
Gerakan orang-orang Mongol memaksa dia meninggalkan tempat itu karena dia tidak sudi memperhambakan dirinya kepada orang Mongol. Untuk menentang mereka, tentu saja dia tidak mampu. Apa artinya kekuatan seorang dua orang menghadapi pasukan yang puluhan bahkan ratusan ribu orang jumlahnya? Dia mempunyai banyak kenalan di selatan, bahkan beberapa orang pangeran di Kerajaan Cin dikenalnya. Maka, dia pun mengambil keputusan, mengajak puterinya untuk mengungsi ke kota raja Cin, yaitu kota raja Yen-cing (sekarang Peking).
Dan dalam perjalanan itulah dia dan puterinya melihat Tiong Sin dikeroyok pasukan Mongol lalu turun tangan menolongnya. Melihat kakek itu berdiri seperti patung dan wajan kakek itu nampak keruh dan muram, Tiong Sin merasa heran. Akan tetapi sebelum dia bertanya, lengannya disentun oleh Kui Lan dan gadis ini berkata.
"Jangan kau ganggu Ayah, Suheng. Ayah sedang memandang ke utara dan terkenang kepada tempat tinggal kami di sana. Gerakan orang-orang Mongol itu memaksa kami meninggalkan tempat itu dan pergi ke selatan."
Tiong Sin mengangguk, mengerti. Selama sepekan ini, dia dan kedua orang ayah dan anak itu hanya melakukan perjalanan saja, hanya berhenti untuk makan atau untuk melewatkan malam di mana saja. Kakek itu bersikap pendiam dan dingin. Sedangkan sikap Kui Lan masih tetap aneh baginya. Kadang-kadang, gadis ini bersikap ramah sekali kepadanya, hangat dan bergembira, akan tetapi ada kalanya gadis itu pun bersikap seperti ayahnya, diam dan dingin. Kalau sedang seperti itu, Tiong Sin sama seknli tidak berani mengganggunya dan dia pun diam. Belum pernah dia menerima pelajaran ilmu silat, baik teori maupun prakteknya. Namun, dia tetap bersabar, apalagi pahanya juga harus sembuh dulu sama sekali.
"Suheng, bagaimana dengan pahamu?"
Tiba-tjba gadis itu bertanya. Tiong Sin memandang ke arah paha kirinya. Dia kini mengenakan sebuah celana baru, pemberian Kui Lan yang membelikan pakaian untuknya ketika mereka melewati sebuah dusun di mana terdapat orang menjual pakaian. Pakaian sederhana namun kainnya tebal dan kuat, dan Tiong Sin berterima kasih sekali untuk perhatian itu.
"Sudan sembuh, Sumoi."
"Sembuh sama sekali? Tidak terasi nyeri sama sekali kalau dipakai bergerak dan mengerahkan tenaga?"
"Tidak, semalam sudah kucoba untuk berlatih silat dan ternyata tidak terasa nyeri sama sekali."
"Bagus, kalau begitu, sudah tiba saatnya untuk menguji kepandaianmu, Suheng. Bangkit dan bersiaplah, mari kita bertanding agar Ayah dapat melihat sampai di mana tingkat kepandaianmu."
Tentu saja Tiong Sin merasa girang bukan main. Kiranya diam-diam ayah dan anak itu menaruh perhatian kepadanya dan kalau selama sepekan ini dia didiamkan saja adalah karena pahanya belum sembuh. Kini, Kui Lan hendak mengujinya. Dia harus memperlihatkan siapa dirinya yang sesungguhnya! Sudah terlalu lama ayah dan anak ini memandang rendah kepadanya! Akan dia perlihatkan bahwa dia bukanlah seorang pemuda lemah yang berkepandaian rendah. Dia merasa yakin bahwa dia akan mampu menandingi Kui Lan. Berapa sih kehebatan seorang gadis yang usianya baru delapan belas tahun, masih belum dewasa benar itu? Akan tetapi, dia masih agak ragu karena yang mengajaknya bertanding adalah sumoinya, bukan atas perintah suhunya, maka dia pun menoleh dan memandang kepada kakek itu.
Kiranya Pak-ong Ji Hiat kini telah duduk bersila di atas batu dan menghadapi mereka. Kakek itu mengangguk kepadanya.
"Engkau boleh menandingi Kui Lan, hendak kulihat sampai di mana dasar ilmu silatmu."
"Mari Suheng, dan jangan ragu-ragu, keluarkan semua kepandaianmu. Kita bertanding dengan tangan kosong!"
Tantang gadis itu yang sudah memasang kuda-kuda. Hampir saja Tiong Sin tak dapat
menahan ketawanya melihat cara gadis itu memasang kuda-kuda. Kedua kakinya terpentang, lutut ditekuk, kedua tangan di pinggang.
Kuda-kuda ini biasa saja, akan tetapi yang lucu adalah pinggulnya! Pinggul gadis itu yang nampak menonjol besar ke belakang, bergoyang-goyang ke kanan kiri! Belum pernah selama hidupnya Tiong Sin melihat kuda kuda seperti itu, dengan pinggul bergoyang-goyang seperti seorang penari yang genit, atau seperti seekor kuda betina yang sedang berahi! Kalau saja dipasangi ekor tentu akan nampak semakin lucu! Betapapun juga, melihat pinggul besar itu bergoyang, hati Tiong Sin ikut pula bergoyang. Begitu Tiong Sin memasang kuda-kuda yang kokoh dari ilmu silat Thay-san Kun-hoat yang dipelajarinya dari gurunya, yaitu Yeliu Cutay, dengan kedua kaki terpentang dan lutut ditekuk seperti yang dilakukan gadis itu, akan tetapi tanpa goyang pinggul, melainkan kokoh kuat seperti gunung Thay-san, tiba-tiba gadis itu berseru.
"Suheng, lihat seranganku!"
Dan tiba-tiba saja gadis itu sudah menyerang dengan dahsyatnya, dengan kaki melangkah meju, langkah kecil-kecil namun cepat, dan kedua tangan yang menyerang dengan pukulan bertubi-tubi itu sungguh cepat sekali gerakannya dan mengandung angin pukulan yang dahsyat! Ketika meyerang, pinggulnya masih membusung kebelakang. Menghadapi serangan yang demikian cepat dan mendatangkan angin, Tiong Sin bersikap hati-hati dan dia pun meloncat ke samping untuk mengelak sambil mencari kesempatan untuk membalas. Akan tetapi, mendadak tubuh gadis iu membuat gerakan aneh, meloncat dan tahu-tahu, tubuh itu berputar dan kaki kanan sudah melayang dengan gerakan seperti menendang ke belakang!Gerakannya sungguh mirip seekor kuda yang menendang, kaki kanan disusul kaki kiri dengan tendangan yang amat kuat, sedangkan kedua tangannya menjadi kaki depan, menekan tanah.
"Ahhh.....!"
Hampir saja Tiong Sin terkena tendangan yang tak tersangka-sangka dan amat kuat itu. Dia tidak sempat lagi mengelak, dan terpaksa menangkis sambil miringkan tubuhnya.
"Dukkk.. !"
Tendangan kedua kaki itu demikian kuatnya sehingga ketika Tiong Sin menangkis, walaupun dia sudah mengerahkan tenaga, tetap saja tubuhnya terhuyung ke belakang dan dia hampir roboh! Akan tetapi, Tiong Sin biarpun terkejut sekali, cepat meloncat dan berjungkir balik untuk mengatur keseimbangan tubuhnya, lalu mengnadapi gadis itu yang telah berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan senyum manis.
Senyum yang bagi Tiong Sin seperti ejekan dan membuat hatinya panas juga. Bagaimana mungkin dalam segebrakan saja dia hampir robon? Kuda-kuda yang aneh itulah yang membuat dia lengah. Atau lebih tepat, pinggul yang indah itu yang membuat dia kurang waspada. Kiranya memang ilmu tendangan gadis itu sepert gerakan kuda! Dia harus lebih berhati-hati. Dia tidak tanu bahwa memang dari ayannya, gadis ini telah mewarisi ilmu silat yang disebut Kui-ma-kun (Silat Kuda Iblis) yang mempunyai banyak gerakan aneh, di antaranya tendangan yang dilakukan seperti sepakan seekor kuda marah.
Kini Tiong Sin yang mendahului dengan serangannya dan dia kini mengeluarkan semua ilmunya, juga mengerahkan seluruh tenaganya karena maklum bahwa gadis itu lihai bukan main. Namun, semua serangannya dengan ilmu silat Thay-san-kun dapat dielakkan atau ditangkis dengan amat baiknya oleh gadis itu dan kalau ia membalas, baik dengan pukulan kedua tangannya yang mirip dengan hantaman kedua kaki depan kuda yang marah atau dengan sepakan kedua kakinya, selalu Tiong Sin kewalahan dan terhuyung ke belakang. Jelaslah bahwa dalam ilmu silat tangan kosong, kalau dilanjutkan, Tiong Sin pasti akan kalah. Dia selalu terdesak dan setiap serangannya tidak ada artinya, sebaliknya kalau gadis itu menyerang, dia kewalahan dan beberapa kali hampir terpelanting.
"Cukup, kini pergunakan senjata!"
Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Pak-ong Ji Hiat yang merasa gembira karena ternyata tingkat kepandaian muridnya itu cukup untuk menjadi dasar mempelajari ilmu silatnya yang lebih tinggi. Dengan dasar seperti itu, tidak akan makan waktu terlalu lama bagi Tiong Sin untuk dapat menguasai ilmu ilmu yang diajarkannya. Namun, dia ingin melihat juga bagaimana tingkat pemuda itu kalau bersenjata.
Diam-diam liong Sin merasa girang Dengan ilmu silat tangan kosong, dia memang kewalahan menghadapi ilmu silaf kuda goyang itu, akan tetapi kalau dengan senjata, apalagi dengan Pedang Asmara, pedang pusakanya yang ampuh dia akan memperlihatkan kebolehannya Rasakan engkau sekarang, gadis sombong Kalau bukan ilmu pedangku, tentu pedang pusakaku akan membuat engkau tunduk!
"Singgg.....
"
Nampak sinar berkelebat ketika gadis itu mencabut senjatanya dan ternyata di tangan kanannya telah memegang sebatang golok yang tipis dan ringan. Ketika tangan kirinya bergerak nampak pula sinar keemasan dan tangan kiri itu telah melolos sebatang sabuk emas dari pinggangnya. Kiranya, sabuk yang tadi menghias pinggangnya yang ramping itu merupakan senjatanya pula.
"Suheng, perlihatkan senjatamu!"
Kata gadis itu sambil tersenyum manis sekali.
"Srattt.....!"
Nampak sinar hijau dan hawa dingin sejuk terasa sekali ketika Pedang Asmara tercabut dari sarangnya.
"Uhhn.....! Pedang yang luar biasa!"
Pak-ong Ji Hiat berseru dan tiba-tiba saja tangannya bergerak. Tiong Sin terkejut dan hendak mengelak, namun gerakan tangan itu luar biasa sekali. Tiba-tiba ada jari menyentuh siku dan pergelangan tangannya, sedemikian cepatnya sehingga tahu-tahu tangannya lumpuh dan pedang itu terlepas dari pegangannya, dan sudah berpindah ke tangan gurunya! Pak-ong Ji Hiat mengamati pedang itu, tidak mempedulikan muridnya dan berkali-kali dia mengeluarkan seruan kagum dan heran.
"Huh..... pedang hebat..... mungkinkah ini? Benarkah ini Batu Dewa Hijau?"
Dia menggerak-gerakkan pedang dan nampak gulungan sinar hijau yang mengeluarkan bunyi nyaring merdu, dan terasa hawa sejuk nyaman!
"Dari mana kau memperoleh pedang pusaka ini, Tiong Sin?"
Ditanya demikian, Tiong Sin terkejut. Akan tetapi nada suara gurunya ramah dan dia pun menjawab sejujurnya.
"Tecu menerimanya sebagai hadiah dari guru teecu yang pertama."
"Siapakah gurumu itu?."
"Namanya..... Yeliu Cutay....."
Kakek itu menggeleng kepala, tidak mengenal nama itu.
"Sungguh heran pernah aku mendengar berita angin dari para kepala suku di utara bahwa yang memiliki pedang yang dibuat dari Batu Dewa Hijau adalah Jenghis Khan yang kini menjadi raja besar orang Mongol. Tidak tahunya sekarang berada di tanganmu! Engkau sungguh beruntung sekali Tiong Sin, mendapatkan pedang seperti ini dan guru seperti aku."
Dia mengembalikan pedang itu kepada muridnya.
"Nah, kalian bertandinglah!"
Dengan hati besar karena mengandalkan pedangnya, Tiong Sin melintangkan pedang di depan dadanya, lalu berkata kepada Kui Lan.
"Sumoi, silakan engkau mulai menyerang, aku telah siap!"
Dia tersenyum melihat betapa gadis itu seperti terpesona, memandang kepadanya dengan mata terbelalak penuh kagum dengan mulut setengah terbuka, setengah senyum yang aneh, dan seperti orang kaget ketika dia mengeluarkan ucapan itu, seolah-olah baru sadar dari lamunan.
"Eh, ohhh..... baiklah. Kau sambut serangan ini, Suheng!"
Katanya, dan goloknya menyambar. Ketika Tiong Sin menangkis, terdengar bunyi nyaring dan golok itu terpental!
Diam-diam Tiong Sin merasa girang. Kalau tadi ketika mereka bertanding dengan tangan kosong, jelas dia kalah kuat dalam hal tenaga sin-kang, kini golok itu terpental, tanda bahwa gadis itu dalam penyerangannya tidak mempergunakan seluruh tenaganya! Ini berarti mengalah, dan melihat pandang matanya tadi, jelas bahwa gadis itu sudah dapat dia talukkan melalui pengaruh Pedang Asmara!
"Kui Lan, serang yang betul untuk mengujinya. Hayo!"
Bentak Pak-ong Ji Hiat dan kembali gadis itu seperti baru sadar dan mulailah ia menyerang dengan golok, dibantu oleh sabuk emasnya. Namun, tetap saja gerakannya ragu-ragu, seolah-olah ia merasa khawatir kalau kalau senjatanya akan melukai pemuda yang tiba-tiba saja nampak begitu menarik dan telah membangkitkan gairah yang menggelora dalam hatinya. Tiba-tiba saja ia tahu bahwa ia telah jatuh cinta kepada pemuda yang kini menjadi suhengnya itu, maka ia khawatir kalau sampai ia melukai pemuda itu!
Karena Kui Lan tidak menyerang dengan sungguh-sungguh, gerakannya serba kurang, kurang cepat dan kurang kuat, maka tidak sukar bagi Tiong Sin untuk mengimbanginya, untuk mengelak, menangkis dan balas menyerang. Namun, dia sendiri bukan orang bodoh. Dia tidak mau melukai sumoinya, bukan saja karena takut akan akibatnya, melainkan juga karena dia yang mata keranjang tentu saja merasa sayang kalau sampai kulit halus mulus itu terluka, kulit yang sepantasnya dibelainya! Terjadilah pertandingan yang berjalan lambat karena keduanya menjaga agar jangan sampai melukai lawan!
Diam-diam Pak-ong Ji Hiat merasa heran, akan tetapi juga girang. Jelas bahwa puterinya telah jatuh cinta kepada Bu Tiong Sin! Padahal biasanya, Kui Lan selalu menolak dengan marah-marah kalau dia bicara soal perjodohan. Dan pilihan puterinya ini tidak terlalu mengecewakan. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, dan lebih dari itu, menjadi muridnya malah! Puterinya pernah berkata kepadanya dengan tegas bahwa ia hanya mau menjadi isteri seorang pria yang mampu mengalahkannya dalam ilmu silat. Dan tentu saja sekarang pun Kui Lan dapat kalah kalau memang ia mengalah! Andaikata Kui Lan menghendaki agar Tiong Sin benar-benar lebih lihai darinya, tidak sukar. Kalau dia menggembleng pemuda itu yang nampaknya berbakat, tentu pemuda itu akan memperoleh kemajuan dan dapat melewati Kui Lan, setidaknya mampu menandinginya. Melihat betapa "pertandingan"
Itu lebih tepat dinamakan adu hati-hati agar jangan melukai lawan daripada adu tenaga dan kepandaian, sambil tersenyum Pak-ong berseru,
"Sudah! Cukup, berhentilah kalian!"
Kedua orang itu meloncat ke belakang dan Tiong Sin segera menyimpan pedangnya. Kui Lan nampak tersipu ketika memandang kepada ayahnya, karena melihat ayahnya tersenyum senyum itu ia pun mengerti bahwa ayahnya dapat menduga akan isi hatinya.
"Ayah, engkau gemblenglah Suheng baik-baik, dan aku percaya kelak dia akan dapat mengungguli
(Lanjut ke Jilid 18)
Pedang Asmara (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 18
aku!"
Katanya dengan terus terang.
Mendengar ini, Pak-ong yang biasanya berwajah muram itu tersenyum lebar.
"Ha, engkau dengar itu, Tiong Sin? Kalau engkau tidak berlatih dengan rajin sehingga dapat mengungguli Kui Lan, jangan harap engkau akan dapat memetik bunga bukit-bukit Utara!"
Tentu saja Tiong Sin maklum yang dimaksudkan, dan sambil tersenyum dia pun menjawab dengan suara sungguh sungguh.
"Teecu akan belajar dengan rajin dan mentaati semua perintah dan pesan Suhu. Juga kuharap Sumoi yang sudah lebih dahulu belajar, suka memberi petunjuk."
"Suheng, jangan terlalu merendah. Engkau cukup hebat, terutama ilmu pedangmu."
Kata Kui Lan sambil mengerling tajam dan mulutnya menghadiahkan senyum manis sekali. Demikianlah, mulai hari itu, Tiong Sin menerima gemblengan dari Pak-ong, seorang di antara empat datuk empat penjuru yang sakti.
Dia memang telah memiliki dasar yang baik, yaitu ilmu-ilmu kilat yang dipelajarinya dari Yeliu Cutay. Selain itu, dia memiliki bakat yang baik pula, maka ditambah kerajinannya, maka dia memperoleh kemajuan cepat sekali ketika menerima gemblengan dari Pak-ong. Lebih lagi karena dia mempunyai teman berlatih yang juga lihai, yaitu sumoinya sendiri, Ji Kui Lan. Hal ini membantunya banyak sekali dan dia cepat menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan datuk itu kepadanya. Dan dia pun mengikuti gurunya bersama sumoinya yang meninggalkan daerah Mongol memasuki daerah kekuasaan Kerajaan Cin.
"Hayo kita berlatih lagi, Hong-ko Jurus-jurusmu itu masih kaku. Kalau menghadapi aku saja masih belum sempurna benar, mana mungkin engkau dapat bertahan menghadapi jurus-jurus yang dimainkan ayah? Hayo, kausambut seranganku ini!"
Setelah berkata demikian Ang Siang Bwee sudah menyerang Kwe San Hong dengan ilmu silat tangan kosong yang menjadi andalan ayahnya, yaitu Hek-In Pay-san (Awan Hitam Mendorong Bukit).
Dari kedua telapak tangannya mengepul uap hitam dan pukulan-pukulan yang dilancarkan sungguh dahsyat bukan main, selain cepat sekali juga mendatangkan angin dahsyat dan pukulan itu mengandung racun! Terpaksa San Hong mengelak dengan cepat. Biarpun gadis itu hanya bermaksud memaksanya berlatih, namun serangannya sungguh-sungguh dan kalau dia lengah bisa berbahaya.! Pukulan Hek-in Pay-san kalau mengenai bagian tubuh secara tepat, dapat membahayakan dan sukar sekali dicari obatnya. Dia sendiri sudah mengalaminya.
Pukulan Hek-in Pay-san yang dilakukan Nam Tok, ayah gadis itu, pada dirinya membuat dia berada dalam cengkeraman maut dan hanya berkat bantuan Siang Bwee saja dia dapat di sembuhkan oleh Tung Kiam, datuk di timur itu. Dan untuk dapat menahan serangkaian serangan Siang Bwee yang menggunakan ilmu dahsyat itu, terpaksa dia memainkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya secara singkat dari Tung Kiam. Ilmu-Ilmu ini memang sengaja diciptakan oleh Tung Kiam untuk menghadap Hek-in Pay-san dari Nam Tok.
Hubungan antara empat orang datuk besar itu memang aneh sekali. Sejak muda mereka itu saling bersaingan, saling tidak mau kalah dalam hal apa saja. Kalau yang seorang mendengar bahwa di antara mereka ada yang menciptakan suatu ilmu baru yang lihai, tentu dia akan menyelidiki dan akan menciptakan ilmu lain yang sengaja dibuat untuk menghadapi ilmu baru dari saingan itu.
Oleh karena itu, seperti juga dengan tiga orang tokoh lainnya, diam-diam Tung Kiam menyelidiki ilmu-ilmu baru dari tiga orang saingannya dan dia pun menciptakan ihm ilmu untuk menghadapi semua ilmu lawan itu! Maka, ketika mendengar bahwa Kwe San Hong dimusuhi oleh Nam Tok hendak mengadu ilmu dengan datuk selatan itu, tanpa ragu-ragu lagi dia 1alu mengajarkan ilmu yang khas diciptakannya untuk melawan Hek-in Pay-san dari Nam Tok. Padahal San Hong bukan muridnya, juga tidak ada rasa suka dalam hatinya kepada pemuda tinggi besar itu. Jelas bahwa dia mengajarkan ilmu itu dengan harapan agar pemuda itu dapat mengalahkan seorang di antara tiga saingan besarnya itu!
Biarpun dia menerima pelajaran ilmu yang khas untuk menghadapi Hek-in Pay san, tentu ilmu yang hanya dipelajarinya selama seminggu itu tidak akan banyak gunanya sekiranya di situ tidak ada Siang Bwee yang membantunya. Gadis itu yang mengajaknya berlatih dan ia menggunakan ilmu Hek-in Pay-san sehingga tentu saja San Hong dapat mempergunakan ilmu yang dipelajarinya dari Tung Kiam itu dengan sebaiknya. Apalagi gadis itu juga membantunya, memberi petunjuk akan bahayanya ilmu Hek-in Pay-san. Biarpun tingkat gadis itu tentu saja tidak dapat disamakan dengan tingkat ilmu kepandaian ayahnya, namun setidaknya San Hong sudan mengenal ilmu itu dan dapat mengatur cara menghadapinya, tidak akan terkejut lagi kalau kelak Nam Tok menyerangnya dengan ilmu itu.
Setelah merasa puas melihat kemajuan San Hong sehingga pemuda itu dapat menghindarkan diri dari semua jurus ilmu silat Hek-in Pay-san walaupun belum sempurna benar, Siang Bwee menjadi girang dan menghentikan serangannya. Mereka berdua merasa lelah dan mereka duduk beristirahat di bawah pohon besar itu.
"Engkau sudah memperoleh kemajuan, Hong ko."
Kata Siang Bwee sambil mengusap keringat dari dahi dan lehernya. Gadis ini nampak seperti seorang pemuda remaja yang tampan dan lincah. Akan tetapi dalam pandangan San Hong, ia tetap seorang gadis yang cantik jelita dan manis sekali, dengan wataknya yang aneh, berani mati, ugal-ugalan dan nyentrik, pandai sekali berdebat, cerdik dan licik bukan main, kadang dapat juga bersikap galak dan ganas, namun di lain saat dapat bersikap lembut penuh kehangatan dan kewanitaan.
Melihat gadis itu bermandi peluh, San Hong teringat bahwa semua jerih payah gadis itu dilakukan demi dia! Gadis ini pula yang telah menyelamatkannya dari ancaman maut ketika dia terluka oleh pukulan ayah gadis. Dengan berani mati, cerdik dan licik, gadis itu telah dapat mengelabui seorang datuk sesat macam Tung Kiam untuk mengobatinya sampai sembuh, bahkan telah melatihnya dengan ilmu silat untuk menghadapi Nam Tok. Bukan itu saja, bahkan gadis itu rela berjanji palsu untuk mau dijodohkan dengan Cu See Han putera Tung Kiam, mau pula menerima ciuman sebagai tanda suka. Padahal, semua itu dilakukannya demi San Hong!
"Bwee moi........."
Gadis itu mengangkat mukanya yang kemerahan karena baru saja digosoknya untuk menghapus keringat. Sepasang pipi itu, tepat di bawah kanan kiri sepasang mata, di bagian tulang pipi yang menonjol, nampak merah sekali seperti buah tomat matang. Pantas wanita kota suka memberi pemerah pada kulit pipi di bagian itu. Kiranya semua itu untuk meniru kemerahan aseli yang terdapat pada pipi gadis yang sehat seperti Siang Bwee. Memang manis sekali!
"Ada apakah, Hong-ko?"
Tanyanya dengan alis berkerut dan lesung pipit muncul di kanan kiri mulutnya. Makin manis!
"Bwee-moi, kenapa engkau begini baik kepadaku?"
"Eh? Siapa yang baik kepada siapa? Engkau hampir mati karena pukulan ayah ku, dan engkau masih bilang bahwa aku baik?"
San Hong mengamati wajah itu akan tetapi sukar untuk dapat menjenguk isi hati melalui wajah yang mudah berubah itu.
"Ayahmu memang memukulku, akan tetapi engkau..... engkau selalu melindungi aku, bahkan engkau telah berkorban untuk menyelamatkan aku. Kenapa, Bwee moi?"
"Habis, bagaimana lagi? Apakah aku harus ikut-ikut ayah, menambahi pukulan maut kepadamu? Hong-ko, ayah telah memukulmu, aku sebagai puterinya hendak menebus dengan menolongmu. Bukankah itu sudah tepat namanya? Aku hanya ingin menebus kesalahan ayah kepadamu."
"Tapi, Bwee-moi, ayahmu memukulku karena aku hendak membunuhnya!"
Gadis itu mengerutkan alisnya, nampak kecewa sekali.
"Aih, Koko, kalau saja engkau tidak melakukan hal itu! Kalau saja engkau tidak memusuhinya....."
"Mana mungkin, Bwee-moi? Ayahmu telah membunuh banyak penduduk dusun Po-lim-cun, termasuk ayah ibuku!" "Aku tidak percaya!"
Gadis itu berkeras mengeluarkan isi hatinya.
"Aku mengenal ayahku sendiri! Dia tidak akan melakukan hal itu!"
"Tapi..... tapi penduduk Po-lim-cun ada yang memberitahu kepadaku, dan juga ayahmu sendiri tidak menyangkal, bahkan mengaku telah membunuhi semua orang itu!"
"Tentu saja! Memang demikian itu watak ayahku."
San Hong memandang heran.
"Bagaimana ini, Bwee-moi? Kau bilang bahwa tidak mungkin ayahmu melakukan pembunuhan pembunuhan itu, dan kau bilang pula bahwa tentu saja ayahmu mengaku telah melakukannya!"
Gadis itu mengangguk-angguk.
"Memang demikianlah watak ayahku. Di bukan seorang pengecut, maka tidak mungkin dia sudi membunuhi orang orang dusun yang lemah dan sama sekali bukan lawannya itu. Dia belum pernah membunuh orang yang bukan lawan seimbang dia akan merasa malu untuk membunuh orang yang tingkat kepandaiannya jauh lebih rendah darinya. Apalagi membunuh orang-orang dusun yang bodoh dan lemah. Itu bukan wataknya! Karena itulah aku tetap tidak percaya bahwa dia tela melakukan pembunuhan terhadap ayah ibumu dan penduduk dusun Po-lim cu itu."
"Tapi..... tapi dia mengaku....."
"Tentu saja! Ayah bukan seorang pengecut yang takut mengakui apa saja dan berani menghadapi akibatnya. Dia merasa malu untuk menyangkal! Bahkan dia berani mengakui segala perbuatan yang menggegerkan, walaupun bukan dia yang melakukannya. Kalau ada orang bertanya siapa yang sekarang memimpin orang Mongol yang hendak menyerbu ke selatan, tanpa sangsi lagi ayah tentu akan berani mengakui, bahwa dialah yang menjadi pemimpin pemberontakan. Andaikata ada perbuatan yang menggemparkan, misalnya pembunuhan terhadap kaisar, atau pencurian pusaka dari istana, atau pembunuhan kejam terhadap ratusan orang atau perbuatan yang paling kejam dan biadab, tentu ayah akan mengakuinya sebagai perbuatannya! Makin jahat dan makin berbahaya akibatnya, dia akan merasa semakin gembira. Itulah ayahku! Itulah Nam-san Tok-ong!"
Kata gadis itu dengan nada suara bangga. Tentu saja San Hong menjadi bengong, terheran-heran dan di dalam hatinya masih tidak percaya ada orang yang memiliki watak seaneh Nam Tok. Benarkah demikian? Atau gadis ini hanya ingin membersihkan nama ayahnya saja?
"Tapi..... tapi mengapa begitu aneh? Kalau bukan ayahmu yang membunuhi orang-orang dusun Po-lim-cun, padahal ayahmu telah mengaku dan ada penduduk yang melihat sendiri, lalu siapa yang melakukannya? Kepada siapa aku harus menuntut pertanggunganjawab terhadap perbuatan yang amat kejam itu, Bwe-moi?. Kalau engkau menjadi aku, lalu apa yang akan kaulakukan?"
Gadis itu tersenyum.
"Percayalah kepadaku, Koko. Aku akan membantumu dan aku yakin kelak aku pasti akan dapat membongkar rahasia itu. Aku akan mengakali ayah agar dia membuat pengakuan sebenarnya. Akan tetapi engkau harus bersabar, dan jangan membiarkan hatimu panas dan engkau menantang ayahku! Kalau kaulakukan itu, aku tidak akan membantumu, bahkan aku akan memusuhimu, Koko! Bayangkan saja, engkau menantang ayahku dan hendak membunuhnya untuk perbuatan yang aku yakin tidak dia lakukan! Sebelum engkau menantangnya, aku yang akan menantangmu lebih dulu. Sebelum engkau membunuhi ayahku, engkau harus membunuhku lebih dulu. Engkau hanya akan dapat menyerang ayahku kalau melewati mayatku!"
"Bwee-moi.....!"
San Hong terkejut bukan main, akan tetapi dia melihar bahwa gadis itu tidak main-main, bahkan kedua mata gadis itu menjadi basah? Siang Bwee mengeluarkan air mata, menangis? sungguh tak masuk akal, gadis yang berhati baja itu! Hatinya menjadi lunak dan dia pun menarik napas panjang berkali-kali.
"Baiklah, Bwee-moi, aku akan bersabar dan akan melihat bagaimana hasil penyelidikanmu."
Begitu mendengar janji ini, tiba-tiba Siang Bwee bersorak girang dan gadis ini lalu meloncat dan merangkul San Hong! Sejenak ia menempelkan mukanya di dada yang bidang itu, akan tetapi hanya sebentar dan ia sudah melepaskan lagi rangkulannya dan mundur ke belakang, memandang kepada San Hong dengan wajah berseri gembira.
"Terima kasih, Hong ko, terima kasih! Aih, engkau tidak tahu betapa janjimu itu seperti melepaskan batu sebesar gunung yang selama ini menekan hatiku! Aih, terima kasih dan percayalah, kelak engkau baru akan tahu bahwa aku benar!"
Melihat kegembiraan dan kebahagiaan hati gadis itu saja sudah merupakan sesuatu yang amat menyenangkan hati San Hong. Jangankan hanya berjanji seperti itu, biar disuruh apa pun yang lebih berat, rasanya dia akan melakukannya untuk membahagiakan hati Siang Bwe seperti itu. Gadis ini memang selalu lincah dan Jenaka, akan tetapi kebahagiaan yang diperlihatkannya tadi sunggu menyentuh perasaan nati San Hong karena terasa-benar olehnya betapa senang dan bahagia perasaan gadis itu ketika mendengar janjinya tadi. Dia akan memegang janjinya. Bukan berarti dia akan memaafkan Nam Tok, melainkan dia akan bersabar dan menyelidiki lebih teliti sebelum memastikan bahwa Nam tok yang melakukan pembunuhan di dusun Po-lim-cun itu.
"Mari kita lanjutkan perjalanan, Bwee moi."
"Hong ko, aku ingin sekali mampir dulu di kota raja sebelum pulang ke selatan. Maukah engkau, Hong ko? Aku ingin sekali makan bebek panggang yang dijual oleh rumah makan di sudut timur kota raja. Pernah ayah mengajak aku ke sana dan kami makan bebek panggang di sana. Wah, lezatnya bukan main, Hong-ko. Di tempat lain, belum pernah aku dapat menemukan masakan selezat itu! Aku ingin sekali, Hong-ko!"
San Hong mengerutkan alisnya.
"Bwee-moi, kalau kita singgah dulu di kota raja, tentu akan makan waktu lama."
"Tidak! Paling lama hanya bertambah satu bulan saja. Aku ingin sekali, Hong-ko. Kalau tidak dituruti, tentu dalam perjalanan pulang, aku akan mengiler di sepanjang jalan!"
Mau tidak mau San Hong tertawa membayangkan gadis itu akan mengiler sepanjang jalan! Bukan main! Untuk makan bebek panggang saja harus membuang waktu sebulan! Mana ada gadis lain seaneh ini? Akan tetapi, lebih aneh lagi, dia tidak sampai hati untuk menolaknya.
"Baiklah, Bwee-moi, kita ke kota raja lebih dulu."
Siang Bwee bersorak girang dan sejenak ia memegang lengan San Hong.
"Terima kasih, Hong-koko. Memang sejak semula aku sudah tahu bahwa engkau seorang yang amat baik."
Mereka melakukan perjalanan cepat dan kurang lebih sepuluh hari kemudian mereka tiba di sebuah hutan yang lebat di sebelah selatan kota raja Yen-cin Kota raja sudah dekat, tinggal setengah hari perjalanan dengan kuda saja. Ketika mereka memasuki hutan itu, matahari telah naik tinggi sehingga legalah hati mereka. Tidak enak melakukan perjalanan di bawah terik matahari yang sedang panas-panasnya, dapat membakar kulit dan Siang Bwee tidak suka kalau sampai kulit mukanya menjadi hitam terbakar panas matahari. Melakukan perjalanan melalui hutan yang penuh dengan pohon di tengah hari itu nyaman dan sejuk.
"Perutku lapar, Koko. Bekal kita tinggal roti kering dan daging dendeng asin. Hutan ini besar dan lebat, tentu mudah mencari kijang atau kelinci, setidaknya burung. Kita cari daging, kita panggang dan makan bersama roti kering di bawah pohon yang sejuk hawanya, tentu lezat."
San Hong tersenyum.
"Apakah tidak lebih baik cepat-cepat melanjutkan perjalanan agar segera sampai ke kota raja lalu menikmati bebek panggang di sana?"
"Wah, masih jauh. Kalau dilanjutkan, telah malam gelap baru kita akan sampai ke sana. Perutku sudah lapar sekali."
"Makin lapar makin baik, Bwee-moi. Bukankah lapar merupakan lauk paling lezat?"
San Hong menggoda.
"Ihhh, engkau pandai berpura-pura. Ketika kita berjalan tadi, beberapa kali aku mendengar ayam jantan berkokok dari dalam perutmu!"
"Kau juga!"
Keduanya tertawa dan mereka lalu mulai berindap-indap mencari binatang buruan untuk
disantap. Tak lama kemudian, mereka melihat sekor kijang berloncatan dan lari
ketakutan. Akan tetapi larinya tidak kencang lagi, bahkan terhuyung-huyung. Tanpa menanti lebih lama lagi, Siang Bwee mengayun tangannya dan sebuah batu sebesar kepalan tangan, batu yang runcing dan sejak tadi dibawanya, meluncur ke arah kepala kijang itu Tepat sekali batu itu mengenai kepala dan kijang itu pun rebah, berkelojotan sebentar dan tewas dengan kepala retak retak!
Dengan berloncatan gembira seperti seorang anak kecil Siang Bwee lari menghampiri tempat robohnya kijang itu, di ikuti San Hong yang juga merasa gembira. Dengan beberapa loncatan saja mereka tiba didekat bangkai kijang itu. Kijang itu rebah dan mati, akan tetapi yang membuat mereka tertegun adalah ketika mereka melihat betapa ada sebatang anak panah menancap di tubuh kijang, tidak tepat benar kenanya maka kijang itu tidak mati dan masih mampu berlari dan meloncat tadi.
"Wah, kijang ini sudah terlukai"
Kata Siang Bwee dan karena heran dan penasaran, ia merenggut lepas kain penutup kepalanya sehingga rambutnya yang panjang dan agak berikal itu terlepas dan terurai ke bawah. Ia tidak peduli, karena di dalam hutan itu ia tidak perlu terlalu menjaga penyamarannya. Binatang hutan tidak akan tahu, atau kalau tahu pun tidak akan peduli apakah ia laki-laki atau perempuan! Siang Bwee menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan San Hong memandang dengan hati geli. Pakaiannya pakaian pria, akan tetapi rambutnya yang terurai itu jelas rambut wanita. Dalam keadaan setengah-setengah itu mengapa Siang Bwee tetap saja nampak begitu menarik?
Tiba-tiba mereka berdua membalikkan tubuh karena mendengar suara jejak kaki orang dan pada saat itu terdengar bentakan nyaring.
"Siapa berani mengganggu buruan kami?"
Dan muncullah empat orang mengiringkan seorang laki-laki yang pakaiannya mewah dan gagah. Lima orang itu semua memegang busur dan di punggung mereka terdapat tempat anak panah. Akan tetapi, biarpun mereka membawa busur dan anak panah, tidak mungkin mereka itu pemburu-pemburu miskin karena pakaian mereka itu mewah dan gagah, terutama sekali pria yang berada di depan. Pria ini tubuhnya jangkung jenggotnya panjang dan sikapnya berwibawa sekali.
Biarpun lima orang itu kelihatan gagah, berusia antara empat puluh dan lima puluh tahun, dan kelihatan bengis berwibawa. Siang Bwee tidak menjadi takut. Sambil bertolak pinggang, ia melangkah maju, tidak peduli akan rambutnya yang terurai karena memang sudah terlanjur begitu. Ia pun tidak mengubah suaranya, suara wanita yang nyaring melengking.
"Siapa mengganggu buruan siapa? Kita berada di rimba raya! Semua binatang buruan adalah milik rimba, binatang liar. Siapa yang berhasil merobohkan seekor binatang hutan, dialah yang berhak memilikinya."
Pria jangkung itu memandang dengan sinar mata kagum. Ketika empat orang yang berada di belakangnya hendak marah, dia mengangkat tangan menyuruh mereka diam, lalu dia berkata kepada Siang Bwee.
"Nona yang gagah perkasa dan cantik jelita, tentu engkau melihat bahwa kijang ini sudah terluka oleh anak panah kami dan kami sedang memburunya."
"Hemmm, siapa tidak pandai berburu lebih baik tinggal di rumah. Sebatang anak panah telah diluncurkan, akan tetapi binatang buruan tidak juga roboh sebaliknya masih mampu lari cepat. Akulah yang telah merobohkannya dengan sambitan batu yang mengenai kepalanya. Binatang kijang ini milikku, dan kalian boleh mengambil anak panah yang tidak berguna itu!"
Sementara itu, San Hong cepat memberi hormat dan berkata dengan suara penuh hormat.
Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Harap Cu-wi (Anda kalian) sudi memaafkan kami yang tidak tahu bahwa binatang buruan ini sedang Cu-wi kejar. Kalau Cu-wi menghendakinya, silakan ambil, kami akan mencari yang lain....."
"Tidak bisa begitu!"
Tiba-tiba Sia Bwee memotong ucapan San Hong dengan marah.
"Hong-ko, kenapa engkau mendadak menjadi begini penakut? Aku tidak takut kepada mereka, dan kalau mereka hendak memaksa dan mengambil kijang ini mereka harus lebih dulu mengalahkan aku"
Mendengar ini, kembali empat orang yang berada di belakang si jangkung itu kelihatan marah, akan tetapi pria jangkung itu sebaliknya malah tertawa bergelak, lalu menoleh kepada mereka sambil berkata.
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho Ping Hoo Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo