Ceritasilat Novel Online

Pedang Asmara 24


Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 24



Kini Kaisar Wai Wang menggebrak meja dengan marah.

   "Hemmm, kalian ini hanya memikirkan nama kosong belaka! Tidak tahukah kalian betapa rakyat jelata telah menderita hebat? Apakah kini akan ditambah lagi dengan perang besar yang habis-habisan? Apa artinya kalau hanya seribu orang pemuda dan gadis dijadikan hamba sahaya di kerajaan Jenghis Khan, beberapa peti emas dan perak dan seorang puteri sebagai isteri Jenghis Khan? Justeru permintaan itu menunjukkan bahwa Jenghis Khan benar-benar hendak berdamai dan bahkan mengikat tali kekeluargaan. Sudah sepatutnya kalau kita pun melupakan permusuhan dengan orang Mongol dan orang Liao-tung. Kita terima permintaannya itu!"

   Tentu saja keputusan kaisar merupakan keputusan terakhir dan tak seorangpun menteri berani membantahnya. Akan tetapi hati Yeliu Cutay menjadi semakin hambar dan tidak suka kepada Kaisar Wai Wang yang dianggapnya lemah penakut itu. Utusan Jenghis Khan diterima dan persetujuan diadakan. Tanpa mempedulikan ratap rangis mereka, lima ratus pasang muda mudi yang tampan dan cantik dikirimkan kepada Jenghis Khan, bersama sekelompok kuda pilihan, ber-peti-peti emas dan perak, dan semua itu mengiringkan sebuah joli di mana duduk seorang puteri jelita keluarga kaisar!

   Puteri ini masih seorang keponakan kaisar, cantik dan agung, calon isteri muda Jenghis Khan. Biarpun pasukannya tinggal sebagian saja, namun Jenghis Khan kembali ke utara dengan gembira karena merasa telah memperoleh kemenangan walaupun belum berhasil menumbangkan kekuasaan Raja Wai Wang dan belum menduduki Yen-king. Dan dalam perjalanan pulang ini pun terjadilah kekejaman-kekejaman yang melampaui batas prikemanusiaan.

   Para tawanan, bahkan muda-mudi yang akan dijadikan hamba sahaya, yang tidak kuat melanjutkan perjalanan jauh ini, atau mereka yang jatuh sakit, langsung saja dibunuh! Bangsa Mongol ini memang tidak menghargai nyawa manusia, kalau manusia itu menjadi musuh mereka. Bahkan mereka akan mengurangi manusia di selatan sebanyak mungkin agar terdapat tanah yang luas dan subur untuk dijadikan tanah perumputan bagi keperluan ternak mereka. Juga, tawanan yang sakit hanya akan merepotkan saja.

   Semenjak pasukan Mongol kembali ke utara dan dalam Kerajaan Cin menjadi tenang dan tenteram kembali, Kaisar Wai Wang kehilangan kewibawaannya. Para menteri setia dan para pendekar merasa kecewa sekali akan sikap kaisar yang mereka anggap lemah dan merendahkan martabat bangsa itu. Bangsa Mongol sudah mendatangkan malapetaka dan kesengsaraan terhadap rakyat jelata, dan kaisar malah memberi upeti kepada mereka! Pemerintahan baru kuat kalau para penguasa dan pemimpinnya didukung sepenuhnya oleh rakyat jelata. Pemimpin yang bijaksana akan selalu memperhatikan keinginan dan kepentingan rakyat jelata karena rakyat jelata merupakan sumber kekuatan.

   Pasukan yang didukung rakyat pun akan merupakan pasukan yang amat kuat. Sebaliknya kalau penguasa dan pemimpin tidak bijaksana, tidak di dukung rakyat jelata, pemerintahann akan menjadi rapuh karena ketidakpuasan rakyat akan menimbulkan pertentangan dan pemberontakan sehingga terjadi perpecahan dan hal ini tentu saja melemahkan pemerintah. Demikianlah keadaan kerajaan Cin di waktu itu. Ketahanan kerajaan Cin semakin lemah, padahal Jenghis Khan jauh di utara menyusun kekuatan dan menjadi semakin kuat saja.

   "Jahanam! Keparat busuk! Memalukan saja! Orang seperti itu tidak patut menjadi kaisar!"

   Berulang-ulang Nam Tok memaki-maki sambil berjalan hilir mudik di dalam ruangan rumahnya yang luas itu. Ruangan di sebelah dalam itu dipergunakan untuk ruangan duduk dan di sudut ruangan, berlutut, nampak dua orang yang berpakaian serba hitam. Mereka berlutut dan kelihatan ketakutan, tidak berani berkutik dan tidak berani mengeluarkan suara.

   Nam Tok atau lengkapnya Nam-san Tok-ong Ang Leng Ki yang sudah berusia enam puluh tahun itu hidup di dalam rumah besar yang mewah ini di lereng Pegunungan Nam-leng-san. Dia hidup menduda, dilayani oleh lima orang pelayan pria dan lima orang pelayan wanita. Akan tetapi, kadang-kadang dia meninggalkan rumah sampai berbulan-bulan. Hanya kalau dia dan puterinya, Ang Siang Bwee kebetulan berada di rumah bersama-sama, maka rumah itu kelihatan hidup. Kalau kedua orang ini tidak ada, maka yang tinggal hanya sepuluh orang pelayan itu. Nam Tok hidup menduda sejak Siang Bwee masih kecil.

   Kadang-kadang ada tokoh-tokoh dunia persilatan mendaki lereng itu untuk menghadap Nam Tok dan tentu saja mereka tidak lupa membawa barang berhadiah sebahai tanda penghormatan dan tanda taluk. Maklum, Nam Tok merupakan seorang datuk sesat yang dihormati seluruh kaum sesat di selatan. Dialah tempat para tokoh sesat mengadu, dan dialah yang paling ditakuti, karena kalau ada tokoh yang tidak memperlihatkan hormat dan tunduk kepadanya, jangan harap tokoh sesat itu dapat tinggal dengan selamat di daerah selatan! Sekali Nam Tok turun tangan, si penentang itu pasti akan tewas secara mengerikan!

   Akan tetapi kenapa Nam Tok yang menjadi Datuk Besar dunia kang-ouw di selatan dan hidup seperti seorang raja itu kini marah-marah, gelisah dan kelihatan murung dan memaki-maki kaisar! Kaisar manakah yang dimakinya? Tempat tinggalnya, yaitu di bagian paling selatan dari Propinsi Hu-nan, termasuk wilayah kekuasaan Kerajaan Sung. Akan tetapi bukan Kaisar Sung yang di makinya, melainkan Kaisar Wai Wang dari Kerajaan Cin di sebelan utara. Baru saja dua orang pembantu barunya, yaitu Hek I Siang-mo (Sepasang Iblis Baju Hitam) yang diutusnya untuk mencari Siang Bwee, datang untuk melaporkan hasil usaha mereka mencari puteri Datuk Besar Selatan itu.

   Mereka melaporkan dengan takut-takut bahwa mereka tidak berhasil menemukan Siang Bwee karena di utara telah terjadi perang ketika pasukan Mongol menyerbu Kerajaan Cin. Mendengar ini, hati Nam Tok tertarik sekali. Dia melupakan puterinya dan yang ditanyakan adalah tentang perang itu. Ketika dia mendengar betapa pasukan Mongol berhasil memaksa Kaisar Wai Wang untuk menyerahkan upeti kepada Jenghis Khan, Nam Tok mencak-mencak saking marahnya. Dia seorang datuk besar golongan sesat, akan tetapi hatinya penuh rasa kepatriotan. Mendengar betapa Kaisar Kerajaan Cin, berarti juga kaisar bangsanya, secara tidak tahu malu dan pengecut tunduk kepada seorang kepala bangsa liar Mongol, hatinya menjadi panas. Dia memaki-maki Kaisar Wai Wang yang dianggapnya menurunkan martabat bangsanya, dan memalukan sekali.

   "Kalian tidak mempunyai kemampuan!"

   Akhirnya Nam Tok memandang kepada dua orang tokoh sesat yang masih berlutut itu.

   "Mencari seorang anak perempuan saja tidak mampu"

   "Harap Lo-cian-pwe mengampuni kami,"

   Kata Thian-te-mo yang pendek gendut dan mulutnya selalu menyeringai tersenyum ramah.

   "sebetulnya kami telah dapat menemukan jejak Ang Siocia (Nona Ang) di kota raja Yanking di Kerajaan Cin, bahkan menemukan jejak Ang Siocia memasuki istana kaisar."

   "Ahhh!"

   Sepasang mata Nam Tok terbelalak, lalu dia tertawa bergelak. Di mengenal puterinya yang kenakalan keberaniannya bahkan mengagumkan sendiri. Puterinya itu tidak pernah mengenal takut, cerdik bukan main, banyak akal dan pandai mengatasi segala kesulitan.

   "Bocah itu memasuki istana kaisar.....? Bagaimana cerita yang kau dengar?"

   "Kami sudah melakukan penyelidikan. Kabarnya, Ang Siocia bersama seorang pemuda she Kwee....."

   "Hemmm, dia.....?"

   Nam Tok teringat akan pemuda tolol yang dicinta oleh puterinya itu.

   "Lo-cian-pwe sudah mengenal dia?"

   "Sudahlah teruskan!"

   "Menurut hasil penyelidikan kami,

   Ang Siocia dan pemuda Kwee itu diundang sebagai tamu oleh Kaisar Wai Wang."

   Kembali Nam Tok terbelalak. Bukan main, pikirnya. Dia yakin bahwa hal itu tentu terjadi bukan karena Kwee San Hong itu, yang tolol, melainkan tentu karena ulah si Siang Bwee yang nakal dan penuh akal. Sampai kaisar sendiri mengundang mereka sebagai tamu! Dia sendiri saja akan merasa terhormat, akan tetapi juga tidak mungkin, menerima undangan dari seorang kaisar untuk menjadi tamu di istananya!

   "Lalu bagaimana?"

   "Menurut keterangan yang kami peroleh, Ang Siocia dan pemuda Kwee itu lolos malam-malam dari istana, entah mengapa tak seorang pun mengetahuinya, dan sebelum lolos dari kota raja, agaknya mereka telah mencuri dan menggondol beberapa ekor bebek panggang karena seorang pemilik rumah makan mengeluh kehilangan beberapa ekor bebek panggang pada malam hari itu. Entah benar Ang Siocia yang mengambilnya atau tidak, tak ada yang mengetahui dengan pasti....."

   "Ha-ha-ha-ha-ha! "

   Nam Tok tertawa bergelak-gelak dan dua orang itu saling pandang dengan heran dan khawatir.

   Biasanya Nam Tok bersikap angkuh dan bahkan dingin, akan tetapi sekali ini Datuk Besar itu tertawa bergelak dan nampak demikian gembira! "Ha-ha-ha siapa lagi kalau bukan Bwee-ji (anak Bwee) yang melakukan itu? Ha-ha-ha Siauw Bwee (Bwee Kecil) memang paling doyan bebek panggang! Ia telah berani mempermainkan kaisar pengecut itu. Ha-ha-ha, puaslah hatiku. Siauw Bwee, sekali ini engkau benar membikin gembira hati ayahmu, ha-ha-ha-ha-ha"

   Hek I Siang-mo merasa lega dan mereka pun ikut tertawa gembira.

   "Ang Siocia memang hebat, Lo-cian-pwe!"

   Kata Thian-te-mo memuji untuk menyenangkan hati Datuk Besar itu.

   "Kami juga mendengar bahwa Ang Siocia pergi ke kota Si-yang. Akan tetapi ketika kami menyusui ke sana, ia sudah tidak ada dan jejaknya menuju ke kota raja Yen-king, maka kami menyusul ke Yen-king."

   Kini Im-yang-mo yang bertubuh tinggi kurus dan wajahnya selalu cemberut itu melapor.

   "Ehhh? Ke Si-yang? Mau apa ia ke sana?"

   Nam Tok mengerutkan alisnya mendengar puterinya pergi ke Si-yang, karena di kota itulah tempat tinggal Tung Kiam, datuk besar timur yang menjadi saingannya. Tiba-tiba dia bertepuk tangan, keras sekali sehingga terdengar seperti ledakan. Terbirit-birit sepuluh orang pelayannya berdatangan, berlari-lari karena biasanya, majikan mereka itu kalau memerlukan sesuatu dan memanggil mereka, bertepuk tangan walaupun tidak sekeras itu. Akan tetapi ketika mereka bermunculan di pintu, Nam Tok memberi isyarat dengan tangan agar mereka pergi lagi. Mereka pun pergi sambil menggerakkan pundak dan tidak berani bertanya apa pun.

   "Ah, aku tahu sekarang! Tentu monyet cerdik itu membawanya kepada Tung Kiam! Keahliannya dalam pengobatan tusuk jarum mungkin saja dapat menyembuhkan akibat pukulanku. Akan tetapi bagaimana mungkin Tung Kiam sudi mengobati dia? Hemmm, agaknya tidak ada yang tidak mungkin bagi anak monyet yang cerdik itu, ha-ha-ha!"

   Dia tertawa lagi, tidak menyadari bahwa dengan memaki Siang Bwee dengan sebutan "anak monyet"

   Sama saja halnya dengan memaki dirinya sendiri sebagai "monyet"!

   Kembali Nam Tok bertepuk tangan, kini tepuk tangan biasa, dua kali dan seorang pelayan wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun, datang menghadap karena isyarat tepuk tangan itu berarti memanggil dirinya. Wanita itu merupakan orang kepercayaan Nam Tok, bahkan ialah yang mengurus dan menyimpan harta benda datuk besar itu. Namanya Su Leng Ci dan di antara sepuluh orang pelayan itu, ia memiliki ilmu silat yang paling tinggi.

   "Leng Ci, ambilkan dua ratus tail perak dan berikan kepada mereka ini masing-masing seratus tail."

   Kata Nam Tok.

   Wanita itu mengangguk dan pergi. Tak lama kemudian diserahkannya sebuah kantong kain kuning terisi seratus tail perak kepada masing-masing dan Hek I Siangmo yang menerimanya dengan girang. Bagi kedua orang manusia iblis ini, jumlah uang itu tidak begitu penting. Kalau mereka menghendaki, setiap waktu mereka akan mampu mencuri atau merampok uang sebanyak itu. Akan tetapi yang membuat mereka gembira adalah karena hadiah itu pemberian Nam Tok, dan hal ini saja sudah merupakan suatu penghormatan bagi mereka.

   Mereka tahu bahwa Datuk Besar itu sedang bergembira karena tadi mendengar akan cerita mereka tentang diri Ang Siang Bwee. Setelah menghaturkan terima kasih, Thian-te-mo dalam usahanya menyenangkan datuk itu lalu berkata.

   "Lo-cian pwe, ada sebuah kabar penting lagi yang saya kira akan menarik hati Lo-cian pwe."

   "Thian-te-mo, ada kabar apa lagi. Kalian sudah berjasa besar, membawa kabar menjengkelkan tentang Kaisar Wai Wang yang pengecut dan kabar menggembirakan tentang Siang Bwee yang cerdik dan berani. Kabar apalagi yang akan menarik hatiku? Ceritakanlah."

   "Dalam perjalanan kami ke utara mencari jejak Ang Siocia, kami melihat seorang Han dalam keadaan luka parah hendak dibunuh tiga orang Mongol yang lihai. Tentu saja kami segera turun tangan. Kami membunuh tiga orang Mongol ini Ternyata orang Han itu adalah seorang mata-mata Kerajaan Cin yang berhasil menyusup ke dalam masyarakat Mongol dan tinggal sampai bertahun-tahun di sana. Dan luka-lukanya amat parah, nyawanya tidak tertolong. Dari dialah, sebelum dia mati, kami mendengar berita aneh itu."

   "Berita aneh apa? Katakanlah cepat, aku tidak tertarik tentang riwayat mata-mata yang sudah mampus itu."

   "Berita tentang adanya sebuah pedang pusaka yang disebut Pedang Asmara atau Pedang Baja Dewa Hijau....."

   "Ahhh? Benarkah itu? Aku pernah mendengar tentang Baja Dewa Hijau, akan tetapi belum pernah mendengar tentang Pedang Asmara!"

   Melihat Datuk Besar itu terlarik sekali, dua orang itu semakin bangga.

   "Pedang Asmara itu tadinya milik Jenghis Khan!"

   Kata Im-yang-mo dan mendengar ini, turunlah semangat Nam Tok.

   "Ah, begitukah?"

   Tentu saja semangatnya turun karena kalau pedang pusaka itu dimiliki raja bangsa Mongol itu, bagaimana mungkin dia akan dapat melihatnya, apalagi merampasnya? Dia mendengar bahwa Baja Dewa Hijau adalah semacam baja yang ampuh dan kalau dibuat pedang, tentu menghasilkan sebuah pedang pusaka yang luar biasa. Kalau dia memiliki pedang seperti itu, tentu hal ini akan memperkuat kedudukannya dalam persaingannya dengan para datuk besar lainnya.

   Melihat sikap Datuk Besar Racun Selatan itu kecewa Thian-te-mo segera menyambung keterangan adiknya.

   "Akan tetapi, pedang pusaka itu oleh Jenghis Khan telah diberikan kepada seorang pendekar yang kini bekerja di kota raja Yen-king. Namanya Yeliu Cutay. Itulah yang kami dengar dari mata-mata ini sebelum dia menghembuskan napas terakhir, dan dia menceritakan hal itu kepada kami sebagai tanda terima kasih bahwa kami telah menolongnya."

   Benar saja. Kegembiraan Nam Tok bangkit kembali. Dia mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk.

   "Yeliu Cutay di Yen-king? Hemmm, aku tertarik sekali. Hek I Siang-mo, sekarang kalian harus segera pergi lagi dan selidiki, cari anakku Siang Bwee sampai dapat. Sebelum bertemu dengannya, jangan kalian kembali ke sini. Aku sendiri akan ke Yen-king melihat-lihat keadaan setelah kaisarnya begitu merendahkan diri kepala orang Mongol. Kalian sudah kuterima sebagai pembantu-pembantuku yang baik, maka perlu kalian ketahui bahwa kurang lebih setahun lagi, pada bulan purnama dari bulan ke sepuluh. Empat Datuk Besar akan mengadakan pertemuan dan pertandingan tiga tahun sekali. Aku minta agar pada waktu itu kalian ikut hadir memperkuat pihakku. Pertemuan itu diadakan di puncak Kabut Putih Pegunungan Thay-san."

   Kedua orang tokoh sesat itu merasa gembira bukan main. Mereka sudah pernah mendengar akan pertemuan Empat Datuk Besar itu, dan tidak sembarang orang kang-ouw berani memperlihatkan diri pada saat itu. Hanya mereka yang dipilih oleh keempat datuk itulah yang akan hadir. Dan kini mereka dipilih Nam Tok untuk memperkuat pihaknya. Betapa menggembirakan. Suatu kehormatan besar dan peristiwa itu sekaligus akan mengangkat nama mereka tinggi-tinggi.

   "Baik, Lo-cian-pwe. Mudah-mudahan sebelum waktu itu kami sudah akan dapat menemukan Ang Siocia."

   Kata Thian-te-mo.

   "Siang Bwee juga sudah pasti akan hadir di waktu itu. Kalau aku tidak mendapatkan orang lain yang menjadi wakil ku, anakku itulah yang akan maju sebagai muridku. Nah, kalian boleh berangkat sekarang juga."

   Akan tetapi ketika dua orang itu hendak pergi, Nam Tok memanggil mereka kembali.

   "Sebagai orang orangku kalian perlu menerima satu dua macam jurus pukulan dariku, agar kalian pelajari dengan baik."

   Tentu saja mereka berdua girang bukan main dan sehari itu mereka tekun mempelajari ilmu pukulan Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam), semacam ilmu, pukulan beracun yang disesuaikan dengan julukan mereka. Thian-te-mo sendiri sudah memiliki ilmu pukulan yang disebut Hek hiat-ciang, namun dibandingkan Hek-tok-ciang, ilmunya itu masih kalah jauh. Kalau mereka mengerahkan tenaga dalam menggunakan Hek-tok-ciang ini, kedua tangan mereka berubah hitam sampai di pergelangan tangan, penuh dengan hawa beracun yang akan dapat menewaskan musuh dengan satu kali pukul!

   Setelah mengetahui rahasia pukulan itu dan cara melatihnya, dua orang itu lalu menghaturkan terima kasih dan meninggalkan lereng Pegunungan Nam-leng. Dalam perjalanan ini keduanya melatih Hek-tok-ciang dan karena mereka memang sudah memiliki landasan kuat dalam ilmu pukulan beracun, maka sebentar saja mereka sudah dapat menguasainya lengan baik. Nam Tok sendiri segera meninggalkan rumah tak lama setelah dua orang pembantunya itu pergi. Dia mengenakan pakaian "kebesarannya", yaitu pakaian dari sutera putih bersih, sabuk emas jubah merah dan memegang tongkat setinggi pundak yang kedua ujungnya berlapis emas dan kepala tongkat berbentuk kepala naga. Buntalan kain kuning berisi bekal pakaian dan emas tergantung di punggungnya.

   Dia nampak gagah perkasa dan penuh wibawa ketika melangkah menuruni lereng Gunung Nam-leng-san. Setelah menikmati pemandangan alam dari lereng itu sambil melangkah perlahan, akhirnya dia menggunakan ilmu berlari cepat dan tubuhnya berkelebat seperti terbang saja menuruni lereng itu.

   "Kita ke mana, Bwee-moi?"

   San Hong bertanya ketika gadis itu mengajaknya melakukan perjalanan ke utara.

   "Sudah kukatakan, mencari Pak Ong di utara." "Tapi, bukankah pasukan Mongol datang dari utara?"

   Siang Bwee berhenti melangkah, memandang kepada pemuda itu dan bertolak pinggang.

   "Aih, Hong-koko, apakah mendadak engkau menjadi penakut dan gentar menghadapi orang Mongol?"

   "Bukan begitu, Bwee-moi yang manis...."

   "Aduh, merayu lagi!"

   "Bukan merayu. Engkau kalau bertolak pinggang dan terbelalak seperti itu memang manisnya melebihi madu."

   "Ihhh! Memangnya aku kausamakan dengan minuman, ya? Sudahlah, hentikan rayuanmu dan katakan mengapa engkau menghubungkan kepergian kita mencari Pak Ong di utara dengan pasukan Mongol."

   "Begini, Bwee-moi. Engkau pernah menceritakan kepadaku tentang sifat dan watak Empat Datuk Besar, termasuk ayahmu. Dan mengenai kepahlawanan, engkau mengatakan bahwa ayahmu dan Pak Ong adalah orangorang yang mencinta tanah air dan setia kepada kerajaan. Sebaliknya, See Mo dan Tung Kiam lebih mengutamakan keuntungan pribadi dan tidak segan membantu pihak asing asalkan mereka mendapatkan keuntungan. Engkau pernah bercerita betapa ayahmu pernah membasmi bajak laut di laut selatan, sedangkan Pak Ong pernah pula membantu pemerintah menghalangi gerombolan orang Liao-tung yang mengacau ke sebelah dalam Tembok Besar. Dan engkau bercerita pula bahwa Tung Kiam pernah membantu orang-orang Jepang yang mengacau di sepanjang pantai timur, sedangkan See Mo pernah pula membantu pemberontakan orang Tibet."

   Ang Siang Bwee adalah seorang gadis yang luar biasa cerdiknya. Ia sudah tahu apa yang dimaksudkan pemuda yang dikasihinya itu, akan tetapi ia hendak menguji sampai di mana jalan pikiran pemuda yang gagah perkasa, jujur polos dan karenanya agak bodoh itu.

   "Apa hubungannya hal itu dengan pencarian kita ke utara untuk bertemu dengan Pak Ong?"

   "Bwee-moi, bagaimana sih engkau ini? Kalau Pak Ong memang membenci penyerbu asing dan setia kepada Kerajaan Cin, tentu dia terpaksa harus mengungsi ke selatan, tidak mau lagi tinggal di utara karena dia kalau tidak mau tunduk kepada orang-orang Mongol, tentu dimusuhi dan betapapun saktinya, menghadapi gelombang orang Mongol yang ratusan ribu orang banyaknya, dia tidak akan mampu berbuat banyak."

   Berseri wajah Siang Bwee dan mengacungkan ibu jari tangan kanan ke atas.

   "Engkau jempol, Koko, engkau hebat dan cerdik sekali!"

   Wajah pemuda itu berubah kemerahan. Dia tahu bahwa dalam hal penggunaan akal, dia kalah jauh dibandingkan gadis itu, maka pujian itu dirasakannya seperti sindiran.

   "Wah, Bwee-moi, sekarang engkau yang merayuku! Ataukah engkau mengejekku?"

   "Sama sekali tidak, Koko Memang sekali ini jalan pikiranmu tepat sekali. Akan tetapi, apa kaukira aku akan menyeberang ke luar Tembok Besar untuk mencari Pak Ong? Tidak, Hong-ko. Aku sudah menduga bahwa Pak Ong tentu menjauhi orang Mongol dan mendekati kota raja. Akan tetapi seperti juga ayahku, dia tidak sudi menghambakan diri kepada raja manapun juga dan kalau dia menentang orang asing yang mengacau, hal itu dilakukan demi tanah air, bukan demi raja. Maka, tentu dia tidak mau nggal di kota raja dan tinggal di dekat-dekat kota raja, di suatu tempat, mungkin di sebelah utara kota raja."

   "Kenapa di sebelah utara?"

   "Hong-koko, itu mudah sekali diduga, apakah engkau tidak dapat menduganya?"

   San Hong menggeleng kepalanya, gadis itu dengan bangga lalu berkata "Hong-koko, kalau orang sedang pergi mengungsi, tentu dia tergesa-gesa dalam memilih tempat.

   Yang paling baik cepat ditemukannya, tentu di situ dipilhnya. Pak Ong sedang melarikan diri dari orang-orang Mongol, dan dia tidak mau tinggal di kota raja. Tidak mungkin kalau dia mengungsi sampai melewati kota raja, tentu dia memilih tempat di sebelah utara kota raja. Dan kalau benar dia mengungsi menuju ke selatan, bukan ke barat, sangat boleh jadi dia memilih tempat di sebelah timur laut dari kota raja Yen-king."

   "Kenapa pula sebelah timur?"

   San Hong memandang kagum, sukar baginya mengikuti jalan pikiran Siang Bwee yang berliku-liku dan cermat itu.

   "Karena di sebelah timur yang paling aman dan sedikit kemungkinan dilanda pasukan Mongol kalau mereka menyerang ke selatan."

   "Hemmm, jadi kalau begitu kita sekarang pergi ke sebelah timur laut kota raja?"

   "Hi-hi-hik, engkau cerdik, Hong-koko!"

   "Apanya yang cerdik. Engkau sudah membeberkan dengan jelas sekali."

   "Ssttt, ada dua orang penunggang kuda lewat!"

   Kata Siang Bwee sambil memandang ke belakang. Ketika San Hong memandang, benar saja dia melihat dua orang penunggang kuda datang dari arah timur menuju ke jalan perempatan itu.

   Melihat cara mereka menunggang kuda, tegak dan lentur, dan betapa dua ekor kuda itu membalap dengan cepat mudah diketahui bahwa mereka adalah orangorang yang ahli dalam hal menunggang kuda. Ketika mereka datang agak dekat, San Hong dapat melihat bahwa mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis. Si pemuda nampak tampan dan gagah, berpakaian ringkas seperti seorang pendekar, apalagi karena ada gagang sebatang pedang tersembul di belakang pundaknya.Sedangkan gadis itu berpakaian mewah seperti puteri hartawan dengan pakaian terbuat dari sutera hitam, sabuknya emas yang lebar dan besar, tentu mahal sekali harganya, dan di punggungnya tergantung sebatang golok dengan sarung berukir indah. Ketika dua orang penunggang kuda itu lewat San Hong melihat betapa Siang Bwee membalikkan tubuh menyembunyikan mukanya.

   San Hong tidak mengenal dua orang muda itu dan dia melihat betapa gadis itu memandang ke arah Siang Bwee bahkan ketika kudanya lewat, ia masih terus menoleh. Akan tetapi, dua ekor kuda itu terus kabur, meninggalkan debu tebal.

   "Uhhh, menimbulkan debu kotor saja""

   Kata San Hong sambil mengebut ngebut-kan bajunya.

   "Bwee-moi, kenapa engkau tadi menyembunyikan muka ketika mereka lewat?"

   "Aku mengenal gadis itu! Kalau ada ia, mungkin usahamu mendekati Pak Ong dapat gagal!"

   Siang Bwee mengeluh.

   "Entah siapa pemuda itu, belum pernah aku melihatnya."

   "Siapakah gadis berpakaian hitam tadi?"

   "Itulah gadis yang pernah kusebut, ia puteri Pak Ong, bernama Ji Kui Lan. Ih, ia jahat dan kejam seperti iblis betina."

   La mengebutkan bajunya yang berdebu.

   "Untung ia tidak mengenalku dan membalapkan terus. Kiranya tidak salah dugaanku. Pak Ong tentu tinggal di timur sana. Mari kita pergi."

   Akan tetapi baru seratus langkah mereka berjalan, terdengar bunyi derap kaki kuda dari belakang.

   "Mereka lagi...!"

   Kata San Hong yang menengok.

   "Biarkan mereka lewat, jangan menengok, berjalan biasa saja."

   Kata Siang Bwee. Diam-diam San Hong merasa heran mengapa kekasihnya yang biasanya berani itu kini kelihatan sungkan untuk bertemu dengan puteri Pak Ong itu.

   Demikian lihaikah puteri Pak Ong itu, pikirnya. Pikiran pemuda ini terlalu jujur dan sederhana sehingga dia tidak dapat menduga bahwa kekasihnya yang hendak menemui Pak Ong itu tidak ingin ketahuan puteri Pak Ong karena khawatir akan gagal usahanya, bukan karena takut kepada gadis berpakaian hitam itu. Dua orang penunggang kuda lewat pula dari belakang mereka,akan tetapi, baru kurang lebih lima belas meter, keduanya menahan kuda masing-masing, berhenti, memutar kuda dan menghadapi Siang Bwee dan San Hong!

   Gadis berpakaian hitam itu memajukan kudanya, memandang kepada Siang Bwee sambil tersenyum mengejek.

   "Hem, tidak keliru penglihatanku tadi. Biarpun engkau berusaha menyembunyikan mukamu, aku tetap mengenalmu, Ang Siang Bwee. Kaukira dapat mengelabui mataku? Engkau takut melihat aku, bukan? Hi-hi-hik!"

   Sepasang mata Siang Bwee bersinar sinar penuh kecerdikan dan tiba-tiba iapun tertawa.

   "Ha ha-heh heh heh, Ji Kui Lan, kuda betina yang sombong! Bukan aku yang takut, melainkan Pak Ong dan engkau sendiri yang ketakutan, lari terbirit-birit menjauhi pasukan Mongol, bukan? Nah, mukamu berubah kemerahan! karena malu. Tentu Pak Ong sudah malu bertemu orang, maka bersembunyi saja. Aku berani bertaruh bahwa engkau pun tidak berani mengaku di mana ayahmu yang gagah itu sekarang bersembunyi. Hi-hi-hik, aku mempunyai bahan bagus untuk diceritakan di puncak Kabut Putih di Thai-san kelak. Tentu para datuk lainnya akan kaku perutnya karena geli mendengar betapa raja datuk utara Pak Ong bersembunyi dan tidak berani mengaku di mana dia bersembunyi!"

   
Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ucapan itu lancar bagaikan air bah, atau bagaikan ribuan batang anak panah menyerang Ji Kui Lan yang menjadi marah bukan main. Ia marah karena dugaan Siang Bwee itu ada benarnya, yaitu bahwa ayahnya menyingkir dari utara untuk menghindarkan diri dari pasukan Mongol, bukan karena takut melainkan tidak mau tunduk kepada orang Mongol. Siapapun orangnya, seorang diri saja, mana mungkin melawan paaukan Mongol yang puluhan bahkan ratuaan ribu orang banyaknya itu?

   "Ang Siang Bwee, tutup mulutmu yang lancang! Siapa bilang ayahku takut?"

   "Kalau tidak takut, kenapa lari mengungsi dan bersembunyi?"

   Tantang Slang Bwee.

   "Ayahku tidak lari, tidak bersembunyi Ayahku hanya berpindah dan kini tinggal di kota Shu-nyi. Siang Bwee, engkau telah menghinaku, hayo cabut senjata dan kita selesaikan melalui adu kepandaian! Ingin aku melihat apakah tongkat pemukul anjing yang kau mainkan masih sama seperti dulu!"

   Diam-diam Siang Bwee girang karena muslihatnya berhasil baik! Kui Lan sudah memberi tahu kepadanya di mana adanya Pak Ong! Itulah yang dicarinya dan Itu pula yang dipancingnya ketika ia sengaja memanaskan hati Kui Lan dengan ejekan ejekannya. Kini, menghadapi tantangan Kui Lan, ia pun tersenyum manis.

   "Kui Lan yang genit! Waktunya masih sepuluh bulan lagi bagi kita untuk saling mencoba kepandaian. Pada waktu itulah aku ingin sekali melihat apakah golokmu pemotong leher ayam itu masih tetap tumpul seperti dulu."

   Ingat perjanjian antara Empat Datuk melarang murid murid mereka saling serang sebelum waktu yang ditentukan. Lebih baik kita bicara yang baik, seperti kenalan lama. Eh, benar, perkenalkan ini adalah Kwee San Hong!"

   Siang Bwee sengaja memperkenalkan nama San Hong karena kelak ia mengharapkan San Hong mewakili ayahnya, maka jauh hari sebelumnya perlu diperkenalkan.

   "Dan siapakah temanmu itu, Kui Lan? Perkenalkan kepada kami, ataukah engkau hendak merahasiakannya untuk kepentinganmu sendiri?"

   Menghadapi Siang Bwee yang pandai bicara, Kui Lan merasa kalah kalau harus berdebat atau saling mengejek. Siang Bwee pandai sekali memancing kemarahan orang. Karena mendongkol, Kui Lan hendak memamerkan diri Tiong Sin.

   "Ini suhengku bernama Bu Tiong Sin....."

   "Wah, suhengmu? Heran kenapa belum pernah aku bertemu dengan dia? Suhengmu bernama Bu Tiong Sin? Dia ganteng dan tampan!"

   Kata Siang Bwee yang sudah mengatur siasat lagi dalam kepalanya yang tidak besar namun terisi otak yang pintar itu. Tentu saja ia teringat akan nama itu, nama yang diberikan oleh panglima Yeliu Cutay! Inikah anak angkat dan murid yang murtad dan yang melarikan Pedang Asmara itu? Diam diam ketika memandang kepada Tiong Sin, ia melirik ke arah gagang pedang di punggung pemuda itu dan sengaja mengeluarkan pujian itu. San Hong yang jujur tidak ingat akan hal itu dan tidak menghubungkan nama ini dengan nama murid murtad Yeliu Cutay yang sudah berpesan kepadanya agar merampas kembali Pedang Asmara, bahkan panglima itu telah memberikan pedang itu kepadanya!

   Melihat betapa Siang Bwee memandang dengan sinar mata kagum, dengan senyum memikat, hati Kui Lan sudah dipenuhi cemburu! Ia tahu bahwa Siang Bwee adalah seorang gadis yang cantik jelita dan manis sekali, dan ketika mengerling, ia melihat betapa pandang mata Tiong Sin juga sudah membayangkan bahwa suhengnya itu terpesona! Maka cepat ia berkata dengan suara mengandung kebanggaan.

   "Dia ini suhengku, juga tunanganku!"

   "Aiiihhh, kiranya begitukah? Akan tetapi, Kwee San Hong ini pun bukan orang lain, dia adalah tunanganku pula. Nah, dia lebih gagah, lebih ganteng dan tampan, bukan? Dia lebih jantan, tubuhnya lebih perkasa, kokoh, kuat, jauh lebih menang dibandingkan tunanganmu yang kerempeng!"

   Hebat bukan main kepandaian Siang Bwee dalam bicara, selalu saja ia menyerang dan mudah memanaskan hati orang, bukan sembarangan saja melainkan penuh perhitungan karena selagi bicara, otaknya bekerja dan ia sudah mengatur jaringan perangkap halus seperti seekor laba-laba memuat sarang perangkap! Bu Tiong Sin sendiri menjadi merah mukanya ketika dia dibandingkan dengan pemuda yang kelihatan sederhana dan canggung itu, apalagi dia dikalahkan. Padahal, Tiong Sin adalah seorang pemuda yang teramat tinggi menghargai diri sendiri, angkuh dan jumawa, merasa

   diri sebagai orang paling pandai, paling tampan dan paling segala-galanya. Masa dia kalah oleh pemuda yang kelihatan dusun dan canggung itu?

   "Ha-ha-ha, nona yang baik. Ingin aku belajar kenal dengan tunanganmu itu. Bagaimana kalau dia dan aku mengadu pukulan dan tendangan untuk menentukan siapa yang lebih kuat dan lebih jantan?"

   Mendengar ini, San Hong cepat menggoyangkan tangannya menolak.

   "Aku tidak mau berkelahi! Mengapa harus berkelahi tanpa sebab? Sobat, di antara kita tidak pernah ada permusuhan, tidak ada alasan bagi kita untuk saling pukul dan saling tendang."

   Melihat pemuda tinggi besar itu menolak, mendatangkan kesan seolah-olah dia takut berkelahi, Ji Kui Lan tertawa "Hi-hi-hik, dia sudah pucat! Siang Bwee memang baik sekali kalau kita mengadu tunangan kita masing-masing! Biarpun Suheng murid ayah sehingga tidak boleh berkelahi denganmu sebelum saatnya tiba, akan tetapi tunanganmu itu bukan murid ayahmu, maka boleh saja suheng Bu Tiong Sin berkelahi dengan dia! Suheng, kauhajar pemuda tolol ini, ha-ha-ha!"

   "Dengan senang hati, Sumoi! "

   Kata Tiong Sin dan dia pun meloncat turun dari atas kuda dan untuk memamerkan kepandaiannya, dia sengaja melompat tinggi dan ketika turun dia membuat salto sampai tiga kali dengan gaya yang indah seorang ahli gin-kang.

   "Aku tidak mau berkelahi!"

   Kata pula San Hong karena dia tidak melihat alasan apa pun untuk berkelahi dan melayani muda sombong itu.

   "Hong-ko, ingat. Dia bernama Bu Tiong Sin dan engkau bernama Kwee San Hong! Cabut pedangmu dan lawanlah dia, Hong-ko, demi kehormatanku yang sudah dihina oleh si kuda betina Ji Kui Lan itu!"

   Kini baru San Hong teringat. Bu Tiong Sin atau Yeliu Tiong Sin! Murid yang murtad dan, membawa lari pedang pusaka milik Yeliu Cutay, Pedang Asmara! Sekarang mengertilah dia. Siang Bwee sengaja menyuruh dia melayani Tiong Sin, bukan mengadu pukulan dan tendangan saja melainkan mengadu senjata, tentu dengan maksud agar Tiong Sin mencabut pedangnya dan agaknya kekasihnya itu hendak melihat apakah benar yang dipegang pemuda pesolek itu pedang pusaka yang dilarikannya dari Yeliu Cutay!

   "Baiklah kalau begitu,"

   Katanya dan dia pun melangkah maju menghampiri Bu Tiong Sin dan berkata.

   "Sobat, mari kita, main-main sebentar dengan pedang!"

   Dia lalu meraba gagang pedangnya dan mengeluarkan Pek-lui-kiam perlahan-lahan Pedang itu mengeluarkan sinar kilat yang menyilaukan mata.

   "Jangan, sebentar, Hong-koko. Biarkan dia mengeluarkan seluruh jurusnya agar aku dapat melihatnya, hitung-hitung untuk kau berlatih. Dan jangan sampai melukai dia, Koko!"

   Dalam ucapan ini tentu terkandung sesuatu, pikir San Hong.

   Baik, dia akan mempertahankan sedapatnya agar pertandingan itu berlangsung cukup lama, apa pun yang dimaksudkan kekasihnya itu. Tadinya Tiong Sin dan Kui Lan memandang rendah kepada pemuda tinggi besar yang nampak canggung itu, karena pemuda ini menyembunyikan pedangnya di balik jubah yang longgar dan panjang. Akan tetapi setelah pedang Pek-lui-kiam dicabut, mereka terkejut dan mengenal sebatang pedang yang baik.

   Khawatir kalau suhengnya memandang rendah, Kui Lan cepat berseru.

   "Suheng, hadapi pemuda tolol itu dan hajar dia dengan pedangmu!"

   Tiong Sin masih memandang rendah lawan, akan tetapi dia pun berhati-hati melihat pedang lawan yang jelas bukan pedang biasa itu. Maka dia pun cepat mencabut Pedang Asmara dari punggungnya.

   "Singgg.....!"

   Nampak sinar hijau ketika pedang itu dicabut dan diam-diam Siang Bwee girang bukan main. Ia belum pernah melihat Pedang Asmara akan tetapi ayahnya pernah bicara dengannya tentang Baja Dewa Hijau. Juga Yeliu Cutay pernah membicarakan Pedang Asmara dan menggambarkan ciri-cirinya. Tidak salah lagi, itulah Pedang Asmara dan inilah pemuda yang pernah menjadi anak angkat dan murid yang murtad dari Yeliu Cutay! Begitu mencabut Pedang Asmara, dengan lagak sombong Tiong Sin berkata kepada San Hong,

   "Sobat, kalau sampai lehermu terbabat buntung oleh pedang pusakaku, jangan salahkan aku. Tadinya aku hanya hendak menghajarmu babak belur dengan pukulan, akan tetapi engkau memilih dibacok pedang. Salahmu sendiri. Sambut seranganku!"

   Dia membentak dan sinar hijau menyambar ketika Pedang Asmara digerakkan untuk menyerang dengan tusukan ke arah mata San Hong. San Hong mengelak dengan merendahkan tubuhnya dan dari bawah, pedangnya meluncur untuk membalas dengan tusukan ke arah perut.

   "Hemmm.....!"

   Tiong Sin meloncat ke belakang dan maklum bahwa lawannya memiliki kepandaian yang tidak boleh dipandang ringan. Baru serangan balasannya tadi saja sudah demikian berbahaya baginya. Dia pun kini memutar pedangnya dan memainkan ilmu pedang yang oleh gurunya dinamakan Swat-hwa-kiam-sut (Ilmu Pedang Bunga Salju), diambil dari ilmu golok Swat-sin-to (Golok Sakti Salju). Dan gaya permainan pedangnya selain aneh dan juga dahsyat, yang lucu adalah goyang pinggulnya karena didasari ilmu Hek-ma Sin-kun (Silat Sakti Kuda Hitam), gerakan kaki dan pinggul yang khas dari ilmu silat Pak Ong yang meniru gaya kuda!

   "Hi-hi-hik!"

   Siang Bwee tertawa-tawa melihat goyang pinggul ini, mengingatkan ia akan goyang pinggul Kui Lan.

   "Hong-ko, hajar pinggul kudanya itu! Ha-ha-ha, ada kuda betina, kini ada kuda jantannya. Lucu!"

   Biarpun ia tertawa dan mengejek, namun pandang matanya tak pernah berkedip. Yang diperhatikan bukan permainan silat pedang Tiong Sin, melainkan pedangnya! Sejak tadi ia memperhatikan pedang itu dan mencatat dalam ingatannya, segala hal mengenai pedang itu. Bentuknya, warnanya, bukan hanya bentuk pedangnya, melainkan juga bentuk gagangnya, bahkan sarung yang tergantung di punggung pemuda itu.

   Menghadapi permainan pedang lawan, diam-diam San Hong terkejut. Kiranya pemuda tampan itu bukan hanya sombong dan membual belaka. Memang ilmu pedangnya hebat! Dan dia pun belum yakin apakah pedang di tangan pemuda itu benar Pedang Asmara yang ampuh dan yang oleh Yeliu Cutay diberikan kepadanya. Maka ketika sinar hijau menyambar ganas dari atas, dia mengerahkan tenaga dan menangkis dengan Pek-lui-kiam.

   "Tranggggg.....!!"

   Sinar bunga api berpijar ketika kedua pedang bertemu. Masing-masing terkejut ketika lengan kanan mereka menggetar hebat, dan sambil meloncat ke belakang mereka menarik diri dan memeriksa pedang masing-masing! Tidak patah pedang mereka itu, akan; tetapi diam-diam San Hong khawatir ketika melihat bahwa mata pedangnya rusak sedikit, tanda bahwa pedangnya itu bagaimanapun masih kalah ampuh dan kalah kuat dibandingkan pedang lawan, Dan ini merupakan jaminan bahwa yang dipegang pemuda itu adalah Pedang Asmara yang tulen! Sebelum mereka bertanding lagi, Siang Bwee meloncat ke depan.

   "Sudah cukup! Masing-masing telah memperlihatkan kehebatan dan ternyata biarpun tunanganmu itu kerempeng, dia boleh juga, Kui Lan. Pertandingan ini tidak boleh dilanjutkan!"

   "Huh, kenapa tidak boleh? Biar tunanganku membunuh tunanganmu yang dusun dan tolol itu! Dia bukan murid ayahmu!"

   "Heiiit-heiiittt, tunggu dulu, nona genit. Biar bukan murid, namun Hong-ko ini calon mantunya, dan mungkin sekali Hong-koko ini yang kelak mewakilinya untuk mengadu ilmu dengan para murid datuk-datuk lainnya. Maka, cukup sampai di sini saja. Tentu engkau penasaran dan akan pergi mengadu kepada ayahmu seperti seorang anak cengeng, bukan? Silakan kalau hendak mengadu kepada ayahmu!"

   Kui Lan demikian marahnya sehingga ia menarik kendali kudanya. Kuda itu terkejut dan mengangkat kedua kaki depan ke atas. Kalau bukan Kui Lan, mungkin penunggangnya akan terlempar jatuh dari atas punggung kuda. Namun, Kui Lan menjepit perut kuda dengan kedua kakinya dan menepuk leher kuda itu. Kuda itu menurunkan lagi kedua kaki depan dan mengeluarkan ringkik marah.

   "Budak cilik Ang Siang Bwee! Kalau tidak mengingat perjanjian, tentu saat ini engkau sudah kucincang dengan golokku! Mulutmu jahat sekali. Aku tidak akan melapor kepada ayah. Huh, kau kira aku takut kepadamu dan kepada tunanganmu yang tolol itu? Lihat saja dalam pertemuan nanti, kalian akan mampus di tanganku. Hayo, Suheng, jangan layani lagi dua bocah gila ini!"

   Dengan marah Kui Lan mencambuk kudanya yang kabur dengan cepat. Tiong Sin juga menyimpan pedangnya, meloncat ke atas punggung kudanya dan mengejar sumoinya yang marah-marah. Namun dia menengok dua kali karena Siang Bwee yang cantik manis itu sungguh telah menarik hatinya yang mata keranjang. Setelah bayangan, kedua orang penunggang kuda itu lenyap, baru Siang Bwee menghentikan tawanya. San Hong menyimpan pedangnya setelah memeriksa bagian yang sedikit retak ujungnya karena bertemu dengan Pedang Asmara tadi.

   "Dia adalah murid panglima Yeliu Cutay itu, dengan Pedang Asmaranya."

   Katanya. Siang Bwee memandang kepadanya.

   "Tentu saja, Hong-ko. Begitu mendengar namanya, aku sudah tahu bahwa dialah murid murtad itu. Karena itu maka aku sengaja menyuruh engkau menandinginya dengan pedang.

   Sekarang aku sudah melihat Pedang Asmara, dan sudah kucatat bentuk dan warnanya, juga ciri-cirinya."

   "Untuk apa, Bwee-moi?"

   "Ya untuk diingat, siapa tahu ada gunanya kelak. Eh, bagaimana dengan ilmu pedangnya tadi?"

   San Hong menarik napas panjang.

   "Kalau murid para datuk lain seperti itu, sungguh merupakan lawan berat, Bwee-moi. Ilmu pedangnya aneh dan hebat."

   "Karena itulah maka engkau harus dapat mempelajari semua ilmu simpanan mereka, seperti yang telah kaupelajari dari Tung Kiam. Juga ilmu tongkat Hwe-liong Jio-cu dan pukulan Hek-in-pay-san dari ayah sebaiknya engkau latih lagi dan kalau masih ada kesulitan, kautanyakan kepadaku. Engkau sudah menguasai jurus jurus simpanan dari ayahku. Nam Tok dan dari Tung Kiam, tinggal mempelajari ilmu simpanan Pak Ong dan See Mo. Mari kita cari Pak Ong di kota Shu-nyi, akan tetapi engkau harus selalu taat kepadaku dan jangan membantah, Hong-ko. Kalau engkau membantah, engkau hanya akan menggagalkan rencana siasatku saja. Berjanji, ya?"

   San Hong memegang lengan gadis itu dan menariknya, lalu dirangkulnya gadis itu.

   "Apakah aku pernah mengecewakanmu, Bwee-moi?"

   Sejenak lamanya Siang Bwee membiarkan kepalanya bersandar di dada yang bidang itu sambil memejamkan kedua matanya. Demikian nyaman dan penuh damai, aman sentosa rasanya kalau ia berada dalam pelukan kekasihnya. Akan tetapi ia segera membuka matanya, mendorong dagu San Hong yang makin mendekati mulutnya itu sambil tersenyum.

   "Sudah, bukan waktunya untuk bermesraan. Pekerjaan kita masih banyak. Hayo kita berangkat, Koko. Sekali lagi, jangan bicara sembarangan di depan Pak Ong. Dia manusia iblis yang aneh dan berbahaya. Biarkan aku saja yang bicara."

   Mereka lalu melanjutkan perjalanan, menuju ke timur, ke kota Shu-nyi dan bagi Siang Bwee yang cerdik, tidak sukar untuk menemukan tempat tinggal Pak Ong di kota itu. Pak Ong atau Pak-ong Ji Hiat berada seorang diri di dalam rumah besar yang baru dibangun itu. Hanya seorang tukang kebun

   (Lanjut ke Jilid 24)

   Pedang Asmara (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 24

   dan seorang pelayan wanita tua yang tinggal bersamanya di rumah gedung itu. Kedua orang itu pun adalah anak buah tokoh-tokoh sesat yang dimintai bantuan mencarikan pelayan.

   Tentu saja sebagai seorang Datuk Besar di utara, semua tokoh di dunia kang-ouw, semua tokoh sesat tunduk kepadanya dan sebentar saja semua tokoh kang-ouw di daerah utara tahu belaka bahwa Pak Ong, Datuk Besar Utara itu kini tinggal di kota Shu-nyi. Berbondong-bondong mereka datang untuk menghaturkan selamat datang, dan mengalirlah hadiah-hadiah kepada datuk besar itu. Dan dua orang pelayan itu pun merupakan anah buah tokoh sesat di Shu-nyi, karena itu mereka adalah orang-orang yang dipercayai.

   Setelah melihat hubungan antara puterinya, Ji Kui Lan dan muridnya, Bu Tiong Sin, Pak Ong mengambil keputusan untuk menggembleng puteri dan murid itu agar kelak dapat diandalkan mewakilinya dan mengalahkan para murid datuk-datuk besar lainnya. Waktunya masih lama, masih ada sepuluh bulan. Maka, setelah menurunkan semua ilmunya kepada Tiong Sin, dia lalu menyuruh Tiong Sin dan Kui Lan pergi berkunjung ke Butai-san, dan membawa suratnya untuk disampaikan kepada Pek-mo Kui-bo (Biang Hantu Rambut Putih), yaitu sumoinya yang bertapa di puncak Gunung Butai-san yang terletak di perbatasan Propinsi Shan-si sebelah timur laut.

   Dalam suratnya Pak Ong meminta kepada sumoinya yang ahli racun itu untuk menurunkan beberapa ilmu pukulan beracun yang ampuh kepada puteri dan muridnya, karena seorang di antara Empat Datuk Besar, yaitu Nam Tok adalah seorang ahli racun yang harus diimbangi dengan ilmu beracun pula.

   Demikianlah, ketika puteri dan muridnya pergi, Pak Ong tinggal seorang diri dan dia pun tekun memperdalam dua ilmunya yang diperbarui, yaitu ilmu menotok jalan darah Toat-beng Tiam-hoat (Ilmu Totok Pencabut Nyawa) dan Ilmu Golok Swat Sin-to (Golok Sakti Salju). Mengenai ilmunya Hek-ma Sin-kun sudah sejak lama dikenal oleh tiga orang datuk besar lainnya, karena ilmu bergaya kuda goyang itu merupakan dasar dari ilmu-ilmunya. Maka, yang dia latih dan sempurnakan adalah dua ilmu yang baru atau diperbarui itu, yang belum dikenal pihak lawan. Juga beberapa jurus pilihan dari ilmu Hek-ma Sin-kun (Silat Sakti Kuda Hitam) dia kembangkan dan sempurnakan.

   Akan tetapi, baru beberapa hari sejak murid dan puterinya pergi, pada suatu pagi pelayan pria yang bekerja sebagai pengurus taman dan bagian luar gedung melaporkan bahwa ada dua orang tamu muda yang ingin berjumpa dengan dia. Pak Ong yang sedang berlatih pernapasan itu mengerutkan alisnya dan merasa terganggu sekali. Tentu dua orang tokoh sesat pikirnya.

   "Suruh mereka tunggu di ruangan depan, aku sedang berlatih!"

   Katanya ketus.

   Yang datang di pagi hari itu bukan lain adalah Siang Bwee dan San Hong Setelah tiba di kota Shu-nyi, Siang Bwee mengajak San Hong untuk lebih dulu mencari tempat penginapan dan menyewa dua buah kamar. Kemudian, mereka berganti pakaian dan berkunjung ke gedung baru tempat tinggal Pak Ong. Atas nasihat Siang Bwee, San Hong meninggalkan pedang Pek-lui-kiam di kamar hotel.

   "Pak Ong itu orang aneh. Kalau dia melihat pedang pusaka dan menginginkannya,sukarlah bagi kita untuk mempertahankan pedang itu. Lebih baik membawa pedang biasa saja, atau tidak membawa senjata sama sekali."

   Demikianlah, mereka berdua tidak membawa senjata dan pagi hari itu berkunjung ke rumah gedung itu. Pelayan mempersilakan mereka duduk di ruangan tamu di depan dan disuruh menanti karena tuan rumah sedang berlatih.

   Ketika mereka duduk di ruangan tamu yang lebar itu, mereka saling pandang. Siang Bwee tersenyum melihat wajah kekasihnya nampak tegang. Ia sendiri tentu saja merasa tegang. Mereka berkunjung ke rumah seorang datuk besar yang kedudukannya sejajar ayahnya, seorang datuk besar dunia hitam yang tersohor berwatak aneh, kadang-kadang dapat bertindak kejam melebihi iblis sendiri. Akan tetapi ia sudah mempersiapkan diri, sudah membuat perhitungan matang dan bukan suatu tindakan yang main-main saja kalau pagi hari ini ia mengajak San Hong mengunjungi datuk besar itu. Ia tahu akan bahayanya, akan tetapi ia lebih tahu bagaimana untuk menghindarkan diri dari ancaman bahaya itu.

   Akan tetapi ketika tiba-tiba ada angin bertiup yang datangnya dari arah pintu sebelah dalam yang terbuka, tak urung jantungnya berdebar tegang juga. Dan didahului oleh angin yang bertiup iu muncullah tubuh Pak Ong! Begitu muncul di pintu sebelah dalam itu. Pak Ong yang bertubuh tinggi kurus itu berdiri. dan sinar matanya yang mencorong itu menyapu kedua orang muda yang duduk di ruangan tamu. Agaknya dia terkejut dan heran karena sama sekali tidak mengira bahwa yang datang ingin bertemu dengannya adalah seorang gadis cantik manis dan seorang pemuda tinggi besar keduanya masih amat muda! Tidak ada tokoh kang-ouw seperti mereka ini, pikirnya.

   San Hong mencontoh Siang Bwee yang bangkit berdiri dari tempat duduknya dan mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan. Akan tetapi Pak Ong tidak membalas penghormatan itu hanya memandang dengan sapuan sinar matanya yang mencorong dengan sikap dingin sekali. Siang Bwee melihat gelagat tidak baik dan sikap tidak ramah dari tuan rumah itu, maka cepat ia berkata dengan suaranya yang merdu dan nyaring.

   "Selamat pagi dan selamat berjumpa, Paman Ji. Apa kabar? Aku melihat Paman masih dalam sehat dan nampak tidak berubah sejak dua tahun lebih yang lalu. Paman masih gagah dan nampak muda!"

   Sepasang alis itu berkerut, mata itu terbelalak dan tanpa disadari secara otomatis, pinggul Pak Ong bergoyang-goyang sedikit! Memang itulah ciri khas datuk sesat ini!

   "Ehhh.....? Kau..... siapa engkau?"

   Siang Bwee tersenyum manis sekali.

   "Wah, Paman sudah lupa lagi kepada keponakannya? Aku Siang Bwee, Ang Siang Bwee, masa Paman lupa lagi?"

   Mendengar nama Siang Bwee, Pak Ong masih mengerutkan alisnya, akan tetapi begitu mendengar she Ang, matanya melebar dan nampak tanda bahwa dia sudah mulai mengenal gadis di depannya itu. Kemudian dia pun tertawa bergelak dan San Hong terkejut karena dia harus mengerahkan sin-kangnya untuk menahan guncangan di dalam dada begitu mendengar suara ketawa yang melengking dan menggetarkan ruangan itu. Itulah suara ketawa yang didorong tenaga khi-kang yang amat kuat!

   Sambil tertawa, Pak Ong memperhatikan kedua orang muda itu. Melihat gadis itu tidak terpengaruh, dia pun tidak merasa heran atau penasaran karena dia tahu bahwa gadis puteri Nam Tok itu tentu saja sudah memiliki tingkat yang cukup tinggi. Akan tetapi melihat pemuda tinggi besar itu pun tidak terpengaruh, dia merasa heran dan penasaran. Kalau hanya ahli silat biasa saja, mendengar suara ketawanya, tentu akan roboh lemas!

   "Ha-ha-ha, kiranya engkau puteri Nam Tok, bocah yang nakal dulu itu! Hemmm, tidak bertemu dua tahun saja kini engkau sudah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik. Ya, aku ingat sekarang. Engkau Siauw Bwee (Bwee Kecil) itu.....! ha-ha-ha!"

   "Bukan Siauw Bwee lagi, Paman. Aku bukan lagi anak kecil, akan tetapi Siang Bwee."

   "Baiklah, Siang Bwee. Hemmm, mau apa engkau datang ke sini dan minta bertemu dengan aku? Apakan engkau disuruh oleh ayahmu? Kalau begitu, Nam Tok sungguh lancang. Belum tiba saatnya dia menghubungi aku, masih kurang sepuluh bulan lagi. Apakah karena dia khawatir kalah dan sudah merasa tua lalu menyuruh kamu datang menyatakan kekalahannya sebelum bertanding? Ha-ha-ha!"

   San Hong memandang dan hatinya merasa ngeri juga. Kakek ini demikian anehnya. Tertawanya kini pendek saja, keras dan pendek, lalu mulut itu tertutup lagi dan kelihatan begitu dingin dan acuh! Sikap kakek ini, biarpun dapat pula bicara dengan ramah, begitu dingin seperti air beku.

   "Sebaliknya dari itu, Paman Ji yang baik! Pertama-tama ayahku, Nam-san Tok-ong Ang Leng Ki mengirim salam hangat dan penghargaan kepada Paman Pak-ong Ji Hiat yang tidak sudi dijajah orang Mongol, dan mengirim pula salam keprihatinan karena penyerbuan pasukan Mongol ke tanah air."

   "Bagus! Kuterima salam itu dengan hormat dan hangat. Hanya itulah satu satunya yang kusuka dari Nam Tok. Kami sama-sama berjiwa pahlawan! Sampaikan salamku kepadanya. Walaupun kami bersaing memperebutkan Datuk Besar nomor satu, namun dalam hal pembelaan tanah air kami bersatu!"

   "Selain itu, ayah juga berpesan bahwa karena daerah utara dikacaukan oleh orang Mongol, tentu membuat Paman Ji sibuk sekali dan tidak ada kesempatan untuk memperoleh kemajuan dalam ilmu silat. Maka, ayah menganjurkan agar Paman Ji tidak mempunyai harapan untuk menandingi yang lain, yang mendapatkan lebih banyak kesempatan untuk maju."

   "Heh-heh-heh, ayahmu mimpi! Jangan mengigau dan mengira aku tidak mempunyai kesempatan untuk mencapai kemajuan. Katakan kepada ayahmu bahwa tahun ini, Pak Ong yang akan merajai dan merebut kemenangan sehingga patut disebut Datuk Besar Nomor Satu di dunia! Ilmu apa sih yang dimiliki ayahmu, yang takkan dapat kupecahkan? Hemmm, aku sudah mendengar akan ilmu tongkat baru Hwe-liong-jio-cu dan ilmu pukulan Hek-in Pay-san itu. Permainan kanak-kanak! Aku pasti akan dapat memecahkannya dan mengalahkannya!"

   Diam-diam Siang Bwee merasa kagum. Empat orang datuk besar itu memang hebat. Mereka menguasai seluruh dunia kang-ouw di daerah masing-masing dan anak buah mereka tersebar di mana-mana. Mereka mengirim mata-mata dan penyelidik dan mereka itu tahu saja akan kemajuan masing-masing. Ia percaya bahwa ayahnya pun sudah mendengar akan kemajuan yang dicapai tiga orang datuk besar lainnya, seperti juga tiga orang datuk besar itu tahu akan kemajuan ilmu yang dicapai ayahnya!

   Akan tetapi Siang Bwee tersenyum lebar, senyum yang seolah-olah mentertawakan.

   "Paman Ji hanya main duga-duga saja. Tidak aneh kalau Paman sudah mendengar tentang Hwe-liong-jio-cu dan Hek-in Pay-san, akan tetapi ayahku merasa yakin bahwa Paman tidak akan mampu memecahkan dan mengalahkan kedua ilmu dahsyat itu! Jangankan dimainkan ayah, baru kumainkan saja belum tentu Paman akan mampu memecahkannya. Akan tetapi sayang, aku tidak akan menggunakan itu karena ayah berpesan agar aku tidak memperlihatkan ilmu-ilmu yang mujijat itu sebelum bulan sepuluh mendatang di puncak Thay-san!"

   Wajah Puk-ong beruban agak kemerahan. Keinginan tahunya bangkit oleh semua kata-kata Siang Bwee.

   Memang, anak buahnya hanya mampu memberitahu tentang ilmu-ilmu yang dilatih oleh Nam Tok, akan tetapi, bagaimana kehebatan ilmu-ilmu itu, belum pernah dilihatnya sehingga dia pun ingin sekali tahu agar dapat membuat persiapan dan memperoleh kemenangan. Akan tetapi sebelum menggunakan akal agar gadis itu mau memperlihatkan kedua ilmu itu, dia memandang kepada San Hong dan baru dia teringat bahwa di situ ada orang ke tiga yang mendengarkan segalanya.

   "Bocah sombong! Berani engkau mendengarkan percakapan kami tadi? Engkau harus mati agar tidak membuka mulut!"

   Berkata demikian, tiba-tiba Pak Ong menyerang pukulun tangan kirinya dan hawa dingin sekali menyambar ke arah kepala San Hong! Itulah pukulan yang mengandung tenaga sin-kang dingin disebut Swat-sin-ciang (Tangan Sakti Salju) yang dapat membuat darah orang yangj terpukul menjadi beku. Apalagi kalau pukulan itu mengenai kepala. Seluruh darah dan otak dalam kepala akan membeku dan orangnya tentu saja mati seketika.

   "Wuuuuuttt.....! Ehhh??"

   Pak Ong terkejut karena pukulannya itu dapat dielakkan oleh pemuda itu tanpa banyak kesukaran dan tangannya hanya mengenai tempat kosong saja. Secepat kilat itu dia membalik untuk menyerang lagi akan tetapi pada saat itu Siang Bwee sudah berteriak dengan nyaring.

   "Paman Ji, engkau tidak boleh menyerangnya! Dia itu murid dan kelak wakil Tung Kiam!"

   Tangan yang sudah digerakkan itu tertahan di udara dan Pak Ong tidak jadi memukul. Dia menoleh ke arah Siang Bwee dan suaranya terdengar penuh curiga.

   "Murid Tung Kiam? Siang Bwee, Jangan main-main engkau!"

   "Siapa berani main-main terhadap seorang lo-cian-pwc seperti Paman? Memang salahku, tadi aku belum memperkenalkan dia. Paman Ji, dia ini adalah Kwee San Hong dan dia adalah murid kesayangan Tung Kiam yang oleh Tung-hai Kiam-ong Cu Sek Lam dijagokan untuk kelak mewakilinya dalam pertemuan di puncak Thay-san!"

   Tentu saja San Hong terkejut dan mendongkol, akan tetapi dia teringat akan janjinya, teringat akan pesan Siang Bwee bahwa dia akan selalu mentaati dan tidak akan membantah, bahkan menyerahkun kepada Siang Bwee untuk menghadapi Pak Ong.

   Kini Pak Ong sudah dapat mengatasi kemarahannya dan datuk besar ini tentu saja tidak mau membunuh murid dan wakil Tung Kiam. Empat orang datuk besar itu sudah saling berjanji bahwa sebelum saat yang ditentukan untuk mengadu ilmu, mereka tidak akan saling membunuh atau menyerang satu sama lain, bahkan tidak akan mengganggu murid. Apalagi murid yang dicalonkan menjadi wakil! Dan janji seorang datuk besar kepada datuk besar lainnya tentu saja dipegang teguh karena hal ini menyangkut nama dan kehormatan mereka sebagai datuk besar.

   

Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini