Ceritasilat Novel Online

Pedang Asmara 29


Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 29



"Jelaskan, mengapa engkau mengatakan bahwa dia ini lebih bijaksana dan lebih pantas ditolong daripada Sribaginda Kaisar!"

   Katanya sambil memandang kepada Siang Bwee.

   "Bibi sudah mengenal bahwa aku dan Hong-ko pernah menyelamatkan kaisar bahkan kemudian diundang menjadi tamu di istana ini. Akan tetapi tahukah Bibi kenapa kami berdua pada keesokan harinya pagi-pagi menghilang dari istana tanpa pamit?"

   Wanita itu mengerutkan alisnya.

   "Aku sudah mendengar bahwa kalian diam-diam minggat, akan tetapi aku tidak tahu mengapa. Kalian begitu kurang ajar sudah diundang sebagai tamu kehormatan lalu pergi tanpa pamit."

   "Biarlah sekarang kuceritakan kepada Bibi agar Bibi mengetahui bahwa Siauw Koay ini jauh lebih bijaksana daripada Sribaginda Kaisar. Malam itu ketika kami dijamu oleh Sribaginda, diam-diam aku dibius oleh beliau dalam hidangan itu. Kemudian, malam itu Sribaginda mengatakan agar aku suka memilih, menjadi selir beliau atau selir seorang di antara para pangeran! Aku menolaknya dan karena itu maka beliau menggunakan bius! Untung Hong-koko dapat mencegah seorang pangeran yang hampir saja memperkosa aku yang dalam keadaan terbius. Kami lalu melarikan diri malam itu juga keluar istana."

   Coa Eng Cun yang mendengarkan keterangan ini menarik napas panjang.

   Ia tahu akan kerakusan Sribaginda dan para pangeran terhadap wanita cantik dan itulah sebabnya mengapa ia minta keluar dari istana bagian puteri dan lebih suka menjadi pengawal gudang pusaka.

   "Nah, apakah seorang penguasa seperti itu patut untuk dijunjung dan di bela dengan setia? Belum lagi berita tentang sikap Sribaginda terhadap pasukan Mongol! Memalukan sekali! Beliau membawa bangsa kita menjadi rendah dan hina, mau saja dipermainkan dan diperhina oleh bangsa biadab dari utara."

   "Enci Bwee, cukup.....!"

   Kata Lo Koay yang merasa kasihan kepada bekas kekasihnya itu. Hanya dia yang tahu bahwa Coa Eng Cun pernah menjadi selir Sri baginda, dan kini Sribaginda dijelek-jelekkan oleh Siang Bwee.

   Nenek cantik itu menundukkan mukanya. Semua yang dikatakan gadis itu memang benar, la sendiri merasa muak ketika melihat betapa kaisar demikian merendahkan diri, seperti menyerah tanpa perlawanan kepada pasukan Mongol ketika pasukan itu mengepung kota raja Padahal, kalau kaisar bersikap gagah mengerahkan seluruh tenaga pasukan untuk melawan, belum tentu akan kalah. Sribaginda yang setiap hari hanya bersenang senang saja itu telah menjadi seorang yang bersikap pengecut.

   Kini, selagi nenek itu termenung ragu, terdengar suara Lo Koay, suaranya tidak kekanak kanakan lagi, melainkan lembut dan mengandung getaran keharuan.

   "Eng Cun, kita sudah tua sekarang. Apakah sisa usia yang tinggal sedikit ini hendak kaugantungkan kepada tugasmu di sini?

   Tidakkah engkau ingin menikmati kebebasan dunia luar istana? Cun Cun kebebasan di luar istana jauh lebih indah daripada segala gemerlapan yang berada di sini. Cun Cun, maukah engkau meninggalkan tempat ini dan menghabiskan sisa hidup kita bersamaku di alam bebas? Kita bersama dapat mengarungi samudera luas, dapat menjelajah gunung gunung, bagaikan dua ekor rajawali tua melayang-layang di angkasa. Bagaimana, Cun Cun?| Masihkah ada harapan bagiku menjelang akhir hidupku ini mengecap kebahagiaan yang telah lama meninggalkan aku?"

   Siang Bwee menundukkan mukanya. Hatinya terharu sekali. Ingin rasanya ia menangis. Betapa seorang seperti Lo Koay dapat mengeluarkan kata-kata seindah itu, sesedih itu! Juga San Hong menundukkan mukanya. Dan nenek itu agaknya tidak mempedulikan bahwa di situ terdapat dua orang muda itu. ia mengangkat mukanya, memandang kepada Lo Koay dan perlahan-lahan sepasang mata yang masih jeli itu menjadi basah, dan runtuhlan dua titik air mata ke atas pipinya.

   "Gu Kiong San, setelah apa yang kulakukan selama ini.., engkau..... masih mengharapkan itu..? Aku yang telah menyakiti hatimu, dan engkau..... masih mengharapkan kehadiranku di sampingmu....?"

   Lo Koay tertawa dan suara ketawa nya juga berbeda dari biasanya. Suara ketawa seorang laki-laki yang dalam dan tenang.

   "Tidak tahukah engkau, Cun Cun? Tak pernah sehari pun aku tidak mengharapkan kembalimu di sampingku. Aku ingin.. kalau aku mati.....ada engkau di sampingku..... aku ingin menggunakan sisa tenagaku untuk membahagiakanmu, memenuhi segala keinginanmu, mengusir semua duka nestapa dari hatimu."

   "Kiong San.....!"

   Dan kini nenek cantik itu menangis, seolah menangisi sesuatu yang telah bertanun-tahun hilang dan baru kini ia menemukannya kembali. Akan tetapi ia seorang wanita yang kuat. Hanya sebentar saja terseret oleh keharuan hatinya, lalu ia berhenti menangis.

   "Pergilah engkau, Kiong San dan ajak dua orang muda ini keluar dari sini. Tunggulah aku di luar pintu gerbang selatan. Besok pagi-pagi aku akan berada di sana membawa Jamur Emas."

   "Cun Cun.....! Ah, terima kasih Tuhan terima kasih atas berkah ini.....! Hayo enci Bwee dan Hong-ko, kita pergi!"

   Di lalu bangkit dan menangkap tangan Siang Bwee dan San Hong, diajaknya mereka pergi dari situ dengan sikap yang gembira sekali.

   Siang Bwee dan San Hong tidak membantah walaupun di dalam hatinya, Siang Bwee merasa kecewa dan ragu-ragu. Namun, karena perjalanan keluar istana bukan merupakan pekerjaan mudah, bahkan amat berbahaya, maka ia pun tidak berani mengeluarkan suara, hanya bersama San Hong mengikuti Lo Koay yang menjadi petunjuk jalan. Akhirnya, mereka berhasil keluar dari tembok istana dengan selamat dan Lo Koay mengajak mereka memutar dan menanti di luar pintu gerbang selatan.

   Malam telah larut akan tetapi mereka tidak berani membuat api unggun karena hal itu akan menarik perhatian para penjaga di pintu gerbang dan akan membangkitkan kecurigaan mereka. Mereka hanya duduk saja di balik pohon-pohon yang tumbuh tak jauh dari pintu gerbang, dan jarak mereka cukup jauh dari pintu gerbang sehingga mereka dapat bercakap cakap dengan leluasa tanpa khawatir terdengar orang lain. Setelah berada di situ, barulan Siang Bwee berani bicara untuk melampiaskan perasaan tidak puas dan penasaran di hatinya.

   "Siauw Koay, bagaimana sih engkau ini? Engkau membiarkan dirimu menerima pukulan Hek in ciang, engkau terluka dan berada dalam bahaya. Menurut keteranganmu, hanya Jamur Emas yang dapat menyelamatkanmu. Kita sudah bersusah payah menyelundup ke dalam istana dan tiba di gudang pusaka. Akan tetapi, engkau menerima janji bibi itu begitu saja! Kenapa tidak kauminta malam tadi juga obat itu? Bagaimana kalau ia tidak memenuhi janjinya?"

   Lo Koay tersenyum dan kini sifat kanak-kanaknya hilang sama sekali. Akan tetapi dia masih bersikap biasa.

   "Enci Siang Bwee, jangan khawatir. Eng Cu bukan seorang yang suka melanggar janji. Ia pasti akan muncul. Pasti! Dan jamur emas itu akan dibawanya ke sini Percayalah!"

   "Siauw Koay, kalau boleh aku mengetahui, siapakah sesungguhnya bibi yang lihai itu?"

   San Hong ikut bertanya karena dia merasa tertarik dan kagum sekali kepada nenek cantik yang amat lihai itu.

   "Aku pun ingin tahu sekali, Siau Koay. Ceritakanlah, siapakah bibi itu? Agaknya engkau amat mencintanya!"

   Kata biang Bwee tanpa sungkan lagi. Lo Koay tertawa. Dia memang paling suka kepada Siang Bwee karena sikapnya yang terbuka itu.

   "Ha ha ha, dugaanmu benar, enci Bwee. Aku mencinta Coa Eng Cun, sejak kami berusia dua puluh tahun sampai sekarang dan selamanya. Dahulu kami pernah menjadi kekasih, akan tetapi sebelum kami menikah, ia dipilih oleh pangeran yang kini menjadi Kaisar Wai Wang. Ia dibawa ke istana sebagai selir pangeran....."

   "Ihhh! Dan engkau diam saja, Siauw Koay?"

   Siang Bwee berseru penasaran.

   "Ha ha-ha, enci Bwee. Habis, aku disuruh bagaimana? Eng Cun masih amat muda, dan bagaimana mungkin menyalahkan seorang gadis muda yang silau oleh gemerlapnya kemuliaan di istana pangeran? Aku mengalah, ia menjadi selir pangeran."

   "Hemmm, dan sejak muda ia sudah lihai sekali?"

   Kakek itu mengangguk.

   "Tingkat ilmu kepandaiannya hanya berselisih sedikit dengan aku. Sebetulnya ia masih terhitung sumoiku. Ketika ia berada di istana, ia memperdalam ilmunya dan belajar dari para jagoan istana sehingga ia semakin lihai saja."

   "Akan tetapi, ketika pangeran itu menjadi kaisar, berarti ia seorang selir kaisar, Siauw Koay! Lalu bagaimana kini ia menjadi penjaga gudang pusaka?"

   "Biarpun kami sudah saling berpisah jauh, aku tidak pernah melupakannya begitu saja dan aku selalu menyelidiki keadaannya, maka aku tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Segala yang gemerlapan itu hanya nampak indah bagi yang belum memilikinya saja. Sekali yang gemerlapan itu sudah dimilikinya, maka akan hambarlah, akan pudarlah keindahannya. Wai Wang lupa diri. Setelah menjadi kaisar, dia membiarkan diri tenggelam dalam kesenangan. Eng Cun merasa ditinggalkan dan ia pun merasa kecelik. Sudah sepuluh tahun yang lalu ia mengundurkan diri dari kumpulan selir kaisar, dan minta tugas sebagai penjaga gudang pusaka. Nah, demikianlah, sampai malam ini kami saling bertemu karena..... karena ingin makan masakanmu dan melihat tarianmu, enci Bwee. Ha-ha-ha.....!"

   Siang Bwee juga tertawa. Kakek ini sudah kembali menjadi seorang kakek yang gembira namun berwibawa, tidak lagi kekanak-kanakan walaupun masih jenaka.

   "Siauw Koay, katakan saja bahwa engkau rindu kepada Bibi Coa Eng Cun, jangan pakai alasan ingin merasakan masakanku segala!"

   "Sungguh, enci Bwe. Kalau tidak karena masakan dan tarianmu, kalau tidak ingin menukarnya dengan ilmuku, aku tidak akan berani datang menemuinya. Aku.. aku takut kalau kalau menderita kekecewaan dan kedukaan yang kedua kalinya. Aku takkan kuat menahan derita itu. Dan sekarang, terima kasih kepada Tuhan! Agaknya Tuhan menaruh iba kepada kami dan kami akan dipersatukan kembali, menghabiskan sisa hidup berdekatan selalu!"

   San Hong merasa terharu sekali dan dia pun cepat memberi hormat kepada kakek itu dan berkata.

   "Lo-cianpwe, saya menghaturkan kionghi (selamat) atas berkumpulnya kembali ji-wi lo-cian-pwe (dua orang tua gagah)!"

   Jelas bahwa kakek itu telah berubah.

   Disebut lo cian-pwe oleh San Hong yang biasanya menyebut Siauw Koay, dia menerimanya biasa saja. Seolah baginya tidak ada bedanya disebut Siauw Koay atau pun lo-cian-pwe! "Terima kasih, San Hong! Engkau anak baik dan aku girang telah memberi kau sebagian ilmuku kepadamu. Kalau engkau bertemu dengan lima orang gurumu, Katakan bahwa tak lama lagi mungkin aku akan tinggal pula di Thaisan!"

   "Baik, Lo-cian-pwe.!"

   "Wah-wah-wah, bagaimana ini? Dari Siauw Koay menjadi lo-cian-pwe! Bagaimana pula aku harus menyebutmu? Masih tetap Siauw Koay ataukah juga harus lo-cian-pwe?"

   Tanya Siang Bwee sambil tertawa tawa.

   Lo Koay juga tertawa.

   "Sesukamulah! Sebutan hanyalah suara, bukan bendanya, atau orangnya! Disebut apa pun juga, apa| bedanya? Si benda tidak berubah. Yang berubah-ubah hanyalah sebutannya. Nah, kalau engkau masih menyebut Siauw Koay, tentu aku akan menyebutmu Enci Bwee, agar sesuai. Terserah kepadamu. Kalau aku disebut Siauw Koay, senang saja karena berarti aku awet muda, belum tua dan tetap seperti kanak-kanak. Sebaliknya, kalau engkau suka disebut enci oleh seorang kakek, berarti engkau sudah nenek-nenek, sudah jompo dan tua sekali, ha-ha-ha-ha-ha!"

   Tentu saja Siang Bwee cemberut mendengar ini.

   "Ih, engkau nakal! Aku tidak sudi disebut enci lagi olehmu! Biar sebut engkau Lo Koay saja!"

   "Jangan marah, Siang Bwee yang manis. Kalau engkau memanggil Lo Koay aku akan memanggilmu Siang Bwee. Nah sudah cocok, bukan? Akan tetapi engkau jangan berubah menjadi pemarah, akan hilang manismu kalau engkau pemarah."

   "Dan engkau pun jangan melanggar janji. Engkau harus mengajarkan ilmu sinkang Perisai Diri dan ilmu ginkang menunggang Angin kepada Hong-ko!"

   "Tidak bisa dua ilmu itu untuk dua orang. Dia tidak akan kuat. Biar kuujarkan sin-kang Perisai Diri kepadanya setelah dia makan sebagian dari jamur emas, dan gin-kang Menunggang Angin Kuajarkan kepadamu."

   "Horeee.....! Engkau Lo Koay yang baik!"

   "Ssttt... ! Jangan ribut, Bwee-moi. Apa kau ingin para penjaga di pintu gerbang sana itu mendengar suaramu?"

   Sun Hong menegur Siang Bwee.

   "Pasti kuajarkan, kedua ilmu itu akan kuberikan kepada kalian, akan tetapi dengan syarat....."

   "Aih, kaukira aku pun orang yang suka melanggar janji? Akan kumasakkan sup sirip naga laut, daging setan laut saos tomat, dan goreng cacing kering kepadamu, ditambah tarian bidadari!"

   "Bukan itu saja, ada tambahannya!"

   "Wah kau setelah menjadi Lo Koay, mau curang? Bukankah janjinya hanya itu?"

   "Ditambah sedikit, yaitu engkau mengajarkan rahasia masak-masak agar dapat lezat seperti masakanmu itu kepada Cui Eng Cun!"

   Siang Bwee tersenyum geli.

   "Hemm dan mengajarkan ilmu menari juga?"

   "Tidak usah. ia sudah mulai tua, tidak perlu menari, asal pandai masak pun bagiku sudah cukup."

   "Lo Koay, ada satu hal yang ingin sekali kutanyakan kepadamu. Akan tetapi janji dulu, kau tidak akan marah oleh pertanyaanku ini."

   Lo Koay tersenyum.

   "Apakah aku pernah marah kepadamu, Siang Bwee? Sungguh aneh kalau ada orang dapat marah kepada seorang gadis seperti engkau ini.Tanyakan, apakah yang ingin kau ketahui itu?"

   "Begini, Lo Koay. Setelah melihat pertemuan antara Lo Koay dan Bibi Cun aku merasa heran sekali. Apakah orang tua kalian berdua masih mempunyai gairah berahi maka kalian begitu mesra dan hendak hidup bersama?"

   San Hong terbelalak dan berusaha untuk mengamati wajah gadis itu. Akan tetapi cuaca terlampau gelap sehingga dia tidak dapat melihat apa-apa pada muka itu kecuali bayangannya saja. Dia merasa heran sekali walaupun sudah mengenal watak Siang Bwee yang terbuka dan tidak malu malu, akan tetapi pertanyaan yang diajukan kepada Lo Koay itu sungguh luar biasa.

   Dia sendiri sebagai seorang laki-laki saja akan merasa sungkan dan malu bertanya seperti itu! Akan tetapi gadis itu bertanya dengan nada suara polos saja, seolah yang di tanyakan itu soal biasa sehari-hari. Bagaimanapun juga San Hong mempunyai latar belakang kehidupan dan kebudayaan yang berbeda dibandingkan Siang Bwee. Lingkungan hidupnya jauh berbeda. San Hong masih terikat banyak belenggu kesusilaan dan kesopanan, sedangkan Siang Bwee lebih bebas dan polos. Pertanyaan yang diajukannya itu sesungguhnya juga biasa saja baginya, pertanyaan yang timbul dari hati, bukan bermaksud untuk kurang ajar atau tidak sopan.

   Mendengar pertanyaan ini, dan pendengarannya yang tajam mendengar napas tertahan lalu agak memburu dari San Hong, Lo Koay tertawa geli. Dia dapat membayangkan betapa terkejutnya seorang pemuda biasa seperti San Hong mendengar gadis yang dicintanya itu mengajukan pertanyaan seperti itu pada seorang kakek! Akan tetapi dia sendiri menerima pertanyaan itu dengan gembira, sedikit pun tidak merasa tersinggung.

   "Ha-ha-ha, anak baik. Kau kira kebahagiaan bisa diperoleh hanya melalui pelepasan gairah berahi saja? Kau kira cinta kasih adalan cinta berahi? Itu kesalahan banyak orang sehingga akhirnya mereka kecewa! Siapa yang menganggap bahwa cinta kasih itu gairah berahi, akan kecelik dan kecewa oleh nafsu berahi itu sendiri. Segala macam nafsu tidak membahagiakan, hanya menyenangkan. Kesenangan bukanlah kebahagiaan Kesenangan hanya saudara kembar kesusahan. Yang puas akan kecewa, yang senang akan susah. Orang setua kami tidak lagi terbelenggu oleh gairah berahi, Siang Bwee. Kami sudah cukup bahagia kalau melihat bahwa orang yang kita cinta itu hidup dalam keadaan gembira, tidak menderita sengsara. Karena itu, kebersamaan merupakan suatu kebahagiaan pula, baik itu antara saudara, antara sahabat, atau antara suami isteri."

   Mendengar jawaban itu, tahulah kini betapa pentingnya pertanyaan yang diajukan kekasihnya tadi, walaupun nampaknya kasar dan tidak sopan. Pertanyaan itu sesungguhnya merupakan pertanyaan biasa, dan menyangkut kepentingan kehidupan setiap orang manusia yang sudah dewasa. Cinta kasih sudah demikian sarat oleh arti seperti ditafsirkan semua orang.

   Kalau bisa digambarkan, kiranya bukan cinta kasih, karena yang dapat digambarkan hanyalah sesuatu yang menyenangkan. Dan segala yang menyenangkan itu menimbulkan nafsu untuk mengejarnya, untuk mempertahankan dan memilikinya. Yang jelas, kita hanya dapat mengerti apa yang bukan cinta kasih. Yang mendatangkan sengsara, yang mendatangkan duka, yang mendatangkan pertentangan, jelas bukan cinta kasih. Karena itu, gairah berahi bukanlah cinta kasih karena gairah berahi dapat mendatangkan banyak macam masalah, dapat mendatangkan kekecewaan dan makin banyak orang meneguknya, dia akan menjadi semakin kehausan.

   Cemburu, iri hati, rasa takut keinginan menyenangkan diri sendiri bukanlah cinta kasih karena semua itu dapat mendatangkan duka dan perselisihan. Segala macam keinginan untuk senang jelas bukanlah cinta kasih. Keinginan menimbulkan pamrih, dan pamrih jelas pekerjaan nafsu. Bukan berarti bahwa kita harus melenyapkan segala nafsu. Hal ini tidak mungkin sekali dan hanja terdapat dalam angan-angan mereka yang ingin menemukan kebahagiaan melalui akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu pula!

   Ada orang bertapa ke puncak gunung ke gua-gua atau di tepi samudera, seolah tidak mempedulikan lagi urusan dunia tidak mempedulikan urusan badani, jarang makan jarang tidur dan hampir telanjang. Seolah dengan penyiksaan diri mereka itu dapat mengendalikan nafsu, menghajar nafsu, memusuhi nafsu dan akhirnya akan mencapai apa yang mereka idamkan, yaitu kesempurnaan hidup, kebahagiaan hidup. pendeknya suatu keadaan yang amat baik atau lebih baik daripada keadaan sehari-hari kehidupan yang masih dikuasai oleh nafsu.

   Usaha seperti itu akan sia-sia belaka dan andaikata ada yang berhasil, maka tentu dia bukan manusia lagi! Kalau kita masih menjadi manusia, yaitu manusia yang hidup di dunia ini, memakai badan jasmani seperti sekarang ini, kita tidak mungkin ditinggalkan nafsu-nafsu. Karena nafsu-nafsu inilah bahan bakar kehidupan, mendorong kehidupan. Segala macam daya rendah yang menjadi nafsu inilah yang menjadi alat bagi badan kita untuk tetap hidup. Nafsu yang timbul dari daya kebendaan membuat manusia mampu menggunakan akal pikirannya untuk membuat segala macam benda keperluan kehidupan kita.

   Tanpa adanya nafsu dari daya rendah kebendaan, kita tidak akan mampu membuat apa-apa. Nafsu yang timbul dari daya rendah tumbuh-tumbuhan membual kita dapat makan, terasa enak sehingga tubuh kita dapat bertumbuh, terpelihara dan makanan itu menjadi darah daging kita. Daya rendah hewani juga menghidupkan, melalui daging yang kita makan, melalui binatang kecil-kecil yang kita telan melalui sayuran, melalui ai melalui udara, menimbulkan nafsu da semangat kekuatan kepada kita. Hubungan antar manusia juga mendatangkan nafsu, membuat kita berkeinginan untuk berkembang biak, hubungan antara pria dan wanita.

   Tuhan Yang Maha Kasih memang sudah memberkahi manusia dengan berkah yang berlimpahan. Kita dilahirkan dunia dengan bekal nafsu-nafsu yang sungguhnya amat penting bagi kehidupai manusia di dunia sebagai alat, sebagai abdi, untuk menjaga agar tubuh yang di huni jiwa itu terpelihara, sehat dan jug dapat menikmati segala macam kesenangan di dunia. Itulah rahmat, berkah yang berlimpahan. Namun, nafsu merupakan alat yang amat penting, merupakan abdi yang amat berguna dan baik, kalau saja tidak dibiarkan merajalela dan mengubah kedudukannya dari alat menjadi yang memperalat, dari hamba menjadi majikan! Celakalah hidup ini kalau kita yang diperalat nafsu, kalau kita yang diperhamba nafsu. Jungkir balik jadinya! Nafsu yang sudah memperalat manusia, yang sudah memperhamba manusia, dapat membuat manusia-manusia menjadi mahluk yang sekejam-kejamnya dan sejahat-jahatnya. Dan kalau sudah begitu, hidup hanya berarti siksa dan derita, duka dan sengsara sebagai imbalan merajalelanya nafsu dan kesenangan.

   Sejak kita lahir, kita telah disertai oleh nafsu yang timbul karena adanya daya-daya rendah, namun ketika kita masih bayi dan akal pikiran belum menguasai seluruh diri, maka kita masih dekat sekali dengan kekuasaan Tuhan yang membimbing kita. Namun, semakin besar, semakin banyak pengertian kita, semakin dewasa akal pikiran kita, semakin tergantunglah kita kepada alat-alat kita itu. Akhirnya seluruh hidup kita dikuasai oleh hati dan akal pikiran yang digelimangi nafsu daya rendah. Dan beginilah jadinya kehidupan di dunia ini. Penuh konflik, penuh pertentangan, kebencian, permusuhan, perang! Semua ini adalah ulah kita yang telah diperhamba oleh nafsu. Setan yang memegang kemudi dalam diri kita. Kalau ada kesadaran akan keadaan ini dalam batin kita, lalu kita berusaha untuk melepaskan diri dari nafsu, maka selalu kita menghadapi kegagalan.

   Betapa banyaknya contoh di dunia ini. Agama agama berkembang luas dan setiap pemerintahan negara manapun mengajarkan kebaikan-kebaikan kepada rakyatnya, agar kembali ke jalan benar dan jangan terjadi kekacauan, kejahatan dalam bentuk apapun. Pemerintah negara manapun juga, para pemimpin negara manapun juga selalu berusaha untuk mendatangkan ketenteraman dan kemakmuran bagi kehidupan rakyatnya. Namun, apa hasilnya.

   Semua usaha itu hanyalah usaha yang dilakukan oleh hati dan akal pikiran padahal hati dan akal pikiran itu sejak lama telah bergelimang nafsu daya rendah. Orang boleh pergi ke puncak bukit, ke gua-gua, ke tempat sunyi mengasingkan diri, dengan pamrih untuk membebaskan diri dari nafsu, untuk memperoleh kembali kepribadiannya yang hilang sebagai seorang manusia yang ber-Tuhan.

   Namun, usaha ini saja sudah berpamrih untuk membebaskan diri dari kesengsaraan akibat mengamuknya nafsu, pamrih untuk mendapatkan kebahagiaan, kesenangan. Dan biasanya, usaha ini tidak berhasil, bahkan mungkin saja kita dibawa menyeleweng oleh setan ke arah jalan sesat yang penuh keanehan kekuasaan hitam, kekuasaan setan yang dapat membuat kita pandai melakukan hal yang aneh-aneh!

   Dan kalau sudah begitu, berarti kita terperosok ke dalam lumpur yang lebih dalam lagi! Lalu kepada siapakah kita dapat minta tolong? Tidak ada lain kekuasaan yang dapat menolong kita, dapat membebaskan kita dari cengkeraman nafsu daya rendah, selain kekuasaan Tuhan! Kita hanya dapat menyerahkan diri dengan penuh keikhlasan, ketawakalan dan kesabaran.

   Kita hanya dapat mengembalikan kesemuanya itu kepada Sang Maha Pencipta! Pasrah dan waspada terhadap keadaan diri sendiri. Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu melepaskan kita dari cengkeraman nafsu, yang akan dapat memulihkan keadaan seperti semula, yaitu semua nafsu daya rendah itu menjadi pengikut, menjadi pelayan, menjadi alat untuk kepentingan hidup badaniah kita. Bukan menjadi majikan lagi! Dan kalau sudah begitu, maka kehidupan kita akan dipenuhi cahaya kekuasaan Tuhan.

   Kekuasaan Tuhan yang akan membimbing kita, bukan lagi hati dan akal pikiran. Hati dan akal pikiran lalu melaksanakan tugas yang semula, yang sebenarnya yaitu tugas menjaga agar badan kita tetap pelihara dalam kehidupan ini sehingga nafsu daya rendah tidak lagi merajalela tidak dapat lagi menimbulkan dengki, iri, cemburu, benci, takut dan sebegainya yang mengakibatkan perbuatan-perbuatan yang sesat dan jahat. Kekuasaan Tuhan memenuhi diri kita dengan Kasih, seperti yang menjadi sifatNya.

   Semalam itu mereka bertiga tidak tidur, karena bagaimanapun juga, janji nenek Coa Eng Cun yang akan menyusul mereka di pagi hari mendatangkan perasaan tegang di dalam hati mereka, walaupun tak seorang pun di antara mereka pernah mengatakannya. Terdengar ayam jantan berkeruyuk di kejauhan. Ada pula kokok ayam hutan di sebelah utara dan suara burung-burung berkicauan. Betapa indahnya suara-suara di pagi hari menjelang matahari mengirim sinarnya itu. Indah nian!

   Seolah semua suara itu merupakan nyanyian puja puji terhadap kebesaran, keagungan dan kecintaan Yang Maha Kuasa terhadap segala mahluk, yang nampak maupun yang tidak nampak. Pohon-pohon besar pun seperti baru terjaga dari tidur dan memanjatkan doa kepada Sang Maha Pencipta, doa tanpa suara yang hanya di dengar oleh yang berdoa dan Sang Penerima Doa. Sesosok bayangan berpakaian kuning keluar dari pintu gerbang kota raja sebelah selatan.

   Mula-mula, komandan jaga di pintu gerbang itu bersama belasan orang anak buahnya menghadang dengari sikap keren karena sebelum pintu gerbang dibuka, umum dilarang keras untuk keluar masuk kota raja tanpa ijin. Akan tetapi, begitu komandannya melihat siapa yang berpakaian kuning dan ingin keluar melalui pintu gerbang itu, dia cepat memberi hormat. Tentu saja dia mengenal nenek Coa Eng Cun, bekas selir kaisar yang kini dikenal pula sebagai seorang di antara kepercayaan kaisar dan menjadi jagoan istana yang menjaga keamanan istana dan keluarga kaisar!

   "Buka pintu gerbang, aku hendak keluar melaksanakan tugas!"

   Kata nenek itu setelah melihat komandan itu dan anak buahnya berdiri tegak memberi hormat. Komandan itu lalu memerintahkan anak buahnya untuk membuka pintu gerbang. Nenek berpakaian kuning itu pun keluar. Ia menggendong buntalan pakaian dan gerakannya gesit dan cepat sekali ketika ia melesat keluar. Karena sudah janji lebih dahulu, nenek itu dapat menduga di mana Lo Koay, bekas kekasihnya itu, dan dua orang muda yang datang bersamanya itu menantinya.

   Maka ia pun cepat berlari menuju ke sekelompok pohon di luar sebuah hutan tak jauh dari pintu gerbang itu. Lo Koay juga cepat bangkit menyambut ketika dia melihat berkelabatnya bayangan kuning, diikuti olah Siang Bwee dan San Hong. Cuaca masih remang-remang bahkan gardu penjagaan di pintu gerbang tidak nampak dari situ, yang nampak hanya berkelap-kelipnya lampu gantung yang dipasang di luar dan di dalam pintu gerbang. Nenek itu berhenti di depan Lo Koay. Mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan dua orang muda hanya menjadi penonton di sebelah kiri kakek itu.

   "Cun Cun, engkau memenuhi janjimu.....!"

   Akhirnya Lo Koay berkata dan suaranya terdengar mengandung keharuan dan kegembiraan. Nenek yang masih nampak cantik dan ramping itu menundukkan muka seperti orang yang merasa malu-malu!. Kemudian ia pun mengeluarkan ucapan lirih,

   "Mulai saat ini aku akan berusaha untuk memenuhi apa saja yang kujanjikan, Kiong San."

   Ucapan ini membuat Siang Bwee dan San Hong merasa terharu pula. Mereka semalam telah mendengar cerita Lo Koay tentang hubungan antara kakek dan nenek. itu, betapa dahulu di waktu muda mereka berdua saling mencinta, akan tetapi sayang, mereka terpaksa saling berpisah karena Coa Eng Cun, nenek itu yang dahulunya seorang gadis cantik jelita, lebih suka menjadi selir pangeran! Dan agaknya peristiwa itulah yang membuat nenek itu tadi mengatakan bahwa mulai saat ini ia akan memenuhi apa saja yang janjikan! Jelas bahwa dahulu, ia telah menyalahi janji cintanya kepada Lo Koay dan sekarang mereka telah bertemu dan berkumpul kembali, dan nenek itu merasa menyesal akan perbuatannya yang sudah lalu.

   "Eng Cun, engkau tidak lupa membawa jamur emas itu, bukan?"

   Tanya Lo Koay.

   "Tentu saja tidak. Akan tetapi tidak enak kita bicara di sini. Aku merasa bahwa ada yang mencurigai kepergianku. Mari kita pergi dari sini, menjauhi kota raja....."

   Tiba-tiba nenek itu menghentikan ucapannya dan serentak ia dan kakek itu membalikkan tubuh. Juga San Hong dan Siang Bwee membalik dan benar saja pendengaran mereka yang tajam tadi menangkap suara tidak wajar. Kiranya di situ telah berdiri lima orang laki-laki yang usianya antara lima puluh tahun, berpakaian ringkas dan di punggung mereka nampak gagang pedang beronce beraneka warna. Di antara mereka ada yang gendut, ada pula yang kurus, ada yang brewok, ada pula yang mukanya bersih, akan tetapi kelimanya bersikap gagah dan angkuh.

   Melihat lima orang ini, nenek Coa Eng Cun nampak terkejut, akan tetapi ia menenangkan hatinya lalu melangkah maju menghampiri mereka.

   "Hemmm, kiranya Sin-kiam Ngo-liong (Lima Naga Pedang Sakti) yang datang!"

   Nenek itu menegur dengan suara halus, akan tetapi disambung dengan suara yang keren.

   "Mau apa kalian membayangi aku sampai di sini?"

   Lima orang yang sikapnya angkuh itu kini nampak seperti orang yang sungkan dan salah tingkah, mereka lalu memberi hormat ke arah nenek itu dengan merangkap kedua tangan depan dada, kemudian orang tertua di antara mereka yang bertubuh kurus dan mukanya bersih tak berkumis atau berjenggot, melangkahi, maju mewakili teman-temannya.

   "Harap maafkan kami....."

   "Hemmm, Sin-kiam Ngo-liong, tidak tahukah kalian siapa aku?"

   Bentak pula nenek itu.

   "Tentu saja !"

   Kata pula orang kurusi itu.

   "Toa-nio (Nyonya Besar) adalah Coa Cun Eng Toa-nio yang terhormat, kepala jaga yang bertanggung jawab atas keamanan gudang pusaka, bahkan Paduka pernah menjadi selir Sribaginda Kaisar....."

   "Nah, kalau sudah tahu, bagaimana kalian berani kurang ajar membayangi aku? Pergilah kalian!"

   "Maaf, Toanio. Bukan kami hendak kurang ajar. Hanya tadi di istana, kami melihat sikap Toanio yang tidak wajar. Toanio meninggalkan gudang pusaka tanpa mengunci daun pintunya juga tidak memberi tahu kepada pasukan pengawal. Toanio keluar secara diam-diam dari istana, bahkan Toanio lalu keluar kota dan mengadakan pertemuan dengan mereka ini. Dan ah, bukankah dua orang muda ini yang pernah dijamu sebagai tamu oleh Sribaginda akan tetapi kemudian melarikan diri? Ah, kami harus menangkap mereka berdua, Toanio!"

   "Jangan kalian berani mencampuri urusanku! Pergi kataku!"

   Bentak nenek itu dengan sikap yang berwibawa.

   "Maaf Toanio. Terpaksa kami tidak dapat pergi karena telah menjadi tugas kami untuk melakukan dua hal, yaitu yang pertama, menangkap pemuda dan gadis itu, dan ke dua, mengajak Toanio kembali ke istana dengan menghadap Sribaginda Kaisar karena bagaimanapun juga, kami mencurigai kepergian Toanio dari istana secara rahasia itu."

   Kini wajah nenek itu berubah merah dan matanya memancarkan sinar kemarahan.

   "Kim Liong (Naga Emas), engkau sudah mengenal aku dan masih berani membangkang? Apakah engkau sudah bosan hidup dan ingin merasakan lihainya hud-tim (kebutan) di tanganku?"

   "Kami hanya melaksanakan tugas!"

   Kata orang pertama dari Sin-kiam Ngo liong itu.

   
Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mereka adalah lima orang bersaudara yang telah menjadi pengawal atau jagoan-jagoan istana, selalu bekerja sama dan mereka memiliki ilmu silat yang tinggi. Terutama sekali ilmu pedang mereka amat hebat sehingga mereka dikenal dengan julukan Sin-kiam Ngo-liong. Orang pertama yang bicara tadi yang bermuka halus dan bertubuh kurus berjuluk Kim Liong (Naga Emas), orang ke dua bermuka halus pula akan tetapi perutnya gendut dijuluki Sui Liong (Naga Air), Yang ke tiga Thian Liong (Naga Angkasa) bermuka brewok dan bertubuh tinggi besar. Ke empat Tee Liong (Naga Bumi) bermuka bopeng dan hitam, sedangkan orang ke lima yang termuda berjuluk Hay Liong (Naga Lautan) bermuka kemerahan dan halus, berperawakan sedang. Kini, mendengar ucapan pemimpin mereka, tangan mereka bergerak dan sebatang pedang mengkilap telah melintang di depan dada masing-masing. Mereka sudah siap siaga mempergunakan kekerasan untuk melaksanakan tugas mereka, yaitu menangkap Siang Bwee dan San Hong, dan mengiringkan nenek Coa En Cun kembali ke istana.

   "Srattt.....!"

   Nampak sinar putih berkelebat dan sebatang hud-tim (kebutan pertapa) telah berada di tangan nenek itu.

   "Keparat, kalian berlima memang sudah bosan hidup!"

   Bentaknya.

   "Heiiit..... heiiiiittt....., nanti dulu, Cun Cun. Jangan perjumpaan kita yang membahagiakan ini dirayakan dengan pertumpahan darah, biarpun hanya darah lima ekor cacing istana. Kita berdua sudah tua, tidak pantas lagi berkelahi Biarlah kita wakilkan saja kepada yang muda-muda. Hei, Hong-ko dan Bwee ci, kini coba perlihatkan apa yang pernah kalian pelajari. Wakili kami berdua untuk mengusir lima ekor cacing Istana itu!"

   Setelah berkata demikian, Lo Koay memegang tangan nenek Coa Eng Cun dan diajaknya duduk di atas batu besar di bawah pohon untuk nonton. Kalau San Hong masih ragu-ragu karena dia disuruh memusuhi dan berkelahi dengan lima orang yang sama sekali tidak dikenalnya dan tanpa sebab sama sekali, sebaliknya Siang Bwee sudah meloncat ke depan dan menudingkan telunjuknya ke arah lima orang itu, satu demi satu seperti menghitung mereka dengan menunjuk hidung mereka.

   "Haiii, kalian ini lima ekor cacing tanah berani sekali menantang dua orang lo-cian-pwe yang kami hormati, ya? Tidak usah dengan mereka, hayo kalian lawan aku saja kalau memang kalian sudah bosan hidup! Mau maju satu lawan satu atau mau maju semua silakan, aku tidak takut! Kalian disuruh kaisar kalian untuk menangkap aku? Katakan kepada kaisar kalian itu bahwa dia tidak tahu diri, sudah kami selamatkan dari serangan musuh, eh, malah hendak menghina aku. Hayo, majulah, pengecut!"

   Gadis ini memang pandai bicara dan galak, juga cerdik sekali. Dengan memaki dan menghina kalang-kabut itu, dengan sendirinya ia menyinggung harga diri lima orang itu yang terkenal sebagai lima orang jagoan istana. Apalagi di akhir ucapannya tadi ditambah dengan makian "pengecut", maka tentu saja kalau mereka maju berlima, jelas bahwa makian itu memang tepat. Lima orang jagoan istana, semua pria yang usianya sudah setengah abad, tentu saja amat memalukan kalau harus mengeroyok seorang gadis belia! Itu benar perbuatan dan sikap pengecut namanya!

   Sui Liong, orang ke dua yang perutnya gendut, terkenal sebagai seorang yang mata keranjang dan gila wanita cantik, tidak seperti empat orang saudara lainnya. Melihat tingkah gadis Itu, perutnya yang gendut sudah bergerak naik turun, bukan hanya karena marah, akan tetapi juga karena gemas dan bangkit gairahnya. Seorang gadis remaja yang binal seperti seekor kuda betina yang liar! Sungguh menyenangkan kalau dia dapat menjinakkannya! Maka, dia pun segera meloncat ke depan menghadapi Siang Bwee.

   Sejenak mereka berpandangan, akhirnya Siang Bwee yang tertawa terkekeh-kekeh sambil memegangi perut dengan tangan kiri dan menutup mulut dengan tangan kanan. Melihat ini, San Hong mengerutkan alisnya. Kenapa sih kekasihnya itu! Menghadapi lawan yang lihai, jagoan istana belum apa-apa sudah terpingkal-pingkal seperti itu! Jangan-jangan ketawanya itu tidak wajar, terkena sihir!

   "Heiii, Bwee-moi, kau kenapa sih? Kenapa tertawa-tawa seperti itu?"

   Teriaknya khawatir.

   Siang Bwee menghentikan tawanya dan kini telunjuk kirinya menuding ke arah perut Sui Liong.

   "Hong-koko, kau lihat baik-baik. Cacing itu perutnya gendut bukan main! Kata orang cacing suka makan lumpur. Entah isi perutnya itu lumpur atau bangkai, sukar diketahui!"

   Mendengar ini, San Hong tersenyum lalu menarik napas panjang. Kekasihnya itu memang bengal bukan main. Menghadapi lawan tangguh masih berkelakar seperti itu. Sebaliknya, Sui Liong kini memandang dengan mata melotot dan muka merah seperti udang direbus. Dia menudingkan pedangnya ke arah muka Siang Bwee dan lenyaplah semua gairah berahinya yang tadi bangkit karena dia membayangkan akan dapat menangkap gadis itu, merangkul dan melingkarkan lengannya di pinggang ramping itu. Kini dia marah dan yang dibayangkan adalah membabat leher dan pinggang gadis itu dengan pedangnya sehingga patah-patah!

   "Bocah lancang mulut! Cepat kau keluarkan senjatamu. Aku tidak sudi menyerang lawan yang tidak memegang senjata! Aku akan memenggal lehermu dan membawa kepalamu ke istana!"

   Siang Bwee menjulurkan lidahnya yang kecil merah dan panjang, mengejek.

   "Mudah dan enaknya! Kaukira leherku ini begitu lunak? Hemmm, jangan-jangan perutmu yang gendut itu yang akan kulubangi sehingga anginnya membocor keluar dan mengempis. Hanya aku khawatir, aku tidak akan dapat menahan bau busuknya!"

   "Keparat, tutup mulutmu dan keluarkan senjatamu!"

   Teriak Sui Liong yang sudah tidak dapat menahan marahnya lagi.

   Sambil tersenyum-senyum Siang Bwee lalu mengambil sebatang ranting tak jauh dari situ. Hanya sebatang ranting yang besarnya tidak melebihi lengan tangannya yang kecil dan panjang kurang lebih satu meter. Sungguh merupakan sebuah senjata yang tidak sepadan dan amat lemah kalau harus dipergunakan menghadapi sebatang pedang tajam di tangan musuh. Akan tetapi tentu saja San Hong lebih mengetahui dan dia pun tenang-tenang saja. Kekasihnya itu baru benar-benar amat berbahaya sekali kalau sudah memegang tongkat di tangannya! Ilmunya yang lain masih boleh dilawan, akan tetapi sekali ia menggunakan tongkat, ia berbahaya dan amat sukar dikalahkan!

   "Nah, gendut, inilah senjataku. Kalau memang kau berani, majulah dan coba kalahkan aku!"

   Melihat betapa gadis itu hanya memegang sebatang ranting, tentu saja Sui Liong merasa dihina. Kalau saja dia hanya berhadapan berdua dengan gadis itu, tentu dia tidak peduli dan sudah diserangnya gadis itu habis-habisan. Akan tetapi di situ ada empat orang saudaranya, bahkan ada pula pemuda itu, kakek tua renta dan juga Coa Toanio yang dihormatinya. Dia akan menjadi bahan tertawaan. Seorang jagoan istana seperti dia memegang pedang menyerang seorang gadis remaja yang hanya memegang ranting!

   "Bocah sombong! Jangan main-main kau. Cepat keluarkan senjatamu, jangan sampai aku kehabisan kesabaran!"

   Bentaknya, masih belum mau menggerakkan pedangnya.

   Siang Bwee membelalakkan matanya seperti orang terheran dan terkejut.

   "Eh-eh-eh, bocah gendut ini! Berani sekali menghina senjataku ini, ya. Kau tahu? Dibandingkan pedangmu, ranting di tanganku ini seribu kali lebih berharga! Pedangmu itu hanya dibuat oleh tangan manusia, ditempa dari baja. Akan tetapi kau tahu siapa yang membikin ranting ini? Tangan Tuhan sendiri yang menciptakan kau tahu? Manusia mana jang mampu membuat dan membentuk sebatang ranting? Nah, hayo jawab. Mana lebih berharga, ranting buatan Tuhan ini ataukah pedangmu yang hanya buatan seorang pandai besi?"

   Sui Liong termangu. Biarpun sifatnya berkelakar dan mempermainkan saja, namun harus dia akui bahwa ucapan gadis itu memang benar! Setiap orang pandai besi dapat membuat pedang, akan tetapi tak seorang manusia mampu membuat ranting pohon!

   "Bocah sombong, aku sudah memperingatkan agar engkau menggunakan senjata, akan tetapi engkau berkeras hendak menggunakan ranting itu melawan aku! yang berpedang. Semua orang di sini menjadi saksi bahwa aku tidak berbuat curang. Nah, majulah!"

   "Nanti dulu, Gendut! Engkau dan empat orang kawanmu ini siapa sih yang mengundang datang ke sini? Kami tidak mengundang, kami tidak pula mengajak berkelahi. Melainkan kalian yang hendak menangkap dan menyerang kami. Maka, kalau memang engkau berani, bukan hanya besar mulut dan besar perut, hayo cepat kau mainkan pedang dapurmu itu!"

   Ini sudah keterlaluan! Sui Liong yang biasanya pandai mengejek orang dan mata keranjang pandai merayu wanita itu sekali ini mati kutu tidak pandai bicara karena kalah jauh oleh Siang Bwee, juga kemarahan membuat dia tidak lagi mampu membuka suara. Pedangnya menyambar ganas dan dia sudah menyerang dengan dahsyatnya. Di dalam hatinya sudah tidak ada lagi sisa gairah berahinya terhadap gadis itu, yang ada hanyalah kebencian dan kemarahan. Dia merasa pasti bahwa pedangnya akan mampu membikin putus ranting itu berikut leher si gadis, maka sambaran pedang itu pun penuh dengan pengerahan tenaga sin-kang.

   Namun, orang ke dua dari Sin-kiam Ngo-liong ini sama sekali tidak tahu dengan siapa dia berhadapan. Kalau saja dia tahu bahwa gadis itu adalah puteri tunggal Nam-san Tok-ong atau Nam Tok, yang tentu saja sudah didengar nama besarnya, tentu akan lain sikapnya. Siang Bwee bukan saja telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari ayahnya, akan tetapi juga bersama San Hong ia telah berhasil "mencuri"

   Ilmu-ilmu dari Tung Kiam dan Pak Ong, bahkan telah pula mematangkan kepandaiannya setelah bertualang bersama Lo Koay yang aneh. Melihat gerakan pedang si gendut itu diam-diam Siang Bwee menjadi geli Kalau hanya seperti itu saja kepandaian lawannya, biar dikeroyok dua pun ia merasa mampu menandingi dan mengalahkan mereka!

   Karena ia ingin memamerkan kepandaiannya kepada Lo Koay yang sengaja. menyuruh ia dan San Hong untuk mewakili kakek dan nenek itu, begitu menggerakkan tongkat menyambut serangan lawan. Siang Bwee sudah memainkan tongkatnya dengan ilmu tongkat ayahnya yaitu Hwe-liong-jio-cu! Ilmu tongkat ini memang hebat. Kalau dimainkan, maka tongkat di tangan itu berubah seperti naga beterbangan dan menyambar-nyambar dahsyat, seperti hendak memperebutkan mustika. Dalam hal ini, yang menjadi mustikanya adalah kepala lawan.

   Repotlah Sui Liong menghadapi tongkat yang berubah menjadi gulungan sinar kehijauan yang panjang seperti naga itu, menyambar-nyambar dan mengancam kepala dan tubuh bagian atas. Terpaksa karena tidak mungkin dapat mengimbangi kecepatan gerakan tongkat itu, dia memutar pedangnya di atas kepala untuk melindungi tubuhnya dari ancaman tongkat naga itu.

   (Lanjut ke Jilid 29)

   Pedang Asmara (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 29

   "Menggelindinglah!"

   Tiba-tiba Siang Bwee berseru dan kaki kirinya melayang.

   "Bukkk!!"

   Perut yang gendut itu terkena tendangan dan tubuh Sui Liong terjengkang dan terlempar, dan terpaksa dia melempar diri ke belakang dan bergulingan kalau tidak ingin terbanting.

   "Gadis jahat!"

   Bentak Kim Liong, orang pertama dari lima jagoan istana itu. Dia pun sudah memegang pedang. Akan tetapi sebelum dia sempat menyerang Siang Bwee, San Hong sudah menghadang di depan gadis itu dan berkata.

   "Bwee-moi baru saja melayani seorang! di antara kalian, biar ia mengaso dan akulah yang menghadapimu!"

   Katanya. Biarpun pedang Pek-lui-kiam berada di dalam buntalan pakaiannya, namun San Hong tidak mengambil pedang itu karena melihat gerakan orang yang tadi menyerang Siang Bwee, dia pun merasa sanggup menghadapi lawan seperti itu hanya dengan tangan kosong saja.

   "Kiong San, bukankah ilmu tongkat yang dimainkan gadis itu tadi Hwe-liong jio-cu dari Nam Tok?"

   Nenek Coa Eng Cun bertanya heran kepada Lo Koay ketika tadi ia melihat permainan tongkat itu. Lo Koay yang sejak tadi nonton perkelahian hanya mengangguk sambil tersenyum.

   Kini, Kim Liong sudah mencabut pedang dan memasang kuda-kuda. Akan tetapi, seperti juga Sui Liong tadi, dia merasa malu kalau harus melawan seorang pemuda yang tidak memegang senjata. Bagaimanapun juga, nama Sin-kiam Ngo-liong sebagai jago-jago istana sudah terkenal, apalagi Kim Liong adalah orang pertama.

   "Orang muda, keluarkan senjatamu!"

   Namun San Hong menjawab tenang.

   "Paman, aku tidak ingin berkelahi denganmu, akan tetapi kalian yang memaksa. Kalau engkau hendak menyerangku dengan pedang, silakan. Aku akan menghadapimu dengan tangan kosong."

   "Hong-koko, kau boleh mencoba kehebatan Kuda Goyang!"

   Tiba-tiba Siang Bwee berkata dengan tertawa.

   San Hong tersenyum. Dia tahu apa yang dimaksudkan oleh gadis itu. Dia disuruh mencoba ilmu yang berhasil mereka "curi"

   Dari Pak Ong, dan ilmu silat dari Pak Ong memang mempunyai ciri khas, yaitu dalam gerak pinggul yang bergoyang-goyang seperti pinggul kuda! Dia mengerti maksud gadis itu, agar dalam kesempatan ini dia mencoba ilmu hasil curian itu, maka dia pun mengangguk, lalu memasang kuda-kuda dengan pinggul ditunggingkan ke atas dan digoyang-goyang! Nampak lucu dan seperti mengejek lawan! Merahlah Kim Liong. Karena semua orang tadi mendengar ucapan pemuda itu yang mengaku sendiri hendak menghadapi padangnya dengan tangan kosong, maka dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring kemudian menggerakkan pedangnya meluncur, menusuk ke arah dada pemuda itu. Namun, sekali pinggul itu bergoyang ke kiri, tubuh itu telah mengelak dan pedang meluncur lewat di samping tubuh dan pada saat itu, tangan San Hong yang miring membacok ke arah pergelangan tangan yang memegang pedang!

   "Ehhh.....!"

   Kim Liong terkejut dan terpaksa dia menarik tangannya sambil meloncat ke belakang, karena dengan keadaan menyerang, dialah sebaliknya yang terancam!

   Sambil melompat ke belakang, dia membalik dan kini pedangnya menyerang dengan jurus-jurus pilihan, mengurung diri pemuda yang menjadi lawan-nya itu dari segala penjuru dengan sinar pedangnya. Dan kini San Hong benar benar memainkan ilmu silat Hek-ma Sin kun yang telah dicurinya dari Pak Ong! Kemana saja pedang menyambar, dia selalu dapat mengelak, apalagi karena dia menyempurnakan gerakan ilmu curian itu dengan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang dia pelajari dari Bu Eng Sian-jin, seorang di antara Thian-san Ngo-sian, yaitu lima orang gurunya.

   "Gerak pinggul itu, bukankah itu ilmu dari Pak Ong?"

   Kembali nenek Coa Eng Cun berseru lirih kepada Lo Koay yang kembali hanya mengangguk dan terus menonton dengan gembira.

   "Hakkk!"

   Tiba-tiba tangan kiri San Hong berhasil menampar pundak belakang lawannya dan tubuh Kim Liong terpelanting. Akan tetapi dia masih dapat menggulingkan tubuhnya dan meloncat bangkit kembali dengan pedang masih di tangan. Melihat betapa saudara pertama dan ke dua kalah, walaupun tidak terluka parah, tiga orang yang lain menjadi marah dan seperti dikomando saja, mereka lalu menerjang dengan pedang di tangan, mengeroyok San Hong!

   "Hei-hei, kalian curang!"

   Bentak Siang Bwee dan dengan tongkatnya, gadis ini pun sudah menyambut terjangan mereka. Tongkatnya menyambar-nyambar ganas dan tiga orang itu terkejut karena setiap kali tongkat bertemu pedang, mereka merasakan getaran hebat pada tangan mereka yang memegang pedang. Melihat keadaan yang berbahaya ini, karena kalau mereka berlima itu maju bersama merupakan lawan yang amat tangguh, San Hong cepat melompat, mengambil pedang dari buntalannya dan nampaklah pedang Pek-lui-kiam menyambar-nyambar.

   "Wah, bukankah itu Pek-lui-kiam? Dan pemuda itu memainkan ilmu pedang yang seperti pernah kukenal..... ah, bukankah itu ilmu pedang dari Tung kiam?"

   Lo Koay hanya mengangguk, akan tetapi dia meringis seperti orang kesakitan. Barulah nenek itu teringat. Cepat ia mengeluarkan buntalannya dan mengeluarkan sebungkus benda yang bentuknya aneh seperti payung kecil dan warnanya kuning emas. Itulah Jamur Emas! "Kau makanlah ini untuk menghilangkan racun di tubuhmu."

   Kata si nenek sambil mengeluarkan pula seguci anggur.

   Lo Koay menerima bungkusan itu, dan hanya mengambil sedikit untuk cepat dikunyahnya dan ditelannya bersama anggur yang diminumnya. Sisanya dia bungkus kembali dan dia masukkan ke dalam saku bajunya. Agaknya nenek itu tidak mempedulikan hal ini.

   "Duduklah bersila, selagi obat itu bekerja, biar kubantu pengerahan tenaga pada punggungmu!"

   Lo Koay tidak membantah. Dia menanggalkan bajunya, kemudian duduk bersila menghadap ke arah mereka yang berkelahi. Nenek itu duduk di belakangnya dan menempelkan kedua telapak tangannya ke punggung kakek itu, mengerahkan sin-kang yang mengalir lembut ke dalam tubuh sang kakek yang agaknya merasa keenakan.

   Keduanya agaknya tidak khawatir sama sekali akan nasib dua orang muda itu karena mereka maklum bahwa dua orang muda itu pasti akan mampu mengalahkan lima orang pengeroyok itu. Dan keduanya, biarpun duduk tak bergerak, tak pernah melepaskan perhatian terhadap pertandingan yang kini berlangsung amat seru. Memang sesungguhnya, setelah maju bersama, lima orang itu ternyata merupakan lawan yang amat tangguh.

   Mereka merupakan kiam-tin (barisan pedang) vang teratur rapi, dengan kerja sama. yang baik dan kokoh kuat sehingga kalau bukan Siang Bwee dan San Hong yang mereka keroyok, tentu akan menjadi kewalahan. Namun, pada waktu itu, tingkat kepandaian dua orang muda ini sudah tinggi sekali. Jangankan baru lima orang itu mengeroyok mereka, biar ditambahi lima lagi, akan sukarlah untuk dapat mengalahkan dua orang muda ini.

   Siang Bwee tetap memainkan tongkatnya dengan ilmu tongkat ayahnya, yaitu Hwee-liong jio-cu, sedangkan San Hong dengan pedang kilatnya memainkan ilmu pedang yang dicurinya dari Tung Kiam. Mereka berdua teringat akan teguran dan anjuran Lo Koay tadi untuk memperlihatkan apa yang telah mereka pelajari. Maka, mereka pun tidak ingin cepat-cepat merobohkan lima orang pengeroyok mereka.

   Demikianlah, Siang Bwee juga mencampurkan ilmu tongkatnya dengan ilmu-ilmu lain, seperti Jurus Kuda Goyang dari Pak Ong, kemudian mencoba pula ilmu totok It-sin-ci juga dari Pak Ong, memainkan Tung-hai Mo-kun dari Tung Kiam, dan juga mengeluarkan ilmu-ilmunya sendiri dari ayahnya.

   Demikian pula San Hong yang mengubah-ubah ilmunya. Kadang dia mengubah ilmu pedang Tung-hai Liong-kiam itu dengan ilmu golok Swat-sin-to dari Pak Ong, bahkan mengeluarkan pula ilmu pedang Pek-lut kiamsut dari gurunya yang pertama, yaitu Lui-kong Kiam-sian, seorang di antara Thian-san Ngo-sian.

   Nenek Coa Eng Cun mengeluarkan seruan kaget, bukan hanya melihat kelihaian dua orang muda yang menguasai banyak macam ilmu silat itu, melainkan terutama sekali melihat keadaan tubuh bekas kekasihnya yang tadinya mengaku luka berat karena pukulan beracun. Ketika tadi ia menyalurkan tenaga sakti melelui telapak tangannya, ia mendapat kenyataan bahwa luka beracun di tubuh kakek itu ternyata hanya ringan saja kalau diukur menurut kemampuan dan kesaktian Lo Koay.

   "Ihhh, Kiong San. Siapa sebenarnya mereka itu dan mengapa engkau menipu aku?"

   Kakek itu menarik napas, lalu mengenakan kembali pakaian atasnya karena nenek itu pun sudah menurunkan kembali telapak tangannya.

   "Nanti kuceritakan semua, sekarang mari kita usir dulu lima ekor anjing itu agar tidak terlalu lama mengganggu!"

   Mereka bangkit berdiri dan biarpun keduanya sudah tua renta, namun sekali kaki mereka bergerak, tubuh mereka sudah berkelebat ke medan perkelahian dan entah apa yang terjadi, terlalu cepat diikuti pandang mata, tahu-tahu lima orang jagoan istana itu berpentalan dan roboh terbanting keras sehingga pedang mereka terlepas dari pegangan. Nenek Coa Eng Cun dengan penuhi wibawa melangkah maju menghadapi mereka yang merangkak bangkit duduk sambil mengaduh aduh.

   "Sin-kiam Ngo-liong, kami tidak membunuh kalian karena kalian hanya melaksanakan tugas kalian. Akan tetapi jelas kalian bukan lawan kami dan kembalilah kalian ke istana, katakan kepada Sribaginda Kaisar bahwa aku sudah terlalu lama tinggal di istana dan sudah banyak pula mengabdi kepada beliau. Biarlah gudang pusaka diperiksa baik-baik. Tidak ada yang hilang kecuali Jamur Emas yang kuambil untuk menolong nyawa orang sebagal obat. Apa artinya Jamur obat itu dibandingkan jasaku selama puluhan tahun ini? Nah, pergilah kalian, aku tidak akan kembali ke istana lagi."

   "Baik, Toa-nio, dan terima kasih....."

   Kata Kim Liong sambil merangkak bangun, dan diikuti oleh empat orang saudaranya mereka lalu memungut pedang masing-masing dan pergi dari tempat itu. Bagaimanapun juga, mereka merasa terbebas dari maut karena kalau nenek itu menghendaki tentu mereka berlima akan tewas di tempat itu tanpa ada yang dapat menyelamatkan mereka.

   Setelah lima orang itu pergi, nenek Coe Eng Cun berkata.

   "Sekarang kita harus cepat pergi dari sini, setelah jauh dan tidak akan dapat dikejar jagoan-jagoan istana yang lain, baru kita bicara."

   Berkata demikian, ia lalu meloncat jauh ke depan. Melihat ini, Lo Koay menarik napas panjang, mengomel lemah akan tetapi lalu meloncat pula mengejar. Melihat ini, Siang Bwee menutup mulutnya agar suara ketawanya tidak terdengar keras.

   "Hi-hi-hik, habis sudah kebebasan Siauw Koay. Mulai detik ini, dia menjadi seperti seekor kerbau jantan yang diikat hidungnya!"

   "Uhhh, kalau begitu kelak engkau pun akan mengikat hidungku seperti kerbau, Bwee-moi?"

   Gadis itu tertawa.

   "Aku tidak menganggap engkau kerbau, Hong-ko!"

   "Tapi Lo Koay....."

   "Dia lain dengan kamu. Sudah ah, lihat mereka sudah jauh. Mari kita kejar mereka!"

   Gadis itu meloncat dan lari cepat sekali. Terpaksa San Hong juga mengerahkan gin-kangnya dan lari mengejar.

   Tanpa disadarinya sendiri, dia pun menghela napas dan menggeleng kepala, presis seperti yang dilakukan Lo Koay tadi. Akan tetapi dia tidak mengomel. Tidak, segala perbuatan dan gerak-gerik yang dilakukan Siang Bwee selalu menarik dan menyenangkan baginya.

   "Nah, sekarang engkau harus menceritakan sejujurnya kepadaku, Gu Kiong San. Kalau engkau berbohong, maka aku akan meninggalkanmu dan selamanya aku tidak akan sudi bertemu muka kembali denganmu."

   "Aihhh, Cun Cun.....

   "

   "Hayo cepat ceritakan, atau sekarang juga aku akan pergi!"

   Melihat ini, Siang Bwee segera berkata.

   "Lo Koay, ceritakanlah segalanya. Perlu apa berbohong. Engkau dan Bibi ini saling mencinta bukan? Kalau engkau bercerita sejujurnya, aku yakin bahwa Bibi ini tentu akan selamanya tinggal bersamamu, hidup sampai di akhir jaman. Bukankah benar kata-kataku tadi, Bibi?"

   Nenek itu cemberut, merasa disudutkan oleh ucapan gadis yang ia tahu luar biasa cerdiknya itu.

   "Engkau anak kecil tahu apa, tidak perlu ikut-ikut. Dan aku tahu tentang keadilan, tentu saja kalau dia jujur, aku pun jujur. Hayo, Kiong San, berceritalah engkau!"

   Lo Koay nampak gugup!

   "Wah, bagaimana, ya? Ceritanya panjang sekali, dan aku sudah pikun, banyak lupa. Enci Bwee, engkau saja yang bercerita tentang pertemuan kita, dan kalau ada yang keliru, aku yang akan membetulkan. Bagaimana? Tolonglah, enci Bwee, aku tidak bisa bercerita. Bukan tukang dongeng sih!"

   Siang Bwee mendongkol juga dimaki anak kecil tadi oleh nenek itu. Akan tetapi ia tahu bahwa tanpa bantuan nenek itu, kekasihnya tidak akan dapat mewarisi ilmu yang hebat dari Lo Koay, maka ia menahan amarahnya dan melirik ke arah nenek itu.

   "Aku hanya anak kecil tahu apa?"

   Ia sengaja mengulang untuk menyatakan kedongkolan hatinya.

   "Aku mau bercerita asal omonganku tidak dianggap anak kecil lagi."

   "Ho-ho-ho, Bwee ci. Engkau kusebut enci, bagaimana bisa dibilang anak kecil? Berceritalah, dan aku yakin Cun Cun akan percaya kepadamu."

   Coa Eng Cun mengenal watak kekasihnya yang selain aneh, juga tidak suka banyak membicarakan diri sendiri. Dan ia pun tahu pula bahwa gadis yang amat cerdik itu tentu tidak berani berbohong, maka ia berkata singkat,"Ceritakanlah!"

   

Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini