Pedang Asmara 36
Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 36
"Mulai detik ini, hubunganku dengan Pak Ong putus, dan dengan sendirinya semua ikatan perjodohan antara anak dan muridku dengan anak dan muridnya juga putus!"
"Bagus, Nam Tok Memang sejak dahulu di antara kita hanya ada satu macam hubungan saja, yaitu hubungan persaingan mengadu kepandaian. Mulai detik ini, di antara kita tidak ada apa-apa, kita mengambil jalan masing-masing! Mari, Kui Lan dan Tiong Sin, kita pergi dari sini!"
Pak Ong memberi hormat kepada Jenghis Khan, diturut oleh puteri dan muridnya, dan Jenghis Khan mengangkat tangan memberi ijin. Mereka bertiga cepat meninggalkan tempat yang berbahaya bagi mereka itu.
Kini Siang Bwee mengeluarkan pedang pusaka itu dan menyerahkan pedang itu kepada Yeliu Cutay sambil berkata.
"Inilah Pedang Asmara itu, Paman Yeliu Cutay. Kukembalikan kepadamu karena engkaulah pemilik pedang ini sebelum dicuri oleh muridmu yang murtad."
Yeliu Cutay menerima pedang itu, mencabut dan memeriksanya, lalu mengangguk-angguk.
"Inilah Pedang Asmara yang aseli."
Dia menyarungkannya kembali dan menyerahkan pedang itu kepada Kwee San Hong.
"Kwee Tai-hiap, seperti pernah kujanjikan, pedang pusaka ini sudah kuberikan kepadamu dan kepada Ang Lihiap."
Karena pedang itu tadi telah dikembalikan oleh Siang Bwee kepada Yeliu Cutay, maka San Hong ragu-ragu untuk menerimanya dan dia menoleh kepada Siang Bwee.
"San-ko, Jangan terima pedang itu!"
Lalu gadis itu menghadapi Yeliu Cutay sambil berkata.
"Paman, kalau Paman sayang kepada kami, Jangan berikan pedang itu kepada kami. Pedang itu amat berbahaya bagi kami orangorang muda! Kalau San-ko memiliki pedang itu, hawanya yang jahat dapat mempengaruhinya dan aku tidak menghendaki hal itu terjadi!"
Yeliu Cutay tersenyum maklum. Dia sudah tahu akan kehebatan daya pengaruh pedang itu yang dapat membuat pria dan wanita mabuk kepayang dan tenggelam dalam gelombang asmara. Karena orang-orang yang sebetulnya berhak menerima pedang itu tidak mau, dia lalu berlutut di depan Jenghis Khan dan menyerahkan pedang itu dengan kedua tangan kepada junjungannya yang baru.
"Oleh karena dua orang muda gaga perkasa yang telah hamba janjikan untuk menjadi pemilik pedang pusaka ini tidak mau menerimanya, maka perkenankan hamba menghaturkan pusaka ini kepada Paduka, karena dahulu hamba menerimanya dari Paduka."
Jenghis Khan tertawa bergelak, hatinya gembira bukan main. Setelah kini dia menjadi seorang Khan yang besar dengan kekuasaan yang amat luas, apalagi telah berhasil menaklukkan Kerajaan Cin (Kim), maka pedang bertuah itu tidak mengkhawatirkannya lagi. Juga dia sudah mulai tua, tidak tertarik lagi akan hal-hal yang menyangkut asmara. Pedang itu dapat menjadi satu di antara pusaka-pusaka kerajaan, menjadi lambang kebesaran kekuasaannya. Juga dia kagum melihat San Hong dan Siang Bwee. Dua orang muda itu bukan saja gagah perkasa dan berilmu tinggi, akan tetapi juga memiliki kejujuran dan hati yang bersih.
"Ha-ha-ha, agaknya Pedang Asmara ini mengenal tuannya yang pertama sehingga dia ingin kembali. Baik, kuterima pedang ini, Yeliu Cutay. Dan kalian, sepasang pemuda perkasa. Sesungguhnya, dari kalianlah kami menerima pedang ini karena tadinya Yeliu Cutay telah memberikan kepada kalian. Nah, sebagai penggantinya, kami akan memberikan dua buah benda yang tentu akan amat berguna bagi kalian pendekar-pendekar dunia persilatan."
Jenghis Khan memberi isyarat kepada pengawalnya yang segera menerima pedang, lalu membisikkan kepada pengawal lain yang segera mengambil sebuah peti kecil hitam dan menghaturkan benda itu kepada Jenghis Khan.
Raja besar itu menerima peti hitam, membukanya dan dari dalam peti yang terisi bermacam benda rampasan yang langka dan berharga itu, dia mengambil sebuah batu sebesar telur angsa yang berwarna hijau muda dan bersinar indah. Dia menyerahkan batu itu kepada Siang Bwee sambil berkata.
"Ini Mustika Naga Hijau yang ampuh sekali untuk melumpuhkan kekuatan racun ular yang bagaimana jahat pun. Terimalah, Nona."
Siang Bwee dan juga ayahnya sudah pernah mendengar tentang mustika itu maka tentu saja dengan gembira Siang Bwee menerimanya dengan kedua tangan mengucapkan terima kasih dan mengamati benda itu dengan wajah berseri.
Kini Jenghis Khan mengambil lima buah jamur kering dan menyerahkannya kepada San Hong.
"Orang muda yang gagah, engkau terimalah jamur kering ini. Ini merupakan benda yang amat langka, karena Jamur seperti ini hanya tumbuh di kutub utara, itu pun amat jarang dan sukar didapat. Khasiat jamur ini amat hebat sebagai pembersih darah dan pengusir penyakit.Selebar kuku ibu jari kaki saja dikunyah dan ditelan, akan dapat membersihkan seluruh darah di tubuhmu dan mengusir penyakit-penyakit yang berbahaya."
San Hong tidak segembira Siang Bwee menerima hadiah itu, akan tetapi dengan sikap sopan dia menerima dan memberi hormat. Nam Tok diam-diam kagum kepada Jenghis Khan. Raja besar ini biarpun seorang Mongol, namun dia pandai menghargai orang gagah. Dia dan Pak Ong dengan terang-terangan menyatakan tidak mau membantu Mongol, bahkan memusuhi kalau Mongol menyerang Sung di selatan, akan tetapi Jenghis Khan tidak mengganggu mereka berdua, bahkan kini memberi hadiah benda yang langka kepada Siang Bwee dan San Hong. Padahal, kalau Jenghis Khan mau, biarpun empat orang datuk semua melakukan perlawanan dibantu anak-anak dan murid mereka, tetap saja raja itu akan mampu membunuh mereka semua walaupun akan mengorbankan nyawa banyak perajurit. Seorang pemimpin yang dapat menghargai orang pandai seperti Jenghis Khan ini sudah pasti akan berhasil.
Dia teringat akari keadaan para kaisar Kerajaan Kim yang sudah jatuh dan Kerajaan Sung di selatan, dan dia menghela napas panjang. Kaisar-kaisar itu adalah orangorang lemah yang hanya mengejar kesenangan pribadi saja tanpa mempedulikan keadaan rakyat. Kalau ada orang pandai, mereka itu bahkan mencurigainya dan takut kalau orang pandai itu akan melakukan pemberontakan.
Kalau saja kaisar di selatan seorang yang kuat seperti Jenghis Khan, takkan ada musuh yang akan berani menyerang! Dia menengadah, lalu menghentak-hentakkan tongkat naganya ke atas tanah sehingga terdengar suara duk-duk berirama, dan dia pun membuka mulut dan bersajak dengan suara nyaring.
"Cakrawala selatan gelap gulita
Naga tua rapuh dan ular-ularnya
hanya mengenal pesta pora
rakyat pun hidup sengsara!
Lihat! Naga Utara terbang datang
menyemburkan nyala api perang
panas membakar bernyala terang
mengusir gelap membasmi penguasa curang!"
Semua orang terdiam ketika Nam Tok bersajak tadi, dan setelah dia menutup sajaknya dengan tarikan napas panjang dan sedih, terdengar tepuk tangan. Kiranya yang bertepuk tangan adalah Jenghis Khan yang sudah bangkit berdiri dari kursinya dan memandang Nam Tok dengan wajah berseri.
"Bagus sekali, Saudara Ang Leng Ki!"
Katanya dengan gembira dan dengan menyebut Nam Tok sebagai saudara, hal itu menunjukkan penghormatan yang besar.
"Kalau engkau suka menjadi penasihatku maka aku yakin bahwa perjuangan kami mengusir yang lalim akan dapat berhasil dengan cepat!"
Sejenak Nam Tok memandang kepada Khan yang agung itu dengan sinar mata tajam, kemudian dia pun berkata.
"Bagaimana mungkin seorang putera mengkhianati ayahnya sendiri, betapapun lemah dan lalimnya ayah itu? Mari Siang Bwee, San Hong, kita pergi dari sini!"
Berkata demikian, Nam Tok membalikkan tubuhnya dan dengan angkuh meninggalkan tempat itu tanpa pamit lagi. Dia hendak menunjukkan bahwa dia tidak gentar kepada Jenghis Khan.
Siang Bwee tersenyum dan mengangguk kepada Jenghis Khan, San Hong menjura dengan hormat, lalu keduanya cepat mengikuti Nam Tok meninggalkan tempat itu. Jenghis Khan menghela napas panjang, menggeleng-geleng kepala dan mengepal tinjunya.
"Sungguh sayang! Dia bagaikan seekor naga yang perkasa! Mudah-mudahan dia dan aku tidak akan berhadapan sebagai musuh kelak!"
"Hayo katakan sekarang, sebelum kuhancurkan kepalamu. Apakah engkau sudah mengakui kesalahanmu?"
Pak Ong membentak dan pemuda itu, Bu Tiong Sin, berlutut di depan kakek itu dengan tubuh gemetar dan muka pucat.
"Suhu, ampunkan teecu (murid). Teecu tidak merasa membuat kesalahan terhadap Suhu. Teecu selalu mentaati semua perintah Suhu....."
"Keparat! Engkau masih berpura-pura? Bukankah ketika pertama kali engkau bertemu dengan kami, engkau telah berbohong dan mengaku sebagai seorang gagah yang membenci orang Mongol? Ternyata engkau penipu! Engkau murid Yeliu Cutay yang murtad, melarikan diri dan mencuri pusaka gurumu. Dan engkau pun telah membikin malu kepadaku. Pedang pusakamu itu palsu! Engkau telah membuat Nam Tok marah dan memutuskan pertalian jodoh engkau dan Kui Lan. Bagaimana aku dapat mengampunimu?"
"Suhu, sungguh teecu berani bersumpah. Ketika teecu menyerahkan pedang pusaka itu kepada Nam Tok, pedang itu aseli, tidak palsu. Tentu orang tua itu yang telah mengganti pedang aseli dengan yang palsu!"
"Boleh jadi tidak mungkin bagi Nam Tok, Ayah. Akan tetapi siluman betina itu, anaknya itu, Siang Bwee. Perbuatan apa yang tidak mungkin ia lakukan? Ini tentu perbuatan Siang Bwee, dan untuk itu, kelak aku harus dapat mencekik lehernya!"
Pak Ong masih memandang muridnya dengan muka muram.
"Kalau pun benar Siang Bwee yang menukar pedang itu engkau terlalu tolol sehingga tidak mengenal pedang sendiri ketika engkau menerimanya kembali dari Nam Tok. Engkau membikin aku malu saja. Dan bagai mana dengan kebohonganmu bahwa engkau pembenci orang Mongol?"
"Suhu, berani sumpah teecu tidak berbohong. Sampai sekarang pun, teecu benci orang Mongol dan teecu akan mempertaruhkan nyawa untuk membela Kerajaan Sung dan melawan pasukan Mongol!"
"Hemmm, orang macam engkau bisa apa? Menghadapi murid Nam Tok saja engkau kalah! Dari pada kelak merepotkan aku, lebih baik kubunuh saja sekarang. Engkau sudah pernah murtad terhadap gurumu yang pertama, bahkan yang telah merawatmu sejak kecil. Besar sekali kemungkinan engkau pun akan murtad dan berkhianat kepadaku!"
Pak Ong sudah menggerakkan tangannya, siap untuk membunuh Tiong Sin. Pemuda itu menjadi pucat sekali, tidak berani melawan atau menghindar, hanya memohon ampun.
"Ayah, jangan bunuh dia!"
Tiba-tiba Kui Lan meloncat ke depan ayahnya.
Pak Ong mengerutkan alisnya dan semakin marah.
"Apa? Engkau hendak membela jahanam ini?"
"Ayah, ingat, dia muridmu dan dia.....dia suamiku!"
"Apa maksudmu?"
Bentak Pak Ong kepada puterinya.
"Ayah, sudah lama kami menjadi suami isteri dan semua yang kami lakukan membuktikan bahwa pedang yang dulu berada di tangan Suheng adalah Pedang Asmara yang aseli. Kami terpengaruh pedang pusaka itu. Kami hanya tinggal merayakan saja, Ayah. Akan tetapi, Suheng adalah suamiku."
Pak Ong tidak merasa heran mendengar pengakuan puterinya itu. Kalau puterinya tidak membela Tiong Sin, dia pun tidak peduli walau puterinya telah menyerahkan diri kepada muridnya itu, tetap akan dibunuhnya. Akan tetapi, melihat pembelaan Kui Lan, hal ini berarti bahwa puterinya mencinta Tiong Sin dan telah memilih pemuda itu menjadi suaminya.
Hal ini membuat dia ragu-ragu
"Hemmm.... engkau benar telah memilih dia?"
Suaranya terdengar agak kecewa.
"Ayah, harap pertimbangkan baik baik. Semua yang telah dilakukan Suheng sehingga dia dapat mengelabui Ayah dan aku, hal itu hanya bukti bahwa Suheng amat cerdik dan pandai bersiasat. Suhenglah yang akan dapat membantu Ayah mengangkat nama besar Ayah sehingga tidak akan kalah oleh para datuk yang lain. Aku yang akan mengajaknya berlatih sebaik mungkin agar dia tidak mengecewakan, Ayah."
Pak Ong meraba-raba dagunya, alisnya berkerut. Memang tidak menguntungkan kalau dia membunuh Tiong Sin. Pertama, dia akan kehilangan seorang murid yang cukup berbakat, dan berarti kehilangan seorang pembantu. Ke dua, puterinya akan marah dan mungkin akan memusuhinya. Dia mengenal watak puterinya itu yang akan memusuhi siapa saja, ayah sendiri sekalipun kalau menyakiti hatinya.
"Hemmm, baiklah. Akan tetapi dia harus dapat membuktikan bahwa dia benar-benar memusuhi Mongol dan dapat memperlihatkan kegagahan membela Kerajaan Sung di selatan. Baru aku dapat mengampuninya. Kalau dia tidak mampu membuktikan, kelak sekali berjumpa dengan aku, jangan harap aku akan dapat mengampuninya lagi."
Tiong Sin yang tadinya sudah ketakutan dan putus asa, ketika mendengar ucapan gurunya itu, menjadi gembira bukan main. Dia seolah-olah hidup kembali, dan cepat menjatuhkan diri di depan kaki gurunya, memberi hormat berkali-kali sambil berlutut.
"Terima kasih, Suhu. Teecu bersumpah akan mentaati perintah Suhu dan sekarang juga teecu akan pergi ke selatan untuk membantu pemerintah Sung dan menghalangi segala niat jahat orang-orang Mongol!"
"Benar, Ayah,"
Kata Kui Lan yang juga merasa girang.
"Seperti Ayah tahu, See Mo dan Tung Kiam telah menjadi antek-antek Mongol. Tentu mereka itu akan mengacau di selatan. Aku dan Su-heng akan pergi ke selatan dan menentang semua usaha mereka, untuk membela Sung dan melawan Mongol."
Kui Lan sesungguhnya membohong kalau ia mengatakan cinta kepada suhengnya.
Kalau ia menyerahkan diri kepada Tiong Sin, itu terjadi karena pengaruh Pedang Asmara, juga hanya karena dorongan nafsu belaka. Akan tetapi, ia tidak ingin melihat suhengnya dibunuh ayahnya, karena bagaimanapun juga, suhengnya dapat menjadi kawan yang dapat diandalkan. Kalau dia dibiarkan mati, lalu siapa yang akan menemaninya menghadapi lawan lawan yang tangguh? Dan ia sengaja menyelamatkan nyawa Tiong Sin sehingga suhengnya itu selanjutkan tentu akan taat sekali kepadanya, dan dapat disuruh melakukan apa pun. Ia akan memperoleh seorang pembantu yang setia dan patuh.
Pak Ong mengangguk-angguk.
"Baiklah, kalian boleh pergi. Akan tetapi ingat, Tiong Sin. Engkau tidak akan terlepas dari pengamatanku!"
Tiong Sin memberi hormat dan seperti yang diperhitungkan Kui Lan, sejak saat itu Tiong Sin menjadi seorang pembantu atau pelayan yang taat sekali kepada Kui Lan. Bukan saja karena dia merasa berhutang nyawa kepada gadis itu, melainkan terutama sekali karena dia takut kepada Pak Ong! Setelah puteri dan muridnya pergi, Pak Ong juga melanjutkan perjalanan menuju ke selatan. Setelah Kerajaan Kim runtuh, tidak ada gunanya lagi tinggal di daerah itu, sebaiknya pindah ke selatan ke daerah Kerajaan Sung.
"Kalian harus menikah dulu, baru boleh pergi!"
Kata Nam Tok kepada Siang Bwee dan San Hong. Mereka telah berada jauh di bawah puncak Kabut Putih di Thai-san dan ucapan itu dikeluarkan Nam Tok setelah Siang Bwee dan San Hong berpamit hendak pergi ke selatan, tidak ikut kakek itu yang akan pulang ke tempat tinggalnya di lereng Nam-leng-san.
"Harap Suhu suka memaafkan teecu,"
Kata San Hong sambil memberi hormat kepada kakek itu.
"Aihhh, San-koko. Kenapa engkau masih menyebut suhu kepada Ayah? Dia itu calon ayah mertuamu!"
Gadis ini memang lincah dan sama sekali tidak pemalu seperti gadis-gadis lain. Akan tetapi karena sikap dan ucapannya itu wajar, maka sama sekali tidak mendatangkan kesan bahwa ia genit.
Mendengar ucapan gadis itu, wajah San Hong menjadi kemerahan dan dia pun mengulang sebutannya dengan gagap.
"Eh..... Ayah Mertua.....!"
Akan tetapi Nam Tok mengerutkan alisnya, nampak tidak senang. Kakek ini yang sudah terbiasa dengan kehidupan para datuk yang tidak suka akan segala macam tata-cara dan kesopanan, lebih menyukai sikap yang terbuka dan polos tanpa pura-pura alim, pada hakekatnya tidak begitu suka akan sikap dan watak San Hong. Dia menganggap pemuda ini terlalu lamban dan bodoh, tidak cerdas sama sekali sehingga dia menganggap San Hong tidak cocok untuk menjadi jodoh puterinya yang demikian lincah dan cerdik luar biasa.
"Sudah, tidak perlu banyak sungkan. Katakan, kenapa engkau minta maaf? Tiada hujan tiada angin engkau minta maaf, apa pula maksudmu? Aku hanya minta engkau segera menikah dengan Siang Bwee sebelum kalian pergi, dan jawabanmu hanya minta maaf!"
Suaranya mengandung kekesalan.
"Teecu..... eh, saya minta maaf karena terpaksa saya tidak dapat mentaati perintah Ayah untuk sekarang ini....."
Jawab San Hong agak gugup melihat calon ayah mertuanya marah. Makin mendalam kerut di antara alis yang tebal itu, matanya memandangi tajam penuh selidik.
"Kwee San Hong. Apa maksudmu? Berani engkau menolak usulku? Ehhh....."
Tiba-tiba dia menambahkan dan suaranya mengandung penuh harapan.
"..... apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau tidak ingin menikah dengan Siang Bwee?"
Mendengar nada suara yang tiba-tiba seperti bergembira itu, tentu saja San Hong yang berwatak jujur itu merasa heran, akan tetapi Siang Bwee cemberut.
Dari nada suaranya itu saja, Siang Bwee dapat mengerti bahwa diam-diam ayahnya masih tetap tidak suka kepada San Hong dan ayahnya akan merasa girang kalau ia tidak berjodoh dengan San Hong. Diam-diam ia merasa mendongkol sekali dan kasihan kepada pria yang dicintanya itu.
"Maaf, Ayah, bukan begitu maksud saya. Akan tetapi, untuk sementara ini saya belum dapat melaksanakan pernikahan..."
"Omong kosong! Siapa yang akan melarangmu? Orang tuamu sudah mati siapa lagi yang harus kau minta ijin?" "Ayah.....!"
Siang Bwee berseru.
"Diam kau!"
Ayahnya membentak.
"Biarkan dia menjawab sendiri. Dia harus bersikap laki-laki dan berani menjawab sendiri!"
Perlahan-lahan San Hong bangkit berdiri dan Siang Bwee memandang dengan gelisah. Ia sudah mengenal watak kekasihnya itu. Jujur, polos, tidak pernah berpura-pura, karenanya tidak pandai mengambil hati orang dan karenanya kelihatan bodoh, akan tetapi juga pemberani dan pantang mundur.
"Ayah, memang tidak ada orang yang dapat menghalangi saya, juga tidak ada yang saya mintai ijin. Akan tetapi ada dua hal yang harus saya kerjakan lebih dahulu sebelum saya menikah dengan Bwee-moi."
"Hemmm, masih adakah perkara yang kauanggap lebih penting daripada pernikahanmu dengan Siang Bwee? Katakan, apa dua hal itu!"
"Pertama, saya tidak akan menikah dulu karena Kerajaan Sung terancam oleh pasukan Mongol. Perjuangan untuk membela Kerajaan Sung berarti perjuangan untuk menyelamatkan rakyat dari ancaman penyerbuan Mongol, dan hal ini amat penting, Ayah, lebih penting daripada urusan pribadi. Oleh karena itu, saya harus lebih dulu berjuang memperingatkan Kerajaan Sung dari bahaya yang mengancam, sebelum bersenang-senang dalam pernikahan. Ke dua, saya harus memberitahukan tentang perjodohan saya ini kepada kelima orang suhu di Thian san."
"Huh! Orang seperti engkau ini akan bisa berbuat apakah untuk membela daerah selatan yang terancam pasukan Mongol? Dan, mengapa harus memberi tahu Thian-san Ngo-sian?"
"Ayah tidak adil!"
Tiba-tiba Siang Bwee berseru, tidak peduli akan pandang mata marah dari ayahnya. Gadis yang cerdik ini maklum benar bahwa ayahnya tidak mungkin dapat terlalu marah kepadanya, apalagi sampai turun tangan memukulnya.
"Apakah semangat Ayah sekarang sudah melempem? Sepantasnya Ayah bangga mempunyai seorang mantu seperti Hong ko. Dia begitu perkasa, seorang pejuang sejati yang mengesampingkan kesenangan pribadi, mendahulukan kepentingan rakyat dan negara. Sepantasnya Ayah malah memberi semangat kepadanya untuk membela negara dan menentang Mongol. Ke mana kegagahan Ayah sebagai seorang pahlawan? Dan pula, sudah sepatutnya pula kalau Hong-koko memberi tahu tentang perjodohannya kepada guru-gurunya yang pertama. Dan bukankah Ayah juga tahu bahwa Thian-san Ngo-sian adalah tokoh-tokoh pendekar persilatan yang ternama? Sepatutnya Ayah bangga dengan Hong-koko!"
Diam-diam Nam Tok tersenyum di dalam hatinya. Puterinya ini memang. sudah benar-benar jatuh cinta kepada pemuda bodoh ini, tergila-gila tidak tertolong lagi! Akan tetapi, dia pun senang dengan alasan San Hong untuk lebih dulu berjuang, baru memikirkan pernikahan.
"Hemmm, aku ingin kalian cepat menikah demi kepentinganmu, Siang Bwee! Kenapa engkau malah membela bocah tolol ini? Bagaimana aku dapat membiarkan kalian pergi berdua sebelum menikah? Engkau seorang gadis, tentu tidak akan pantas dilihat orang....."
"Aihhh! Sejak kapan Ayah begini beraturan dan bersopan-sopan? Ayah sendiri selalu mengatakan bahwa semua sikap bersopan-sopan itu adalah munafik! Yang penting, kita tahu bahwa apa yang kita lakukan benar. Apa peduliku dengan pendapat yang keluar dari mulut orang yang usil? Dan Ayah pun tahu bahwa selama ini, aku sudah melakukan perjalanan berdua dengan Hong-koko, makan di satu meja, bahkan tidur di satu ruangan.
Akan tetapi, Hong-koko adalah seorang laki-laki sejati, Ayah. Belum pernah dia memperlihatkan sikap kurang ajar kepadaku, tidak pernah ada pikiran cabul sedikit pun dalam hatinya! Selain itu, sekarang usiaku baru delapan belas tahun lebih, Hong-koko juga baru dua puluh tahun lebih, masih terlalu muda untuk menikah. Aku setuju dengan alasan Hong-ko dan aku menunjangnya. Ayah!"
Nam Tok memandang kepada puterinya yang sudah berdiri di samping San Hong, dengan sikap menantang seperti seekor singa betina melindungi anaknya! Mau tidak mau Nam Tok tersenyum, lalu dia memandang San Hong dan berkata.
"Kwee San Hong, aku menyetujui alasanmu. Terserah kepada kalian berdua, hanya aku pesan bahwa kalau sudah selesai, engkau harus kembali ke Nam leng-san dan merayakan pernikahan di sana. Dan ingat baik-baik engkau, San Hong. Kalau engkau sampai membikin susah hati anakku, biar engkau bersembunyi ke ujung dunia pun akan kucari dan kubunuh!"
Setelah berkata demikian, Nam Tok meloncat dan sudah berlari jauh.
Siang Bwee dan San Hong saling berhadapan dan saling pandang. Keduanya tersenyum dan ketika Siang Bwee menghampiri, San Hong mengembangkan kedua lengannya, menerima gadis itu dalam rangkulannya.
Sampai lama Siang Bwee menyandarkan mukanya di dada kekasihnya. Mereka tidak perlu bicara lagi dalam keadaan seperti itu. Detak jantung dan denyut darah mereka sudah bicara banyak dan mereka tenggelam ke dalam kedamaian yang membahagiakan.
Setelah lama sekali, terdengar suara Siang Bwee.
"Koko, kalau kita ke selatan, apa yang harus kita lakukan?"
"Tentu saja membantu rakyat dan negara untuk menghadapi Mongol."
"Tapi, apa yang akan kita lakukan setelah tiba di sana? Pasukan Mongol belum tentu akan datang menyerang dengan cepat."
San Hong termenung.
"Entahlah, Bwee-moi, aku sendiri pun tidak tahu apa yang akan kulakukan. Pokoknya membantu pemerintah Sung melawan Mongol, itu saja."
Gadis itu melepaskan dekapan Hong dan mereka kini berdiri berhadapan sambil saling berpegang kedua tangan.
Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siang Bwee, tertawa geli.
"Aih, dan engkau tadi begitu berani mati bicara kepada Ayah, sedangkan engkau sendiri tidak tahu apa yang harus kau lakukan di selatan!"
"Bwee-moi yang manis, kau berikan petunjuk padaku."
"Hemmm, merayu, ya? Kau ingat betapa See Mo dan Tung Kiam telah diterima menjadi antek Jenghis Khan. Mereka dan murid-murid mereka tentu akan melakukan sesuatu di selatan. Kita ke sana dan kita hadapi mereka, kita menggagalkan semua pekerjaan mereka yang tentu akan mengacau di sana. Bagaimana pendapatmu?"
San Hong memeluk pinggang gadis itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Ha-ha-ha, engkau benar, wah, engkau memang cerdik bukan main. Engkau isteri-ku yang hebat! Tanpa engkau, aku seperti perahu tanpa kemudi!"
"Ihhh! Lepaskan aku! Lepaskan aku....!"
Siang Bwee tertawa-tawa dan meronta minta dilepaskan. Akan tetapi saking girangnya, San Hong melemparkan tubuh gadis itu ke atas, ketika turun ditangkap lalu dilempar lagi sampai tiga kali, membuat Siang Bwee terkekeh-kekeh dan menjerit-jerit manja karena kalau ia menghendaki, tentu saja ia dapat melompat. Pada saat tubuh gadis itu meluncur turun lagi, San Hong menerimanya dalam pelukan. Akan tetapi, Siang Bwee menggelitik pinggang San Hong sehingga pemuda itu terkekeh dan terpaksa melepaskan Siang Bwee. Gadis itu lari, dikejar San Hong. Mereka berkejaran, penuh kegembiraan dan kebahagiaan, menuju ke selatan.
Sampai di sini, selesailah kisah Pedang Asmara ini dan pengarang mengharapi semoga karangan ini ada manfaatnya bagi para pembaca.
Kisah gerakan bangsal Mongol yang dipimpin oleh Temucin atau Jenghis Khan ini, bersama kisah Empat Datuk Besar dengan murid-murid mereka, akan dilanjutkan dalam cerita lain.
Sampai jumpa di lain karangan.
TAMAT
Lereng Lawu, akhir Juni 1984.
Djvu dibuat oleh : Syaugy_ar
Convert : Dewi KZ, editor Budi Santoso Bandung (trims)
Final Edit & Ebook oleh : Dewi KZ
Tiraikasih Website : http://kangzusi.com
Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo