Pedang Asmara 6
Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
Tebtengri adalah seorang dukun, seorang ahli nujum yang pada waktu itu merupakan kedudukan yang amat tinggi. Ketika, orang-orang masih hidup di bawah pengaruh ketahyulan, dan seorang dukun dan peramal dianggap sebagai orang yang luar biasa dan ditakuti. Karena itu, di masa itu, para kepala suku saja takut menghadapi kekuasaan seorang dukun, yang dianggap bersekutu dengan para dewa dan setan, dapat mencabut nyawa seseorang secara begitu saja! Namun Temucin menentang kekuasaan yang menyalahgunakan kepercayaan dan kebodohan rakyat ini, maka terjadilah permusuhan yang hanya terpendam di dalam hati saja.
Peristiwa yang terjadi ketika Tebtengri bersama ayahnya dan saudara saudaranya datang berkunjung kepada Temucin, hanya merupakan satu di antara ledakan-ledakan dari timbunan kebencian itu. Ketika Munlik dan tujuh orang puteranya berkunjung ke perkemahan Temucin malam itu, Temucin menyambut mereka dan mempersilakan mereka duduk. Pada saat itu, seperti telah diatur sebelumnya, masuk pulalah Temugu. Seperti menjadi kebiasaan dan peraturan mereka sewaktu memasuki perkemahan, semua senjata ditinggalkan di luar kemah. Temugu langsung saja mendekati Tebtengri memegang bahunya dan berkata.
"Kemarin mengandalkan pengeroyokan, engkau menghinaku dan memaksa aku berlutut! Sekarang, mari kita mengadu kekuatan satu lawan satu!"
"Eh, babi, kau menantang?"
Jawab Tebtengri dan mereka pun bergumul. Memang di antara bangsa Mongol ini, perkelahian yang terhormat adalah bergumul, dan bergumul dianggap seni atau tata kelahi yang paling terhormat, bukan pukul memukul atau tendang-menendang, dilihat ini, para putera Munlik sudah bangkit berdiri, akan tetapi tiba-tiba, dengan suaranya yang berwibawa, Temucin membentak.
"Heh! Apakah kalian sudah tidak mengenal aturan lagi, bergumul di dalam kemah? Hayo kalian berdua keluar dan kalau mau bergumul, di luar!"
Mendengar bentakan ini, dua orang yang sedang bergumul itu berhenti, kemudian Temugu dengan lantang berkata, sambil memandang kepada Tebtengri dengan sikap menantang.
"Kalau engkau memang laki-laki, hayo keluar, kita mengadu kekuatan di luar!"
Dan dia pun melangkah keluar. Mendengar tantangan ini, Tebtengri yang merasa bahwa dia pasti akan menang menghadapi Temugu yang tidak berapa besar itu, segera melangkah ke luar pula. Akan tetapi begitu dia tiba luar kemah, tiba-tiba saja tiga orang yang tinggi besar dan melihat gerakan mereka adalah jago-jago gulat yang pandai, menubruk Tebtengri dan menekuk tubuhnya ke belakang sampai patah tulang punggungnya dan tewas seketika! Kejadian ini berlangsung amat cepatnya sehingga Tebtengri tidak lagi sempat berteriak. Tiga orang itu melemparkan tubuh Tebtengri yang sudah tak bernyawa lagi dan mayat itu menggeletak di dekat roda sebuah gerobak. Ketika saudara-saudara Tebtengri keluar, Temugu berkata,
"Kemarin Tebtengri menghinaku, sekarang aku menantang dia mengadu kekuatan, akan tetap dia menggeletak di sana tidak mau bangkit lagi!"
Munlik dan enam orang puteranya segera menghampiri dan melihat bahwa Tebtengri ternyata telah tewas, Munlik dan anak-anaknya menjadi marah bukan main. Mereka mengambil senjata mereka yang tadi dilepas dan ditumpuk di depan pintu kemah, kemudian sambil mencabut senjata mereka, Munlik berkata kepada Temucin yang sudah bangkit dari tempat duduknya, dengan suara bernada penuh penyesalan, duka dan kemarahan.
"Khan (Raja), mulai detik ini aku tidak sudi lagi mengabdi kepadamu!"
Agaknya Munlik dan enam orang puteranya, saking marahnya, hendak nekat menyerang Temucin. Namun, Temucin yang tidak memegang senjata itu, melangkah maju dengan sikap tenang. Tidak ada jalan keluar dari kemah itu kecuali pintu yang satu itu, yang kini dipenuhi Munlik dan para puteranya yang menghadang keluarnya dengan pedang di tangan. Lain orang tentu akan memanggil pengawal dan minta bantuan, akan tetapi Temucin adalah orang yang mampu mengendalikan perasaannya dan mempergunakan kewibawaannya. Dengan suara lantang dan tegas, penuh perintah, Temucin membentak mereka dengan kata-kata memerintah.
"Kami hendak keluar, minggirlah kalian semua!!"
Munlik dan enam orang puteranya tercengang. Tak mereka sangka akan menghadapi sikap Temucin seperti itu dan bagaikan kena pesona, mereka pun tidak mampu menggerakkan senjata, bahkan semua semangat permusuhan lenyap, dari hati mereka. Mereka minggir dan membiarkan Temucin lewat ke tempat para pengawal yang menanti di luar perkemahan. Temucin melihat bahwa Tebtengri telah tewas. Dia memerintahkan untuk mengurus jenazah itu, menyembunyikannya agar tidak menyolok pandang mata. Ketika banyak orang datang berkerumun untuk melihat apa yang terjadi dengan tenang Temucin berkata kepada mereka semua,
"Tebtengri telah berkhianat mengadakan persekutuan jahat untuk menentang kami, oleh karena itu para dewa menjadi marah dan mencabut nyawanya."
Kemudian, Temucin mengundang ayah mertuanya untuk mengadakan pertemuan dan percakapan empat mata, dan dengan sikap sungguh-sungguh dia pun menegur ayah mertuanya itu.
"Sungguh sayang sekali bahwa anda tidak memberi ajaran yung baik kepada putera-putera anda itu sehingga mereka menjadi kurang ajar yang akhirnya hanya akan mencelakakan mereka sendiri. Tebtengri telah mencoba untuk merendahkan kekuasaan saya, oleh karena itu, dengan terpaksa sekali saya menyingkirkannya. Siapa saja yang berani mencoba untuk menentang saya, pasti akan saya singkirkan! Mengenai anda sendiri, karena anda merupakan ayah mertua yang baik dan yang sudah banyak membantu pasukan kami, maka saya berjanji akan melindungi anda dari bahaya apa pun yang mengancam diri anda. Saya harap perkara ini dianggap selesai sampai di sini saja."
Memang Temucin berhasil menundukkan hati Munlik dan putera-puteranya yang tidak mendendam atas kematian Tebtengri yang dianggap salahnya sendiri itu. Akan tetapi, perang antara suku-suku di daerah Gurun Gobi masih juga berkobar terus. Namun, yang makin menonjol dan semakin besar kekuasaannya bertambah terus pasukannya, adalah Temucin. Rencana Temucin adalah untuk mengakhiri semua pertikaian antara suku itu, mempersatukan mereka menjadi satu bangsa Mongol yang besar dan jaya. Dengan hati-hati, dengan penuh kesabaran dan ketekunan, Temucin mulai menghimpun kekuatan raksasa yang kelak akan merupakan gelombang dahsyat yang menggetarkan sebagian besar bangsa di dunia.
Memang waktu itu tanpa terasa lewat dengan cepatnya. Dua puluh tahun lewat dengan amat cepatnya semenjak Yeliu Cutay kembali ke rumah orang tuanya di kota raja. Orang tua Yeliu Cutay bernama Yeliu Koan dan dia menduduki jabatan penting di bagian kebudayaan dari Kerajaan Cin, yaitu kerajaan di utara yang didirikan oleh bangsa Yucen. Biarpun Yeliu Koan adalah seorang terpelajar dari suku Liau-tung yang termasuk suku bangsa Khitan, namun sejak muda dia mengabdi kepada. Kerajaan Cin yang sesungguhnya adalah kerajaan yang didirikan oleh bangsa Yucen, musuh besarnya sendiri! Hal ini menunjukkan banwa keluarga Yeliu bukanlah keluarga yang terlalu mementingkan bangsa.
Karena Yeliu Koan bekerja dengan tekun dan penuh kesetiaan, maka Raja Kerajaan Cin juga amat percaya dan suka kepadanya. Pangkatnya naik menjadi pembantu menteri, bahkan ketika Yeliu Cutay pulang dan oleh ayahnya diajukan sebagai calon pegawai negeri, pemuda yang cerdik dan telah mahir dalam ilmu perbintangan, ilmu nujum juga ilmu silat dan siasat perang itu segera diterima dan begitu masuk sudah menjadi penasihat dari angkatan perang! Seperti juga ayahnya, Yeliu Cutay tidak mempunyai kebanggaan berbangsa, maka dengan hati ringan saja dia menghambakan diri kepada bangsa Yucen atau Kerajaan Cin. Bahkan hasil pekerjaannya amat baik dan menerima pujian dari atasannya.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Yeliu Cutay membawa pulang seorang anak bayi! Ibu bayi itu meninggal dunia, dan ayahnya berada dalam bahaya besar. Yeliu Cutay, dengan ilmu perbintangan dan ilmu nujumnya, hampir dapat merasakan banwa ayah anak itupun takkan dapat hidup lama, dan bahwa terpaksa dia harus memelihara anak itu. Dapat dibayangkan betapa sukarnya perjalanan yang ditempuhnya sambil memondong seorang bayi yang baru saja dilahirkan! Untung baginya bahwa dari Temucin dia memperoleh bekal emas yang cukup banyak.
Dengan emas ini, dia mampu tinggal sampai sebulan lamanya di sebuah dusun, menyewa seorang inang pengasuh dan memelihara anak yang bernama Tiong Sin itu sebaik-baiknya. Setelah anak itu cukup kuat disertai oleh wanita pengasuh itu, Yeliu Cutay membeli sebuan kereta dan melanjutkan perjalanan ke kota raja. Tentu saja perjalanan ini pun tidak mudah, namun berkat ilmu silatnya, terutama sekali Pedang Asmara yang melindunginya, dia dapat tiba di Kota Raja Cin dengan selamat.
Agaknya pengalamannya yang amat pahit bersama sumoi dan sutenya itu membuat Yeliu Cutay seperti dingin terhadap wanita. Dia tidak mau menikah! Dan karena dia maklum bahwa Pedang Asmara mempunyai pengaruh yang amat kuat untuk menggelorakan gairah berahi orang yang berdekatan dengan pusaka itu, dan dia sendiri tidak suka berdekatan dengan wanita, maka pedang itu tidak pernah dipakainya dan hanya disimpannya selama dua puluh tahun itu ke dalam gudang ayahnya, kemudian setelah dia duduki jabatan penting, mempunyai gedung sendiri, dia memindahkan pedang itu ke dalam gudangnya sendiri. Ini berarti bahwa Yeliu Cutay tidak pernah berhubungan dengan wanita. Dia ada mengambil beberapa orang selir, akan tetapi dia tidak pernah mau mengambil isteri yang sah. Dan dia pun selalu pergunakan obat untuk mencegan agar para selirnya itu tidak mempunyai keturunan. Mereka itu hanya merupakan hiburan baginya, tidak ada pertalian cinta kasih dalam hatinya.
Yeliu Cutay adalah seorang yang keras hati dan berkemauan keras sehingga dia mampu mempertahankan sehingga dua puluh tahun kemudian, dia belum juga menikah. Selama itu, dia memelihara dan mendidik Tiong Sin dengan baik. Anak itu menjadi murid dan juga anaknya, diakuinya sebagai anak dan bahkan dia memberikan she Yeliu kepada anak itu, Yeliu Tiong Sin! Hal ini dia lakukan setelah dia melakukan penyelidikan ke markas Hek-eng-pang dan mendengar akan kematian Bu Siang Hok.
Ternyata Yeliu Tiong Sin adalah seorang anak laki-laki yang cerdik dan berbakat. Juga dia tampan sekali, dengan sepasang mata yang bersinar-sinar, lincah jenaka dan wajahnya selalu cerah. Yeliu Cutay menggemblengnya dalam ilmu silat dan juga mengharuskan anak itu mempelajari kesusastraan. Dia mendidik anak itu dengan tekun dan bahkan keras dan dia mengira bahwa dengan didikan itu pasti Tiong Sin kelak akan menjadi seorang manusia yang berguna.
Namun, Yeliu Cutay lupa akan sesuatu yang amat penting, bahkan teramat penting dan menjadi pokok dari pendidikan. Dia boleh saja melimpahkan segala macam pendidikan, pengetahuan, bahkan kemewahan kepada muridnya atau anak angkatnya itu, namun tetap saja Tiong Sin merasa tidak puas dan makin dewasa, dia menjadi semakin penasaran dan gelisah seperti orang kehausan. Memang dia haus, haus akan kasih sayang! Inilah yang dilupakan Yeliu Cutay, Kasih sayang.
Kasih sayang merupakan dasar pendidikan yang paling mutlak. Tanpa kasih sayang, semua pendidikan tidak ada artinya, tentu saja yang dimaksudkan adalah pendidikan di segi moral. Orang-orang tua, seperti halnya Yeliu Cutay lupa bahwa kasih sayang bukanlah perasaan senang dan bangga kalau si anak menjadi anak penurut, lalu tidak senang dan marah kalau si anak tidak penurut. Kasih sayang itu ikhlas, demi kebahagiaan si anak, bukan dengan jalan memberi segala yang dikehendakinya.
Itu bukan demi kebahagiaan si anak,melainkan demi kehancuran si anak yang akan menjadi manja dan jahat. Yeliu Cutay memberikan segalanya kepada Tiong Sin. Pelajaran ilmu silat, kesusastraan, pakaian yang indah, makanan yang baik, bahkan nama dan kehormatan sebagai putera Yeliu Cutay yang terkenal sebagai seorang pejabat tinggi yang semakin menanjak namanya. Akan tetapi Yeliu Cutay tidak memberikan kasih sayang yang wajar kasih sayang ayah dan ibu terhadap anaknya!
Inilah sebabnya, maka Tiong Sin mencari kasih sayang itu keluar rumah! Di antara teman-temannya, di antara orang-orang yang bersikap baik padanya. Dia masih terlalu muda untuk melihat apa yang tersembunyi di balik "kebaikan"
Teman-teman itu! Seolah-olah racun dibungkus gula, kebaikan teman-temannya itu menyeretnya ke arah watak yang amat merugikan pribadinya. Dan watak ini adalah mata keranjang, watak yang melemahkan pribadinya terhadap tekanan nafsu.
Betapapun juga, harus diakui bahwa Tiong Sin adalah seorang murid yang amat menyenangkan. Dia mudah sekali mempelajari ilmu-ilmu silat baru yang diajarkan Yeliu Cutay dan mudah menguasainya. Juga otaknya terang sekali hingga mudah menghafal huruf-huruf baru, pandai merangkai hurut huruf itu menjadi syair yang indah. Juga dia pandai bersikap hormat dan manis terhadap siapa saja, terutama terhadap Yeliu Cutay yang sama sekali tidak pernah menduga bahwa di balik wajah yang cerah dan senyum yang ramah penuh hormat itu tersembunyi watak yang tidak baik. Seluruh ilmu silatnya telah dia ajarkan sehingga ketika Tiong Sin berusia dua puluh tahun, dia telah menguasai seluruh ilmu silat yang dimiliki gurunya atau ayah angkatnya. Dia menyebut ayah kepada Yeliu Cutay, akan tetapi, dia tahu bahwa dia bukanlah putera kandung gurunya itu.
Hal ini diketahuinya dari hasil pergaulannya ke luar. Di antara para pelayan tentu saja ada yang tahu bahwa ketika Yeliu Cutay pulang dua tahun yang lalu, pemuda itu membawa seorang bayi. Karena Yeliu Cutay belum menikah, tentu saja keadaan bayi itu menimbulkan pertanyaan dan untuk melenyapkan dugaan yang bukan bukan, orang tua Yeliu Cutay memberitahu kepada para pelayan itu bahwa anak yang dibawa oleh Yeliu Cutay adalah anak yatim piatu dan yang menjadi anak angkat Yeliu Cutay. Demikianlah, mendengar berita bahwa dia bukan anak kandung Yeliu Cutay, Tiong Sin menghadap ayahnya dan menanyakan hal ini. Dahulu, sebelum dia mendengar akan hal itu, sudah berulang kali dia bertanya kepada ayahnya tentang ibunya, dan selalu ayahnya itu menjawab sambil lalu dan menyimpan.
"Ibumu sudah meninggal dunia."
Hanya itulah jawabannya.
Ketika Tiong Sin menghadap Yeliu Cutay dan menceritakan tentang apa yang didengarnya, bahwa dia bukan anak kandung orang yang selama ini dianggap ayahnya sendiri, Yeliu Cutay menarik napas panjang.
"Aku tahu bahwa hal ini takkan dapat ditutup-tutupi, Tiong Sin. Dan memang bukan maksudku untuk merahasiakannya darimu untuk selamanya. Hanya aku menanti sampai engkau benar dewasa, baru akan kuceritakan. Sekarang, setelah engkau mendengar berita itu, baiklah, kau dengarkan ceritaku."
(Lanjut ke Jilid 06)
Pedang Asmara (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 06
Yeliu Cutay lalu menceritakan tentang Bu Siang Hok dan Tang Siok Hwa betapa kedua orang tua anak itu tidak dapat menjadi suami isteri yang sah karena ditentang oleh orang tua Tang Siok Hwa, yaitu Tang Pangcu ketua Hek-eng-pang. Dan betapa ibu kandungnya itu meninggal ketika melahirkannya karena kehabisan darah dan tidak ada ahli yang membantunya melahirkan. Kemudian betapa ayah kandungnya juga tewas, mungkin tewas dikeroyok orang Hek-eng-pang.
"Nah demikianlah riwayatmu, Tiong Sin. Akan tetapi, sejak engkau terlahir, engkau sudah kubawa. Aku yang merawat dan mendidikmu, dan aku mengangkatmu sebagai anakku, biarpun engkau sama sekali bukan darah dagingku. Dan meskipun kuberi nama keturunan keluarga kami. Sekarang, terserah kepadamu apakah engkau akan tetap mempergunakan nama keturunan Yeliu ataukah akan menggunakan nama keturunan ayah kandungmu, yaitu Bu."
Tiong Sin menghapus air matanya yang bercucuran ketika mendengar cerita ayah angkat atau gurunya, lalu dia memberi hormat dengan menyembah sampai dahinya membentur lantai.
"Sungguh besar budi yang Ayah limpahkan kepadaku. Karena Ayah ternyata bukan ayah kandungku, maka budi itu terasa semakin besar dan berat lagi. Karena itu, biar saya akan terus memakai nama keturunan Yeliu untuk membalas budi Ayah."
Semenjak mengetahui bahwa dirinya bukan anak kandung Yeliu Cutay, Tiong Sin banyak bertanya tentang ayah dan ibu kandungnya dan juga menanyakan tentang Hek-eng-pang kepada ayah angkatnya.
"Untuk apa engkau bertanya-tanya tentang Hek-eng pang?"
Tanya Yeliu Cutey curiga.
"Tidak mengapa, Ayah. Bukankah ibu adalah puteri ketua Hek-eng-pang? Maka, Hek-eng-pang adalah perkumpulan keluarga ibu, berarti juga keluargaku pula."
Karena jawaban itu menghapus kecurigaannya, maka dia pun lalu memberitahu bahwa Hek-eng-pang berada di kota Wang-cun, sebelah selatan dari perbatasan kota raja.
Setelah Tiong Sin berusia dua puluh tahun, seperti telah diceritakan di depan dia berhasil menguasai semua ilmu silat dari ayah angkatnya. Pada suatu hari dia berlatih ilmu pedang, menggunakan sebatang pedang biasa. Hebat ilmu pedang ini. Pedangnya lenyap bentuknya dan nampak gulungan sinar terang. Itulah ilmu pedang yang disebut Thay-san Kiam-sut (Ilmu Pedang Thay-san) yang merupakan inti dari kepandaian Yeliu Cutay karena ilmu pedang itu adalah ciptaan mendiang Pek-bi-tojin, guru dari Yeli Cutay. Ilmu pedang ini bukan hanya indah dilihat, akan tetapi juga lihai sekali dan selain cepat, untuk meminkannya harus dipergunakan sinkang dengan pengerahan yang tepat pada gerakan-gerakan tertentu.
"Sing-singgggg..... krekkk!"
Tiba-tiba Tiong Sin menghentikan permainan pedangnya, memandang pedang yang patah menjadi dua potong itu. Ketika dia membuat sentakan tiba-tiba dalam suatu jurus yang penuh daya tipu, pedang itu tidak kuat menahan sentakan ini yang dikerahkan dengan tenaga sinkang dan patah menjadi dua.
"Ah, maaf, Suhu....."
Katanya kepada Yeliu Cutay yang sejak tadi menonton latihan pedang putera angkatnya. Dia kagum bukan main dan harus mengakui dengan diam-diam bahwa dia sendiri tidak mungkin dapat memainkan Thay-san Kiam-sut seindah itu! Bakat yang dimiliki Tiong Sin amat besar dan tenaga sin-kangnya juga amat kuat sehingga ketika membuat sentakan itu, pedangnya menjadi patah.
"Ah, tenagamu sudah memperoleh kemajuan pesat, Tiong Sin. Memang, ilmu pedang yang hebat harus dimainkan dengan pedang pusaka yang hebat pula. Pedang biasa takkan kuat bertahan....."
"Sayang kita tidak memiliki sebuah pedang pusaka yang hebat, Ayah."
Tiba-tiba Yeliu Cutay tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, kau kira ayahmu tidak memiliki sebuah pedang pusaka? Ha, siapa bilang? Aku memiliki sebatang pedang pusaka yeng tiada keduanya di dunia ini, Tiong Sin!"
Wajah yang tampan itu berseri dan mata yang mencorong itu mengamati wajah ayahnya.
"Aih, benarkah, Ayah ? Mengapa tidak pernah Ayah keluarkan dan pergunakan? Aku belum pernah melihatnya!"
"Pedang pusaka itu amat hebat dan ampuh, anakku, demikian ampuh dan dahsyatnya sehingga amat berbahaya."
"Ayah, bolehkah aku melihatnya?"
"Kau tunggu sebentar!"
Yeliu Cutay .meninggalkan pemuda itu, mengambil kunci dan membuka pintu gudangnya lalu mengeluarkan Pedang Asmara dalam sarungnya yang nampak berdebu karena sudah terlalu lama tidak pernah disentuh. Dia membersihkan sarung itu, juga gagang pedang dengan kain ketika membawanya ke depan putera angkatnya.
"Kelihatannya seperti pedang biasa saja, Ayah."
Kata Tiong Sin memancing.
Yeliu Cutay tersenyum. Setelah sarung pedang dan gagangnya bersih, dia berkata.
"Pedang biasa? Bersiaplah engkau, anakku, dan lihat baik-baik!"
"Singgggg.....!"
Dia mencabut pedang itu dan nampaklah cahaya berkelebat menyilaukan mata ketika Pedang Asmara tercabut dari sarungnya, apalagi ketika Yeliu Cutay menggerakkan pedang memainkan beberapa Jurus, nampak sinar berkeredepan dan angin berdesingan nyaring.
"Aaahhhhh.....! Bukan main.....! Pedang pusaka itu hebat sekali, Ayah!"
Seru Tiong Sin, matanya terbelalak memancing penuh kagum.
Yeliu Cutay menghentikan permainannya dan tertawa, mengelus pedang itu.
"Memang dahsyat sekali pedang ini, tidak bolen dibuat main-main dan berbanaya bekali."
Akan tetapi Tiong Sing tidak melihat bahayanya pedang pusaka yang ampuh, kecuali berbahaya untuk lawan tentu saja. Dan Yeliu Cutay juga tidak ingin membuka rahasia pedang pusaka itu, mengenai pengaruhnya terhadap pemegangnya yang selalu berdekatan dengan pedang yang dapat mempengaruhi batin orang yang membawanya.
"Ayah, bolehkah aku meminjamnya dan mencoba untuk berlatih Thay-san Kiam-sut?"
Yeliu Cutay mengungguk dan menyerankan pedang itu. Memang maksud nya mengambil pedang pusaka itu untuk diberikan kepada putera angkatnya agar dapat berlatih kiam-sut itu dengan Pedang Asmara.
Dengan girang Tiong Sin menerima pedang itu dan mulailah dia berlatih.! Kini Yeliu Cutay berdiri bengong, kagum bukan main. Memang hebat sekali putera angkatnya, juga muridnya itu. Dan pedang pusaka itu ketika dimainkan dengan ilmu Thay-san Kiam-sut, nampak pas benar! Lenyaplah bentuk pedang dan lenyap pula tubuh putera angkatnya, terbungkus gulungan sinar pedang.
Setelah selesai memainkan Thay-san Kiam-sut, Tiong Sin berhenti dan nampak napasnya agak terengah, mukanya penuh peluh. Melihat ini, Yeliu Cutay berkata.
"Gerakanmu sudah bagus sekali, Tiong Sin. Namun agaknya masih ada ketidak tepatan dalam mengatur pernapasan sehingga engkau terengah dan juga berpeluh nampak kelelahan. Engkau perlu berlatih lebih banyak, terutama memperhatikan pernapasan dalam setiap gerakan."
Pemuda itu mengangguk.
"Baiklah, Ayah. Aku akan berlatih lebih giat dan tekun lagi. Memang Thay-san Kiamsut ini sukar sekali, akan tetapi kalau berlatihnya dengan pedang ini, terasa lebih ringan dan lebih mudah. Bolehkah aku meminjam pusaka ini untuk memperdalam ilmu pedangku, Ayah? Akan kujaga pedang ini baik-baik."
Yeliu Cutay mengangguk.
"Boleh engkau pakai untuk berlatih silat. Akan tetapi, hanya untuk berlatih silat saja dan sehabis berlatih, harus dikembalikan ke dalam gudang. Ini kuncinya!"
Yeliu Cutay menyerahkan kunci gudang dan sarung pedang kepada putera angkatnya, Tiong Sin menerimanya dengan gembira bukan main dan berkali-kali menghaturkan terima kasih ketika ayah angkatnya itu mengundurkan diri.
Yeliu Cutay tidak tahu sama sekali banwa Tiong Sin tadi terengah dan berkeringat bukan dengan sewajarnya, melainkan dibuat atau disengajanya. Pemuda yang amat cerdik ini sudah memperhitungkan bahwa ayah angkatnya atau gurunya akan menyuruh dia berlatih lebih tekun lagi, sehingga dia memperoleh alasan dan kesempatan untuk meminjam pedang pusaka yang telah amat menarik perhatiannya itu. Dia suka sekali kepada pedang itu, demikian enak dipakai bersilat pedang!
Demikianlah, mulai hari itu, setiap hari berlatih silat pedang Thay-san, Tiong Siu mempergunakan Pedang Asmara. Dia sendiri belum sadar pengaruh apa yang dialirkan oleh pedang pusaka itu ke dalam dirinya, dan hanya menganggap bahwa pedang itu memang amat indah, juga ampuh dan baik sekali. Pada suatu malam, Tiong Sin nampak berlatih silat pedang di dalam kebun, di bawah sinar bulan purnama. Malam itu langit cerah sekali sehingga sinar bulan purnama menjadi penuh dan terang benderang. Karena hawa udara amat sejuk, ketika menjenguk jendela kamarnya melihat betapa udara di luar amat jernih dan indah, Tiong Sin lalu meninggalkan kamarnya, mengambil pedang di gudang dan berlatih silat pedang di kebun, tidak di dalam lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) seperti biasanya.
Selagi dia berlatih pedang, telinganya yang terlatih matang itu mendengar ada gerakan di belakangnya. Tiong Sin mengira bahwa gurunya dan juga ayah angkatnya yang datang, akan tetapi ketika dia mengerling, dia melihat pakaian sutera berkembang merah muda. Seorang wanita! Dia menghentikan latihannya dan membalikkan tubuh, dan terpesona! Tentu saja dia mengenal gadis yang berdiri di depannya itu. Siauw Bwee, gadis berusia lima belas tahun yang menjadi pelayan dan selir ayahnya yang ke tiga. Siauw Bwee seorang gadis yang manis, dengan mulut yang bibirnya merah menggairahkan. Akan tetapi, biasanya Tiong Sin tidak pernah tertarik kepada gadis ini atau gadis manapun yang menjadi pelayan di rumah ayahnya.
Dianggapnya Siauw Bwee ini hanya seorang di antara para pelayan dan tentu saja dia merasa terlalu tinggi untuk memandang pun, apalagi sampai tertarik! Akan tetapi, sekarang lain lagi! Dia seolah-olah merasa berhadapan dengan seorang bidadari yang baru turun dari sorga! Begitu cantik jelitanya, begitu menariknya, dengan senyum dikulum yang amat manis, dengan tubuh ranum yang menggairahkan. Tiong Sin memandangi bengong, pedang itu masih dipegangnya. Gadis itu tersenyum. Nampak kilatan giginya sebentar ketika ia tersenyum senyum yang geli karena tidak biasanya sang kongcu (tuan muda) memandang kepadanya seperti itu!
"Kongcu.....! Kongcu kenapakah. Apakah lupa kepada saya? Saya Siauw Bwee.....!"
Katanya sambil tertawa kecil dan menutupi mulutnya dengan ujung lengan baju yang panjang. Tiong Sin menghela napas panjang.
"Ah, engkau Siauw Bwee....."
Katanya seolah-olah tidak percaya bahwa gadis di depannya itu bukan seorang bidadari, melainkan seorang pelayan!
"Kongcu, permainan pedangmu tadi..... sungguh luar biasa sekali. Kukira apa yang menderu-deru dan yang nampak hanya gulungan sinar. Kiranya Kongcu sedang berlatih pedang. Hebat, Kongcu..... kau nampak gagah dan..... dan..... hebat.....!"
Tiong Sin merasa betapa tubuhnya gemetar. Dia tidak tahu bahwa ada dua kekuatan luar biasa yang telah memasuki dirinya. Pertama adalah pengaruh aneh dari Pedang Asmara, yang menggugah gairah berahinya begitu dia berdekatan dengan Siauw Bwee. Dan ke dua, pengaruh yang lebih ajaib lagi, adalah pengaruh sinar bulan purnama. Bulan purnama dengan sinarnya yang lembut memang memiliki daya kekuatan yang amat besar pengaruhnya terhadap diri manusia. Dalam kaitan yang terjadi pada alam sekalipun, bulan mempunyai pengaruh yang amat kuat terhadap lautan, membuat lautan bergelora.
Apalagi terhadap manusia, kalau diingat bahwa manusia, badan ini, lebih dari tiga perempat bagian adalah air! Karena sadar akan pengaruh bulan pada manusia ini, maka para cerdik pandai di jaman dahulu seringkali memperdalam ilmunya di bawah sinar bulan purnama, akan tetapi juga mengingatkan kaum muda agar berhati-hati kalau sedang terang bulan, sinar bulai purnama itu dapat menggelorakan hati sanubari. Melihat Tiong Sin gemetar dan seperti menggigil, gadis itu merasa heran. Tidak biasanya tuan muda itu bersikap seperti itu. Ia pun melangkah menghampiri, mendekat.
"Engkau kenapakah, Kongcu.....?"
Tanyanya lirih.
Dalam pendengaran Tiong Sin, pertanyaan lirih itu lebih merdu dan lebih sedap daripada nyanyian, bahkan seperti rayuan dan dia pun menggerakkan tangan kirinya dan di lain saat, pinggang gadis itu telah dirangkul lengan kirinya dan sekali tarik, tubuh gadis itu telah berada dalam dekapannya! Dan gadis pelayan itupun seperti terkena pesona, tubuhnya seperti kemasukan aliran yang membuatnya menggigil, tubuhnya panas dingin dan lama sekali dia tidak menolak, bahkan membalas merangkulkan kedua lengannya di leher Tiong Sin! Kalau nafsu sudah menguasai hati dan pikiran, maka mata seperti buta, telinga seperti tuli, dan tidak ada lain hal yang mempedulikan lagi kecuali menuruti dorongan nafsu yang bagaikan api yang membakar, makin dituruti makin bernyala! Kedua orang muda itu seperti sudah lupa akan kesadaran dan tahu-tahu hubungan itu pun terjadilah, seperti dua ekor binatang saja yang tidak lagi mempedulikan susila atau tidak lagi mengenal susila.
Terjadi begitu saja, di tempat itu juga, di atas rumput di mana tadi Tiong Sin berlatih silat pedang! Dan keduanya melakukannya dengah penuh kepasrahan, pasrah kepada nafsu, tanpa paksaan, bahkan dengan penuh semangat dan gairah. Setelah lewat tengah malam, setelah mereka menuruti dorongan nafsu seolah-olah iblis sendiri yang memasuki tubuh mereka, setelah memuaskan gairah berahi berulang kali, akhirnya mereka khawatir kalau sampai ketahuan dan mereka pun kembali ke dalam kamar masing-masing. Tidak banyak kata terucapkan di waktu mereka berdua tenggelam dalam laut nafsu itu. dan bulan purnama seperti tersenyum. Pedang Asmara yang masih telanjang dan menggeletak di atas rumput itu nampak semakin terang kilauannya.
Nafsu kesenangan apa pun juga selalu mengandung racun yang memabukkan membuat orang mencandu. Demikian pula dengan Tiong Sin dan Siauw Bwee. Begitu mereka minum anggur nafsu berahi di malam bulan purnama itu, mereka menjadi mabuk dan mereka mencandu. Pertemuan demi pertemuan mereka lakukan di malam hari, di mana saja ada kesempatan, dan mereka pun menenggelamkan diri di dalam lautan nafsu berahi. Sampai terjadilah pada suatu malam ketika dua orang muda ini sedang bergelut di atas rumput tebal di dalam kebun, tiba-tiba saja muncul Yeliu Cutay. Tentu saja Tiong Sin menjadi terkejut setengah mati ketika tiba-tiba ada suara ayahnya.
"Tiong Sin! A Bwee! Apa yang kalian lakukan ini?"
"Ayah.....! Ayah, maafkan aku.....!"
Tiong Sin sudah berlutut biarpun masih dalam keadaan telanjang bulat! Siauw Bwee menangis lirih sambil menutupi tubuhnya yang telanjang dan mukanya dengan pakaiannya.
"Hemmm....., sungguh kalian tak tahu malu!"
Yeliu Cutay berseru, lirih pula agar jangan terdengar orang lain di dalam rumah besar.
"Hayo kalian cepat berpakaian yang rapi!"
Dia lalu membalikkan tubuhnya, berdiri membelakangi mereka. Dua orang muda itu cepat menyambar pakaian mereka dan mengenakan pakaian dengan gugup sehingga beberapa kali sampai terbalik balik.
"Ayah, aku..... aku bersalah....."
Tiong Sin berkata dan ketika Yeliu Cutay membalikkan tubuhnya lagi, putera angkatnya itu telah berlutut dan telah mengenakan pakaian. Siauw Bwee juga berlutut di sebelah pemuda itu.
"A Bwee, kau pergilah ke kamarmu!". kata Yeliu Cutay marah. Gadis pelayan itu pergi sambil menundukkan mukanya, menahan tangisnya. Ia takut sekali, membayangkan bahwa ia tentu akan mendapat hukuman dan bahkan mungkin akan diusir pergi dari tempat itu. Setelah gadis itu pergi menyelinap ke dalam rumah melalui pintu belakang, Yeliu Cutay berkata kepada muridnya atau putera angkatnya yang berlutut.
"Tiong Sin, hayo jawab terus terang. Sudah berapa kali engkau melakukan ini dengan A Bwee?"
"Sudah kurang lebih satu bulan, Ayah." "Hemmm, dan dengan wanita lain?"
"Sungguh mati, belum pernah Ayah. Hanya dengan Siauw Bwee ini....."
"Ceritakan bagaimana sampai dapat terjadi hal memalukan ini. Apakah engkau jatuh cinta kepada gadis pelayan itu?"
"Tidak, Ayah."
Yeliu Cutay mengerutkan alisnya.
"Engkau tidak mencinta akan tetapi melakukan perjinaan dengannya?"
Dia menarik napas panjang.
"Coba ceritakan bagaimana bisa terjadi hal ini."
"Maaf, Ayah. Mula-mula ketika aku berlatih silat pedang di malam terang bulan, di kebun ini, tiba-tiba Siauw Bwee muncul dan..... dan..... agaknya iblis menguasai batin kami berdua dan..... hal itu terjadi begitu saja tanpa aku dapat mencegahnya seolah-olah seluruh kesadaranku telah lenyap. Setelah itu..... kami..... hampir setiap malam melakukannya di sini....."
Tiong Sin menundukkan mukanya.
Tentu saja Yeliu Cutay maklum apa yang terjadi dan dia menarik napas panjang.
"Engkau selalu membawa pedang pusaka itu ke sini?"
"Benar, Ayah. Memang aku selalu berlatih pedang di sini, dan..... Siauw Bwee datang menonton."
Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yeliu Cutay merasa amat menyesal, juga marah.
"Tiong Sin, sungguh tak kusangka engkau akan melakukan hal yang amat memalukan dan rendah ini! Engkau telah menghancurkan rasa bangga dalam hatiku terhadap dirimu hanya dengan sekali perbuatan saja! Bukankah sudah seringkali aku menanamkan dalam batinmu bahwa kita harus selalu waspada terhadap tindakan diri sendiri? Bukankah engkau sudah tahu bahwa mengumbar nafsu berahi akan melemahkan diri dan dapat menyeretmu ke dalam tindakan yang menyeleweng? Lihat apa yang telah kau lakukan! Engkau berjina dengan seorang pelayan kita sendiri! Akan rusak nama keluarga kita kalau orang-orang mendengarnya. Tahukah engkau?"
Dengan kepala menunduk Hong Sin mengangguk.
"Aku mengerti, Ayah dan mohon maaf....."
"Enak saja minta maaf kalau pelanggaran itu telah kau lakukan! Berikan pedang itu! Mulai sekarang, engkau tidak boleh keluar dari dalam rumah dan kalau berlatih silat, di lian-bu-thian saja! Ingat, keluar dari rumah berarti engkau melanggar laranganku!"
Tiong Sin menyerahkan Pedang Asmara. Yeliu Cutay menerimanya dan juga minta kembalinya kunci gudang, lalu meninggalkan putera angkatnya yang masih berlutut di situ. Setelah ayah angkatnya pergi, dia masih berlutut; kemudian dia bersila dan termenung. Dia tahu bahwa ayah angkatnya marah kepadanya, marah sekali. Dia sama sekali tidak menduga bahwa kemarahan ayah angkatnyu itu sebetulnya sudah mereda oleh pengertian bahwa Pedang Asmaralah yang menyebabkan terjadinya pelanggaran itu, dan bahwa ayah angkatnya melarang dia keluar hanya untuk sekedar memberi peringatan dan mencegah agar peristiwa itu tidak terdengar orang luar.
"Hemmm, dia berlaku tidak adil,"
Tiong Sin mengomel di dalam hati.
"Apa salahnya kalau aku menyukai seorang pelayan? Siauw Bwee juga seorang wanita dan aku seorang pria, apa salahnya kalau kita saling mencinta? Dia sendiri mempunyai empat orang selir! Beginilah kalau menerima budi orang. Kalau aku anaknya sendiri, tentu tidak akan dimarahi bahkan Siauw Bwee akan diberikan kepadaku untuk menjadi pelayan pribadiku."
Sampai beberapa hari lamanya, Tiong Sin mengeram diri di dalam kamarnya, dan pada hari ke lima Yeliu Cutay mendengar dari para pelayan bahwa putera angkatnya itu tidak ada di dalam kamar nya! Pemuda itu telah pergi tanpa pamit. Yeliu Cutay cepat memeriksa kamar pemuda itu. Semua pakaian dibawanya. Dia memeriksa gudang di belakang. Pedang Asmara telah lenyap!
"Kurang ajar!"
Yeliu Cutay mengepal tinju. Tahulah dia bahwa putera angkatnya itu telah minggat. Cepat dia pun melakukan pengejaran sambil membawa sebatang pedang yang biarpun tidak seampuh Pedang Asmara, namun merupakan sebuah pedang pusaka yang cukup baik pemberian raja sebagai hadiah kepadanya.
Yeliu Cutay yang memiliki banyak pengalaman itu dalam waktu dua hari saja sudah berhasil menyusul dan menemukan Tiong Sin. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati pemuda itu ketika dia sedang menjalankan kudanya perlahan-lahan di jalan yang sunyi itu, ayah angkatnya muncul menunggang kuda, mendahuluinya, lalu memutar kuda dan mereka kini berhadapan.
Melihat ayah angkatnya, wajah Tiong Sin menjadi pucat dan dia pun cepat turun dari atas kudanya, dan memberi hormat. Yeliu Cutay juga melompat turun dari atas kudanya, wajahnya kemerahan dan sepasang matanya memancarkan sinar kemarahan. Dia sebetulnya tidak begitu marah tentang peristiwa pemuda itu dengan Siauw Bwee, akan tetapi kepergian pemuda itu tanpa pamit benar-benar membuat dia marah sekali.
"Manusia tidak mengenal budi!"
Bentaknya sambil menuding muka pemuda itu dengan telunjuknya.
"Engkau minggat begitu saja dari rumah tanpa pamit dan mencuri pula pedang pusakaku! Seekor anjing pun takkan merugikan orang yang memeliharanya, akan tetapi engkau, seorang manusia telah membalas budi kebaikan orang dengan kepalsuan dan kejahatan!"
Wajah pemuda tampan itu yang tadinya pucat, kini berubah merah. Di dalam hatinya, dia memang sudah merasa penasaran kepada ayah angkatnya itu yang dianggapnya kejam dan sewenang-wenang. Kini, ayah angkatnya itu mengejarnya dan memaki-makinya, bahkan membandingkannya dengan seekor anjing yang lebih baik daripada dia! Segala macam perasaan penasaran yang selama ini terpendam di hatinya kini tersalurkan keluar dan dia pun berdiri dan menegakkan kepalanya, memandang kepada ayah angkatnya itu dengan sinar mata bernyala berani.
"Ayah bicara tentang hutang budi? Siapa yang berhutang budi? Aku tidak pernah merasa berhutang budi kepadamu!"
Yeliu Cutay terbelalak, alisnya berkerut dan kemarahannya seperti api disiram minyak bakar!
"Keparat! Berani engkau bicara seperti itu? Sejak bayi engkau kupungut, kupelihara, kemudian aku menjadi ayah angkatmu, juga gurumu yang mendidikmu dengan segala macam ilmu yang kumiliki, dan engkau bilang bahwa engkau tidak berhutang budi kepadaku?"
Dalam kemarahannya, Yeliu Cutay juga merasa heran bagaimana pemuda yang rasanya sopan dan hormat kepadanya itu kini menjadi seperti itu sikapnya, mengingkari budi yang sudah dilimpahkannya seluas lautan!
"Hemmm, aku tahu akan semua itu, sudah terlampau sering kauceritakan itu, Ayah. Akan tetapi, coba Ayah ingat baik-baik. Ketika aku terlahir sebagai seorang bayi, ditinggal mati ibu dan ayah kemudian aku dibawa olehmu, siapakan yang minta hal itu dilakukan? Apakah aku pernah minta agar Ayah memeliharaku? Sama sekali tidak! Kemudian, Ayah mengaku aku sebagai anak angkat, apakah itu kehendakku pula? Juga tidak! Dan Ayah mengajarkan ilmu-ilmu kepadaku, sebagai seorang guru. Apakah aku pernah minta menjadi muridmu? Juga tidak sama sekali! Nah, semua adalah kehendak Ayah sendiri, dan aku hanya menurut saja! Dan sekarang Ayah bicara tentang budi! Siapa yang berhutang budi? Aku tidak pernah minta, tidak pernah merasa hutang. Kalau semua perbuatan Ayah terhadap diriku dulu itu dianggap sebagai menghutangkan dan dulu diberitahukan kepadaku, tentu aku tidak akan sudi menerimanya!"
Terbelalak sepasang mata Yeliu Cutay. Sungguh sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa di balik semua sikap sopan santun dan hormat dari Tiong Sin, terdapat perasaan seperti itu! Apakah artinya semua jerih payahnya selama ini? Hanya akan ditentang dan dilawan oleh pemuda ini, bahkan dihina!
"Keparat, berani engkau bicara seperti itu? Setelah segala yang kulakukan untukmu selama dua puluh tahun ini! Ya Tuhan, akan bagaimana jadinya dengan dirimu?"
"Mengenai diriku, mulai saat ini harap Ayah tidak perlu memusingkannya lagi lan tidak perlu mencampuri lagi. Aku sudah cukup dewasa dan aku dapat hidup sendiri tanpa bantuan dan bimbingan Ayah lagi!"
Yeliu Cutay mengangguk-angguk.
"Bagus! Bagus! Kalau begitu, sekarang kembalikan pedang pusakaku. Pedang Asmara itu adalah pedangku. Yang lain-lain boleh kau bawa, akan tetapi pedang itu harus kau kembalikan kepadaku!"
Tiong Sin tersenyum, bukan senyum ramah dan hormat, melainkan senyum sinis.
"Pedang Asmara? Ah, namanya Pedang Asmara? Bagus sekali, memang cocok untukku. Ayah, pedang ini cocok untukku, maka akan kubawa pergi, aku membutuhkannya untuk membela diri." "Tidak! Itu adalah pedang pusakaku, Kembalikan!"
"Menyesal sekali takkan kukembalikan!"
"Apakah kau ingin aku menggunakan kekerasan dan merampasnya dari tanganmu?"
"Hemmm, boleh Ayah coba kalau bisa!"
Kembali mata Yeliu Cutay terbelalak! Betapa beraninya anak ini! Kemarahannya sampai lenyap saking herannya dan sejenak dia hanya memandang dengan mata terbelalak! Kiranya, domba yang selama puluhan tahun ini dia belai, dia sayangi! dia pelihara, sesungguhnya adalah seekoa harimau yang mengenakan bulu domba dan baru sekarang menanggalkan bulu domba itu, memperlihatkan watak dan sifat aselinya!
"Sudahlah, Ayah. Relakan aku pergi membawa Pedang Asmara, Jangan memaksaku harus melawanmu!"
"Jahanam!"
Yeliu Cutay sudah mencabut pedangnya dan menyerang. Namun, Tiong Sin yang sudah siap. siaga itu pun mencabut Pedang Asmara dan mereka pun saling serang dengan dahsyatnya. Sudah biasa mereka saling serang seperti ini, akan tetapi itu hanya terjadi dalam latihan silat. Sekarang, mereka bukan berlatih, melainkan berkelahi dengan sungguh-sungguh, keduanya berpedang dan memainkan Thay-san Kiam-sut dengan dahsyatnya, berusaha merobohkan lawan! Tidak ada lagi hubungan antara ayah angkat dan anak, atau antara guru dan murid, mereka seperti dua orang lawan yang berusaha keras untuk saling membunuh dan saling serang dengan sungguh-sungguh! Bukan main serunya perkelahian antara kedua orang ini.
Tentu saja kedua pihak sudah mengenal baik semua jurus yang mereka pergunakan untuk menyerang sehingga mampu membela diri dengan baik. Kalau kedua pihak sudah sama mahirnya, maka yang diadu hanyalah kematangan, keuletan, tenaga dan ketahanan, juga kekuatan napas. Dan dalam hal ini, mereka seimbang juga. Yeli Cutay menang pengalaman, lebih matang dan lebih ulet. Sebaliknya Tiong Sin menang tenaga, ketahanan dan lebih panjang napasnya. Yeliu Cutay sudah mulai lelah dan lehernya mulai berkeringat ketika mereka sudah bertanding selama seratus jurus lebih.
Tiba-tiba dia yang tahu bahwa kalau dilanjutkan, dia akan kehabisan tenaga dan mungkin akan roboh oleh putera angkatnya sendiri, menggunakan gerakan yang mengejutkan karena secara tiba-tiba dia mengubah serangan dan pedangnya menusuk dari bawah ke arah perut pemuda itu! Serangan ini dibarengi teriakan melengking yang mengejutkan hati Tiong Sin. Pemuda ini terkejut bukan main, cepat dia meloncat ke samping, namun pedang ayah angkatnya me ngejar terus.
"Brettt! Tranggg.....!"
Celana Tiong Sin robek tertusuk, dan sedikit kulit dan daging pahanya ikut robek. Darah mengucur, akan tetapi ketika dia menangkis dengan pengerahan tenaga, kedua pedang bertemu dan pedang di tangan Yeliu Cutay mengalami kerusakan, patah dua tiga senti meter di bagian ujungnya! Yeliu Cutay menarik pedangnya dan meloncat ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan oleh Tiong Sin untuk meloncat ke atas punggung kudanya.
"Biarlah aku membiarkan engkau hidup untuk membayar semua kebaikan yang pernah Kau lakukan untukku."
Kata pemuda itu dari atas punggung kudanya. Yeliu Cutay marah sekali, akan tetapi patahnya ujung pedang itu saja sudah membuktikan bahwa dia tidak akan menang melawan anak angkatnya itu karena pemuda itu memegang Pedang Asmara. Andaikata tidak demikian, andaikata dia yang memegang Pedang Asmara, dengan kematangan ilmunya, kiranya dia yang akan menang. Maka dia pun tidak ingin mengejar pemuda itu, melainkan berseru dengan suara yang penuh kemarahan dan kebencian.
"Jahanam busuk, mulai saat ini tiada lagi hubungan di antara kita. Engkau bukan muridku, bukan pula anak angkatku dan aku melarang engkau mempergunakan nama keturunan keluarga Yeliu!"
Wajah yang tampan itu tertawa mengejek.
"Ha-ha-ha, Yeliu Cutay Mulai karang aku telah menjadi orang bebas dan tanpa kau larang sekalipun, aku juga tidak sudi memakai nama keturunan Yeliu. Ayahku she Bu, maka namaku sekarang Bu Tiong Sin."
Setelah berkata demikian, sambil tertawa Tiong Sin memutar kudanya dan membalapkan kuda itu meninggalkan orang yang selama ini dianggapnya sebagal orang tua dan juga gurunya.
Yeliu Cutay berdiri bengong, memandang ke arah bayangan pemuda itu yang pergi meninggalkan gema suara ketawanya dan tak dapat ditahankannya lagi beberapa butir air mata menetes turun ke atas pipi Yeliu Cutay yang agak pucat. Dia merasa seolah-olah kematian seorang murid atau bahkan seorang anak yang tadinya amat disayang dan dibanggakannya! Dan dia merasa berduka sekali. Dua puluh tahun dia memelihara, mendidik dan menyayangi Tiong Sin, dan hari ini dia menerima penghinaan sebagai balasannya!
Cinta atau kasih sayang yang berpamrih sesungguhnya bukanlah cinta kasih, melainkan nafsu. Seperti juga semua untuk nafsu, yang diraihnya hanyalah kesenangan untuk diri pribadi. Kalau kita mencinta seseorang baik orang itu kekasih atau anak, akan tetapi kita menghendaki agar yang kita cintai itu membalas cinta kita dengan cinta kasih pula, dengan kepatuhan, kebaktian atau apa saja yang akan menyenangkan kita, maka cinta kita itu hanyalah nafsu belaka. Kalau tercapai jangkauan atau pamrih kita, maka kita akan merasa. puas, dan sebaliknya kalau tidak tercapai, kita akan merasa berduka dan kecewa.
Dan cinta kasih kita akan berubah menjadi kebencian!. Nafsu hanya akan mendatangkan duka dan sengsara bagi batin kita sendiri. Kalau Yeliu Cutay kini mengalirkan air mata, bukan karena dia, menyedihi Tiong Sin, melainkan menyedihi kepergiannya, menyedihi kehilangannya, dan yang ditangisinya itu bukanlah Tiong Sin melainkan dirinya sendiri yang merasa kehilangan, yang merasa dikecewakan. Kasih sayang kepada seseorang seperti itu, sesungguhnya bukanlan cinta kasih yang sejati, karena orang yang katanya dicinta itu hanyalah dijadikan alat dan sarana untuk mencapai kesenangan diri pribadi.
Cinta kasih seperti itu tiada bedanya dengan "cinta"
Kita kepada binatang peliharaan atau benda berharga yang lain. Bisa bosan, dan rasa "cinta"
Itu bisa sewaktu-waktu berubah benci kalau binatang peliharaan atau benda berharga itu tidak menyenangkan hatinya lagi. Cinta seperti itu melekat, mengikat dan hanya sengsara yang akan menjadi akibatnya. Selamanya dia atau apa saja masih mendatangkan kesenangan atau keuntungan pribadi lahir batin, maka kita mencintanya! Kalau tidak lagi menjadi sumber kesenangan dan keuntungan, maka cinta kita pun berakhir. Kenyataan ini dapat kita lihat dengan menjenguk keadaan batin kita sendiri dalam apa yang kita anggap cinta kasih kepada mereka yang kita cinta. Kita mencinta apa yang menyenangkan kita saja. Kita menolak, bahkan seringkall kita membenci apa yang tidak menyenangkan kita.
Di dalam hati Yeliu Cutay kini timbul kebencian kepada pemuda yang pernah disayangnya itu. Keadaan seperti yang dialami Yeliu Cutay ini kiranya pernah atau akan dialami juga oleh kita. Keadaan batin yang berubah sepenuhnya, dari rasa sayang menjadi rasa benci. Sebabnya perubahan ini jelas nampak. Karena orang yang disayangnya itu telah mengecewakan hatinya, telah mengubah kesenangan atau keuntungan batin yang ada menjadi kerugian dan kekecewaan. Jelaslah bahwa senang dan susah merupakan kakak beradik kembar yang tak terpisahkan. Di mana ada senang di situ ada susah. Seseorang yang sama, sebuah benda yang sama, bahkan suatu persoalan yang sama, bisa saja mendatangkan senang, bisa juga mendatangkan susah.
Senang susah hanyalah permainan pikiran menurut pertimbangan si aku, kalau diuntungkan senang, kalau dirugikan susah! Bahkan turunnya air hujan pun bisa menjadi sebab senang atau susah, tergantung dari segi mana kita melihatnya. Kalau merasa diuntungkan oleh sang hujan maka senanglah hati dan hujan dipuji puji. Kalau merasa dirugikan oleh sang hujan, maka susahlah hati dan hujan dimaki-maki. Yeliu Cutay dapat menduga bahwa pemuda itu kelak tentu akan celaka oleh ulahnya sendiri, akan tetapi dia tidak menyesal, bahkan diam-diam ada harapan seperti itu di dalam hatinya. Tentu saja hal ini timbul karena kemarahan, benci dan dendam.
Kita tinggalkan dulu Yeliu Cutay yang berduka, dan tinggalkan pula Tiong Sin yang kini bagaikan seekor burung terbang bebas di udara, bukan burung merpati yang jinak dan lembut, melainkan seekor burung elang yang amat berbahaya karena selain memiliki ilmu silat yang tinggi, pemuda itu juga memiliki Pedang Asmara, dan berbahayanya, dia memiliki batin yang rapuh! Kita menjenguk kehidupan manusia lain yang hidup di sebuah dusun kecil di kaki Pegunungan Thian-san dan kita mundur dulu kurang lebih lima tahun. Pemuda itu berusia kurang lebih lima belas tahun, akan tetapi kalau melihat tubuhnya dari belakang, orang akan mengira bahwa dia sudah dewasa. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat.
Akan tetapi kalau melihat wajahnya, baru orang tahu bahwa dia masih remaja, bahkan wajah itu agak kekanak-kanakan, dengan mata yang lebar dan membayangkan kepolosan dan kejujuran yang mengarah kepada kebodohan! Mukanya tak dapat dibilang terlalu tampan, namun penuh kejantanan dan keterbukaan yang membuat orang merasa tertarik dan suka. Kaki tangannya berotot dan kokoh, juga tubuhnya yang besar itu penuh otot yang kuat, dengan dada yang bidang, pinggang ramping dan kalau berdiri seperti batu karang kokoh kuat, tegak lurus, kalau berjalan seperti seekor harimau. Kulitnya agak gelap, sebagai akibat jemuran matahari yang selalu menimpa dirinya karena dia setiap hari bekerja di tempat terbuka.
Dia melangkah dengan tegap namun santai, memasuki hutan di lereng Pegunungan Thian-san dan terdengar dia bersenandung dengan suaranya yang besar namun cukup merdu. Lagu rakyat yang sederhana. Di dalam suaranya terkandung kegembiraan, juga wajahnya berseri dan dia nampak berbahagia sekali. Memang dia seorang pemuda berbahagia walaupun pakaiannya sederhana, dari kain kasar dan tidak baru lagi. Pemuda remaja ini bernama Kwee San Hong, berusia hampir enam belas tahun. Kwee San Hong ini putera tunggal seorang petani bernama Kwee Cun yang hidup sederhana sebagai petani di dusun Po-lim-cun di kaki Pegunungan Thian-san.
Hidup sebagai petani dan tentu saja sejak kecil San Hong juga bekerja di sawah ladang, mencari kayu bakar, memikul air, menggembala ternak dan kadang-kadang juga berburu binatang di hutan-hutan di lereng Thian-san. Semua pekerjaan berat inilah yang membuat tubuhnya menjadi kokoh kuat. Bukan itu saja, melainkan karena cara hidup yang bersih, hawa udara di pegunungan yang sejuk dan jernih, jauh dari debu dan kotoran, kehidupan sederhana sehingga nafsu-nafsu tidak merajalela.
Di samping semua ini, juga San Hong mempunyai bakat dan pembawaan sejak lahir sehingga dia dalam usia kurang dari enam belas tahun telah memiliki tenaga yang amat kuat, sekuat tenaga tiga orang laki-laki dewasa! Di dusun Po lim-cun, San Hong sudah terkenal sekali sebagai seorang pemuda yang bertenaga gajah, berwatak jujur, polos dan terbuka, dan dianggap agak bodoh oleh kawan-kawannya karena pemuda yang memiliki tenaga sekuat itu, selalu mengalah dan sama sekali bukan "jagoan".
Dia tidak pernah berkelahi, dan selalu mengalah, melakukan pekerjaan yang paling berat. Akan tetapi, pernah setahun yang lalu, dalam usianya yang baru lima belas tahun, dia selagi berburu, melihat seorang kawannya diterkam harimau! Tanpa ragu-ragu dan dengan keberanian luar biasa, San Hong menangkap ekor harimau itu, mengangkatnya ke atas dan membanting binatang itu. ke atas batu sehingga kepalanya pecah harimau itu tewas seketika! Karena kekuatan dan kegagahannya, biarpun San Hong tidak mau berkelahi dan selalu mengalah, namun tidak ada orang berari mengusiknya!
Pada pagi hari yang cerah itu, San Hong berjalan seorang diri mendaki lereng Pegunungan Thian-san. Dia hendak berburu binatang karena persediaan daging kering di rumah orang tuanya telah menipis. Kalau dia beruntung mendapatkan binatang yang besar seperti kijang dagingnya akan mereka masak di rumah dan kelebihan daging itu akan dibuat daging asin dan kering. Akan tetapi kadang-kadang dia hanya mendapatkan beberapa ekor kelinci saja.
Perlengkapannya berburu hanyalah sebuah gendewa dan beberapa belas batang anak panah yang sederhana sekali, buatan sendiri, digantungkan di punggung, dan sebatang tombak di tangannya. Jarang ada orang berani melakukan perburuan seorang diri saja. Biasanya, para pemuda di kaki Pegunungan Thian-san yang suka berburu, dulu berkelompok, sedikitnya lima orang. Berburu seorang diri amat berbahaya, karena di dalam hutan-hutan yang masih liar di pegunungan itu terdapat pula binatang-binatang buas seperti harimau, biruaug dan lain-lain. Namun, San Hong lebih suka berburu seorang diri dan dia sama sekali tidak pernah merasa takut. Biarpun San Hong seorang dusun dan tidak bersekolah, namun Kwee Cun, ayahnya, tidak buta huruf.
Ayah ini mengajarkan ilmu membaca dan menulis kepada putera tunggalnya sehingga Kwee San Hong juga tidak menjadi seorang yang buta huruf. Hal ini saja sudah merupakan suatu "kelebihan"
Bagi para pemuda dusun itu yang rata-rata buta huruf. Selagi San Hong berjalan memasuki hutan sambil bernyanyi gembira, melihat seorang kakek berjalan di depan, Kakek itu memanggul sebuah buntalan kain di pundak kanan, sedangkan tangan kirinya masih menjinjing sebuah buntalan lain. Kedua buntalan itu besar dan jauh lebih besar daripada tubuh kakek yang kecil pendek itu, dan nampaknya berat sekali. San Hong adalah seorang yang selalu suka membantu orang lain. Melihat se orang kakek kecil kurus membawa sebuah buntalan yang amat besar itu, merasa kasihan sekali.
Agaknya tak lama lagi kakek itu tentu akan roboh tertindih dua buah barang yang dibawanya, pikirnya. Maka dia menghentikan nyanyiannya dan mengejar dengan langkah lebar. Akan tetapi, dia harus berjalan setengah berlari barulah dia akhirnya dapat menyusul kakek kecil kurus yang larinya amat cepat walaupun dibebani dua buntalan besar yang nampaknya berat itu. Kakek itu berhenti ketika ada seorang pemuda tinggi besar mendahuluinya dan berdiri di depannya. Dan San Hong juga memperhatikan wajah kakek itu. Seorang kakek yang tua renta, mungkin tujuh puluh tahun usianya, badannya nampak ringkih, kulit membungkus tulang, mukanya keriputan dan rambutnya jarang dan putih, namun matanya seperti mata kanak-kanak!
"Eh-eh, tidak malukah engkau orang nuda? Semuda ini, dengan tubuh masih kuat untuk bekerja, hendak merampok orang tua bangka seperti aku ini?"
Orang lain tentu akan marah. Mengejar untuk membantu malah disangka hendak merampok! Akan tetapi San Hong tidak mudah marah. Dia mengenal kebodohan sendiri dan dia menganggap bahwa kakek kecil ini juga bukan orang pintar, maka dapat salah duga. Dia memaafkan kesalahan orang bodoh seperti memaafkan kebodohannya sendiri dan cepat dia menjura. Ayahnya selalu mengajarkan bahwa seorang muda harus bersikap hormat kepada orang tua, tidak peduli orang tua itu dari golongan apa, kaya atau miskin, pria atau wanita.
"Maafkan aku, Kek. Sesungguhnya, aku mengejarmu bukan dengan niat merampok, melainkan aku kasihan melihat engkau yang tua dan ringkih ini harus membawa beban yang begini banyak dan berat. Aku ingin membantumu, Kek."
Mata yang bening itu memandang penuh selidik.
Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo