Ceritasilat Novel Online

Pedang Asmara 8


Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 8



Setelah berkata demikian, Thay Lek Siansu melempar sesuatu ke atas pembaringan, kemudian sekali berkelebat, dia dan empat orang adiknya telah lenyap dari dalam kamar itu dan pintu kamar itu pun tertutup sendiri! Kwee Cun dan isterinya masih tertegun sehingga sampai lama mereka masih terus berlutut di atas pembaringan mereka. Baru setelah mereka merasa yakin bahwa lima orang kakek itu benar benar telah pergi, mereka saling pandang dan isteri Kwee Cun merangkul suami sambil menangis.

   "Aku..... aku takut....."

   Bisik wanita itu.

   Kwee Cun menghibur isterinya.

   "Tidak ada yang perlu ditakuti. Mereka adalah orang-orang sakti. Lihat, apa yang mereka berikan kepada kita ini?"

   Kwee mengambil sebuah buntalan yang ternyata merupakan kantung kain kuning dan ketika dengan tangan gemetar dia membukanya, isinya adalah beberapa potong emas murni yang berkilauan!

   Mereka semakin terbelalak dan biarpun dia seorang dusun, namun Kwee Cun tahu bahwa benda yang berada di dalam kantung itu dapat dia pergunakan untuk membeli tanah yang luas, membuat rumah yang cukup besar dan modal bercocok tanam yang lebih dari cukup! Bahkan dia menganggap bahwa mereka seketika menjadi seorang yang kaya raya! Sementara itu, Kwee San Hong berusaha melakukan perjalanan turun gunung secepatnya. Akan tetapi malam itu gelap sehingga dia harus merangkak, merayap dan kadang-kadang menggunakan kedua tangan kaki untuk meraba-raba di dalam kegelapan malam, mencari jalan turun gunung menuju pulang.

   Hampir dia putus asa karena malam terlalu gelap dan dia tidak mengenal jalan. Dia segera membuat sebuah obor dari kayu kering yang dibakarnya dengan membuat api secara kuno, menggosok dua batang kayu kering dengan cepat dan kuat. Dengan obor di tangan, dia dapat melanjutkan perjalanan tanpa khawatir terperosok ke dalam jurang. Akan tetapi tetap saja dia bingung karena dia kehilangan arah. Dari atas tidak nampak apa pun di bawah sana dan dia tidak tahu entah di mana adanya perkampungan, apalagi dusun tempat tinggal ayahnya yang masih jauh.

   Tiba-tiba, dia melihat sinar api di bawah sana. Di mana ada api, tentu ada manusianya, pikirnya, maka tanpa ragu ragu lagi dia pun mencari jalan turun menuju ke titik api di bawah itu. Aki tetapi, tak pernah dia tiba di tempat api itu. Apakah pandang matanya yang menipunya, ataukah api itu yang bergerak turun pula menjauhinya, dia tidak tahu Mungkinkah api itu dipegang seseorang yang juga turun gunung, jauh di bawah sana? Dia terus mengikuti sinar api itu dan ketika api itu tiba-tiba padam, dia juga girang bukan mau, ternyata dia telah tiba di kaki gunung dan dia mengenal jalan menuju ke dusunnya yang sudah dekat sekali! Dia segera berlari pulang dan mendapatkan ayah ibunya masih termangu-mangu di dalam kamar mereka.

   "Ayah, Ibu! Aku pulang.....!"

   Katanya di luar kamar orang tuanya. Kwee Cun dan isterinya keluar dari dalam kamar dan San Hong memandang heran kepada ayah ibunya yang agaknya belum tidur di tengah malam itu, bahkan dari wajah mereka dia tahu tentu telah terjadi sesuatu yang luar biasa.

   "Kami tahu, San Hong,"

   Kata ayahnya.

   "Bukankah engkau akan segera pergi lagi untuk mulai menjadi murid Thian-san Ngo-sian?"

   San Hong terbelalak.

   "Eh? Bagaimana ayah dan ibu mengetahuinya?"

   Ibunya menghampirinya dan merangkul kedua pundak putera itu.

   "San Hong, engkau hendak meninggalkan kami.....?"

   Katanya menahan tangis.

   "San Hong, tadi kelima orang gurumu telah datang berkunjung dan menceritakan bahwa engkau menjadi murid mereka. Bahkan mereka meninggalkan ini untuk kami, agar sepergimu kami dapat hidup layak."

   Kwee Cun memperlihatkan kantung berisi beberapa potong emas murni itu.

   Kwee San Hong merasa girang sekali. Kiranya guru-gurunya telah memberitahu lebih. dulu kepada ayah ibunya, bahkan memberi emas sehingga dia sendiri tidak akan mengkhawatirkan keadaan orang tua itu selama dia tinggalkan.

   "Jadi, Ayah dan Ibu setuju kalau aku pergj berguru kepada kelima orang sakti itu?"

   "Kenapa tidak, anakku? Tanpa diberi emas ini pun kami setuju. Orang tua mana yang tidak setuju anaknya yang tercinta mempelajari ilmu agar kelak berguna bagi masyarakat? Kami setuju Nak, walaupun dengan hati berat karena harus berpisah darimu."

   "San Hong, engkau berhati-hatilah dan..... jangan lupa kepada ayah ibumu."

   Kata ibunya sambil menangis di dada puteranya. Lega hati San Hohg. Dia tadinya mengkhawatirkan kalau-kalau kedua orang tuanya akan berkeberatan. Akan tetapi ternyata mereka setuju dan ini tentu berkat kebijaksanaan lima orang gurunya yang lebih dulu datang memberi tahu kepada mereka.

   "Tenangkan hatimu, Ibu. Aku berguru mempelajari ilmu bukan untuk melupakan Ayah dan Ibu, bahkan dengan ilmu yang kumiliki, aku akan dapat lebih berbakti kepada kalian, dan dapat menjadi seorang anak yang baik dan tidak mengecewakan hati Ayah dan Ibu!"

   Diiringi nasihat-nasihat terakhir dari ayahnya dan tangis pesan dari ibunya, San Hong berkemas, mengumpulkan pakaiannya dalam sebuah buntalan, kemudian segera berpamit dan meninggalkan ayah ibunya untuk cepat-cepat kembali ke puncak Thian-san dan tiba di sana sebelum matahari terbit agar tidak ditinggalkan oleh lima orang gurunya. Kembali terjadi keanehan di perjalanan mendaki puncak itu. Ada lagi muncul sinar api yang terus mendaki, seperti manjadl penunjuk jalan baginya dan dengan mudah dia tiba di puncak itu, tepat sebelum matahari muncul di ufuk timur. Dan lima orang gurunya telah berdiri di situ, menanti kembalinya. San Hong segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki mereka berlima.

   "Terima kasih teecu (murid) haturkan kepada Suhu berlima yang telah membantu teecu dalam perjalanan pulang pergi tadi."

   Dia yakin bahwa tentu guru gurunya yang telah mengadakan sinar api itu untuk menuntunnya sehingga dia dapat mudah turun dari puncak kemudian naik kembali.

   Lima orang kakek itu tersenyum.

   "Ha-ha-ha,"

   Pek Sim Siansu tertawa.

   "ternyata engkau tidaklah sebodoh yang kami kira!"

   "Suhu, masih ada sebuah hal yang meragukan hati teecu dan teecu mohon Ngo-wi Suhu (Guru Berlima) suka memberi petunjuk."

   "Hemmm, apakah itu? Tanyakanlah dan kami akan mencoba untuk menerangkan padamu kalau kami mampu."

   Kata Thay Lek Siansu.

   "Begini, Suhu. Selama ini teecu hidup berbahagia dan sesungguhnya, teecu masih tidak mengerti dan ragu-ragu untuk apa teecu mempelajari ilmu dari Suhu sekalian. Selama ini, teecu tidak membutuhkan apa-apa karena tidak merasa kekurangan sesuatu pun. Lalu apa yang akan teecu peroleh kalau teecu sampai menguasai ilmu-ilmu dari Suhu berlima? Hal inilah yang meragukan walaupun teecu merasa gembira sekali akan belajar ilmu dari Suhu berlima. Mohon penjelasan Suhu."

   Lima orang kakek itu saling pandang dan sejenak mereka tidak mampu menjawab. Mereka membayangkan tentang kebahagiaan. Pemuda yang menjadi murid mereka ini hidup berbahagia karena dia tidak membutuhkan apa-apa. Keadaan berbahagia adalah keadaan orang yang tidak membutuhkan apa-apa. Tidak menginginkan apa-apa. Tidak membutuhkan sesuatu itu berarti sudah tidak kekurangan apa-apa dan kalau sudah begini, tentu saja manusia dapat hidup berbahagia. Tidak berbahagia disebabkan karena keinginan tidak tercapai, akan tetapi kalau sudah tidak menginginkan sesuatu yang tidak ada, maka dia akan dapat menerima segala yang ada tanpa mengeluh.

   Menerima apa yang ada tanpa menghendaki yang lain merupakan pelaksanaan daripada kepercayaan akan kekuasaan Tuhanl Apapun yang dikehendaki Tuhan pasti terjadi dan segala yang terjadi pasti benar dan wajar karena merupakan kehendak Tuhan. Siapa yang mampu menerima segala peristiwa yang menimpa dirinya tanpa .penilaian baik buruk, untung rugi, tidak menyambut setiap peristiwa dengan tawa atau tangis, melainkan sebagai sesuatu yang wajar, maka dialah orang yang benar-benar memiliki iman dan kepasrahan terhadap kehendak Tuhan! Manusia berikhtiar bukan berlandaskan keinginan akan sesuatu, melainkan berlandaskan kebijaksanaan, namun ikhtiar atau usaha yang dilakukan itu berlandaskan kepasrahan akan kehendak dan keputusan yang diambil oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Pemuda ini polos, jujur dan tidak banyak kehendak, maka tentu saja dia merasa bimbang dan bingung ketika diangkat murid oleh mereka berlima.

   Di antara lima orang Thian-san Ngo-sian itu, paling cerdik adalah Pek-ciang Yok-sian, maka kini empat orang kakek yang lain memandang kepada saudara termuda ini dengan penuh harapan. Pandang mata mereka seolah-olah menyerahkan jawaban dari pertanyaan yang sulit dari murid .mereka itu kepadanya untuk menjawabnya dengan tepat. Sejak tadi, Pek-ciang Yok-sian juga sudah memutar otaknya. Kemudian dia berkata dengan suaranya yang halus dan, sikapnya yang lemah lembut biarpun dia selalu bergembira.

   "San Hong, engkau membutuhkan jawaban? Pertanyaanmu itu tidak dapat dijawab dengan keterangan saja, karena hal itu tentu bahkan akan membingungkan hatimu. Lebih baik kalau engkau melihat sendiri mengapa engkau perlu mempelajari ilmu-ilmu tinggi dari kami. Mari kau ikut bersamaku turun gunung dan kaulihat sendiri!"

   Berkata demikian Pek-ciang Yok-sian memberi isyarat dengan pandang matanya kepada empat orang saudaranya lalu menyambar tangan San Hong dan di lain saat San Hong merasa dibawa terbang oleh kakek yang menggandeng tangannya. Beberapa kali dia terpaksa harus memejamkan matanya karena ngeri dibawa meloncat melewati jurang yang amat lebar dan dalam. Namun diam-diam dia kagum bukan main. Kiranya bukan hanya Bu Eng Sianjin seorang yang memiliki ilmu berlari seperti terbang, akan tetapi kakek ini pun dapat berlari secepat terbang dan memiliki kekuatan yang besar pula karena dapat menggandeng dia melompat jurang jurang yang lebar! Di samping kekagumannya juga San Hong merasa gembira sekali karena dia kini yakin bahwa dia telah diambil murid oleh lima orang yang benar-benar amat sakti.

   Pek-ciang Tok-sian membawa San Hong ke kaki gunung yang berlawanan dengan dusun tempat tinggal orang tua pemuda itu. Di sebuah dusun yang cukup besar mereka berhenti dan hari pun sudah mulai terang. Agaknya Pek-ciang Yok sian masih ragu-ragu dan sedang mencari-cari sesuatu, dan sesuatu itu pun terjadilah seperti yang diharapkannya! Dia sudah tahu bahwa di dusun ini seringkali terjadi kejahatan yang dilakukan oleh beberapa orang jagoan yang datang dari kota dan belum lama tiba di dusun itu membuat keributan dan memaksa kehendak mereka kepada orang-orang dusun. Mereka adalah lima orang penjahat atau tukang pukul yang tidak segan-segan untuk memeras penduduk dusun, mengganggu wanita dan melakukan banyak perbuatan sewenang-wenang.

   Ketika mendengar ada jeritan wanita dari sebuah rumah, Pek-ciang Yok-sian cepat menarik tangan San Hong ke arah suara itu. Nampaklah oleh San Hong seorang laki-laki tinggi besar bermuka penuh brewok sedang memukuli seorang kakek berusia enam puluh tahunan, sedangkan laki-laki ke dua yang mukanya bopehg sedang menarik-narik seorang gadis yang menjerit-jerit ketakutan.

   "San Hong, melihat kejahatan seperti itu, apa yang harus kita lakukan?"

   Tanya Pek-ciang Yok-sian.

   Sejak tadi San Hong sudah marah sekali melihat ada seorang laki-laki tinggi besar yang masih muda memukuli seorang kakek, apalagi melihat seorang laki-laki menyeret tangan seorang gadis. Dia tidak menjawab pertanyaan suhunya, melainkan cepat lari menghampiri ke pekarangan rumah itu,

   "Heiii! Apa yang kalian lakukan itu? Berhenti.....!!"

   Bentak San Hong dengan suaranya yang mengguntur.

   Dua orang laki-laki yang berusia tiga puluh tahun lebih itu terkejut mendengar ada orang berani menegur mereka. Ketika mereka menoleh dan melihat seorang pemuda remaja yang menegur, mereka menjadi marah sekali. Si muka brewok melepaskan kakek yang terkulai di atas tanah sedangkan si bopeng melepaskan tangan gadis itu. Gadis itu sambil menangis menubruk kakek itu yang terengah-engah dan nampak kesakitan. Dua orang tukang pukul itu kini menghampiri San Hong dan dengan sikap pongah mereka bertolak pinggang dan memandang kepada San Hong dengan sikap mengejek.

   "Hai, engkau ini bocah dari mana berani sekali mencampuri urusan kami! Tidak tahukah engkau siapa kami?"

   Tanya si muka bopeng sambil mengamangkan tinjunya ke arah muka San Hong. San Hong yang marah itu masih menahan kemarahannya karena dia tidak tahu apa yang menjadi persoalannya maka dua orang itu melakukan kekerasan seperti itu. Siapa tahu kakek dan gadis itu mempunyai kesalahan walaupun andaikata demikian, tidak sepantasnya kalau dua orang laki-laki menghina seorang kakek dan seorang gadis.

   "Nanti dulu, kawan-kawan."

   Katanya dengan suara tenang dan sabar.

   "Aku sama sekali bukan bermaksud mencampuri, akan tetapi aku hanya mengingatkan kepada kalian bahwa tidak sepatutnya kalau dua orang laki-laki muda yang gagah seperti kalian ini memukuli seorang kakek yang lemah dan menyeret seorang gadis. Kalau ada urusan, dapat diselesaikan dengan cara yang baik, bukan dengan kekerasan. Apakah sebetulnya kesalahan mereka itu terhadap kalian? "

   Tentu saja dua orang ayah dan enak itu sebetulnya tidak mempunyai kesalahan apa pun juga terhadap mereka, namun seperti biasa, dua orang itu mencari-cari alasan untuk membenarkan tindakan mereka.

   "Heh, bocah dusun! Sebelum kami menjawab pertanyaanmu, lebih dulu jawablah. Siapa engkau dan mengapa pula engkau mencampuri urusan ini? Apamukah ayah dan anak itu?"

   Tanya si brewok dengan sikap mengancam.

   "Aku bukan apa-apa mereka, tidak mengenal mereka, akan tetapi sebagai sesama manusia aku berhak untuk membela mereka kalau-kalau mereka tidak bersalah dan memintakan ampun kalau mereka bersalah. Namaku Kwee San Hong, dari dusun di kaki gunung di sebelah timur sana.Nah, sekarang katakan! apa sebabnya kalian menggunakan kekerasan terhadap mereka?"

   Sikap San Hong masih sabar. Sementara itu, Pek-ciang Yok-sian hanya menonton dari jauh sambil memangku kedua lengan dan tersenyum.

   "Mau tahu sebabnya?"

   Bentak si mukai bopeng.

   "Gadis itu adalah calon istenku, dan tetapi hari ini ketika aku hendak mengajaknya pergi, ayahnya melarang dan gadis itu pun mengingkari janji, tidak mau ikut dengan aku seperti yang telah dijanjikannya."

   San Hong mengerutkan alisnya. Kalau benar demikian, kakek dan gadisnya itu memang bersalah. Akan tetapi dia masih ragu-ragu dan dia menoleh kepada ayah dan anak itu.

   "Lopek dan Enci, benarkah itu? Kalian telah melanggar janji kepada saudara mi?"

   "Bohong! Dia bohong!"

   Gadis itu berteriak sambil menangisi ayahnya yang babak belur dihajar oleh si brewok tadi.

   "Mereka memang selalu menggodaku, merayuku akan tetapi aku tidak pernah mau melayani mereka. Hari ini mereka minta kepada Ayah untuk mengajak aku, tentu saja Ayah menolak dan mereka lalu memukuli Ayah dan hendak memaksaku!"

   Wajah San Hong berubah merah mendengar ini, dan memang sudah setengah diduganya bahwa ayah dan anak itu tentu tidak bersalah.

   "Hemmm, mengapa engkau menuduh mereka yang tidak baik Kawan? Dan mengapa pula kalian hendak memaksa Enci itu?"

   "Hei, anjing dusun! Apa pedulimu? Memang kami menghendaki gadis itu baik dengan suka rela maupun secara paksa. Habis engkau mau apa?"

   Bentak muka bopeng. Mendengar ini, San Hong tidak dapat menahan lagi kemarahannya.

   "Kalau begitu, kalian berdua adalah orang-orang jahat!"

   Bentaknya. Si muka brewok sudah menerjang memukul San Hong dengan pukulan tangan kanannya. Kuat sekali pukulannja itu dan kepalan tangannya yang melayang ke arah muka San Hong. Pemuda ini cepat melangkah mundur menangkis dengan lengan kirinya.

   "Dukkk!"

   Tangkisan itu membuat muka brewok hampir terpelanting, terkejut. Tak disangkanya bahwa pemuda dusun itu memiliki tenaga sedemikian kuatnya. Dia kaget dan juga marah, lalu sambil mengeluarkan suara menggereng dia sudah meloncat dan menerjang San Hong dengan pukulan-pukulan teratur, dengan jurus-jurus ilmu silat. Sekali ini San Hong kewalahan! Dia berusaha untuk mengelak dan menangkis, namun dia tidak tahu caranya dan karena lawannya memang pandai silat, dia pun segera menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan.

   Lebih celaka lagi, si muka bopeng Juga ikut menerjang dan dia pun menjadi permainan mereka. Hanya karena San Hong bertubuh kuat sekali, dan memiliki keberanian seperti seekor singa, maka biarpun tubuhnya menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan sedangkan dia tidak berkesempatan untuk membalas sama sekali, dia tidak pernah menyerah dan terus melawan dengan nekat dan mati-matian. Dua orang tukang pukul itu agaknya kewalahan menghadapi kenyataan dan kebandelan San Hong.

   "Ah, bocah ini minta dibikin mampus agaknya!"

   Bentak si muka bopeng dan dia pun mencabut sebatang golok yang tergantung di pinggangnya.

   "Mampuslah!"

   Bentaknya dan golok itu dibacokkan, menyambar ke arah kepala San Hong. Melihat ini, San Hong maklum bahwa dia terancam bahaya maut, akan tetapi pada saat itu ada bayangan berkelebat dan golok itu pun terlepas dari pegangan si muka bopeng. Di lain saat, si muka bopeng terpelanting dan tidak mampu bergerak lagi karena totokan yang dilakukan Pek-ciang Yok-sian. Si muka brewok menjadi marah. Dia pun mencabut goloknya dan menyerang kakek yang telah merobohkan temannya. Akan tetapi kembali dua kali tangan Pek-ciang Yok-sian bergerak dan si muka brewok mengeluh, goloknya terlempar dan diapun roboh pingsan.

   Pada saat itu, datang berlarian tiga orang tinggi besar, yaitu kawan-kawan dari dua orang tukang pukul itu, dan melihat betapa dua kawan mereka roboh, tiga orang ini mencabut senjata masing-masing. Akan tetapi, San Hong sudah mendahului seorang di antara mereka dengan serangan pukulannya sebelum orang itu mencabut goloknya. Pukulan tangan San Hong amat kuat dan keras, membuat orang itu terjungkal dan roboh, sedangkan dua orang lainnya, baru saja mencabut golok sudah harus roboh oleh totokan Pek-ciang Yok-sian. Semua penduduk baru berani keluar setelah mendengar bahwa lima orang tukang pukul yang selama ini mengganggu dusun mereka, telah dirobohkan seorang pemuda asing dan seorang kakek. Mereka berbondong-bondong datang membawa senjata seadanya dan mereka hendak mengeroyok dan menghajar lima orang yang sudah roboh itu. Melihat ini, San Hong cepat melompat ke depan.

   "Saudara-saudara, tahan semua senjata! Tidak boleh kalian membunuh begitu saja mereka ini!"

   Melihat bahwa pemuda dan kakek itu yang sudah berjasa merobohkan lima orang penjahat mencegah, biarpun mereka masih penasaran dan tidak puas, namun orang-orang dusun itu menahan senjata mereka. Pek-ciang Yok-sian hanya menjadi penonton saja sambil tersenyum, ingin dia melihat apa yang akan dilakukan muridnya itu. Dia merasa puas bahwa kebetulan sekali terjadi kejahatan itu sehingga muridnya mengalami hal yang amat dibutuhkan untuk menjawab pertanyaannya tadi tentang manfaat mempelajari ilmu.

   "Saudara sekalian, kenapa selama ini kalian mau saja ditekan oleh lima orang penjahat ini?"

   Tanya San Hong kepada mereka.

   Seorang pria berusia lima puluhan tahun melangkah maju.

   "Orang muda yang gagah, aku adalah kepala dusun di sini. Apa yang dapat kami lukukan terhadap mereka? Mereka adalah orang-orang

   (Lanjut ke Jilid 08)

   Pedang Asmara (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 08

   jahat yang tidak segan-segan memukul bahkan membunuh orang. Mereka itu kejam sekali dan kami takut kepada mereka. Sekarang, setelah mereka dpat dirobohkan, kami ingin membunuh mereka!"

   San Hong menggeleng kepala "Sungguh keliru sekali, Paman. Paman menjadi seorang kepala dusun tidak memberi contoh yang baik kalau membunuh mereka ini begitu saja! Apalagi setelah mereka tidak berdaya. Semestinya dengan kekuatan sekian banyaknya orang laki laki di dusun ini, kalau mau serentak bangkit menghadapi mereka, jangankan baru lima orang ini, biar ada sepuluh orang pun Paman dan teman-teman penduduk dusun tentu akan mampu membasmi mereka."

   Kepala dusun itu meugangguk-angguk dan semua pria penduduk dusun di situ juga menyatakan setuju. Mereka berjumlah hampir seratus orang, sungguh bodoh sekali kalau selama ini mereka membiarkan diri dihantui oleh para penjahat yang hanya lima orang. Kalau melawan satu lawan satu tentu mereka kalah, akan tetapi kalau semua penduduk maju, lima orang penjahat itu dapat mereka jadikan bubur! San Hong lalu menghampiri si muka bopeng yang agaknya menjadi pemimpin lima orang penjahat itu.

   "Kalian dengar baik-baik!"

   Katanya dengan suara lantang.

   "Sekali ini Suhu dan aku, dan juga para penduduk dusun ini, tidak membunuhmu dan memberi kesempatan kepada kalian untuk kembali ke jalan benar. Kalau lain kali kalian berani lagi mengganggu dusun ini, kalian akan menghadapi perlawanan puluhan bahkan ratusan orang dan nyawa kalian tentu takkan dapat diselamatkan lagi!"

   "Terima kasih....."

   Kata si muka bopeng yang tadi sudah ketakutan setengah mati karena kalau para penduduk yang sakit hati itu dibiarkan, tentu tubuh mereka sudah hancur dihujani pukulan senjata para penduduk dusun yang marah itu.

   "Kami..... kami tidak berani lagi....."

   Dia melirik ketakutan ke arah kakek berpakaian sastrawan yang berdiri sambil tersenyum-senyum itu.

   "..... akan tetapi... mohon dibebaskan totokan dari tubuh kami....."

   San Hong tidak mengerti akan tetapi melihat betapa mereka itu tidak mampu bergerak, dia pun dapat menduga bahwa tentu suhunya yang menjadikan mereka seperti itu, maka dia pun menghadapi kakek itu.

   "Suhu, harap Suhu suka mengampuni mereka."

   Pek-ciang Yok-sian mengangguk angguk, kemudian berkata.

   "Orang-orang seperti mereka ini, selalu mengandalkan, kekuatan untuk memaksakan kehendak mereka kepada orang lain, oleh karena itu, sebelum mereka dibebaskan, kekuatan itu harus dirampas dari tubuh mereka!"

   Berkata demikian, beberapa kali tangannya bergerak ke arah tubuh lima orang itu. Lima orang penjahat itu dapat bergerak kembali, akan tetapi mereka meringis kesakitan karena tulang-tulang pundak mereka telah remuk!

   Cacat ini dapat disembuhkan, akan tetapi kekuatan mereka akan lenyap untuk selamanya, kalaupun ada, maka kekuatan itu tidak akan melebihi kekuatan orang dewasa biasa dan tentu saja hal ini tidak memungkinkan lagi bagi mereka untuk bertindak sewenang-wenang. Apalagi, dengan cacat itu, mereka tidak akan melakukan gerakan silat dengan baik dan mengadu kekuatan dapat membahayakan pundak mereka lagi. Tanpa berani mengeluarkan suara karena masih takut akan sikap para penduduk yang memandang mereka penuh kebencian, lima orang itu lalu pergi meninggalkan dusun itu. Para penduduk dusun, dipimpin kepala dusun mereka, menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat kepada San Hong dan gurunya, akan tetapi ketika mereka mengangkat muka, pemuda dan kakek itu telah lenyap dari depan mereka!

   "Bagaimana, San Hong?"

   Tanya Pek-ciang Yok-sian kepada pemuda itu setelah mereka kembali ke puncak di mana empat orang kakek lain masih menunggu.

   "Sudahkah engkau memperoleh jawaban pertanyaanmu apa manfaatnya engkau belajar silat dari kami?"

   San Hong mengangguk-angguk.

   "Kalau tidak ada Suhu, tentu teecu tadi telah tewas di tangan lima orang penjahat dan teecu tidak akan mampu menolong gadis dan ayahnya itu. Teecu kini tahu bahwa untuk dapat menolong orang lain, untuk dapat mencegah terjadinya kejahatan, menentang para penjahat, teecu harus memiliki ilmu kepandaian untuk mengalahkan mereka. Kini teecu maklum betapa pentingnya ilmu kepandaian silat bagi teecu dan terima kasih atas petunjuk Suhu sekalian."

   Lima orang kakek itu tersenyum gembira dan mereka mengambil keputusan untuk tinggal di puncak yang indah itu untuk bersama-sama menggembleng murid mereka. San Hong memperlihatkan kecakapan dan kerajinannya dengan membuatkan pondok-pondok untuk kelima orang gurunya dan untuk dia sendiri, dibangun dengan kayu yang diambilnya dari hutan. Pondok-pondok kecil sederhana yang kokoh kuat dan para gurunya merasa senang bukan main. Mulailah pemuda itu berlatih ilmu-ilmu silat yang tinggi dari lima orang gurunya dan dia berlatih amat tekun dan rajin. Tepat sepeti, dugaan guru-gurunya, wataknya yang jujur dan pikirannya yang kosong bodoh bahkan mampu menerima ilmu-ilmu yang tinggi itu dengan mudah, Bakatnya amat baik dan didorong pula oleh ketekunannya, maka pemuda itu memperoleh kemajuan pesat sekali.

   Di bawah bimbingan Thay Lek Siansu, tenaga raksasa, dari San Hong, tenaga alami yang dibawanya sejak lahir, dapat dikembangkan semakin hebat sehingga pemuda itu bukan hanya memiliki tenaga luar yang dahsyat, akan tetapi juga tenaga dalam yang amat kuat. Dari gurunya ke dua, Bu Eng Sianjin, dia mewarisi ilmu gin-kang (meringankan tubuh) yang membuat tubuhnya yang tinggi besar itu mampu bergerak amat lincahnya, dan dia dapat berlari cepat seperti seekor kijang jantan. Gurunya yang ke tiga, di samping memberi pelajaran ilmu kekuatan batin untuk menolak kekuatan sihir lawan, juga memperdalam pengertian akan hidup, mempertajam kewaspadaannya terhadap lahir dan batinnya sendiri, terhadap segala yang terjadi di sekelilingnya. Gurunya yang ke empat, Lui-kong Kiam-sian, mewariskan ilmu pedang yang ampuh, yang diberi nama Pek-lui Kiam sut ((Ilmu Pedang Halilintar).

   Gurunya yang ke lima dan terakhir, Pek-ciang Yok-sian, selain mengajarkan ilmu silat tangan kosong juga mengajarkan ilmi ilmu pengobatan yang pokok bagi seorang ahli silat seperti mengobati luka beracun luka dalam dan salah urat, patah tulang dan sebagainya. Selama lima tahun San Hong digembleng oleh lima orang gurunya. Setelah lima orang kakek itu menganggap bahwa murid mereka sudah boleh diandalkan pada suatu hari mereka memanggil San Hong menghadap. Mereka berlima sudah berkumpul di puncak, di lapangan rumput dan mereka berlima duduk bersila di atas rumput. San Hong menghadap gurunya dan berlutut di depan mereka.

   "San Hong,"

   Kata Thay Lek Siansu yang mewakili saudara-saudaranya bicara "Kami berlima sudah bersepakat untuk melepasmu pergi hari ini. Kami menganggap bahwa ilmu yang kaupelajari sudah cukup untuk kaubawa sebagai bekal hidupmu. Dan sekarang kami hendak memberimu sebuah tugas, dan untuk tugas itulah sebenarnya kami bersusah-payah memilihmu dan mendidikmu sebagai murid kami."

   Diam-diam San Hong terkejut. Dia mulai merasa sayang kepada lima orang kakek yang selalu bersikap baik kepadanya itu, lima orang kakek aneh yang sakti yang wataknya berbeda-beda. Akan tetapi, berkat latihan yang didapatnya dari Pek Sim Siansu, rasa kaget itu dapat lebur dan lenyap seketika sehingga tidak nampak pada wajahnya.

   "Ngo-wi Suhu, teecu merasa baru sebentar teecu mempelajari ilmu dari para suhu, mengapa Suhu hendak melepas teecu pergi? Sesungguhnya, teecu masih ingin memperdalam apa yang teecu pelajari dari Suhu berlima."

   "Ha-ha-ha, jangan tamak, San Hong!"

   Kata Pek Sim Siansu.

   "Ilmu-ilmu yang sudah kau pelajari itu sudah cukup banyak, tinggal mematangkannya saja dalam latihan. Kalau engkau sudah matang bahkan kami pun kalau satu lawan satu tidak akan mampu menandingimu. Engkau telah menerima penggabungan dari semua ilmu kami yang menjadi andalan kami."

   San Hong memberi hormat.

   
Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kalau memang Suhu sekalian menghendaki demikian, teecu hanya mentaati perintah. Tugas apakah yang Ngo-wi berikan kepada teecu? Akan teecu laksanakan sebaik mungkin menurut kemampuan teecu."

   "Bagus, bagus!"

   Demikianlah seharusnya sikap yang baik, San Hong."

   Kata pula Thay Lek Siansu.

   "Ketahuilah bahwa sekarang ini, di utara terdapat suatu kekuatan yang amat hebat, yaitu pasukan orang-orang Mongol yang makin lama semakin kuat. Bahkan kabarnya mereka telah bergerak ke perbatasan, semua suku bangsa di utara sudah mereka tundukkan dan mereka merupakan ancaman yang amat berbahaya bagi Kerajaan di selatan. Kalau tidak keliru perhitungan Pek Sim Siansu, mereka akhirnya akan membobolkan Tembok Besar dan membanjir ke selatan sebagai kekuatan yang tak dapat dibendung."

   San Hong mengerutkan alisnya. Dia sejak kecil hidup di dusun dan dia sama sekali tidak pernah tahu apa yang dinamakan perang. Akan tetapi, karena dia tidak buta huruf dan banyak pula membaca, apalagi setelah menjadi murid Pek Sim Siansu yang memberinya banyak kesempatan untuk membaca kitab, dia mengerti apa yang dinamakan oleh Thay Lek Siansu.

   "Apakah Suhu sekalian menghendaki agar teecu membantu pemerintah untuk menentang penyerbuan pasukan Mongol dari utara itu?"

   "Omitohud.....!"

   Pek Sim Siansu berseru.

   "Engkau seorang diri, apa dayamu untuk menentang garis yang sudah ditentukan oleh Tuhan?"

   "Dia benar, San Hong,"

   Kata pula Thay Lek Siansu.

   "Jangankan engkau seorang diri, biar ada seratus orang seperti engkau, apa artinya dibandingkan dengan ratusan ribu pasukan dari utara Tidak, perang adalah urusan pemerintah. Untuk menghadapi pasukan haruslah dikerahkan pasukan pula dan itu merupakan urusan pemerintah."

   "Kalau begitu, tugas apakah yang Suhu berikan kepada teecu?"

   San Hong bertanya.

   "Biasanya, apabila terjadi perang maka iblis-iblis bermunculan untuk menyebar racun kejahatan. Keadaan menjadi kacau dan yang paling menderita hebat adalah rakyat jelata. Perang itu sendiri sudah sangat kejam karena pasukan pihak pemenang biasanya melakukan pembunuhan, perampokan dan perkosaan secara kejam sekali. Semua ini ditambah dengan para penjahat yang mempergunakan kesempatan selagi keadaan menjadi kacau untuk mengumbar nafsu kejahatan mereka. Nah, di sinilah engkau dapat bertugas, San Hong. Biarpun tidak mungkin engkau mencegah terjadinya semua kejahatan, setidaknya engkau dapat mengurangi terjadinya beberapa peristiwa kejahatan itu, menentang kejahatan dan melindungi yang lemah dan menjadi korban."

   "Kami sudah tua, San Hong,"

   Kata Pek-ciang Yok-sian.

   "Karena itu, kami memilih engkau menjadi murid agar engkau dapat mewakili kami."

   San Hong mengangguk mengerti dan dia pun memberi hormat.

   "Teecu berjanji akan mentaati semua perintah Suhu dan semoga teecu tidak akan mengecewakan harapan Suhu sekalian."

   Setelah menerima banyak nasehat dari lima orang gurunya, San Hong menerima pula hadiah sebatang pedang pusaka dari Lui-kong Kiam-sian. Pedang pusaka yang biasanya dipergunakan San Hong untuk berlatih silat pedang di bawah pimpinan gurunya yang ke empat itu. Sebatang pedang pusaka yang mengeluarkan sinar berkilat dan amat ampuh.

   "San Hong,"

   Demikian kata Lui-kong Kiam-sian kepada muridnya sambil menyerahkan pedang itu.

   "Pedang Pek lu kiam (Pedang Kilat) ini selama puluhan tahun menjadi sahabatku dan tidak pernah terpisah dariku. Sekarang kuberikan kepadamu sebagai wakilku untuk mempergunakannya menentang segala bentuk kejahatan di dunia ini."

   Kemudian merekapun saling berpisah San Hong meninggalkan puncak menuju ke kaki gunung untuk lebih dulu pulang ke. kampung halamannya, dusun Po-lim-cun tempat tinggal orang tuanya. Adapun lima orang kakek itu pergi berpencaran, kembali ke tempat pertapaan masing-masing sebelum mereka berkumpul di puncak itu dan tinggal di situ selama lima tahun.

   San Hong berlari cepat sekali bagaikan terbang menuruni puncak. Teringalah dia akan pengalamannya lima tahun yang lalu ketika dia bertemu dengan Thay Lek Siansu, kemudian dengan Bu Eng Sianjin yang menjadi awal perjumpaannya dengan Thian-san Ngo-sian, lima orang kakek sakti itu, Kini, dengan mudah dia dapat menuruni puncak itu sambil-berlari cepat, alangkah jauh bedanya dengan lima tahun yang lalu. Kalau dia teringat betapa sebentar lagi dia akan bertemu dengan ayah ibunya, jantungnya berdebar penuh ketegangan dan kegembiraan.

   Membayangkan pertemuannya dengan ayah dan ibunya mendatangkan perasaan gembira yang membuat dia ingin bersorak dan tertawa. Terbayang pula wajah para temannya di dusun Po-lim-cun, betapa akan gembiranya bertemu dengan mereka. Akan tetapi dia akan merahasiakan keadaan dirinya dari mereka itu, kecuali tentu saja ayah bundanya yang akan dia ceritakan semua yang telah dialaminya semenjak dia meninggalkan mereka. Dia tidak mengkhawatirkan keadaan ayah ibunya. Menurut ayahnya sebelum dia tinggalkan, ayahnya telah menerima sekantung emas dari Thian-san Ngo-sian, cukup untuk menjadi modal hidup selama lima tahun.

   Kalau saja pemuda ini tahu apa yang telah terjadi kurang lebih dua bulan yang lalu di dusun Po-lim-cun! Pemuda yang kini berusia dua pulun tahun itu sama sekali tidak pernah mimpi bahwa dusun itu telah dilanda malapetaka yang amat hebat dua bulan yang lalu. Apakah yang telah terjadi di sana? Kurang lebih dua bulan yang lalu, pada suatu malam, dusun Po-lim-cun didatangi segerombolan perampok yang berjumlah dua puluh empat orang. Tepat seperti yang diduga oleh lima orang guru San Hong, kekacauan yang terjadi akibat perang di utara, di mana pasukan Mongol mulai merajalela, melanda di seluruh negara, bahkan terasa sampai dusun itu. Berita tentang terjadinya perang di utara itu membesarkan hati para penjahat sehingga mereka menjadi lebih berani.

   Malam itu, dua puluh empat orang perampok menyerbu dusun Po-lim cun, dipelopori oleh lima orang penjahat yang sengaja membawa kawan-kawannya menyerbu dusun itu untuk melampiaskan dendam mereka terhadap seorang pemuda bernama Kwee Sin Hong! Mereka berlima adalah para penjahat yang pernah mengacau di dusun kaki gunung dan dirobohkan oleh San Hong dan Pek-ciang Yok-sian, dan kemudian Yok-sian mengancurkan tulang pundak mereka sehingga mereka kehilangan kekuatan untuk selamanya. Karena sebelumnya San Hong memperkenalkan namanya dan mengatakan bahwa dia datang dari dusun di kaki gunung sebelah timur, mudah saja bagi lima orang itu untuk mendapat keterangan bahwa Kwee San Hong tinggal di dusun Po-lim-cun. Maka, setelah berhasil mengumpulkan kawan-kawannya, mereka kini menyerbu dusun itu.

   Begitu menyerbu, para penjahat ini melakukan aksi pembakaran terhadap rumah-rumah dusun yang berada di pinggir. Tentu saja penduduk menjadi kacau dan panik. Segera terdengar teriakan teriakan dan jeritan wanita, dan diseling suara para perampok tertawa bergelak sambil menyerang siapa saja yang nampak di dusun itu. Melihat ini, Kwee Cuu yang sudah berusia lima puluh lima tahun, segera menemui kepala dusun dan sedapat mungkin mereka berdua mengumpulkan semua pria muda di dusun itu dan dengan penuh semangat Kwee Cun berseru kepada mereka.

   "Dusun kita diserbu gerombolan penjahat. Kalau kita lari, keluarga kita tentu dibunuh dan semua harta milik. kita dirampok dan rumah kita dibakar!. Sebaiknya kita mempertahankan dusun kita mati-matian! Jumlah kita tentu lebih banyak dan marilah kita melawan para penjahat itu!"

   Melihat semangat Kwee Cun, para. pemuda di dusun itu menyambut dengar sorakan dan merekapun menyambar senjata apa saja yang dapat dipergunakan untuk melawan musuh. Kwee Cun sendiri memegang sebatang golok yang bit dipergunakan oleh puteranya untuk berburu binatang, dan lebih dari tujuh pulut orang mengikuti Kwee Cun sambil mengacung-acungkan senjata mereka, menyambut para perampok yang sedang mulai mengganas! Bahkan ada puluhan orang wanita dusun yang tabah, ikut pula membawa senjata dan ikut keluar menyambut para penjahat itu untuk melindungi keluarga dan harta milik mereka yang tidak banyak dan yang terancam musnah oleh para perampok, itu!

   Terjadilah pertempuran yang amat seru dan hebat. Para perampok itu jauh kalah banyak jumlahnya sehingga seorang perampok dikeroyok oleh empat lima orang, akan tetapi karena para perampok itu rata-rata memiliki kepandaian silat dan mereka merupakan orang-orang kasar yang sudah biasa berkelahi, maka pertempuran itu menjadi seru dan banyak, penduduk dusun Po-lim-cun yang menderita luka-luka. Pertempuran terjadi di bawah sinar api yang membakar beberapa buah rumah dan teriakan-teriakan terdengar memecah kesunyian malam yang biasanya penuh damai.

   Karena khawatir kalau-kalau terkepung oleh banyak-musuh dan terpencil, maka para perampok lalu bergabung dan membentuk lingkaran untuk dapat melawan lebih baik terhadap pengeroyokan penduduk dusun. Melihat bahwa yang mengeroyok hanyalah penduduk dusun yang sama sekali tidak pandai berkelahi dan yang hanya mengandalkan tenaga kasar saja, para perampok tertawa bergelak penuh ejekan, membayangkan betapa mereka akan membantai semua pria dusun itu, kemudian menculik para wanitanya yang muda dan merampok habis semua barang berharga dari dusun itu sebagai imbalannya.

   Seorang di antara para perampok itu pemimpin atau kepala mereka, adalah. seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang amat menyeramkan. Tubuhnya tinggi dan besar, perutnya gendut. Dia bertelanjang dada, nampak dada bidang dan perut gendut, dengan dada ditumbuhi bulu keriting, kedua lengannya kokoh kuat, mukanya yang bulat itu penuh cambang bauk dengan sepasang mata yang terbelalak merah, mulutnya menyeringai nampak giginya yang besar besar. Seorang yang seperti raksasa! sepak terjangnya juga menggiriskan semua orang. Setiap orang lawan yang menyerangnya, diterimanya dengan dada terbuka. Bacokan golok atau parang yang mengenai tubuhnya mental kembali, sama sekali tidak dirasakannya karena tubuhnya yang kebal itu tidak terluka sedikit pun oleh bacokan senjata tajam. Dan begitu tangannya bergerak menyambar, kepala penyerangnya tadi pecah dan tubuh orang itu terlempar dan tewas seketika.

   "Ha-ha-ha, siapa berani melawan aku? Ha-ha-ha, kalian ini kerbau-kerbau dusun berani melawan Tiat-liong (Naga Besi) Mo Kun dan kawan-kawannya? Ha-ha-ha!"

   Sambil tertawa-tawa, Si Naga Besi ini dengan pongahnya lalu mengamuk dan sepak terjangnya membuat para penghuni dusun menjadi gentar.

   Entah berapa orang sudah dihancurkan kepalanya oleh kedua tangannya yang seperti palu godam itu. Melihat ini, Kwee Cun yang memimpin pasukan dusun itu segera membawa beberapa orang pemuda yang kuat untuk mengepung dan mengeroyok pemimpin perampok yang lihai itu. Akan tetapi sebelum mereka turun tangan, entah dari mana datangnya, muncul dua orang laki laki berpakaian serba hitam di tempat itu. Dua orang laki-laki ini berusia kurang lebih lima puluh tahun, yang seorang tinggi kurus dan yang seorang lagi pendek gemuk dengan perut besar. Dan begitu muncul, sambil tertawa-tawa si gendut bergerak seperti angin topan mengamuk di antara para penduduk dusun.

   Si kurus juga mengamuk dengan mulut bersungut-sungut dan sepak terjangnya tidak kalah hebatnya dibandingkan si pendek gendut. Dalam beberapa gebrakan saja, si gendut sudah menangkap dan membanting tewas tujuh orang, sedangkan si kurus juga telah menewaskan tujuh orang penduduk dusun hanya dengan tendangan-tendangan kakinya yang panjang. Kwee Cun yang membawa golok menjadi marah sekali melihat betapa di pihak para perampok muncul dua orang lihai yang amat kejam. Biarpun dia maklum betapa lihainya dua orang itu, juga si kepala perampok yang tinggi besar, namun dia ingin membangkitkan semangat para penduduk dusun yang sudah mulai gentar, maka dia pun mengeluarkan teriakan marah dan dengan golok di tangan dia maju menerjang kepala perampok yang tinggi besar itu.

   "Perampok jahanam!"

   Kwee Cun membentak dan goloknya membacok ke arah dada perampok itu yang menyambut dengan membusungkan dadanya.

   "Takkk!"

   Golok di tangan Kwee Cun tepat membacok dada yang telanjang itu, ikan tetapi goloknya mental dan terlepas dari pegangan tangannya. Sebelum Kwee Curi sempat mengelak, tangan kepala perampok itu bergerak dan kepala Kwee Cun kena dihantam keras sekali sehingga kepala itu pecah dan dia tewas seketika. Melihat Kwee Cun tewas, juga kepala dusun, bahkan hampir semua wanita, termasuk isteri Kwee Cun yang ikut mengamuk juga tewas di samping puluhan orang penduduk dusun, mereka yang masih hidup menjadi ketakutan dan orang-orang dusun itu segera melarikan diri dari tempat itu.

   Mereka membawa anak-anak mereka yang menjerit-jerit ketakutan dan sebentar saja dusun Po lim cun menjadi sunyi, ditinggalkan mereka yang masih hidup. Mayat-mayat berserakan, dan di sana-sini terdapat mereka yang luka parah sehingga tidak mampu melarikan diri, hanya menahan rasa sakit dan, berpura-pura mati. Betapapun hebat rasa nyeri yang mereka derita, mereka tidak berani mengeluarkan suara dan dengan berpura-pura mati, mereka memandang ke arah para perampok itu dengan jantung hampir berhenti berdetak saking takut, ngeri dan tegangnya.

   Sementara itu, di pihak para perampok yang dua puluh empat orang jumlahnya, tidak ada yang tewas, hanya ada beberapa di antara mereka menderita luka-luka saja. Kini kepala perampok bernama Mo Kun berjuluk Tiat-liong itu, tertawa bergelak melihat penduduk dusun kabur, dan dia pun menghampiri dua orang laki-laki aneh berpakaian serba hitam sambil menyeringai.

   "Entah dari mana datangnya dua orang rekan yang telah membantu kami. Kami tidak akan melupakan bantuan kalian dan tentu kalian akan mendapatkan bagian."

   Katanya sambil mengamati dua orang berpakaian serba hitam itu.

   Si pendek gendut dan si tinggi kurus yang berpakaian serba hitam itu saling pandang. Si tinggi kurus nampak semakin cemberut dan si pendek gendut lalu tertawa bergelak, tangan kiri memegangi perutnya yang gendut dan menahan perut itu terguncang-guncang sedangkan tangan kanannya dijulurkan ke depan, telunjuknya menuding ke arah muka Si Naga Besi. Karena kakek gendut itu hanya menuding mukanya sambil terus tertawa terpingkal-pingkal, tentu saja Si Naga Besi yang terkenal galak dan ditakuti itu menjadi tidak senang dan dia memandang dengan alis berkerut, kemudian membentak marah.

   "Heh, Gendut! Apa yang kau tertawakan?"

   Si gendut berpakaian hitam masih tertawa dan hanya dengan susah payah dia dapat mengeluarkan kata-kata di antara suara ketawanya.

   "Ha-ha-heh..... kau..... ha-ha-ha, sudah mau mampus..... masih dapat berlagak sombong, ha-ha....."

   Tentu saja Si Naga Besi menjadi semakin marah.

   "Jahanam busuk, siapa engkau ini berani mengnina Si Naga Besi Mo Kun?"

   Kini si perut gendut sudah berhenti tertawa dan dia pun bicara dengan muka masih menyeringai lebar menahan kegelian hatinya.

   "Heh-heh-heh, engkau Tiat-liong Mo Kun? Ketahuilah bahwa di sini kami tentukan sebagai wilayah kami dan tidak seorang pun boleh melanggar kedaulata kami. Kalian telah berani beraksi di sini tanpa seijin kami, berarti kalian telah melanggar wilayah kami dan untuk itu kalian akan mampus!"

   Mendengar ucapan ini, tentu saja Naga Besi menjadi semakin marah. Mata nya melotot dan cambang bauknya ber gerak-gerak ketika mulutnya monyong tanpa dapat mengeluarkan suara saking marahnya. Akhirnya, dia dapat juga membentak.

   "Keparat!"

   Hayo mengaku siapa kalian sebelum mampus di tanganku!"

   "Ha-ha-ha, perampok kecil macam engkau hanyalah cacing tanah busuk yang tidak ada artinya, tidak pantas mengenal kami. Hayo berlutut dan menyerahkan diri untuk kami bunuh semua!"

   Sungguh hebat penghinaan ini dan si brewok itu segera melangkah maju mendekati si pendek gendut.

   "Orang macam engkau ini berani menghina kami? Hemm, tidak kaulihat tadi betapa golok, dari segala macam senjata tajam tidak mampu melukai aku? Apa kau sudah bosan hidup?"

   Si gendut pendek mengejek.

   "Jangan menawarkan dadamu yang lunak seperti tahu itu untuk kupukul. Sekali tusuk dengan jari telunjuk ini pun dadamu akan berlubang!"

   Si Naga Besi segera membusungkan dadanya.

   "Keparat, boleh kau coba, dan kalau engkau tidak mampu memenuhi ancamanmu itu, perutmu yang gendut akan kurobek dan kukeluarkan semua isinya!"

   "Ha-ha-ha, benarkah? Nah, coba dada tahumu itu menerima tusukan jari telunjukku ini!"

   Si gendut melangkah maju, tangan kirinya bergerak ke depan dan benar saja, jari telunjuknya dia pergunakan untuk menusuk dada yang bidang, kokoh dan berbulu tebal itu. Si Naga Besi yang selalu mengandalkan kekebalan tubuhnya, mengerahkan tenaganya untuk menjaga dada itu dari serangan lawan, sementara dia sudah siap untuk membalas dengan mencengkeram perut si gendut itu dan dirobeknya kulit dan lemak perut itu.

   Jari telunjuk yang pendek besar sesuai dengan bentuk tubuh orang itu meluncur ke arah dada, diterima dengan mulut tersenyum mengejek oleh Si Naga Besi. Akan tetapi, ketika jari tangan itu bertemu dengan kulit dada yang tebal dan amat kuat seperti besi itu, jari tangan itu terus menusuk ke dalam dan wajah si brewok berubah, matanya melotot mulutnya mengeluarkan teriakan kesakitan, kemudian tubuhnya terhuyung ke belakang dan darah mengucur dari dadanya yang berlubang! Jari telunjuk itu telah menembus kulit gajih dan daging, dan masih untung bagi Si Naga Besi bahwa bentuk jari telunjuk itu besar pendek sehingga tidak menyentuh jantungnya! Dengan kemarahan meluap dia mencabut sebatang golok dari pinggangnya!

   "Ha-ha-ha,dadamu itu lebih lunak daripada tahu yang sudah membusuk!"

   Ejek si gendut, sedangkan temannya, si tinggi kurus, hanya cemberut saja, matanya yang sipit hampir terpejam. Agaknya Si Naga Besi, biarpun berwatak sombong, bukan seorang bodoh. Dia tahu bahwa orang yang mampu menembus kekebalan dadanya hanya dengan jari telunjuk, tentulah memiliki kepandaian tinggi maka sedikit banyak kemarahannya bercampur dengan rasa jerih. Dia lalu membentak, mengeluarkan aba-aba untuk kawan-kawannya agar maju mengeroyok! Dua puluh tiga orang, termasuk yang sudah terluka, kini mengepung si pendek gendut dan si tinggi kurus yang berpakaian hitam, dengan senjata di tangan dan sikap mengancam.

   "Siauw te (Adik), hidangan sudah dikeluarkan, jangan sungkan-sungkan lagi, ganyang saja!"

   Kata si gendut kepada temannya yang tinggi kurus.

   "Hemmm, serahkan mereka kepadaku, Toa-ko (Kakak)!"

   Kata si tinggi kurus yang mukanya selalu cemberut itu. Dua orang ini memang aneh dan juga lucu. Keadaan tubuh dan muka mereka sungguh merupakan kebalikan sama sekali. Kalau yang lebih tua bertubuh pendek gendut, yang muda bertubuh tinggi kurus.

   Kalau si gendut itu mukanya selalu tersenyum lebar dan mudah tertawa, sebaliknya si kurus itu mukanya selalu cemberut seperti orang berduka atau ngambek seperti mudah menangis. Akan tetapi, biarpun tubuh mereka aneh, sungguh Si Naga Besi sekali ini keliru sama sekali kalau memandang rendah kepada mereka. Kini dua puluh empat orang yang semuanya bersenjata tajam itu menerjang dan menghujankan senjata mereka kepada si gendut dan si kurus, dan terjadilah perkelahian yang aneh, berat sebelah dan juga lucu. Biarpun tubuhnya dihujani senjata tajam, si tinggi kurus itu sama sekali tidak nampak gugup bahkan dia melangkah maju menyambut hujan senjata itu dengan kedua lengan diangkat, kedua tangan dengan jari-jari kecil panjang itu mencengkeram dan dia menyambut begitu saja senjata-senjata tajam, menangkap dan mencengkeramnya.

   Terdengar bunyi berkretekan dan senjata-senjata yang tertangkap oleh kedua tangannya itu patah-patah dan remuk! Sementara itu, kedua kakinya yang kecil panjang sudah bergerak bergantian dan setiap orang perampok yang kena tendangan kakinya, tentu terlempar dan roboh untuk tidak bangkit kembali karena kepala, atau dada, atau bawah pusar, sudah remuk dilanda kaki yang amat kuat itu!

   Si gendut juga hebat bukan main. Senjata-senjata tajam menimpa seperti hujan ke atas kepala dan pundaknya dari atas, ada pula yang menusuk perut gendutnya dari depan dan kanan kiri, akan tetapi semua senjata itu membalik seperti menimpa bola karet yang tebal dan kuat saja, dan sebelum para penyerang itu sempat menyingkir, tubuh gendut itu sudah "menggelinding"

   Ke sana-sini dan setiap kali tangannya bergerak, tentu ada kepala pecah atau dada remuk sehingga orangnya tentu saja tewas seketika.

   Si Naga Besi sendiri begitu menyerang dengan golok besarnya, disambut oleh si gendut dengan menyeringai lebar. Golok mengenai kepala, keras sekali, akan tetapi golok itu membalik dan sebelum Naga Besi sempat mengelak, kakinya sudah kena ditangkap, tubuhnya diputar-putar ke atas oleh si gendut, lalu dibanting.

   "Bresssss!"

   Dan Si Naga Besi tidak mampu bangkit lagi, hanya mengerang kesakitan karena banyak tulang-tulang tubuhnya remuk.

   "Siapa..... siapa kalian.....?"

   Si Naga Besi masih sempat bertanya sebelum nyawanya melayang.

   "Heh-heh-heh, engkau tidak pantes berjuluk Naga Besi, melainkan lebih patut berjuluk Cacing Buta! Kami adalah Hek I Siang-mo (Sepasang Iblis Baju Hitam) yang kini menguasai seluruh wilayah Pegunungan Thian-san."

   Kata si gendut.

   Sepasang mata Si Naga Besi terbelalak.

   "Hek.... I..... Siang-mo.....?"

   Dan dia pun terkulai, tewas.

   Tentu saja dia sudah mendengar nama dua orang datuk sesat yang amat ditakuti di seluruh dunia kang-ouw ini! Beberapa orang anggauta perampok yang masih belum roboh menjadi panik ketakutan melihat betapa Si Naga Besi sudah tewas. Mereka segera melarikan diri, akan tetapi nampak bayangan hitam berkelebatan dan dua orang berpakaian hitam itu berkelebatan cepat melakukan pengejaran dan di dalam waktu singkat saja, seluruh perampok berjumlah dua puluh empat orang itu tewas semua!

   Si gendut pendek tertawa bergelak, memandang mayat-mayat berserakan yang memenuhi tempat itu. Para perampok yang tewas saja dua puluh empat orang banyaknya, sedangkan orang-orang dusun yang tewas lebih banyak lagi. Dusun yang biasanya amat tenteram itu kini menjadi tempat yang amat mengerikan, menjadi tempat pembantaian manusia! Banyak di antara mereka yang terluka dan berpura-pura mati, menjadi sungguh-sungguh mati saking takut dan ngerinya melihat itu semua. Ada pula yang roboh pingsan, dan hanya beberapa orang saja yang cukup tabah masih mampu melihat apa yang terjadi di situ, dengan hati diliputi ketegangan dan kengerian.

   "Ha-ha-ha, hari ini kita sungguh berpesta pora sampai kenyang, Siauwte!"

   Kata si gendut sambil menyeringai kejam.

   "Kekuasaan yang kita tanam di daerah ini tentu akan mengesankan dan tidak akan ada seorang pun yang berani menentang kita lagi!"

   "Engkau benar, Toako. Sayang masih ada yang sempat melarikan diri, terutama para wanitanya."

   Kata si kecil kurus yang paling suka menambah kepuasan hatinya setelah melakukan pembunuhan-pembunuhan itu dengan mempermainkan para wanita sampai mati.

   "Ha-ha-ha, biarkan mereka pergi, agar mereka menyebar berita tentang kedatangan kita. Tak seorang pun akan berani menentang kita lagi, dan amat perlu menanamkan rasa takut di hati mereka."

   Tiba-tiba tempat yang kini menjadi sunyi dan menyeramkan itu dipecahkan oleh suara yang melengking nyaring. Mula-mula suara itu terdengar hanya seperti lengking panjang, seperti lolong srigala atau binatang buas lain. Akan tetapi, makin lama lolong atau lengking itu semakin jelas dan akhirnya terdengar dari dusun yang biasa itu sebagai suara teriakan panjang.

   "A-bwee.....! A-bwee.....! Siauw-bwee di mana engkau....?"

   Dua orang berpakaian hitam itu saling pandang dan keduanya mengerutkan alisnya.

   Siapakah orangnya berani mendatangi tempat itu? Si gendut menyeringai lebar, dan lidahnya keluar menjilati bibirnya, sikapnya seperti seekor srigala yang melihat datangnya mangsa baru yang menimbulkan seleranya! Beberapa orang penduduk dusun yang masih belum tewas, yang terluka dan pura-pura mati, mempergunakan kesempatan selagi dua orang membalikkan tubuh menanti munculnya orang yang berteriak-teriak memanggil nama A-bwee atau Siauw bwee itu, mereka merangkak dan pergi dari tempat itu.

   Ada dua orang penduduk dusun yang berhasil merangkak pergi, bersembunyi di balik semak-semak lalu perlahan-lahan menjauhkan diri dari tempat yang penuh mayat itu. Tiga orang lain yang sedang merangkak, tiba-tiba melihat si tinggi kurus menoleh. Mereka cepat berpura-pura mati lagi, namun terlambat. Si kurus ini melihat gerakan mereka dan tangan kiri si tinggi kurus bergerak tiga kali. Nampak ada sinar kecil hitam menyambar ke arah tiga orang yang terluka itu dan tanpa dapat mengeluh lagi, ketiganya terkulai lemas dan tewas dengan sebatang jarum menembus pelipis kepala mereka sampai dalam!

   Dua orang datuk sesat itu, Hek I Siang-mo (Sepasang Iblis Baju Hitam), kini berdiri menanti munculnya orang yang berteriak-teriak tadi. Tak lama kemudian, mereka melihat seorang kakek melangkah datang ke tempat itu. Seorang kakek yang tinggi besar dan gagah perkasa,memakai mantel atau jubah lebar berwarna merah! Pakaiannya putih-putih dengan sabuk emas yang lebar menghias pinggangnya. Kakek ini usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, akan tetapi masih kelihatan gagah perkasa, tinggi besar dengan kaki dan tangan yang kokoh, pundaknya lebar, dadanya bidang dan pakaiannya terbuat dari sutera halus yang mahal dan terpelihara baik-baik.

   Rambutnya digelung ke atas dan dihiasi oleh perhiasan rambut berbentuk seekor naga melingkari sebuah mutiara dari batui giok. Tangannya memegang sebatang tongkat yang tingginya sepundak, dan kedua ujung tongkat itu pun dilapisi emas, yang ujung bawah meruncing, yang atas menjadi gagang berbentuk kepala naga. Sungguh seorang kakek yang gagah dan berwibawa. Mukanya persegi empat dengan sepasang mata yang mencorong dan wajah itu membayangkan keangkuhan yang luar biasa. Begitu tiba di tempat itu, kakek ini menghentikan langkahnya yang lebar, memandang ke kanan kiri, ke arah mayat-mayat itu dan wajahnya yang tinggi hati itu nampak semakin mengejek dan memandang rendah. Dengan kerlingan memandang rendah kepada dua orang berpakaian hitam-hitam itu, kakek berjubah merah mengeluarkan suaranya yang mengejutkan dua orang datuk sesat itu karena suara kakek ini amat lantang seperti guntur dan bergema di seluruh dusun.

   "Heiii, kalian dua orang berpakaian hitam! Apakah kalian melihat anakku Ang Siang Bwee? Hayo katakan di mana anakku A Bwee!"

   Kalimat terakhir ini bernada memerintah.

   Hek I Siang-mo adalah dua orang datuk sesat yang selamanya ditakuti dan dihormati orang, dan mereka begitu percaya kepada kekuatan dan kepandaian sendiri sehingga tidak pernah memandang tinggi orang lain. Kini, melihat munculnya seorang kakek yang begitu memandang rendah kepada mereka, tentu saja keduanya merasa mendongkol dan marah bukan main. Akan tetapi Thian-te mo, yaitu si pendek gendut, tertawa bergelak menutupi kedongkolan hatinya.

   

Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini