Ceritasilat Novel Online

Pedang Asmara 9


Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 9



"Hoa-ha na ha, dari mana datangnya kakek pesolek dan kaya ini? Sobat, kalau engkau mencari anakmu, cobalah cari di antara mayat-mayat ini, siapa tahu barangkali ia berada di antara mereka!"

   Sepasang mata itu mengeluarkan sinar mencorong, akan tetapi kakek berjubah merah itu benar-benar melangkah dan mencari-cari di antara mayat yang berserakan dan malang-melintang di tempat itu. Dia menggunakan kaki dan ujung tongkatnya untuk membalikkan mayat yang menelungkup untuk melihat mukanya, dan anehnya, dia bukan hanya membalikkan mayat wanita yang menelungkup, bahkan mayat pria pun dia balikkan kalau mayat itu menelungkup. Agaknya dia tidak menemukan orang yang dicarinya karena dia meninggalkan mayat-mayat itu, kini menghampiri Hek I Siang-mo yang sudah siap untuk membunuh kakek yang sama sekali tidak menghargai mereka itu.

   "Apa yang terjadi di sini?"

   Kembali kakek jubah merah bertanya dan suaranya kembali terdengar seperti bernada memerintah dan menuntut jawaban yang benar!Im yang-mo, si kurus tinggi sudah hendak menggerakkan kakinya, akan tetapi Thian te mo,si gendut, menyentuh lengannya dan si gendut ini kembali tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, apa yang terjadi? Beginilah kalau orang-orang berani menentang Hek I Siang-mo. Mereka mampus semua, juga engkau..."

   "Kau bilang tadi siapa membunuh mereka semua?"

   Kakek berjubah merah memotong ucapan si gendut itu dengan suara tidak sabar. Kembali dua orang berpakaian hitam itu mendongkol bukan main. Kakek jubah merah ini benar-benar memandang rendah mereka.

   "Siapa lagi kalau bukan Hek I Siang-mo?"

   Bentak si tinggi kurus mendahului kakaknya.

   "Siapakah itu Hek I Siang-mo?"

   Kakek jubah merah bertanya, sikapnya memandang rendah sekali. Kembali dua orang datuk itu merasa betapa dada mereka sesak karena mendongkol. Kaum sesat di empat penjuru sudah mengenal nama besar mereka, akan tetapi kakek ini menyambut nama mereka seperti nama yang remeh saja!

   "Hek I Siang-mo adalah kami!"

   Bentak Thian-te-mo, kini untuk pertama kalinya senyumnya tidak nampak karena dia sudah marah sekali.

   "Kalian bohong besar! Yang membunuh semua orang adalah aku! Hayo kalian berdua katakan bahwa yang membunuh semua orang adalah aku seorang!"

   Kemarahan dua orang datuk itu tidak dapat mereka pertahankan lagi. Si gendut Thian-te-mo mengeluarkan suara menggereng setengah tertawa dan tiba-tiba tubuhnya yang bundar itu sudah menggelinding ke depan, kedua tangannya dengan cepat dan juga dengan amat kuatnya sudah menyerang dengan dahsyat ke arah dada dan perut kakek jubah merah. Dapat dibayangkan betapa berbahayanya serangan kedua tangan Thian te-mo yang tadi setiap kali tampar saja menghancurkan kepala setiap orang anggauta perampok. Apalagi sekarang kedatangan itu dihantamkan dengan pengerahan tenaga yang besar karena si gendut sedang marah. Kakek jubah merah itu agaknya tidak tahu bahwa nyawanya terancam serangan maut. Dia enak-enak saja, hanya mengibaskan lengan jubah merahnya. Angin besar menyambar ke arah. si gendut dan sungguh aneh, tubuh yang bundar itu seperti sebuah bola ditendang, terlempar dan bergulingan sampai jauh!

   Si kurus tinggi Im-yang-mo juga sudah menerjang maju. Dia amat lihai mempergunakan kedua kakinya, maka kini begitu menerjang maju dia menggunakan kedua kakinya, menendang bergantian dengan cepat dan amat kuat. Seperti juga tadi, kakek jubah merah seperti acuh saja, hanya menggerakkan lengan jubahnya yang lebar. Kembali ada angin menyambar dahsyat dan tubuh yang kurus kering dan tinggi itu terlempar, melayang seperti sehelai layang-layang putus talinya, dan akhirnya tubuh kurus itu terbanting jatuh dekat tubuh Thian-te mo yang gendut.

   Kedua orang ini bangkit duduk saling pandang seperti orang yang bermimpi buruk. Mereka tak dapat menerima, tak dapat percaya akan peristiwa yang menimpa diri mereka. Sungguh tidak mungkin sama sekali. Mereka, dua orang datuk sesat yang berilmu tinggi, sudah digolongkan orang-orang sakti, dalam segebrakan saja dilemparkan oleh kibasan ujung lengan jubah kakek itu, tanpa kakek jubah merah itu menggerakkan kaki satu langkahpun! Ini sungguh tidak mungkin!

   Perasaan malu, heran, penasaran dani marah bercampur aduk dalam dada mereka. Si gendut Thian-te-mo sudah tidak mampu tertawa lagi. Dia menggerakkan kedua lengannya dan kedua tangan yang berjari pendek-pendek itu membentuk cengkeraman, kedua lengan tergetar diisi tenaga sin-kang sepenuhnya! Datuk sesat ini mengambil keputusan untuk melakukan serangan maut yang amati hebat! Selama ini, belum pernah ada lawan yang mampu bertahan menghadapi ilmu Hek-hiat-ciang (Tangan Darah Hitam), yaitu pukulan dan cengkeraman! menggunakan kedua tangannya yang berubah hitam dan penuh dengan tenaga sakti yang amat kuat, pula mengandung hawa beracun!

   "Hyaaaaattttt.....!!!"

   Dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya yang gendut bundar itu bergerak maju cepat sekali sehingga kelihatannya seperti menggelinding. Tahu-tahu kedua tangannya telah mengirim serangan maut yang amat dahsyat. Nampak uap hitam mengepul dari kedua tangannya yang berubah hitam itu, dan kedua tangan menyambar ke arah tubuh kakek jubah merah.

   Seperti juga tadi, kakek itu menghadapi serangan maut ini dengan sikap acuh, dan paridang matanya yang mencorong itu memandang remeh seperti menghadapi kenakalan anak kecil saja. Tangan kanannya masih memegang tongkat dan tidak bergerak. Hanya tangan kirinya saja yang bergerak menyambut serangan lawan dan tahu-tahu, tangan kiri itu dapat mulur panjang! Lengan itu mulur sampai hampir dua meter dan sebelum serangan si gendut tiba, lebih dulu tubuh si gendut sudah dicengkeram di bagian tengkuknya dan lengan yang panjang itu mengangkatnya ke atas. lalu membanting tubuh gendut ke bawah dengari kekuatan raksasa!

   "Brukkkkk!!"

   Thian-te-mo dibanting ke atas tanah. Kakek gendut itu terkejut! bukan main dan cepat dia mengerahkan! seluruh sin-kangnya untuk melindungi tubuhnya. Bantingan itu sedemikian kuatnya sehingga. tubuh Thian-te-mo yang, mengeras penuh kekebalan itu terbanting dan ambles ke dalam tanah dari kaki sampai ke pinggangnya!

   Pada saat itu, Im-yang-mo, si kakek kurus tinggi sudah pula datang menyerang. Kakek ini pun mengeluarkan ilmu simpanannya yang paling ampuh, yaitu ilmu Cui-beng-tui (Tendangan Pengejar Nyawa dan tubuhhya sudah menerjang ke depan, lalu kedua kakinya bagaikan halilintar cepatnya menyambar-nyambar dari kanan kiri dengan tendangan yang amat kuat. Namun, yang ditendang masih tenang-tenang saja, dan begitu kaki lawan yang amat panjang itu datang menyambar, kakek jubah merah menggerakkan tangan kiri menyambut, menangkap kaki dan terus mendorong dengan sentakan keras dan akibatnya, tubuh yang kecil kurus itu terlempar ke atas, tinggi sekali dan akhirnya tubuh itu terhempas ke dalam sebatang pohon yang tinggi, lemas setengah pingsan tersampir di cabang dan terayun-ayun!

   Kalau lain orang yang dibanting seperti Thian-te-mo, tentu tubuhnya akan remuk dan setidaknya, tulang-tulang kaki dan punggung akan patah-patah yang akan mengakibatkan kematiannya. Badannya telah menancap ke dalam tanah sampai ke pinggang! Akan tetapi dia memang kebal dan kuat sekali. Biarpun wajah yang biasanya menyeringai dan tersenyum cerah itu kini berubah meringis kesakitan, namun dia mampu menarik dirinya keluar dari dalam tanah. Dan keadaan Im-yang-mo tidak kalah parahnya dibandingkan saudaranya itu, Ketika dia menendang, dia mengerahkan sin-kang yang kuat, akan tetapi ketika kakinya bertemu dengan tangan kiri kakek jubah merah, kekuatan sin-kang itu membalik sehingga dia mengalami serangan dari tenaganya sendiri. Baiknya dia dapat segera melindungi tubuh bagian dalam dengan hawa khi-kang sehingga dia tidak menderita luka parah di dalam tubuh dan guncangan hebat saja yang dideritanya sehingga ketika tubuhnya terlempar ke atas dan tertahan dalam pohon, dia hanya setengah pingsan saja. Seperti juga saudaranya, kakek tinggi kurus ini lihai, kuat bukan main.

   Dengan kepala pening dan semua nampak berputar-putar ditambah ribuan bintang menari-nari di depan matanya, kakek ini masih mampu untuk turun dari atas pohon walaupun dengan merangkak dan merosot seperti anak kecil. Begitu tiba di atas tanah, dia pun bersama Thian-te-mo segera menjatuhkan diri berlutut di depan kakek jubah merah! Lenyaplah semua kesombongan mereka karena keduanya mengerti benar bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, yang pantas menjadi guru mereka!

   Kini mereka pun teringat akan adanya seorang tokoh besar, seorang datuk besar yang kabarnya memiliki kepandaian seperti dewa, yang dianggap sebagai raja di antara golongan kang-ouw dan yang berjuluk Nam-san Tok-ong (Raja Racun Gunung Selatan). Seperti inilah gambar tokoh itu, dan kalau tadi merasa tidak mengenalnya adalah karena datuk besar itu tidak pernah muncul di dunia ramai dan seperti seorang tokoh dalam dongeng para petualang di dunia kang-ouw saja.

   "Mohon maaf!"

   Kata Thian-te-mo.

   "Apakah kami yang bodoh berhadapan dengan Nam-san Tok-ong Ang Leng Ki yang mulia?"

   Kakek itu masih bersikap angkuh.

   "Hemmm, ada dua hal yang membuat aku tidak ingin membunuh kalian sekarang.

   Pertama melihat kalian tidak mati seketika setelah bertemu dengan tanganku, dan ke dua karena kalian cukup awas untuk mengenal Nam-tok (Racun Selatan). Hayo katakan, siapa yang membunuh semua mayat ini?"

   Dua orang datuk sesat itu sudah pernah mendengar bahwa Nam-san Tok-ong Ang Leng Ki adalah seorang datuk besar yang wataknya aneh, angin-anginan, akan tetapi selalu bersikap angkuh dan sombongnya -tidak ketulungan lagi! Maka, kini mereka sama sekali tidak berani membantah dan dengan suara berbareng mereka pun berkata lantang,

   "Yang membunuh semua orang ini adalah Nam-tok!"

   "Kurang keras! Teriakkan yang keras agar semua orang mendengar dan tahu!"

   Kata Nam-san Tok-ong Ang Leng Ki atau disingkat Nam-tok sambil menghentakkan ujung tongkatnya ke atas tanah.

   Bagaikan dikomando, dengan paduan suara, Hek I Siang-mo berteriak lantang, dengan suara yang mengandung tenaga khi-kang sehingga terdengar sampai jauh sekali.

   "Yang membunuh mereka semua ini adalah Nam-tok!"

   Agaknya kini hati kakek jubah merah itu merasa puas. Dan memang teriakan itu nyaring sekali, terdengar oleh mereka yang tadi melarikan diri sehingga semua sisa penduduk dusun Po-lim-cun dapat mendengarnya dan mereka pun menganggap bahwa penyebar maut di dusun itu bernama Nam-tok. Kini Nam-tok yang masih berdiri memandang kepada dua orang datuk yang masih berlutut di depannya.

   "Bangkitlah!"

   Bagaikan dua ekor anjing dicambuk, dua orang itu bangkit berdiri dan memandang dengan wajah ketakutan. Mereka adalah dua orang datuk yang biasanya berwatak kejam sekali, membunuh orang tanpa berkedip. Akan tetapi sekarang barulah nampak betapa di balik kekejaman mereka terdapat watak yang pengecut dan penakut. Memang demikianlah kenyataannya. Orang yang bersikap kejam kepada bawahan, tentu menjadi penjilat terhadap atasannya.

   "Sekarang katakan apakah kalian melihat puteriku yang bernama Ang Siang Bwee?"

   Dua orang itu saling pandang kemudian menggeleng kepala mereka. Thian-te-mo menjawab,

   "Maaf, Ong-ya, kami tidak pernah bertemu dengan puteri Ong ya."

   Sebutan Ong-ya ini agaknya menyenangkan hati Nam-tok yang memang memiliki watak tinggi hati dan angkuh bukan main.

   "Apakah kalian kini sudah mengakui kekuasaanku?"

   "Sudah, Ong-ya dan maafkan kebodohan kami tadi."

   "Kalau benar demikian, mulai sekarang, kalian kuserahi tugas untuk mencari puteriku sampai dapat dan katakan kepadanya bahwa aku tidak marah lagi padanya dan minta agar ia mau pulang."

   "Baik, Ong-ya. Kami akan mengerahkan seluruh anak buah dan semua orang kang-ouw di daerah kami untuk kami sebar dan mencari puteri Ong-ya yang bernama Ang Siang Bwee itu."

   "Akan tetapi kami belum pernah melihatnya, harap Ong-ya suka menggambarkan bagaimana keadaan puteri Ong-ya itu."

   Dengan hati-hati Im-yang-mo yang sejak tadi diam saja ikut bicara. Si tinggi kurus ini merasa taluk benar. Dia tadi sudah kehilangan semangatnya ketika tubuhnya terlempar ke udara dengan tubuh lemas dan hampir pingsan.

   Sejenak kakek jubah merah itu diam melamun mendengar pertanyaan itu sehingga Hek I Siang-mo menanti dengan jantung berdebar tegang. Thian-te-mo memandang adiknya dengan mata mendelik marah karena pertanyaan adiknya itu dianggapnya lancang sehingga dia takut kalau-kalau kakek jubah merah itu menjadi marah. Dan memang watak aneh Nam-tok sukar diduga. Kalau saja dia tidak membutuhkan bantuan dua orang itu untuk mencari puterinya, mungkin saja dia marah mendengar pertanyaan yang seolah-olah memaksa dia harus membuat keterangan tentang puterinya itu, dan kemarahannya itu dapat saja berakibat dengan matinya dua oang itu! Akan tetapi untung bagi mereka, sekali ini dia tidak marah.

   "Puteriku bernama Ang Siang Bwee, berusia delapan belas tahun, wajahnya berbentuk bulat telur, kulitnya putih, ia manis dan matanya jeli lebar, ada lesung pipit di tepi mulutnya. Ia berandalan, pemberani, ilmu silatnya tinggi, dan ia suka menyamar sebagai pria. Nah, carilah dan kalau ia tidak mau pulang, pergunakan akal atau melaporkan kepadaku!"

   Setelah berkata demikian, kakek itu lalu membalikkan tubuhnya, melangkah lebar meninggalkan tempat itu, dan biarpun dia kelihatan berjalan biasa, melangkah satu-satu, namun sebentar saja dia sudah jauh sekali dari situ, hanya nampak titik merah yang kemudian lenyap.

   Thian-te-mo menarik napas panjang.

   "Berbahaya sekali! Hampir saja hari ini nyawa kita melayang. Sungguh tidak kusangka bahwa orang tua itu sungguh-sungguh ada dan kini muncul di dunia ramai! Huh, kepandaiannya sungguh mengerikan. Mendiang suhu sendiri kalau masih hidup, kiranya masih bukan tandingan Nam-tok!"

   "Memang mengerikan,"

   Kata Im-yang-mo, bergidik.

   "Selama hidupku belum pernah menemui lawan seperti itu. Kabarnya di dunia ini hanya See-thian Mo-ong (Raja Iblis Dunia Barat) dan Thian-san Ngo-sian berlima saja yang mampu menandinginya."

   "Kita masih untung bahwa dia berkenan menarik kita sebagai pembantunya. Ini kebetulan sekali. Dengan menggunakan namanya, hal ini menambah pengaruh dan kekuasaan kita."

   "Akan tetapi, ke mana kita harus pergi mencarinya kalau hendak melapor tentang puterinya?"

   

   "Ah, apa sukarnya mencari seorang seperti dia? Setiap orang kang-ouw di daerah selatan pasti akan dapat menunjukkan di mana tempat tinggal Nam-tok."

   Im-yang-mo yang tinggi kurus itu semakin cemberut.

   "Toako, perlukah kita bersusah payah mencarikan puterinya? Bagaimanapun juga kurasa lebih baik kalau kita berdiri sendiri daripada menjadi....."

   "Ssttt, hati-hati kalau bicara, Siauw te...."

   Thian-te-mo menegur adiknya. Im-yang-mo hendak membantah karena dia menganggap kakaknya kini tiba-tiba menjadi seorang yang penakut sekali. Akan tetapi sebelum dia membuka mulut, tiba tiba terdengar suara Nam-tok! Suara itu terdengar lapat-lapat saja, namun cukup jelas bagi mereka.

   "Jejak terakhir puteriku menunjukkan bahwa mungkin ia pergi ke kota raja. Carilah ke sana!"

   Setelah suara itu lenyap, suasana menjadi sunyi sekali. Im-yang-mo bergidik. Barulah dia mengerti mengapa kakaknya bersikap penakut.

   Kiranya kakek jubah merah itu sedemikian lihainya sehingga mampu mengirim suara dari jauh sekali. Siapa tahu dia dapat pula mendengarkan percakapan antara mereka! Wajahnya berubah pucat membayangkan bagaimana seandainya di mengeluarkan kata-kata yang menyinggung hati kakek jubah merah itu! Tentu dia akan mengalami kematian yang mengerikan!

   "Mari kita pergi!"

   Kata Thian-te-mo kepada adiknya dan sekarang Im-yang-mo tidak banyak membantah. Keduanya berkelebat pergi meninggalkan dusun yang penuh dengan mayat berserakan itu. Baru setelah lewat beberapa jam dan mereka merasa yakin bahwa para iblis itu sudah benar-benar meninggalkan dusun, para pengungsi berani kembali ke dusun mereka.

   Dan meledaklah ratap tangis dari para keluarga yang ditinggal mereka yang jatuh sebagai korban keganasan yang amat kejam itu. Dalam suasana penuh duka dan keprihatinan, para penduduk dusun lalu mengubur semua jenazah termasuk jenazah dua puluh empat perampok yang mula-mula menyerbu dusun mereka namun akhirnya semua perampok itu tewas pula di tangan iblis-iblis itu. Sejak hari itu, nama Nam-tok menjadi buah bibir para penduduk dusun Po-lim-cun dan tertanam di hati mereka sebagai musuh besar yang telah mengakibatkan kematian semua orang itu. Demikianlah, ketika Kwee San Hong tiba di dusunnya, para penduduk segera mengenal pemuda tinggi besar dan gagah ini.

   Kwee San Hong hanya dapat menemukan gundukan tanah kuburan ayah ibunya dan mendengar cerita para penduduk bahwa dusun mereka diserbu perampok dan iblis-iblis jahat sehingga mengorbankan banyak sekali penduduk dusun, termasuk Kwee Cun dan isterinya Tentu saja San Hong terkejut buka main mendengar akan kematian ayah ibunya. Hanya dengan kekuatan batinnya yang kokoh dia dapat menahan kesedihannya sehingga dia tidak meruntuhkan air matanya, walaupun hatinya seperti di tusuk-tusuk ketika dia berlutut di depan makam ayah ibunya. Kemudian dia mendengar keterangan para penduduk dusun tentang penyerbuan segerombolan perampok sehingga terjadi pertempuran antara para penduduk dan perampok yang dua puluh empat orang jumlahnya.

   "Ayahmu yang memimpin kami untuk melawan para perampok itu."

   Demikian mereka bercerita.

   "Sebenarnya, kami dapat mengatasi para perampok dengan jumlah kami yang lebih banyak. Aka tetapi tiba-tiba muncul iblis itu yan membunuhi semua perampok dan juga banyak penduduk dusun sehingga sisa dari kami melarikan diri."

   Diam-diam San Hong merasa bangga akan kegagahan ayahnya yang memimpin penduduk melawan perampok, akan tetapi mendengar munculnya "iblis"

   Yang membunuhi para perampok dan penduduk dusun, dia merasa heran dan juga marah.

   "Siapakah iblis itu?"

   Tanyanya.

   "Kami tidak tahu. Ada di antara kami yang melihat munculnya dua orang berpakaian serba hitam, seorang pendek gendut dan seorang lagi tinggi kurus. Akan tetapi, kemudian sekali kami mendengar pengakuan iblis itu bahwa yang membunuh semua orang adalah Nam-tok!"

   "Nam-tok.....?"

   San Hong mengulang nama itu berkali-kali di dalam hatinya.

   "Kalau begitu, sekarang juga aku akan mencari Nam-tok!"

   Katanya sambil bangkit dari berlutut di depan makam ayah ibunya, lalu hendak pergi dari situ.

   "San Hong, nanti dulu!"

   Seorang penduduk dusun menahannya.

   "Engkau baru pulang dan ayah ibumu meninggalkan rumah dan sawah ladang yang luas, kini tidak ada yang mengurusnya."

   "Biarlah, kutitipkan saja kepada kalian. Rumah itu boleh kalian tempati, dan sawah ladang itu boleh kalian olah dan hasilnya untuk kalian. Kelak kalau aku kembali, baru kalian kembalikan kepadaku. Selamat tinggal, aku harus pergi mencari pembunuh itu."

   Dan dia pun pergi tanpa menoleh lagi.

   Setelah melakukan perjalanan selama berbulan-bulan dalam usahanya mencari Nam-tok sambil merantau meluaskan pengalamannya dan melaksanakan tugas yang dipesankan para gurunya, pada suatu pagi yang cerah San Hong berjalan seenaknya menuju ke timur. Menurut keterangan yang diperolehnya tadi, Telaga Cing-hai yang terkenal amat luas dan indah itu berada dalam jarak belasan li lagi. Setelah meninggalkan dusunnya, barulah San Hong merasa menyesal mengapa dia tidak mau mempedulikan akan peninggalan orang tuanya. Guru-gurunya tidak memberi bekal uang dan bagaimana dia dapat melakukan perjalanan jauh tanpa uang di saku? Dia membutuhkan uang, setidaknya untuk makan dan pakaian, dan biaya penginapan.

   Akan tetapi karena sudah terlanjur menyerahkan semua milik ayahnya kepada penduduk dusun, tentu saja dia merasa malu kalau harus kembali lagi untuk mencari bekal perjalanan! Terpaksa dia setiap malam melewatkan malam di hutan-hutan atau kuil-kuil tua yang kosong, dan untuk makannya, dia berburu binatang hutan. Kurang lebih sebulan setelah meninggalkan dusunnya, di dalam sebuah hutan, tiba-tiba perjalanannya dihadang segerombolan perampok yang terdiri dari belasan orang.

   Para perampok itu hendak memaksa dia menanggalkan seluruh pakaiannya. Tentu saja San Hong menjadi marah dan dengan amat mudahnya, dia merobohkan belasan orang perampok itu. Dia lalu mendapat akal mengingat akan kebutuhannya. Dia mengancam para perampok setelah merobohkan mereka, memaksa mereka menyerahkan seluruh harta milik mereka dan ternyata, para perampok itu membawa buntalan yang berisi emas dan perak yang cukup banyak! Tentu saja San Hong menjadi girang dan kini buntalan emas dan perak itu telah berada di punggungnya! Dari keadaan merampok, dia telah berbalik merampok harta milik para penjahat itu dan kini dia dapat melakukan perjalanan dengan hati ringan, dapat tidur di rumah penginapan dan makan di restoran!

   Kematian ayah ibunya tidak lagi mendatangkan perasaan duka di dalam hatinya. Dia sudah banyak mempelajari tentang kenyataan hidup dari gurunya yang ke tiga, yaitu Pek Sim Siansu, hwesio gendut yang selalu tertawa dan bergembira itu. Dia sudah digembleng oleh gurunya ini dan mampu membuka mata melihat kenyataan hidup. Segala sesuatu di alam dunia ini tidak kekal adanya. Oleh karena itu, keterikatan dengan sesuatu hanya akan menimbulkan duka karena suatu waktu, dia pasti

   (Lanjut ke Jilid 09)

   Pedang Asmara (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 09

   akan kehilangan sesuatu itu dalam perpisahan. Dan keterikatan adalah nafsu. Dia menyayang ayah ibunya, dan kasih sayang bukanlah nafsu menyenangkan diri sendiri dengan jalan memiliki, bukan suatu ikatan. Ayah dan ibunya sekali waktu sudah pasti akan berpisah darinya melalui perpisahan mati, entah mereka yang mati lebih dahulu ataukah dia!

   Tidak, dia tidak perlu berduka oleh kematian ayah ibunya. Hanya dia merasa penasaran karena kematian mereka itu karena pembunuhan. Pembunuh mereka, juga pembunuhan puluhan orang itu, tentu seorang, yang teramat kejam dan jahat, maka sudah sepatutnya kalau dia mencari Nam Tok. Bukan sekedar membalas dendam kematian ayah ibunya dan orang-orang dusun, melainkan untuk menentang dan membasmi penjahat sekejam itu demi mencegah dia melakukan kekejian berikutnya. Hal ini sudah sesuai pula dengan pesan para gurunya.

   Dia kini menuju ke timur, ke arah kota raja. Guru-gurunya berpesan bahwa pasukan Mongol yang amat kuat itu tentu akan menyerbu ke selatan, dan kalau perang terjadi, maka keadaan tentu akan menjadi kacau balau dan para penjahat akan keluar semua dari tempat persembunyian mereka, untuk berpesta pora merajalela di kota-kota dan dusun-dusun selagi pasukan pemerintah dikerahkan untuk perang. Di sepanjang perjalanan, dia sudah mendengar akan ancaman perang dari utara itu.

   Banyak sudah orang orang dari dekat Tembok Besar, di perbatasan utara, mengungsi ke selatan. Dari mereka ini dia mendengar cerita betapa pasukan Mongol mulai mengganas di perbatasan dan penyerbuan mereka ke selatan melewati Tembok Besar hanya tinggal menanti waktu saja. Jalan yang dilaluinya itu tidak lebar, hanya sekitar dua meter karena di kanan kirinya ditumbuhi ilalang belukar. Jalan yang sunyi ini memang dipilihnya. Ada jalan lain yang menuju ke Telaga Cing-hai, yaitu jalan raya yang lebar. Dia lebih suka melalui jalan sempit yang sunyi ini daripada jalan raya yang ramai dan banyak kereta dan kuda lewat sehingga berdebu. Tiba-tiba dia mendengar derap kaki kuda dari belakang. Dia lalu minggir dan terdengar suara cambuk meledak disusul teriakan nyaring,

   "Heiii.....! Minggir! Apa kau ingin ditubruk kuda?"

   Kuda dengan penunggangnya itu lewat dengan cepatnya, debu mengepul tinggi dan San Hong melihat betapa pemuda tampan yang menunggang kuda itu tersenyum mentertawakan ketika pakaian San Hong menjadi kotor penuh debu. Dan ketika kuda itu lewat dekat sekali dengan dia, San Hong mencium bau sedap, harum seperti bau bunga mawar. Huh, pikirnya dengan hati mendongkol Seorang pemuda pesolek, genit memakai minyak wangi, sombong dan kurang ajar. Menurut patut, menunggang kuda melalu jalan sempit itu, kalau melihat orang berjalan kaki di depan, setidaknya akan mengurangi kecepatannya, bukan malah mencambuk kuda mempercepat larinya kuda.

   Dan melihat orang terkena debu sehingga pakaiannya kotor, disebabkan oleh larinya kuda, bukan minta maaf malah mentertawakan! Hemmm, rasanya ingin dia mengetuk kepala pemuda berandalan itu biar jera. Akan tetapi San Hong bukan seorang pemarah dan sebentar saja dia sudah melupakan pemuda pesolek itu. Melihat kesunyian jalan sempit itu, dia lalu menggunakan ilmu berlari cepat dan tubuhnya meluncur bagaikan terbang saja ke timur. Matahari telah naik tinggi dan San Hong merasa betapa perutnya lapar sekali. Sejak kemarin siang dia tidak makan apa-apa.

   Semalam dia terpaksa bermalam di sebuah hutan dan sejak pagi tadi dia melakukan perjalanan tanpa pernah melewati sebuah dusun pun di mana dia dapat membeli makanan. Tiba-tiba dia menghentikan larinya dan berjalan seenaknya. Jauh di depan dia melihat seekor kuda sedang makan rumput, dan di tepi jalan, seorang pemuda sedang membuat api unggun. Di dekat pemuda itu terdapat buntalan yang sudah dibuka dan isinya adalah bahan-bahan masakan seperti tepung, sayur-sayuran, daging segar yang agaknya baru diambilnya dari seekor kelinci yang ditangkapnya, bumbu-bumbu masak, bahkan ada pula panci, minyak dan segala alat masak yang serba lengkap!

   Tentu saja San Hong merasa geli dan juga heran. Dari mana pemuda itu mendapatkan semua bahan dan alat masak? Dan agaknya pemuda itu pandai memasak. Hanya orang selatan saja yang pandai masak, yaitu kaum prianya. Rata-rata kaum pria selatan pandai masak. Karena perutnya terasa lapar, San Hong merasa tertarik dan dia mendekati. Pemuda itu mengangkat muka dan...... keduanya nampak terkejut.

   San Hong segera mengenal pemuda itu sebagai pemuda pesolek yang tadi hampir menubruknya dan yang menghadiahkan debu padanya, disertai ketawa yang menjengkelkan. Juga pemuda itu memandang kepadanya dengan kaget dan agaknya merasa heran bagaimana orang yang dilanggarnya tadi dapat demikian cepat menyusulnya. Akan tetapi hanya sebentar saja dia nampak terkejut, kemudian dia tersenyum.

   Senyumnya manis dan menawan. Pemuda ini sungguh tampan bukan main, pikir San Hong. Tampan dan pesolek, tentu mudah meruntuhkan hati wanita. Tiba-tiba San Hong terkejut sendiri dan mengamati wajah tampan itu penuh selidik. Pemuda tampan menarik hati, pesolek dan genit! Teringat dia akan cerita tentang orang jahat yang dinamakan jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga), yaitu penjahat yang suka mempergunakan ketampanan dan bujuk rayu, kalau perlu dengan kekerasan untuk menundukkan dan mempermainkan wanita. Jangan-jangan pemuda ini seorang jai-hwa-cat!

   "Heiiiii, mau apa kau memandang aku seperti itu?"

   Tiba-tiba pemuda itu menegurnya. San Hong menjadi gugup dan mukanya berubah merah. Bagaimana dia dapat menduga yang tidak-tidak dan menuduh orang tanpa alasan?

   "Aku..... aku seperti pernah melihatmu, entah di mana....."

   Jawabnya untuk menutupi kegugupannya. Pemuda itu tersenyum.

   "Tentu saja pernah. Bukankah engkau tadi sudah makan debu dari kaki kudaku?"

   "Ahhh, benar!"

   San Hong pura-pura baru ingat.

   "Kiranya engkau yang membalapkan kuda tadi dan hampir menubrukku!"

   "Tentu saja aku, mana ada orang lain?

   Jangan pura-pura kau! Habis, engkau jalan melamun, jadi hampir ditubruk kudaku. Engkau orang aneh, jalan seorang diri di jalan kecil yang sunyi ini. Engkau tentu....."

   Pemuda itu menahan ucapannya dan sepasang matanya yang jeli mengamati San Hong penuh perhatian dan selidik.

   "Tentu apa?"

   San Hong ingin mendengar kelanjutannya. Pemuda itu bangkit berdiri dan ternyata dia kelihatan pendek dibandingkan tubuh San Hong yang tinggi besar.

   Mungkin tingginya hanya sepundak, atau paling-paling setinggi leher San Hong dan tubuhnya jauh lebih kecil, nampak lemah dibandingkan tubuh San Hong yang kokoh kuat.

   "Biar aku menebak orang macam apa adanya engkau ini,"

   
Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Katanya dan sepasang alis yang hitam tebal itu berkerut, matanya bersinar-sinar mengamati San Hong, terutama pada buntalan di punggung pemuda tinggi besar ini setelah mengamati wajah dan bentuk tubuh San Hong.

   "Engkau tidak ada potongan menjadi pedagang besar walaupun engkau membawa emas dan perak yang tidak sedikit. Melihat pakaianmu dan sikapmu, engkau tidak pantas pula menjadi seorang kaya apalagi bangsawan. Nanti dulu..... keadaanmu memang agak sukar ditebak. Mukamu begitu bodoh akan tetapi sinar matamu mencorong. Hemmm, engkau tentu seorang petualang yang merantau seorang diri. Pakaianmu sederhana akan tetapi engkau memiliki banyak emas dan perak Apakah perampok? Tentu bukan. Wajahmu terlampau bodoh dan lembut untuk menjadi seorang perampok. Pencuri? Mungkin, akan tetapi matamu membayangkan kejujuran, dan suaramu mengandung harga diri yang tinggi, kiranya engkau takkan dapat melakukan pencurian karena malu. Wah, sungguh sukar menebak, akan tetapi lebih menarik hati. Teka-teki yang aneh dan tidak mudah. Jangan...... jangan bicara dulu, biarkan aku melanjutkan penyelidikanku."

   Pemuda tampan itu kini berdiri dan melangkah perlahan-lahan mengelilingi San Hong.

   Alisnya yang hitam berkerut, matanya bersinar dan wajahnya berseri. Di belakang San Hong, dia berhenti dan meraba-raba buntalan terisi uang dan pakaian, emas dan perak.

   Diam-diam San Hong merasa tegang. Jangan-jangan pemuda tampan ini seorang perampok, pikirnya. Kalau tidak, mana mungkin dapat mengetahui bahwa dia membawa banyak emas dan perak? Pada saat itu, tiba-tiba dia merasa ada angin pukulan menyambar dari belakang. Tepat dugaannya, pikirnya, tentu perampok ini hendak menyerangnya dari belakang, untuk merampas emas dan peraknya. Dengan gerakan otomatis, kakinya meloncat cepat sekali ke depan sehingga kalau pemuda tampan itu benar menyerangnya, tentu serangan itu takkan mengenai tubuhnya yang juga sudah dia lindungi dengan tenaga sakti.

   Ketika dia membalikkan tubuhnya, pemuda itu berdiri sambil memandang kepadanya dan mulutnya tersenyum lebar. San Hong memandang dengan kagum. Sungguh pemuda itu tampan sekali. Kini dia tersenyum dan ketampanannya semakin menarik, karena wajah yang tampan itu manis bukan main. Belum pernah dia bertemu seorang pemuda yang begini ganteng!

   "Ha-ha-ha, sekarang aku sudah tahu"

   Kata pemuda itu sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka San Hong sedangkan tangan kanannya masih memegang pisau yang tadi dipergunakan untuk menyayat daging kelinci.

   "Engkau bukan pedagang, bukan perampok, bukan pula pencuri. Mungkin saja engkau menemukan harta pusaka terpendam. Akan tetapi ketika aku melihat kain buntalan itu, aku tahu bahwa kain itu biasa dipergunakan orang kang-ouw untuk membawa barang berat. Agaknya buntalan itu berasal dari buntalan berisi emas dan perak itulah. Jadi, tadinya bukan milikmu! Dan ketika aku membuat gerakan menyerang, engkau dapat cepat menghindar, berarti bahwa engkau pandai ilmu silat, walaupun tidak berapa tinggi,"

   Sampai di sini, pemuda itu mengamati wajah San Hong sambil tersenyum. Akan tetapi pada wajah yang membayangkan kegagahan dan memang nampak agak bodoh itu tidak nampak tanda marah walaupun dikatakan pandai ilmu silat walaupun tidak berapa tinggi.

   "Nah, dengan adanya kenyataan-kenyataan yang kukumpulkan ini, maka aku hampir berani memastikan bahwa engkau tentu bertemu dengan perampok yang mengganggumu. Engkau mengalahkan mereka tentu saja, karena mereka hanya perampok perampok kecil, dan agaknya engkau merampas buntalan mereka yang berisi emas dan perak!"

   Sepasang mata San Hong terbelalak dan wajahnya nampak semakin bodoh ketika dia memandang dengan penuh rasa heran dan kagum kepada pemuda tampan itu. Melihat wajah San Hong, pemuda itu memperlebar senyumnya.

   "Nah, nah wajahmu itu jelas menunjukkan bahwa tebakanku tepat. Bukankah begitu?"

   San Hong hampir tidak dapat percaya bahwa pemuda yang tampan ini dapat menebak sedemikian jitu dan tepat!

   "Kau..... agaknya engkau membayangi aku dan mengintai! Atau..... engkau sahabat dari mereka itu dan mendengar dari mereka! Apakah engkau datang mengejarku dan hendak merampas kembali emas dan perak ini?"

   Pemuda itu tertawa dan San Hong melihat deretan gigi yang rapi dan putih, rongga mulut yang merah dan lidah yang jambon. Akan tetapi hanya sebentar saja pemuda itu tertawa dengan mulut lebar karena dia sudah menutup lagi mulutnya dan hanya terkekeh.

   "Bagus, ucapanmu itu membuktikan bahwa engkau tidaklah sangat bodoh sekali, masih mampu mempergunakan otak, walaupun dugaanmu tadi sama sekali keliru. Aku tidak membayangimu, tidak mengintaimu, tidak pula bertemu dengan para perampok. Aku hanya mempergunakan ini...."

   Telunjuknya yang kiri menuding ke arah kepalanya.

   "Kalau orang kurang dapat mempergunakan otaknya, dia akan menjadi orang bodoh. Sekarang katakan, benar tidak semua tebakanku tadi?"

   San Hong mengangguk dan dia pun tersenyum, lega bahwa pemuda ini bukan membayanginya, bukan pula sahabat dari para perampok itu.

   "Semua benar dan tepat sekali. Sungguh engkau seorang pemuda yang luar biasa, Sobat, engkau cerdik dan pandai bukan main. Aku kagum dan mengaku kalah!"

   San Hong lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada, bersoja dengan sikap hormat dan ber sungguh-sungguh.

   Pemuda itu membungkuk sambil tersenyum, akan tetapi matanya yang tajam itu mengamati wajah San Hong penuh selidik.

   "Hemmm, hampir saja aku mengira banwa engkau bersikap begini karena menginginkan makan bersamaku! Akan tetapi tidak, engkau jujur!"

   "Ehhh? Mengapa engkau menyangka begitu?"

   San Hong memandang terbelalak dan mukanya berubah merah. Biarpun dia tidak berpamrih seperti itu, harus pula diakuinya bahwa melihat perlengkapan masak dan daging segar itu, timbul seleranya dan terasa betapa lapar perutnya.

   "Mengapa tidak? Hampir semua sikap menjilat dan merayu selalu ada pamrih tersembunyi di baliknya! Akan tetapi engkau tidak! Engkau jujur dan sungguh-sungguh. Karena itu, hatiku senang sekali, Sobat! Dan saking senangnya hatiku, aku mengundangmu untuk makan bersamaku di sini."

   Kini San Hong yang memandang dengan alis berkerut, tidak menjawab, juga tidak bergerak untuk duduk mendekati api unggun memenuhi undangan itu. Melihat ini, pemuda tampan itu memandang heran.

   "Eh, mengapa? Apakah engkau tidak mau menerima undanganku? Engkau akan rugi dan menyesal! Aku pandai sekali membuat masakan yang amat lezat! Kalau diadakan pertandingan memasak, di seluruh daerah selatan aku tentu akan menjadi juara!"

   "Bukan menolak, hanya...... aku ragu-ragu apakah tidak ada pamrih sesuatu di balik sikapmu yang baik ini? Kaukatakan tadi, semua rayuan dan kebaikan selalu menyembunyikan pamrih. Jangan-jangan engkau tertarik kepada buntalanku ini....."

   San Hong menepuk buntalan di punggungnya. Sepasang mata itu terbelalak, mukanya berubah merah dan jelas bahwa pemuda itu marah sekali.

   "Aku? Menginginkan buntalanmu? Heh, orang bodoh! Kalau aku mau, aku bisa memiliki emas dan perak yang sepuluh kali lebih banyak dari itu ! Kau hendak menghinaku, ya?"

   San Hong tersenyum dan menggeleng kepala.

   "Sama sekali tidak. Aku hanya belajar darimu, meniru dugaanmu tadi. Wah, dari orang cerdik seperti engkau aku akan dapat belajar banyak, Sobat."

   Mendengar ini, pemuda tampan itu tersenyum kembali dan wajahnya kembali cerah.

   "Tentu saja, engkau dapat memperoleh banyak kemajuan kalau belajar dariku. Nah, silakan duduk dan tunggu sebentar aku akan masak makanan untuk kita berdua."

   "Terima kasih,"

   Kata San Hong. Hatinya gembira bukan main. Dia percaya sepenuhnya kepada sahabat baru ini, yang amat cerdik, amat ramah dan juga sikapnya memiliki daya tarik yang besar, membuat dia seketika merasa amat suka kepada pemuda itu. San Hong duduk bersila di dekat api unggun, sedangkan pemuda tampan itu kini sibuk mempersiapkan masakan. Disayat-sayatnya daging segar itu, menjadi sayatan tipis-tipis, lalu dimasukkannya ke dalam panci di mana telah ditaruh bumbu dan tepung, ditambah air dan daging itu diaduk-aduk sampai rata dengan bumbu dan tepung.

   "Aku hanya akan membuat dua macam masakan dan menanak nasi. Sayang tidak dapat dilakukan berbareng sehingga matangnya juga berbareng, masih panas-panas dimakan sungguh lezat."

   "Kenapa tidak dimasak berbareng saja?"

   Tanya San Hong.

   Pemuda itu mengangkat muka memandang kepadanya sambil tersenyum geli, mentertawakan kebodohan pemuda itu.

   "Tanganku hanya dua buah,"

   Katanya.

   "mana mungkin?"

   "Bukankah ada aku yang menganggur? Aku dapat membantu. Dan rasanya tidak enak kalau menunggu makanan yang sedang dimasak dalam keadaan menganggur saja."

   "Wah, ternyata engkau tidak bodoh! Engkau mau membantuku? Nah, kalau begitu cepat, membuat api unggun yang lain, dan tambahi kayu bakar pada api unggun yang ini, sesudah itu, beras dalam buntalan itu kaucucl di dalam panci yang kuning itu, lalu isi air sampai tiga perempat dan taruh di atas api unggun. O ya, buat gantungan untuk tempat panci. Bisakah engkau membuatnya? Sesudah panci beras itu kau taruh di, atas api, kaubantu mencuci panci penggorengan ini, lalu oleskan minyak dalam botol ini, dan tolong kupas bawang putih lima buah lagi, sayat kecil-kecil dan....."

   Tiba-tiba pemuda itu berhenti bicara dan tertawa melihat betapa San Hong memandang kepadanya dengan mata terbelalak bodoh. Pemuda tinggi besar itu memang menjadi bingung mendapatkan tugas yang begitu bertumpuk sehingga dia tidak dapat mengingatnya kembali satu demi satu.

   "Aih, aku lupa! Mana engkau dapat mengingat semua itu? Nah, buat saja api unggun lebih dulu, baru nanti kuberi tahu satu demi satu apa yang dapat kaulakukan untuk membantuku!"

   San Hong tersenyum dan mengangguk-angguk gembira.

   Dia melepaskan buntalan dari punggungnya dan menaruhnya di dekat api unggun, lalu dia bangkit berdiri dan pergi mencari kayu bakar yang banyak berserakan di bawah pohon-pohon besar. Dia tidak melihat betapa pemuda itu melirik ketika dia meletakkan buntalan pakaiannya dekat api unggun dan meninggalkannya begitu saja, tidak melihat betapa pemuda itu tersenyum senang! San Hong segera membuat api unggun setelah kayu terkumpul banyak, dan pemuda tampan itu mulai menakar beras yang segera dicuci oleh San Hong dengan air sungai kecil jernih yang mengalir tak jauh dari tempat mereka berhenti.

   Mereka berdua sibuk sekali sehingga tidak sempat bercakap-cakap. Setelah panci nasi itu digantung di atas api unggun, dan pemuda tampan itu juga sudah mulai membuat masakan pertama yang membuat air liur memenuhi mulut San Hong karena, masakan itu mengeluarkan bau yang amat sedap, barulah pemuda itu bicara.

   "Engkau sungguh menyenangkan!"

   San Hong menoleh, tertawa.

   "Engkau lebih menyenangkan lagi, Sobat!"

   "Benarkah? Mengapa engkau menganggap aku menyenangkan?"

   San Hong mengamati wajah yang tampan itu.

   "Karena engkau tampan, eh, kau berbudi mulia, ramah dan juga amat cerdik, dan..... entahlah, pokoknya bagiku engkau menyenangkan sekali!"

   Pemuda itu tersenyum, manis.

   "Dan bagiku engkau menyenangkan karena engkau bodoh.... eh, maaf, maksudku jujur dan engkau amat percaya kepadaku. Buktinya, engkau meninggalkan begitu saja buntalanmu dan pergi mencari kayu bakar dan air, tidak khawatir kalau aku menyambarnya dan melarikannya. Dan engkau mau membantuku di dapur..... eh, maksudku masak-masak....."

   "Tentu saja! Bukankah aku juga kau undang makan? Dan tentang buntalan itu, andaikata kepercayaanku kepadamu keliru dan engkau melarikannya, tidak mengapa karena bukankah aku pun merampasnya dari tangan perampok? Kalau akhirnya kembali ke tangan perampok lain, itu sudah adil namanya."

   Tangan pemuda itu sedang membalik balik daging dan sedikit sayur yang sedang dimasaknya. Tiba-tiba saja dia melepaskan sepasang sumpit yang dipergunakan untuk memasak, dan dia pun menoleh kepada San Hong dengan mata menyala.

   "Apa? Kau maki aku perampok?"

   Bentaknya.

   "Sama sekali tidak. Akan tetapi, kalau engkau benar-benar melakukan seperti yang kaukatakan tadi yaitu menyambar buntalanku dan melarikannya, lalu sebutan apa yang harus kupergunakan untukmu?"

   Pemuda itu tertegun, lalu senyumnya mengembang lagi.

   "Aih, kukira engkau ini bukan sungguh-sungguh tolol, melainkan cerdik sekali.

   Engkau memaki orang secara berliku-liku, tidak langsung."

   Dia kembali sibuk dengan masakannya. Tak lama kemudian, dua orang pemuda itu sudah duduk dan menghadapi nasi putih yang masih mengepul panas, dan dua panci masakan yang mengepulkan uap yang sedap bukan main. Ketika San Hong mulai mencicipi masakan itu, dia mengecap-ngecapkan lidahnya, bukan untuk memuji dan menjilat melainkan karena kejujurannya membuat dia tidak malu-malu.

   "Bukan main! Sedap, lezat sekali! Ada gurihnya, cukup asinnya, cukup pula manisnya, dan dagingnya begini kenyal tapi tidak alot..... hemmm, enaknya.....!"

   Pemuda itu nampak gembira bukan main dan dengan sumpitnya, dia mengambilkan daging terbesar ke dalam mangkok San Hong. San Hong tidak malu-malu lagi, makan dengan lahapnya, dan pemuda sahabat barunya itu yang hanya makan sedikit, memandang dengan wajah berseri gembira melihat betapa masakannya membuat sahabat itu makan dengan gembulnya!

   "Heiii, kenapa makanmu sedikit sekali? Engkau membuat aku merasa malu saja. Aku merasa seperti seekor kerbau yang banyak makannya!"

   San Hong menegur ketika melihat pemuda itu makan sedikit saja.

   "Aku..... aku baru saja makan roti, perutku tidak begitu lapar. Akan tetapi makanlah, nih, dagingnya masih. Dan yang coklat itu jamur kering, enak, tidak kalah oleh daging rasanya. Cobalah."

   Nasi sepanci tinggal sedikit lagi dan dua panci masakan habis disikat oleh San Hong! Mereka berdua minum air teh yang dibuat pemuda tampan itu dan duduk dengan perut kenyang dan hati puas.

   "Biar kucuci mangkok dan panci ini,"

   Kata San Hong dan hendak bangkit, akan tetapi pemuda itu menggerakkan tangannya.

   "Biarkan dulu, kita bercakap-cakap dulu. Nanti saja kita cuci bersama."

   "Apa yang akan kita bicarakan?"

   Tanya San Hong, mengatur lagi duduknya agar enak. Dia merasa senang sekali.

   "Kita bicara tentang masakanmu tadi. Sungguh, selama hidupku baru sekarang ini aku merasakan makan sedemikian lezatnya! Engkau sungguh tukang masak yang paling hebat yang pernah kutemukan!"

   Pemuda tampan itu makin berseri wajahnya.

   "Dan aku pun baru sekarang ini bertemu dengan seorang yang demikian lahapnya makan! Bukan main! Melihat engkau makan saja sudah amat menyenangkan hatiku, Kawan. Akan tetapi banyak yang dapat kita bicarakan. Kita sudah makan bersama, akan tetapi kita belum saling mengenal."

   "Belum saling mengenal?"

   San Hong memandang heran.

   "Kita sudah saling mengenal dengan baik, sudah makan bersama, bahkan aku.., aku merasa seolah-olah telah lama sekail menjadi sahabat baikmu...

   "

   "Aku pun mempunyai perasaan begitu. Akan tetapi, kita belum saling mengenal nama....."

   "Aih, benar!"

   San Hong berseru kaget dan menepuk dahi sendiri.

   "Bagaimana aku dapat melupakan hal itu?"

   Dia lalu bangkit berdiri dan bersoja kepada pemuda tampan itu.

   "Sahabat yang baik, namaku Kwee San Hong, berasal dari dusun Po-lim-cun di kaki Pegunungan Thian-san, usiaku dua puluh tahun dan pekerjaanku.. biasanya aku bertani. Engkau tentu lebih muda dariku, maka, sepatutnya kalau engkau tidak keberatan, kusebut siauw-te (adik laki-laki), atau kalau engkau menghendaki, kusebut kongcu (tuan muda) karena agaknya engkau seorang pemuda kaya raya....."

   "Sing.....!"

   Terdengar suara berdesir nyaring dan nampak sinar. berkelebat menyambar ke arah San Hong yang masih berdiri. Pemuda tampan itu menggerakkan tangan dan sebatang sumpit meluncur ke arah sinar itu.

   "Tringgg.....I"

   Sumpit itu runtuh bersama sebatang paku yang ditangkisnya, jatuh di depan kaki San Hong. Pemuda, ini tentu saja tadi tahu akan datangnya senjata rahasia yang menyambar ke arahnya, akan tetapi sebelum dia menghindar, pemuda tampan itu telah lebih dahulu menangkis senjata rahasia paku itu dengan lemparan sumpitnya.

   "Toako, awas, ada orang datang!"

   Kata pemuda tampan itu dan tubuhnya yang tadi duduk itu bagaikan seekor burung saja sudah berkelebat dan kini dia berdiri di depan San Hong seolah-olah hendak melindunginya dari serangan orang jahat. Keduanya memandang ke depan, ke arah dari mana datangnya senjata rahasia tadi.

   Mereka muncul seperti setan saja. Yang nampak hanya dua sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu dua orang pria itu telah berdiri di depan San Hong dan sahabatnya. Dua orang pria berusia kira-kira empat puluh tahun dan San Hong membelalakkan kedua matanya, memandang bingung karena dua orang pria itu seperti seorang dengan dua badan saja. Demikian presis demikian sama tak dapat dibedakan satu antara yang lain. Wajahnya demikian sama, keduanya bermuka licin seperti muka wanita, mata sipit, telinga kecil, mulut lebar. Bentuk badan mereka sedang saja, akan tetapi wajah Itu, potongan rambut, pakaian mereka sungguh tidak dapat dibedakan satu sama lain! Tentu dua orang ini saudara kembar, pikir San Hong dan saking herannya, dia pun tanpa disadarinya sudah mengajukan pertanyaan.

   "Apakah kailan ini saudara kembar?"

   Pertanyaan yang bodoh tentu saja. Akan tetapi sekali ini pemuda tampan tidak mencelanya karena keadaan yang menegangkan itu. Pemuda tampan itu segera membuka mulut dan kata-kata penuh keberanian dan mengandung sikap memandang rendah kepada dua orang kembar itu.

   "Hemmm, sejak kapan Koay-to Heng te menjadi orang-orang yang pengecut dan penakut? Tak tahu malu menyerang orang secara menggelap! Huh, ini memalukan nama besar See-thian Mo-ong yang menjadi majikan kalian tentu saja."

   Mendengar ucapan itu, dua orang kembar itu saling pandang, lalu mereka mengamati wajah dan bentuk tubuh pemuda tampan itu, akan tetapi jelas bahwa mereka tidak mengenal pemuda itu. Mereka itu memang dua orang saudaa kembar yang amat terkenal di dunia kang-ouw, bahkan dianggap sebagai datuk datuk sesat yang berilmu tinggi, ditakut lawan disegani kawan. Nama besar Koay to Heng-te (Kakak Beradik Golok Setan) sudah terkenal di seluruh penjuru duni persilatan, maka kalau pemuda tampa ini mengenal mereka, bukan merupakan hal aneh. Juga mereka berdua adalah murid, juga pembantu-pembantu setia dari guru mereka, See-thian Mo-ong yang merupakan datuk besar di dunia barat, maka kalau pemuda itu mengetahui hal ini juga bukan hal aneh. Yang membuat mereka penasaran adalah melihat sikap pemuda tampan itu.

   Begitu memandang rendah kepada mereka, bahkan menyebut nama See-thian Mo-ong dengan sikap demikian meremehkan! Dan Juga tadi Gu Kiat, saudara pertama, yang menggunakan senjata rahasia paku beracun, melihat betapa pemuda tampan itu dengan mudahnya menangkis pakunya dengan sumpit. Oleh karena itu, mereka dapat menduga bahwa biarpun masih muda, tentu pemuda tampan itu seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan tentu terkenal pula di dunia persilatan. Akan tetapi anehnya, yang membuat mereka penasaran adalah bahwa mereka sama kali tidak mengenal pemuda itu. Mereka adalah datuk-datuk yang sudah banyak pengalaman dan banyak tahu akan tokoh-tokoh dunia persilatan, akan tetapi sekali ini mereka menghadapi seorang pemuda yang mereka sama sekali tidak kenal akan tetapi sebaliknya pemuda itu mengenal mereka, bahkan mengenal nama guru mereka!

   "Bocah sombong, jangan mencampuri urusan kami! Kami berurusan dengan dia itu!"

   Gu Kiat membentak dan menuding. ke arah San Hong.

   "Bukankah dia yang memiliki buntalan itu?"

   Dia menunju pula ke arah buntalan uang dan emas perak dari San Hong.!

   "Benar....."

   "Cukup, Toako! Serahkan urusan ini kepadaku. Mereka ini adalah dua orang manusia iblis dari barat yang amat keji dan jahat, dan akulah lawan mereka"

   Pemuda tampan itu, memotong pengakuan San Hong, lalu dia menghadapi dua orang kembar itu.

   "Perampasan emas dan perak dari tangan para berandal itu adalah tanggung jawabku! Jadi para berandal kecil itu adalah kaki tangan kalian, ya? Nah, sudah kukatakan bahwa perbuatan itu adalah tanggung jawabku. Kalian mau apa? Merampas kembali emas dan perak itu? Jangan harap selama ada aku di sini!"

   Pemuda tampan itu bersikap tinggi hati sekali dan diam-diam San Hong merasa tidak setuju. Sikap itu sungguh tidak menguntungkan, padahal dia dapat menduga bahwa dua orang kembar ini amat lihai. Pemunculan mereka tadi saja sudah membuktikan kelihaian mereka. Menghadapi dua orang lawan yang lihai seperti itu, seharusnya bersikap hati-hati, tidak memandang rendah seperti sikap sahabat barunya itu.

   Dua orang kembar, Gu Kiat dan Gu Liat kembali saling pandang dan mereka merasa semakin penasaran betapa pemuda tampan itu demikian memandang rendah kepada mereka, padahal pemuda itu tahu siapa mereka bahkan tahu pula bahwa mereka itu pembantu-pembantu utama guru mereka, See-thian Mo-ong! Bagaimana mungkin ada orang berani begini memandang rendah kepada mereka dan guru mereka? Hanya orang gila saja agaknya!

   "Orang muda, siapakah sesungguhnya engkau yang begini sombong dan seperti sudah bosan hidup? Mengakulah agar kami tidak penasaran kalau nanti membunuhmu!"

   Kata Gu Liat orang kedua yang selain amat pandai memainkan pasang golok, juga terkenal sekali dengan pukulan beracun Ang-see-ciang (Tang Pasir Merah).

   "Huh, dua orang manusia rendah macam kalian tidak pantas mengenal namaku. Cepatlah pergi dari sini atau berlutut minta ampun atas kelancangan kalian, atau boleh memilih kematian di tanganku!"

   Kemarahan Gu Liat tak dapat di tahannya lagi,

   "Sratttl"

   Nampak dua sinar berkilauan ketika dia mencabut sepasang goloknya. Juga kakaknya, Gu Kiat sudah mencabut sepasang goloknya. Dua orang kembar ini terkenal sekali dengan Ilmu golok mereka sehingga mereka di juluki Koay-to Heng-te (Kakak Beradik Golok Setan). Sepasang golok itu tipis dan tajam, ujungnya yang runcing melengkung ke atas dan punggung golok itu seperti gigi gergaji! Ronce-ronce kuning menghias gagang golok.

   "Huh, siapa takut menghadapi golok pemotong babi itu?"

   Pemuda itu tetap mengejek, akan tetapi kakinya bergerak ke bawah dan sebatang kayu terpelanting ke atas dan cepat ditangkapnya. Kayu itu merupakan sebatang ranting, sisa dari kayu bakar tadi. Hanya sebatang ranting yang panjangnya ada satu setangan meter, besarnya selengan pemuda itu. Bagaimana mungkin menghadapi empat batang golok yang amat tajam itu dengan hanya sebatang tongkat ranting kayu biasa? Pemuda yang menjadi temannya ini sungguh tinggi hati dan terlalu memandang rendah lawan, pikir San Hong dan dia pun sudah siap siaga untuk membantu kalau pemuda tampan itu terancam banaya.

   "Majulah, Koay-to Heng-te, dan kenalilah tongkat sakti di tanganku yang akan mencabut nyawa kalian!"

   Dua orang saudara kembar itu adalah datuk-datuk sesat yang sudah memiliki nama besar. Oleh karena itu, tentu saja mereka merasa sungkan sekali kalau maju bersama dan mengeroyok seorang pemuda remaja! Juga tidak mengherankan kalau dua orang seperti mereka, yang sukar dicari tandingannya, kini agak memandang rendah kepada pemuda tampan itu. Gu Liat, orang ke dua dari saudari kembar itu sudah langsung memutar sepasang goloknya sambil membentak marah.

   "Pemuda sombong, mampuslah!"

   Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sepasang golok itu menyambar-nyambar dengan amat ganasnya, mula-mula membentuk dua lingkaran sinar bergulung-gulung di atas kepalanya sendiri, kemudian dua gulungan sinar ini meluncur ke arah diri pemuda tampan itu. Bukan main kagetnya hati San Hong melihat itu. Ilmu golok yang amat hebat, dahsyat dan berbahaya, pikirnya. Akan tetapi, dia menjadi semakin heran dan kagum.

   Pemuda itu menggerakkan tongkatnya yang hanya terbuat dari ranting biasa, namun betapa luar biasanya. Tongkat itu mengeluarkan angin dan berdesir-desir ketika bergerak dengan putaran aneh ke atas dan bawah, membentuk gulungan sinar panjang seperti seekor ular naga! Dan ketika dua batang golok itu menyambar dengan gerakan menggunting, yaitu yang kanan membacok dari atas ke bawah sedangkan yang kiri menggunting dari bawah ke atas, tongkat itu pun membuat gerakan menggetar dan menangkis dengan beruntun dan cepat sekali.

   "Ting! Ting!!"

   Dan sepasang golok yang nampak amat tajam dan digerakkan dengan tenaga dahsyat itu terpental dan tertangkis, bahkan secara tiba-tiba dan cepat sekali, ujung tongkat sudah menyodok ke arah tenggorokan Gu Liat! Karena tadinya memandang rendah, Gu Liat terkejut setengah mati.

   "Ehhh.....!"

   Serunya dan terpaksa dia membuang dirinya ke belakang. Nyaris tenggorokannya kena disodok, maka tentu saja dia terkejut. Detik berikutnya, ujung tongkat yang lain sudah menotok ke arah ulu hatinya! Namun, sekali ini Gu Liat sudah siap siaga dan dengan golok kanannya dia menangkis, sementara golok kirinya membabat dari bawah. Dengan amat lincahnya, pemuda tampan itu mengelak dan membalas dengan kemplangan tongkat ke arah pelipis lawan. Serangannya tidak kalah kuatnya, bahkan lebih cepat, membuat diam-diam San Hong meresa kagum dan gembira.

   Melihat betapa pemuda tampan itu benar-benar amat lihai dengan tongkatnya, dua orang saudara kembar itu pun terkejut bukan main. Gu Kiat, orang pertama dari mereka, tentu saja merasa khawatir akan keadaan adiknya, walaupun dengan sepasang goloknya, Gu Liat belum nampak terdesak dan perkelahian itu berjalan seru, seimbang dan mati-matian. Untuk maju mengeroyok dia merasa malu. Dia lalu melirik kepada San Hong. Lebih baik bunuh saja dulu pemuda, yang merampas emas dan perak para perampok anak buahnya itu.

   Kalau pemuda Itu sudah tewas, tidak akan ada orang lain melihat kalau dia maju membantu adik kembarnya! Berpikir demikian, Gu Kiat yang juga sudah mencabut sepasang goloknya, menggerakkan sepasang senjata itu. Dia melihat betapa San Hong tiba-tiba saja meloncat ke dekat buntalan pakaiannya dan sekali sambar, pemuda itu kini sudah berdiri dengan sebatang pedang di tangan.

   

Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini