Pedang Pusaka Thian Hong 1
Pedang Pusaka Thian Hong Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 01
Pada tahun 870 sampai 873 rakyat Tiongkok menderita hebat sekali karena buruknya pemerintah yang dipegang oleh Dinasti Tang. Pembesar-pembesar dari yang terkecil sampai yang terbesar, dari yang terendah sampai yang tertinggi, semua melakukan korupsi besar-besaran, hingga tenaga dan harta benda rakyat diperas habis-habisan. Di antara sekalian pembesar-pembesar koruptor tinggi, kaum Thaikam (orang kebiri) yang paling hebat menjalankan peranan. Mereka ini tidak saja berpengaruh di dalam istana kaisar, tapi meluas sampai keluar hingga boleh dibilang, semua pembesar militer dan sipil berada dalam genggaman tangan mereka.
Lebih dari setengah bagian dari pada seluruh tanah di ibukota dikuasai oleh para Thaikam ini. Para petani, atau lebih tepat disebut buruh tani, bekerja di atas tanah tuan-tuan besar ini melebihi kerja seekor kerbau. Sedangkan para petani yang memiliki sedikit tanah, dikenakan pajak yang sangat tinggi. Untuk tiap mou sawah, seorang petani harus membayar pajak dari 50 sampai 100 kati gandum. Tentu saja ini merupakan delapan bagian dari pada hasil tanah mereka. Apalagi ketika dalam tahun 873 di daerah Shantung dan Honan terserang musim kering yang hebat, sedangkan pajak yang telah ditetapkan itu sama sekali tidak berubah atau dikurangi. Celakalah nasib kaum tani. Siapa yang tidak kuat membayar pajak sebagaimana yang telah ditetapkan, dihukum berat. Hukuman yang paling ringan adalah hukum cambuk lima puluh kali.
Tapi hukuman yang disebut paling ringan inipun sering mengantar nyawa seseorang ke alam baka, karena siapakah yang kuat menahan pukulan cambuk besar sampai lima puluh kali, sedangkan tubuh yang dicambuk itu telah begitu kurus kering karena kurang makan? Ada nasehat-nasehat kuno yang menyatakan bahwa rakyat jelata akan tunduk dan menurut apabila perut mereka kenyang, maka kenyangkanlah dulu rakyat jelata jika menghendaki Negara tenteram dan aman. Pada tahun 874, terbuktilah betapa tepatnya kata-kata itu. Para petani yang terjepit dan menderita dengan perut kosong, tak dapat bertahan lagi dan menjadi nekad. Maka pecahlah pemberontakan pertama di Cang-yuang (Shantung) yang dipimpin oleh Ong Sien Ci, dan pemberontakan ini didukung oleh hampir seluruh rakyat kecil. Pada tahun berikutnya, rakyat di Coa-chau memberontak pula, dipimpin oleh seorang patriot bernama Oey Couw.
Empat tahun kemudian, Ong Sien Ci tewas dalam sebuah pertempuran melawan tentara kerajaan Tang di Hupeh. Akan tetapi dalam sesuatu revolusi suci, tewasnya seorang dua orang, bahkan ratusan atau ribuan orang, tak menjadi soal dan sama sekali takkan memadamkan api revolusi yang menggelora. Mati satu maju dua, gugur seratus maju seribu. Demikianlah, setelah Ong Sien Ci tewas, Oey Couw segera menggantikan dan memegang pimpinan atas barisan pemberontak yang berjumlah tidak kurang dari enam puluh laksa orang. Oey Couw yang gagah perkasa menjalankan taktik gerilya di sepanjang propinsi Hupeh, Kiangsi, Cekiang dan An hwei lalu memutar dan kembali ke Honan, hingga dalam operasinya ini, Oey Couw telah melakukan semacam "long march"
Yang jauhnya sepuluh ribu li lebih.
Akhirnya, berkat semangat para tentara rakyat yang gigih melawan tentara Tang yang hanya pandai menerima suapan dan sogokan serta merampok harta benda dan mengganggu anak bini orang itu dapat dipukul hancur. Kaisar Tang melarikan diri mengungsi ke Secuan dan pasukan petani memasuki ibukota Cang-an, disambut oleh penduduk dengan gembira dan penuh harapan. Untuk beberapa hari semenjak tentara petani berhasil mengalahkan kerajaan Tang, di kampung-kampung dan dusun-dusun orang mengadakan perayaan dengan tari-tarian, hingga keadaannya di mana-mana meriah seperti di waktu orang merayakan hari tahun baru.
Para petani kini bebas mengerjakan sawahnya tanpa kuatir membayar pajak yang tidak semestinya itu. Para buruh juga mendapat harapan baik, tenaga mereka tidak diperas seperti kerbau. Pada suatu pagi, di antara banyak orang yang kesemuanya adalah orang biasa yang mengenakan pakaian petani dan pengemis, tanda dari buruk dan miskinnya keadaan rakyat jelata pada waktu yang lalu, nampak dua orang keluar dari pintu gerbang ibukota Cang-an. Seorang di antara mereka ini telah berusia lima puluh tahun lebih, berjenggot panjang dan terpelihara baik-baik, dan wajahnya nampak merah dan sehat. Orang kedua adalah seorang pemuda yang berusia paling banyak tujuh belas tahun dan berwajah tampan sekali. Keduanya mengenakan pakaian petani dan kepala mereka terlindung oleh caping (topi petani yang lebar dan terbuat dari pada bambu).
Di punggung yang tua terikat sebuah bungkusan bundar besar, sedangkan yang muda memanggul sebuah bungkusan kecil panjang dari sutera kuning. Tak seorangpun memperhatikan kedua orang petani ini, kecuali, orang-orang perempuan yang kebetulan melihat mereka karena tertarik dan kagum akan kegantengan pemuda petani itu. Orang-orang sedikit pun tak menyangka bahwa mereka ini bukanlah sembarangan orang, akan tetapi adalah seorang Pangeran dan anaknya. Orang tua itu adalah Pangeran Liu Mo Kong yang tadinya menjabat pangkat kepala bagian perbendaharaan kaisar. Berbeda dengan pembesar-pembesar lain, Pangeran yang menjadi ahli kesusasteraan dan juga memiliki kepandaian silat tinggi ini, tidak ikut menggila seperti yang lain dan hatinya tetap bersih.
Bahkan diam-diam ia merasa tidak senang melihat keburukan-keburukan yang terjadi di lingkungan istana. Akan tetapi, ia seorang diri tentu saja tidak berani menentang para Thaikam yang sangat berpengaruh itu. Selain memiliki kepandaian sastera yang tinggi, Liu Mo Kong juga memiliki kesabaran dan kekuatan batin yang sungguh-sungguh luar biasa. Hal ini terbukti ketika terjadi peristiwa yang sangat ganjil dan memalukan. Beberapa belas tahun yang lalu, ketika isteri Liu Mo Kong mengunjungi permaisuri, kaisar telah melihatnya dan jatuh cinta kepada isteri Pangeran ini. Ketika itu, isteri Liu Mo Kong telah setahun lebih melahirkan seorang anak dan nyonya Liu ini memang sangat cantik lagi masih muda, belum lebih dari pada dua puluh tahun usianya. Sedangkan Liu Mo Kong ketika itu telah berusia tiga puluh lima tahun.
Nyonya Liu ini adalah puteri seorang hartawan dari selatan dan terkenal sekali karena kecantikannya. Dan pertemuan ini lalu disambung dengan pertemuan lain, karena kaisar memang masih muda dan mata keranjang. Dengan bujukan-bujukan halus maka runtuhlah iman nyonya Liu hingga ia mengadakan perhubungan gelap dengan kaisar lalim itu. Ketika Pangeran Liu Mo Kong mendengar tentang ketidak setiaan isterinya, biarpun di dalam hatinya ia merasa malu, marah, dan kecewa tercampur sedih yang menghancurkan hatinya, namun ia dapat menekan perasaannya itu dan bahkan lalu menceraikannya. Semua pembesar mengetahui hal ini, akan tetapi tak seorangpun yang berani membuka mulut. Tidak saja mereka takut kepada kaisar, akan tetapi juga takut untuk menyinggung perasaan dan kehormatan Liu Mo Kong yang perkasa.
Anak tunggal Liu Mo Kong adalah seorang wanita dan diberi nama Liu Yang Giok. Anak ini semenjak berusia satu tahun lebih telah ditinggalkan ibunya, akan tetapi karena sayangnya kepada anak ini, Liu Mo Kong tidak mau kawin lagi dan tinggal menduda sampai Yang Giok menjadi dewasa. Ia memberi pelajaran kesusasteraan dan ilmu silat yang tinggi kepada puterinya ini. Pada waktu tentara kaum tani menyerbu dan menduduki ibukota, Liu Mo Kong mengajak puterinya pergi meninggalkan istana. Biarpun dia menjadi kepala bagian bendahara raja, namun ia tidak mau membawa barang-barang istana, kecuali sebatang pedang, karena menurut kepercayaan keturunan raja-raja dulu, pedang inilah yang menjadi bukti dan yang mengesahkan kedudukan raja yang memerintah di daratan Tiongkok, di antara pusaka-pusaka keraton lain. Pedang ini adalah pedang Thian Hong Kiam.
Demikian, maka pada hari itu, Liu Mo Kong menyamar sebagai petani dan puterinya yang telah menjadi gadis remaja itulah yang menyamar dan berpakaian sebagai seorang pemuda tani tampan. Yang Giok memanggul bungkusan pakaiannya, sedang pedang Thian Hong Kiam juga berada dalam bungkusan itu. Dan Ayahnya memanggul barang-barang berharga milik mereka sendiri. Karena Ayah dan anak ini tidak mempunyai keluarga lain, maka mereka meninggalkan istana dengan hati lapang. Mereka sengaja tidak mau ikut kaisar melarikan diri ke Secuan, dan ketika kaisar dan sekalian hambanya melarikan diri dengan tergesa-gesa ke Secuan, Liu Mo Kong mengajak anaknya bersembunyi, setelah berhasil mencuri pedang pusaka Thian Hong Kiam.
Kedua Ayah dan anak itu keluar dari pintu gerbang ibukota tanpa mendapat gangguan. Akan mereka tidak tahu bahwa di istana terjadi keributan karena Oey Couw pemimpin pemberontakan itu telah mengetahui bahwa pedang Thian Hong Kiam telah lenyap. Dari para penyelidiknya ia mendengar bahwa Pangeran Liu Mo Kong tidak ikut pergi mengungsi dengan kaisar dan menjadi orang terakhir yang meninggalkan istana itu. Maka ia segera memerintahkan seorang panglimanya membawa barisan mengejar Pangeran Liu Mo Kong itu. Sementara itu, Liu Mo Kong dan Liu Yang Giok telah pergi jauh meninggalkan kota raja. Yang Giok bernapas lega dan berkata,
"Ah, untung tak seorangpun mengenal kita, Ayah."
Akan tetapi, Liu Mo Kong menggeleng-gelengkan kepala,
"Betapapun juga, kita harus berlaku hati-hati. Ingat, anakku, apabila sampai terjadi sesuatu, jangan kau hiraukan aku bawalah pedang itu pergi jauh-jauh dan kau harus pergi ke selatan."
"Takkan terjadi sesuatu kepadamu, Ayah."
"Mudah-mudahan begitu, akan tetapi, kita harus berhati-hati. Kau tentu masih ingat pesanku kemaren?"
Gadis itu mengangguk.
"Aku harus pergi ke kota Siu-bi-koan di propinsi Honan."
"Benar, di sana carilah keluarga Nyo Seng Hwat dan tuturkan semua kepada keluarga Nyo."
Tiba-tiba wajah yang cantik itu memerah. Memang semenjak kecil ia telah dipertunangkan dengan putera Nyo yang bernama Nyo Liong. Akan tetapi ia belum pernah bertemu muka dengan pemuda tunangannya itu. Ketika Ayah dan anak ini berjalan cepat menjahui kota raja, tiba-tiba dari belakang terdengar suara kaki kuda mendatangi arah mereka.
"Hati-hati, Yang Giok, dan ingat pesanku."
Kata Liu Mo Kong kepada anaknya. Yang Giok mengangguk dan dadanya berdebar. Barisan berkuda itu datang menimbulkan debu tebal. Tiba-tiba pemimpinnya berhenti dan memerintahkan anak buahnya berhenti pula. Ia adalah seorang panglima setengah tua yang nampak sangat gagah. Ketika melihat dua orang petani itu berdiri memandang mereka, panglima ini segera menghampiri dan bertanya dengan suara manis budi.
"Maaf Lopeh. Apakah kau pernah melihat seorang Pangeran tua dengan puterinya lewat di sini?"
Sambil berkata demikian, sepasang mata panglima itu dengan tajam menatap wajah mereka. Liu Mo Kong menggeleng-gelengkan kepalanya. Tiba-tiba panglima itu berkata,
"Jangan kau marah, Lopeh, terpaksa aku akan memeriksa buntalan-buntalan kalian itu, karena aku mendapat tugas mencari dua orang yang melarikan diri. Siapa tahu kalau-kalau mereka itu menyamar sebagai petani-petani."
"Kami petani-petani biasa, apa perlunya Ciangkun mengganggu?"
Kata Liu Mo Kong dengan berani.
"Bukankah kita sama-sama petani dan rakyat kecil?"
Kata-kata ini membuat panglima itu tertegun dan ia tidak dapat segera melakukan niatnya karena merasa ragu-ragu. Akan tetapi, ketika Liu Mo Kong berbicara sambil menggerak-gerakkan tangannya, panglima yang berpemandangan tajam itu melihat betapa telapak tangan Liu Mo Kong berkulit putih bersih dan halus, sama sekali bukan tangan seorang petani yang seharusnya kasar dan berkulit tebal. Maka ia segera memberi perintah,
"Tangkap mereka ini!"
Karena tahu bahwa rahasianya terbuka, Liu Mo Kong lalu mencabut pedangnya yang disembunyikan di bawah jubahnya yang panjang, lalu berteriak kepada Yang Giok.
"Pergilah kau, tunggu apa lagi?"
"Ayah..."
Gadis itu ragu-ragu tidak tega meninggalkan Ayahnya. Sementara itu panglima yang memimpin barisan itu dengan girang berkata,
"Bagus kalian tentu Pangeran dengan puterinya itu! Hayo tangkap!"
Ia sendiri lalu mencabut goloknya dan menyerbu. Liu Mo Kong memutar pedangnya dan menghadapi keroyokan yang dilakukan oleh beberapa belas orang tentara yang memiliki kepandaian lumayan juga. Yang Giok hendak membantu, akan tetapi Ayahnya membentak,
"Lekas pergi! Kau hendak membantah??"
Dengan mengucurkan airmata, Yang Giok terpaksa melompat mundur kembali dan melarikan kakinya secepat mungkin.
"He... tahan... jangan lari!"
Panglima itu berteriak dan hendak mengejar, akan tetapi pedang Liu Mo Kong menghalanginya dan karena gerakan pedang Pangeran itu hebat dan cepat, maka terpaksa panglima itu mencurahkan seluruh perhatiannya kepada Pangeran tua ini.
Lima orang perajurit lalu memacu kuda mengejar Yang Giok. Akan tetapi, sambil berlari Yang Giok mengayunkan tangannya dan dua orang pengejarnya roboh karena piauw (senjata rahasia yang disambitkan) gadis yang jitu itu. Tiga orang pengejar lainnya berlaku hati-hati hingga ketika piauw dari Yang Giok menyambar lagi, mereka dapat mengelakkannya dengan membungkuk rendah-rendah di atas punggung kuda mereka. Setelah mereka tiba di dekat Yang Giok, ketiganya lalu meloncat turun dan mengepung dengan senjata masing-masing. Akan tetapi Yang Giok memiliki gerakan yang cepat dan gesit sekali. Ia menyambut seorang pengeroyok dengan sebuah tendangan kilat hingga orang itu kena tendang lututnya dan roboh sambil meringis-ringis dan tak kuasa bangun lagi.
Ketika dua orang yang lain maju menyambar dengan golok mereka, Yang Giok mengelak dengan sebuah lompatan jauh dan sebelum kedua orang itu dapat mengejar, tahu-tahu gadis itu telah meloncat ke atas seekor kuda mereka dan melarikan binatang itu cepat-cepat. Sambil berteriak-teriak kedua orang itu menaiki kuda mereka dan mengejar, akan tetapi Yang Giok yang sengaja memilih kuda terbaik sudah pergi jauh sekali, hingga akhirnya kedua pengejar ini terpaksa kembali ke tempat di mana Liu Mo Kong dikeroyok. Pangeran tua ini memang gagah perkasa dan memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi dia tak mau menjatuhkan tangan kejam kepada para perajurit yang mengeroyoknya. Karena maksudnya hanya hendak menghalangi mereka mengejar Yang Giok. Ketika melihat bahwa para perajurit yang mengejar Yang Giok itu kembali dengan tangan kosong, Liu Mo Kong lalu berkata kepada panglima tadi.
"Sudahlah, aku menyerahkan diri! Kini tangkaplah!"
Ia lalu melempar senjatanya dan iapun segera diikat kedua tangannya. Orang tua ini dengan bungkusannya yang besar lalu dibawa kembali ke kota raja dan dihadapkan kepada Oey Couw. Oey Couw adalah seorang perwira yang tahu juga bahwa Pangeran tua ini berbeda dari pada kebanyakan pembesar yang korup, maka ia lalu membuka sendiri belenggu yang mengikat tangan Liu Mo Kong.
"Maafkan kalau kawan-kawanku berlaku kasar kepadamu, Pangeran Liu,"
Katanya. Liu Mo Kong memandang kepada pemimpin besar ini dengan kagum. Akan tetapi ia tidak berkata apa-apa, kecuali.
"Oey sicu, aku merasa kagum akan pergerakanmu yang berhasil ini. Harus ku akui bahwa pemerintah Tang kurang bijaksana dan tidak pandai memerintah rakyat, oleh karena itu, tak heran bahwa ia kehilangan kedudukannya. Akan tetapi, betapapun juga aku adalah seorang anggauta kerajaan Tang dan sekarang aku telah tertangkap, kini terserah kepadamu!"
Oey Couw tersenyum.
"Kami tidak bermaksud buruk terhadapmu, karena kamipun bukanlah orang-orang buta yang tak dapat membedakan mana lawan mana kawan. Kami hanya mohon supaya kau suka mengembalikan pedang pusaka Thian Hong Kiam, karena pedang itu harus disimpan di dalam istana ini."
Liu Mo Kong menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku tidak tahu apa-apa tentang pedang itu."
Oey Couw maklum bahwa Pangeran tua ini masih bersikap kukuh dan percaya akan tradisi lama, maka ia tidak mendesak lebih jauh.
"Biarlah, kalau kau menghendaki pedang itu, kami tidak membutuhkannya. Bukan segala macam pusaka yang mendatangkan kebaikan kepada sesuatu pemerintah, akan tetapi kebijaksanaan para pelaksananya. Sekarang kami harap tuan suka tetap tinggal di sini dan menjadi penasehat kami karena betapapun juga, kau lebih tahu akan segala peraturan pemerintah."
"Terima kasih, sicu. Kau memang benar pahlawan dan berpemandangan luas. Akan tetapi, biarpun pemerintah yang lalu buruk dan tidak mampu, aku tetap adalah seorang hamba yang setia hingga tak pantas bagiku untuk membantu kalian yang betapa pun juga adalah pemberontak!"
Oey Couw tidak menjadi marah, akan tetapi sikapnya berubah dingin.
"Kalau begitu, kau yang menentukan nasibmu sendiri Pangeran!"
Pemimpin ini lalu memerintahkan amak buahnya untuk memasukkan Pangeran Liu dalam penjara, dengan pesan supaya mereka melayani Pangeran tua ini baik-baik dan jangan mengganggunya. Demikianlah, mulai hari itu, Pangeran Liu menjadi seorang tahanan yang istimewa hingga diam-diam Pangeran ini kagum sekali akan kebijaksanaan Oey Couw.
Ia kini hanya melakukan samadhi di dalam penjaranya dan menuliskan sebuah buku catatan yang kelak akan menjadi semacam catatan sejarah yang penting artinya bagi ahli-ahli sejarah. Dengan hati bingung dan sedih karena teringat akan nasib Ayahnya, Yang Giok melarikan kudanya dengan secepat mungkin. Setelah melihat bahwa tidak ada musuh yang mengejarnya, ia merasa lega dan melanjutkan perjalanannya menuju ke Propinsi Honan. Biarpun sebagian besar barang-barang berharga berada di dalam bungkusan yang dibawa oleh Ayahnya, akan tetapi di dalam bungkusan pakaiannya ia membawa perhiasan-perhiasannya sendiri yang terbuat dari pada emas dan batu permata, hingga untuk biaya perjalanan dan makan selanjutnya ia tak perlu kuatir lagi.
Tiga hari kemudian ia tiba di kota Lun-tien dan bermalam di dalam sebuah rumah penginapan yang besar. Ia tetap mengenakan pakaian sebagai seorang pemuda, akan tetapi karena ia membawa barang-barang berharga, agaknya akan menimbulkan kecurigaan apabila ia mengenakan pakaian yang sederhana. Oleh karena itu, ia kini menyamar sebagai seorang siucai (sasterawan). Ia tetap mnggunakan nama Yang Giok, karena nama inipun dapat digunakan oleh seorang pria. Hanya shenya saja ia ganti, bukan she Liu lagi, akan tetapi she Kwee. Kota Lun-tien cukup ramai dan indah, hingga sore hari itu Yang Giok merasa perlu keluar dari kamarnya untuk melihat-lihat kota.
Ia meninggalkan bungkusannya, akan tetapi ia cukup berhati-hati untuk meninggalkan pedang Thian Hong Kiam yang dibawanya. Ia sembunyikan pedang itu di pinggang, tertutup oleh baju sasterawan yang lebar dan membawanya ke mana saja ia pergi. Ketika ia kembali dari berjalan-jalan dan memasuki kamarnya, ia terkejut sekali karena melihat bahwa kamarnya telah dimasuki orang yang telah membongkar bungkusannya dan membalik-balikkan kasur pembaringannya seakan-akan pencuri itu mencari-cari sesuatu. Yang Giok merasa kuatir. Kemudian ia mengadakan pemeriksaan. Ternyata semua barang berharga berupa perhiasan yang berada di dalam buntalan pakaiannya itu masih lengkap dan tidak sebuahpun lenyap. Ia merasa lega, akan tetapi seketika ia merasa makin kuatir.
Kalau saja perhiasannya lenyap, maka terang bahwa yang datang itu tentu seorang pencuri biasa dan ia tak perlu ambil pusing pula. Akan tetapi, karena barang-barangnya masih lengkap, maka terang yang datang itu bukanlah pencuri biasa, tentu mereka itu mencari-cari sesuatu, yakni pedangnya. Hati Yang Giok berdebar. Apalagi ketika ia memeriksa ternyata baik pintu maupun jendela kamarnya tidak ada tanda bekas dibongkar. Ia dapat menduga bahwa yang telah memasuki kamarnya tadi tentulah seorang yang memiliki kepandaian silat yang tinggi dan memasuki kamar itu dari atas genteng. Malam itu Yang Giok tidak berani tidur dan ia menyembunyikan pedang Thian Hong Kiam di bawah bantal kepalanya, sedangkan pedangnya sendiri yang juga adalah sebuah pedang pusaka bernama Pek-Lian-Kiam, siap sedia di atas pembaringannya.
Setelah menjelang tengah malam dan matanya mulai mengantuk, tiba-tiba ia mendengar suara perlahan di atas genteng. Yang Giok cepat memegang pedangnya dan duduk di atas pembaringan. Ia mencurahkan perhatian dan pendengarannya ke arah suara itu. Akan tetapi suara itu hilang lagi, dan ia menduga bahwa itu tentu suara kucing atau tikus, karena kalau suara orang berjalan di atas genteng, tidak mungkin demikian perlahan suaranya. Karena hatinya masih berdebar, Yang Giok lalu bersila dan mengatur pernapasan untuk menenteramkan hatinya dan untuk mencegah kantuknya. Tiba-tiba terdengar genteng dibuka orang dan tahu-tahu dari atas melayang turun bayangan orang ke dalam kamarnya. Bukan main hebatnya gerakan orang itu dan diam-diam Yang Giok merasa khawatir sekali.
Orang ini memiliki kepandaian yang demikian luar biasa hingga tidak saja tindakan kakinya tidak terdengar, bahkan gerakannya ketika melompat masuk ke kamarnya tidak beda seperti melayangnya seekor burung. Yang hebat sekali ialah ketika orang itu melompat turun, di tangan kirinya memegang sebuah obor hingga kamar itu menjadi terang sekali. Yang Giok melihat wajah seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh kate, akan tetapi gadis ini tidak sempat memperhatikan lebih jauh, karena ia segera menggerakkan pedang Pek-Lian-Kiam untuk menyerang. Orang kate itu mengelak dan sebagai serangan balasan ia majukan obornya ke arah muka Yang Giok yang cepat sekali melompat mundur. Saat itu digunakan oleh lawannya untuk menubruk maju dan sekali tangan kanannya bergerak ke arah pembaringan, maka pedang pusaka Thian Hong Kiam telah berada di tangannya.
"Aku hanya perlu dengan pedang ini!"
Orang itu berkata sambil tertawa dan suaranya parau dan besar.
"Kembalikan pedangku!"
Yang Giok membentak marah dan ia mengirim serangan kilat dengan pedangnya ke arah punggung orang yang hendak melarikan diri itu. Serangan Yang Giok ini dilakukan dengan penuh kemarahan dan ia menggunakan gerak tipu Chong-Eng Kim-Touw atau Garuda Menyambar Kelinci, maka serangan ini benar-benar hebat dan berbahaya. Akan tetapi, orang itu lebih cepat lagi. Sekali tiup saja ia telah memadamkan obor di tangan kirinya dan keadaannya menjadi gelap gulita. Bersamaan dengan itu, ia menghindarkan diri dari tusukan Yang Giok dengan sebuah loncatan indah dan cepat ke arah jendela kamar Yang Giok yang masih tertutup. Dengan menendang kaki, orang itu berhasil menendang pecah daun jendela dan langsung melompat keluar sambil tertawa. Terdengar kata-katanya mengejek,
"Anak muda, kau seorang yang lemah tidak pantas memegang pedang pusaka ini!"
Yang Giok merasa sangat gemas dan marah sekali, hingga tiba-tiba timbul keberaniannya ketika mendengar orang itu menyebutnya anak muda dan siucai, tanda bahwa pencuri itu belum tahu bahwa ia adalah seorang wanita dan puteri Pangeran Liu Mo Kong.
"Bangsat pencuri hina dina jangan lari!"
Dengan gerak loncat Rajawali Menyambar Ikan, ia melompat keluar dari jendela itu pula sambil memutar-mutar pedangnya.
Ketika ia tiba di luar, ia masih sempat melihat pencuri pedang itu melompat ke arah genteng, maka segera ia melompat pula menyusul. Yang Giok telah mempelajari ilmu silat semenjak kecil di bawah pimpinan Ayahnya yang hebat, hingga dara ini memiliki ginkang yang tidak rendah. Melihat kegesitan Yang Giok yang mengejarnya, pencuri itu tiada bernafsu untuk melayani. Maka ia lalu mempercepat larinya dan sekali lompat saja ia telah berada di wuwungan rumah lain. Yang Giok terkejut sekali melihat lompatan indah dan hebat ini, maka iapun lari mengejar dengan cepat. Ia maklum bahwa kepandaian orang itu lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri, akan tetapi ia tidak akan melepaskan orang yang mencuri Thian Hong Kiam itu begitu saja.
Tiba-tiba ia melihat sesosok bayangan orang lain datang dari jurusan lain dan langsung menyerang pencuri itu. Yang Giok cepat mengejar dan di bawah sinar bulan purnama ia dapat melihat bahwa yang datang menyerang pencuri itu adalah seorang perwira dari kaisar yang bernama Khu Lok. Khu lok ini adalah seorang di antara banyak perwira yang berkepandaian tinggi dan yang menjadi perwira istana sebelum kerajaan Tang jatuh ke dalam tangan pemberontak. Telah beberapa kali Khu Lok datang ke rumah Ayahnya, maka Yang Giok mengenal pula orang itu. Akan tetapi karena ia melihat bahwa Khu Lok mengenakan pakaian biasa, dan juga karena ia ingat bahwa iapun sedang menyamar sebagai seorang pemuda, maka ia tidak mau menegurnya, hanya diam-diam lalu maju mengeroyok pencuri itu. Tapi rupanya Khu lok kenal kepadanya dan sambil tersenyum ia berkata,
"Ha, ha, ha pencuri kecil kecurian. Hayo kita bereskan pencuri besar ini dulu, baru aku dapat memberi ampun kepadamu!"
Yang Giok maklum bahwa Khu Lok telah mengenalnya dan ia menjadi marah karena dimaki sebagai pencuri kecil. Memang, Ayahnya telah mencuri pedang kerajaan itu karena menurut anggapan Ayahnya, pedang itu tidak pantas berada di tangan kaisar yang lalim dan hendak disimpan untuk kelak dipersembahkan kepada kaisar yang lebih baik dan yang berhak. Akan tetapi, karena keadaan pedang itu sedang dalam bahaya tercuri oleh orang lain, ia tidak berkata sesuatu hanya memperhebat gerakan pedangnya mengepung pencuri itu.
"Ha, ha! Apa kau kira aku tidak tahu bahwa kau adalah utusan dari kaisar yang telah jatuh dan melarikan diri itu? Jangan harap kau dapat mengambil pedang ini!"
Pencuri Kate itu mengejek dan melayani keroyokan itu dengan hebat pula. Ternyata kepandaian si Kate ini benar-benar tinggi karena dengan sabetan ujung baju ia telah dapat menggetarkan tangan Yang Giok yang memegang pedang. Akan tetapi, Khu Lok yang terkenal sebagai ahli lweekeh dan ia telah banyak punya pengalaman bertempur, maka pedangnya lalu membuat gerakan mengurung hingga pencuri yang bertangan kosong itu terdesak juga. Pada suatu kesempatan yang baik, pedang Khu Lok telah berhasil membabat ujung lengan baju pencuri itu hingga terpotong dan ketika pencuri itu karena kagetnya berlaku lambat, Khu Lok mengulur tangan kirinya dan berhasil merampas pedang itu.
"Anjing kaisar rasakan pembalasanku!"
Teriak pencuri itu dan ia lalu melepaskan jubah luarnya dan menggunakan sebagai sebuah senjata. Biarpun hanya baju dari kain biasa, akan tetapi dalam tangannya, baju itu berubah menjadi senjata yang ampuh, dan hal ini menyatakan betapa tingginya tenaga lweekang dari pencuri itu. Segera ia bertempur dengan dengan hebat sekali melawan Khu Lok dan Yang Giok akan tetapi Yang Giok yang tadinya membantu Khu Lok, sekarang tiba-tiba saja ia menujukan pedangnya untuk berbalik menyerang perwira itu.
"Eh, eh, anak kecil! Apakah kau mau berkhianat?"
Khu Lok membentak kaget, akan tetapi Yang Giok hanya menjawab.
"Kembalikan pedangku!"
Lalu menyerang lebih keras. Kini Khu Lok yang dikeroyok hingga perwira itu terdesak hebat. Khu Lok merasa gemas sekali akan tetapi ia mendapat sebuah pikiran. Kalau pedang itu terjatuh ke dalam tangan pencuri yang berilmu tinggi ini, sukarlah untuk merampasnya atau mencarinya kembali. Sebaliknya, ilmu kepandaian Yang Giok tak berapa aneh, maka lebih baik pedang itu biar untuk sementara waktu berada di dalam tangan gadis itu agar mudah baginya untuk merampasnya kembali kelak. Karena pikiran inilah, maka Khu Lok tiba-tiba berkata.
"Nah, kalau kau tetap menghendaki pedang ini, ambillah!"
Ia lalu melemparkan pedang Thian Hong Kiam kepada Yang Giok yang menyambutnya dengan heran dan girang. Ia lalu memegangi erat-erat dan melompat pergi ke arah kamarnya. Si Pencuri hendak mengejar, akan tetapi pedang Khu Lok menghalanginya hingga terpaksa pencuri itu melayani perwira ini sambil memaki-maki. Sementara itu, Yang Giok segera mengumpulkan buntalan dan barang-barangnya, lalu malam itu juga ia pacu kudanya secepat-cepatnya. Sampai keesokan harinya setelah matahari timbul, ia tidak menghentikan kudanya dan berlari terus.
Sambil melarikan kudanya, dara ini merasa heran sekali. Ia tidak mengerti bagaimana pencuri itu tahu bahwa ia membawa Thian Hong Kiam dan tidak tahu pula bagaimana Khu Lok tiba-tiba bisa di situ pula. Sebenarnya pencuri itu adalah seorang anggauta dari sebuah perserikatan pencuri dan pencopet yang bernama Jian-jiu-pai atau Perkumpulan Tangan Seribu. Perkumpulan ini telah terkenal sekali dan mempunyai cabang-cabang yang meluas sampai di mana-mana dan hampir di tiap kota dalam propinsi Honan terdapat cabangnya. Oleh karena perkumpulan ini mempunyai banyak sekali mata-mata yang tajam sekali pandangan dan pendengarannya, maka tidak heran bahwa mereka mengetahui adanya seorang pemuda sasterawan membawa-bawa sebatang pedang kerajaan yang sangat berharga.
Maka seorang yang dianggap cukup tinggi kepandaiannya, yakni si Kate yang bernama Tan Kok dan berjuluk Malaikat Kate, mendapat tugas untuk mencuri pedang itu. Juga di pihak kaisar yang telah mengungsi ke Secuan, tidak tinggal diam karena hilangnya pedang pusaka Thian Hong Kiam, maka kaisar mengutus beberapa orang perwira yang pandai untuk mencari dan merampas kembali Thian Hong Kiam. Para perwira ini telah mendengar akan tertawannya Liu Mo Kong dan kaburnya Yang Giok, maka mereka dapat menduga bahwa pedang itu tentu dibawa oleh gadis puteri Pangeran itu. Akhirnya mata Khu Lok yang tajam dapat melihat Yang Giok di kota Lun-tien. Diam-diam ketika Yang Giok berjalan-jalan, ia lalu memasuki kamar gadis itu dan menggeledah, akan tetapi ia tidak mendapatkan pedang itu.
Dengan sabar ia menanti dan ketika pada malam hari itu ia hendak menyerbu ke kamar Yang Giok, ternyata ia telah didahului oleh si Kate Tan Kok hingga mereka lalu bertempur. Setelah melihat betapa pedang itu terjatuh ke dalam tangan Yang Giok kembali Tan Kok juga berpikir bahwa mudah baginya untuk mencuri pedang itu kembali dari tangan Yang Giok dari pada dari tangan perwira yang tangguh ini, maka iapun lalu melompat pergi karena ia anggap tidak ada perlunya bertempur lebih lama dengan perwira itu karena barang yang diperebutkan telah dibawa pergi orang lain. Demikianlah pedang Thian Hong Kiam masih dapat berada dalam tangan Yang Giok, dalam hal ini adalah karena kebetulan saja.
Kalau saja Tan Kok dan Khu Lok tidak datang pada waktu yang sama, tentu Yang Giok takkan mampu mempertahankan pedang itu, karena baik Tan Kok maupun Khu Lok, keduanya memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari padanya. Tanpa berhenti, kecuali kalau kudanya sudah lelah sekali atau kalau rasa lapar di perutnya sudah tak dapat ditahan lagi, Yang Giok memacu kudanya menuju kota Siu-bi-koan untuk mencari keluarga Nyo Seng Hwat. Nyo Seng Hwat adalah seorang hartawan besar di kota Siu-bi-koan. Dahulu Nyo-wangwe (hartawan Nyo) ini pernah tinggal di ibukota, maka ia mempunyai banyak kenalan para pembesar di situ, dan di antaranya, yang paling akrab adalah Pangeran Liu Mo Kong. Kedua orang ini saling mengenal dengan baik dan pergaulan mereka demikian akrab hingga akhirnya mereka lalu mempertunangkan anak tunggal mereka yang ketika itu masih kecil.
Liu Mo Kong hanya mempunyai seorang anak perempuan, yakni Liu Yang Giok, sedangkan Nyo Wan-gwe pun hanya mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Nyo Liong. Nyo Liong lebih tua setahun dari Yang Giok dan pemuda ini berbadan tegap dan gagah serta bermuka tampan. Semenjak kecil, Nyo Liong telah mempelajari ilmu kesusasteraan hingga dalam usia lima belas tahun sebelum kerajaan Tang roboh, ia telah berhasil menempuh ujian yang diadakan di kota raja dan telah lulus dengan hasil baik sekali. Akan tetapi Nyo Liong tidak suka memegang jabatan, bahkan setelah lulus dari ujian itu ia tidak pulang ke rumah orang tuanya dan hanya memerintahkan pelayan tua yang mengantarnya untuk pulang terlebih dahulu ke Siu-bi-koan sedangkan ia sendiri pergi merantau.
Lebih dari tiga tahun Nyo Liong pergi merantau hingga kedua orang tuanya merasa sangat kuatir dan bersedih karena anak itu tidak mengirim berita apa-apa. Tiba-tiba saja, pada suatu pagi, Nyo Liong datang dan tubuh anak muda ini bertambah tegap dan mukanya kini nampak selalu berseri, akan tetapi sikapnya lemah lembut seperti dulu. Tentu saja kedua orang tuanya merasa girang sekali dan kedatangan pemuda ini disambut dengan sebuah pesta yang meriah. Nyo Liong memiliki pengertian sastera yang luas dan pemuda ini paling suka membaca buku-buku sejarah para kesatria di zaman dahulu. Semenjak kecil ia suka sekali membaca buku-buku kuno seperti Sam Kok, See Yu, Hong Sin, dan buku-buku lain lagi.
Oleh karena Nyo Wan-gwe sangat sayang kepada puteranya dan suka melihat puteranya membaca buku-buku untuk menambah pengetahuannya, maka orang tua ini telah membeli banyak sekali buku-buku kuno hingga semenjak kecil Nyo Liong sudah biasa membaca kitab-kitab sejarah dan filsafat kuno yang jarang dimiliki atau dibaca orang. Di dalam kamar anak muda ini terdapat berpeti-peti buku-buku kuno yang tak ternilai harganya. Di antara kitab-kitab kuno yang sudah lapuk dan kuning itu, terdapat sebuah kitab kuno yang dibeli oleh Nyo Wan-gwe dengan perantaraan seorang pelayan dari dalam sebuah kuil. Oleh karena Hwesio pengurus kuil itu tidak dapat membaca kitab yang memuat tulisan-tulisan kuno yang sukar dipahami itu, maka buku itu dapat dibeli dengan harga murah. Nyo Wan-gwe sendiri biarpun telah banyak mempelajari sastera, akan tetapi ia tidak dapat mengerti isi kitab itu.
Bahkan baru membaca beberapa kalimat saja, kepalanya sudah menjadi pusing dan ia lalu memberikan buku itu kepada Nyo Liong. Buku itu pada sampulnya ditulis dengan tulisan yang bergaya seperti naga-naga menari dan berbunyi "Pat Kwa Im Yang Coan Si"
Dan isi buku menerangkan tentang rahasia-rahasia Pat-kwa dan tenaga-tenaga Im dan Yang (negatif dan positif) yang menguasai alam raya. Oleh karena ini, baru membaca sedikit saja, Nyo Seng Hwat sudah merasa pusing. Tidak demikian dengan Nyo Liong. Pemuda ini, biarpun ketika itu baru berusia paling banyak tiga belas tahun, ketika membaca kitab ini, nampaknya menjadi tertarik sekali. Memang mula-mula sangat sukar baginya untuk mengerti arti tulisan kuno itu, akan tetapi berkat ketekunan dan kerajinannya, sedikit demi sedikit, dapat juga ia menangkap artinya.
Dan semenjak ia membaca kitab itu, kedua orang tuanya merasa adanya perubahan yang luar biasa pada anak mereka. Karena Nyo Liong lalu menjadi pendiam sekali, akan tetapi otaknya menjadi luar biasa terangnya karena segala macam pelajaran dengan sekali menghafal saja telah melekat di dalam ingatannya. Adapun buku kuno itu telah dilupakan oleh Nyo Seng Hwat, karena ia tidak melihatnya lagi. Ia tidak tahu bahwa Nyo Liong telah menyembunyikan buku itu dan sama sekali. Ia tak pernah menyangka bahwa tiap malam, setelah semua orang tidur pulas, anak itu mengeluarkan kitab kuno yang lapuk itu dan membacanya sampai lewat tengah malam. Ia sama sekali tak pernah menyangka bahwa kitab "Pat Kwa Im Yang Coan Si"
Sebetulnya adalah sebuah kitab pelajaran yang sangat hebat.
Kitab ini adalah peninggalan seorang sakti di zaman dahulu yang menuliskan semua kepandaiannya di dalam kitab ini. Di situ terdapat pelajaran-pelajaran ilmu silat yang tinggi sekali juga terdapat cara-cara berlatih lweekang serta siulan (samadhi) yang dapat mengumpulkan tenaga batin dan dapat membersihkan darah dan menyehatkan otak. Inilah yang menyebabkan mengapa Nyo Liong yang masih kecil itu tiba-tiba menjadi pendiam. Ketika ia membaca kitab itu, karena di antara pelajaran di dalam kitab itu, berkali-kali disebutkan bahwa siapa yang ingin memelihara kekuatan batin, ia harus banyak berdiam dan jangan sembarangan mengeluarkan kata-kata. Dan juga, sebetulnya Nyo Liong menjadi pendiam bukan hanya karena taat kepada pesan dalam kitab ini, akan tetapi juga ia merasa kecewa dan bingung sekali.
Ingin benar ia mengerti isi kitab ini, akan tetapi terlampau sukar baginya hingga banyak bagian yang tidak dimengertinya. Maklumlah, semenjak kecil ia tak pernah diberi pelajaran silat, maka tentu saja kini menghadapi sebuah pelajaran persilatan yang sangat tinggi dan sukar tanpa ada yang memimpinnya. Ia merasa bingung dan tidak mengerti. Ia tidak berani memberitahukan hal ini kepada Ayahnya, karena selain Ayahnya tidak pandai ilmu silat, juga ia kuatir kalau-kalau Ayahnya akan merampas kitab itu dan melarang membacanya. Oleh karena ini, ia tinggal diam, bahkan untuk membaca kitab itu ia selalu melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Bertahun-tahun Nyo Liong membaca dan mempelajari isi kitab itu, dan pada waktu malam ia mencoba untuk mempraktekkan pelajaran itu.
Ia mulai melatih napas dan bersamadhi menurut petunjuk di dalam kitab dan heran sekali, baru beberapa bulan saja ia belajar, ia rasakan tubuhnya menjadi segar, dan ingatannya kuat sekali. Oleh karena itu, ia makin tekun mempelajari kitab "Pat Kwa Im Yang Coan Si". Ketika ia pergi ke kota raja untuk menempuh ujian, kitab itu diam-diam dibawanya pula. Setelah ia berhasil dalam menempuh ujiannya, tiba-tiba timbul sebuah pikiran dalam hatinya. Untuk dapat mempelajari kitab itu dengan sempurna, ia harus mencari seorang guru yang pandai. Maka, ia lalu menyuruh pelayannya pulang dan ia sendiri lalu merantau ke barat, karena ia tahu dari buku-bukunya bahwa di daerah barat banyak terdapat orang pandai. Jodoh dan nasib baik membawa ia ke propinsi Cing-hai dan membawanya ke sebuah pegunungan, yakni pegunungan Ceng-liong-san.
Dan di lereng bukit Ceng-liong-san, dalam sebuah kuil tua, ia bertemu dengan seorang pertapa tua yang tidak lain adalah Li Lo Kun, seorang pendekar tua, yang kenamaan dan yang telah mengasingkan diri di bukit itu. Melihat sikap pemuda yang baik dan yang berbakat untuk memiliki ilmu kepandaian tinggi itu, Li Lo Kun tertarik sekali. Alangkah terkejutnya ketika pada malam hari, dari kamar pemuda itu ia mendengar pernapasan yang teratur dan ditarik secara luar biasa hingga menerbitkan angin bersiutan. Ia cepat mengintai dari atas genteng dan aneh sekali, tiba-tiba Nyo Liong yang pendengarannya telah maju hebat di luar tahunya sendiri karena melatih diri menurut petunjuk kitabnya, dapat mendengar tindakan kakinya dan pemuda yang sedang berlatih napas itu berkata.
"Tuan yang berada di atas genteng, jika mempunyai keperluan, silakan turun saja!"
Li Lo Kun merasa kagum dan terkejut sekali. Ia telah merantau puluhan tahun lamanya dan kepandaian ginkangnya telah terkenal hingga jarang ada orang yang demikian tajam pendengarannya hingga bisa mendengar tindakan kakinya di atas genteng. Akan tetapi, pemuda yang nampaknya seperti bodoh dan hijau ini, telah dapat mengetahui dan mendengarnya. Maka buru-buru Li Lo Kun melompat turun dan dengan heran ia bertanya,
"Anak muda yang luar biasa. Kau belajar dari siapa maka pendengaranmu sehebat ini?"
Karena tahu bahwa yang berdiri dihadapannya adalah seorang berilmu, Nyo Liong lalu menjatuhkan diri berlutut .
"Suhu, teecu yang bodoh mana ada harga untuk dipuji. Mohon suhu sudi memberi petunjuk dan jika suhu tidak keberatan, mohon suka menerima teecu sebagai murid."
Li Lo Kun makin merasa heran. Pemuda ini telah memiliki kepandaian tinggi, mengapa masih hendak berguru kepadanya? Nyo Liong lalu menuturkan dengan terus terang bahwa ia melatih diri menurut petunjuk dari sebuah kitab kuno. Li Lo Kun terbelalak heran dan minta melihat kitab itu, akan tetapi karena ia hanya sedikit mempelajari ilmu surat, tentu saja tak dapat mengerti sama sekali, dan orang tua ini hanya menggeleng-gelengkan kepala lalu berkata,
"Kongcu, kau benar-benar telah berjodoh untuk menjadi murid orang sakti yang menulis buku ini. Kalau untuk menjadi suhumu, aku tidak berani karena ilmu yang terdapat di dalam kitab ini jauh lebih tinggi dari pada ilmu kepandaianku. Akan tetapi, kalau kau ingin supaya aku membantumu dalam mempelajari kitab ini, yakni pada bagian-bagian pergerakan kaki tangan, tentu saja aku akan suka sekali membantu."
Nyo Liong merasa girang sekali dan ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan mengangguk-anggukan kepala berkali-kali sambil menyebut "Suhu!"
Demikianlah, semenjak hari itu, tiga tahun lamanya Nyo Liong berdiam di kuil itu dan mempelajari isi kitab di bawah pimpinan Li Lo Kun yang menerangkan bagian-bagian ilmu silatnya.
Dan benar-benar ilmu silat yang terkandung oleh kitab itu luar biasa sekali. Di dalam kitab itu terdapat dua macam ilmu silat tangan kosong dan ilmu silat pedang. Li Lo Kun merasa kagum sekali karena benar-benar ilmu silat yang terdapat dalam kitab itu luar biasa gerakan-gerakannya. Dan dengan membantu Nyo Liong belajar saja, orang tua ini telah mendapat kemajuan hebat dalam kepandaiannya karena terbukalah banyak rahasia-rahasia ilmu silat yang rumit-rumit. Apalagi Nyo Liong yang dapat belajar sambil membaca, tentu saja kemajuan dan kepandaian yang didapat oleh anak muda ini mengagumkan sekali. Setelah mempelajari kitab itu untuk tiga tahun lamanya, Li Lo Kun dengan kagum dan girang sekali berkata,
"Nyo Liong, kitab ini sungguh-sungguh telah ditulis oleh seorang dewa yang sakti. Kalau kau melatih dirimu baik-baik dalam waktu setahun atau dua tahun lagi saja, ilmu silatmu takkan ada keduanya di dunia ini."
Nyo Liong sambil berlutut berkata,
"Ini semua berkat bantuan suhu yang berbudi."
Li Lo Kun merasa girang sekali. Walaupun pengetahuan pemuda ini dalam ilmu silat telah tinggi sekali, bahkan lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri, namun pemuda ini ternyata dapat membawa diri dan bersikap sopan dan merendah, hingga sukar sekali dapat ditemukan seorang pemuda sebaik ini. Oleh karena itu, maka dengan sepenuh hatinya Li Lo Kun lalu menurunkan kepandaiannya sendiri kepada muridnya ini, dan karena Nyo Liong telah mempunyai dasar-dasar yang tebal karena pelajarannya dari kitab itu, maka dalam waktu beberapa bulan saja, ilmu kepandaian Li Lo Kun yang terhebat telah dapat ia warisi.
Demikianlah, kurang lebih tiga setengah tahun semenjak ia pergi merantau, Nyo Liong lalu kembali ke tempat tinggal orang tuanya dan disambut dengan girang dan meriah oleh Nyo Wan-gwe. Semenjak kembali ke rumah orang tuanya, biarpun Nyo Liong selalu bersikap biasa dan setiap hari membantu pekerjaan dagang Ayahnya sambil membaca-baca buku-buku yang selalu menjadi kesukaannya, akan tetapi diam-diam pada waktu malam anak muda ini merobah dirinya menjadi seorang pendekar rahasia yang pergi melakukan tugasnya membela orang-orang tertindas dan membasmi para penjahat.
Semenjak ia kembali dalam beberapa bulan saja bersihlah kota Siu-bi-koan dari pada para penjahat dan perampok. Dan ketika terjadi pemberontakan terhadap terhadap pemerintah dinasti Tang, Nyo Liong juga tidak tinggal diam dan membantu dengan sepenuh tenaga. Bahkan ia berhasil membongkar sebuah goa kuno dan menggali harta terpendam, memperebutkannya dengan kawanan kang-ouw yang menginginkan harta tersebut, lalu berhasil membawa harta itu kepada Oey Couw, pemimpin besar pemberontak itu. Dalam semua sepak terjangnya Nyo Liong selalu mengenakan sebuah topeng hitam hingga ia mendapat julukan Sasterawan Topeng Hitam.
Semua pekerjaan yang dilakukannya dan yang telah menggemparkan dunia kang-ouw ini, dilakukan tanpa diketahui oleh kedua orang tuanya dan Nyo Wan-gwe suami isteri hanya menganggap bahwa puteranya kini seringkali pergi berpesiar untuk beberapa hari lamanya. Ketika tiba di kota Siu-bi-koan, dengan mudah sekali Yang Giok dapat mencari gedung keluarga Nyo atau calon mertuanya itu, karena siapakah yang tak mengenal Nyo Wan-gwe? Biarpun hatinya tabah dan biasa menghadapi orang-orang besar, namun ketika memasuki halaman muka dari gedung Nyo Wan-gwe , mau tidak mau Yang Giok merasa gugup sekali. Dengan tangan kirinya ia tuntun kudanya dan tangan kanannya tiada hentinya membereskan pakaian dan rambutnya, lupa bahwa sebenarnya ia masih menyamar sebagai seorang pemuda.
Berkat sinar matahari yang tiap hari menimpa dan membakar kulit muka dan tangannya, maka kulitnya agak hitam kemerah-merahan hingga tak seorangpun akan dapat menyangka ia seorang wanita. Ia telah mengambil keputusan untuk tidak mengaku bahwa ia adalah puteri Liu Mo Kong, karena ia hendak menyelidiki lebih dulu keadaan tunangannya, dan juga selama pedang Thian Hong Kiam berada di tangannya dan belum diterimakan kepada orang yang berhak menerimanya, ia takkan merubah diri menjadi seorang gadis. Seorang pelayan menyambutnya dengan hormat, dan pelayan lain lalu menyambut kudanya untuk dibawa ke kandang kuda. Mereka berlaku hormat kepada Yang Giok, dan pelayan tua sambil menjura bertanya,
"Kongcu dari mana dan hendak bertemu dengan siapa?"
"Tolong beritahukan kepada Nyo Wan-gwe bahwa aku seorang she Kwee dari ibukota datang membawa berita penting."
Mendengar bahwa pemuda itu datang dari kota raja, pelayan itu lalu bergegas memberi laporan ke dalam setelah mempersilahkan Yang Giok menanti di ruang tamu. Tak lama kemudian, Yang Giok melihat seorang laki-laki setengah tua yang berwajah peramah keluar menyambut. Di belakang laki-laki ini terdapat seorang pemuda berpakaian sasterawan. Mereka berdua lalu memandangnya dengan mata heran karena mereka tidak mengenal kepadanya. Yang Giok buru-buru menjura memberi hormat dan berkata,
"Mohon dimaafkan jika saya mengganggu. Sesungguhnya saya membawa berita penting dari Pangeran Liu Mo Kong."
Pedang Pusaka Thian Hong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar ini, Nyo Wan-gwe lalu cepat-cepat berkata,
"Ah, kau datang membawa berita dari Pangeran Liu? Silakan masuk saja, anak muda!"
Yang Giok lalu diantar masuk ke dalam dan dibawa ke ruang belakang, karena Nyo Wan-gwe maklum bahwa pemuda ini tentu membawa berita penting sekali. Setelah mereka duduk mengitari sebuah meja yang terukir indah, Nyo Seng Hwat lalu bertanya,
"Kau siapa, hiante? Dan pernah apakah dengan Pangeran Liu?"
"Saya bernama Kwee Yang Giok dan Pangeran Liu adalah pamanku, karena Liu Hujin (nyonya Liu) adalah bibiku."
Nyo Seng Hwat lalu memperkenalkan dirinya dan sambil menunjuk kepada pemuda yang bersamanya itu, ia berkata,
"Dan ini adalah puteraku bernama Nyo Liong."
Yang Giok merasa betapa mukanya menjadi panas dan untuk menyembunyikan warna merah yang menjalar pada mukanya, ia gunakan ujung lengan baju untuk pura-pura menyeka peluhnya.
Ia diam-diam memperhatikan pemuda itu. Tak disangkal bahwa Nyo Liong adalah seorang pemuda yang berwajah tampan, sedangkan tubuhnya tinggi tegap, akan tetapi sayang sekali, dalam pandangan Yang Giok, pemuda ini terlampau lemah dan begitu sopan santun dan pendiam hingga sama sekali tidak nampak sifat-sifat gagah, bahkan agak bodoh nampaknya. Oleh karena ini, diam-diam hatinya merasa kecewa sekali. Ia adalah seorang gadis yang memiliki kepandaian bun (kesusasteraan) dan bu (keperwiraan), maka tentu saja iapun menginginkan seorang pasangan yang selain pandai ilmu sastera, juga pandai ilmu silat pula agar sesuai dengan kepandaiannya sendiri. Dengan seorang pemuda kutu buku macam ini, apakah keselamatan hidupnya kelak akan terjamin?
"Sekarang ceritakanlah, Kwee hiante, bagaimana keadaan Pangeran Liu setelah kota raja jatuh ke dalam tangan pemberontak,"
Tanya Nyo Wan-gwe . Yang Giok menghela napas dan wajahnya menjadi berduka.
"Kaisar dan pembesar-pembesar lain mengungsi ke Secuan, akan tetapi pamgeran Liu yang semenjak dulu tidak suka dengan kelaliman kaisar, telah mengambil jalan sendiri. Tadinya Pangeran Liu hendak melarikan diri ke sini, akan tetapi malang baginya, di tengah jalan beliau telah tertangkap oleh perajurit-perajurit tani dan ditawan."
Nyo Wan-gwe menjadi pucat mendengar ini dan ia mengeluh, akan tetapi tiba-tiba Nyo Liong berkata,
"Ayah, tak perlu dikhawatirkan nasib Pangeran Liu. Ia terkenal sebagai seorang Pangeran yang jujur dan tidak menjalankan kecurangan-kecurangan seperti pembesar lain, bahkan terang-terangan ia menentang kelaliman kaisar, maka kurasa ia akan selamat. Bukankah sepanjang pendengaran kita, kaum pemberontak tidak memusuhi mereka yang memang jujur dan melakukan tugas kewajibannya dengan baik? Yang dibasmi adalah para penindas rakyat."
Kumbang Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo