Pedang Pusaka Thian Hong 3
Pedang Pusaka Thian Hong Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
Kata Yang Giok. Si Kedok Hitam tersenyum.
"Tak perlu bicara tentang budi kalau hendak membalas budi, kau jagalah pedang itu baik-baik !"
Yang Giok menghela napas dan tiba-tiba ia mendapat pikiran baik.
"In-kong, inilah yang menyusahkan hatiku. Kepandaianku masih rendah sekali, mana aku dapat menjaga pedang itu dengan baik? Dan kawan seperjalananku demikian bodoh dan lemah hingga berkawan dengan dia dalam melakukan perjalanan berbahaya ini, tidak ada faedahnya sama sekali. Kalau saja kau sudi menolongku, maka perbolehkanlah aku berjalan bersama-sama denganmu, agar aku tak usah merasa kuatir lagi tentang gangguan segala penjahat itu."
Sambil berkata begini Yang Giok memandang dengan penuh harapan. Alangkah akan senangnya kalau ia bisa melakukan perjalanan dengan seorang seperti si Kedok Hitam ini, sebagai pengganti Nyo Liong yang bodoh dan lemah. Akan tetapi si Kedok Hitam malahan tertawa geli mendengar permintaan itu.
"Saudara Kwee yang baik, kalau kau tinggalkan Nyo kongcu dan pergi dengan aku, bukankah itu akan melukai perasaan Nyo kongcu dan mungkin membuat dia berduka?"
"Biarlah, hal itu adalah tanggung jawabku!"
Jawab Yang Giok, dan pula, jika ia tidak ikut aku pergi melakukan perjalanan ini, keselamatannya takkan terancam. Aku selalu merasa kuatir, karena kalau sampai terjadi sesuatu, ia takkan berdaya dan kalau sampai ia mendapat luka celaka, bagaimana aku harus mempertanggung jawabkannya di depan Nyo Wan-gwe?"
Sekali lagi si Kedok Hitam tertawa,
"Kau tidak tahu, saudara Kwee bahwa sebenarnya Nyo kongcu adalah seorang sahabat baikku, maka aku tak sampai hati membuat ia berduka. Belajarlah kau berlaku sabar dan tenang. Nah, selamat tinggal!"
Setelah berkata demikian, si Kedok Hitam lalu berkelebat dan lenyap dari situ.
Yang Giok merasa kecewa sekali, akan tetapi ia teringat akan kecurigaannya tadi dan akan dugaannya bahwa si Kedok Hitam ini mirip-mirip Nyo Liong. Maka cepat-cepat ia melompat turun dan menghampiri kamar pemuda itu. Ia dorong-dorong pintunya, akan tetapi agaknya terkunci dari dalam, maka dengan jalan memutar ia berhasil melompat masuk ke dalam kamar dari lubang jendela. Dan apa yang ia lihat membuat ia menggertakkan gigi karena mendongkol. Nyo Liong sambil berselimut nampak tidur nyenyak dan mendengkur. Ketika Yang Giok hendak meninggalkan kamar itu, tiba-tiba Nyo Liong menggeliat dan terjaga dari tidurnya. Ia serentak bangun dan duduk sambil memandang kepada Yang Giok dengan mata masih mengantuk.
"Eh, saudara Yang Giok. Kau di sini...?? Dari mana, bagaimana kau bisa masuk?"
Ia lalu memandang ke arah jendela yang terbuka.
"Eh, tidak ada apa-apa, Liong-ko. Aku hanya hendak melihat kalau-kalau ada penjahat memasuki kamarmu!"
"Ah, kau baik sekali,"
Kata Nyo Liong. Akan tetapi Yang Giok dengan mendongkol telah melompat keluar dan langsung memasuki kamarnya sendiri. Hatinya kecewa karena tidak mungkin si Kedok Hitam yang menarik hati dan gagah perkasa itu dengan Nyo Liong yang malas dan lemah adalah satu orang! Tak mungkin! Tapi benarkah bahwa si Kedok Hitam itu adalah sahabat Nyo Liong? Orang itu telah mengakui dan dari Nyo Liong ia mungkin akan dapat mengetahui siapa adanya si Kedok Hitam sebenarnya. Kalau saja ia dapat berkenalan dengan dia...? Pada keesokan harinya, Yang Giok menuturkan pengalamannya semalam, dan Nyo Liong hanya berkata.
"Untung sekali ada si Kedok Hitam yang menolong!"
"Apakah kau kenal kepadanya?"
Yang Giok bertanya dengan pandangan tajam. Nyo Liong termenung sejenak, lalu berkata,
"Sebetulnya hal ini adalah rahasia, akan tetapi kepadamu baiklah aku berterus terang bahwa dia memang seorang kawan baikku,"
"Siapakah dia sebenarnya dan siapa pula namanya? Apakah kau tahu di mana tempat tinggalnya?"
"Eh, eh, agaknya kau tertarik sekali kepadanya, kawanku?"
Tanya Nyo Liong dan tiba-tiba saja tak dapat dicegah lagi, wajah Yang Giok berubah marah.
"Siapa tertarik? Aku telah dua kali ditolong olehnya, bukanlah wajar kalau aku hendak mengetahui nama dan tempat tinggalnya?"
Jawabnya bersungguh-sungguh. Melihat Yang Giok menjadi marah, Nyo Liong tersenyum dan berkata,
"Aku sendiripun hanya kenal dia sebagai si Kedok Hitam saja. Sudahlah, jangan kita bicarakan lagi halnya, lebih baik kita percepat perjalanan ini agar segera sampai di tempat tujuan kita."
"Masih jauhkah puncak Go-bi-san yang kita tuju itu?"
Tanya Yang Giok.
"Kalau melalui jalan raya, paling cepat memakan waktu sebulan. Akan tetapi, aku mengetahui sebuah jalan yang lebih dekat, Cuma saja, jalan ini karena bukan jalan umum, agak sukar dan melalui hutan-hutan lebat."
"Tidak apa, lebih baik kita ambil jalan terdekat,"
Kata Yang Giok.
Beberapa hari kemudian, Nyo Liong dan Yang Giok tiba di luar desa Bi-siang-lun. Ketika metreka hendak memasuki pintu dusun yang terbuat dari pada pagar bambu, tiba-tiba dari depan mendatangi serombongan orang dan ternyata orang-orang itu sengaja menghadang di tengah jalan hingga Nyo Liong dan Yang Giok terpaksa menahan kuda mereka. Setelah dekat, Yang Giok terkejut sekali karena orang-orang ini tidak lain ialah Tan Kok si Maling Kate bersama kawan-kawannya. Yang Giok mendahului meloncat turun dari kudanya dan menghadapi mereka dengan tabah. Si Kate Tan Kok kembali menjadi wakil pembicara dan kini si kate itu bersungguh-sungguh, bahkan ia menjura dan memberi hormat kepada Yang Giok dan Nyo Liong.
"Jiwi, sudah lama kami menanti di sini."
"Orang she Tan, kembali kau menghadang dan menahan kami. Apakah kehendakmu kali ini?"
"Kwee-kongcu, kali ini kami sengaja mengambil jalan terang-terangan, kami telah mengambil keputusan untuk mengundang kau bersama kawanmu itu berkunjung ke tempat kami, yakni di cabang kami dalam desa Bi-siang-lun ini. Kami mengundang kau dan kawanmu untuk berpibu, yakni jika kau berani. Kami hendak menebus kekalahan kami yang berkali-kali itu."
"Orang she Tan, sudah ku katakan kepadamu bahwa pedang itu tidak berada padaku, mengapa kau tetap mendesakku?"
Yang Giok mencoba mencegah.
"Ha, ha, Kwee kongcu, kami tidak percuma menjadi anggauta-anggauta Jian-jiu-pai yang tidak saja mempunyai seribu tangan, tapi juga seribu mata. Pedang itu belum kau berikan kepada orang lain, maka sekarang kami minta kau memberi sedikit pelajaran kepada kami. Kalau ternyata kau memang seorang gagah perkasa dan dapat mengalahkan jago yang kami ajukan, kami mengaku kalah dan takkan mengganggumu lagi. Sebaliknya jika kau atau si Kedok Hitam itu kalah, bagaimanapun kau harus memberikan pedang itu kepada kami. Kecuali jika kau takut dan tidak berani menerima undangan kami, maka kami akan menganggap kau seorang pengecut."
Bukan main marahnya Yang Giok mendengar ini hingga wajahnya berubah merah. Biarpun ia tahu bahwa kepandaiannya masih belum mencukupi untuk menghadapi anggauta-anggauta Jian-jiu-pai yang hebat itu. Akan tetapi, ia lebih baik binasa dari pada dianggap seorang pengecut. Akan tetapi, sebelum ia sempat menjawab, Nyo Liong telah mendahuluinya dan berkata dengan suara lantang,
"Eh, eh kau berani sekali menganggap kawanku ini pengecut. Dia adalah seorang gagah yang tidak takut menghadapi cacing-cacing seperti kalian ini. Saudaraku yang baik terimalah tantangan mereka dan aku akan menjadi wasit dan saksi agar dalam pibu ini tidak terjadi kecurangan."
Semua orang memandang kepada Nyo Liong dan Tan Kok tersenyum menghina,
"Siapa yang akan main curang? Marilah kalau kalian memang benar-benar lelaki!"
Dengan hati panas Yang Giok dan Nyo Liong mengikuti mereka menuju ke desa Bi-siang-lun. Di sepanjang jalan rombongan maling yang ditakuti penduduk dan sudah terkenal sebagai orang-orang yang berkepandaian tinggi itu memberitahu kepada para penduduk bahwa di rumah perkumpulan mereka akan diadakan pibu, maka banyaklah orang mengikuti mereka hendak menonton orang mengadu kepandaian.
Gedung perkumpulan Jian-jiu-pai cukup besar dan mempunyai pekarangan depan yang luas. Agaknya para maling itu telah mengetahui dari para penyelidik mereka bahwa kedua pemuda itu akan lewat di situ, maka mereka telah siap sedia dan di pekarangan itu telah dibangun sebuah luitai. Mereka dapat menduga bahwa diam-diam si Kedok Hitam tentu melindungi pemuda she Kwee itu, maka mereka sengaja memancing agar si Kedok Hitam muncul di waktu siang sehingga mereka akan dapat mengetahui siapa adanya si Kedok Hitam itu. Untuk menghadapi si Kedok Hitam, mereka sengaja mendatangkan tiga orang jago mereka yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari pada Tan Kok. Dan telah mereka rencanakan bahwa apabila ketiga jago itu akhirnya takkan dapat melawan si Kedok Hitam, mereka akan mengeroyok.
Yang Giok dan Nyo Liong mendapat tempat kehormatan yang sengaja diadakan di kepala panggung luitai hingga tempat duduk mereka dapat terlihat dari segenap penjuru dan dari luar. Setelah dengan tabah kedua anak muda itu duduk di tempat yang disediakan untuk mereka, maka tak heran apabila keduanya merasa menjadi tontonan orang. Sebentar saja semua penduduk yang datang hendak menonton tahu bahwa kedua anak muda itulah yang hendak berpibu melawan rombongan anggauta Jian-jiu-pai, maka diam-diam mereka merasa heran dan kuatir. Kedua pemuda itu kelihatan begitu pendiam, lemah lembut dan tak bertenaga. Bagaimana mereka ini hendak mengadu kepandaian melawan orang-orang Jian-jiu-pai yang kasar dan bertenaga besar serta berkepandaian silat tinggi? Kemudian Tan Kok menghampiri kedua pemuda itu dan berkata kepada Yang Giok,
"Kwee kongcu, karena kalian datang berdua, maka kamipun hendak mengajukan dua orang jago. Sekarang, di antara jiwi, siapakah yang hendak maju terlebih dahulu?"
Sambil berkata demikian, Tan Kok si pendek ini tersenyum mengejek, karena ia memandang rendah sekali kepada pemuda tamunya ini. Yang Giok segera berdiri dan berkata,
"Aku sendirilah yang hendak maju melayani kalian, sedangkan kawanku ini tidak tahu apa-apa dan tidak ikut campur. Dalam hal pibu yang kalian adakan ini, kalah atau menang adalah menjadi tanggung jawabku sendiri dan kuharap kawanku yang lemah ini jangan sekali-kali diganggu."
Memang Yang Giok sudah dapat menduga bahwa kali ini kawanan maling itu tentu tidak mau melepaskannya dan karenanya ia hendak berlaku nekad dan melawan mati-matian. Akan tetapi ia tidak ingin melihat Nyo Liong diganggu, pertama karena pemuda ini lemah tak berdaya, kedua karena pedang Thian Hong Kiam telah dititipkan kepada pemuda ini. Akan tetapi, dengan bersemangat Nyo Liong juga berdiri dan berkata,
"Tidak, tidak begitu. Karena kami datang berdua, maka pertandingan boleh dilakukan dua kali. Saudara Kwee ini maju terlebih dulu dan aku maju di bagian kedua. Tapi ingat, pertandingan yang diadakan ini hanyalah sekedar pibu yakni untuk mengukur kepandaian belaka, maka tidak boleh sekali-kali sampai mempertaruhkan jiwa."
Tan Kok tertawa gelak-gelak.
"Bagus, kau agaknya pemberani juga, anak muda. Bukankah kau ini Nyo kongcu yang terkenal karena dalam usia muda telah merebut ijazah dan lulus dalam ujian? Rupanya, selain cerdik pandai, kau juga gagah berani. Boleh, boleh memang seharusnya diatur demikian. Sekarang kami persilakan Kwee Kongcu maju untuk menghadapi seorang jago kami."
Tanpa ragu-ragu, biarpun sambil mengerling ke arah Nyo Liong dengan heran dan kuatir, Yang Giok menuju ke panggung dan dari pihak tuan rumah muncullah seorang tinggi besar bermuka hitam. Orang itu menjura kepada Yang Giok dan berkata dengan suaranya yang besar dan parau.
"Saya sudah mendengar dari kawan-kawan tentang kehebatan Kwee-sicu, maka beruntung sekali hari ini aku mendapat kesempatan untuk mengenalmu."
Yang Giok memandang muka orang itu dan bertanya.
"Sebetulnya aku tidak mempunyai kepandaian apa-apa akan tetapi pihakmu yang mendesak dan memaksa. Siapakah tuan?"
"Aku adalah Gan Sin Kun, suheng dari Tan Kok."
Diam-diam Yang Giok terkejut karena baru melawan Tan Kok saja ia tak dapat menang, apalagi harus menghadapi suhengnya. Akan tetapi, memang pada
(Lanjut ke Jilid 03)
Pedang Pusaka Thian Hong Kiam (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 03
dasarnya Yang Giok berhati tabah dan bersemangat baja, hingga sedikitpun ia tidak memperlihatkan perasaan takut.
"Gan enghiong, marilah kita mulai,"
Ia mengajak dan memasang kuda-kuda.
"Harap kau berlaku murah hati, Kwee sicu,"
Jawab orang bermuka hitam itu yang lalu maju menyerang. Yang Giok tahu bahwa ia kalah tenaga menghadapi orang ini, maka ia hanya menggunakan kegesitannya untuk menjaga diri dan membalas serangan lawannya. Sebaliknya, Gan Sin Kun memang sudah tahu dari sutenya, Tan Kok, bahwa kepandaian Yang Giok tidak seberapa hebat, maka ia tidak merasa kuatir dan bertempur seenaknya saja.
Biarpun ia bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam menyeramkan, akan tetapi orang she Gan ini mempunyai hati yang halus dan lemah. Begitu melihat muka Yang Giok yang tampan sekali dan kulitnya yang lemas itu, hatinya telah menaruh rasa kasihan dan ia tidak tega untuk mencelakakan atau melukainya, apalagi kalau ia ingat bahwa permusuhan di antara golongannya dengan pemuda ini bukanlah permusuhan besar dan soal yang timbul di antara mereka hanyalah merupakan perebutan sebuah benda belaka. Oleh karena itu, ia hanya akan mendesak kepada Yang Giok agar pemuda itu mengaku kalah tanpa melukainya. Karena Gan Sin Kun mengeluarkan ilmu silatnya yang hebat dan bertenaga besar, maka benar saja, Yang Giok segera terdesak dan hanya mampu mengelak serta kadang-kadang menangkis saja.
Bahkan tiap kali menangkis ia merasa betapa lengan tangannya sakit dan pedas. Orang-orang yang menonton pertandingan ini menahan napas dan merasa kuatir sekali melihat betapa Yang Giok terdesak dan hanya dapat mengelak sambil mundur. Ketika Nyo Liong melihat betapa kawannya terdesak, diam-diam ia merasa gelisah sekali. Kalau ia bertindak, tentu akan terbuka rahasianya, akan tetapi untuk berdiam diri saja, juga tak benar karena Yang Giok berada dalam bahaya. Ia gelisah dan merasa serba susah. Akhirnya, karena tidak tega melihat Yang Giok terdesak terus dan melihat peluh memenuhi wajah Yang Giok yang keras hati dan tetap melawan tak mau menyerah kalah itu, Nyo Liong lalu berdiri dan dengan berlari ia menghampiri ke atas panggung. Dengan menggerak-gerakkan kedua tangannya ia mencegah dilanjutkannya pertempuran sambil berkata,
"Sudah, sudah! He, muka hitam, sudahilah!"
Nyo Liong dengan gerakan kacau menyerbu di antara mereka hingga Gan Sin Kun terpaksa mundur karena ia tidak mau salah tangan memukul kepada anak muda yang hanya bermaksud menghentikan pertempuran itu. Yang Giok berdiri dengan muka merah karena malu dan memandang kepada Nyo Liong dengan mata melotot karena marahnya.
"Liong-ko, mengapa kau bertindak setolol ini? Apa kau kira aku takut mati? Biarkan orang she Gan itu menyerangku, walaupun kepandaianku kalah tinggi, akan tetapi aku tidak takut sama sekali!"
Mendengar ucapan Yang Giok ini, Gan Sin Kun merasa kagum akan ketabahan dan kekerasan hati anak muda itu, maka ia lalu berkata.
"Kwee sicu telah berlaku murah hati dan mengalah."
Sebaliknya sambil tersenyum Nyo Liong menghadapi Yang Giok dan berkata,
"Saudaraku yang baik, ini hanyalah pibu yang biasa saja, mengapa harus berlaku nekad dan mati-matian? Duduklah di sana dan biarkan aku merasai kehebatan orang-orang Jian-jiu-pai."
"Apa kau mabok?"
Yang Giok membentak.
"Bagaimana kau hendak menghadapi mereka yang hebat?"
Akan tetapi Nyo Liong tidak menjawab, hanya tersenyum dan mengedip-ngedipkan matanya kepada Yang Giok. Apa boleh buat, dengan mengangkat kedua pundaknya, Yang Giok kembali ke tempat duduknya dan melihat ke arah Nyo Liong dengan hati berdebar. Nyo Liong menjura kepada Gan Sin Kun,
"Tuan muka hitam yang gagah, berilah aku sedikit pelajaran ilmu silat seperti yang telah kau berikan kepada kawanku tadi."
Akan tetapi, sebelum Gan Sin Kun menjawab, tiba-tiba Tan Kok si pendek naik ke atas panggung. Ia tidak mau jika semua pahala direbut oleh suhengnya, maka ia berkata,
"Gan suheng, harap kau suka mundur. Biarlah sute yang melayani pemuda ini."
Gan Sin Kun memang tidak suka melayani segala pemuda lemah, maka ia lalu mengundurkan diri dan duduk menjadi penonton. Sementara itu, Tan Kok sambil tertawa berkata kepada Nyo Liong.
"Anak muda, kau tadi telah mendengar sendiri perjanjian kita. Sekarang kawanmu she Kwee itu sudah kalah dan sebentar lagi kalau kau telah kujatuhkan, maka kau dan kawanmu itu harus segera mengeluarkan benda yang kami inginkan?"
"Jadi kau hendak menjatuhkan aku?"
Nyo Liong bertanya tanpa memperdulikan bicara lawannya tentang pedang itu. Tidak saja Tan Kok yang tersenyum geli mendengar pertanyaan ini, bahkan dari pihak penonton ada juga yang tertawa terkekeh-kekeh mendengar pertanyaan Nyo Liong tadi.
"Sudah tentu aku akan menjatuhkan kau!"
Jawab Tan Kok.
"Memang di dalam pibu, orang yang bertanding harus berusaha untuk menjatuhkan lawannya."
"Oh, begitu? Jadi siapa yang terjatuh, maka ia dianggap kalah?"
Tanya Nyo Liong.
"Ya, begitulah,"
Jawab Tan Kok dan pada saat itu juga Nyo Liong cepat menggunakan kakinya menjegal dan tangan mendorong tubuh si Kate hingga Tan Kok yang sama sekali tidak menyangka pemuda ini akan melakukan serangan aneh ini, tidak dapat mempertahankan diri dan jatuh terguling. Para penonton tertawa geli dan bahkan ada yang bersorak, akan tetapi diam-diam Yang Giok mengeluh karena gerakan Nyo Liong adalah akal kanak-kanak yang digunakan pada waktu mereka berkelahi. Sementara itu, melihat bahwa Tan Kok telah jatuh, Nyo Liong dengan wajah berseri lalu berkata lantang.
"Nah, orang she Tan. Kau harus mengaku kalah. Kau telah terjatuh!!"
Bukan main marahnya Tan Kok mendengar ini. Ia melompat berdiri dengan muka merah.
"Bangsat rendah dan curang!"
Bentaknya.
"Eh, eh, mengapa kau marah-marah? Bukankah kau sudah kujatuhkan? Ingatlah perjanjian kita!"
"Apa, kau kira aku ini anak kecil!"
Bentak Tan Kok. Yang dimaksudkan dengan terjatuh di atas panggung luitai adalah jatuh karena dikalahkan dalam perkelahian.
"Hayo kau siap dan jaga datangnya seranganku!"
Sambil berkata begitu Tan Kok lalu maju menyerang dengan kepalan tangannya. Serangan ini hebat sekali dan ditujukan ke arah dada Nyo Liong dengan sekuat tenaga. Tak terasa lagi Yang Giok menjerit. Untung ia masih dapat menahan suara jeritannya dan karena pada saat itu terdengar banyak suara para penonton yang ramai membicarakan sikap Nyo Liong, ada yang pro dan ada yang kontra, maka suara jeritannya tak terdengar orang. Kalau sampai terdengar, tentu orang akan merasa heran mengapa pemuda ini mengeluarkan suara jeritan seperti suara perempuan. Akan tetapi karena hatinya benar-benar merasa cemas melihat serangan itu tak terasa lagi Yang Giok berteriak,
"Awas, Liong-ko!"
Dan ia memejamkan mata karena tak tahan melihat betapa pemuda tunangannya itu akan terpukul jatuh dengan menderita luka berat. Akan tetapi, ketika mendengar suara teriakan Yang Giok, Nyo Liong bahkan berpaling dan memandang dengan tersenyum, sama sekali tidak memperdulikan datangnya kepalan lawan ke arah dadanya. Yang Giok membuka mata dan masih sempat melihat, betapa setelah serangan itu hampir mengenai dada Nyo Liong, tiba-tiba pemuda itu seperti terjengkang ke belakang dengan gerakan yang canggung dan lucu.
Akan tetapi justru karena gerakan itu ia terhindar dari serangan Tan Kok. Yang Giok melebarkan matanya dan hampir tak dapat percaya kepada matanya sendiri. Luar biasa benar gerakan mengelak tadi. Kebetulan sajakah atau memang Nyo Liong memiliki kepandaian tinggi? Sementara itu, ketika melihat betapa serangan pertama yang hampir berhasil itu akhirnya gagal, Tan Kok makin marah dan terus menyerang dengan hebat. Ia tidak memperdulikan lagi apakah lawannya yang bersikap lemah itu akan terluka hebat atau akan mati sekalipun terkena serangannya karena amarah telah memenuhi dadanya dan menutupi hati nuraninya. Akan tetapi, kini semua penonton bersorak riuh rendah dan Yang Giok tak terasa lagi bangun berdiri dari kursinya dan memandang dengan mata terbelalak heran.
Ketika diserang secara bertubi-tubi oleh Tan Kok, Nyo Liong lalu bergerak ke sana ke mari dengan lincah sekali. Semua gerakan mengelak dari pemuda ini nampaknya kacau balau dan kakinyapun tak teratur, akan tetapi tak sebuahpun pukulan Tan Kok mengenainya. Bahkan ketika mendapat kesempatan, Nyo Liong berhasil menangkap ujung baju Tan Kok dan menariknya sekuat tenaga. Tan Kok mempertahankan diri karena ia merasa betapa tenaga tarikan itu kuat sekali, dan dalam adu tenaga ini, tiba-tiba terdengar suara "Brett!!"
Dan sobeklah baju Tan Kok. Tan Kok terhuyung-huyung ke belakang, terbawa oleh tenaga mempertahankan yang kini dilepas secara tiba-tiba. Akan tetapi ia dapat mempertahankan diri dan dengan muka merah ia bertanya.
"Anak muda, siapa kau sebenarnya? Mengakulah! Apa hubunganmu dengan si Kedok Hitam?"
Juga Yang Giok ingin sekali mendengar jawaban Nyo Liong karena diam-diam iapun menyangka bahwa Nyo Liong mungkin sekali adalah si Kedok Hitam sendiri. Akan tetapi, Nyo Liong hanya tersenyum dan menjawab.
"Eh, orang kate. Kau hendak bertanding kepandaian atau bertanding lidah? Kalau bertanding lidah, bukan di sini tempatnya!"
Tanpa berpikir panjang Tan Kok bertanya,
"Di mana?"
"Di sekeliling meja yang penuh hidangan dan arak wangi!"
Mendengar kata-kata yang jelas mempermainkan Tan Kok ini para penonton tertawa geli, juga Yang Giok tersenyum. Entah mengapa, ketika melihat bahwa Nyo Liong ternyata bukanlah seorang lemah seperti yang selama ini ia sangka dan yang selalu mendatangkan rasa kecewa di dalam hatinya. Yang Giok merasa sesuatu yang mesra dan yang menimbulkan perasaan girang dan bahagia meresap ke dalam hatinya dan yang membuatnya tiba-tiba memerah muka dan merasa bangga ketika memandang wajah Nyo Liong. Tan Kok merasa bahwa ia dipermainkan segera melepaskan jubahnya yang sudah sobek itu, lalu sambil memutar-mutar jubahnya ia berkata,
"Kalau begitu, hayo kita lanjutkan pertandingan ini dan kau boleh mempergunakan senjatamu!"
"Aku tidak bisa memegang senjata, dan kalau senjatamu hanya pakaian tua yang tak berharga lagi , sudah sobek ini, biarlah aku melayanimu dengan tangan kosong."
Tan Kok terkenal sekali karena kepandaiannya memainkan jubahnya sebagai senjata karena dengan ilmu lweekangnya yang sudah tinggi, jubah itu dapat berubah menjadi sebuah senjata yang sangat ampuh di dalam tangannya. Tentu saja ia menjadi marah sekali mendengar betapa pemuda ini hendak menghadapinya dengan tangan kosong. Juga Yang Giok yang sudah mengenal kehebatan senjata aneh di tangan si Kate ini, tak terasa berseru lagi.
"Liong-ko, kau pakai pedangku ini!"
Nyo Liong berpaling lagi dan tersenyum sambil berkata,
"Saudaraku, jangan kau memperolok-olokan, kau tahu bahwa aku tidak becus memegang senjata tajam!"
Kemudian ia menghadapi Tan Kok kembali dan berkata.
"Orang kate jangan banyak membuang waktu, hayo lekas memperlihatkan kehebatanmu!"
"Bangsat, kau mencari mampus sendiri!"
Tan Kok membentak dan jubahnya menyambar menimbulkan angin hebat.
Pedang Pusaka Thian Hong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melihat gerakan ini, Nyo Liong yang juga sudah tahu akan kehebatan Tan Kok, tidak mau bermain-main lagi. Ia segera memperlihatkan kegesitannya dan mengelak ke kiri, sebelum Tan Kok dapat menyerang lagi, Nyo Liong sudah mendahuluinya dan menotok ke arah iga kanannya. Tan Kok terkejut sekali karena serangan ini benar-benar merupakan gerakan yang sangat cepat dan hebat, maka ia cepat mengelak dan mencurahkan perhatiannya kepada serangan lawan ini, akan tetapi celaka baginya karena serangan ini sebetulnya hanyalah gertak belaka dan tahu-tahu tangan kiri Nyo Liong telah meluncur dan menotok sambungan sikunya yang memegang jubah. Tan Kok berteriak kesakitan dan jubahnya terlepas dari tangannya.
Saat itu digunakan oleh Nyo Liong untuk mempergunakan akal kanak-kanak yang tadi telah diperlihatkan, yakni dengan kakinya menjegal kaki lawan ia mendorong sekerasnya hingga Tan Kok terjungkal. Bukan main riuh rendahnya para penonton melihat hal ini. Juga pihak Jian-jiu-pai merasa heran sekali. Sungguh sukar dipercaya bahwa dalam dua jurus saja, Tan Kok yang mempergunakan senjatanya yang ampuh itu dapat dirobohkan oleh seorang pemuda yang bertangan kosong. Bukan Main! Yang Giok kini tidak ragu-ragu lagi. Nyo Liong tentu tidak lain ialah si Kedok Hitam sendiri. Kalau tidak demikian, mana mungkin pemuda itu dapat memiliki kepandaian sehebat ini? Maka hampir saja ia ikut bersorak, akan tetapi ia dapat menahan perasaannya dan hanya bersorak sorai di dalam hati dengan perasaan girang dan bahagia.
Kini Tan Kok merasa bahwa pemuda yang luar biasa ini benar-benar memiliki kepandaian yang tinggi sekali, maka ia hanya dapat memandang dengan bengong sambil merintih-rintih karena sambungan sikunya telah terlepas. Sementara itu para kawanan Jian-jiu-pai ketika melihat betapa pemuda she Nyo itu hebat sekali, mereka serentak mencabut senjata dan maju mengepung Nyo Liong dan Yang Giok yang sementara itu telah melompat mendekati Nyo Liong. Yang Giok cepat mencabut pedangnya menghadapi segala kemungkinan, sedangkan Nyo Liong tiba-tiba mengubah sikapnya yang tadi bermain-main. Ia cabut sebatang pedang dari pinggangnya hingga baik Yang Giok sendiri maupun para kawanan Jian-jiu-pai berdiri bengong ketika melihat bahwa pemuda itu telah mencabut pedang Thian Hong Kiam yang diperebutkan.
"Kawanan perampok. Kalian menghendaki pedang ini? Baiklah, kalian maju semua dan hendak kulihat siapa di antara kamu sekalian yang sanggup merampas pedang ini dari tanganku."
Untuk sejenak kawanan maling ini berdiri terpaku akan tetapi mereka segera maju menggerakkan senjata dan mengeroyok.
Akan tetapi, pada saat itu Nyo Liong berseru keras dan tahu-tahu tubuhnya telah lenyap, berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan yang menyambar ke sana ke mari. Ternyata ia telah mengeluarkan ilmu silat pedang Pat-kwa Im Yang Kiamsut. Terdengar teriakan-teriakan yang dikeluarkan oleh para anggauta Jian-jiu-pai yang menjadi panik karena mereka tidak melihat penyerang mereka dan tahu-tahu senjata mereka terbabat putus dan tangan mereka terkena ujung pedang Thian Hong Kiam hingga mengalirkan darah. Akhirnya semua anggauta Jian-jiu-pai menjatuhkan diri berlutut, sedangkan semua penonton lari bubar karena takut. Gan Sin Kun sendiri terluput dari pada serangan Nyo Liong karena pemuda ini suka kepada orang yang tadi berlaku murah kepada Yang Giok, maka orang she Gan ini lalu berkata,
"Nyo taihiap, kau sungguh perkasa. Patut sekali pedang Thian Hong Kiam berada di tanganmu. Bolehkah kami mengetahui, apakah taihiap ini Sasterawan Berkedok Hitam?"
Nyo Liong menyimpan pedangnya dan sambil bertolak pinggang ia berkata,
"Kalian tak perlu tahu tentang Sasterawan Berkedok Hitam. Dia adalah kawan baikku, dan jika kalian masih mengganas, maka ia tentu takkan memberi ampun!"
Setelah berkata demikian, dengan tenang Nyo Liong lalu mengajak Yang Giok pergi meninggalkan tempat itu dan menunggangi kuda mereka untuk melanjutkan perjalanan. Semua kawanan Jian-jiu-pai tak berani menghalangi mereka lagi.
"Liong-ko, kau sungguh terlalu. Pandai sekali berpura-pura bodoh dan telah mempermainkan aku,"
Berkata Yang Giok di tengah perjalanan ketika mereka duduk beristirahat di bawah sebatang pohon besar untuk memberi kesempatan kepada kuda mereka makan rumput. Nyo Liong memandangnya.
"Siapa yang mempermainkan engkau, saudara Yang Giok? Aku hanya mempunyai sedikit kemampuan yang tidak ada artinya."
"Telah berkali-kali kau menolongku, akan tetapi kau berpura-pura tidak mengenalku. Mengapa kau menyembunyikan diri dan tidak mau mengaku bahwa kau sebenarnya adalah tuan penolongku?"
"Kau ini aneh sekali adikku. Aku belum pernah menolongmu."
"Liong-ko, untuk apa kau berpura-pura lebih lanjut? Bukankah kau sebenarnya Sasterawan Berkedok Hitam?"
Nyo Liong menggeleng-gelengkan kepala.
"Dia adalah kawanku dan sedikit kepandaian yang kumiliki dapat kupelajari dari dia!"
Yang Giok mengerutkan jidat. Benarkah ini? Ia masih ragu-ragu dan kebandelan Nyo Liong ini membuatnya kecewa dan mendongkol. Awas kau, pikirnya, pada suatu waktu tentu akan kubuka rahasiamu. Malam harinya mereka bermalam di sebuah kuil tua dan pada keesokan harinya, mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Go-bi-san.
Benar sebagaimana ucapan Nyo Liong dahulu, dengan mengambil jalan menerobos hutan-hutan, dalam waktu dua puluh hari mereka telah tiba di daerah Go-bi-san yang luas. Mereka lalu mencari keterangan kepada penduduk pegunungan dan mendapat tahu bahwa kuil Thian-hok-si berada di lereng gunung dan di luar dusun Cun-leng-koan. Beberapa hari kemudian, mereka tiba di susun Cun-leng-koan, akan tetapi karena hari telah malam, mereka tidak melanjutkan perjalanan ke kuil Thian-hok-si, akan tetapi bermalam di dalam sebuah rumah penginapan yang sederhana. Karena rumah penginapan ini hanya mempunyai tiga buah kamar dan yang dua buah sudah ditempati orang, terpaksa Nyo Liong dan Yang Giok menyewa kamar ketiga. Di dalam dusun itu tidak terdapat rumah penginapan lain.
"Nah, akhirnya kita terpaksa bermalam sekamar,"
Kata Nyo Liong menggoda hingga wajah Yang Giok menjadi merah.
"Cis, tak tahu malu!"
Katanya sambil mendelik. Nyo Liong tertawa,
"Yang Giok, kau... lucu sekali kalau sudah bersikap seperti ini."
"Biar aku tidur di luar saja."
"He? Di luar? Apakah kau tidak takut masuk angin?"
"Tidak, lebih baik duduk di luar dari pada tidur sekamar dengan orang yang suka mendengkur.
"kata Yang Giok.
"Eh, eh, saudara Yang Giok, bagaimana kau bisa tahu bahwa aku mendengkur dalam tidurku?"
Akan tetapi Yang Giok tidak menjawab, dan dengan merengut ia benar-benar membawa selimut keluar dan mengambil keputusan hendak duduk di luar kamar semalam itu. Menjelang tengah malam terdengar suara Nyo Liong mendengkur perlahan, tanda bahwa ia telah tidur pulas.
Yang Giok menganggap bahwa saatnya telah tiba untuk ia mencoba membongkar rahasia anak muda itu. Karena pintu kamar memang tidak terkunci, ia lalu masuk dengan perlahan-lahan dan hati-hati. Dengan meraba-raba ia menghampiri buntalan pakaian Nyo Liong dan hendak memeriksa dan mencari-cari kalau-kalau ia akan berhasil mendapatkan kedok hitam yang biasa digunakan oleh Sasterawan Berkedok Hitam. Akhirnya ia berhasil dan sebuah kedok hitam terpegang olehnya. Yang Giok cepat mengambil kedok hitam itu dan ia tidak merasa kuatir karena dengkur Nyo Liong masih tetap terdengar dan tidak berubah, tanda bahwa pemuda itu masih tidur. Akan tetapi, ketika ia hendak keluar dari kamar itu dengan kedok di tangan, tiba-tiba terdengar angin menyambar dan tahu-tahu kedua tangannya telah dipegang kuat-kuat dari belakang oleh Nyo Liong.
"Liong-ko, lepaskan tanganku!"
Katanya lirih sambil mencoba untuk memberontak. Akan tetapi pegangan itu kuat sekali.
"Tidak,"
Jawab Nyo Liong.
"Takkan ku lepaskan sebelum kau mengaku terus terang siapa sebenarnya engkau ini!"
"Liong-ko, kau mimpi. Bukankah kau sudah tahu bahwa aku adalah Kwee Yang Giok?"
"Hm, kau kira hanya kau seorang saja yang cerdik dan dapat menduga siapa sebenarnya aku ini? Kau kira aku tidak tahu dan mataku buta bahwa kau adalah seorang... gadis muda?"
Yang Giok terkejut sekali dan ia memberontak hingga pegangan tangan Nyo Liong terlepas.
"Apa... apa maksudmu?"
Tanyanya gagap.
"Gadis, kalau kau anggap aku keterlaluan karena menyembunyikan diriku yang sebenarnya, kau lebih terlalu lagi! Kau seorang gadis muda yang tabah, berani luar biasa, keras hati, dan nakal. Siapakah kau dan apa hubunganmu dengan Pangeran Liu dan puterinya?"
"Kau... kau selidiki sendiri!"
Jawab Yang Giok, dan Nyo Liong dapat mendengar suara yang menggetar itu. Ketika Yang Giok hendak melompat keluar kamar, cepat sekali Nyo Liong sudah dapat menangkap sebelah tangannya lagi. Nyo Liong lalu menggunakan sebelah tangan untuk membesarkan sumbu lampu yang masih menyala kecil di atas meja hingga keadaan menjadi terang. Ia melihat betapa gadis itu menjadi merah mukanya dan nampaknya bingung sekali.
"Kau sudah mengetahui rahasiaku, maka aku takkan melepaskanmu sebelum kau mengaku siapa sebenarnya dirimu!"
"Aku... aku... ah...,"
Yang Giok tak dapat melanjutkan kata-katanya dan ketika dengan sia-sia ia hendak menarik tangannya, tak terasa pula kedua matanya mengucurkan air mata. Melihat ini Nyo Liong menjadi tidak tega lalu melepaskan pegangannya.
"Nona,"
Katanya dengan halus.
"tidak salahkah dugaanku bahwa kau... kau adalah... puteri Pangeran Liu sendiri? Tidak salahkah terkaan ku bahwa kau adalah... Liu siocia sendiri?"
Ketika Yang Giok tidak menjawab, Nyo Liong lalu berkata pula dengan suara tetap halus.
"Nona, kalau kau benar-benar Liu siocia, mengapa kau permainkan aku... tunanganmu sendiri? Apakah sebenarnya yang telah kau alami dengan Ayahmu...?"
"Semua yang kuceritakan dulu itu memang sebenarnya,"
Jawab Yang Giok sambil tunduk.
"hanya mengenai diriku... ah, bukankah kau... kau membenci tunanganmu yang buruk...?"
"Aku membenci tunanganku, akan tetapi aku tidak membenci kau !"
Jawab Nyo Liong.
"kau tahu betul akan hal ini!"
Yang Giok tidak menjawab, akan tetapi dengan bangga dan malu ia lalu berlari keluar sambil mengeluarkan suara isak tercampur tawa karena hati hatinya merasa tidak keruan di saat itu.
"Moi-moi, tidurlah di dalam, biar aku yang menjaga di luar!"
Kata Nyo Liong sambil mengejar keluar. Ia mendapatkan Yang Giok duduk di bangku luar, maka iapun lalu duduk di dekat gadis itu. Untuk beberapa lamanya mereka hanya duduk tak bergerak, hanya kadang-kadang saling lirik dan main senyum.
"Adikku, sebenarnya siapa namamu? Alangkah baiknya kalau namamu tetap Yang Giok, karena nama ini manis dan sesuai benar dengan orangnya,"
Akhirnya Nyo Liong berkata.
Yang Giok mengerling tajam dan tersenyum malu.
"Ah kau memang suka sekali menggoda orang!"
Katanya.
"Memang namaku Yang Giok, habis mau dirobah apa lagi?"
Keduanya lalu bercakap-cakap dan saling menuturkan pengalaman masing-masing, hingga malam itu mereka lewatkan dengan bercakap-cakap mesra dan lupa akan tidur hingga tahu-tahu fajar telah menyingsing dibarengi suara ayam jantan berkokok.
"Ko-ko bagaimana kau bisa menduga bahwa aku adalah seorang wanita?"
Tanya Yang Giok.
"Mudah saja, pertama karena tak mungkin seorang pemuda mempunyai gerak-gerik sehalus gerak-gerikmu, dan watakmu yang keras dan manja menimbulkan dugaan bahwa kau adalah seorang gadis manja dan cantik. Kemudian, ketika diam-diam aku memeriksa pakaianmu dan mendapatkan barang-barang perhiasan wanita dan di antaranya terdapat satu stel pakaian wanita, maka tak salah lagi bahwa kau tentu seorang gadis. Hanya aku masih belum yakin betul siapa sebenarnya dirimu, hanya ada dugaan bahwa kau tentu puteri Pangeran Liu Mo Kong, karena Pangeran itu adalah seorang gagah perkasa, maka tak heran bahwa puterinya pun demikian pula."
"Ah, kau mengejek! Aku tidak mempunyai kepandaian apa-apa, hanya kaulah yang berkepandaian benar-benar tinggi. Lain kali aku harus menambah pengertian ilmu silat yang kau miliki."
Setelah saling mengetahui rahasia masing-masing, perasaan kedua anak muda itu makin mesra dan tanpa mengucapkan kata-kata mereka dapat mengetahui hati masing-masing yang saling mengasihi hingga mereka berbahagia sekali. Ketika telah berganti pakaian, Nyo Liong yang menanti di luar kamar berdiri bengong dan memandang ke arah gadis yang keluar dari kamar dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Ternyata bahwa Yang Giok telah mengenakan pakaian wanita yang memang telah tersedia di dalam buntalan pakaiannya. Setelah mengenakan pakaian wanita nampak demikian cantik jelita hingga Nyo Liong menjadi merasa seakan-akan berada dalam mimpi.
"Moi-moi..."
Hanya demikian mulutnya dapat mengeluarkan kata-kata, sedangkan matanya menyatakan pujian dan kekaguman yang lebih berarti daripada seribu kata.
"Liong-ko, jangan kau pandang aku demikian rupa!"
"Mengapa, adikku yang manis?"
"Aku... aku malu!"
Yang Giok benar-benar merasa malu dan seluruh mukanya menjadi kemerah-merahan. Nyo Liong tertawa gembira dan keduanya lalu tertawa sambil saling pandang dengan penuh hati mencinta. Pada saat itu terdengar suara kaki kuda di depan rumah penginapan dan ketika keduanya memandang, ternyata yang datang itu adalah serombongan orang-orang yang berpakaian sebagai petani, tetapi nampak sangat gagah dan di punggung mereka nampak gagang pedang hingga Nyo Liong dan Yang Giok dapat menduga bahwa mereka ini tentu bukan petani-petani biasa. Akan tetapi rombongan ini tidak berhenti, hanya memandang ke arah Nyo Liong dengan mata tajam, kemudian mereka melanjutkan perjalanan dan kaki kuda mereka menimbulkan debu mengebul di pagi hari itu.
"Kalau tidak salah, mereka adalah perwira-perwira kerajaan,"
Nyo Liong berbisik.
"Mereka tentu tak bermaksud baik,"
Kata Yang Giok khawatir. Mendengar suara gadis itu yang mengandung kekhawatiran, Nyo Liong berkata,
"Jangan khawatir, moi-moi, betapapun juga, kita berdua akan dapat melawan mereka."
Dengan tabah dan tenang Nyo Liong lalu mengajak Yang Giok melanjutkan perjalanan setelah membayar uang sewa kamar. Mereka tidak memperdulikan pandangan pengurus rumah penginapan yang merasa heran dan kagum melihat Yang Giok. Ia tak pernah menyangka bahwa pemuda yang kemaren itu kini telah berubah menjadi seorang gadis luar biasa cantiknya.
Kuil Thian-hok-si berada di luar dusun itu dan hanya terpisah paling banyak sepuluh lie, maka mereka lalu menjalankan kuda dengan perlahan. Akan tetapi, setelah berada di luar dusun, benar saja mereka melihat rombongan petani yang mencurigakan tadi telah berdiri menghadang di tengah jalan. Mereka berjumlah delapan orang dan kuda mereka dilepas di pinggir jalan dan sedang makan rumput sambil menggoyang-goyangkan ekornya. Nyo Liong dan Yang Giok menahan kuda mereka dan dengan tenang turun dari kuda. Karena Yang Giok telah menjadi seorang gadis, maka yang menghadapi mereka adalah Nyo Liong, sedangkan gadis itu lalu membawa kuda mereka ke sebuah pohon dan mengikatkan kendali pada pohon itu.
"Cuwi sekalian menghadang di tengah jalan ada keperluan apa?"
Tanya Nyo Liong dengan halus. Tiba-tiba di antara orang itu maju seorang yang bertubuh tinggi kurus dan sambil menuding kepada Nyo Liong, ia berkata.
"Kawan-kawan, benar, inilah Sasterawan Kedok Hitam yang dulu membantu para pemberontak. Tangkap pemberontak ini!"
Sambil berkata demikian, si kurus itu mencabut pedangnya, diikuti oleh tujuh orang kawannya. Akan tetapi Nyo Liong masih bersikap tenang.
"Kalian ini bukankah para perwira istana yang telah kalah? Mengapa masih berani menjual lagak? Aku memang benar Sasterawan Berkedok Hitam, dan kalian mau apa?"
Tiba-tiba seorang perwira lain memandang Yang Giok dan berseru,
"Eh, bukankah kau ini Liu siocia, puteri dari Pangeran Liu Mo Kong?"
Yang Giok yang mendengar bahwa Nyo Liong dianggap pemberontak menjadi heran dan terkejut sekali, sekarang setelah seorang perwira mengenalnya, ia makin bingung. Ia tidak menjawab pertanyaan perwira tadi, hanya memandang ke arah Nyo Liong dengan wajah mengandung pertanyaan. Benarkah tunangannya ini membantu pihak pemberontak?
"Harap kalian jangan mengganggu kami,"
Terdengar Nyo Liong menjawab pertanyaan perwira tadi.
"Dia memang Liu siocia, akan tetapi sekarang tidak mempunyai hubungan pula dengan segala perwira kerajaan yang telah terjatuh dan kalah. Berilah jalan dan jangan mencari penyakit sendiri!"
"Kawan, inilah mereka yang kita cari!"
Si kurus tadi berseru lagi.
"Pedang yang dicari ada padanya dan sekarang sekali pukul kita akan dapat dua pahala. Merampas kembali Thian Hong Kiam dan membalas dendam kawan-kawan kita yang telah terjatuh dalam tangan pemberontak!"
Tanpa banyak cakap lagi kedelapan orang itu maju menyerang Nyo Liong.
"kalian mencari bencana sendiri!"
Nyo Liong berseru dan ia lalu mencabut keluar Thian Hong Kiam yang tergantung di pinggang dan yang selalu tertutup oleh baju sasterawannya yang panjang.
"Nah, itu dia pedang yang kita cari!"
Seorang perwira berseru ketika ia mengenali pedang pusaka itu di tangan Nyo Liong. Nyo Liong tersenyum.
"Ha, ha, bukankah sekarang lebih mudah lagi? Pedang dan orang yang kau cari telah berada di sini dan menjadi satu, kalian majulah!"
Maka terjadilah pertempuran yang hebat. Perwira-perwira ini adalah jagoan-jagoan kelas satu dari kerajaan dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi, dan sekarang mereka maju berbareng, dapat dibayangkan betapa hebatnya serangan mereka. Juga senjata-senjata yang berada di tangan mereka bukanlah senjata sembarangan karena hampir semua perwira kerajaan memiliki senjata yang ampuh dan tajam.
Dari gerakan mereka ketika menyerang, Yang Giok dapat mengetahui bahwa kepandaian mereka rata-rata lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri, maka tentu saja ia diam-diam merasa gelisah dan cemas. Ia merasa serba salah. Hendak membantu, kepandaiannya terlampau rendah. Tidak membantu, hatinya tidak puas dan tidak tenteram. Maka ia hanya berdiri dengan dada berdebar menonton pertempuran yang hebat itu. Pertempuran yang terjadi kali ini berbeda dengan ketika Nyo Liong dikeroyok oleh kawanan Jian-jiu-pai, karena para perwira ini memang sengaja datang mencari Nyo Liong dan mereka tahu bahwa selain harus menghadapi Sasterawan Berkedok Hitam yang hebat, juga masih ada pihak Jian-jiu-pai yang hendak merampas pedang, maka di pihak mereka lalu mengutus delapan orang yang berkepandaian tinggi dan merupakan jago-jago pilihan dari istana.
Akan tetapi, ilmu silat Pat-kwa Im-yang yang telah dipelajari oleh Nyo Liong itu benar-benar hebat dan luar biasa sekali. Biarpun dikeroyok oleh delapan orang jago-jago pilihan dari istana, akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak terdesak, bahkan dengan pedangnya yang juga merupakan senjata ampuh dan pusaka tua, ia dapat membuat delapan orang lawannya bermain silat dengan kacau karena pergerakannya sungguh cepat dan luar biasa. Dengan menggunakan ilmu silat pedangnya yang istimewa, Nyo Liong dapat bergerak sedemikian rupa hingga delapan orang itu tidak mendapat kesempatan untuk maju berbareng. Gerakan Nyo Liong lincah sekali dan sinar yang ditimbulkan oleh putaran pedangnya sangat kuat dan sukar diduga perubahan dan gerakannya.
Yang Giok benar-benar merasa kagum sekali. Baru sekali ini ia mendapat kesempatan untuk melihat kepandaian Nyo Liong yang sangat hebat itu. Ia menghela napas dan harus ia akui bahwa ilmu kepandaian tunangannya ini jauh lebih tinggi dari pada kepandaian Ayahnya sendiri. Akan tetapi ada sedikit perasaan kecewa dan ragu-ragu di dalam hatinya, karena bukankah para perwira tadi mengatakan bahwa pemuda ini adalah seorang pembantu pemberontak? Di antara kedelapan orang perwira itu terdapat tiga orang saudara seperguruan yang memiliki kepandaian paling tinggi. Mereka ini dijuluki Bu-tong Sam-houw atau Tiga Macan dari Bu-tong, karena mereka ini memang anak murid Bu-tong-san. Ketika melihat betapa hebatnya Nyo Liong, mereka lalu berpencar menjadi segi tiga dan maju menyerang Nyo Liong dari tiga jurusan.
Mereka tidak mau merobah kedudukan dan tetap menyerang dari tiga jurusan hingga tidak dapat dibikin kacau oleh perubahan gerakan Nyo Liong. Menghadapi tiga orang ini, diam-diam Nyo Liong berlaku hati-hati karena ia maklum bahwa apabila lawan-lawannya tidak terkacau oleh ilmu silatnya, maka berarti bahwa ia harus menghadapi lawan yang berat dan berbahaya, karena mereka ini rata-rata memiliki kepandaian tinggi dan dapat mempertahankan diri dengan baik, maka kalau ia harus bertahan mengadu tenaga dan keuletan, mana ia dapat melawan delapan orang? Oleh karena itu, Nyo Liong lalu mengerahkan semangat dan tenaganya dan ia lalu mencampur gerakan silatnya dengan pelajaran dari Li Lo Kun, hingga pedangnya bergerak makin ganas dan hebat.
Benar saja, serbuannya ini membuat semua pengeroyoknya terkejut dan mereka mempertahankan diri sambil mundur. Nyo Liong mengerti bahwa kalau ia tidak mau menurunkan tangan kejam dan berlaku terlalu hati-hati dan kasihan, maka pertempuran ini akan berjalan lama sekali dan akhirnya ia akan kalah karena kehabisan tenaga. Maka ia maju terus mendesak dengan hebat dan sengaja menyerang bertubi-tubi kepada dua orang perwira yang agak berlaku lambat hingga terdengar pekik kesakitan dan dua orang perwira itu roboh, pundak dan lengan mereka luka. Para pengeroyok itu terkejut sekali dan mereka berpencar menjauhi Nyo Liong, dan pada saat itu terdengar suara yang nyaring tapi halus.
"Hebat sekali!"
Ketika semua orang memandang, tahu-tahu di tengah medan pertempuran itu telah berdiri seorang tua yang berjubah biru. Tosu ini kurus dan tinggi, kulit mukanya putih dan halus seperti muka anak-anak. Ketika ketiga harimau dari Bu-tong melihat tosu ini, dengan girang lalu maju berlutut dan berkata,
"Suhu!"
Ternyata bahwa pendeta tua ini tidak lain ialah Kim Kong Tosu seorang tokoh Bu-tong-pai kenamaan karena ilmu kepandaiannya sangat tinggi. Tosu ini adalah guru dari pada Ketiga Harimau dari Bu-tong-pai, maka tentu saja semua perwira girang sekali melihat kedatangannya. Ketika melihat gerakan tosu yang cepat itu Nyo Liong maklum bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang pendeta yang berilmu tinggi, maka dengan hormat sekali ia menjura. Sebaliknya, Kim Kong Tojin memandang Nyo Liong dengan kagum sekali, lalu katanya
"Anak muda yang gagah perkasa, siapa kau dan dari manakah kau memperoleh ilmu kepandaian yang hebat itu?"
"Teecu bernama Nyo Liong dan suhu adalah Li Lo Kun. Tidak tahu siapakah Losuhu yang telah menahan teecu dan dengan maksud apa Losuhu menghalangi teecu menempur semua perwira ini?"
Tosu itu memandang heran.
"Kau murid Li Lo Kun? Ah, kalau begitu, ternyata Li Lo Kun telah maju pesat sekali kepandaiannya. Kalau muridnya sudah sehebat ini, tentu ia telah mencapai tingkat tinggi sekali. Aneh, aneh! Ketahuilah, anak muda, pinto adalah Kim Kong Tojin dari Bu-tong-pai. Ketiga orang perwira yang bodoh itu adalah murid-muridku, dan mengapakah kau bertempur dengan mereka?"
"Suhu, dia adalah Sasterawan Kedok Hitam yang membantu pemberontak. Bahkan sekarang ia telah berani membela pencuri pedang kerajaan, Thian Hong Kiam!"
Berkata seorang dari pada Harimau Bu-tong itu. Pandangan mata Kim Kong Tosu menjadi dingin ketika mendengar laporan muridnya ini.
"Ah, kiranya kau adalah seorang anggauta pemberontak, Sayang, sayang sekali!"
Nyo Liong juga merasa tidak senang mendengar ucapan ini, maka ia membantah,
"Losuhu, sungguh heran bahwa kau tidak mengetahui betapa buruknya kerajaan Tang memerintah negeri kita. Sudah selayaknya kalau rakyat memberontak dan menghancurkan pemerintah yang pandainya hanya memeras rakyat jelata itu, dan sudah menjadi kewajibanku sebagai putera ibu pertiwi untuk membela bangsa!"
Pedang Pusaka Thian Hong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hm, kau anak kecil hendak memberi pelajaran kepada pinto?"
Jawab Kim Kong Tojin tidak senang.
"Dengarlah anak muda. Kaisar adalah seorang yang telah mendapat anugerah dewata dan sudah ditakdirkan menjadi orang yang tertinggi kedudukannya dan yang harus ditaati oleh semua rakyat. Tidak sembarang orang bisa menjadi kaisar, dan kewajiban kita sebagai rakyat hanyalah taat dan menghormat semua perintahnya. Kalau kau memberontak terhadap kaisar, itu berarti bahwa kau memberontak melawan takdir. Daripada kau memberontak dan mengambil jalan sesat, lebih baik kau membantu usaha kaisar untuk mengusir pemberontak dan memulihkan kembali keamanan di dalam negeri untuk menebus dosamu. Kita tidak boleh menyimpang dari pada tugas sebagai rakyat dan tidak boleh menjadi hakim sendiri atas kesalahan seseorang. Andaikata benar bahwa kaisar telah melalaikan tugasnya dan melakukan kesalahan, tidak semestinya kalau rakyat bertindak sendiri melakukan hukuman."
Mendengar ucapan yang penuh nafsu ini, Nyo Liong tersenyum.
"Maaf, Losuhu, jadi kalau menurut pendapatmu, rakyat harus tinggal diam dan menerima saja diperas, ditindas, dan dicekik lehernya? Jadi rakyat harus bersabar saja dan menerima hidup penuh sengsara dan derita sedangkan kaisar dan semua pembesar durjanah hidup serba mewah dan penuh kesenangan?"
Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo