Dendam Si Anak Haram 12
Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Bagian 12
"Kau sudah bosan hidup!"
Serunya dan cepat Siok Lun menyambar jubah luarnya yang tadi ia tanggalkan. Dengan hanya memakai pakaian dalam, Siok Lun menerjang Liu Kong dengan senjata istimewa ini. Liu King sudah menjadi nekat. Biarpun ia merupakan seorang pemuda yang memiliki cita-cita mengejar kedudukan tinggi, namun karena sejak kecil ia digembleng Bu Taihiap, dia sedkit banyak memiliki sikap gagah. Semenjak ia ikut para pengawal ia mendapatkan banyak kekecewaan. Guru atau pamannya terbunuh, para pengawal melakukan hal yang amat memuakkan perutnya, seperti merampok dan memperkosa wanita.
Kini, gadis yang amat dicintainya menjadi tawanan, dan hampir diperkosa oleh Siok Lun. Timbullah kegagahan dan kepekaannya, sehingga tanpa ragu-ragu lagi ia membebaskan Siang Hwi dan kini dengan pedang di tangan ia melawan mati-matian kepada Siok Lun. Namun, biar Siok Lun hanya bersenjatakan jubah, pemuda murid Pat-Jiu Lo-Koai ini benar-benar bukan tandingan Liu Kong yang jauh lebih lemah. Dalam beberapa gebrakan saja, pedang itu telah terbelit jubah dan sekali renggut, pedang telah dapat dirampas oleh Siok Lun. Kemudian, Siok Lun mengebutkan jubah dan pedang rampasannya menyambar dahsyat ke arah tuannya. Liu Kong terkejut, cepat ia mengelak sehingga pedangnya lewat di atas pundak dan menancap di dinding, akan tetapi dia tidak mengelak dari sambaran jubah yang di tangan Siok Lun berubah menjadi senjata yang ampuh.
"Pakkkl"
Liu Kang tak dapat bergerak lagi karena ia sudah rebah terguling dengan kepala pecah! Siok Lun tidak memperdulikan Liu Kong yang sudah menjadi mayat, cepat tubuhnya mencelat melalui jendela hendak mengejar Siang Hwi.
Keadaan di situ menjadi geger karena orang-orang sudah mendengar suara ribut-ribut itu. Para pengawal memasuki pondok juga muncul para Panglima, mereka terkejut melihat tawanan lolos dan Liu Kong tewas, beramai-ramai mereka inipun melakukan pengejaran secara ngawur. Di samping pondok, ketika sudah berhasil keluar melalui jendela, Siok Lun melihat dua orang pengawal yang menjaga di situ menggeletak, agaknya dirobohkan Siang Hwi yang tentu saja terlalu lihai bagi dua orang pengawal itu. Seorang pengawal sambil merintih-rintih menuding ke arah depan dan Siok Lun terus melakukan pengejaran dan ilmu larinya yang luar biasa. akan tetapi tiba-tiba munpul Bi Hwa di depannya, dengan pedang di tangan dan dengan sikap angker.
"Suheng, mau apa kau lari-lari dengan pakaian setengah telanjang seperti ini?"
Pucat wajah Siok Lun, kemudian merah.
"Aku... aku mengejar... tawanan lolos... si keparat Liu Kang yang..."
"Cukup aku telah mengetahui segalanya, Suheng. Tak perlu kau membohong kepadaku. Dasar engkau laki-laki yang mata keranjang!"
Siok Lun tertegun. Memang tidak perlu menyangkal lagi kalau Bi Hwa sudah tahu semua.
"Sumoi... biarlah nanti kuminta ampun darimu. Sekarang lebih baik kita lekas mengejar tawanan."
"Untuk kau tangkap dan kau perkosa?"
Bi Hwa mengejek.
"Tidak. Demi Tuhan... tidak! Hanya, dia tawanan penting tidak boleh lolos..?"
Bi Hwa menggeleng kepala dan sementara itu, dari belakang sudah terdengar jejak kaki para Panglima yang melakukan pengejaran.
"Biarkan dia lolos, Suheng. Kalau dia tertawan, tentu dia akan membuka semua peristiwa yang terjadi. Kalau sudah begitu, bagaimana dengan cita-cita kita. Engkau telah membunuh Liu Kong, seorang perwira yang dipercaya..?"
Siak Lun sadar dan menjadi bingung.
"Habis, bagaimana baiknya? Mereka sudah datang..?"
"Bodoh! Bilang saja kalau Liu Kong yang membebaskan Siang Hwi, dan kau terpaksa membunuhnya, kemudian kami melakukan pengejaran tanpa hasil."
Ingin Siok Lun memeluk dan mencium kekasihnya yang cerdik ini. akan tetapi Bi Hwa menggerakkan tangan dan "Plakk!"
Pipi kanan Siak Lun telah ditamparnya. Pada saat itu, muncul Gin-San-Kwi dan Kim I Lahan, sedangkan dari belakang mereka tampak bukan pengawal dengan obor di tangan.
"Apa yang terjadi? Liu-Sicu tewas di kamar tahanan..?"
Gin-San-Kwi berkata, memandang penuh kecurigaan kepada Siok Lun yang telah memakai jubahnya kembali.
"Dia pengkhianat benar Lo-Ciangkun!"
Kata Siok Lun, suaranya bernada marah, karena ia marah dan benci sekali kepada Liu Kong yang sudah menggagalkannya.
"Dia telah membebaskan tawanan, agaknya karena gadis itu memang piauw-moinya. Tentu dia sudah bersama-sama lari pula kalau kau tidak muncul setelah agak terlambat, aku terpaksa menghadapinya dan tawanan lolos, akan tetapi pengkhianat itu telah berhasil kubunuh."
Dengan suara yang sedikitpun tidak ragu-ragu Siok Lun menceritakan peristiwa yang dikarangnya sesuai dengan petunjuk Bi Hwa. Para Panglima dan pengawal memaki-maki Liu Kong sebagai seorang pengkhianat.
"Tidak heran,"
Kata Kim I Lohan.
"Sejak kecil ia menjadi murid Bu Keng Liong, tentu saja ia merasa berat melihat Bu Keng Liong tewas dan puterinya ditawan. Untung Phoa-Sicu berhasil membunuhnya, memang dia sudah selayaknya mati, sungguhpun lebih baik lagi kalau ditangkap hidup-hidup untuk membuat pengakuannya."
Demikianlah, dalam peristiwa kematian Liu Kong itu, Siok Lun malah dipuji-puji oleh para Panglima dan rombongan itu dilanjutkan pada keesokan harinya menuju kata raja tanpa tawanannya yang sudah melarikan diri dan biarpun sampai pagi para pengawal melakukan pengejaran, namun hasilnya sia-sia. Siang Hwi telah lenyap seperti ditelan bumi dan hal ini memang tidak aneh karena daerah itu merupakan daerah yang luas penuh dengan hutan dan pegunungan, sedangkan gadis itu melarikan diri di waktu malam yang amat gelap. Bi Hwa sekali ini benar-benar marah kepada Siok Lun. Di dalam perjalanan ke Kota Raja, gadis ini menjadi pendiam sekali dan ketika Siok Lun berusaha membujuk dan mengambil hatinya. Bi Hwa hanya menjawab singkat.
"Kita ke Kota Raja membereskan tentang kedudukan kita. Kemudian kita harus pergi ke orang tuamu dan kita langsungkan pernikahan, aku telah menyerahkan segala-galanya kepadamu. Kau memnuhi permintaanku ini atau kita pisah sekarang dan selamanya engkau akan kuanggap sebagai musuhku!"
Siok Lun mati kutunya. Dia sebetulnya mencinta Sumoinya ini. Bukan hanya cinta nafsu, melainkan betul-betul ingin menjadi suami Sumoinya ini. Maka ia hanya mengangguk-angguk dan tidak berani membantah. Mereka duduk beristirahat di bawah pohon di pinggir sebuah hutan. Matahari bersinar terik sekali sehingga mereka berteduh di bawah pohon dan menghapus peluh yang mengucur deras.
"Twako, kenapa engkau murung dan termenung saja sejak kita pergi dari Hek-Kwi-San beberapa hari yang lalu?"
Mendengar pertanyaan ini, Kwan Bu hanya menghela napas dan menggeleng kepala.
"Twako, apakah kau marah kepadaku?"
Kwan Bu menoleh memandang wajah gadis itu, lalu menggeleng kepala dan menjawab lesu,
"Tidak, mengapa harus marah kepadamu?"
"Aku telah mempermainkanmu! Namaku sebenarnya adalah Phoa Giok Lan, dan aku mengaku pria kepadamu, akan tetapi aku tidak tahu bahwa engkau adalah Sute dari kakakku, aku seperti mempermainkanmu selama ini, Twako. Maukah kau memaafkan aku?"
Suara Giok Lan terdengar manja. Kwan Bu tersenyum, senyum yang duka.
"Aku tidak marah kepadamu, Lan-moi dan tidak perlu memaafkan, aku sudah tahu bahwa engkau adalah seorang wanita..?
"Heee"? Bagaimana bisa tahu dan sejak kapan?"
Giok Lan bertanya heran dan tak disadarinya ia memegang lengan Kwan Bu. Hal seperti ini memang sering dia lakukan ketika dia masih menjadi "Pemuda"
Akan tetapi kini bagi Kwan Bu terasa janggal dan membuatnya kikuk dan malu.
"Sejak di kuil Ban-Lok-Tang ketika kita menyerbu tempat Tong Kak Hosiang, Cheng l Lihiap menyebutmu Cici."
"Ah, kau nakal, Twako, Kenapa tidak bilang terus terang bahwa kau telah mengetahui penyamaranku?"
Kwan Bu tersenyum lagi. Kedukaannya berkurang kalau ia bercakap-cakap dengan gadis lincah ini, yang sekarang telah mencubit lengannya.
"Aku tidak ingin menyinggungmu, Lan-moi."
"Ah, engkau memang seorang gagah yang amat baik hati. Twako."
"Engkaulah yang baik budi, sudi membantuku mencari musuhku
"Kalau kau tidak marah kepadaku, kenapa murung?"
"Banyak terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan hati, Lan-moi."
"Yang terjadi di Hek-Kwi-San?"
Kwan Bu mengangguk.
"Kematian majikanmu Bu Keng Liong itu?"
Kwan Bu menarik napas panjang.
"Sungguh sayang sekali seorang pendekar yang berjiwa besar, aku mengenal betul wataknya, seorang Taihiap yang patut dikagumi. Sayang, dia tewas sebagai seorang pemberontak, dan bersekutu dengan perampok..."
Ia kembali menghela napas.
"Kematiannya merupakan salah satu diantara hal-hal yang tidak menyenangkan hatiku."
"Hemm... kalau begitu tentu karena gadis galak itu? Puteri Bu Keng Liong yang bernama... ah, siapa lagi namanya?"
"Siang Hwi, Bu Siang Hwi."
"Ya, betul. Tentu karena dia bukan? Dia amat mencintaimu Twako."
Kwan Bu memandang wajah gadis itu dengan mata terbelalak.
"Apa? ah, jangan main-main, Lan-moi. Dia... dia membenciku, seringkali memaki-makiku, memandang rendah kepadaku!"
Biarpun mulutnya berkata demikian namun di dalam hatinya Kwan Bu membayangkan kembali betapa mesra ketika ia mencium gadis yang pernah menjadi nona majikannya itu, dan jantungnya berdebar keras Siang Hwi mencintainya? Tak mungkin! Ketika dicium gadis itu seolah-olah tidak hanya menyerah, bahkan terasa di hatinya gadis itu membalasnya, akan tetapi gadis itu menyangkal bahkan menjatuhkan fitnah atas dirinya. Mengingat itu semua, kemarahannya timbul dan wajahnya muram kembali.
"Memang begitu pada lahirnya, akan tetapi pandang matanya kepadamu, dan... dan... dia cemburu dan iri kepadaku sehingga melihat aku bersamamu, dia mendadak saja tanpa alasan membenciku setengah mati! Mungkin dia tidak mencintaimu, akan tetapi kau... kau amat mencintainya, Twako. Dan kini kau merisaukan keadaannya karena dia menjadi yatim-piatu..?"
Kembali Kwan Bu terkejut, akan tetapi ketika mereka bertemu pandang ia melihat betapa pandang mata itu penuh pengertian, tidak mungkin dapat ia bohongi. Maka ia mengangguk dan menghela napas panjang.
"Memang, aku pernah mencinta, Lan-moi, akan tetapi... hemm,.. seorang yang tak berharga seperti aku, mana patut menjadi jodohnya? Bagaikan seekor kambing merindukan ujung cemara yang tinggi! aku seorang yang miskin, bodoh, dan hanya hidup bersama Ibuku yang tua dan miskin, seorang anak yang tidak berbakti karena sampai kini belum juga mampu menemukan musuh besar keluargaku. Seorang macam aku ini"
Siapa yang sudi memperhatikan?"
Teringat akan keadaannya, dan merasa betapa jantungnya seperti ditusuk-tusuk ketika membicarakan Siang Hwi, dua titik air mata membasahi pipinya.
"Twako... kenapa bicara seperti itu?"
Giak Lan mendekat, mengeluarkan saputangan dan menghapus dua titik air mata itu.
"Twako.. tidak tahukah engkau ataukah pura-pura tidak tahu? Bahwa ada seseorang yang amat memperhatikan dirimu, yang amat... cinta kepadamu...? Twako, lupakanlah Siang Hwi karena di sini ada Giok Lan yang sanggup mencintaimu sampai mati, yang setia dan yang akan membelamu dengan seluruh jiwa raganya.."
Gadis itu telah memaksa hatinya untuk membuka rahasia perasaanya, kini ia terengah-engah dan menangis. Sejenak Kwan Bu termenung. Tentu saja dia tidak buta. Tentu saja dia dapat menduga sedikit-sedikit bahwa kebaikan Giok Lan kepadanya tentu ada dasarnya, akan tetapi, mendengar pengakuan cinta yang terus terang, seperti itu, mendengar pengakuan kasih yang demikian mendalam, ia terkejut dan terharu sekali.
"Giok Lan... moi-moi..., ah, betapa mulia hatimu.."
Ia meraba kepala itu dan mengelus rambut yang hitam dan halus. Sentuhan ini memecahkan air mata Giok Lan sehingga tangisnya makin sesenggukan, bahkan gadis itu lalu menubruk dan menyembunyikan mukanya di dada Kwan Bu sambil menangis terisak-isak.
"Twako... Twako..!"
Ia berbisik, penuh keharuan, juga kebahagiaan. Kwan Bu adalah seorang muda yang teguh hatinya, dan seorang muda yang selalu menjaga tindakannya. Peristiwa yang dihadapinya kali ini sungguhpun amat mengguncang hatinya, namun tidak membuat ia kehilangan akal dan kesadaran. Ia membiarkan gadis itu melampiaskan perasaanya menangis di atas dadanya. Kemudian setelah tangis itu agak mereda, ia memegang pundak Giok Lan dan dengan halus mendorong gadis itu sambil berkata.
"Lan-moi, tenangkan hatimu dan marilah kita bicara dengan hati terbuka dan pikiran sadar."
Giok Lan sudah dapat menguasai hatinya. Ia mundur sedikit dan duduk menyusuti air matanya, kemudian memandang wajah pemuda itu dengan mata sayu dan muka kemerahan karena merasa malu dan jengah.
"Twako, kau tentu akan memandang rendah kepadaku setelah pengakuan tadi... tidak semestinya seorang gadis mengaku cinta...!!"
"Ah, tidak sama sekali, Lan-moi. Bahkan aku menjadi kagum akan kejujuranmu, aku menjadi terharu dan berterima kasih kepadamu bahwa seorang gadis seperti engkau ini, cantik-jelita, kaya-raya, lihai pula sudah sudi melimpahkan cinta kasih kepada seorang seperti aku..!"
"Ah, kalau begitu engkau juga... mencintaiku, Twako...?"
Gadis itu memandang dengan sinar mata sayu, penuh harapan. Kwan Bu merasa tidak tega untuk menolak begitu saja. Gadis ini amat cantik, dan amat baik terhadap dirinya. Tidaklah sukar untuk menjatuhkan cinta kasih kepada seorang gadis seperti Giok Lan ini akan tetapi ia tidak akan mampu melupakan Siang Hwi, takkan mampu melupakan penderitaan-penderitaan gadis bekas nona majikannya itu, dan terlebih lagi, tidak akan mampu ia melupakan dua kali ciumannya yang dihadiahi tamparan-tamparan oleh Siang Hwi.
"Lan-moi, aku akan menjadi seorang pemikat dan pembohong kalau aku mengaku cinta begitu saja kepadamu. aku suka kepadamu, hal ini sudah jelas. akan tetapi tentang cinta, kiranya... aku belum berhak menyatakannya kepada gadis manapun juga. Harap kau ketahui, moi-moi. aku seorang pemuda yang miskin dan bodoh, dan yang jelas sekali, aku tidak akan bicara tentang cinta dan jodoh sebelum aku berhenti menyari dan membalas dendam musuh besarku."
"Aku tahu engkau masih mencinta gadis she Bu..?"
Giok Lan berkata dengan wajah berduka. Kwan Bu memegang tangannya.
"Kurasa tidak moi-moi. Memang dahulu aku mencintainya, akan tetapi aku bukanlah seorang yang begitu bodoh sekali sehingga akan nekat saja mencinta seorang yang jelas membenciku, dan berkali-kali menghinakau. Tidak, kalau nona Bu membenciku. akupun akan berusaha sekuat tenaga menjauhinya, untuk melupakannya!"
Wajah Giok Lan berseri dan ia pun melompat bangun. Di sudut hatinya, ini menemukan harapan baru dan ia percaya bahwa dia akan dapat membuat Kwan Bu melupakan Siang Hwi, dan dia percaya bahwa akhirnya dia akan berhasil memiliki hati dan cinta kasih pemuda yang amat dikaguminya ini. Sambil tersenyum manis ia menarik bangun pemuda itu dan berkata,
"Ah, apa-apaan kita ini bicara tentang hal yang bukan-bukan? Kita lupa sedang melakukan perjalanan penting sekali. Mari, Twako. aku ingin cepat-cepat menjumpai Ibumu dan memboyongnya ke rumahku."
Kwan Bu melompat bangun dan seketika kekeruhan di wajahnyapun lenyap ketika ia teringat kepada Ibunya. Sudah lama ia meninggalkan Ibunya dan hatinya sudah amat merindukan orang tua itu. Ia ingin cepat-cepat pula bertemu dengan Ibunya, selain karena sudah rindu ingin menjemput Ibunya mengajak ke rumah Suhengnya,
Juga ada satu hal yang membuat ingin sekali ia bertemu Ibunya. Ia ingin sekali bertanya kepada Ibunya tentang Ayahnya. Ia telah dimaki orang sebgai anak haram dan dahulu ia tidak dapat bertanya kepada Ibunya karena orang tua itu keadaannya masih seperti orang bingung saking beratnya penderitaan batin yang ditanggungnya karena dahulu kehilangan puteranya. Kini, Kwan Bu mengharapkan akan mendapat penjelasan Ibunya tentang makian anak haram yang dilontarkan oleh keluarga Bu dan murid-muridnya kepadanya dahulu. Karena dua ekor kuda yang mereka dapatkan dari para pengawal adalah binatang-binatang pilihan yang kuat dan baik, maka perjalanan itu dapat dilanjutkan dengan cepat. Ketika mereka berdua memasuki dusun Kwi-cun, Kwan Bu menghentikan kudanya dan memandang dusun kecil itu dengan terharu.
"Inilah tempat tinggal keluarga Ibuku..? Katanya perlahan seperti kepada diri sendiri, Giok Lan memandang pemuda itu dan ia maklum bahwa dusun ini tentu saja menimbulkan kenang-kenangan tidak menyenangkan bagi pemuda itu, maka ia berkata,
"Akan tetapi kau bilang Ibumu berada di kuil Kwan-im-bio, lebih baik kita cepat-cepat ke sana Twako."
Diingatkan kepada Ibunya, Kwan Bu menjadi gembira lagi.
"Kuil itu berada di luar dusun. Mari..."
Mereka membalapkan kuda menuju kuil tua yang berada di tempat sunyi jauh di luar dusun Kwi-cun.
"Kwan Bu datang...!!"
Dua orang nikauw yang berada di luar kuil itu berseru girang ketika melihat masuknya pemuda ini menuntun kudanya bersama seorang "Pemuda"
Tampan yang juga menuntun kudanya, memasuki pekarangan kuil itu. Seorang diantara kedua nikauw itu lalu tergesa-gesa masuk ke dalam kuil dan tak lama kemudian muncullah Ibunya bersama Cheng ln Nikauw yang sudah tua. Ibunya juga kelihatan tua. padahal Bhe Ciok Kim pada waktu itu ia belum ada lima puluh tahun usianya, paling banyak empat puluh satu atau dua tahun.
"lbu...!"
Kwan Bu lari dan berlutut didepan Ibunya, memeluk kaki Ibunya yang berdiri tertegun, kemudian Ibu inipun mengangkat bangun puteranya, memeluk dan menangis saking girangnya.
"Kwan Bu...! Kwan Bu...! Betapa rinduku kepadamu anakku! Ibu dan anak itu bertangis-tangisan dan Giok Lan yang menyaksikan ini, tak dapat menahan air matanya sehingga para nikauw memandangnya dengan heran karena baru sekarang mereka melihat pemuda yang begitu ganteng akan tetapi juga begitu mudah menangis!
"Omitohud... syukur engkau datang, Kwan Bu. Ibumu setiap hari merindukanmu dan berduka sehingga kami khawatir kalau-kalau dia akan jatuh sakit. Sebaiknya kau ajak Ibumu masuk agar leluasa bercakap-cakap dan... Kongcu ini..?"
Cheng In Nikauw memandang kepada Giok Lan. Kwan Bu yang sudah melepaskan keharuannya tertawa.
"Dia ini bukan seorang Kongcu, melainkan seorang Siocia,"
Katanya kepada para nikauw yang menjadi bengong, kemudian mereka tersenyum dan maklum mengapa "Pemuda"
Itu begitu mudah mengucurkan air mata, kiranya seorang wanita! "Ibu, dia adalah nona Phoa Giok Lan, adik kandung Suhengku!"
Giok Lan cepat maju memberi hormat kepada Ibu Kwan Bu dan orang tua ini memandang penuh selidik, kemudian memegang tangan gadis itu dan menariknya.
"Tentu engkau seorang nona yang amat baik budi dan menjadi sahabat baik anakku. Marilah masuk, kita bicara di dalam."
Nyonya yang sebelah matanya buta itu membawa puteranya dan Giok Lan ke ruangan belakang di mana mereka bertiga dapat bercakap-cakap tanpa gangguan. Tadinya Ibunya memandang dengan sikap agak ragu-ragu kepada Giok Lan akan tetapi ia menjadi lega ketika puteranya berkata.
"Ibu, Lan-moi itu adalah seorang sahabat baik yang sudah mengetahui akan riwayat kita, bahkan dia membantuku dalam usahaku mencari musuh besar kita."
"Ah, terima kasih, nona. Engkau sungguh baik sekali."
Kata nyonya itu dengan girang, kemudian ia memegang tangan anaknya sambil bertanya penuh keterangan.
"Bagaimana dengan usahamu itu, anakku? Sudah berhasilkah engkau menemukan dia?"
Wajah Kwan Bu menjadi muram seketika, ia menggeleng kepala.
"Sudah banyak aku merantau dan mendengar, banyak pula orang-orang yang memiliki ciri-ciri sepeti musuh besar kita kudatangi, akan tetapi mereka itu bukan musuh besar kita, Ibu. Sungguh anakmu ini tidak ada gunanya. akan tetapi aku bersumpah akan terus mencarinya sampai dapat, Ibu."
Nyonya itu melepaskan tangan Kwan Bu dan kembali duduk bersandar di kursinya sambil menghela napas penuh kekecewaan. Kemudian ia berkata.
"Memang tidak mudah bagimu, anakku. Engkau selamanya belum pernah melihat mukanya dan hanya akulah seorang yang akan dapat mengenal dia, bila mana dan di manapun. Dan aku harus dapat membalas dendam ini. Engkau harus dapat menyeret dia ke depan kakiku untuk kubunuh dia! Sebelum si laknat itu mati di kakiku, aku takkan mau mati! aku tidak akan mau mati sebelum dapat membalas dendam kepada si jahanam!"
Nyonya itu bicara penuh semangat dan sudah bangkit berdiri dari kursinya mengepul tinju. Melihat keadaan nyonya ini, Giok Lan bergidik. Ia dapat melihat bahwa Ibu Kwan Bu ini dahulunya seorang wanita yang cantik jelita, dan mendengar cara bicaranya, tentulah bukan seorang dusun biasa. Kini ia melihat sinar maut memancar dari mata yang tinggal sebuah itu. napas yang panas seperti api melalui hidung yang berkembang-kempis dan teranglah oleh Giok Lan betapa hebat dendam yang diderita oleh Ibu Kwan Bu, akan tetapi dia dapat membayangkan betapa sakit hati nyonya itu kalau suaminya, orang tuanya dan seluruh keluarganya terbunuh oleh musuh besar itu. Karena maklum akan hal ini, Giok Lan menekan rasa ngerinya dan iapun menundukkan mukanya.
"Harap Ibu suka tenangkan hati dan pikiran. Aku bersumpah untuk mencari musuh kita sampai dapat dan menyeretnya ke depan kaki Ibu! Sekarang aku hanya datang untuk menjemputmu, Ibu. Aku hendak menitipkan Ibu di rumah Suheng, di rumah adik Phoa Giok Lan ini yang tinggal di kota Kam-Sin-Hu."
"Eh, mengapa begitu, Kwan Bu? Sudah baik-baik aku tinggal di Kwan-im-bio ini. bahkan aku sudah berjanji kepada ketua kuil ini bahwa kalau musuh besar kita sudah dapat kita balas. aku ingin menjadi nikouw di sini, mengabdi kepada Kwan Im Pauwsat. Selama dendam masih terkandung di hati, tidak mungkin aku dapat menjadi nikouw. Pula. Dengan menumpang di rumah nona ini, bukankah berarti kita akan mengganggu dan memberatkan beban keluarga?"
"Tidak sama sekali, Bibi. Kami akan senang sekali apabila Bibi sudi tinggal bersama kami di Kam-Sin-Hu. Semenjak kecil kami, yaitu saya dan Siak Lun koko telah ditinggal mati Ibu kami, sedangkan ketika masih kecil, kami berdua telah ditinggal pergi oleh Ayah yang berdagang di luar kota. Kalau Bibi sudi tinggal bersama kami, hitung-hitung kami mendapatkan seorang Ibu..."
Gadis itu berhenti dan mukanya berubah merah karena tanpa disengaja ia telah berbicara terlanjur.
"lbu. Aku sengaja datang menjemput Ibu karena hal ini didesak oleh Suheng dan juga nona Giok Lan ini. kalau Ibu tinggal bersama keluarga mereka, aku akan merasa tenang dan lapang, dapat mengerahkan seluruh tenaga dan mencurahkan seluruh perhatian untuk mencari musuh kita karena aku yakin bahwa keadaan Ibu terjamin di sana. Harap Ibu tidak menolak."
Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bhe Ciok kim menghela napas panjang. Melihat sikap dan mendengar suara anaknya, ia mengerti bahwa kalau ia berkeras menolak, tentu anaknya akan kecewa sekali dan sebagai seorang tua ia dapat maklum bahwa tentu "Ada apa-apa"
Antara puteranya dan nona yang cantik jelita ini.
"Baiklah, baiklah... Aku hanya menurut semua kehendakmu, Bu-ji."
Kwan Bu kelihatan girang dan demikian pula Giok Lan yang segera berkata.
"Perjalanan ini amat jauh dan tidak mungkin Ibumu harus menunggang kuda, Twako. Biar kucari sebuah kereta untuk Bibi!"
Tanpa menanti jawaban, gadis ini sudah bergegas keluar. Kwan Bu menghela napas dan membiarkannya saja karena memang Ibunya perlu sekali dengan kendaraan itu untuk melakukan perjalanan jauh.
"Ke mana dia hendak mencari kereta?"
"Jangan khawatir, Ibu. Nona Phoa Giok Lan adalah seorang yang kaya raya, tentu dia akan membeli sebuah kereta untuk Ibu. Dan kita tidak perlu merasa malu terhadap dia, Ibu. Percayalah, hubungan antara kami sudah seperti saudara sendiri, karena kami pernah berjuang sehidup semati menghadapi penjahat-penjahat. Maka akupun tidak merasa ragu-ragu lagi menitipkan Ibu di rumahnya, tidak pula merasa sungkan melihat dia hendak membeli sebuah kereta untuk Ibu."
Nyonya itu mengangguk-angguk.
"Kwan Bu, tahukah engkau bahwa nona itu amat mencintaimu?"
Kwan Bu tercenggang dan kagum akan ketajaman pandang mata Ibunya. Ia mengangguk.
"Aku tahu, Ibu. Bahkan dia telah menyatakan secara terus terang kepadaku?
"Dan engkau juga mencintainya?"
"Aku belum dapat memutuskannya dan aku tidak akan bicara tentang cinta dan perjodohan sebelum musuh besar kita dapat terbatas."
"Bagus, anakku. Engkau memang seorang anak yang baik. Aku girang mendengar keputusanmu ini dan kalau Thian mengijinkan kita membalasnya, agaknya gadis itu akan menjadi seorang isteri yang amat baik bagimu, Baru bertemu saja aku sudah suka kepadanya. Dia cantik jelita, cerdik, dan berwatak polos. Aku akan suka sekali mempunyai mantu seperti dia. Dia kelihatan lincah akan tetapi halus budi..!! tidak seperti nona Siang Hwi yang galak..."
Kwan Bu cepat menundukkan mukanya agar sinar muram yang menyelimuti wajahnya tidak tampak oleh Ibunya ketika ia mendengar disebutnya nama Siang Hwi. Cepat-cepat ia berkata untuk mengalihkan percakapan.
"Bolehkah aku sekarang mengetahui nama Ayahku, Ibu."
"Tidak boleh... tidak bisa kuberitahu kepadamu. Kwan Bu, dengarlah baik-baik. Semenjak malapetaka itu menimpa diriku, menimpa keluargaku yang semua terbunuh penjahat dan mataku yang sebelah dibikin buta, aku bersumpah takkan menyebut-nyebut nama seluruh keluargaku sebelum aku berhasil membalas sakit hati kepada musuh besar kita itu. Nah, sekarang kau mengerti dan jangan kau bertanya-tanya lagi sebelum kau mampu menyeret penjahat itu ke depan kakiku. Setelah dia tertangkap, baru akan kuberitahu kepadamu akan segala hal."
Tentu saja Kwan Bu menjadi terharu dan tidak berani lagi bertanya. Terdengar suara roda kereta dan ringkik kuda di depan kuil dan tak lama Giok Lan melangkah masuk dengan wajah berseri.
"Kereta sudah siap!"
Cheng In Nikouw mengangguk-angguk menyatakan persetujuannya ketika Kwan Bu dan Ibunya menjelaskan kehendak pemuda itu memboyong Ibunya ke Kam-Sin-Hu.
Dan berangkatlah kereta ditarik dua ekor kuda, dikusiri oleh Kwan Bu sendiri dan dikawal oleh Giok Lan yang menunggang kuda. Mengingat akan keadaan Ibunya yang lemah perjalanan dilakukan perlahan-lahan sambil menikmati tempat-tempat yang dilalui, bahkan untuk menyenangkan hati Ibu Kwan Bu, Giok Lan yang membawa bekal banyak uang itu sengaja mengajak orang tua ini pelesir, bermalam di penginapan-penginapan mewah dan makan di restoran-restoran besar sehingga Ibu pemuda itu makin suka kepada gadis ini. agak terhiburlah hati Nyonya itu yang selama ini bersembunyi di dalam kuil yang sunyi, Dengan perlindungan dua orang muda yang gagah perkasa ini perjalanan dilakukan dengan aman dan selamat karena tidak ada penjahat berani mengganggu.
"Nona Giok Lan, engkau seorang anak yang amat baik budi. Kami Ibu dan anak sungguh telah berhutang budi besar kepadamu,"
Kata Nyonya itu ketika mereka bermalam di sebuah penginapan besar. Mereka menyewa dua kamar, sekamar untuk Giok Lan dan Ibu Kwan Bu, sedangkan sekamar lagi untuk Kwan Bu.
"Ah, berkali-kali Bibi berkata demikian. Sesungguhnya, saya tidak melepas budi karena selain Kwan Bu koko adalah Sute dari kakakku sendiri sehingga boleh dibilang diantara kami adalah saudara seperguruan, juga Bu-koko telah menjadi sahabatku yang paling baik. Kalau saja Bibi tahu betapa beberapa kali saya terancam bahaya dalam pertempuran dan seandainya tidak ada Bu-koko yang menolong, tentu hari ini tidak ada Phoa Giok Lan lagi."
Gadis itu tersenyum manis dan Nyonya itu menjadi tertarik sekali, memegang tangan gadis itu dan berkata lirih,
"Engkau amat mencinta puteraku, bukan?"
Wajah Giok Lan menjadi merah sekali sampai ke leher dan telinganya, akan tetapi sambil menundukkan muka, ia tersenyum dan mengangguk.
"Percayalah, anakku. Setelah selesai urusan balas dendam, aku akan menekan Kwan Bu agar suka mengambil pilihanku menjadi isterinya, dan pilihanku bukan lain adalah engkau."
Giok Lan menjadi makin malu, akan tetapi hatinya menjadi besar sekali. Dengan suara lirih ia berbisik.
"Terima kasih, Bibi..."
Sementara itu, di dalam kamarnya. Kwan Bu gelisah karena lagi-lagi pikirannya diganggu oleh bayangan Siang Hwi.
Tak pernah ia dapat melupakan gadis itu dan ia menjadi berduka sekali mengingat akan nasib gadis itu. Betapa sengsara hati Siang Hwi. Melihat Ayahnya terbunuh, keluarganya terpaksa mengungsi dan mungkin sekarang gadis itupun sedang merana seorang diri. Apakah Siang Hwi kembali kepada Ibunya yang sudah mengungsi ke dusun entah di mana? Tak mungkin. Gadis itu amat keras hati, dan tentu tidak akan berhenti berusaha sebelum membalas dendam kematian Ayahnya. Kalau membalas kepada Suhengnya dan Sucinya, tentu gadis itu akan membuang tenaga sia-sia belaka, bahkan ada kemungkinan akan celaka di ujung pedang Suhengnya dan Sucinya yang lihai. Ataukah gadis itu melampiaskan dendam nya kepada para tokoh yang pro Kaisar dan menggabungkan diri dengan para pemberontak lainnya yang amat banyak jumlahnya. Teringat akan ini, Kwan Bu berduka sekali.
Betapapun sering gadis itu menghinanya, namun tetap saja ia merasa tidak mungkin baginya untuk
(Lanjut ke Jilid 12)
Dendam Si Anak Haram (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 12
melupakan atau membenci Siang Hwi. Karena terganggu perasaan duka ini, akhirnya Kwan Bu dapat juga tertidur dengan tubuh lemas. Akan tetapi, lewat tengah malam ia terbangun karena telinganya yang terlatih mendengar sesuatu yang tidak wajar dan mencurigakan. Cepat ia meloncat bangun, meniup padam lilin yang tadi lupa ia padamkan karena tertidur, kemudian sekali berkelebat ia telah melompat keluar melalui jendela kamarnya dan terus melayang naik ke atas genteng. Dari atas jelas terdengar olehnya suara Giok Lan yang bicara marah. Cepat ia menuju ke tempat itu dan ternyata dari atas tampak olehnya bayangan Giok Lan di dalam taman rumah penginapan itu, berhadapan dengan seorang laki-laki dan mereka sedang bicara dengan nada suara marah.
"Engkau maling ya?"
Terdengar Giok Lan memaki, dan agaknya bukan makian yang pertama kali.
"Kau berpura-pura menyatakan hendak betemu dan berbicara dengan Kwan Bu, itu hanya alasan belaka. Kalau mau bicara, hayo bicara kepadaku, sama juga. Engkau mau apa malam-malam berkeliaran seperti maling, hendak memasuki kamar Kwan Bu"!"
"Urusan ini tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain. Sudah kukatakan, nona""
"Kau bilang nona? Apakah matamu buta, tidak melihat bahwa aku seorang Kongcu?"
Bentak Giok Lan yang sengaja suaranya kini makin dibesarkan sehingga mau tidak mau Kwan Bu yang mengintai dari atas menjadi geli hatinya, dia tidak mau turun tangan lebih dulu mendengar suara laki-laki yang seperti dikenalnya itu, pula agaknya laki-laki itu tidak hendak memusuhi Giok Lan.
"Aku akan buta kalau tidak dapat mengenalmu nona. Kau bukan seorang Kongcu, bukan pula seorang laki-laki tampan, melainkan seorang gadis cantik jelita, akan tetapi galaknya melebihi kucing! Heran aku mengapa suka bersahabat dengan orang galak..?"
"Tutup mulutmu, laki-laki ceriwis!"
Giok Lan sudah mencabut pedangnya dan menusuk dada laki-laki itu. Akan tetapi dengan sigap laki-laki itu meloncat mundur sehingga tuBukan itu mengenai angin belaka. Laki-laki mengangkat kedua tangan ke atas dan berkata.
"Tahan, nona! Aku Kwee Cin bukan seorang laki-laki yang suka bermusuhan tanpa sebab, apalagi terhadap seorang wanita! Aku hendak bertemu dengan Bhe Kwan Bu, dan tidak ada sangkut pautnya denganmu!"
"Berurusan dengan dia sama denga berurusan dengan aku! Hayo majulah, aku tidak takut kepadamu!"
"Akupun tidak takut kepadamu, akan tetapi aku tidak mempunyai urusan denganmu."
Jawab laki-laki itu. Kwan Bu menjadi girang sekali ketika mendengar nama pemuda itu, ketika ia melihat bahwa Giok Lan dengan galak hendak menyerang lagi, ia sudah melayang turun sambil berkata.
"Lan-moi, tahan...!"
Giok Lan mengurungkan niatnya menyerang, akan tetapi ia memandang ke arah Kwee Cin dengan mata menyala merah. Kwan Bu lalu memegang lengannya dan berkata.
"Dia ini sahabatku, dia Kwee-Kongcu, murid mendiang Bu Taihiap."
"Bagus, kalau begitu dia ini perampok yang harus dibunuh!"
Giok Lan meronta dan hendak menerjang lagi, akan tetapi dicegah Kwan Bu yang memegang lengannya sedangkan Kwee Cin balas membentak,
"Siapa bilang aku perampok. Ngawur saja!"
"Engkau murid pemberontak Bu Keng Liong dan semua pemberontak adalah kawanan perampok!"
Bentak pula Giok Lan. Melihat keadaannya makin panas, Kwan Bu lalu berbisik kepada gadis itu.
"Lan-moi. Serahkan dia ini kepadaku. Kuminta kau cepat menjaga Ibuku, siapa tahu ada orang jahat yang akan memasuki kamarnya dan mengganggunya."
Giok Lan kaget. Memang tadi ia meninggalkan Nyonya itu sendirian di kamar, maka ia mengangguk dan meloncat pergi. Akan tetapi, ia membalikkan mukanya dan berkata kepada Kwan Bu.
"Koko, kau wakili aku memenggal lehernya dan jangan lupa untuk mengerat sepasang Bibirnya untukku sebagai hukuman kekurang ajarannya telah memaki aku seperti... kucing!"
"Wah, agaknya kau suka sekali kepada Bibirku, ya?"
Kwee Cin yang panas perutnya balas mengejek. Gadis itu marah dan membuat gerakan hendak membalik. Akan tetapi teringat akan Ibu Kwan Bu dan setelah membanting kakinya ia lalu meloncat ke dalam bangunan rumah penginapan itu.
"Saudara Kwee Cin! Betapa gembira hatiku setelah mengenal suaramu. Kukira siapa yang sedang ribut-ribut dengan nona Phoa Giok Lan. Ada keperluan apakah engkau malam-malam mencariku?"
Kwan Bu segera melangkah maju menghampiri murid bekas majikannya itu.
"Bhe Kwan Bu, aku tahu bahwa engkau bukanlah lawanku. Akan tetapi aku siap untuk mati di tanganmu demi dharma baktiku kepada mendiang Suhu! Aku datang mencarimu di Kwan-im-bio di Hwi-cun, mendengar akan keberangkatanmu dan mengejar sampai di sini, sengaja mencarimu untuk kutentang mengadu nyawa! Engkau telah menyebabkan kematian Suhu, menyebabkan Sumoi menderita dan karena aku tidak mempunyai apa-apa untuk membalas budi Suhu, biarlah kubalas dengan pembelaan disertai taruhan nyawaku!"
Ucapan Kwee Cin terdengar tegas dan diam-diam amat kagumlah hati Kwan Bu. Pemuda tampan di depannya ini benar-benar seorang yang jantan, alangkah jauh bedanya dengan Liu Kong! Akan tetapi kini pemuda ini menuduhnya dan menantangnya, ia menghela napas duka dan menjawab.
"Ah, saudara Kwee Cin, mengapa kau juga menjatuhkan fitnah atas diriku? Mengapa engkau juga menjadi seorang diantara mereka yang membenciku tanpa sebab? Engkau yang tadinya kuanggap satu-satunya orang disamping Bu Taihiap yang berpemandangan luas dan jujur? Mengapa kau mengatakan bahwa aku yang menjadi sebab kematian Bu Taihiap?"
"Kalau lain mulut yang mengatakan, mungkin aku akan berpikir sepuluh kali lebih dahulu sebelum mempercayainya, akan tetapi aku mendengar sendiri dari Sumoi yang hancur hatinya. Engkau yang menyerbu ke Hek-Kwi-San di mana mendiang Suhu dan kawan-kawannya berada dan engkau yang membawa datang para pengawal kerajaan sehingga mereka semua terbasmi habis, termasuk Suhu."
"Tahukah engkau mengapa nona Siang Hwi sendiri tidak sampai tewas?"
"Sumoi terlalu hancur hatinya sehingga tidak menceritakan tentang dirinya. Yang penting sekarang, katakanlah, Bhe Kwan Bu, sebagai seorang laki-laki sejati tidak benarkah apa yang diceritakan Sumoi kepadaku!"
"Memang benar, akan tetapi engkau mendengar dan mengetahui ekornya tidak mengetahui kepalanya. Aku memang datang menyerbu Hek-Kwi-San, akan tetapi sama sekali tidak mempunyai urusan dengan para pembe... eh, para pejuang yang berkumpul di sana. Bahkan tidak menyangka akan bertemu dengan mendiang Bu Taihiap yang entah bagaimana telah bekerjasama dengan mereka itu di sana. Aku datang ke Hek-Kwi-San untuk mencari Sin-To Hek-Kwi, karena aku kira dia adalah musuh besar keluargaku yang kucari-cari. Ternyata bukan, akan tetapi karena dia seorang kepala rampok yang jahat dan telah mencurangi aku, maka dia telah tewas di tanganku. Sungguh tak kusangka bahwa para pejuang itu, termasuk Bu Taihiap akan membela kepala rampok itu. Dan lebih-lebih tak kusangka adalah pada malam itu muncul para pengawal yang menyerbu ke Hek-Kwi-San sehingga terjadinya perang yang mengakibatkan tewasnya para pejuang, termasuk Bu Taihiap."
"Dan Suheng serta Sucimu menyertai para pengawal!"
"Benar, dan hal ini adalah urusan mereka. Aku sendiri tidak berhubungan dengan para pengawal. Mereka terbunuh, Bu-Siocia tertawan akan tetapi berhasil kumintakan kebebasan sehingga dia tidak terganggu."
"Perbuatan pura-pura! Sungguhpun Sumoi tidak pernah menceritakan bahwa dia dibebaskan karena permintaanmu, namun Sumoi menceritakan betapa dia telah ditawan kembali, dan hampir diperkosa Suhengmu yang rendah budi itu kalau saja tidak ditolong dan dibebaskan oleh Liu-Suheng sehingga Liu-Suheng mengorbankan nyawanya terbunuh oleh Suhengmu!"
"Aahhhh...!"
Kwan Bu benar-benar kaget sekali mendengar berita ini.
"Aku sama sekali tidak tahu akan hal itu!"
"Engkau tahu atau tidak bukanlah hal yang penting sekarang. Yang terpenting adalah penyelesaian di antara kita. Tidak ada pilihan lain bagiku, membunuhmu untuk membalas sakit hati Sumoi dan kematian Suhu, atau terbunuh oleh mu. Bersiaplah engkau, Be Kwan Bu!"
Kwan Bu menjadi berduka sekali.
"Kwee Cin engkau mencinta Bu Siang Hwi, bukan?" Merah muka Kwee Cin.
"Tidak! Kini dia adalah seperti saudara bagiku, seperti adikku. Semenjak kenyataannya bahwa dia mencinta engkau seorang. Aku sudah mengubur rasa cinta kasih masa kanak-kanak itu."
"Apa!! Dia mencintaiku? Hemm, berkali-kali dia menghinaku, menamparku...l"
"Hanya laki-laki yang buta saja yang tidak tahu akan cinta kasih seorang wanita. Kwan Bu. Dan engkau buta! Karena itu menyiksa dia, adikku, Sumoiku yang malang. Sudah lekas cabut pedangmu!"
"Tidak, aku tidak akan bermusuh denganmu Kwee Cin."
"Mau atau tidak. aku akan menyerangmu, tidak ada pilihan lain, membunuhmu atau terbunuh olehmu. Aku seorang laki-laki sejati, Kwan Bu!"
"Aku tahu dan aku mengenalmu, Kwee Cin. Akan tetapi aku tidak akan berusaha mengalahkanmu, engkau bukan musuhku."
Jawab Kwan Bu dengan sikap tenang.
"Kwan Bu, aku bukan seorang pengecut yang menyerang orang yang tidak melawan, akan tetapi demi bakti terhadap Suhu, aku terpaksa menyerangmu, dan kalau kau tetap tidak melawan, membunuhmu. Lihat pedang!"
Dengan gerakan cepat dan kuat Kwee Cin sudah menuBukan pedangnya ke arah dada Kwan Bu. Melihat penyerangan yang bukan main-main ini, Kwan Bu cepat mengelak ke kiri.
"Wuuutttm singggg...!!"
Kwee Cin maklum bahwa kepandaian Kwan Bu amat lihai dan dia tidak mungkin dapat menangkan murid Pat-jiu Lo-kai itu,
Akan tetapi ia tidak putus asa, bahkan menerjang dengan nekat sehingga begitu tuBukan pertama dielakkan, telah ia susul dengan menyambarkan pedangnya dari samping, membacok ke arah leher Kwan Bu. Kwan Bu mengelak lagi dan ia membiarkan Kwee Cin terus menghujankan serangannya yang selalu ia hindarkan dengan elakkan tanpa membalas sedikitpun juga. Kwee Cin menjadi amat kagum setelah lewat tiga puluh jurus ia menyerang sama sekali tidak ada hasilnya. Ia amat kagum akan gerakan Kwan Bu yang sigap dan gesit melebihi gerakan seekor burung walet sehingga amat sukar pedangnya mengikuti gerakan lawan ini. Selain kagum, ia juga penasaran dan karena sudah bulat tekadnya untuk membunuh atau dibunuh demi kebaktiannya kepada mendiang Suhunya, Kwee Cin menerjang terus, makin lama makin cepat.
"Kwee Cin, cukuplah main-main ini. Tak tahukah engkau bahwa caramu membalas dendam ini selain tidak tepat, juga tidak ada gunanya? Bu Taihiap tewas dalam sebuah peperangan, dan sesungguhnya adalah salahnya sendiri mengapa ia tidak dapat mempertahankan pendiriannya yang bebas seperti dahulu. Dia telah berfihak kepada pemberontak dan tewas dalam perang melawan pihak pengawal. Perlu apa disesalkan?"
"Tak usah banyak wawasan, Kwan Bu. Demi Suhu dan Sumoi, engkau yang tewas atau aku!"
Kwee Cin menerjang lagi. Kwan Bu mengenal watak Kwee Cin dan tahu bahwa Kwee Cin melakukan penyerangan dan desakan ini karena kebaktiannya, maka ia menjadi mendongkol berbareng terharu.
"Berhentilah"
Teriaknya lagi dan pada saat itu, Kwee Cin sudah menyerangnya dengan jurus In-ko bu-tong (Awan Naik Gunung Bu-Tong-San). Jurus ini merupakan jurus simpanan yang amat lihai dari ilmu pedang Bu-Tong-Pai. Sebagaimana diketahui, Bu Taihiap atau Bu Keng Liong adalah anak murid Bu-Tong-Pai maka tentu saja ilmu pedang yang ia turunkan kepada murid-muridnya adalah ilmu dari Bu-Tong-Pai. Jurus ini dilakukan dengan lambat, akan tetapi hanya tampaknya saja pedang itu menyerang amat lambat ke arah pusar lawan, akan tetapi dibalik kelambatan ini bersembunyi kecepatan yang terletak dalam perubahan ujung pedang karena ujung pedang yang menyerang pusar itu dapat dilanjutkan dengan serangan yang bertubi-tubi dari bawah terus ke atas!
Kwan Bu seorang yang sudah tinggi ilmunya dan dia bukan seorang sombong. Sejak tadi dia berlaku hati-hati dan tidak berani memandang rendah ilmu pedang lawan, maka sekali inipun ia akan berlaku hati-hati. Ia maklum bahwa Bu Taihiap adalah seorang ahli pedang yang amat lihai dan Kwee Cin seorang murid yang tekun, maka tidak mungkin serangan Kwee Cin yang lambat ini memang menjadi dasar atau sifat jurus serangannya. Ia mengelak dan tetap waspada menanti perkembangannya dan benar saja seperti yang diduganya, ujung pedang di tangan Kwee Cin menggetar dan dari gerakan lambat itu tiba-tiba muncul serangan bertubi-tubi yang amat cepatnya, membabat pinggang dilanjutkan dengan tuBukan ke ulu hati, lalu membabat leher dilanjutkan dengan tuBukan ke arah mata!
Serangan menusuk dan membabat secara bertubi-tubi dan bertingkat makin lama makin ke atas ini sukar sekali dihindarkan dan datangnya memang tak tersangka-sangka. Namun Kwan Bu yang sudah waspada itu membiarkan sampai gerakan terakhir jurus itu lewat dan dia hanya mengelak ke kanan kiri dengan menggunakan ginkang yang lebih tinggi sehingga gerakannya lebih cepat daripada gerakan lawan, kemudian tangannya bergerak mendorong dan dibarengi tendangan. Dorongan yang mengandung tenaga ginkang yang amat kuat itu membuat tubuh Kwee Cin terhuyung dan tendangan dari samping itu tepat mengenai pergelangan tangan yang memegang pedang sehingga pedangnya terlempar ke atas dan tahu-tahu sudah berada di tangan Kwan Bu!
"Bagus, kepandaianmu memang hebat, Kwan Bu. Nah, kau bunuhlah aku!"
Kwee Cin terhuyung menghampiri dan mengangkat dada, siap menerima tuBukan Kwan Bu dengan pedangnya sendiri.
"Bu-koko... toloonnggg...!"
Jerit suara Giok Lan ini mengagetkan Kwan Bu. Sekali tangannya bergerak, pedang rampasan itu menancap di atas tanah di depan Kwee Cin, kemudian Kwan Bu berkelebat lenyap karena tubuhnya sudah melesat amat cepatnya memasuki rumah penginapan. Jantungnya berdebar tegang karena kalau Giok Lan menjerit minta tolong seperti itu, pasti terjadi hal yang amat hebat. Ia berloncatan ke atas genteng kemudian turun ke sebelah belakang rumah penginapan. Dilihatnya banyak tamu yang ketakutan dan bersembunyi di kamar masing-masing, ada pula yang keluar akan tetapi berdiri dengan muka pucat di depan kamar. Kwan Bu melihat serombongan orang di ruangan belakang yang luas, yang dijadikan ruangan makan dan ruangan para tamu beristirahat.
Cepat ia melayang ke tempat itu dan tiba-tiba ia berdiri tegak dengan muka pucat dan mata terbelalak marah karena ia melihat betapa Ibunya dan Giok Lan telah menjadi tawanan belasan orang laki-laki yang kelihatan gagah, dikepalai seorang kakek berusia enam puluh tahun yang memakai pakaian Kitam dan yang memegang sebatang pedang telanjang di tangan kanan. Dengan pedang itu kakek hu menodong ke lambung Ibu Kwan Bu, sedangkan dua orang laki-laki lain yang usianya antara empat puluh tahun, menodongkan ujung pedang mereka di kanan kini punggung Giok Lan. Gadis ini yang agaknya tadi melakukan perlawanan, terluka sedikit lengannya dan kedua tangannya kini dibelenggu ke belakang! Namun gadis berpakaian pria ini sedikitpun tidak memperlihatkan muka takut, bahkan matanya bersinar-sinar penuh kemarahan ditujukan kepada orang-orang yang menawan dirinya dan Ibunya Kwan Bu.
"Bhe Kwan Bu manusia rendah budi! Menyerahlah, kalau melawan, Ibumu dan nona ini kami bunuh lebih dulu"
Bentak kakek pakaian hitam yang menodong lambung Ibunya. Lemas kembali seluruh urat syarat yang tadi sudah menegang penuh kesiapan di tubuh Kwan Bu. Betapapun akan cepatnya ia bergerak menyerang orang-orang yang menodong Ibunya dan Giok Lan. Tentu lebih cepat lagi pedang-pedang itu memasuki tubuh kedua orang tawanan itu. Ia menekan gelora hatinya dan bertanya, suaranya tetap tenang.
"Kalian siapakah dan apa kehendak kalian?"
Kakek itu rnemandangnya dengan rona muka penuh kebencian.
"Kami adalah pejuang dari Bu-Tong-Pai, dan karena Bu Keng Liong adalah tokoh dari Bu-Tong-Pai, maka dia masih terhitung Suteku. Engkau yang sudah menerima banyak budi dari Bu-Sute, telah mengkhianati dia dan menyebabkan banyak tokoh pejuang gugur. Untuk mempertanggungjawabkan dosamu, kau harus menjadi tawanan kami dan menghadapi hukuman dari Suhu dan para pimpinan pejuang. Menyerahlah dan Ibumu serta nona ini tidak akan mati di ujung pedang kami!"
Dada Kwan Bu terasa panas. Mengertilah ia kini bahwa ia telah kena dipancing keluar oleh Kwee Cin yang ternyata datang bersama banyak pejuang dan ia mengerti pula mengapa Giok Lan mudah tertawan. Kiranya kakek ini adalah Suheng dari Ayah Siang Hwi yang tentu memiliki ilmu kepandaian jauh lebih tinggi daripada Giok Lan. Ia menjadi marah sekali dan teringat ini, ia merasa menyesal mengapa tadi ia tidak bunuh saja Kwee Cin yang curang!
"Apakah seperti inilah kegagahan orang-orang Bu-Tong-Pai menghadapi lawan? Kalian datang begini banyak menghadapi aku seorang diri mengapa harus menggunakan siasat rendah dan curang mengganggu wanita yang tidak berdaya? Lepaskan mereka dan mari hadapi aku secara laki-laki!"
Kakek itu menjadi merah mukanya, akan tetapi sambil tersenyum ia menjawab.
"Kami para pejuang Bu-Tong-Pai bukanlah seorang yang haus darah seperti engkau, Bhe Kwan Bu. Gara-gara perbuatanmu mengakibatkan penyembelihan para pejuang di Hek-Kwi-San. Kami tahu bahwa sebagai murid Pat-jiu Lo-kai yang gagah perkasa, engkau merupakan lawan berat dan kalau kami menggunakan kekerasan, tentu terjadi pertandingan yang akan membawa akibat kematian banyak. Pula, kami tidak ingin menimbulkan kekacauan disini. Tidak ingin merugikan para tamu penginapan dan pemiliknya. Sudahlah, cepat kau menyerah atau terpaksa kami bunuh dua wanita ini sebelum menggunakan kekerasan terhadap dirimu."
"Bu-koko, sikat saja mereka ini! Jangan perdulikan aku, aku tidak takut mati! Perlihatkan kepada tikus-tikus ini bahwa kita orang-orang gagah yang tidak takut mati. Kita bukan pemberontak, bukan pula penjilat Kaisar, akan tetapi kalau mereka ini tetap menuduh yang bukan-bukan, lawan saja, aku yakin engkau pasti akan mampu membunuh tikus-tikus ini!"
Bentak Giok Lan sambil meronta-ronta, akan tetapi belenggu tangannya amat kuat sehingga ia tidak mampu membebaskan diri. Mendengar ucapan Giok Lan ini, timbul lagi semangat Kwan Bu dan sinar matanya sudah menjadi beringas. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara Ibunya.
"Kwan Bu. engkau menyerah sajalah. Aku sendiri tidak takut mati, aku sudah tua dan hidup lebih banyak menderita bagiku. Akan tetapi tidak boleh kau mengorbankan nyawa nona Phoa. Biarlah, kalau memang engkau tidak berdosa, mengapa takut menghadapi pengadilan?"
Mendengar ini, lemas lagi tubuh Kwan Bu. Kalau ia ingat betapa pedang-pedang itu akan membunuh Ibunya dan Giok Lan, memang tidak boleh ia mempergunakan kekerasan. Ia mendengar bahwa Bu-Tong-Pai adalah sebuah partai besar yang dipimpin oleh orang-orang berilmu yang tentu saja menjunjung tinggi keadilan. Ia tidak merasa bersalah, karena selama ini ia tidak mencampuri urusan perang antara mereka yang pro dan mereka yang anti Kaisar. Biarlah pengadilan yang memutuskan bahwa dia memang tidak bersalah dalam peristiwa di Hek-Kwi-San.
"Baiklah, aku menyerah, akan tetapi lebih dahulu aku hendak mengenal siapa engkau yang memimpin rombongan ini dan janjimu sebagai seorang gagah Bu-Tong-Pai bahwa setelah aku menyerah kalian tidak akan membunuh Ibuku dan nona Phoa Giok Lan!"
Kakek itu kelihatan lega. Dia sudah mendengar akan kelihaian pemuda ini, maka kalau pemuda itu suka menyerah, akan lebih mudah pelaksanaan tugasnya.
"Aku adalah Lauw Tik Hiong yang berjuluk Hek I Him Hiap (Pendekar Pedang Baju Hitam) murid Bu-Tong-Pai. Sebagai seorang kang-ouw yang menjunjung nama besar perguruan kami, aku bersumpah bahwa kalau engkau menyerah, Ibumu dan nona ini tidak akan kami bunuh!"
Kwan Bu menarik napas lega. Nama dan julukan tokoh Bu-Tong-Pai itu kiranya merupakan jaminan yang cukup kuat, maka ia lalu mengulurkan kedua tangannya sambil berkata tenang.
"Nah, belenggulah aku dan bebaskan mereka!"
Empat orang diantara mereka segera maju membawa sebuah belenggu besi yang amat kuat. Mereka menelikung lengan Kwan Bu ke belakang dan membalenggunya di bawah punggung.
Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ahh... Bu-koko... mengapa kau begitu bodoh? Tikus-tikus macam ini mana bisa dipercaya? Mereka itu pemberontak-pemberontak yang berkawan dengan perampok-perampok jahat! Tikus-tikus bau ini tentu akan membunuhmu... ah, koko...!!"
Giok Lan berteriak-teriak marah, akan tetapi Kwan Bu sudah dibelenggu dan akhirnya gadis itu hanya dapat terisak.
"Lauw-Enghiong, harap lekas bebaskan Ibuku dan nona Phoa."
"Lauw Tik Hiong mengejek. Nanti dulu. Bhe Kwan Bu. Memang aku sudah berjanji takkan membunuh mereka, dan janji-janji ini pasti kupenuhi. Akan tetapi, kami tidak akan puas kalau belum membalas kekejian nona kuntianak ini!"
"Apa...?"
Kwan Bu membentak.
"Dia tidak berdosa!"
"Ha-ha-ha! tidak berdosa?"
Suara serak ini keluar dari mulut seorang diantara mereka yang menodong Giok Lan.
"Dia ini adalah adik Suhengmu yang bernama Phoa Siok Lun dan tentu engkau tahu bahwa Suhengmu menjadi anjing penjilat Kaisar. Bukan begitu saja, akan tetapi Suhengmu telah banyak memperkosa gadis-gadis dusun dan pendekar-pendekar wanita pejuang! Kalau kakaknya seperti setan, tentu adiknya inipun seperti kuntianak! Kakaknya tukang menghina wanita, tukang memperkosa dan mendatangkan aib dan malu. Adiknyapun harus merasakan yang sama!"
Pedang di tangan laki-laki itupun bergerak dan.
"Bretttt...!!"
Jubah luar yang dipakai Giok Lan robek dari leher sampai ke perut, memperlihatkan pakaian dalam dari Sutera berwarna merah muda yang tipis sekali sehingga tampak membayangkan lekuk-lengkung tubuh yang indah bentuknya. Giok Lan meronta-ronta dah Kwan Bu membentak marah.
"Kalian manusia-manusia rendah...!!"
Akan tetapi dua orang telah mendorongnya dengan pedang, sedangkan Lauw Tik Hiong tertawa, lalu berkata.
"Jangan khawatir, Bhe Kwan Bu. Aku akan memegang janji. Janjiku hanya tidak membunuh mereka, bukan? Memang aku tidak akan membunuh Ibumu dan nona ini. Akan tetapi nona ini harus menebus kejahatan kakaknya, hendak kulihat ke mana akan ditaruh mukanya dan muka kakaknya kalau dia bertelanjang di depan umum. Ha-ha-ha!"
Ucapan yang keluar dari mulut Lauw Tik Hiong ini adalah ucapan yang timbul dari kebencian dan sakit hati karena sikap orang-orang Bu-Tong-Pai itu sama sekali tidak membayangkan silat-silat yang terdorong nafsu-nafsu sengaja atau yang sengaja berbuat kurang ajar yang memang sudah menjadi watak mereka.
Sesungguhnyapun mereka adalah orang-orang gagah Bu-Tong-Pai, pejuang-pejuang yang gigih. Kalau sekarang mereka melakukan hal yang kelihatan keji ini adalah karena mereka merasa amat sakit hati terhadap perbuatan-perbuatan biadab yang dilakukan Phoa Siok Lun terhadap wanita-wanita pejuang yang ditangkapnya. Kini pedang di tangan Lauw Tik Hiong sendiri yang bergerak ke depan dan kembali terdengar suara kain robek disusul jerit Giok Lan ketika ujung pedang itu dengan gerakan ahli sehingga sama sekali tidak melukai kulitnya telah merobek baju dalam, tepat di tengah-tengah dari leher sampai ke perut. Baju itu terbelah dan terbuka sehingga tampak bagian tengah dada, tampak lereng bukit dada dan perut yang berkulit putih halus! Pedang itu masih menuding dan agaknya hendak merobek pakaian bagian bawah.
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo