Ceritasilat Novel Online

Dendam Si Anak Haram 13


Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Bagian 13



Giok Lan sudah memejamkan matanya dan menundukkan mukanya, gadis ini hampir pingsan saking malunya, Kwan Bu hampir tak dapat menahan kemarahannya dan ia mulai mencari kesempatan untuk membebaskan diri. akan tetapi tidak hanya membebaskan diri sendiri karena dia baru mau melakukan hal ini kalau dia sudah yakin akan dapat menyelamatkan Ibunya dan nona itu juga. Lauw Tik Hiong yang hendak membalas penghinaan kepada adik Phoa Siok Lun ini, sengaja melakukan gerakan lambat-lambat, ujung pedangnya menyentuh bagian ikat pinggang celana yang menutupi bagian bawah tubuh gadis itu. Pada saat itu, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Kwee Cin sudah tiba di situ. Langsung pemuda ini menghadap Lauw Tik Hiong dan menjura penuh hormat.

   "Teecu murid kedua mendiang Suhu Bu Keng Liong menghadap Supek, dan mohon Supek mengabulkan permintaan teecu yang melaksanakan tugas pesanan Sumoi Bu Siang Hwi!"

   Lauw Tik Hiong menarik kembali pedangnya dari pinggang Giok Lan, memandang kepada Kwee Cin penuh selidik. Sementara itu, Kwan Bu yang melihat Kwee Cin, sudah tak dapat menahan kemarahannya.

   "Bagus, Kwee Cin! Engkau benar-benar manusia hina dina dan rendah budi! Kiranya engkau memancing aku keluar sehingga mereka ini dapat menangkap Ibuku dan nona Phoa. Kalau tahu begitu, tentu aku tidak akan mengingat perhubungan kita dahulu dan tadi sudah kuhancurkan kepalamu!"

   Kwee Cin menoleh kepadanya dan tersenyum mengejek.

   "Bhe Kwan Bu, engkau kacung yang sombong! Tidak ingatkah kau betapa dahulu kau melayani aku, engkau kacung hina dan engkau anak... haram...!!"

   Ucapan ini disusul jerit Ibu Kwan Bu yang menjadi lemas dan jatuh terguling dalam keadaan pingsan. Kwan Bu makin marah dan hendak meronta, namun lambungnya terancam ujung pedang yang runcing,

   "Eh, laki-laki pengecut. maling laknat. manusia hina dina melebihi kecoa! Jangan menghina Bu-koko!"

   Bentak Giok Lan dengan suara menjerit saking marahnya,

   "Kwee Cin, kalau mendiang Bu Taihiap melihat kelakuanmu saat ini, tentu beliau akan menangis sedih, Siapa mengira bahwa muridnya akan menjadi seorang macam engkau!"

   Kwan Bu berseru, terheran-heran mengapa kini Kwee Cin menjadi sejahat itu, baik perbuatannya maupun kata-katanya.

   "Jangan dengarkan ocehan mereka."

   Kata Lauw Tik Hiong yang kini tidak ragu-ragu lagi bahwa pemuda tampan ini memang benar murid keponakannya, murid dari Bu Keng Liong.

   "Jadi engkau murid Bu-Sute? Engkau bertemu dengan puteri Bu-Sute? Syukur kalau dia selamat, terlepas dari kekejian murid Pat-jiu Lo-kai, Apakah yang dipesankan oleh Sumoimu itu?"

   "Maaf, Supek Teecu tidak berani membantah janji Supek yang sudah Supek keluarkan untuk tidak membunuh... perempuan galak seperti kucing ini sehingga teecupun tidak akan membunuhnya, dan tidak membunuh si jahanam Kwan Bu yang akan dijadikan tawanan. Akan tetapi, mengingat akan dendam Sumoi dan Suhu, teecu harus memberi hukuman kepada mereka, harap Supek mengingat akan dendam Sumoi dan kematian Suhu, sudi mengabulkan permintaan teecu ini,"

   "Hemm, apa yang hendak kau lakukan?"

   "Sumoi Su Siang Hwi hampir saja diperkosa oleh Phoa Siok Lun, kakak perempuan galak ini, dan Suhu tewas gara-gara Kwan Bu, Maka teecu mohon perkenankan Supek untuk sekadar menghukum perempuan ini dan Kwan Bu,"

   Lauw Tik Hiong tersenyum dan mengangguk-angguk,

   "Asal tidak kau bunuh mereka, berarti aku tidak melanggar janji, Hukuman apa yang hendak engkau lakukan?"

   Kwee Cin berkata dengan suara dingin,

   "Kwan Bu seorang muda yang tidak mengenal budi, akan kubuntungkan sebelah telinganya dan akan kuberikan kepada Sumoi agar puas hatinya, adapun perempuan ini... hemmm... tunggu dulu..? Kwee Cin menghampiri Giok Lan dengan pedang di tangan, Giok Lan memandang penuh kemarahan dan kebencian, lalu meludah ke arah muka pemuda itu, Karena jarak mereka dekat dan perbuatan itu sama sekali tidak disangka-sangka, Kwee Cin terkena ludah pada pipi dan Bibirnya. Semua terkejut dan marah, akan tetapi Kwee Cin tersenyum mengejek, bahkan tidak mengusap ludah itu, ia seperti orang menimbang-nimbang, hukuman apa yang hendak ia jatuhkan, Sikapnya ini menambah kengerian di hati Kwan Bu dan Giok Lan,

   "Mukanya cantik, kalau digores dengan pedang melintang tentu akan buruk..?"

   Kwee Cin berkata perlahan dan berkata dengan suara dingin, mendatangkan kengerian bahkan di hati para murid Bu-Tong-Pai sekalipun, Agaknya pemuda ini sudah seperti gila oleh dendam,

   "Pedangku pemberian Suhu, pedang ini terlalu bersih untuk dikotori darahnya. Siapakah yang sudi memberi pinjam pedang kepada teecu?"

   Lauw Tik Hiong tertawa memberikan pedangnya,

   "Nih, pergunakan pedangku dan cepatlah. Pagi sudah hampir tiba dan kita harus cepat-cepat pergi dari sini."

   "Terima kasih!"

   Kwee Cin menerima pedang itu dan diterimanya dengan tangan kiri, Kini ia memegang dua batang pedang. menghampiri Giok Lan lagi dan dengan ujung pedang kiri ia membelai pipi itu. Terasa dingin oleh gadis itu yang menjadi pucat sekali.

   "Bu-koko... biarlah kita mati bersama..!"

   Gadis itu terisak dan melangkah mendekati Kwan Bu. diikuti oleh Kwee Cin yang masih menyeringai penuh kekejaman. Pedangnya bergerak dan tali pengikat rabut itu terlepas. kain penutup rambbut yang dijadikan penyamarannya dalam pakaian pria itu terbang sehingga rambutnya yang hitam panjang terurai.

   "Aku murid Bu Keng Liong. Bukan seorang pria suka menghina wanita. Biarlah kuambil saja rambutmu, hendak kulihat apakah tanpa rambut engkau masih mau main gagah-gagahan dan gaIak-galakan!"

   Kata Kwee Cin dan Giok Lan menjadi makin pucat.

   "Kwee Cin, kau manusia iblis! Bunuh saja kami. kami tidak takut!"

   Bentak Kwan Bu. Kwee Cin menggerakan sepasang pedangnya dengan gerakan yang indah, lalu berkata kepada Lauw Tik Hiong.

   "Tentu Supek mengenal jurus ini!"

   Ia menggerakkan dua pedang itu sehingga tampak dua gulungan sinar yang saling melingkar.

   "Ha-ha, tidak percuma kau menjadi murid Bu-Sute... jurusmu Siang-Heng-jip-hai (Sepasang Naga Masuk Lautan) itu Cukup indah. akan tetapi apa maksudmu?"

   "Teecu akan menggunakan jurus ini untuk sekaligus menggunduli rambut perempuan kucing ini dan membuntungi telinga Kwan Bu. Biar mereka mengenal kelihaian ilmu pedang Bu-Tong-Pai!"

   Semua orang memandang dengan hati tegang dan ngeri melihat sikap Kwee Cin. yang benar-benar seperti orang gila itu. Kwan Bu merasa lega bahwa Ibunya masih rebah pingsan karena dia tidak ingin Ibunya menyaksikan dia dan Giok Lan disiksa.

   Akan tetapi ia mencatat nama Kwee Cin sebagai seorang pertama yang kelak akan dia pecahkan kepalanya dengan kedua tangannya sendiri! Sambil terkekeh mengejek. Kwee Cin sudah bersilat dan dengan tangkas meloncat ke belakang Kwan Bu dan Giok Lan yang sedang berdiri berdempetan karena gadis itu merapatkan tubuhnya yang setengah telanjang itu kepada Kwan Bu sambil meramkan matanya, ingin mati bersama pemuda ini. Kwee Cin mengangkat kedua pedangnya. pedang kiri milik Lauw Tik Hiong itu di atas kepala Giok Lan dan yang rambutnya terurai, pedangnya sendiri di atas kepala Kwan Bu, kemudian ia mengeluarkan suara pekik nyaring dan kedua pedang itu menyambar turun. Kwan Bu menggigit Bibirnya untuk menahan rasa nyeri apabila pedang itu membuntungkan daun telinganya.

   "Cring-cring...!!"

   Pedang itu adalah pedang pusaka dan sekali babat saja putuslah belenggu tangan Kwan Bu, dan pedang kirinya bukan membabat rambut Giok Lan, melainkan membabat putus belenggu tangan gadis itu! Semua orang terbelalak kaget dan heran. Kesempatan ini digunakan Kwee Cin untuk berbisik,

   "Kwan Bu. Ibumu... cepat! Nona, ini pedang untukmu"!"

   Ia menyerahkan pedang milik Lauw Tik Hiong kepada Giok Lan yang mula-mula terbelalak akan tetapi segera nona ini dengan isak tertahan menyambut pedang itu.

   "Kwee Cin, murid durhaka, manusia terkutuk!"

   Lauw Tik Hiong dan saudara-saudaranya menerjang maju, akan tetapi Kwee Cin dan Giok Lan sudah memutar pedang mereka melindungi diri. Kwan Bu berkelebat ke depan, empat orang yang menghalanginya roboh terpelanting dan bagaikan seekor burung garuda menyambar tubuh Ibunya, dipondong dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya setiap ia dorongkan tentu merobohkan seorang pengeroyok.

   "Cepat, ikut aku! Kereta telah kusiapkan!"

   Kembali Kwee Cin berseru keras. Pemuda ini maklum bahwa kalau Kwan Bu rnengamuk terus murid-murid Bu-Tong-Pai tentu akan tewas semua dan hal ini sama sekali tidak ia kehendaki. Giok Lan dan Kwan Bu khu sudah menumpahkan seluruh kepercayaannya kepada pemuda yang luar biasa itu. mereka meloncat mengikuti Kwee Cin sambil merobohkan orang-orang yang menghalang di jalan, keduanya sudah berada dijalan samping rumah penginapan itu, bahkan kuda tunggangan Kwan Bu pun sudah siap. Kiranya Kwee Cin tadi mempersiapkan semua itu sebelum ia muncul dan menolong Kwan Bu dan Giok Lan.

   "Kwee Cin, kau jalankan kereta. Giok Lan, kau menjaga kereta, aku akan mengawal!"

   Kini Kwan Bu yang sudah menemukan kembali ketenangannya memberi perintah yang segera diturut oleh dua temannya. Nyonya Bhe direbahkan di dalam kereta, dijaga oleh Giok Lan. Kwee Cin melompat ke tempat kusir dan membalapkan kuda-kuda penarik kereta, sedangkan Kwan Bu naik kudanya mengawal di belakang.

   Mula-mula memang ada murid-murid Bu-Tong-Pai dikepalai Lauw Tik Hiong melakukan pengejaran, akan tetapi setelah dengan amat mudahnya, dengan tendangan kaki dan Dorongan tangan Kwan Bu merobohkan orang-orang terdepan tanpa membunuh mereka, murid-murid Bu-Tong-Pai tidak berani melanjutkan pengejaran mereka. Matahari telah naik tinggi ketika kereta yang membalap dan melarikan diri itu telah jauh meninggalkan kota itu. Mereka tiba di jalanan yang sunyi di antara pegunungan, dan pada sebuah perempatan jalan, tiba-tiba Kwee Cin menghentikan kereta itu. Lalu meloncat turun dari atas kereta. Kwan Bu juga meloncat turun dari kudanya. sedangkan Giok Lan yang sudah lega hatinya karena Ibu Kwan Bu sudah siuman dan kini duduk tertidur, juga meloncat keluar.

   Mereka bertiga berdiri berhadapan dan sesaat lamanya mereka hanya beradu pandang, Giok Lan memegangi jubah luar milik Kwee Cin yang tadi oleh pemuda itu dilemparkan kepada Giok Lan di atas kereta tanpa mengucapkan sepatah kata. Giok Lan juga tidak bicara apa-apa hanya cepat menyelimutkan jubah itu untuk menutupi pakaiannya yang robek. Kini karena meloncat turun, jubah terbuka maka cepat-cepat ia menutupkannya dan memeganginya dengan tangan kiri, matanya memandang kepada Kwee Cin. Malam tadi karena keadaan agak gelap, tidak dapat ia melihat jelas wajah pemuda itu, juga di dalam kereta ia tidak dapat melihat Kwee Cin yang duduk di depan. Setelah kini ia memandang wajah itu, ia harus mengakui bahwa Kwee Cin adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah bermuka putih dan sikapnya amat halus.

   "Kwan Bu, maafkan aku yang tadinya gelap mata oleh kematian Suhu dan kesengsaraan Sumoi. aku sadar, apalagi setelah mendengar percakapanmu dengan para tokoh Bu-Tong-Pai, bahwa sesungguhnya engkau tidak bersalah dalam peristiwa di Hek-Kwi-San itu."

   Kwan Bu menjadi terharu, melangkah maju dan memegang pundak Kwee Cin.

   "Bukan engkau yang harus minta maaf, bahkan akulah, Kwee Cin! Akupun tadi salah sangka terhadapmu, mengira engkau memancingku dan sengaja membawa orang-orang Bu-Tong-Pai untuk mencelakakan kami. Sungguh sama benar peristiwa tadi dengan yang terjadi di Hek-Kwi-San. Engkau muncul tadi bersamaan dengan orang-orang Bu-Tong-Pai sehingga seolah-olah engkaulah yang membawa mereka datang. Demikian pula di Hek-Kwi-San dahulu. Aku datang dengan urusan pribadi, siapa tahu secara kebetulan dan dalam waktu yang sama pula muncul pasukan pengawal sehingga seolah-olah aku yang membawa pasukan pengawal itu! aku tidak menyalahkan engkau yang tentu menduga sama pula. Tidak, aku sudah mengenalmu, karena itu aku tidak suka bermusuh denganmu. tidak mau melawanmu. aku bahkan bersyukur dan berterima kasih sekali kepadamu, Kwee Cin. Kalau tidak ada engkau, ihhh... ngeri aku membayangkan! Budimu sungguh besar sekali!"

   Kwan Bu bergidik dan memandang kepada Giok Lan.

   "Ah, kau hanya bertindak sesuai dengan kewajibanku seperti yang diajarkan Suhu. Kalian tidak bersalah dan menghadapi penghinaan, bagaimana aku bisa mendiamkan saja? Tak perlu berterima kasih dan agaknya lebih baik di sini kita berpisah."

   "Engkau telah berlaku baik sekali terhadap kami Kwee Enghiong. Mengapa? Mengapa kau mengorbankan dirimu menolong kami?"

   Tiba-tiba Giok Lan bertanya sambil memandang dengan sinar mata penuh selidik. Kwee Cin tersenyum.

   "Ah, mengorbankan apa? Hanya biasa saja..."

   "Engkau tidak bisa berpura-pura kepadaku, Kwee Enghiong. aku tahu bahwa perbuatanmu menolong kami tadi merupakan sebuah perbuatan murtad dan khianat dari seorang murid Bu-Tong-Pai terhadap Supeknya, terhadap perguruannyal"

   "Benar sekali ucapan Lan-moi, Kwee Cin. Engkau telah melakukan hal yang berbahaya sekali karena kau tentu akan dimusuhi oleh perguruanmu sendiri, dimusuhi oleh Bu-Tong-Pai, dianggap murtad dan berkhianat. Ah, betapa besar pengorbanan yang kau lakukan untuk kami, Kwee Cin..."

   "Biarlah, akan kupertanggungjawabkan semua perbuatanku sendiri. Melihat engkau ditawan. masih tidak mengkhawatirkan, akan tetapi melihat betapa mereka menghina nona Phoa... hemm, biar guruku sendiri akan kulawan! Sudahlah, selamat tinggal..!"

   Setelah berkata demikian, dengan muka merah Kwee Cin membalikkan tubuhnya dan hendak pergi.

   "Kwee Enghiong..., tunggu dulu!"

   Suara Giok Lan ini membuat Kwee Cin tiba-tiba berhenti dan menengok.

   "Jubahmu ini...!"

   Giok Lan membuat gerakan hendak membuka jubah sehingga cepat-cepat Kwee Cin berkata,

   "Biarlah! Engkau memerlukannya, Nona"

   "Tapi... bagaimana aku akan mengembalikannya?"

   "Tak usah dikembalikan."

   "Mana mungkin? lni jubahmu, biar kupinjam...!"

   "Baiklah. Kau pinjam dan kelak kalau kita ada jodoh bertemu kembali, boleh kau kembalikan kepadaku."

   Kwee Cin membalikkan tubuh lagi hendak pergi.

   "Kwee Enghiong...!"

   Kembali suara ini membuat ia menengok.

   "Maafkan aku telah memaki-makimu tadi, menyebutmu pengecut, laknat dan... dan... seperti kecoa...!"

   Wajah gadis itu menjadi merah sekali. Kwee Cin tersenyum dan pandang matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri.

   "Sudah sepantasnya, nona. karena akupun memakimu seperti... seperti kucing galak! Jadi... sama-sama maaf!"

   "Akan tetapi aku... aku telah meludahi mukamu... ah, betapa besar kesalahanku kepadamu..?"

   Senyum di wajah pemuda itu melebar. Ia meraba pipi dan Bibirnya yang tadi diludahi dan yang sekarang tentu saja sudah tidak ada bekasnya lagi.

   "Tidak mengapa nona dan... dan ludahmu... tidak kotor. Selamat tinggal!"

   Pemuda itu lalu lari cepat meninggalkan dua orang muda yang memandang sampai bayangannya lenyap di sebuah tikungan.

   "Semenjak dia kecil, dia seorang jantan yang sangat baik...! Patut dia menjadi murid Bu Taihiap seorang pemuda pilihan!"

   Kata Kwan Bu perlahan.

   "Dia hebat...!"

   Giok Lan menghela napas panjang.

   "Dan dia jatuh cinta kepadamu, Lan-moi...!"

   Kembali Giok Lan menghela napas lalu berkata lirih.

   "Dia hebat, akan tetapi engkau lebih hebat, koko dan tentang cinta..?"

   "Sudahlah, mari kita cepat melanjutkan perjalanan agar cepat sampai di rumahmu. Sebelum sampai di sana aku akan selalu merasa tidak tenteram. Siapa tahu mereka itu masih tidak terima dan melakukan pengejaran."

   Kwan Bu cepat memotong ucapan gadis itu karena tidak ingin ia bicara tentang cinta di saat itu.

   Giok Lan kini mengusiri kereta dan Kwan Bu mengawal di atas kudanya. Hatinya penuh rasa syukur, tidak saja bahwa mereka telah terbebas daripada bencana hebat, akan tetapi terutama sekali bahwa kepercayaannya terhadap Kwee Cin ternyata tidak meleset, membuat ia makin suka dan kagum kepada murid bekas majikannya itu. Beberapa hari kemudian, tibalah mereka di kota Kam-Sin-Hu. Dengan wajah gembira Giok Lan langsung mengemudikan kereta sampai ke depan sebuah gedung besar yang berpekarangan lebar sekali Kwan Bu memandang dengan kagum dan juga menjadi sungkan. Tak disangkanya bahwa rumah Giok Lan demikian besar dan mewah, keluarga gadis ini demikian kaya raya! Begitu kereta memasuki halaman, lima orang pelayan menyambut dengan penuh kegembiraan.

   "Siocia pulang... Siocia pulang...!"

   Kata mereka sambil memberi hormat dan cepat membantu nona itu, ada yang memegang kendali kuda, ada yang membantu Nyonya Bhe turun dari kereta. Pada saat itu, dari dalam muncul seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik yang tertawa-tawa gembira.

   "Koko, engkau sudah pulang?"

   Giok Lan berseru girang.

   "Suheng dan Suci...!"

   Kwan Bu juga berseru dan memberi hormat, namun ada tidak enak dalam hatinya ketika ia melihat Suhengnya. Teringat ia akan ucapan Kwee Cin tentang Suhengnya itu yang mengatakan bahwa Siok Lun telah menangkap lagi Siang Hwi dan hampir memperkosanya sehingga Liu Kong menolong gadis itu dan Liu Kong akhirnya tewas di tangan Suhengnya ini. Tewasnya Liu Kong di tangan Suhengnya tidak dia perdulikan karena ia tahu bahwa Liu Kong bukan seorang manusia baik-baik, akan tetapi mendengar bahwa Suhengnya akan memperkosa Siang Hwi, benar-benar menyakitkan hatinya. Ia akan mencari kesempatan untuk menanyakan hal itu kepada Suheng nya.

   "Bagus, engkau sudah datang bersama Ibumu, Sute?"

   Kata Siok Lun dan pemuda inipun bersama Liem Bi Hwa lalu memberi hormat kepada Nyonya Bhe yang dibalas oleh Ibu Kwan Bu dengan ramah.

   "Ayah sedang keluar kota, sibuk mengirim undangan..."

   Kata Siok Lun kepada Giok Lan.

   "Undangan? Undangan untuk apa?"

   Tanya Giok Lan. Siok Lun tersenyum memandang dengan lirikan ke arah Sumoinya.

   "Untuk pesta pernikahan kami..."

   "Ahh, koko... aku girang sekali!"

   Giok Lan merangkul Bi Hwa yang menjadi merah mukanya. Mendengar ini, Kwan Bu melangkah maju dan menjura,

   "Suheng dan Suci, terimalah ucapan selamat dariku!"

   "Terima kasih, Sute,"

   Jawab Siok Lun dan ketika Kwan Bu memandang kepada Sucinya yang berangkulan dengan Giok Lan, ia melihat sesuatu yang aneh, seolah-olah ia melihat sinar mata yang suram muram dari sepasang mata Sucinya itu. akan tetapi tentu saja Kwan Bu tidak berkata apa-apa dan mengira bahwa dia salah lihat.

   "Bibi, silakan mengaso di dalam. Ayah sedang keluar kota, mari kutunjukkan kamar Bibi!"

   Kata Giok Lan sambil membimbing tangan Ibu Kwan Bu, diajak masuk ke dalam, duduk di ruangan depan bersama Siok Lun dan Bi Hwa.

   "Sute, aku dan Sucimu telah diterima oleh Kaisar sendiri dan diberi kedudukan lumayan. Setelah selesai pernikahan kami di sini, kami akan kembali ke Kota Raja melakukan tugas kami. kuharap Sute dapat ikut dan mencari kedudukan di sana. Dan... kulihat... eh, tidak betulkah kataku dahulu bahwa engkau akan tertarik kalau melihat adikku? Siapa kira, malah telah berkenalan dan mejadi sahabat baik, ha-ha-ha! mudah-mudahan saja kelak cepat menyebutmu adik ipar!"

   Siok Lun tertawa bergelak dan Kwan Bu yang merasa hatinya tidak senang itu terpaksa ikut tersenyum. Bi Hwa sendiri kelihatannya pendiam dan tidak banyak bicara, bahkan beberapa kali Kwan Bu mempergoki Sucinya itu sedang memandang jauh ke depan seperti orang melamun. Diam-diam ia merasa heran sekali. Mengapa Sucinya yang menghadapi pernikahan dengan Suhengnya itu kelihatan tidak gembira?

   Iapun ingin bertanya kepada Suheng dan Sucinya apakah untuk pernikahan itu mereka tidak minta perkenan atau doa restu lebih dahulu dari guru mereka? akan tetapi karena urusan pribadi, ia merasa tidak enak kalau mengajukan pertanyaan di saat itu. Tak lama kemudian Giok Lan muncul keluar dan kini gadis ini telah bertukar pakaian sehingga makin jelas tampak kecantikannya yang mempesonakan. Akan tetapi hati Kwan Bu tetap tidak enak dan tidak senang, sungguhpun harus ia akui bahwa Giok Lan adalah gadis yang cantik sekali, cantik manis dan sepanjang pengetahuannya, memliki watak yang amat baik. Kalau dipertimbangkan, dialah yang akan untung besar kalau sampai menjadi suami Giok Lan, akan tetapi entah bagaimana, kalau teringat kepada Siang Hwi, kegembiraannya lenyap. Setelah melempar senyum manis kepada Kwan Bu gadis itu duduk, ia menghela napas panjang dan berkata.

   "Bibi merasa senang di sini, terutama sekali ia merasa amat senang di dalam taman begitu melihat taman Bibi lalu beristirahat di sana, senang sekali Bibi melihat bunga bwee yang sedang mekar sambil minum teh."

   Gadis itu tersenyum dan kelihatannya puas sekali bahwa Ibu Kwan Bu kelihatan senang dan betah berada di rumah itu. Pada saat itu tiba-tiba terdengar seruan orang dari luar,

   "Bagus sekali, semua anjing jantan betina berkumpul di sini!"

   Dan berkelebat bayangan orang. Ketika mereka memandang, ternyata di luar ruangan dalam itu, di atas pekarangan depan telah berdiri seorang gadis cantik yang pakaiannya kusut, rambutnya tak tersisir rapi, wajahnya membayangkan kemurkaan dan kedukaan, tangannya memegang pedang telanjang dan sinar matanya dengan penuh kebencian dan marah yang meluap-luap ditujukan kepada empat orang muda yang sedang duduk di ruangan itu. Betapa kaget hati Kwan Bu ketika mengenali gadis itu yang bukan lain adalah Siang Hwi! Wajah gadis itu agak pucat dan sinar matanya yang berapi-api itu selain memancarkan cahaya kemerahan dan kebencian, juga terselimut bayangan duka yang amat dalam.

   "Siang Hwi...!"

   Tak terasa pula Kwan Bu berkata lirih, hanya seperti orang berbisik. akan tetapi Giok Lan yang memperhatikannya seolah-olah mendengar jeritan keluar bersamaan dengan bisikan itu. akan tetapi Bu Siang Hwi, gadis itu, sama sekali tidak memperdulikannya. bahkan seolah-olah tidak melihatnya karena sinar mata gadis itu memandang ke arah Siok Lun dan Bi Hwa, kemudian ia menudingkan pedangnya ke arah dua orang itu dan membentak.

   "Sepasang anjing hina! aku Bu Siang Hwi datang untuk membalas kematian Ayahku! Turunlah dan bereskan perhitungan diantara kita!"

   "Nona Bu... jangan...!!"

   Kwan Bu berseru dengan hati penuh kegelisahan karena dia maklum bahwa gadis ini bukanlah tandingan Suheng dan Sucinya, apalagi kalau harus menghadapi keduanya.

   "Jangan begitu, nona. Ayahmu meninggal dalam perang tidak ada permusuhan pribadi dengan Suheng dan Suci..?"

   
Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Siapa butuh keteranganmu? Kalau engkau membela Suci dan Suhengmu, kau pun boleh maju. Aku bu Siang Hwi bukanlah seorang pengecut, bukan penakut yang mudah saja tunduk kepada orang-orang lain karena takut! aku tidak takut mati! Hayo, kalian bertiga murid-murid Pat-jiu Lo-kai boleh maju semua mengeroyokku dan membuktikan nama besar Pat-jiu Lo-kai hanya nama yang kosong belaka, memiliki murid-murid yang jahat dan keji!"

   "Eh-eh, engkau ini nona galak amat, datang-datang memaki orang. apa sih yang kau andalkan?"

   Bentak Giok Lan dengan marah sambil menudingkan telunjuknya.

   "Hemm, engkau perempuan tak tahu malu! Engkaupun boleh membela kekasihmu dan mengeroyokku, siapa takut menghadapi manusia-manusia rendah seperti anjing macam kalian ini?"

   Siang Hwi membentak makin marah lagi, pedangya dikelebatkan di depan muka. Hati Kwan Bu seperti ditusuk rasanya.

   Melihat nona ini, bekas nona majikannya itu yang dahulu selalu bersih dan rapi kini rambutnya kusut pakaiannya tidak rapi dan wajahnya suram muram membayangkan kedukaan hebat, ia menjadi kasihan dan juga khawatir karena gadis ini datang menantang orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian jauh lebih tinggi dari padanya. Kwan Bu melihat sinar mata Suhengnya berseri dan mengeluarkan kilatan aneh ketika sinar mata itu menjelajahi seluruh tubuh Siang Hwi, sinar mata yang seolah-olah menggerayangi tubuh itu, Siok Lun sama sekali tidak keliahatan marah, malah tersenyum-senyum. Juga Bi Hwa tidak kelihatan marah, hanya memandang tak acuh dengan sinar mata dingin. Hanya Giok Lan yang merah mukanya saking marah.

   "Bedebah kalian! Majulah atau akan kuserbu rumah ini!"

   Bentak lagi Siang Hwi yang sudah tak dapat mengendalikan kemarahannya. Melihat Kwan Bu di situ, hatinya menjadi makin marah dan makin nekat, kalau tidak dapat membalas kematian Ayahnya ia ingin mati saja di tangan musuh-musuh besarnya di saat itu juga! Seorang laki-laki tinggi besar berpakaian mewah, dengan kumis dan jenggot terpelihara baik-baik, berusia lima puluh tahun, melangkah lebar dari luar dan segera bertanya. suaranya nyaring dan besar.

   "Ah, ada apakah ribut-ribut ini?"

   Semua mata memandang dan Kwan Bu melihat betapa kakek itu berwajah gagah dan tampan, memandang kepadanya dan kepada Siang Hwi yang tak dikenalnya.

   "Ayah, bocah setan ini datang untuk membikin ribut. Dia ini anak seorang pemberontak!"

   Kata Giok Lan.

   "Harap Ayah masuk saja karena urusan ini tidak menyangkut Ayah. Biarlah aku bereskan gadis galak ini. Ibu Sute telah datang dan dia ini Suteku. Harap Ayah menemani Ibu Sute dan sebentar lagi kami akan dapat membereskan urusan dengan bocah galak ini!"

   Kata Siok Lun. Kakek itu memandang kepada Kwan Bu, mengangguk-angguk kemudian dengan melangkah masuk ke dalam sambil mengomel,

   "Kalau dia datang mengacau, lempar saja keluar!"

   Kwan Bu tidak mendapat kesempatan untuk memberi hormat. Melihat kakek itu, ia merasa kagum dan suka karena pribadinya membayangkan kegagahan, akan tetapi mendengar ucapannya ketika hendak memasuki rumah, timbul rasa tidak sukanya. Namun, ia tidak memperdulikannya lagi karena saat ini seluruh perhatiannya tertarik kepada Siang Hwi.

   "Nona Bu, harap nona suka berpikir secara mendalam. Sesungguhnya diantara mendiang Ayahmu dan Suheng serta Suciku tidak terdapat permusuhan apa-apa. Ayahmu tewas dalam perang, tidak ada yang harus disesalkan. Memang benar terbunuh oleh Suheng dan Suci, akan tetapi dalam perundingan yang menyebabkan perang. bukan urusan pribadi""

   "Tak usah banya mulut! Urusanku sendiri engkau tidak berhak mencampuri! Pendeknya, saat ini aku harus membunuh atau terbunuh dan sepasang anjing ini adalah musuh-musuh besarku. Hayol aku tantang kalian dan kalau ada yang hendak membantu kalian, majulah tak perlu banyak cerewet lagi!"

   "Ah, kau galak dan jahat seperti setan!"

   Giok Lan sudah membentak dan menerjang maju pedangnya. Siang Hwi menangkis dengan kuat.

   "Trangggg...!!"

   Dua buah pedang bertemu dengan kekuatan seimbang dan keduanya terhuyung ke belakang.

   "Wah, engkau kuda betina yang liar dan menggairahkan hati!"

   Tiba-tiba Siok Lun meloncat maju dan ucapannya ini memancing sebuah jerit tertahan dari mulut Bi Hwa yang tidak lepas dari perhatian Kwan Bu. Pemuda ini sudah siap-siap untuk melindungi Siang Hwi, akan tetapi dia merasa sungkan sehingga sejenak ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Adapun Siang Hwi ketika melihat berkelebatnya tubuh pemuda yang selain telah membunuh Ayahnya juga yang hampir saja memperkosanya, dan yang membunuh Liu Kong, cepat menggerakkan pedangnya menusuk. Namun sambil terkekeh Siok Lun mengelak ke samping dan tangannya mencengkeram dari samping dengan cepat sekali. Siang Hwi mengelak dan mengelebatkan pedangnya, akan tetapi tangan yang cepat itu telah ditarik kembali dan tahu-tahu telah mengelus dagunya yang halus.

   "Kau...!!"

   Bi Hwa merintih perlahan dan memejamkan mata, hatinya seperti ditusuk.

   "Bangsat terkutuk!"

   Siang Hwi menjadi marah sekali dan pedangnya mengamuk laksana seekor naga bermain di angkasa. Namun tingkat ilmu kepandaian Siok Lun jauh lebih tinggi daripada tingkatnya sehingga dengan mudah pemuda ini menghindarkan diri dari setiap bacokan maupun tusukan, dan agaknya memang Siok Lun hendak mempermainkan gadis ini karena tangannya selalu mencolek dan meraba. Beberapa kali hampir saja dada gadis itu dapat dicengkeramnya sehingga disamping kemarahannya. Siang Hwi menjadi malu dan merasa terhina. Ingin ia menangis dan menggorok lehernya sendiri, akan tetapi kalau teringat akan sakit hatinya, ia membulatkan tekad untuk menyerang sampai mati.

   "Nona manis, kau cantik dan galak, jangan main-main dengan pedang!"

   Kata Siok Lun yang karena tergila-gila kepada Siang Hwi, sampai lupa diri dan lupa bahwa semua tingkah lakunya dan ucapannya dilihat dan didengar oleh Bi Hwa, Siang Hwi menusuk dadanya, Siok Lun sengaja memperlambat elakkannya sehingga pedang itu seolah-olah menancap di tubuhnya, akan tetapi sesungguhnya ia mengempit pedang itu di bawah ketiaknya dan sebelum Siang Hwi sadar, pergelangan tangannya yang memegang pedang telah tertangkap.

   (Lanjut ke Jilid 13)

   Dendam Si Anak Haram (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 13

   "Ha-ha, nona manis, kau hendak berbuat apa sekarang!"

   Cengkeraman pada pergelangan tangan itu amat kuat sehingga pedang itu terlepas dan tangan Siok Lun diulur ke arah dada.

   "Suheng jangan...!!"

   Kwan Bu membentak marah. Siok Lun menarik tangannya dan menengok.

   "Sute."

   Katanya tersenyum.

   "Apakah engkau hendak membela nona pemberontak ini?"

   Pada saat itu terdengar jerit melengking dari sebelah dalam rumah. Kwan Bu terkejut dan merasa bulu tengkuknya berdiri karena ia mengenal jeritan itu seperti suara Ibunya.

   "lbu...!!"

   Teriaknya dan tubuhnya mencelat ke dalam. Juga yang lain-lain terkejut. Siok Lun sendiri melepaskan Siang Hwi dan hampir berbareng dengan Bi Hwa iapun lari ke dalam, diikuti Giok Lan. Siang Hwi yang ditinggal sendiri, sejenak termenung, wajahnya masih pucat sekali dan diapun lalu menyambar pedangnya dan mengejar masuk. Dia harus membunuh musuh-musuhnya atau terbunuh di situ juga. Kwan Bu mempergunakan ginkangnya secepat mungkin, bagaikan terbang telah tiba di taman bunga. Sejenak ia ternganga karena keheranan ketika melihat Ibunya menangis terisak-isak berhadapan dengan kakek gagah yang tadi masuk, yaitu Ayah dari Siok Lun dan Giok Lan. Kakek itu terbelalak memandang Ibunya, dan kini terdengar Ibunya berkata dengan suara gemetar dan terputus-putus, telunjuknya menuding ke arah muka kakek itu.

   "Kau...! Kau... kepala rampok itu... kau... manusia terkutuk... kiranya engkau pemilik rumah ini...!!"

   Mendengar ini, Kwan Bu merasa seolah-olah kepalanya disambar halilintar. Musuh besar yang selama ini dicari-carinya dengan susah payah dan belum juga berhasil ditemukannya, kiranya adalah Ayah dari Suhengnya! Ayah dari Giok Lan. Seketika amarah dan kebenciannya bangkit, tangan kirinya merogoh saku dan ia meloncat maju sambil membentak,

   "Keparat jahanam! Terimalah pembalasanku!"

   Tangannya terayun dan terdengar suara bersiut nyaring. Kakek yang bernama Phoa Heng Gu, bekas kepala rampok yang dahulu bersama anak buahnya merampok Kwi-cun dan memperkosa Bhe Ciok Kim secara keji, terkejut dan menoleh. Ia hanya melihat sinar hitam menyambar. Dicobanya untuk mengelak namun terlambat karena sambitan jarum dari tangan Kwan Bu itu hebat bukan main.

   Pemuda ini yang diracuni dendam, bertahun-tahun melatih diri dengan jarum itu, jarum yang membutakan mata Ibunya, jarum milik kepala rampok yang kini ia kirim kembali kepada pemiliknya. Tanpa dapat dicegah lagi jarum itu menyambar dan menancap memasuki mata kiri Phoa Heng Su. Kakek ini menjerit mengerikan. Tangannya mendekap mata, tangan kanannya mencabut goloknya yang besar, lalu ia menubruk ke arah Kwan Bu. Namun pemuda ini telah siap, mengelak ke kiri dan mengirim tendangan yang tepat mengenai lutut Phoa Heng Gu sehingga kakek ini terpelanting roboh dan goloknya terlepas dari tangannya. Dengan kemarahan meluap Kwan Bu menghampiri kakek itu, menyambar goloknya dan mengangkat golok itu untuk dibacokkan ke arah kepala si kakek yang ternyata adalah musuh besarnya.

   "Kwan Bu... jangan...!!"

   Ciok Kim menjerit sehingga Kwan Bu terkejut, lalu menghampiri Ibunya dan berlutut karena melihat Ibunya tiba-tiba roboh lemas. Pada saat itu, Siok Lun dan Bi Hwa serta Giok Lan telah tiba di tempat itu. Melihat Ayah mereka roboh dan berkelojotan dengan muka berlumuran darah, Siok Lun dan Giok Lan menubruk dengan hati terkejut sekali.

   "Ayah"!!"

   Teriak mereka. Siok Lun lalu mengangkat kepala Ayahnya dan melihat mata kiri Ayahnya berlumur darah, ia makin kaget. apalagi ketika melihat gagang sebatang jarum sedikit menyembul keluar dari rongga mata, jarum milik Ayahnya sendiri

   "Ayah, apa yang terjadi...? Siapa yang melakukan ini?"

   Bentaknya dengan suara saking marahnya. adapun Giok Lan hanya menangis dan merintih.

   "Ayah"

   Ayah...!"

   Akan tetapi kakek yang berkelojotan menahan menahan nyeri itu mengangkat tangan ke atas seolah-olah melarang puteranya melakukan sesuatu. dan pada saat itu terdengar suara Kwan Bu.

   "Ibu, mengapa Ibu menahanku...?"

   "Kwan Bu, engkau tidak boleh... dia... dia... kepala perampok jahanam itu... dia itu adalah... Ayah kandungmu sendiri...!"

   Nyonya itu tak dapat melanjutkan ucapannya karena sudah menangis tersedu-sedu, menangis kemudian disusul suara ketawanya terkekeh-kekeh sambil menudingkan telunjuknya ke arah kakek yang sekarat itu.

   "Heh-heh-heh... anakmu sendiri yang membalas...! Ingatkah kau akan sumpahku dahulu...? aku akan membalasmu, dalam keadaan hidup ataupun mati..."

   Kwan Bu seperti dipagut ular berbisa. Ia meloncat ke belakang menjauhi Ibunya, memandang dengan mata terbelalak. kemudian perlahan-lahan ia menoleh ke arah kakek itu seperti orang kehilangan ingatannya. Kakek itu, Ayah Giok Lan, musuh besarnya, perampok yang membunuh keluarga Ibunya... dia itu Ayahnya sendiri? Betapa mungkin ini...? adapun Siok Lun yang terkejut, bingung dan marah itu melihat betapa luka di mata Ayahnya amat parah dan berbahaya. Jarum itu panjang dan telah menancap sampai hampir tak tampak. Hal ini amat berbahaya karena jarum itu tentu menembus ke otak!

   "Ayah! apa artinya ini? Siapa yang melakukan ini? Kwan Bu kah? Biar kubunuh dia...!!"

   Akan tetapi kakek itu memegangi pundak Siok Lun, kemudian memaksa diri bangkit duduk, kemudian merangkul Siok Lun dan Giok Lan. mukanya penuh darah, keadaannya amat mengerikan, mata kanannya kini terbelalak dan menjendul keluar. Dia menggoyang-goyang kepalanya.

   "Jangan! Memang ini perbuatanku yang penuh dosa. Dengar baik-baik Siok Lun dan Giok Lan. kalian lihat wanita itu? Dia dahulu seorang gadis cantik jelita, puteri seorang kepala kampung dusun Kwi-cun, Dan aku, Ayahmu ini yang sekarang menjadi Phoa wangwe... ha-ha-ha! Phoa-wangwe... aku dahulu adalah seorang kepala rampok. Semenjak Ibumu meninggal dunia karena sakit. Aku seperti gila, aku meninggalkan engkau. Siok Lun, puteraku satu-satunya kepada Bibimu dan aku... aku merantau, aku merampok dusun Kwi-Cun, membakar habis, membasmi keluarga lurah, memperkosa wanita itu... dan dengan jarum yang menancap di mataku ini aku membikin buta sebelah matanya! Kemudian aku kawin lagi, mendapat seorang puteri, engkau Giok Lan... akan tetapi Ibumu mati. Dasar nasibku yang buruk. karena perbuatan-perbutanku yang penuh dosa, sekarang wanita yang kubunuh semua keluarganya, yang kuperkosa dan kubutakan matanya. datang ke sini membawa puteranya... puteraku pula sebagai akibat dari perbuatanku memperkosanya... dan puteraku sendiri ini yang membalas dendam kepadaku, mengembalikan jarumku pada mataku! Ha-ha-ha... memang adil dan patut sekali... eh, kau... wanita yang keras hati, aku kagum sekali padamu. siapa namamu?"

   Kwan Bu terbelalak memandang kakek yang tadi diserangnya. Kini ia baru tahu akan riwayatnya. Pantas dia dimaki anak haram! Dan pada kenyataanya memang dia adalah seorang anak haram! Ibunya melahirkannya tanpa Ayah. Dia adalah hasil dari sebuah perbuatan maksiat yang paling keji. Pria yang menjadi Ayahnya itu, Ayah tak resmi, Ayah yang telah memperkosa Ibunya. Dan dia dididik oleh Ibunya untuk membalas dendam, untuk membunuh musuh besar yang sesungguhnya adalah Ayah sendiri! Ah, baru terbuka matanya kini. Baru ia mengerti mengapa dahulu Bu Taihiap tidak suka mengajar silat kepadanya. Kiranya pendekar besar yang bijaksana itu sudah tahu, dan tidak suka melihat dia membalas dendam kepada Ayahnya sendiri, betapapun jahatnya Ayah itu! Karena bengong terlongong, Kwan Bu kurang waspada bahkan membelakangi Ibunya.

   "Aku Bhe Ciok Kim, setelah berhasil membalas dendam, bersedia untuk mati! Hidup pun tidak ada gunanya lagi bagiku..."

   Kwan Bu terkejut dan menengok, namun terlambat. Ibunya telah memungut golok milik Phoa Heng Gu yang tadi dibawa Kwan Bu dan diletakkan dekat Ibunya dan ketika pemuda ini tadi berlutut dekat Ibunya dan ketika terkejut mendengar pengakuan Ibunya, ia meloncat mundur, lupa membawa goloknya. kini Ibunya memungut golok itu dan menancapkan golok di perutnya sendiri. Golok yang tajam itu amblas ke perut sampai ke ujungnya menembus punggung!

   "Ibu...! Kwan Bu meloncat dan menubruk Ibunya, namun, melihat betapa luka Ibunya tak mungkin dapat ditolong lagi, ia hanya dapat memeluk sambil menjatuhkan air mata, terisak-isak dan menyebut-nyebut nama Ibunya. Terdengar suara ketawa serak.

   "Ha-ha-ha, Bhe Ciok Kim..! Hutangku kepadamu didunia telah terbayar lunas! Akan tetapi masih ada hutangku di akhirat, terhadap keluargamu dan terhadap banyak orang lain, Marilah... marilah kita bersama menghadap pengadilan di akhirat... agar segera selesai pengadilannya dan dapat ditentukan hukuman bagiku... ha-ha-ha!"

   Agaknya karena jarum itu melukai otak, maka kakek ini menjadi seperti orang gila. Tiba-tiba ia berkelojotan dan menghembuskan napas terakhir, hampir berbareng dengan Bhe Ciok Kim yang juga tewas dalam pelukan puteranya. Sementara itu, Siang Hwi yang tadinya marah sekali dan hendak menentang musuh-musuhya sampai mati, kini berdiri terlongong dengan muka pucat.

   Peristiwa yang didengar dan dilihatnya terlampau hebat dan diam-diam ia memandang kepada Kwan Bu dengan hati penuh rasa iba. Alangkah hebat penderitaan batin pemuda itu. Kini ia pun tahu akan segala persoalannya, Dibandingkan dengan penderitaan batin Kwan Bu, yang dendamnya setinggi gunung sedalam lautan, dendam yang tanpa disadarinya telah ditujukan kepada Ayah kandungnya sendiri, dan kini berhasil pula membunuh musuh besarnya, membunuh Ayah kandungnya, dibandingkan dengan itu semua dendamnya sendiri atas kematian Ayahnya tidak ada artinya sama sekali! Ayahnya telah berpihak kepada pejuang, dan dua orang murid Pat-Jiu Lo-Koai itu berpihak kepada Kaisar, Kematian Ayahnya adalah kematian wajar seorang pejuang, tewas dalam pertempuran, bukan karena urusan pribadi, tepat seperti yang dikatakan Kwan Bu.

   Berpikir demikian, rasa dendamnya menipis, kedukaannya lenyap melihat kedukaan hebat yang menimpa diri Kwan Bu, Alangkah hebat penderitaan batin Kwan Bu di saat itu, dapat ia maklumi. Melihat mayat Ayah kandung yang dibunuhnya sendiri, melihat Ibunya menggeletak tak bernyawa karena bunuh diri di depan matanya, benar-benar merupakan pengalaman hebat yang tiada taranya didunia ini. Perlahan-lahan Kwan Bu bangkit berdiri, dan demikian pula Siok Lun, Dua orang muda ini berdiri dan saling memandang, wajah mereka pucat dan lengan serta dada mereka penuh darah Ayah dan Ibu masing-masing. Kalau pandang mata Kwan Bu lesu dan suram seperti kehilangan semangat, adalah pandang mata Siok Lun penuh hawa amarah yang seolah-olah membuat dadanya hampir meledak.

   "Kwan Bu engkau membunuh Ayahku..."

   Akhirnya keluar suara dari mulut Siok Lun agak mendesis. Kwan Bu mengangguk. Dadanya seperti ditindih gunung sehingga sukar baginya untuk bicara. Ia memaksa diri untuk berbicara dan terdengar suaranya lemah dan lesu, suara seorang yang sudah kehilangan, gairah hidup.

   "Benar, aku telah membunuh dan kalau Suheng tidak terima dan hendak menuntut balas, silakan. Mari kita keluar."

   Suaranya sama sekali tidak mengandung tantangan, melainkan lebih mengandung penyerahan dari seorang yang sudah putus asa, putus harapan karena tidak melihat lagi kegairahan hidup. Dia benar-benar seorang anak haram yang hina dan tercela! Kehilangan hatinya kepada Siang Hwi yang menghinanya, kemudian muncul Giok Lan yang merupakan pelita yang akan dapat menerangi hatinya yang gelap, akan tetapi ternyata bahwa Giok Lan adalah saudaranya sendiri, adik tirinya, satu Ayah lain Ibu! Dan yang lebih hebat daripada semuanya, ia telah membunuh Ayah kandungnya sendiri.

   Apalagi yang diharapkan dalam hidup ini? Dengan langkah tenang akan tetapi tubuh dan semangat lemas ia keluar tanpa menengok lagi, Kemudian, sebaliknya di pekarangan luar, ia berdiri menanti Siok Lun dengan pandang mata sayu dan muka muram. Siok Lun mengejar keluar diikuti oleh Giok Lan yang menangis terisak-isak dan oleh Bi Hwa yang mengerutkan keningnya. Gadis ini ikut menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan dalam menghadapi peristiwa mengerikan dan menyedihkan ini. Juga timbul ketidakpuasaan di dalam hatinya mendengar bahwa Ayah Suhengnya yang akan menjadi suaminya itu adalah seorang bekas perampok yang telah melakukan perbuatan-perbuatan sedemikian kejinya terhadap Ibu Kwan Bu. Memang tadinya ia pun sudah kecewa setelah mengenal watak calon suaminya yang mata keranjang dan pelahap wanita. Akan tetapi apa yang dapat ia lakukan?

   Ia telah terperosok, terjebak oleh nafsunya sendiri, telah menyerahkan diri kepada Siok Lun. Dia tidak dapat mundur lagi dan terpaksa harus menerima pemuda yang telah memiliki tubuhnya itu sebagai suami, sungguhpun rasa kasih sayangnya telah menipis, bahkan menghilang oleh kenyataan betapa watak calon suaminya ini amatlah kotornya. Kini dltambah kenyataan tentang Ayah Siok Lun, benar-benar hati Bi Hwa menjadi berduka, kecewa dan juga bingung. Adapun Siang Hwi yang menyaksikan itu semua, bagaikan sebuah bayangan ikut pula lari keluar dan kini berdiri di pinggiran dengan pedang tetap di tangan, memandang kepada Kwan Bu. Kini pandang matanya terhadap Kwan Bu sudah banyak berubah, lenyap sinar kebencian dan kecurigaan karena ia sudah tahu akan segala keadaan pemuda itu, kini terganti oleh sinar mata yang mengandung rasa kasihan.

   "Kau... kau bedebahl Kau harus mengganti nyawa Ayah!"

   Berseru keras lalu maju menubruk, memukul ke arah dada Kwan Bu, Kwan Bu hanya memandang tanpa berkedip, tidak menangkis. juga tidak mengelak, menerima hantaman itu dengan mata terbuka.

   "Desss....!"

   Tubuh Kwan Bu terjengkang ke belakang, dadanya serasa pecah, napasnya sesak dan ia bangkit berdiri, wajahnya pucat sekali. Dia telah mengerahkan sinkang untuk menerima pukulan itu, namun pukulan Suhengnya amatlah hebatnya sehingga biarpun ia tidak terluka hebat di sebelah dalam dadanya, tetap saja ia merasa nyeri yang menusuk-nusuk rongga dada.

   "Kau..., kau tidak membalas? Bagus... kalau begitu mampuslah!"

   Siok Lun mencabut pedangnya.

   "Koko, jangan...

   "

   Giok Lan maju dan memeluk lengan kakaknya sambil menangis.

   "Moi-moi, mengapa kau menghalangiku? Dia musuh besar kita! Dia membunuh Ayah kita! Pergilah!"

   Akan tetapi Giok Lan tidak melepaskan pelukannya dan kini berkata dengan suara gemetar.

   "Koko, ingatlah. Dia adalah saudara kita sendiri! Dia adalah kakakku, dia adikmu! Dia adalah putera Ayah juga! Lupakah engkau akan pengakuan Ayah tadi? Biarpun dia Ayah kita sendiri, akan tetapi kita harus tidak menutup mata terhadap perbuatannya yang keji, Ayah telah membunuh semua keluarga Ibunya, telah memperkosanya dan membutakan mata Ibunya. Kita sudah tahu betapa dia selalu mencari musuh besarnya, tidak disadari bahwa musuhnya adalah Ayahnya sendiri, Ketika mendengar suara Ibunya dan mendengar bahwa Ayah kita adalah musuh besarnya, dia menyerangnya dengan jarum, tepat seperti dahulu Ayah menyerang dan membutakan mata Ibunya! Ayah kita yang bersalah!"

   Siok Lun mulai meragu dan mulutnya yang cemberut, hanya mengeluarkan suara.

   "Hemm... hemm!"

   "Kalau kau memaksa hendak membunuhnya, apa lagi dia sama sekali tidak melawan, berarti engkau menambah dosa Ayah dan aku..., aku akan terpaksa melawanmu, koko, Biar aku mati sekalian ditanganmu...,!"

   Giok Lan menangis tersedu-sedu. Siok Lun menghela napas, memandang kepada Kwan Bu yang menundukkan muka, kemudian Siok Lun berkata,

   "Kwan Bu adalah Suteku, dan ternyata adikku sendiri, Kau benar, Lan-moi, dia membunuh Ayah karena tidak tahu. Dan Ayah... ah, salah siapakah ini? salah siapa?"

   Ia menghela napas dan menyarungkan pedangnya kembali.

   "Sute, aku tidak membunuhmu, Kau adikku sendiri, Akan tetapi, salah siapakah ini?"

   "Salah Ayah kita!"

   Jawab Kwan Bu, suaranya tegas,

   "Ya, salah Ayah kita. Ah... tidak! Salah dia semua ini!"

   Tiba-tiba ia menuding ke arah Siang Hwi yang berdiri di pinggiran,

   "Salah wanita keparat ini! kalau dia tidak datang mengacau, tentu Ayah kita tidak mati, tentu tidak terjadi semua ini. Gadis ini yang salah, dan aku harus meghukum dia! Dia anak pemberontak, dia yang menyebabkan kematian Ayah dan kematian Ibumu!"

   Tiba-tiba saja Siok Lun berkelebat maju ke arah Siang Hwi.

   "Suheng...!"

   Teriak Kwan Bu.

   "Koko, jangan...!"

   Teriak Giok Lan. Siang Hwi menusukan pedangnya, akan tetapi dengan sebuah tangkisan pedang itu terpental dan di lain detik Siok Lun telah memondong tubuh Siang Hwi yang menjadi lemas karena telah ditotoknya secepat kilat,

   "Aku harus menghukum dia...., ha-ha-ha, harus menghukum kuda liar ini!"

   Seperti orang gila Siok Lun menciumi muka Siang Hwi dan membawanya lari memasuki rumahnya. Kejadian ini amat tidak terduga-duga dan terjadi cepat sekali sehingga yang lain-lain sejenak melongo, akan tetapi kemudian Kwan Bu mengeluarkan suara gerangan aneh dan tubuhnya berkelebat memasuki rumah lagi, melakukan pengejaran, Giok Lan menjerit dan mengejar pula. Bi Hwa menjadi pucat mukanya, menggigit Bibirnya sampai berdarah kemudian ia pun lari mengejar mereka. Pintu kamar itu tertutup dari dalam, Biarpun Kwan Bu menggedor-gedornya, tetapi tidak dibuka karena sudah dipalang dari dalam,

   "Suheng! Bukalah! Suheng, aku tidak akan membiarkan kau melakukan perbuatan terkutuk!"

   Bentak Kwan Bu sambil menggedor pintu kamar, Ia mengharapkan Suhengnya atau juga kakak tirinya sadar dan membuka pintu, Namun Siok Lun tidak membuka pintu.

   "Braakkkkl"

   Daun pintu itu pecah berantakan ketika diterjang oleh Bi Hwa, Gadis ini tidak mengeluarkan suara, akan tetapi pandang matanya beringas, berkilat-kilat dan mukanya pucat sekali sehingga darah yang keluar dari luka di Bibir bawahnya yang ia gigit sendiri tampak nyata. Siok Lun membalikkan tubuhnya sambil menyeringai memandang Kwan Bu dan Bi Hwa yang berada di ambang pintu. Tubuh Siang Hwi yang lemas menggeletak di atas pembaringan, matanya terbelalak. Siok Lun yang tadinya menelungkup memeluk gadis itu kini membalikkan tubuh, napasnya terengah-engah, pandang matanya seperti pandang mata seekor anjing yang sedang makan tulang lalu diganggu. Beringas dan penuh ancaman.

   "Tak boleh seorang pun mencampuri urusanku ini! aku hendak menghukumnya, aku hendak membalas kematian Ayah! Yang menghalangi akan kubunuh?"

   "Suheng, kalau begitu, aku bersedia kau bunuh karena aku akan menghalangi perbuatanmu yang terkutuk ini!"

   Jawab Kwan Bu. Kini suaranya sudah berubah tidak seperti tadi, melainkan penuh tantangan. Kini ada sesuatu yang mendatangkan kembali gairah hidupnya, yaitu melindungi Siang Hwi daripada bahaya mengerikan. Kini ia harus hidup untuk menolong dan melindungi gadis yang dicintainya itu,

   "Kau? Kau Suteku dan adikku sendiri? Ha, benar-benar kau sudah bosan hidup! Mari kita selesaikan urusan ini kalau memang kau ingin sekali mati di tanganku!"

   Berkata demikian, Siok Lun mencabut pedangnya.

   "Aku menanti di Iuar!"

   Kata Kwan Bu sambil berlari keluar. Siok Lun mengejar keluar dan Bi Hwa Juga keluar tanpa mengeluarkan kata-kala, Giok Lan yang menjadi bingung itu segera menghampiri Siang Hwi dan berusaha membebaskan totokan kakaknya yang hampir membuat gadis itu lumpuh.

   "Cabut pedangmu l"

   Siok Lun menantang, Kwan Bu tersenyum dingin, Kakak tirinya atau bukan, Suhengnya atau bukan, sudah menjadi kewajibannya untuk menentang orang ini. Kalau tidak, tentu ia malu menjadi murid gurunya. Ia lalu melepaskan pedang yang dikaitkan sebagai ikat pinggangnya, tampak sinar merah dan suara Kwan Bu terdengar berwibawa,

   "Phoa Siak Lun, berlututlah! Aku mewakili Suhu untuk menangkap kau sebagai seorang murid durhaka dan menyerahkan kepada Suhu!"

   Siok Lun dan Bi Hwa memandang pedang itu, terkejut bukan main.

   Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Toat-Beng-Kiam...!"

   Hampir berbareng Siok Lun dan Bi Hwa berseru ketika mereka mengenal pedang itu.

   "Kau... kau dari mana mendapatkan pedang itu? Kau curi dari tangan Suhu?"

   Tanya Siok Lun. Akan tetapi Bi Hwa sudah menjatuhkan diri berlutut sebagai tanda penghormatan kepada pedang itu yang mewakili kehadiran Suhunya.

   "Phoa Siok Lun, kau sungguh murtad. Setelah melihat pedang pusaka ini, kau masih belum bertutut? Aku menjadi wakil Suhu, berhak menghukum setiap orang murid yang menyeleweng, Akan tetapi aku tidak mau membunuhmu, hanya hendak membawamu kepada Suhu. Menyerahlah dan lepaskan pedangmu,"

   "Ha-ha-ha-ha! Kau mimpi! Kwan Bu, kau... bocah haram! Meskipun kau anak Ayah tetapi kau terlahir dari hubungan gelap, Siapa takut padamu? Biarpun Suhu sendiri yang menghalangi urusanku dengan anak pemberontak itu, dia tidak berhak, Apa lagi kau!"

   "Phoa Siak Lun! Sekali lagi, apakah kau tidak mau menyerah?"

   Kwan Bu berkata dengan suara nyaring.

   "Suheng, jangan melawan! Engkau sudah menyeleweng, mengaku dan menyerahlah, tentu Suhu akan mengampuni dosamu!"

   Tiba-tiba Bi Hwa yang semenjak tadi dia saja berkata sambil berlutut.

   "Apa? Siapa menyeleweng? Aku suka kepada nona Bu puteri pemberontak itu, siapa perduli? Aku hendak menghukumnya menurut caraku, siapa akan menghalangiku? Bi Hwa, engkau menyebut Suheng lagi kepadaku, apakah engkau tidak mau mengakui aku sebagai calon suamimu? Jangan kau membela bocah kurang ajar ini! ingat, kalau aku tidak mau mengambilmu sebagai isteri, siapa lagi yang sudi? Kau bukan perawan lagi! Dan kau tidak boleh cemburu, kalau menjadi isteriku, apapun yang akan kulakukan, kau harus patuh, Mengerti??"

   Muka Bi Hwa menjadi pucat sekali dan ia seperti habis ditampar mukanya, Kwan Bu makin marah,

   "Phoa Siok Lun, engkau sungguh seorang murid yang sesat. seorang manusia yang berhati busuk..!"

   "Cerewet!"

   Siok Lun membentak dan menerjang maju, menyerang Kwan Bu dengan pedangnya, Kwan Bu sudah siap sedia, cepat ia menggunakan pedang Toat-Beng-Kiam sehingga tampak sinar merah darah yang menyilaukan mata.

   Namun Siok Lun adalah seorang sombong dan percaya kepada kelihaiannya sendiri. Dia tidak gentar dan cepat menarik kembali pedangnya yang hendak ditangkis, kemudian merobah gerakan yang tadi membacok leher itu dengan sebuah tusukan kilat ke arah perut Kwan Bu disusul sebuah sodokan dengan jari tangan terbuka yang menyambar dari kiri menuju pelipis lawan. Hebat bukan main gerakan Siok Lun, selain cepat sekali juga mengandung hawa pukulan yang kuat. Kwan Bu bersikap tenang. Tentu saja ia mengenal jurus yang dipergunakan Suhengnya untuk menangkis. kemudian memutar tubuhnya dan pedang yang terpental karena benturan itu kini membabat ke atas "Memotong"

   Jalan penyerangan tangan kiri Siok Lun. Siok Lun berseru marah. Ia tadi cepat-cepat menarik lagi pedangnya karena ia masih ragu-ragu dan jerih untuk mengadu pedang keras-keras,

   Maklum bahwa pedang Suhunya itu adalah pedang pusaka yang amat ampuh. Dengan kemarahan meluap ia kini menyeruduk maju seperti seekor harimau kelaparan, menyerang dengan ketebalan pedangnya, amat cepat gerakannya untuk menghimpit dan mendesak Kwan Bu sehingga Sutenya itu tidak akan mendapat kesempatan untuk balas menyerangnya, Kwan Bu sudah mengenal Suhengnya ini, bahwa gerakan Suhengnya amat cepat, bahwa ginkang Suhengnya amat tinggi, Ketika belajar di bawah pimpinan Pat-Jiu Lo-Koai dahulu, dalam latihan-latihan mereka, ia hanya dapat mengimbangi ginkang dari Suhengnya ini, namun dalam hal kecepatan, ia masih kalah seusap. Selain ini, juga Suhengnya itu pandai sekali menciptakan gerakan-gerakan memancing, gerakan-gerakan palsu yang membingungkan lawan.

   Jurus-jurus yang mereka pelajari, namun dalam penggunaannya Siok Lun pandai menambah gerakan variasi yang mengkombinasikan sebuah jurus dengan jurus berikutnya. Namun, Pat-Jiu Lo-Koai dapat mengenal murid-muridnya dan kakek ini lebih condong untuk mengangkat Kwan Bu menjadi wakilnya, bukan hanya karena ia lebih percaya akan batin muridnya ini, melainkan juga karena ia tahu bahwa Kwan Bu memiliki ketenangan yang luar biasa, Dan ketenangan inilah yang mengatasi segala kelebihan Siok Lun, Dalam keadaan tenang dan waspada, Kwan Bu tidak dapat diperdaya oleh segala gerak tipu, dan kini ditambah lagi dengan keunggulan pedang pusaka Toat-Beng-Kiam, Siok Lun sama sekali tidak mampu mendesak Sutenya. Andaikata mereka bertanding dengan dasar pamrih yang sama, yaitu untuk saling membunuh,

   

Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini